bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Induksi persalian merupakan proses untuk menstimulasi kontraksi uterus sebelum terjadinya
persalinan spontan dengan atau tanpa adanya pecah ketuban Selain induksi persalinan, dikenal
juga istilah augmentasi atau akselerasi persalinan. Augmentasi mengacu pada stimulasi kontraksi
spontan yang dianggap tidak memadai karena dilatasi serviks yang tidak adekuat. 1
Selama beberapa dekade terakhir, semakin banyak perempuan hamil di seluruh dunia
telah mengalami induksi persalinan (tenaga kerja artifisial dimulai) untuk memberikan bayi
mereka. Di negara maju, sampai dengan 25% dari semua kelahiran di masa sekarang melibatkan
induksi persalinan. Menurut Pusat Nasional untuk Statistik Kesehatan, kejadian induksi
persalinan di Amerika Serikat lebih dari dua kali lipat dari 9,5 persen pada tahun 1991 menjadi
22,5 persen pada tahun 2006 (Martin dan rekan, 2009). Di University of Alabama di
Birmingham Hospital, persalinan diinduksi pada sekitar 20 persen wanita, dan 35 persen lainnya
diberikan oksitosin untuk augmentasi-total 55 persen. 1,2
Induksi persalinan dilakukan pada beberapa kondisi, seperti kehamilan post term,
kehamilan dengan diabetes mellitus, makrosomia, ketuban pecah dini, dan lainnya.
Kehamilan postterm merupakan salah satu kehamilan risiko tinggi.Kekhawatiran dalam
menghadapi kehamilan postterm adalah meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas perinatal.
Hal ini dihubungkan dengan menurunnya fungsi plasenta. Fungsi plasenta mencapai puncak pada
umur kehamilan 38 minggu dan kemudian menurun terutama setelah 42 minggu. Akibat penuaan
plasenta, pemasokan makanan dan oksigen ke janin menurun akibat berkurangnya sirkulasi
uteroplasenter sekitar 50% yaitu menjadi 250 ml/mnt.1,2
Angka kejadian postterm berkisar antara 4 – 14%.1 Di Indonesia angka kejadiannya
berbeda-beda pada beberapa Rumah Sakit Pendidikan. Suastika (1997) melaporkan angka
kejadian postterm di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebesar 9,5%.3 Adenia dkk (1999)
melaporkan angka kejadian postterm di RSUP H.Adam Malik sebesar 6,71%.4 Priyono (2003)
melaporkan angka kejadian postterm di RSUP Sanglah sebesar 3,46% untuk periode 1 Januari
2000 – 31 Desember 2002.5
Risiko morbiditas perinatal pada kehamilan postterm 2-3 kali lebih banyak daripada
kehamilan aterm. Sedangkan mortalitasnya meningkat lebih kurang 3 kali dibandingkan
kehamilan aterm dimana 30% kematian tersebut terjadi sebelum persalinan, 55% dalam
1
persalinan dan 15% pasca persalinan.6 Wanita dengan kehamilan postterm cenderung memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami robekan jalan lahir yang luas karena makrosomia,
peningkatan risiko terjadinya infeksi dan komplikasi luka jalan lahir serta perdarahan post
partum. Mereka juga berisiko lebih besar menjalani seksio sesaria sehubungan dengan
makrosomia, gawat janin maupun kegagalan dan komplikasi induksi persalinan.2,6
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Induksi persalianan adalah proses stimulasi buatan pada uterus untuk memulai persalinan.
Induksi persalian dilakukan sebelum terjadinya persalinan spontan dengan atau tanpa adanya
pecah ketuban .1,2
Akselerasi persalinan adalah tindakan untuk meningkatkan frekuensi, lama serta kekuatan
his dalam persalian . Augmentasi mengacu pada stimulasi kontraksi spontan yang dianggap
tidak memadai karena dilatasi serviks yang tidak adekuat.2,3
Menurut American College of Obstetricians ad Gynecologist (1997), postterm adalah
kehamilan 42 minggu penuh (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir
(HPHT), dengan asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah haid terakhir.1,7 Sedangkan menurut
Federation of Gynecologist and Obstetrians (FIGO), postterm merupakan kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu terhitung dari HPHT dan siklus menstruasi 28 hari.2,4
2.2 PRINSIP UMUM INDUKSI PERSALINAN 1
Dalam melakukan suatu induksi persalinan perlu diperhatikan prinsip-prinsip umum yang
berhubungan dalam induksi persalinan, yaitu : (who)
Induksi persalinan dapat dilakukan hanya bila ada indikasi dan manfaatnya lebih
besar dibandingkan kemungkinan terjadinya potensi yang membahayakan.
Pada setiap ibu yang akan melakukan induksi persalian , pertimbangan harus
diberikan sesuia dengan status servikal, metode yang akan dilakukan , serta risiko
yang akan terjadi.
Induksi persalinan harus dilakukan dengan hati-hati karena mengingat besarnya risiko
terjadinya hiperstimulasi uterus, rupture uterus, dan juga potensi terjadinya gawat
janin
Induksi persalinan harus dilakukan di tempat pelayanan yang memiliki kemampuan
untuk penilaian maternal dan kesejahteraan janin
Ibu yang diinduksi dengan oxytocin, misoprostol, atau prostaglandin harus
diperhatikan secara ketat.
3
Kegagalan induksi persalinan adalah indikasi dilakukanya seksio sesaria
Jika memungkinkan, induksi persalinan dilakukan di tempat dengan fasilitas seksio
sesaria
2.3 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI INDUKSI PERSALINAN 3,4
2.3.1 Indikasi induksi persalinan
Abruptio plasenta
Korioamnionitis
Kematian janin dalam rahim
Hipertensi dalam kehamilan
Preeklampsia, eklampsia
Ketuban pecah dini
Kehamilan post-term
Kondisi medis maternal, seperti diabetes mellitus,penyakit ginjal,penyakit
paru kronis,hipertensi kronis, sindrom antiphospholipid
Kelainan fetal, seperti perkembangan janin terganggu, oligohiramnion,dll.
2.3.2 Kontraindikasi induksi persalinan
Vasa previa atau plasenta previa totalis
Janin letak lintang
Prolaps tali pusat
Pernah melakukan persalinan SC
Makrosomia
Kehamilan multifetal
Kelainan anatomi panggul
Infeksi herpes genitalis aktif
2.4 PEMERIKSAAN SEBELUM INDUKSI PERSALINAN
Pemeriksaan umur kehamilan dan factor risiko yang ada pada ibu dan juga bayi sangat
penting dilakukan untuk evaluasi dan konseling sebelum dimulainya pematangan servik
4
ataupun induksi persalinan. Pada pematangan serviks dan induksi persalinan dilakukan juga
pemeriksaan servik, pelvis, besar fetus, dan presentasi. Monitor denyut jantung janin dan
kontaksi uterus harus diperhatikan selama dilakukanya induksi persalinan. 3,4
Induksi persalinan pada kehamilan post term harus ditegakkan terlebih dahuli diagnosis
kehamilannya. Umur kehamilan dan perkiraan hari kelahiran ditentukan dengan rumus
Naegele. Meskipun kemungkinannya adalah 10% dari seluruh kehamilan, sebagian
diantaranya mungkin bukan benar-benar postterm karena kekeliruan menentukan usia
kehamilan. Hal ini mungkin disebabkan karena kekeliruan mengemukakan tanggal haid yang
terakhir, siklus haid yang tidak teratur dan siklus haid yang terlampau panjang. 1,2,6
Menegakkan diagnosis kehamilan postterm bukan merupakan hal yang mudah.
Banyak metode pemeriksaan umur kehamilan dan kesejahteraan janin yang diajukan tapi
belum ada hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan yang berkali-kali
tidak praktis, mahal, terkadang subjektif, mempunyai nilai positif dan negatif palsu serta
memerlukan kehandalan pemeriksa. Namun nilai diagnosisnya akan lebih baik jika
pemeriksaan itu dilakukan bersama-sama. 7,8
Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung
melebihi 42 minggu (294 hari). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menilai
umur kehamilan, yaitu dengan berdasarkan perhitungan haid terakhir dengan rumus naegle,
mengetahui denyut jantung janin, gerak janin dan USG.
a. Berdasarkan haid terakhir
Menilai umur kehamilan postterm kadang sulit karena kebanyakan wanita tidak
mengetahui hari pertama haid terakhir (HPHT) dan siklus haid yang tidak teratur. Umur
kehamilan berdasarkan HPHT dapat dihitung dengan menggunakan rumus Naegele
(tanggal +7 / bulan –3 / tahun +1) jika siklus haid teratur.1,6.
b. Denyut jantung janin
Denyut jantung janin mulai terdengar pada umur kehamilan 19-20 minggu dengan
stetoskop Laenec sementara dengan Doppler denyut jantung janin mulai didengar pada
umur kehamilan 12 minggu.1,9
c. Gerakan janin
Gerakan janin pertama kali dapat dirasakan pada umur kehamilan 18-20 minggu.
