bab i

Upload: tresnanda-bellawana

Post on 09-Mar-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nmb

TRANSCRIPT

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangGastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa dan submukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau lokal. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala klinis, bukan pemeriksaan histopatologi. Gastritis adalah masalah medis umum dimana mencapai 10% orang yang datang ke gawat darurat rumah sakit dengan keluhan sakit perut yang akhirnya didiagnosis dengan gastritis (Balentine, 2012).Pada tahun 2004 penyakit gastritis menempati urutan ke-9 dari 50 peringkat utama pasien rawat jalan di rumah sakit seluruh Indonesia dengan jumlah kasus 218.500 orang. Menurut Maulidiyah dan Unun pada tahun 2006, di Kota Surabaya angka kejadian Gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46%, sedangkan di Medan angka kejadian infeksi cukup tinggi sebesar 91,6% (Wijoyo, 2009).Kejadian penyakit gastritis meningkat sejak 5 sampai 6 tahun ini dan menyerang lebih banyak laki-laki daripada wanita. Laki-laki banyak mengalami gastritis karena mengkonsumsi alkohol dan merokok. Prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur. Dari survey yang dilakukan pada masyarakat Jakarta pada tahun 2007 yang melibatkan 1.645 responden mendapatkan bahwa pasien dengan masalah gastritis ini mencapai 60%, artinya masalah gastritis ini memang ada di masyarakat dan tentunya harus menjadi perhatian kita semua (Wijoyo, 2009). Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi gastritis kronik atrofik yang disebabkan karena hilangnya kelenjar lambung. Frekuensi gastritis atrofik di Indonesia tidak diketahui secara pasti karena gastritis kronis sering asimtomatik, namun prevalensi berbanding lurus dengan dua penyebab utama atrofi lambung yaitu infeksi kronis Helicobacter pylori dan gastritis autoimun. Dalam kedua kondisi ini, gastritis atrofi berkembang selama bertahun-tahun dan ditemukan di kemudian hari. Gastritis atrofi multifokal yang lebih menonjol di daerah-daerah di dunia (Mukherjee, 2012).Sejak penemuan kuman Helicobacter pylori (Hp) oleh Marshall dan Warren pada tahun 1983, kemudian terbukti bahwa infeksi Hp merupakan masalah global, termasuk di Indonesia, sampai saat ini belum jelas proses penularan serta mekanisme infeksi kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (SCBA). Secara umum telah diketahui bahwa infeksi Hp merupakan masalah global, tetapi mekanisme transmisi apakah oral-oral atau fekal-oral belum diketahui dengan pasti (Sudoyo, 2006). Prevalensi infeksi Helicobacter pylori, di seluruh dunia sangat bervariasi antara kelompok-kelompok populasi yang sama dalamsuatu Negara. Helicobacter pylori sangat lazim di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, di Timur Tengah, 40-65% anak-anak dan 80-95% orang dewasa yang terinfeksi. Prevalensi infeksi Helicobacter Pylori di Negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan Negara maju. Pravelensi pada populasi di Negara maju sekitar 30-40 % sedangkan di Negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal (Shafii, 2008).Berdasarkan penelitian di RS PGI Cikini dan RSCM, Jakarta Pusat didapatkan 75 persen dari kelompok positif infeksi Helicobacter Pylori (Hp). Studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi infeksi Hp, sedangkan data di luar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan penyediaan atau sumber air minum. Infeksi Helicobacter Pylori banyak terjadi pada kelompok ekonomi menengah ke bawah dibanding kelas atas. Begitu pula terjadi pada Amerika dan Singapura (Sudoyo, 2006).Studi seroepidemiologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46,1% dengan usia termuda 5 bulan. Pada kelompok usia muda di bawah 5 tahun 5,3-15.4 % telah terinfeksi. Selain faktor bakteri, faktor pejamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis akibat infeksi (Sudoyo, 2006). Helicobacter pylori diketahui sebagai faktor resiko dan penyebab terkuat untuk terjadinya gastritis kronik sehingga Helicobacter pylori harus dieradikasi secara tuntas. Indikasi untuk eradikasi kuman H. pylori dikembangkan secara internasional melalui consensus para pakar (Malfertheiner et al 2007). Pada studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara helicobacter pylori terhadap kejadian gastritis kronis. Diperkirakan 50% dari populasi dunia terinfeksi H. pylori, akibatnya, gastritis kronis sangat sering terjadi. Infeksi H. pylori biasanya diperoleh di masa kecil dan seumur hidup, tingginya jumlah orang yang lebih tua yang terinfeksi adalah hasil jangka panjang dari infeksi yang terjadi di masa kecil yang terinfeksi bakteri ini. Gastritis karena Helicobacter pylori biasanya diperoleh selama masa kanak-kanak, dan komplikasi biasanya berkembang kemudian saat dewasa (Mukherjee, 2012). Kolonisasi lambung dengan H. pylori ditemukan pada hampir semua pasien dengan gastritis superfisial yang kronik. Helicobacter pylori yang menginfeksi kurang lebih 50% penduduk di seluruh dunia menyebabkan inflamasi lambung kronis yang akan menjadi atrofi. H. pylori yang jumlahnya sedikit memperlihatkan atrofi lambung yang berat (Horrison, 2007).Weck menerbitkan sebuah studi yang mendukung hipotesis mereka bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Helicobacter pylori dan gastritis atrofi sehingga perlu dieradikasi. Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan tersebut jauh lebih kuat dari yang diperkirakan oleh sebagian besar epidemiologi penelitian sebelumnya (Mukherjee, 2012). Gastritis atrofi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori tampaknya lebih umum di antara ras Asia daripada yang berasal dari ras lain. Gastritis atrofi sering terlambat dideteksi karena hasil dari efek jangka panjang kerusakan pada mukosa lambung. Helicobacter pylori terkait gastritis atrofi berkembang secara bertahap, tetapi pada beberapa kasus atrofi multifokal yang luas biasanya terdeteksi pada orang tua dari 50 tahun (Malfertheiner et al 2007). Sebagaimana latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara Helicobacter pylori dengan kejadian atrofi mukosa gaster pada pasien terdiagnosa gastritis kronis yang dilakukan di Rumah Sakit Ciremai Kota Cirebon. 1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas dapat disimpulkan satu pertanyaan pada penelitian ini, yaitu Apakah ada hubungan antara Helicobacter pylori dengan kejadian atrofi mukosa gaster pada pasien terdiagnosa gastritis kronik?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara Helicobacter pylori dengan kejadian atrofi mukosa gaster pada pasien terdiagnosa gastritis kronik1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi adanya Helicobacter pylori pada gambaran histopatologi mukosa gaster pasien terdiagnosa gastritis kronik2. Mengidentifikasi adanya atrofi pada gambaran histopatologi mukosa gaster pasien terdiagnosa gastritis kronik 3. Menganalisis hubungan antara Helicobacter pylori dengan kejadian atrofi mukosa gaster pada pasien terdiagnosa gastritis kronik.1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang hubungan antara Helicobacter pylori dengan kejadian atrofi mukosa gaster pada pasien terdiagnosa gastritis kronik.1.4.2 Manfaat bagi klinisi1. Memberikan informasi mengenai penyakit gastritis kronik2. Memberikan informasi mengenai bakteri Helicobacter pylori3. Memberikan informasi mengenai mekanisme penyakit gastritis yang disebabkan oleh Helicobacter pylori4. Mendapatkan informasi mengenai data pasien terdiagnosa gastritis kronik yang mengalami atrofi mukosa.1.4.3 Manfaat bagi pasienPasien diharapkan dapat mendeteksi sedini mungkin gejala gastritis sehingga tidak berlanjut menjadi gastritis kronik yang menjadi atrofi mukosa gaster sehingga mempengaruhi fungsi gaster.

