bab i
DESCRIPTION
menjelaskan tntang morfin, dan opiodTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan beberapa efek
farmakodinamik yang lain, golongan obat ini biasa digunakan untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri
Tetapi semua analgesic opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk
mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan
mendapat analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Dasar penyusunan makalah ini untuk menjabarkan lebih jelas tentang
morfin dan opioid/opiat, sehingga dapat dipelajari khususya oleh seorang perawat
dan umumnya untuk kita semua.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Apa yang dimaksud morfin dan opioid?
2. Bagaimana klasifikasi dari opioid?
3. Bagaimana mekanisme kerja morfin dan opioid?
4. Bagaimana farmakodinamika, farmakokinetika morfin dan opioid?
5. Bagaimana sedian dan posologi morfin dan opioid?
6. Bagaimana efek samping morfin dan opioid?
7. Bagaimana indikasi, kontraindikasi morfin dan opioid?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Menjelaskan yang dimaksud morfin dan opioid
2. Menjelaskan klasifikasi dari opioid
3. Menjelaskan mekanisme kerja morfin dan opioid
4. Menjelaskan farmakodinamika, farmakokinetika morfin dan opioid
5. Menjelaskan sedian dan posologi morfin dan opioid
6. Menjelaskan efek samping, indikasi, kontraindikasi morfin dan opioid
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Morfin adalah derivat yang paling paten dari opium. Agens ini bekerja
pada sistem saraf pusat (SSP) sebagai depresan, kantuk, depresi pernapasan dan
depresi refleks batuk, dan sebagai stimulan SSP, berakibat muntah, miosis,
konvulsi. Agens ini merangsang otot- otot, berakibat spasme otot gastrointestinal,
saluran biliaris, dan saluran kemih. Agens ini mengurangi motilitas usus dan
mengakibatkan kontipasi. (jan tambayong, 2001 hal. 128)
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotika yang
sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan
dan nyeri pasca pembedahan.
2.2. Klasifikasi
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan beberapa efek
farmakodinamik yang lain, golongan obat ini biasa digunakan untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgesic opioid menimbulkan adiksi,
maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan
dengan tujuan mendapat analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya
adiksi, yang termasuk golongan obat opioid adalah:
1) Obat yang berasal dari opium – morfin
2) Senyawa semi sintetik morfin
3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor
tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Dahulu digunakan
istilah analgesic narkotik untuk analgesic kuat yang mirip morfin. Isitlah ini berasal
dari kata narcosis, Bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama
ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan
reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis
2
dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin
maka penggunaan istilah analgesic narkotik untuk pengertian farmakologik tidak
sesuai lagi. Peptida opioid endogen telah diidentifiksikan tiga jenis peptide yang
terdapat dalam otak dan jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid, yakni
enkefalin, endorifin, dan dinorfin. Peptide opioid endogen tersebut diperkirakan
berperan pada transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesic belum
jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari precursor polipeptida yang berada secara
genetic dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas. Precursor ini disebut
preonkefalin A, pro-opiomelanokortin ( POMC) dan prodinorfin ( pro-enkefalin B).
masing-masing frekursor mengandung sejumlah peptida yang aktif secara biologi,
baik secara opioid maupun non opioid yang telah dideteksi dalam darah dan
berbagai jaringan.
2.3. Reseptor Opioid
Konsep reseptor yang berinteraksi dengan berbagai senyawa untuk
menimbulkan analgesia sudah diajukan sejak lama, akan tetapi baru sejak tahun
1973 reseptor opioid diidentifikasi dan dapat ditentukan distribusi anatmisnya.
Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan
potensi analgetik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik.
Telah terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai
jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid. Resptor µ
(mu) diperkirakan memperantarai efek analgetik mirip morfin, eufria, depresi
napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor k (kappa) diduga
memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazsin, sedasi serta miosis
dan depresi napas yang tidak sekuat agonis µ, reseptor σ (sigma) diperkirakan
berhubungan dengan efek psikotmimetik yang ditimbulkan oleh pentazosin dan lain
agnis – antagonis. Selain itu, disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ
(delta) yang seletif terhadap enkepalin dan reseptor ɛ (epsilon) yang sangat seletif
terhadap beta-endrfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat
bukti-bukti yang menunjukan bahwa reseptor δ (delta) memegang peran dalam
menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari penelitian
padatikus didapatkan bahwa reseptor δ (delta) dihubungkan dengan berkurangnya
3
frekuensi napas, sedangkan reseptor µ (mu) dihubungkan dengan berkurangnya
tidal volume. Reseptor µ (mu) ada dua jenis yaitu µ1, yang hanya didapatkan di SSP
dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, pengelepasan prolactin, hipotermia
dan katalepsi. Sedangkan reseptor µ2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume
dan bradikardia. Analgesic yang berperan pada tingkat spinal diduga berinteraksi
dengan reseptor δ dan к.