Gerakan ini akan bertambah intensitasnya secara bertahap.10
5
d. Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan USG usia kehamilan dapat ditentukan secara dini. Ukuran
biparietal distance (BPD) dan lingkar abdomen (abdominal perimeter / AP atau
abdominal sircumference / AC) janin yang tidak bertambah atau malah mengecil sangat
bernilai untuk mendiagnosa kehamilan postterm. USG menjadi gold standard untuk
menetapkan umur kehamilan terutama jika dilakukan pada trimester pertama. Sampai
umur kehamilan 12 minggu, pengukuran crown-to-rump length (CRL) memberikan
ketepatan taksiran persalinan ± 4 hari. Melewati umur kehamilan 12 minggu, CRL
tidak reliabel lagi dijadikan patokan. Pada umur kehamilan 14-20 minggu digunakan
patokan pengukuran diameter biparietal (BPD) dan femur length yang mempunyai
ketepatan taksiran persalinan ± 7 hari.11,12 Pada kasus ini ibu SCI menyangkal telah
melakukan USG.
2.5 PENATALAKSANAAN KEHAMILAN POST TERM
Yang terpenting dalam menangani kehamilan lewat waktu ialah menentukan keadaan janin,
karena setiap keterlambatan akan menimbukan resiko kegawatan. Bila dari penilaian
kesejahteraan janin ternyata kondisi janin masih baik maka dapat ditentukan tindakan
berikutnya yaitu, menunda 1 minggu persalinan sampai terjadi persalinan spontan dengan
menilai gerakan janin pada 3 hari berikutnya, dan bisa dilakukan induksi persalinan.
Berdasarkan Pedoman Diagnosis-Terapi dan Bagan Alur Pelayanan Pasien Lab./ SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD/RS Sanglah, Denpasar 2003.
Penatalaksanaan intrapartum tergantung dari hasil pengawasan kesejahteraan janin ( fetal
surveillance ) dan penilaian pelvic score ( PS )11:
a. Bila kesejahteraan janin baik ( USG dan NST baik ):
PS ≥ 5 → dilakukan oksitosin drip
PS < 5 → dilakukan pemantauan serial NST dan USG setiap 1 minggu sampai umur
kehamilan 44 minggu atau PS ≥ 5.
b.bila kesejahteraan janin mencurigakan.
PS ≥ 5 → dilakukan oksitosin drip dengan pemantauan KTG. Bila terdapat tanda-
tanda insufisiensi plasenta, persalinan diakhiri dengan seksio sesarea (SC).
PS < 5 → dilakukan pemeriksaan ulangan keesokan harinya
6
Bila hasilnya tetap mencurigakan → dilakukan OCT
-hasil OCT (+) dilakukan SC
-hasil OCT (-) dilakukan pemeriksaan serial sampai 44 minggu / PS ≥ 5
-hasil OCT meragukan dilakukan pemeriksaan OCT ulangan keesokan harinya.
Bila hasilnya baik → dilakukan pemeriksaan serial sampai 44 minggu / PS ≥ 5.
c.Bila kesejahteraan janin jelek (terdapat tanda-tanda insufisiensi plasenta), dilakukan seksio
sesarea.
2.5.1. Penilaian Kesejahteraan Janin
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengawasan kesejahteraan janin (fetal
survaillance) yang mana hal ini perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan lebih
lanjut kehamilan postterm.
a. Gerakan janin
Gerakan janin dapat mencerminkan kesejahteraan janin. Gerakan janin dapat ditentukan
secara subjektif ( normal rata- rata 7 kali / 20 menit ) atau objektif dengan tokografi NST
( normal rata – rata 10 kali / 20 menit ). Janin masih dianggap baik bila dirasakan
sedikitnya 10 gerakan / 12 jam. Hasil non reaktif apabila tidak terdapat gerakan janin
selama 20 menit pemeriksaan atau tidak terdapat akselerasi gerakan janin.Gerakan janin
akan berkurang 12 – 48 jam sebelum janin meninggal.5,6
b. Volume cairan amnion
Penilaian volume cairan amnion yang dilakukan dengan ultrasonografi pada berbagai
penelitian menunjukan bahwa kehamilan postterm dengan oligohidramion mempunyai
risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan tanpa oligohidramion. Hal ini
disebabkan adanya penekanan tali pusat akibat berkurangnya efek bantalan cairan amnion
pada oligohidramion.
Oligohidramion didefinisikan sebagai:
1. Pengukuran kedalaman kantung cairan amnion terbesar <2 cm (normal 2- 8 cm).
2. Indeks cairan amnion < 5 cm ( normal 5 –20 cm).
7
Penentuan volume cairan amnion berdasarkan indeks cairan amnion dianggap lebih baik
dibandingkan teknik pengukuran 1 kantung amnion.13
c.Pewarnaan mekonium pada cairan amnion
Pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion oleh janin masih dipakai sebagai indikator
keadaan insufisiensi plasenta dan hipoksia janin. Pewarnaan mekonium pada cairan amnion
dapat dinilai dengan pemeriksaan amnioskopi dan amniosentesis. Tetapi tidak tepat
menggunakan pemeriksaan ini sebagai skrining karena tidak semua kasus postterm dengan
pewarnaan mekonium berarti mengalami hipoksia. Hanya ± 30 – 40% kasus postterm
dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia. Selain itu
pemeriksaan ini sulit dilakukan pada pembukaan kurang dari 2 cm, sering terjadi false
negatif dan memerlukan pengalaman dari pemeriksa.11,12,
d. Penilaian denyut jantung janin (fetal heart rate)
Penilaian denyut jantung janin dapat dilakukan dengan dua cara :
1) Non Stress Test (NST)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan merekam terus menerus denyut jantung janin
menggunakan alat KTG selama 30 menit. Keadaan yang reaktif ditandai dengan
akselerasi denyut jantung janin > 15 dpm, sekurang – kurangnya 2 kali/15 menit.
Normalnya djj aterm 120 – 160 dpm. Denyut jantung janin yang ireguler sering
menunjukkan insufisiensi plasenta dan janin dalam keadaan asfiksia. Bradikardi dimana
denyut jantung janin < 110 dpm, merupakan keadaan yang berbahaya dan berhubungan
dengan hipoksia intrauterin sedangkan pada takikardi djj > 160 dpm disamping
merupakan tanda hipoksia, juga merupakan adanya infeksi atau reaksi simpatis. NST
merupakan pemeriksaan yang popular karena mudah dikerjakan tetapi tidak efektif untuk
pengawasaan intrauterin karena besarnya nilai negatif palsu ( 3,2 / 1000 ) dan positif
palsu ( 80 / 100 ). 11
2) Stress Test
Dasar pemeriksaan ini adalah pencatatan frekuensi denyut jantung janin untuk
mendeteksi asfiksia janin akibat kontraksi uterus sebagai rangsangan intermiten terhadap
janin. Pada tahap hipoksia akan timbul deselerasi selama kontraksi dan takikardi diluar
kontraksi. Dimana setiap kontraksi akan timbul reduksi sementara aliran darah pada
ruang interviler. Apabila cadangan oksigen fetoplasenter tidak cukup lagi akan ditemukan
8
denyut jantung janin yang patologis berupa takikardi persisten, deselerasi variabel,
deselerasi lambat dan deselerasi memanjang. Tes ini dapat dilakukan dengan oxytocin
challenge test ( OCT ) dan niplple stimulation contraction stress test ( NSCST ). OCT
disebut negatif jika tidak dijumpai deselerasi lambat, positif jika ada deselerasi lambat
pada ≥ 3 kontraksi uterus yang berturut-turut dan meragukan jika sekali-sekali timbul
deselerasi lambat / hanya terjadi bila ada kontraksi yang hipertonus atau dalam
pemantauan 10 menit meragukan ke arah positif atau negatif dan takikardi positif. OCT
meragukan maka harus dilakukan pemeriksaan ulangan 1 – 2 hari kemudian. OCT dapat
menunjukan keadaan gawat janin karena gangguan respirasi dengan angka ketepatan 50 –
70%. NSCST lebih praktis dan kurang invasif dibandingkan OCT tetapi mempunyai
kekurangan berupa kontraksi uterus yang berlebihan akibat hiperstimulasi. Untuk
mencegah hal ini stimulasi hanya dilakukan pada satu puting susu saja. Akurasi NSCST
ini sama dengan OCT.11,12
2.6 METODE PEMATANGAN SERVIKS DAN INDUKSI PERSALINAN
Selama beberapa tahun yang lalu, ada peningkatan kekhawatiran bahwa jika
serviks belum siap, tidak akan terjadi persalinan yang sukses. Berbagai sistem skoring
untuk penilaian serviks telah diperkenalkan. Pada tahun 1964, Bishop secara sistematis
mengevaluasi sekelompok wanita multi para untuk induksi elektif dan mengembangkan
sistem skoring servikal standar. Skor Bishop membantu mendeskripsikan pasien-pasien
yang memiliki kecenderungan untuk mencapai keberhasilan induksi. Lama persalinan
berhubungan terbalik dengan skor bishop; nilai 8 berarti kemungkinan besar persalinan
terjadi secara pervaginam. Skor bishop <6 biasanya membutuhkan metode pematangan
serviks sebelum penggunaan metode lain.5
Tabel 1. Skor Bishop untuk menilai kematangan serviks untuk induksi persalinan5
Faktor Skor
0 1 2 3
Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Pendataran (%) 0-30 40-50 60-70 80
Station -3 -2 -1 atau 0 +1 atau +2
9
Konsistensi kenyal Medium lunak -
Posisi posterior Medial anterior -
1. NON-FARMAKOLOGIS
A. Suplemen Herbal
Dengan pertumbuhan yang pesat dalam industri suplementasi herbal, tidak mengherankan
bila pasien pun membutuhkan informasi mengenai agen-agen alternatif yang digunakan
untuk induksi persalinan. Agen-agen yang umum digunakan meliputi minyak bunga mawar,
black haw, blue cohosh, dan daun raspberry merah. Meskipun minyak bunga mawar
merupakan terapi yang paling sering digunakan oleh bidan,6masih belum jelas apakah
substansi ini dapat mematangkan serviks atau menginduksi persalinan. Black haw yang
digambarkan memiliki efek uterotonika,13 digunakan untuk mempersiapkan wanita yang
sedang dalam persalinan. Black cohosh memiliki mekanisme aksi yang sama, sementara blue
cohosh dapat menstimulasi kontraksi uterus. Daun raspberry merah digunakan untuk
meningkatkan kontraksi uterus saat awal persalinan. Risiko dan manfaat agen-agen ini masih
belum diketahui karena kualitas bukti-bukti yang diperoleh didasarkan pada tradisi
penggunaan yang lama pada populasi tertentu7 dan laporan kasus yang berupa anekdot. Satu-
satunya kesimpulan yang bisa diperoleh saat ini adalah bahwa peranan terapi herbal dalam
pematangan serviks atau induksi persalinan masih belum jelas.14
B. Castor oil (minyak merica), Mandi Air Hangat, dan Enema
Castor oil, mandi air hangat, dan enema juga direkomendasikan untuk pematangan serviks
dan induksi persalinan. Mekanisme aksinya masih belum jelas. Castor oil (minyak merica)
merupakan ekstrak dari Riccinus communis dan terutama mengandung asam ricinoleat
mentah. Mekanisme pasti bagaimana minyak merica menstimulasi persalinan masih belum
diketahui. Senyawa ini dikenal dapat menstimulasi peristaltik usus dengan menghambat
absorpsi elektrolit meskipun mekanisme ini tidak berhubungan dengan induksi persalinan.
