bab i

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan beberapa efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini biasa digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri Tetapi semua analgesic opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapat analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Dasar penyusunan makalah ini untuk menjabarkan lebih jelas tentang morfin dan opioid/opiat, sehingga dapat dipelajari khususya oleh seorang perawat dan umumnya untuk kita semua. 1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini yaitu : 1. Apa yang dimaksud morfin dan opioid? 2. Bagaimana klasifikasi dari opioid? 3. Bagaimana mekanisme kerja morfin dan opioid? 4. Bagaimana farmakodinamika, farmakokinetika morfin dan opioid? 5. Bagaimana sedian dan posologi morfin dan opioid? 1

Upload: heribudiawan

Post on 19-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

menjelaskan tntang morfin, dan opiod

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat

seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan beberapa efek

farmakodinamik yang lain, golongan obat ini biasa digunakan untuk meredakan

atau menghilangkan rasa nyeri

Tetapi semua analgesic opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk

mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan

mendapat analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.

Dasar penyusunan makalah ini untuk menjabarkan lebih jelas tentang

morfin dan opioid/opiat, sehingga dapat dipelajari khususya oleh seorang perawat

dan umumnya untuk kita semua.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. Apa yang dimaksud morfin dan opioid?

2. Bagaimana klasifikasi dari opioid?

3. Bagaimana mekanisme kerja morfin dan opioid?

4. Bagaimana farmakodinamika, farmakokinetika morfin dan opioid?

5. Bagaimana sedian dan posologi morfin dan opioid?

6. Bagaimana efek samping morfin dan opioid?

7. Bagaimana indikasi, kontraindikasi morfin dan opioid?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. Menjelaskan yang dimaksud morfin dan opioid

2. Menjelaskan klasifikasi dari opioid

3. Menjelaskan mekanisme kerja morfin dan opioid

4. Menjelaskan farmakodinamika, farmakokinetika morfin dan opioid

5. Menjelaskan sedian dan posologi morfin dan opioid

6. Menjelaskan efek samping, indikasi, kontraindikasi morfin dan opioid

1

Page 2: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Morfin adalah derivat yang paling paten dari opium. Agens ini bekerja

pada sistem saraf pusat (SSP) sebagai depresan, kantuk, depresi pernapasan dan

depresi refleks batuk, dan sebagai stimulan SSP, berakibat muntah, miosis,

konvulsi. Agens ini merangsang otot- otot, berakibat spasme otot gastrointestinal,

saluran biliaris, dan saluran kemih. Agens ini mengurangi motilitas usus dan

mengakibatkan kontipasi. (jan tambayong, 2001 hal. 128)

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan

dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotika yang

sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan

dan nyeri pasca pembedahan.

2.2. Klasifikasi

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat

seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan beberapa efek

farmakodinamik yang lain, golongan obat ini biasa digunakan untuk meredakan

atau menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgesic opioid menimbulkan adiksi,

maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan

dengan tujuan mendapat analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya

adiksi, yang termasuk golongan obat opioid adalah:

1) Obat yang berasal dari opium – morfin

2) Senyawa semi sintetik morfin

3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor

tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Dahulu digunakan

istilah analgesic narkotik untuk analgesic kuat yang mirip morfin. Isitlah ini berasal

dari kata narcosis, Bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama

ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan

reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis

2

Page 3: BAB I

dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin

maka penggunaan istilah analgesic narkotik untuk pengertian farmakologik tidak

sesuai lagi. Peptida opioid endogen telah diidentifiksikan tiga jenis peptide yang

terdapat dalam otak dan jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid, yakni

enkefalin, endorifin, dan dinorfin. Peptide opioid endogen tersebut diperkirakan

berperan pada transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesic belum

jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari precursor polipeptida yang berada secara

genetic dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas. Precursor ini disebut

preonkefalin A, pro-opiomelanokortin ( POMC) dan prodinorfin ( pro-enkefalin B).

masing-masing frekursor mengandung sejumlah peptida yang aktif secara biologi,

baik secara opioid maupun non opioid yang telah dideteksi dalam darah dan

berbagai jaringan.

2.3. Reseptor Opioid

Konsep reseptor yang berinteraksi dengan berbagai senyawa untuk

menimbulkan analgesia sudah diajukan sejak lama, akan tetapi baru sejak tahun

1973 reseptor opioid diidentifikasi dan dapat ditentukan distribusi anatmisnya.

Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan

potensi analgetik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik.