Meskipun dari penelitian didapatkan bahwa reseptor yang berbeda
memperantarai efek yang berbeda, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan peran reseptor secara pasti. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi
dengan semua jenis reseptor, akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat
bekerja sebagai agonis, agonis parsial atau antagonis terhadap masing-masing
reseptor. (tabel 14-1). Nalokson sebagai antagonis opioid diketahui berikatan kuat
dengan hampir semua reseptor kecuali beberapa jenis reseptor σ. Walaupun
demikian, afinitas nalokson terhadap reseptor µ umumnya 10 kali lebih kuat
dibandingkan dengan terhadap reseptor δ dan к. Atas dasar kerjanya pada reseptor
opioid maka obat-obatan yang tergolong opioid dibagi menjadi:
1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis
terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor к (contoh: morfin).
2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua
reseptor (contoh: nolokson).
3. Opioid dengan kerja campur:
a. Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada
beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada
reseptor lain (contoh: nalorfin, pentazosin)
b. Agonis parsial (contoh: buprenorfin)
4
Tabel 14-1. Ringkasan Kerja Prototip Agonis, Antagonis, Agonis-Antagonis pada
Reseptor Opioid
SenyawaMacam Reseptor
µ δ К
Morfin ++ + +
Fentanil +++ + +
Pentazosin - TA ++
Butorfanol - TA ++
Malbufin - TA ++
Buprenorfin P TA -
Nalokson - - -
Nalorfin - TA +
Keterangan:
+ : Agonis
- : Antagonis
P : Agonis parsial
TA : Data tidak ada / tidak lengkap
2.4. Morfin
A. Asal, Kimiawi, dan SAR
Opium atau candu adalah getah papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:
1) Golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein
2) Golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papeverin.
Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai
derviat semisintetik (tabel 14-2). Hubungan kimia dan efek farmakodinamik
masing-masing derviat akan dibicarakan dibawah ini.R1-O pada morfin berupa
gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut sebagai OH fenlolik;
sedangkan OH pada R2-O bersifat alkoholik sehingga disebut sebagai OH
5
alkoholik. Atom hydrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai
gugus membentuk berbagai alkaloid opium.
Efek farmakologik masing-masing derviat secara kualitatif sama
tetapi berbeda secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas
berhubungan dengan efek analgetik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi.
Gugus OH alkoholik bebas merupakan lawan efek gugusan OH fenolik. Adanya
kedua gugus OH bebas disertai efek konvulsif dan efek emetic yang tidak begitu
kuat. Substitusi R1 mengakibatkan berkurangnya efek analgetik, efek depresi
napas dan efek spasmodic terhadap usus; sebali8knya terjadi penambahan efek
stimulasi SSP. Substitusi pada R2 mengakibatkan bertambahnya efek konvulsif
dan berkurangnya efek kenetik.