Kemungkinan besar ini merupakan suatu proses yang dimediasi oleh prostaglandin. Telaah
pustaka menunjukkan bahwa pernah dilakukan suatu studi yang lemah yang melibatkan 100
responden yang meneliti castor oil dibandingkan dengan tanpa terapi. Meskipun tidak
tampak adanya perbedaan dalam luaran obstetri maupun neonatus, semua wanita yang
10
mengkonsumsi castor oil dilaporkan merasa mual-mual. Banyak ahli obstetri dan bidan telah
menggunakan minyak merica yang dikombinasikan dengan enema dan meyakini bahwa ia
membantu inisiasi persalinan. Namun ini hanya diyakini sebagai mitos belaka dan sampai
saat ini, tidak ada bukti yang mendukung penggunaan ketiga modalitas terapi ini sebagai
metode yang sesuai untuk pematangan serviks dan induksi persalinan. 15,16
C. Hubungan Seksual
Hubungan seksual umumnya direkomendasikan untuk merangsang timbulnya awal
persalinan. Hal ini antara lain disebabkan karena hubungan seksual biasanya melibatkan
stimulasi puting dan payudara, yang dapat merangsang pelepasan oksitosin. Selain itu dengan
penetrasi, segmen bawah rahim distimulasi. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan
prostaglandin lokal. Cairan semen pria mengandung prostaglandin, yang bertanggung jawab
dalam proses pematangan serviks. Toth dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa
hubungan seksual dengan ejakulasi menyebabkan peningkatan konsentrasi prostaglandin
dalam mukus serviks sebanyak 10 sampai 50 kali lipat. Konsentrasi prostaglandin yang
tinggi tercatat dalam 2 sampai 4 jam setelah ejakulasi dan tetap terdeteksi selama lebih dari
12 jam. Orgasme pada wanita juga menyebabkan kontraksi uterus. Dari telaah Cochrane,
hanya ada satu studi pada 28 wanita yang menghasilkan sangat sedikit data yang bermanfaat,
sehingga peranan hubungan seksual sebagai metode untuk merangsang timbulnya persalinan
masih belum jelas. Pada keadaan plasenta previa, pecah ketuban, atau infeksi genital yang
aktif, hubungan seksual tidak dianjurkan baik pada kehamilan preterm maupun aterm.16
D. Stimulasi Payudara
Stimulasi payudara ini telah direkomendasikan sejak zaman Hipocrates dan diyakini dapat
merangsang timbulnya kontraksi uterus dan inisiasi persalinan.10Pemijatan payudara dan
stimulasi payudara tampaknya memfasilitasi pelepasan oksitosin dari kelenjar hipofisis
posterior. Teknik yang paling sering dilakukan yaitu pemijatan dengan lembut pada payudara
atau kompres hangat pada payudara selama satu jam, tiga kali sehari. Oksitosin dilepaskan,
dan banyak studi yang menunjukkan bahwa denyut jantung janin abnormal yang timbul
serupa dengan yang terjadi pada uji oksitosin pada kehamilan risiko tinggi. Rasio yang
abnormal ini mungkin disebabkan karena penurunan perfusi plasenta dan hipoksia janin. Dua
studi yang cukup lemah dilakukan pada tahun 1970an dan 1980an menunjukkan perbedaan
pada kedua kelompok intervensi, tetapi desain penelitian yang lemah menyebabkan buktinya
11
kurang adekuat untuk mendukung suatu kesimpulan bahwa stimulasi payudara merupakan
metode yang viabel dalam menginduksi persalinan.17,18,19
E. Akupungtur / Stimulasi Syaraf Transkutaneus
Akupungtur merupakan teknik insersi jarum yang sangat halus ke dalam lokasi tujuan
tertentu dengan harapan mencegah atau mengobati penyakit. Dalam sistem kedokteran Cina,
diyakini bahwa akupungtur menstimulasi saluran chi atau energi. Energi ini mengalir melalui
12 meridian, dengan titik-titik tujuan di sepanjang meridian ini. Masing-masing titik diberi
nama dan nomor dan dihubungkan dengan sistem organ atau fungsi spesifik.20
Dalam ilmu kedokteran Barat, diyakini bahwa akupungtur dan stimulasi syaraf
transkutaneus (TENS) dapat menstimulasi pelepasan prostaglandin dan oksitosin. Sebagian
besar studi yang melibatkan akupungtur desainnya lemah dan tidak memenuhi kriteria
analisis berdasarkan Cochrane. Dibutuhkan suatu uji klinik terkontrol (RCT) yang desainnya
baik diperlukan untuk mengevaluasi peranan akupungtur dan TENS dalam induksi
persalinan.21
F. Modalitas Mekanis
Semua modalitas mekanis bekerja dalam mekanisme aksi yang serupa disebut juga sebagai
bentuk penekanan lokal yang menstimulasi pelepasan prostaglandin.Risiko yang
berhubungan dengan metode ini meliputi infeksi (endometritis dan sepsis neonatus
dihubungkan dengan dilator osmotik alamiah), perdarahan, pecah ketuban, dan solusio
plasenta.
1. Dilator higroskopis
Dilator higroskopik menyerap endoserviks dan cairan pada jaringan lokal, menyebabkan
alat tersebut membesar dalam endoserviks dan memberikan tekanan mekanis yang
terkontrol. Produk yang tersedia meliputi dilator osmotik alamiah (misalnya Laminaria
japonicum) dan dilator osmotik sintetis (misalnya Lamicel). Keuntungan utama dalam
menggunakan dilator higroskopik ini meliputi penempatan pasien rawat jalan dan tidak
dibutuhkan pengawasan denyut jantung janin. Laminaria umumnya digunakan sebagai
metode standar pematangan serviks sebelum dilatasi dan kuretase. Teknik pemasangan
dilator higroskopik dijelaskan sebagai berikut :8
o Perineum dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.
12
o Gunakan pemeriksaan spekulum yang steril untuk melihat serviks, dilator
dimasukkan ke dalam endoservik, dengan ekornya diletakkan pada vagina
o Dilator secara progresif dimasukkan sampai endoservik ”penuh”
o Jumlah dilator yang digunakan dicatat dalam rekam medis
o Kassa steril diletakkan dalam vagina untuk menjaga posisi dilator
2. Balon
Alat balon memberikan tekanan mekanis secara langsung pada serviks saat balon diisi. Dapat
digunakan suatu kateter Foley (26 Fr) atau alat balon yang didesain secara khusus. Teknik
pemasangan dilator balon yaitu 22
Kateter dimasukkan ke dalam endoserviks melalui visualisasi langsung atau blind
dengan memastikan lokasi serviks dengan pemeriksaan vaginal toucher dan
mengarahkan kateter menelusuri tangan dan jari melalui endoserviks dan ke dalam
rongga potensial antara selaput ketuban dan segmen bawah rahim.