Telah terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai

jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid. Resptor µ

(mu) diperkirakan memperantarai efek analgetik mirip morfin, eufria, depresi

napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor k (kappa) diduga

memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazsin, sedasi serta miosis

dan depresi napas yang tidak sekuat agonis µ, reseptor σ (sigma) diperkirakan

berhubungan dengan efek psikotmimetik yang ditimbulkan oleh pentazosin dan lain

agnis – antagonis. Selain itu, disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ

(delta) yang seletif terhadap enkepalin dan reseptor ɛ (epsilon) yang sangat seletif

terhadap beta-endrfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat

bukti-bukti yang menunjukan bahwa reseptor δ (delta) memegang peran dalam

menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari penelitian

padatikus didapatkan bahwa reseptor δ (delta) dihubungkan dengan berkurangnya

3

Page 4: BAB I

frekuensi napas, sedangkan reseptor µ (mu) dihubungkan dengan berkurangnya

tidal volume. Reseptor µ (mu) ada dua jenis yaitu µ1, yang hanya didapatkan di SSP

dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, pengelepasan prolactin, hipotermia

dan katalepsi. Sedangkan reseptor µ2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume

dan bradikardia. Analgesic yang berperan pada tingkat spinal diduga berinteraksi

dengan reseptor δ dan к.

Meskipun dari penelitian didapatkan bahwa reseptor yang berbeda

memperantarai efek yang berbeda, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk

menentukan peran reseptor secara pasti. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi

dengan semua jenis reseptor, akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat

bekerja sebagai agonis, agonis parsial atau antagonis terhadap masing-masing

reseptor. (tabel 14-1). Nalokson sebagai antagonis opioid diketahui berikatan kuat

dengan hampir semua reseptor kecuali beberapa jenis reseptor σ. Walaupun

demikian, afinitas nalokson terhadap reseptor µ umumnya 10 kali lebih kuat

dibandingkan dengan terhadap reseptor δ dan к. Atas dasar kerjanya pada reseptor

opioid maka obat-obatan yang tergolong opioid dibagi menjadi:

1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis

terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor к (contoh: morfin).

2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua

reseptor (contoh: nolokson).

3. Opioid dengan kerja campur:

a. Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada

beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada

reseptor lain (contoh: nalorfin, pentazosin)

b. Agonis parsial (contoh: buprenorfin)

4

Page 5: BAB I

Tabel 14-1. Ringkasan Kerja Prototip Agonis, Antagonis, Agonis-Antagonis pada

Reseptor Opioid

SenyawaMacam Reseptor

µ δ К

Morfin ++ + +

Fentanil +++ + +

Pentazosin - TA ++

Butorfanol - TA ++

Malbufin - TA ++

Buprenorfin P TA -

Nalokson - - -

Nalorfin - TA +

Keterangan:

+ : Agonis

- : Antagonis

P : Agonis parsial

TA : Data tidak ada / tidak lengkap

2.4. Morfin

A. Asal, Kimiawi, dan SAR

Opium atau candu adalah getah papaver somniferum L yang telah

dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:

1) Golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein

2) Golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papeverin.

Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai

derviat semisintetik (tabel 14-2). Hubungan kimia dan efek farmakodinamik

masing-masing derviat akan dibicarakan dibawah ini.R1-O pada morfin berupa

gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut sebagai OH fenlolik;

sedangkan OH pada R2-O bersifat alkoholik sehingga disebut sebagai OH

5

Page 6: BAB I

alkoholik. Atom hydrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai

gugus membentuk berbagai alkaloid opium.

Efek farmakologik masing-masing derviat secara kualitatif sama

tetapi berbeda secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas

berhubungan dengan efek analgetik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi.

Gugus OH alkoholik bebas merupakan lawan efek gugusan OH fenolik. Adanya

kedua gugus OH bebas disertai efek konvulsif dan efek emetic yang tidak begitu

kuat. Substitusi R1 mengakibatkan berkurangnya efek analgetik, efek depresi

napas dan efek spasmodic terhadap usus; sebali8knya terjadi penambahan efek

stimulasi SSP. Substitusi pada R2 mengakibatkan bertambahnya efek konvulsif

dan berkurangnya efek kenetik.