Tabel 14-2. Struktur Kimia Opioid dan Antagonis Opioid
Nama ObatPosisi dan Radikal Kimia Perubahan
Lain+3* 6* 17*
Morfin -OH -OH -CH3 -
Heroid -OCOCH3 -OCOCH3 -CH3 -
Hidromorfon -OH =O -CH3 (1)
Oksimorfon -OH =O -CH3 (1).(2)
Levorfanol -OH -H -CH3 (1).(3)
Lefalorfan -OH -H -CH2CH=CH2 (1).(3)
Kodein -OCH3 -OH -CH3 -
Hidrokodon -OCH3 =O -CH3 (1)
Oksikodon -OCH3 =O -CH3 (1).(2)
Nalorfin -OH -OH -CH2CH=CH2 -
Nalokson -OH =O -CH2CH=CH2 (1).(2)
Naltrekson -OH =O -CH2 (1).(2)
Butorfanol -OH -H -CH2 (2).(3)
Nalbufin -OH -OH -CH2 (1).(2)
Tebain -OCH3 -OCH3 -CH3 -
6
Keterangan:* Nomor 3, 6, dan 17: menunjukan posisi dalam molekul morfin sebagai terlihat
pada gambar 14-1
+ : perubahan lain pada molekul; morfin adalah sebagai berikut:
(1) : ikatan tunggal sebagai ganti ikatan rangkap C7 dan C8
(2) : gugus OH ditambahkan pada C14
(3) : tidak ada atom oksigen antara C4 dan C5
B. Mekanisme Kerja
Morfin bekerja dalam banyak sistem organ. Kita akan membahas
berbagai kerja morfin tersebut satu demi satu. Kerja ini kadang- kadang
digunakan untuk tujuan terapeutik dan kadang- kadang dianggap efek samping.
Oleh karena itu, mempelajari kerja- kerja yang penting ini berarti anda telah
mempelajari baik mengenai penggunaan trapeutik maupun efek samping dalam
saat bersamaan. Mekanisme kerja morfin pada beberapa sistem organ adalah
sebagai berikut.
a. Sistem saraf pusat
Pada sebagian besar orang, morfin menimbulkan rasa kantuk dan
sedasi selain mengurangi kesadaran pasien akan nyeri yang di alami. Dosis
awal morfin sering menyebabkan mual, ini sering terjadi pada pasien
ambulatori daripada pasien yang terbaring di tempat tidur. Efek ini
disebabkan oleh stimulasi langsung zona pemicu kemoreseptor
(chemoreseptor triger zone) dam medula oblongata dan peningkatan
sensitivitas vestibular. Morfin merupakan supresan batuk yang efektif
karena mempunyai efek langsung dalam medula. Morfin tidak digunakan
untuk tujuan ini, tetapi kodein (agonis lain) yang serng diesepkan untuk
kerja supresif batuknya.
7
b. Mata
Morfin menyebabkan kontraksi pupil akibat kerja langung pada
nukleus otak saraf okulomotor (edinger-westphal). Inilah yang disebut pupil
pinpoint klasik, yang anda dengar dalam ruang emergensi.
c. Pernapasan
Akibat kerja langsung pada SSP, morfin menyebabkan depresi
pernapasan. Semua fase aktivitas pernapasan mengalami depresi, termasuk
kecepatan dan volume menit. Dorongan hipoksik untuk bernapas an juga
mengalami depresi.
d. Kardiovaskular
Morfin dosis trapeutik pada dasarnya tidak mempunyai efek pada
sistem kardiovaskular.
e. Gastrointestinal
Morfin meningkatkan tonus istirahat otot polos seluruh saluran
GI. Hal tersebut menyebabkan penurunan gerakan isi lambung dan usus,
yang dapat menimbulkan spasme (nyeri) dan kontipasi. Morfin juga
menyebabkan spasme otot polos saluran empedu.
f. Genitourinari
Genitourinari sama dengan saluran GI, morfin meningkatkan
tonus dan menimbulkan spasme otot polos saluran genitourinaria. Keadaan
tersebut menyebabkan retensi urin.
(Janet L.Stringer 2006, hal 160)
C. Kegunaan
Morfin diberikan sebagai pre-medikasi bedah, mengatasi nyeri pasca-
bedah, nyeri penyakit terminal seperti kanker, dan MCI. Pada MCI merupakan
obat pilihan untuk mengatasi nyerinya, pemberian per-oral kerjanya selama
empat jam, jadi merupakan obat pilihan untuk mengatasi nyeri pada penyakit
8
terminal. Pemberiannya harus teratur, bukan hanya bila sakit saja. Risiko adiksi
tidak perli dipertimbangkan, mengingat ini adalah kasus terminal. Karena ada
morfin oral, jarang dipakai morfin suntikan. Dosisnya dapat ditingkatkan sesuai
kebutuhan. Hal-hal yang penting yang perlu di ingat waktu menaikan dosis
adalah: peningkatan dosis tidak terbatas, dosis harus diberi secara teratur
(sekurangnya setiap 4 jam), obati kontipasi dan nause sesegera mungkin, adiksi
bukan masalah pada kasus demikian, sedasi umumnya bukan bukan masalah
setelah beberapa hari terapi dan jika terapi oral tidak cocok (mis. Muntah, koma,
tak dapat menelan), suntikan SC cukup mudah dilakukan di rumah. (jan
tambayong, 2001 hal. 128)
2.5. Farmakodinamika
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan
karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Akan tetapi selain itu, morfin
juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor σ dan к.