Balon diisi dengan 30 – 50 ml larutan fisiologis.
Balon mengalami retraksi sehingga terletak dalam muara interna.
Langkah-langkah tambahan :
Berikan tekanan dengan menambah berat pada ujung kateter.
1) Tekanan yang konstan : gantungkan 1 L cairan intravena ke ujung kateter dan
letakkan pada ujung tempat tidur.
2) Tekanan intermiten : sentakkan ujung kateter dua atau empat kali per jam
3) Infus cairan salin
Masukkan kateter dengan 40 ml air steril atau cairan salin. Infus cairan salin steril
pada kecepatan 40 ml per jam dengan menggunakan pompa infus. Lepaskan 6 jam
kemudian pada saat ekspulsi spontan atau pecah ketuban.
3) Infus prostaglandin E2
G. Metode Bedah
1. Stripping of the membranes
Stripping of the membranes dapat meningkatkan aktivitas fosfolipase A2 dan prostaglandin
F2α (PGF2 α) dan menyebabkan dilatasi serviks secara mekanis yang melepaskan
prostaglandin. Stripping pada selaput ketuban dilakukan dengan memasukkan jari melalui
ostium uteri internum dan menggerakkannya pada arah sirkuler untuk melepaskan kutub
13
inferior selaput ketuban dari segmen bawah rahim.22 Risiko dari teknik ini meliputi infeksi,
perdarahan, dan pecah ketuban spontan serta ketidaknyamanan pasien. Telaah Cochrane
menyimpulkan bahwa stripping of the membrane saja tidak menghasilkan manfaat klinis
yang penting, tapi apabila digunakan sebagai pelengkap, tampaknya berhubungan dengan
kebutuhan dosis oksitosin rata-rata yang lebih rendah dan peningkatan rasio persalinan
normal pervaginam.23
2. Amniotomi
Diduga bahwa amniotomi meningkatkan produksi atau menyebabkan pelepasan
prostaglandin secara lokal. Risiko yang berhubungan dengan prosedur ini meliputi tali pusat
menumbung atau kompresi tali pusat, infeksi maternal atau neonatus, deselerasi denyut
jantung janin, perdarahan dari plasenta previa atau plasenta letak rendah dan kemungkinan
luka pada janin.
Teknik amniotomi adalah sebagai berikut :22
Dilakukan pemeriksaan pelvis untuk mengevaluasi serviks dan posisi bagian terbawah
janin.
Denyut jantung janin diperiksa (direkam) sebelum dan setelah prosedur tindakan
dilakukan
Bagian terbawah harus sudah masuk panggul
Membran yang menutupi kepala janin dilepaskan dengan jari pemeriksa
Alat setengah kocher (cervical hook) dimasukkan melalui muara serviks dengan cara
meluncur melalui tangan dan jari (sisi pengait mengarah ke tangan pemeriksa
Selaput ketuban digores atau dikait untuk memecahkan ketuban
Keadaan cairan amnion diperiksa (jernih, berdarah, tebal atau tipis, mekonium)
Menurut telaah Cochrane, hanya ada dua uji terkontrol yang baik yang mempelajari
penggunaan amniotomi saja, dan buktinya tidak mendukung penggunaannya untuk induksi
persalinan.24
2. Farmakologis
A. Prostaglandin
Prostaglandin bereaksi pada serviks untuk membantu pematangan serviks melalui sejumlah
mekanisme yang berbeda. Ia menggantikan substansi ekstraseluler pada serviks, dan PGE2
14
meningkatkan aktivitas kolagenase pada serviks. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar
elastase, glikosaminoglikan, dermatan sulfat, dan asam hialuronat pada serviks. Relaksasi
pada otot polos serviks menyebabkan dilatasi. Pada akhirnya, prostaglandin menyebabkan
peningkatan kadar kalsium intraseluler, sehingga menyebabkan kontraksi otot
miometrium.25,26Risiko yang berhubungan dengan penggunaan prostaglandin meliputi
hiperstimulasi uterus dan efek samping maternal seperti mual, muntah, diare, dan demam.
Saat ini, kedua analog prostaglandin tersedia untuk tujuan pematangan serviks, yaitu gel
dinoprostone (Prepidil) dan dinoprostone inserts (Cervidil). Prepidil mengandung 0,5 mg gel
dinoproston, sementara Cervidil mengandung 10 mg dinoprostone dalam bentuk pessarium.
Teknik untuk memasukkan gel dinoprostone (Prepidil)27
1. Seleksi pasien :
Pasien tidak demam
Tidak ada perdarahan aktif pervaginam
Penilaian denyut jantung janin teratur
Pasien memberikan informed consent
Skor Bishop <4
2. Letakkan gel pada suhu ruangan sebelum dipasang, sesuai dengan instruksi pabrik.
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus 15 sampai 30 menit sebelum gel
dimasukkan dan dilanjutkan selama 30 sampai 120 menit setelah gel dimasukkan
4. Masukkan gel ke dalam serviks sesuai dengan arahan berikut :
Jika serviks belum mendatar, gunakan kateter endoserviks 20 mm untuk memasukkan
gel ke dalam endoserviks tepat di bawah ostium uteri internum
Jika pendataran serviks 50%, gunakan kateter endoserviks 10 mm
5. Setelah pemberian gel, pasien harus tetap berbaring selama 30 menit sebelum boleh
bergerak
6. Dapat diulangi setiap 6 jam, sampai 3 dosis dalam 24 jam
7. Nilai akhir pematangan serviks meliputi kontraksi uterus yang kuat, skor Bishop >8, atau
perubahan status ibu atau janin.
8. Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah 1,5 mg dinoprostone (3 dosis) dalam 24
jam
15
9. Jangan mulai pemberian oksitosin selama 6 sampai 12 jam setelah pemberian dosis
terakhir, untuk memperoleh onset persalinan spontan dan melindungi uterus dari
stimulasi yang berlebihan.
Teknik pemasangan dinoprostone pervaginam (Cervidil)28
1. Seleksi pasien
2. Penggunaan sejumlah kecil lubrikan yang mengandung air, letakkan di forniks posterior
dari serviks. Sementara alat tersebut menyerap kelembaban dan cairan, ia melepaskan
dinoprostone dalam kecepatan 0,3 mg per jam selama 12 jam
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinyu mulai 15 sampai 30
menit sebelum pemberian. Karena hiperstimulasi dapat terjadi sampai sembilan setengah
jam setelah pemberian, denyut jantung janin dan aktivitas uterus harus dimonitor sejak
pemberian sampai 15 menit setelah dilepaskan.
4. Setelah insersi, pasien harus tetap berbaring selama 2 jam
5. Lepaskan insersi dengan mendorong talinya setelah 12 jam, saat fase aktif dimulai, atau
jika terjadi hiperstimulasi uterus.
Telaah Cochrane memeriksa 52 penelitian yang didesain dengan baik yang menggunakan
prostaglandin untuk pematangan serviks atau induksi persalinan. Dibandingkan dengan
plasebo (atau tanpa terapi), penggunaan prostaglandin vagina meningkatkan kecenderungan
bahwa persalinan pervaginam dapat terjadi dalam waktu 24 jam. Sebagai tambahan, rasio
seksio sesaria dapat dibandingkan pada semua penelitian. Satu-satunya kelemahannya adalah
peningkatan rasio hiperstimulasi uterus dan perubahan denyut jantung janin yang
menyertainya.16
B. Misoprostol
Misoprostol (Cytotec) merupakan PGE sintetis, analog yang ditemukan aman dan tidak
mahal untuk pematangan serviks, meskipun tidak diberi label oleh Food and drug
administration di Amerika Serikat untuk tujuan ini. Penggunaan misoprostol tidak
direkomendasikan pada pematangan serviks atau induksi persalinan pada wanita yang pernah
mengalami persalinan dengan seksio sesaria atau operasi uterus mayor karena kemungkinan
terjadinya ruptur uteri. Wanita yang diterapi dengan misoprostol untuk pematangan serviks
atau induksi persalinan harus dimonitor denyut jantung janin dan aktivitas uterusnya di
16
rumah sakit sampai penelitian lebih lanjut mampu mengevaluasi dan membuktikan keamanan
terapi pada pasien.Uji klinis menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberian interval dosis
25 mcg intravagina setiap empat sampai enam jam.17Dosis yang lebih tinggi atau interval
dosis yang lebih pendek dihubungkan dengan insidensi efek samping yang lebih tinggi,
khususnya sindroma hiperstimulasi, yang didefinisikan sebagai kontraksi yang berakhir lebih
dari 90 detik atau lebih dari lima kontraksi dalam 10 menit selama dua periode 10 menit
berurutan, dan hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal dua menit.