Tabel 14-2. Struktur Kimia Opioid dan Antagonis Opioid

Nama ObatPosisi dan Radikal Kimia Perubahan

Lain+3* 6* 17*

Morfin -OH -OH -CH3 -

Heroid -OCOCH3 -OCOCH3 -CH3 -

Hidromorfon -OH =O -CH3 (1)

Oksimorfon -OH =O -CH3 (1).(2)

Levorfanol -OH -H -CH3 (1).(3)

Lefalorfan -OH -H -CH2CH=CH2 (1).(3)

Kodein -OCH3 -OH -CH3 -

Hidrokodon -OCH3 =O -CH3 (1)

Oksikodon -OCH3 =O -CH3 (1).(2)

Nalorfin -OH -OH -CH2CH=CH2 -

Nalokson -OH =O -CH2CH=CH2 (1).(2)

Naltrekson -OH =O -CH2 (1).(2)

Butorfanol -OH -H -CH2 (2).(3)

Nalbufin -OH -OH -CH2 (1).(2)

Tebain -OCH3 -OCH3 -CH3 -

6

Page 7: BAB I

Keterangan:* Nomor 3, 6, dan 17: menunjukan posisi dalam molekul morfin sebagai terlihat

pada gambar 14-1

+ : perubahan lain pada molekul; morfin adalah sebagai berikut:

(1) : ikatan tunggal sebagai ganti ikatan rangkap C7 dan C8

(2) : gugus OH ditambahkan pada C14

(3) : tidak ada atom oksigen antara C4 dan C5

B. Mekanisme Kerja

Morfin bekerja dalam banyak sistem organ. Kita akan membahas

berbagai kerja morfin tersebut satu demi satu. Kerja ini kadang- kadang

digunakan untuk tujuan terapeutik dan kadang- kadang dianggap efek samping.

Oleh karena itu, mempelajari kerja- kerja yang penting ini berarti anda telah

mempelajari baik mengenai penggunaan trapeutik maupun efek samping dalam

saat bersamaan. Mekanisme kerja morfin pada beberapa sistem organ adalah

sebagai berikut.

a. Sistem saraf pusat

Pada sebagian besar orang, morfin menimbulkan rasa kantuk dan

sedasi selain mengurangi kesadaran pasien akan nyeri yang di alami. Dosis

awal morfin sering menyebabkan mual, ini sering terjadi pada pasien

ambulatori daripada pasien yang terbaring di tempat tidur. Efek ini

disebabkan oleh stimulasi langsung zona pemicu kemoreseptor

(chemoreseptor triger zone) dam medula oblongata dan peningkatan

sensitivitas vestibular. Morfin merupakan supresan batuk yang efektif

karena mempunyai efek langsung dalam medula. Morfin tidak digunakan

untuk tujuan ini, tetapi kodein (agonis lain) yang serng diesepkan untuk

kerja supresif batuknya.

7

Page 8: BAB I

b. Mata

Morfin menyebabkan kontraksi pupil akibat kerja langung pada

nukleus otak saraf okulomotor (edinger-westphal). Inilah yang disebut pupil

pinpoint klasik, yang anda dengar dalam ruang emergensi.

c. Pernapasan

Akibat kerja langsung pada SSP, morfin menyebabkan depresi

pernapasan. Semua fase aktivitas pernapasan mengalami depresi, termasuk

kecepatan dan volume menit. Dorongan hipoksik untuk bernapas an juga

mengalami depresi.

d. Kardiovaskular

Morfin dosis trapeutik pada dasarnya tidak mempunyai efek pada

sistem kardiovaskular.

e. Gastrointestinal

Morfin meningkatkan tonus istirahat otot polos seluruh saluran

GI. Hal tersebut menyebabkan penurunan gerakan isi lambung dan usus,

yang dapat menimbulkan spasme (nyeri) dan kontipasi. Morfin juga

menyebabkan spasme otot polos saluran empedu.

f. Genitourinari

Genitourinari sama dengan saluran GI, morfin meningkatkan

tonus dan menimbulkan spasme otot polos saluran genitourinaria. Keadaan

tersebut menyebabkan retensi urin.

(Janet L.Stringer 2006, hal 160)

C. Kegunaan

Morfin diberikan sebagai pre-medikasi bedah, mengatasi nyeri pasca-

bedah, nyeri penyakit terminal seperti kanker, dan MCI. Pada MCI merupakan

obat pilihan untuk mengatasi nyerinya, pemberian per-oral kerjanya selama

empat jam, jadi merupakan obat pilihan untuk mengatasi nyeri pada penyakit

8

Page 9: BAB I

terminal. Pemberiannya harus teratur, bukan hanya bila sakit saja. Risiko adiksi

tidak perli dipertimbangkan, mengingat ini adalah kasus terminal. Karena ada

morfin oral, jarang dipakai morfin suntikan. Dosisnya dapat ditingkatkan sesuai

kebutuhan. Hal-hal yang penting yang perlu di ingat waktu menaikan dosis

adalah: peningkatan dosis tidak terbatas, dosis harus diberi secara teratur

(sekurangnya setiap 4 jam), obati kontipasi dan nause sesegera mungkin, adiksi

bukan masalah pada kasus demikian, sedasi umumnya bukan bukan masalah

setelah beberapa hari terapi dan jika terapi oral tidak cocok (mis. Muntah, koma,

tak dapat menelan), suntikan SC cukup mudah dilakukan di rumah. (jan

tambayong, 2001 hal. 128)

2.5. Farmakodinamika

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan

karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Akan tetapi selain itu, morfin

juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor σ dan к.