A. Susunan Saraf Pusat
a) Narkosis
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narcosis.
Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita
tidur dan sering kali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis
kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada penderita yang sedang
menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya dosis yang sama pada orang
normal seering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut
disertai mual muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat
berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motoric berkurang,
ketajaman mata berkurang dan letargi, ekstermitas terasa berat, badan
terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan
miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah
dan tidak disertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang
diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak
seperti mimpi, napas lambat dan miosis.
9
b) Analgetik
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak
disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu raba, rasa getar (vibrasi),
penglihatan dan pendengaran; (bahkan persepsi stimulus nyeri pun tidak
selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah
suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu; penderita sering
mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.
Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull
pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh
morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten. Dengan dosis terapi morfin
dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu. Nyeri mendadak
yang menyertai tabes dorsalik (tabetic crise), tidak dapat dihilangkan
dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisiat, morfin dapat
mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari
integumen, otot dan sendi. Efek analgeti morfin timbul berdasarkan 3
mekanisme:
1) Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
Mekanisme ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadi
stimulus nyeri. Bila morfin diberikan setelah timbul nyeri, mekanisme
lain lebih penting.
2) Morfin dapat memengaruhi emosi
Artinya, morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri
pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus.
Setelah pemberian morfin penderita masih merasakan nyeri, tetapi
reaksi terhadap nyeri itu kuatir, takut, reaksi menarik diri (withdrawal)
tidak timbul.
3) Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rasa nyeri
meningkat.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi napas) morfin dan
opioid lain terdapat antagonism, artinya nyeri merupakan antagonis
faalan bagi efek analgetik dan efek depresi napas morfin. Bila nyeri
sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek
10
analgetik ini tidak begitu besar. Sebaliknya jika stimulus nyeri
ditimbulkan setelah efek analgetik morfin mencapai maksimum, dosis
morfin yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri itu jauh lebih
kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan
morfin dosis besar untuk menghilangkan penderitaannya, dapat tahan
terhadap depresi napas morfin. Tetapi jika nyeri itu tiba-tiba hilang,
maka besar kemungkinan timbul gejala depresi napas oleh morfin.
c) Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Factor yang dapat
mengubah efek eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi
refleks (reflex excitatory leveli) SSP. Beberapa individu, terutama wanita
dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang
mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul.
Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivate
morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan eksitasi,
sedangkan heroin menimbulkan eksitasi sentral. Morfin dan obat
konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak cocok untuk
terapi konvulsi.
Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas.
Misalnya pada kucing morfin menimbulkan mania, midriasis,
hipersalivasi, dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat
berakhir dengan kematian. Fenomena ini juga timbul pada kucing tanpa
korteks serebri (decorticated cat), maka efek ini tidak dapat disamakan
dengan release mechanism pada stadium II anesthesia umum.
d) Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerka pada
reseptor µ dan к menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh
perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat
dilawan oleh atropine dan skopolamin. Pada intoksitasi morfin, pin point
11
pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada
stadium akhir intoksitasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Meskipun
oleransi ringan dapat terjadi akan tetapi penderita adiksi dengan kadar
opioid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu mengalami miosis. Morfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan
tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada penderita
glaucoma.
e) Depresi napas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan
bersinambungan berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas dibatang
otak. Pada dosis kecil, morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa
menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat
menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan
morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas. Pada depresi napas,
terjadi penurunan frekuensi napas, volume semenit dan tidal exchange,
akibatnya Pco2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar O2
dalam darah menurun. Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang.
Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal.