Ruptur uteri pada wanita dengan riwayat seksio sesaria sebelumnya juga mungkin
merupakan komplikasi, yang membatasi penggunaannya pada wanita yang tidak memiliki
skar uterus.17 Teknik penggunaan misoprostol vagina adalah sebagai berikut :18
1. Masukkan seperempat tablet misoprostol intravagina, tanpa menggunakan gel apapun
(gel dapat mencegah tablet melarut)
2. Pasien harus tetap berbaring selama 30 menit
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinyu selama minimal 3 jam
setelah pemberian misoprostol sebelum pasien boleh bergerak
4. Apabila dibutuhkan tambahan oksitosin (pitosin), direkomendasikan interval minimal 3
jam setelah dosis misoprostol terakhir
5. Tidak direkomendasikan pematangan serviks pada pasien-pasien yang memiliki skar
uterus
Telaah Cochrane menyimpulkan bahwa penggunaan misoprostol dapat menurunkan insidensi
seksio sesaria. Insidensi persalinan pervaginam lebih tinggi dalam 24 jam pemberian
misoprostol dan menurunkan kebutuhan oksitosin (pitosin) tambahan.18
Telaah Cochrane menurut grup Pregnancy and Childbirth mengidentifikasikan 26 uji
klinis tentang misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi persalinan atau keduanya.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa misoprostol lebih efektif daripada prostaglandin E2agar
terjadi persalinan pervaginam dalam 24 jam dan mengurangi kebutuhan dan jumlah total
oksitosin tambahan. Meskipun dalam penelitian ini dinyatakan bahwa misoprostol
dihubungkan dengan insidensi hiperstimulasi uterus yang lebih tinggi dan cairan amnion
kehijauan (meconium staining), tetapi komplikasi ini biasanya dijumpai dengan dosis
misoprostol yang lebih tinggi (>25μg). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa
17
paparan misoprostol intrapartum (atau agen pematangan serviks prostaglandin lain)
menimbulkan efek samping jangka panjang terhadap janin yang lahir tanpa gawat janin.
ACOG Committee on Obstetric Practice menyatakan bahwa tablet misoprostol
intravaginal efektif dalam induksi persalinan pada wanita hamil dengan serviks yang belum
matang. Komite ini menekankan bahwa hal-hal berikut ini sebaiknya dilakukan untuk
meminimalkan risiko hiperstimulasi uterus dan ruptur uteri pada pasien-pasien yang
menjalani pematangan serviks atau induksi persalinan pada trimester ketiga, yaitu :
1. Jika misoprostol digunakan untuk pematangan serviks atau induksi persalinan pada
trimester ketiga, dipertimbangkan pemberian dosis awal seperempat tablet 100 μg
(sekitar 25 μg).
2. Dosis sebaiknya tidak diberikan lebih sering daripada setiap 3-6 jam.
3. Oksitosin seharusnya tidak diberikan kurang dari 4 jam setelah dosis misoprostol
terakhir.
4. Misoprostol sebaiknya tidak digunakan pada pasien bekas SC atau bekas operasi uterus
mayor.
C. Oksitosin
Oksitosin merupakan agen farmakologi yang lebih disukai untuk menginduksi persalinan
apabila serviks telah matang. Konsentrasi oksitosin dalam plasma serupa selama kehamilan
dan selama fase laten dan fase aktif persalinan, namun terdapat peningkatan yang bermakna
dalam kadar oksitosin plasma selama fase akhir dari kala II persalinan. Konsentrasi oksitosin
tertinggi selama persalinan ditemukan dalam darah tali pusat, yang menunjukkan bahwa
adanya produksi oksitosin yang bermakna oleh janin selama persalinan. Oksitosin endogen
diesekresikan dalam bentuk pulsasi selama persalinan spontan, hal ini tampak dalam
pengukuran konsentrasi oksitosin plasma ibu menit per menit.19,20
Seiring dengan perkembangan kehamilan, jumlah reseptor oksitosin dalam uterus
meningkat (100 kali lipat pada kehamilan 32 minggu dan 300 kali lipat pada saat persalinan).
Oksitosin mengaktifkan jalur fosfolipase C-inositol dan meningkatkan kadar kalsium
ekstraseluler, menstimulasi kontraksi otot polos miometrium. Banyak studi acak yang
terkontrol dengan penggunaan plasebo memfokuskan penggunaan oksitosin dalam induksi
persalinan. Ditemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah (fisiologis) dan dosis tinggi
(farmakologis) sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat. 19,20
18
Oksitosin dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja. Ia diabsorpsi oleh mukosa
bukal dan nasal . Jika diberikan per oral, oksitosin dengan cepat diinaktifkan oleh tripsin.
Rute intravena paling sering digunakan untuk menstimulasi uterus hamil karena pengukuran
jumlah indikasi yang diberikan lebih tepat dan dapat dilakukan penghentian obat secara
relatif cepat apabila terjadi efek samping.
Saat diabsorpsi, oksitosin didistribusikan dalam cairan ekstraseluler dan tidak berikatan
dengan protein. Dibutuhkan waktu 20-30 menit untuk mencapai kadar puncak plasma.
Interval waktu yang lebih singkat dapat memperpendek induksi persalinan, tetapi lebih
cenderung berhubungan dengan hiperstimulasi uterus dan gawat janin. Mekanisme oksitosin
adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler. Hal ini dicapai dengan
pelepasan deposit kalsium pada retikulum endoplasma dan dengan meningkatkan asupan
kalsium ekstraseluler. Aktivitas oksitosin diperantarai oleh reseptor membran spesifik yang
berpasangan dengan protein transduser dan efektor yang membawa informasi dalam sel.
Transduser oksitosin adalah guanosil trifosfat (GTP) binding protein atau protein G.
Kompleks reseptor oksitosin – protein G menstimulasi fosfolipase C (PLC). Fosfolipase C
secara selektif akan menghidrolisa fosfatidil inositol 4,5–bifosfat (PIP 2) untuk membentuk
inositol 1,4,5-trifosfat (IP3) dan 1,2-diasil gliserol. IP3 menyebabkan keluarnya kalsium dari
retikulum endoplasma yang meningkatkan konsentrasi kalsium sitoplasma. Peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler yang disebabkan karena lepasnya kalsium dan retikulum
endoplasma tidak adekuat untuk mengaktivasi sepenuhnya mekanisme kontraktil
miometrium dan kalsium ekstraseluler yang penting untuk aksi oksitosin yang adekuat.
Apanila tidak ada kalsium ekstraseluler, respon sel-sel miometrium terhadap oksitosin
menurun. Kompleks oksitosin–protein G membantu keluarnya kalsium dari retikulum
endoplasma dengan melakukan perubahan pada kanal kalsium, baik secara langsung maupun
melalui efek yang diperantarai IP3, menyebabkan influks kalsium ekstraseluler. Efek
oksitosin terhadap masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel miometrium tidak sensitif
terhadap nifedipin.
Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus melalui mekanisme yang bebas dari
konsentrasi kalsium intraseluler. Ditemukan bahw akonsentrasi Prostaglandin E (PGE)
danProstaglandin F (PGF) meningkat selama pemberian oksitosin. Oksitosin juga
menstimulasi produksi PGE dan PGF dari desidua manusia. Penemuan ini menunjukkan
19
adanya interaksi positif antara oksitosin dan prostaglandin sebagai tambahan terhadap aksi
uterotonika dan mungkin pelepasan prostaglandin oleh oksitosin perlu untuk mengifisienkan
kontraksi uterus selama persalinan.19,20
2.7 KOMPLIKASI KEHAMILAN POST TERM
Pada saat kehamilan terbentuk suatu sirkulasi uteroplasenter yang terdiri dari unit maternal
dan fetal (janin dan plasenta). Plasenta terbentuk saat umur kehamilan 16 minggu,
selanjutnya plasenta akan mengalami proses penuaan sampai janin lahir. Proses penuaan
tersebut dikompensasi dengan pertumbuhan villi trofoblas dan perluasan membran
vaskulosinsitial sehingga penyaluran nutrisi dan oksigen ke janin tetap memadai. Mekanisme
kompensasi itu berlangsung sampai usia kehamilan 38 minggu dimana fungsi plasenta
mencapai puncaknya dan selama itu proses penuaan plasenta tidak berpengaruh. Kemudian
fungsi plasenta akan mulai menurun secara bertahap terutama setelah umur kehamilan 42
minggu.5,6,8
Pada kehamilan postterm, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% dari 500-
700 ml/menit menjadi 250ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta sehingga terjadi
hipoksia lokal yang menyebabkan proses degenerasi plasenta berupa edema, deposit
fibrinoid, trombosis intervillus, infark villi dan jaringan fungsional plasenta akan berkurang.7
Pada kehamilan postterm dijumpai penurunan volume cairan amnion. Volume cairan
amnion pada kehamilan aterm ± 800 ml dan akan menurun menjadi ± 480 ml, 250 ml dan
160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu1. Penyebab penurunan volumenya belum diketahui
dengan pasti, diduga karena produksi urin fetal yang menurun. Volume cairan amnion < 200
ml dihubungkan dengan komplikasi pada janin seperti retardasi pertumbuhan janin, distress
pada janin termasuk keluarnya serta aspirasi mekonium.1,10
Pada kehamilan postterm terjadi penurunan produksi hormon – hormon seperti Human
Placenta Lactogen (HPL), Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan estriol. Apabila
kadarnya menurun, ini menunjukkan insufisiensi plasenta dan gawat janin.10
2.7 KOMPLIKASI INDUKSI PERSALINAN29,30,31
a. Hiperstimulasi tersebut dapat sebagai : takisistol dengan kontraksi > 5 kali dalam 10
menit, kontraksi > 90 detik. Hal tersebut dapat menurunkan aliran darah intervillous
karena rendahnya transfer O2 ke janin, sehingga mempengaruhi perubahan denyut
20
jantung janin. Kalau ada tanda fetal distress, resusitasi intra uterin standar harus
dilakukan, meliputi administer O2 dan memposisikan pasien miring ke kiri. Pemberian
pengobatan tokolitik dengan obat ß2-adrenergic (hexoprenaline 0,3 mcg/menit atau 250
mcg terbutalin single dose intravena atau subkutan) berhasil membuat kontraksi uterus
kembali normal dan membuat kembali normal denyut jantung janin. Kembali normalnya
kontraksi uterus dan denyut jantung janin biasanya dimulai dalam 5 menit pertama
setelah pemberian tokolitik.