1.4.4 Manfaat bagi masyarakatMasyarakat diharapkan dapat mencegah agar tidak menderita penyakit gastritis dengan menghindari penyebab dan faktor resiko.1.4.5 Manfaat bagi dokter dan Rumah SakitDigunakan sebagai masukan dalam menetapkan kebijakan penanganan awal pasien gastritis sehingga dapat meminimalkan terjadinya atrofi mukosa gaster.1.4.6 Manfaat bagi peneliti lainPenelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar modalitas penelitian yang lain tentang penyakit gastritis kronik.

I.5 Orisinilitas PenelitianPenelitian Penilaian Mukosa Gaster Terhadap Keberadaan Helicobacter Pylori Dengan Pengamatan Sediaan Histopatologi Pada Pasien Terdiagnosa Gastritis Kronik, menurut sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan berhubungan dengan penelitian ini adalah:Tabel I Orsinilitas PenelitianNama Peneliti dan Judul PenelitianMetode PenelitianHasil Penelitian

Muhammad Yusuf, (2011), Pemeriksaan Serologi IgG Helicobacter Pylori Berhubungan Dengan Dispepsia Tipe Tukak Menggunakan rancangan cross sectionalTerdapat hubungan signifikan antara pemeriksaan serologi IgG Helicobacter pylori dengan dispepsia tipe tukak

I Wayan Darya (2007), Korelasi Antara Derajat Gastritis dan Rasio Pepsinogen I/II Pada Penderita Gastritis KronisMenggunakan rancangan cross sectionalTerdapat korelasi negatif secara statistik bermakna

antara jumlah skor gastritis berdasarkan USS dan rasio

pepsinoen I/II

Perbedaan penelitian:

1. Berbeda judul dengan penelitian sebelumnya

2. Berbeda waktu dan tempat penelitian

3. Berbeda variable penelitian yang akan diteliti4. Mengamati sediaan histopatologi mukosa gaster penderita gastritis kronik

5. Hubungan yang dicari adalah hubungan Helicobacter pylori terhadap kejadian atrofi mukosa gaster pada pasien terdiagnosa gastritis kronik.1