Morfin dan analgetik opioid beguna untuk menghambat refleks
batuk. Depresi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejalar dengan
depresi napas. Efek depresi napas lebih besar pada morfin dan efek
batuknya lebih lemah. Sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan efek
depresi napasnya tidak begitu kuat. Efek dinoin terhadap napas mirip efek
kodein. Obat yang menekan refleks batuk tanpa disertai depresi napas
misalnya noskapin.
f) Mual dan Muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulus langsung pada
emetic chemoreceptor trigger zone di area postrema medulla oblongata,
bukan oleh stimulus pusat emetic sendiri. Apomofrin menstimulasi CTZ
paling kuat. Efek emetik kodein, heroin, metildhidromorfin dan mungkin
12
juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetic morfin. Obat emetic
lain tidak efektif setelah pemberian morfin. Deviat fenoziatin, yang
merupakan bloker dopamin kuat dapat mengatasi mual dan muntah akibat
morfin.
Dengan dosis terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita
yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% penderita
berobat jalan mengalami mual dan 15% penderita mengalami muntah.
Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibular,
sebaliknya anastesi epioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibular.
Obat-obat yang bermanfaat untuk motion sickness kadang-kadang dapat
menolong mual akibat opioid pada penderita berobat jalan.
B. Saluran Cerna
Penelitian pada manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek
langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.
a) Lambung
Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah.
Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus
bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfringter
pylorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus
duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi
efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos
lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropine.
b) Usus halus
Morfin mengurangi sekresi empedu dan pancreas, dan
memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin
mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic
usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan
isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isi
13
usus menjadi lebih padat. Tonus vavulva ileosekalis juga meninggi.
Atropin dosis besar ttidak lengkap melawan efek morfin ini.
c) Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan polpusi usus
besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya
persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga penderita tidak
merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin
pada kolon dapat diantagonis oleh atropin. Efek konstipasi kodein lebih
lemah daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode
konstipasi dan diare secara bergantian, karena tidak terjadi toleransi
terhadap efek konstipasi opioid.
d) Duktus Koledokus
Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan
metildhidromorfion menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus
koledokus, dan efek ini dapat menetap selama dua jam atau lebih. Keadaan
ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik
berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin pada penderita kolik
empedu berdasarkan atas efek sentral morfin. Pada pemeriksaan
radiografis terlihat konstriksi sfringter Oddi. Atropin menghilangkan
sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilnitrit secara inhalasi,
nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan spasme
saluran empedu oleh morfin.
C. Sistem Kardiovaskuler
Pemberian morfin dosis tidak mempengaruhi tekanan darah,
frekuensi dan irama jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi
pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.
Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.
14
Hal ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau dengan memberikan
oksigen, tekanan darah naik meskipun depresi medulla oblongata masih
berlangsung.
Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem
kardiovaskuler untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Penderita mungkin
mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat
vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh
darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan
factor penting dalam timbulnya hipotensi. Efek morfin terhadap miokard
manusia tidak berarti, frekuensi jangtung tidak dipengaruhi atau hanya
menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan.
Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus
digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovilemia karena mudah timbul
hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin menyebabkan depresi
napas dan hipotensi yang lenih besar. Morfin harus digunakan dengan sangat
hati-hati pada penderita korpulmonle, sebab dapat menyebabkan kematian.
D. Otot Polos Lain
Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudon serta kontraksi
ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6
mg atropine subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh
efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot destrusor menimbulkan rasa ingin
miksi, tetapi karena sfringter juga berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat
menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul.
Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus a terme morfin
menyebabkan interval antar kontraksi lebih besar dan netralisasi efek oksitosin.
Morfin merendahkan tonus uterus pada mas haid dan menyebabkan uterus
lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi
nyeri dismenore.
15
E. Kulit
Dalam dosis terapi morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area
(muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian
disebabkan oleh terjadinya pelepasan histamine oleh morfin dan seringkali
disertai kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin
akibat penglepasan histamine atau pengaruh langsung morfin dan seringkalin
disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi
mungkin akibat penglepasan histamine atau pengaruh langsung morfin pada
saraf.
F. Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang
menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP.
Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak
tetap akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah
pemberian morfin volume urine berkurang, disebabkan merendahnya laju
filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasa ADH. Hipotiroidisme dan
infusifiensi adrenokortikal meningkatkan kepekaan orang terhadap morfin.
2.6. Farmakokinetika
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara
pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi
efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik
yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja
semua alkaloid opioid setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid
berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami
konjugasi dengan asam gukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk
bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar urin dan
mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
16
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan
dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini
dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N- demetilasi. Urin
mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein, dan
morfin.