b. Ruptur uterin : jarang terjadi kalau oksitosin digunakan secara tepat. Untuk
menurunkan risiko terjadi ruptur, hindari penggunaan oksitosin pada grande multipara,
monitor tekanan uterin internal pada pasien dengan riwayat seksio sesaria.
c. Risiko potensial yang berkaitan dengan amniotomi ialah terjadinya prolaps tali pusat,
korioamnionitis, penekanan tali pusat yang signifikan, dan rupturnya vasa previa. Untuk
menurunkan kesakitan pada janin akibat prolaps tali pusat, sebelum induksi, harus
dilakukan penilaian bagian apa yang berada pada pintu atas panggul saat engagement.
Spesialis kandungan dan bidan harus melakukan palpasi apakah terdapat tali pusat selama
pemeriksaan vaginal tussae (VT) atau tidak. Denyut jantung janin harus dinilai sebelum
dan segera setelah amniotomi. Amniotomi untuk induksi persalinan merupakan
kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV karena durasi dari rupturnya membran
merupakan faktor risiko untuk transmisi vertikal infeksi HIV. Amniotomi juga harus
dihindari jika kepala bayi besar.
d. Intoksikasi air
Dosis minimal efektif oksitosin harus dipakai untuk mencegah efek anti diuretic hormone
(ADH) pada dosis oksitosin tinggi. Gejala terjadi saat hiponatremia yaitu konsentrasi Na
plasma di bawah 120-125 mEq/L dan dapat meliputi mual, muntah, perubahan status
mental, kejang dan koma. Penurunan urin output merupakan tanda terjadinya intoksikasi
air. Intoksikasi air gejala ringan dapat diterapi dengan menghentikan cairan hipotonik dan
membatasi intak cairan. Kalau gejala lebih berat, koreksi hiponatremi dengan infus salin
kalau perlu.
e. Perdarahan dapat terjadi akibat stripping membran amnion pada plasenta previa atau
plasenta letak rendah yang tidak terdiagnosis.
21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : KS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 27 th
Status : Menikah
Agama : Hindu
22
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Gunaksa Dawan
Tanggal pemeriksaan : 23 Maret 2013
3.2 KELUHAN UTAMA
Hamil lewat waktu.
3.3 ANAMNESIS
Pasien masuk melalui poli kebidanan ke VK bersalin dengan mengeluhkan kehamilannya
telah lewat waktu. Keluhan seperti nyeri perut hilang timbul,riwayat keluar darah, lendir dan
air pervaginam disangkal. Gerak anak dirasakan masih baik. Denyut jantung bayi sudah
mulai diketahui sejak umur kehamilan 3 bulan. Menurut ibu , gerak anak sudah dirasakan
sejak umur kehamilan 4 bulan.
HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) : 1 Juni 2012
TP (Taksiran Persalinan) : 8 Maret 2013
Riwayat Menstruasi
Pasien pertama kali mendapatkan menstruasi (menarche) pada umur 13 tahun. Pasien
mengatakan bahwa haidnya teratur setiap bulan dan kurang lebih lamanya 6 hari dalam setiap
28 hari. Keluhan selama haid disangkal.
Riwayat Obstetri
1. 2005/Abortus/ 8 mg/kuret(+) , RS Bintang
2. 5 ½ thn/ perempuan/ RSUD Klungkung/ spontan/ 3500 gr
3. 4 thn/ laki-laki/ RS Bintang/ spontan/ 3450 gr
4. 1,5 thn/ perempuan/ RSUD Klungkung/ spontan/ 3500gr
5. ini
Riwayat KB
Pasien mengatakan tidak pernah menggunakan KB.
23
Riwayat Menikah
Pasien menikah pada umur 20 tahun. Saat ini pasien sudah menikah selama 7 tahun, menikah
sebanyak satu kali dengan suaminya yang sekarang.
Riwayat ANC (Antenatal Care)
Selama kehamilan ini, pasien teratur dalam mengontrol kehamilannya baik di spesialis
kandungan maupun bidan. Pasien pernah melakukan USG empat kali.
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit asma, diabetes mellitus, hipertensi, jantung, keganasan, dan jiwa disangkal.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat-obatan dan makanan disangkal
3.4 PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
Keadaan umum : baik Kesadaran : CM, E4V5M6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit Suhu tubuh : 36,5 0C
Tinggi badan : 153 cm Berat Badan : 65 kg
2. Status Lokalis
Kepala : Mata :anemia -/-, ikterus -/-, isokor
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur(-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : ~ status obstetri
Vagina : ~ status obstetri
Ekstremitas : oedema -/-
3. Status Obstetri
Pada mammae tampak hiperpigmentasi areola.
Pemeriksaan Luar (Abdomen) :
Inspeksi : tampak perut membesar disertai adanya striae gravidarum.
24
Auskultasi : denyut jantung terdengar paling keras di garis midline di inferior umbilikus,
dengan frekuensi 12 12 12, tidak terdapat his.
Palpasi : pemeriksaan Leopold didapatkan :
Leopold I. : Tinggi fundus uteri 3 jari bawah prosesus Xiphoideus (32 cm).
Teraba bagian bulat dan lunak kesan bokong.
Leopold II.: Teraba tahanan keras dan datar di kiri (kesan punggung).
LeopoldIII.: Teraba bagian bulat, keras, dan masih bisa digerakkan (kesan
kepala).
Leopold IV : Bagian bawah sudah masuk 4/5 bagian dari pintu atas panggul
Pemeriksaan dalam (vagina):
Vaginal toucher dilakukan pada pukul 10.00 WITA (23/3/13), didapatkan hasil :
Pø 1 jari efficement 25 %, ketuban (+), porsio lunak
teraba kepala, denominator belum jelas
penurunan Hodge II, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.
Evaluasi pelvic skor didapatkan skor 5
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
HGB : 11,7 g/dL
WBC : 10,8 x 103/uL
HCT : 34,0 %
PLT : 179 x 106/uL
Sedangkan pemeriksaan admission test untuk mengetahui kesejahteraan janin dilakukan
dengan hasil :
- Base line : 140-150
- Variabilitas : 5-6 bpm
- Akselerasi +
- Deselerasi -
- Gerak janin dirasakan sebanyak 11 kali dalam 10 menit
Kesan NST normal
3.6 DIAGNOSIS
25
G5P3013 UK 42-43 minggu T/H
Pbb :3100 gr
Ps : 5
3.7 PENATALAKSANAAN
Tx : MRS
NST baik
Pro drip oksitosin sesuai protap
Mx : tanda-tanda inpartu, vital sign, DJJ
KIE : pasien dan keluarga tentang keadaan janin dan rencana tindakan
3.8 PERJALANAN PENYAKIT
Tgl 24 Maret 2013
Dilakukan induksi dengan oksitosin drip seri I flash I, berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml
Dextrose 5% di mulai 8 tetes/mnt maksimal 40 tetes/mnt.
06.00 8 tetes/mnt, DJJ (+) 128 HIS (-)
06.15 12tetes/mnt DJJ (+) 129 HIS (-)
06.30 16tetes/mnt DJJ (+) 128 HIS (-)
06.45 20tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (-)
07.00 24tetes/mnt DJJ (+) 129 HIS (-)
07.15 28tetes/mnt DJJ (+) 129 HIS (-)
07.30 32tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (-)
07.45 36tetes/mnt DJJ (+) 129 HIS (-)
08.00 40tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (+) 3x/10’ selama 20”
VT : v/v taa, P Ø 2 cm, eff 30%, ket (+), letak kepala penurunan HodgeI I, tidak
teraba bagian kecil dan tali pusat
Ass : G5P3013 UK 42-43 minggu T/H
Tx : Induksi serial oksitosin di lanjutkan
Mx : Tanda-tanda inpartu, vital sign, DJJ
09.00 40tetes/mnt, DJJ (+) 145 HIS (-)
10.30 40tetes/mnt DJJ (+) 136 HIS (-)
26
Dilakukan induksi dengan oksitosin drip seri I flash II, berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml
Dextrose 5% dengan 40 tetes/mnt.