A. Susunan Saraf Pusat

a) Narkosis

Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narcosis.

Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita

tidur dan sering kali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis

kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada penderita yang sedang

menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya dosis yang sama pada orang

normal seering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut

disertai mual muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat

berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motoric berkurang,

ketajaman mata berkurang dan letargi, ekstermitas terasa berat, badan

terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan

miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah

dan tidak disertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang

diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak

seperti mimpi, napas lambat dan miosis.

9

Page 10: BAB I

b) Analgetik

Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak

disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu raba, rasa getar (vibrasi),

penglihatan dan pendengaran; (bahkan persepsi stimulus nyeri pun tidak

selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah

suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu; penderita sering

mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.

Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull

pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh

morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten. Dengan dosis terapi morfin

dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu. Nyeri mendadak

yang menyertai tabes dorsalik (tabetic crise), tidak dapat dihilangkan

dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisiat, morfin dapat

mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari

integumen, otot dan sendi. Efek analgeti morfin timbul berdasarkan 3

mekanisme:

1) Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri

Mekanisme ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadi

stimulus nyeri. Bila morfin diberikan setelah timbul nyeri, mekanisme

lain lebih penting.

2) Morfin dapat memengaruhi emosi

Artinya, morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri

pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus.

Setelah pemberian morfin penderita masih merasakan nyeri, tetapi

reaksi terhadap nyeri itu kuatir, takut, reaksi menarik diri (withdrawal)

tidak timbul.

3) Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rasa nyeri

meningkat.

Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi napas) morfin dan

opioid lain terdapat antagonism, artinya nyeri merupakan antagonis

faalan bagi efek analgetik dan efek depresi napas morfin. Bila nyeri

sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek

10

Page 11: BAB I

analgetik ini tidak begitu besar. Sebaliknya jika stimulus nyeri

ditimbulkan setelah efek analgetik morfin mencapai maksimum, dosis

morfin yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri itu jauh lebih

kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan

morfin dosis besar untuk menghilangkan penderitaannya, dapat tahan

terhadap depresi napas morfin. Tetapi jika nyeri itu tiba-tiba hilang,

maka besar kemungkinan timbul gejala depresi napas oleh morfin.

c) Eksitasi

Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,

sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Factor yang dapat

mengubah efek eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi

refleks (reflex excitatory leveli) SSP. Beberapa individu, terutama wanita

dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang

mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul.

Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivate

morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan eksitasi,

sedangkan heroin menimbulkan eksitasi sentral. Morfin dan obat

konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak cocok untuk

terapi konvulsi.

Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas.

Misalnya pada kucing morfin menimbulkan mania, midriasis,

hipersalivasi, dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat

berakhir dengan kematian. Fenomena ini juga timbul pada kucing tanpa

korteks serebri (decorticated cat), maka efek ini tidak dapat disamakan

dengan release mechanism pada stadium II anesthesia umum.

d) Miosis

Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerka pada

reseptor µ dan к menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh

perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat

dilawan oleh atropine dan skopolamin. Pada intoksitasi morfin, pin point

11

Page 12: BAB I

pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada

stadium akhir intoksitasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Meskipun

oleransi ringan dapat terjadi akan tetapi penderita adiksi dengan kadar

opioid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu mengalami miosis. Morfin

dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan

tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada penderita

glaucoma.

e) Depresi napas

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan

bersinambungan berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas dibatang

otak. Pada dosis kecil, morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa

menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat

menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan

morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas. Pada depresi napas,

terjadi penurunan frekuensi napas, volume semenit dan tidal exchange,

akibatnya Pco2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar O2

dalam darah menurun. Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang.

Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal.

Morfin dan analgetik opioid beguna untuk menghambat refleks

batuk. Depresi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejalar dengan

depresi napas. Efek depresi napas lebih besar pada morfin dan efek

batuknya lebih lemah. Sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan efek

depresi napasnya tidak begitu kuat. Efek dinoin terhadap napas mirip efek

kodein. Obat yang menekan refleks batuk tanpa disertai depresi napas

misalnya noskapin.

f) Mual dan Muntah

Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulus langsung pada

emetic chemoreceptor trigger zone di area postrema medulla oblongata,

bukan oleh stimulus pusat emetic sendiri. Apomofrin menstimulasi CTZ

paling kuat. Efek emetik kodein, heroin, metildhidromorfin dan mungkin

12

Page 13: BAB I

juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetic morfin. Obat emetic

lain tidak efektif setelah pemberian morfin. Deviat fenoziatin, yang

merupakan bloker dopamin kuat dapat mengatasi mual dan muntah akibat

morfin.