2.7. Sedian dan Posologi
Sediaan yang megandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar
beraneka ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10% morfin.
Pulvus Doveri mengandung 10% pulvus opii, maka 150 mg pulvus Doveri
mengandung 1,5 mg morfin.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk
pemberian oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCl, garam
sufat atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10 mg/ml. pemberian 10mg/70kgBB
morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada penderita dengan nyeri yang
bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pasca bedah. Efektifitas morfin peroral
hanya 1/6 – 1/5 kali efektifitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg morfin peroral
memberikan efek analgesic sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang
daripada pemberian 8 mg morfin IM.
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCl
atau fosfat. Satu tablet mengandung 10, 15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang
ditimbulkan oleh kodein oral kira-kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan
setelah pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg kodein per oral memberikan
efek analgetik sama besar dengan efek 600 mg aseptosal. Pemberian kedua obat ini
bersamaan akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10
mg untuk orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4mg.
Untuk menimbulkan emesis digunakan 5-10 mg apomorfin subkutan.
17
2.8. Efek Samping
A. Idiosinkrasi dan alergi
Morfin dapat meyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi
dengan tremor, dan jarang-jarang delirium, lebih jarang lagi konvulsi dan
insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria,
eksntem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal
saja dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan
penderita penyakit berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan
opioid lain juga harus digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas
(respiratory reserve) telah berkurang, misalnya pada emfisem, kifoskoliosis,
korpulmonale kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun penderita dengan
keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah
menggunakan mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang
lebih tinggi. Pada penderita tersebut, kadar CO2 plasma tinggi secara kronik
dan kepekaan pusat napas terhadap CO2 telah berkurang. Pembedahan lebih
lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat membahayakan.
B. Intoksikasi akut
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri atau pada takar lajak (operdosis). Penderita tidur,
soporous atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4
kali/menit, dan pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Penderita sianotik,
kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-
mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini
dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin poin
pupil), kemudian nidriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat
berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibular dalam
18
keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin
timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.
2.9. Indikasi dan Kontra Indikasi
A. Indikasi
a) Terhadap Nyeri
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesic
non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.
Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab
nyeri merupakan antidotum faalan bagi efek depresi napas morfin. Morfin
sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai seperti Infark miokard,
neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, Oklusio akut pembuluh darah
perifer, pulmonal atau coroner, Pericarditis akut, pleuritis dan
pneumothoraks spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur,
dan nyeri pascabedah. Sebagai medikasi preanestesik, morfin sebaiknya
hanya diberikan pada penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak
ada nyeri dan obat preanastetik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan
ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan pentobarbital atau diazepam.
1. Persepsi Nyeri
Nyeri terasa ketika terjadi kerusakan jaringan. Cedera pada
sel akan melepaskan berbagai zat kimia, termasuk kinin dan
postaglandin, yang menstimulasi saaf sensori spesifik (gambar 26-1),
dua saraf sensori berdiameter kecil yang yang disebut saraf delta A
dan C, berespons terhadap timulus dengan cara membuat impuls saraf
yang menghasilkan sensasi nyeri. Impuls nyeri dari kulit, jaringan
subkutan, otot, dan struktur viseral dalam, akan dihantarkan ke tanduk
dorsal, atau posterior medula spinalis dalam serat-serat ini. Pada
medula spinalis, semua saraf ini membentuk sinaps dengan saraf
19
medula spinalis dan kemudian menghantarkan impuls saraf tersebut ke
otak.
Selain itu, saraf sensori berdiameter besar masuk ke tanduk
dorsal medula spinalis. Serat yang disebut serat A ini tidak
menghantarkan impuls nyeri, namun serat tersebut menghantarkan
sensasi yang terkait dengan sentuhan dan suhu. Serat A, yang lebih
besar dan dapat menghantarkan impuls dengan lebih cepat daripada
serat yang lebih kecil, dapat secara langsung menghambat
kemampuan serat yang lebih kecil dalam menghantarkan sinyal serat
tersebut ke neuron sekunder dalam medula spinalis. Tanduk dorsal,
kemudian dapat bersifat membangkitkan dan menghambat pada
impuls nyeri yang berasal dari perifer. Semua impuls yang mencapai
tanduk dorsal kemudian akan dihantarkan ke atas untuk mencapai otak
melalui sejumlah jalur saraf asenden spesifik. Jalur saraf ini dimulai
dari medula spinalis sampai ke dalam talamus, tempat jalur saraf
tersebut membentuk sinaps dengan berbagai sel saraf yang
menghantarkan informasi ke kortek serebral di sepanjang saluran
spinotalamik. Menurut teori gerbang kendali penghantaran semua
impuls ini dapat diatur di sepanjang jalur ini (gambar 26-2).