11.00 40tetes/mnt DJJ (+) 142 HIS (+) 2x/10’ selama 25-30”
11.30 40tetes/mnt DJJ (+) 146 HIS (-)
14.00 40tetes/mnt DJJ (+) 132 HIS (-)
14.30 40tetes/mnt DJJ (+) 135 HIS (-)
15.00 40tetes/mnt DJJ (+) 134 HIS (-)
15.30 40tetes/mnt DJJ (+) 135 HIS (-)
16.30 40tetes/mnt DJJ (+) 133 HIS (-)
17.30 40tetes/mnt DJJ (+) 136 HIS (-)
18.30 40tetes/mnt DJJ (+) 140 HIS (-)
20.00 40tetes/mnt DJJ (+) 129 HIS (-)
21.00 40tetes/mnt DJJ (+) 133 HIS (-)
22.00 40tetes/mnt DJJ (+) 148 HIS (-)
23.00 40tetes/mnt DJJ (+) 149 HIS (-)
24.00 40tetes/mnt DJJ (+) 126 HIS (-)
Tgl 25 Maret 2013
01.00 40tetes/mnt DJJ (+) 135 HIS (-)
02.00 40tetes/mnt DJJ (+) 140 HIS (-)
03.00 40tetes/mnt DJJ (+) 139 HIS (-)
04.00 40tetes/mnt DJJ (+) 150 HIS (-)
05.00 40tetes/mnt DJJ (+) 143 HIS (-)
06.00 40tetes/mnt DJJ (+) 138 HIS (-)
VT : v/v taa, P Ø 2 cm, eff 30%, ket (+), letak kepala penurunan Hodge II, tidak
teraba bagian kecil dan tali pusat
Ass : G5P3013 UK 42-43 minggu T/H
Tx : Induksi serial oksitosin di lanjutkan
Mx: Tanda-tanda inpartu, vital sign, DJJ
Dilakukan induksi dengan oksitosin drip seri II flash I, berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml
Dextrose 5% di mulai 8 tetes/mnt maksimal 40 tetes/mnt.
06.15 12tetes/mnt DJJ (+) 136 HIS (-)
27
06.30 16tetes/mnt DJJ (+) 140 HIS (-)
06.45 20tetes/mnt DJJ (+) 128 HIS (-)
07.00 24tetes/mnt DJJ (+) 129 HIS (-)
07.15 28tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (-)
07.30 32tetes/mnt DJJ (+) 128 HIS (-)
07.45 36tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (-)
08.00 40tetes/mnt DJJ (+) 135 HIS (-)
09.00 40tetes/mnt DJJ (+) 141 HIS (-)
09.30 40tetes/mnt DJJ (+) 136 HIS (-)
10.00 40tetes/mnt DJJ (+) 147 HIS (-)
10.30 40tetes/mnt DJJ (+) 134 HIS (-)
Dilakukan VT :: v/v taa, P Ø 2 cm, eff 30%
Teraba kepala, denominator belum jelas, penurunan Hodge II
Tidak teraba bagian kecil/tali pusat
Dilakukan induksi dengan oksitosin drip seri III flash II, berupa 5 IU oksitosin dalam 500 ml
Dextrose 5% dengan 40 tetes/mnt.
10.45 40tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (-)
11.00 40tetes/mnt DJJ (+) 135 HIS (-)
11.30 40tetes/mnt DJJ (+) 136 HIS (-)
12.00 40tetes/mnt DJJ (+) 130 HIS (-)
12.30 40tetes/mnt DJJ (+) 134 HIS (-)
13.00 40tetes/mnt DJJ (+) 136 HIS (-)
Follow Up
Tgl 24 Maret 2013
Pkl 06.00
S : keluhan (-), nyeri perut hilang timbul (+), keluar darah + lendir (-), keluar air ketuban (-),
gerak anak (+) baik
O : Status Present: T : 110/70 mmHg RR: 18 X/menit
Nadi : 74 x/menit Temperatur : 36,2 0 C
Status general: DBN
28
Status obstetri:
Abdomen: TFU: 3 jari bawah processus xiphoideus
Letak kepala, punggung kanan
DJJ (+) 131x/menit
Vagina : VT: v/v taa, P Ø 2 cm, eff 30%
Teraba kepala, denominator belum jelas, penurunan Hodge II
Tidak teraba bagian kecil/tali pusat
Ass : G5P3013 UK 42-43 minggu T/H
Terapi : Pasien mulai terpasang drip oksitosin seri I flash I sebanyak 5 IU
Pkl 11.00
Evaluasi: HIS (+) jarang, DJJ (+) 148x/menit,
VT: v/v taa, P Ø 2 cm, eff 30%, ket (+),
teraba kepala penurunan Hodge II, tidak teraba bagian kecil/tali pusat
Terapi: mengganti drip oksitosin seri I flash I yang telah habis dengan drip oksitosin seri
I flash II dengan 40 tetes/menit
Pkl 15.00
Evaluasi: HIS (+) jarang, DJJ (+) 135x/menit
VT: v/v taa, P Ø 2 cm, eff 30%, ketuban (+)
Teraba kepala penurunan Hodge II, tidak teraba bagian kecil/tali pusat
Tindakan: mengganti drip oksitosin seri I flash ke II yang telah habis dengan D5% kosongan
dengan 28 tetes/menit.
Tgl 25 Maret 2013
Pkl 05.30
S: nyeri perut hilang timbul (+), keluar darah (-), lendir (-), air (-). Gerak anak (+) baik.
O : Status Present: T : 110/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit Temperatur : 36 0 C
Status general: DBN
Status obstetri:
Abdomen: TFU: 3 jari bawah processus xiphoideus
29
Letak kepala, punggung kanan
DJJ (+) 138x/menit, HIS (-)
Vagina : VT: v/v taa, P Ø 2 cm, eff 35%, ketuban (+)
Teraba kepala, denominator belum jelas, penurunan Hodge II
Tidak teraba bagian kecil/tali pusat
Ass : G5P3013 UK 42-43 minggu T/H
Tindakan: terpasang drip oksitosin seri II flash I mulai 8 tetes/menit
Terapi:
Socef 2 x 1 mg
Bila drip gagal SC (Sectio Caesarea)
Mx : Tanda-tanda inpartu, vital sign, DJJ
Pk 15.00
His (+) kuat 3x/10 menit selama 35-40 detik
Djj (+) 148 x/menit
Gerak anak baik
VT : v/v taa, po lunak, pembukaan 4 cm, eff 50%
Ket (-) teraba kepala, penurunan hodge III
Ttb bagian kecil/tali pusat
Pk 17.00
His (+) kuat 4x/10 menit selama 40-45 detik
Djj (+) 145 x/menit
Gerak anak baik
VT : v/v taa, po lunak, pembukaan 7 cm, eff 80%
Ket (-) teraba kepala, penurunan hodge III
Ttb bagian kecil/tali pusat
Pk 18.00
Ibu mengeluh ingin seperti ingin BAB, dilakukan VT
VT : v/v taa, po lunak, pembukaan lengkap, eff 100%, Ket (-)
teraba kepala, denominator uuk depan, penurunan hodge III +
Ttb bagian kecil/tali pusat
Pimpin persalian.
30
Pk. 18.15
Bayi lahir spontan belakang kepala, tangis kuat AS 8-9. BBL 2900gr PB 50cm , jenis kelamin
laki-laki
Pk 18.20
Melakukan manajemen aktif kala III
Injeksi oksitosin 1 ampul
Peregangan tali pusat terkendali
Masase fundus uteri
Pk 18.30
Lahir plasenta, kesan lengkap. Kontraksi uterus baik, kemudian disuntikan metal ergometrin 1
ampul.
Pk. 18.45
Mengobservasi 2 jam post partum
Kontaksi uterus baik, TFU 2 jari bpst, perdarahan (+) 50 cc
TD 110/70mmHg
Nadi 80 x/menit
Tax 36,50C
Tx : IVFD RL + Oxcytocin 1amp
Socef 2 x 1gr
Mefinal 3 x 1
Metilat 3 x 1
Nulacta 1 x 1
26 Maret 2013 (pk 06.00)
S : keluhan (-), BAK +, BAB -,Flatus +, Mobilisasi +
O: TD 100/70 mmHG, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Tax 36o C
St. generalis : dbn
St. obs : abd : TFU 2 jari bpst, Kontraksi uterus baik
Vag : lochia + rubra, perdarahan aktif (-)
A: P4014 pspt B pp hr 1
P : IVFD RL 20 tpm
Socef 2 x 1gr
31
Mefinal 3 x 1
Metilat 3 x 1
Nulacta 1 x 1
BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut American College of Obstetricians ad Gynecologist (1997), postterm adalah
kehamilan 42 minggu penuh (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir
(HPHT), dengan asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah haid terakhir, pada kasus dihitung
dari tanggal HPHT maka umur kehamilan adalah 42-43 minggu sehingga menurut
American College of Obatetrician and Gynecologist maka kasus ini termasuk dalam
kehamilan posterm.
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT).
