bab i

3
BAB I PENDAHULUAN Kontraktur didefinisikan sebagai pengikatan permanen kulit yang dapat mempengaruhi otot dan tendon yang berada dibawahnya yang akan membatasi ruang gerak, serta kemungkinan defek maupun degenerasi saraf di daerah tersebut. Keterbatasan ruang gerak sendi karena kerusakan yang bersifat anatomis, fisiologis, maupun neurologis dapat berakibat pada pemendekan jaringan ikat sekitar sendi tersebut. Kontraktur terjadi ketika jaringan ikat normal yang bersifat elastis digantikan oleh jaringan fibrous yang tidak elastis. Keterbatasan gerakan yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat multipel dan komplikatif secara medis. Namun pada umumnya sebagian besar restriksi pada sendi ditandai oleh pemendekan jaringan ikat sendi dan bersifat reversibel jika mendapat perawatan yang tepat. Untuk merencanakan perawatan yang efektif harus diperhatikan bahwa pemendekan jaringan ikat sendi bukan merupakan penyebab dari kontraktur, tetapi lebih merupakan konsekuensi lanjutan dari etiologi perimernya. Oleh karena itu perawatan harus difokuskan pada sebab utama terjadinya kontraktur. 1

Upload: nurizaldo-ginus

Post on 24-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Kontraktur didefinisikan sebagai pengikatan permanen kulit yang dapat

mempengaruhi otot dan tendon yang berada dibawahnya yang akan membatasi

ruang gerak, serta kemungkinan defek maupun degenerasi saraf di daerah

tersebut. Keterbatasan ruang gerak sendi karena kerusakan yang bersifat anatomis,

fisiologis, maupun neurologis dapat berakibat pada pemendekan jaringan ikat

sekitar sendi tersebut.

Kontraktur terjadi ketika jaringan ikat normal yang bersifat elastis

digantikan oleh jaringan fibrous yang tidak elastis. Keterbatasan gerakan yang

terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat multipel dan

komplikatif secara medis. Namun pada umumnya sebagian besar restriksi pada

sendi ditandai oleh pemendekan jaringan ikat sendi dan bersifat reversibel jika

mendapat perawatan yang tepat. Untuk merencanakan perawatan yang efektif

harus diperhatikan bahwa pemendekan jaringan ikat sendi bukan merupakan

penyebab dari kontraktur, tetapi lebih merupakan konsekuensi lanjutan dari

etiologi perimernya. Oleh karena itu perawatan harus difokuskan pada sebab

utama terjadinya kontraktur.

Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan salah satu penyebab dari

kontraktur yang memiliki definisi penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya

ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,

kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO)

pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak

224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari

benua asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data

didapatkan india merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta

1

Page 2: BAB I

terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006

tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO).

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan

pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe dengan indeks bakteri

(IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe dengan IB kurang dari 2+.

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang

dimaksud dengan kusta pausibasiler adalah kusta dengan Basil Tahan Asam

(BTA) negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, sedangkan apabila BTA positif

maka akan dimasukan dalam kusta multibasiler.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman

penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik

yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, umur, dan

kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.

Morbus Hansen pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu

lesi yang diawali dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak

gatal, kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan

mengeluh kesemutan/ baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan

anggota badan yang berlanjut pada kekakuan sendi. Rambut alis pun dapat rontok.

Terapi yang di programkan untuk pemberantasan morbus hansen di

seluruh dunia termasuk indonesia adalah obat yang di kelompokan pada regimen

Multi Drug Treatment (MDT) antara lain diaminodiphenil sulfon, rifampisin,

klofazimin (lampren). Prognosis untuk morbus hansen pada umumnya baik, hanya

jika pasien mampu mengikuti program secara teratur.

2