Sepanjang medula spinalis, antarneuron dapat bekerja sebagai
“gerbang” dengan cara menghambat hantaran impuls saraf asenden.
Gerbang ini diperkirakan dapat ditutup dengan adanya stimulus serat
A yang lebih besar dan dengan saraf impuls saraf desenden yang
menuruni medula spinalis dari tingkat yang lebih tinggi pada beberapa
area seperti korteks serebral, sistem limbik, dan sistem aktivasi
retikular.
20
b) Terhadap Batuk dan Sesak
Penghambatan refleks batuk dapat dipertanggungjawabkan pada
batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Batuk demikian mengganggu
tidur dan menyebabkan penderita tidak dapat beristirahat dan mungkin
sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesic opioid
untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak
obat-obat sintetik lain yang efektif yang tidak menimbulkan adiksi. Sesak
napas pada dekompensasio akut ventrikel kiri dan edema pulmonal hanya
dapat dihilangkan dengan pemberian derivate opium.
21
Gambar 26-1. Jalur saraf terjadinya nyeri. Gambar 26-2. Teori gerbang kendali
nyeri, narkotik menempati reseptor opioid untuk menghambat reseptor nyeri.
Gambar 26-1 Gambar 26-2
c) Efek Antidiare
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare
berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan
diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat,
pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik untuk
mengeluarkan penyebab. Dosis alkaloid morfin yang menyebabkan
sembelit dan menghambat refleks batuk kira-kira sama. Akan tetapi,
dewasa ini tersedia senyawa-senyawa sintetik yang bekerja lebih selektif
pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan loperamid.
B. Kontraindikasi
Agens narkotik dikontraindikasikan pada beberapa kondisi berikut
ini, alergi terhadap salah satu agonis nakotik; kehamilan, persalinan, atau
laktasi karena adanya efek merugikan potensial pada janin dan neonatus,
termasuk depresi pernapasan, diare yang disebabkan oleh racun, karena depresi
aktivitas saluran GI dapat meningkatkan absorbsi dan toksisitas dan setelah
pembedahan biliari atau anastomosis pembedahan, karena adanya efek
merugikan yang terkait dengan depresi GI dan narkotik. Perlu adanya tindakan
kewaspadaan pada pasien yang mengalami disfungsi pernapasan, yang amat
diperburuk oleh depresi pernapasan akibat obat- obatan ini, baru saja menjalani
pembedahan GI atau GU, kolitis abdomen akutu ulserasi, yang dapat menjadi
lebih parah karena adannya efek depresif dari narkotik, trauma kepala,
alkoholisme, delirium tremens, atau penyakit pembuluh darah serebral, yang
dapat diperburuk oleh efek obat pada SSP, serta disfungsi ginjal atau hati, yang
dapat mengubah metabolisme dan eksresi obat. (Amy M. Karch, 2003 hal. 395)
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Morfin adalah derivat yang paling paten dari opium. Agens ini bekerja
pada sistem saraf pusat (SSP) sebagai depresan, kantuk, depresi pernapasan dan
depresi refleks batuk, dan sebagai stimulan SSP, berakibat muntah, miosis,
konvulsi. Agens ini merangsang otot- otot, berakibat spasme otot gastrointestinal,
saluran biliaris, dan saluran kemih. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau
natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Efek morfin pada susunan
saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis
pada reseptor u. Akan tetapi selain itu, morfin juga mempunyai afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor σ dan к.
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini
absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
3.2. Saran
Penulis ingin menyampaikan saran terkait dengan terselesaikannya
makalah ini. Alangkah baiknya kita sebagai tenaga kesehatan khususnya mahasiswa
keperawatan mengetahui mengenai morfin dan opioid, sehingga perawat dapat
memberikan intervensi keperawatan yang efektif dan efisien.
23