Pada kasus ini HPHT adalah pada tanggal 1 Juni 2013 sehingga dengan rumus Naegle
32
perkiraan partus adalah tanggal 8 Maret 2013, sedangkan ibu datang ke rumah sakit tanggal
24 Maret 2013 sehingga umur kehamilan ibu saat masuk ke rumah sakit adalah sekitar 42-
43 minggu. Dari anamnesis yang dilakukan terhadap ibu , denyut jantung bayi sudah mulai
diketahui sejak umur kehamilan 3 bulan yaitu saat periksa rutin di bidan, dimana bidan
menginformasikan langsung kepada ibu bahwa denyut jantung bayinya normal. Menurut
ibu , gerak anak sudah dirasakan sejak umur kehamilan 4 bulan, hal ini mungkin
dikarenakan bahwa ibu sudah pernah hamil sebelumbya sehingga pada kehamilan ini ibu
lebih peka merasakan gerak janinnya. Perkiraan umur kehamilan dengan USG sebenarnya
bisa dilakukan tetapi pada kasus ini karena kehamilan lebih dari 20 minggu penilaian dari
USG akurasinya kurang.
Pada kasus ini metode yang digunakan untuk mengetahui kesejahteraan janin adalah
dengan menilai secara objektif gerakan janin serta menilai denyut jantung janin dengan non
stress test. Gerakan janin secara objektif didapat 11 kali gerakan dalam 20 menit
pengukuran, sedangkan pengukuran denyut jantung janin dilakukan dengan menggunakan
NST karena pada meriksaan objektif tidak ditemukan kontraksi uterus dan dari subjektif
keluhan sakit perut belum dirasakan oleh penderita. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan
hasil sebagai berikut.
- base line : 140-150 bpm
- variability : 5-6 bpm
- Akselerasi : (+)
- Deselerasi : (-)
- Kesimpulan : AT normal
Sehingga dengan hasil penilaian tersebut disimpulkan kesejahteraan janin masih baik.
Menurut pedoman diagnosis dan terapi dari RS Sanglah jika kesejahteraan janin baik
sedangkan nilai pelvic score ≥5 maka dilakukan NST. Jika hasil NST baik maka dilakukan
induksi persalinan dengan drip oksitosin. Oksitosin merupakan agen farmakologi yang
lebih disukai untuk menginduksi persalinan apabila serviks telah matang. Konsentrasi
oksitosin dalam plasma serupa selama kehamilan dan selama fase laten dan fase aktif
persalinan, namun terdapat peningkatan yang bermakna dalam kadar oksitosin plasma
selama fase akhir dari kala II persalinan.
33
Seiring dengan perkembangan kehamilan, jumlah reseptor oksitosin dalam uterus
meningkat (100 kali lipat pada kehamilan 32 minggu dan 300 kali lipat pada saat persalinan).
Oksitosin mengaktifkan jalur fosfolipase C-inositol dan meningkatkan kadar kalsium
ekstraseluler, menstimulasi kontraksi otot polos miometrium. Banyak studi acak yang
terkontrol dengan penggunaan plasebo memfokuskan penggunaan oksitosin dalam induksi
persalinan. Ditemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah (fisiologis) dan dosis tinggi
(farmakologis) sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat. 19,20
Oksitosin dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja. Ia diabsorpsi oleh mukosa
bukal dan nasal . Jika diberikan per oral, oksitosin dengan cepat diinaktifkan oleh tripsin.
Rute intravena paling sering digunakan untuk menstimulasi uterus hamil karena pengukuran
jumlah indikasi yang diberikan lebih tepat dan dapat dilakukan penghentian obat secara
relatif cepat apabila terjadi efek samping.
Mekanisme oksitosin adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler. Hal
ini dicapai dengan pelepasan deposit kalsium pada retikulum endoplasma dan dengan
meningkatkan asupan kalsium ekstraseluler. Aktivitas oksitosin diperantarai oleh reseptor
membran spesifik yang berpasangan dengan protein transduser dan efektor yang membawa
informasi dalam sel. Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus melalui mekanisme yang
bebas dari konsentrasi kalsium intraseluler. Ditemukan bahw akonsentrasi Prostaglandin E
(PGE) danProstaglandin F (PGF) meningkat selama pemberian oksitosin. Oksitosin juga
menstimulasi produksi PGE dan PGF dari desidua manusia. Penemuan ini menunjukkan
adanya interaksi positif antara oksitosin dan prostaglandin sebagai tambahan terhadap aksi
uterotonika dan mungkin pelepasan prostaglandin oleh oksitosin perlu untuk mengifisienkan
kontraksi uterus selama persalinan.19,20 Tidak ditemukan adanya komplikasi pada bayi
maupun ibu.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy.In: William Obstetrics.
21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:729-42.
2. Arulkumaran S. Prolonged Pregnancy. In: James DK, Stee PJ, Weiner CP, Gonik B eds
High Risk Pregnancy. London:WB Sounders Company Ltd. 1996. p:217-28.
3. Suastika IM. Risiko Morbiditas dan Mortalitas Perinatal pada Kehamilan Postterm (tesis).
Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM / RSUP Sardjito Yogyakarta. 1997.
35
4. Adenia I, Piliang S, Roeshadi RH, tala MRZ. Bayi pada Kehamilan Lewat Waktu. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FK USU / RSUD Dr. Pirngadi-RSUP dr. Adam Malik
Medan.1999.
4. Priyono. Profil Persalinan Postterm di RS Sanglah periode 1 Januari 2000 – 31 Desember
2002(penelitian deskriptif). Denpasar: Bag./SMF Obgin FK Unud. 2003.
5. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kehamilan Lewat Waktu. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi
ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999. hal:317-20.
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy. In: William, Manual
of Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:418-20.
7. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Phisiological and Biochemical Processes of
Parturition. In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill
Companies.2001. p:251-87.
8. Barton JR. Prolonged Pregnancy. In: Clinical Manual Obstetric 2nd Edition. New York :
McGraw Hill Inc. 1993. p: 313-29.
9. Arias F. Prolonged Pregnancy in Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery.
2nd Edition. Mosby Year Book. 1993. p: 50 – 159.
10. Pedoman Diagnosis – Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar. 2003
11. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC, et al. Postterm Pregnancy. In: The Johns
Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2002. p: 118-9.
12. Wiknjosastro GH. Kemajuan dalam Pemantauan Janin. Bagian Obstetri dan Ginekologi.
FK UI. Jakarta. 1999
13. Edwards RK, Richards DS. Preinduction cervical assessment. Clin Obstet Gynecol
2000;43:440-6.
14. McFarlin BL, Gibson MH, O’Rear J, Harman P. A national survey of herbal preparation
use by nurse-midwives for labor stimulation. J Nurse Midwifery 1999;44:205-16.
15. Belew C. Herbs and the childbearing woman. Guidelines for midwives. J Nurse
Midwifery 1999; 44:231-52.
16. Adair CD. Nonpharmacologic approaches to cervical priming and labor induction. Clin
Obstet Gynecol 2000;43:447-54.
36
17. Kelly AJ, Kavanagh J, Thomas J. Castor oil, bath and/or enema for cervical priming and
induction of labour. Cochrane Database Syst Rev 2002;2: CD003099. Abstract.
18. Benrubi GI. Labor induction : historic perspectives. Clin Obstet Gynecol 2000;43:429-
32.
19. Beal MW. Acupuncture and acupressure. Applications to women’s reproductive health
care. J Nurse Midwifery 1999;44:217-30.
20. Smith CA, Crowther CA. Acupuncture for induction of labour. Cochrane Database Syst
Rev 2002;2:CD002962. Abstract.
21. Foong LC, Vanaja K, Tan G, Chua S. Membrane sweeping in conjunction with labor
induction. Obstet Gynecol 2000;96:539-42.
22. Witter FR. Prostaglandin E2 preparations for preinduction cervical ripening. Clin Obstet
Gynecol 2000;43:469-74.
23. Arias F. Pharmacology of oxytocin and prostaglandins. Clin Obstet Gynecol
2000;43:455-68.
24. Schreyer P, Sherman DJ, Ariely S, Herman A, Caspi E. Ripening the highly unfavorable
cervix with extra-amniotic saline instillation or vaginal prostaglandin E2 application.
Obstet Gynecol 1989;73: 938-42.
25. American College of Obstetricians and Gynecologists. Induction of labor with
misoprostol. ACOG committee opinion 228. Washington, D.C.: ACOG, 1999:2.
26. Vengalil SR, Guinn DA, Olabi NF, Burd LI, Owen J. A randomized trial of misoprostol
and extra-amniotic saline infusion for cervical ripening and labor induction. Obstet
Gynecol 1998;91(5 part 1):774-9.
27. Zeeman GG, Khan-Dawood FS, Dawood MY. Oxytocin and its receptor in pregnancy
and parturition: current concepts and clinical implications. Obstet Gynecol 1997;89(5 pt
2):873-83.
28. Stubbs TM, Oxytocin for labor induction. Clin Obstet Gynecol 2000;43:489-94.
29. Sanchez L,MD, Ramos,MD, Induction of Labor.In: Obstetrics and Gynecology Clinics
of North America.Florida:Elsevier Saunders Company Ltd.2005.p:181-200
30. ACOG Practice Bulletin No. 107. Induction of Labour. Ammerican College of
Obstetricians and Gynecologists. Obstet Gynecol 2009;114:386-97
31. RCOG. Induction of Labour. Royal College of Obstetricians and Gynecologists. 2008
37
38