Dengan dosis terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita

yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% penderita

berobat jalan mengalami mual dan 15% penderita mengalami muntah.

Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibular,

sebaliknya anastesi epioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibular.

Obat-obat yang bermanfaat untuk motion sickness kadang-kadang dapat

menolong mual akibat opioid pada penderita berobat jalan.

B. Saluran Cerna

Penelitian pada manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek

langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.

a) Lambung

Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah.

Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus

bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfringter

pylorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum

diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus

duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi

efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos

lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropine.

b) Usus halus

Morfin mengurangi sekresi empedu dan pancreas, dan

memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin

mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic

usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan

isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isi

13

Page 14: BAB I

usus menjadi lebih padat. Tonus vavulva ileosekalis juga meninggi.

Atropin dosis besar ttidak lengkap melawan efek morfin ini.

c) Usus besar

Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan polpusi usus

besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya

penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya

persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga penderita tidak

merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin

pada kolon dapat diantagonis oleh atropin. Efek konstipasi kodein lebih

lemah daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode

konstipasi dan diare secara bergantian, karena tidak terjadi toleransi

terhadap efek konstipasi opioid.

d) Duktus Koledokus

Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan

metildhidromorfion menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus

koledokus, dan efek ini dapat menetap selama dua jam atau lebih. Keadaan

ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik

berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin pada penderita kolik

empedu berdasarkan atas efek sentral morfin. Pada pemeriksaan

radiografis terlihat konstriksi sfringter Oddi. Atropin menghilangkan

sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilnitrit secara inhalasi,

nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan spasme

saluran empedu oleh morfin.

C. Sistem Kardiovaskuler

Pemberian morfin dosis tidak mempengaruhi tekanan darah,

frekuensi dan irama jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi

pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.

Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.

14

Page 15: BAB I

Hal ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau dengan memberikan

oksigen, tekanan darah naik meskipun depresi medulla oblongata masih

berlangsung.

Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem

kardiovaskuler untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Penderita mungkin

mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat

vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh

darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan

factor penting dalam timbulnya hipotensi. Efek morfin terhadap miokard

manusia tidak berarti, frekuensi jangtung tidak dipengaruhi atau hanya

menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan.

Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus

digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovilemia karena mudah timbul

hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin menyebabkan depresi

napas dan hipotensi yang lenih besar. Morfin harus digunakan dengan sangat

hati-hati pada penderita korpulmonle, sebab dapat menyebabkan kematian.

D. Otot Polos Lain

Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudon serta kontraksi

ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6

mg atropine subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh

efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot destrusor menimbulkan rasa ingin

miksi, tetapi karena sfringter juga berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat

menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul.

Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus a terme morfin

menyebabkan interval antar kontraksi lebih besar dan netralisasi efek oksitosin.

Morfin merendahkan tonus uterus pada mas haid dan menyebabkan uterus

lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi

nyeri dismenore.

15

Page 16: BAB I

E. Kulit

Dalam dosis terapi morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah

kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area

(muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian

disebabkan oleh terjadinya pelepasan histamine oleh morfin dan seringkali

disertai kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin

akibat penglepasan histamine atau pengaruh langsung morfin dan seringkalin

disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi

mungkin akibat penglepasan histamine atau pengaruh langsung morfin pada

saraf.

F. Metabolisme

Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang

menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP.

Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak

tetap akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah

pemberian morfin volume urine berkurang, disebabkan merendahnya laju

filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasa ADH. Hipotiroidisme dan

infusifiensi adrenokortikal meningkatkan kepekaan orang terhadap morfin.

2.6. Farmakokinetika

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi

melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara

pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi

efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik

yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja

semua alkaloid opioid setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid

berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami

konjugasi dengan asam gukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk

bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar urin dan

mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin

16

Page 17: BAB I

bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan

dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini

dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N- demetilasi. Urin

mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein, dan

morfin.

2.7. Sedian dan Posologi

Sediaan yang megandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar

beraneka ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10% morfin.

Pulvus Doveri mengandung 10% pulvus opii, maka 150 mg pulvus Doveri

mengandung 1,5 mg morfin.

Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk

pemberian oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCl, garam

sufat atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10 mg/ml. pemberian 10mg/70kgBB

morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada penderita dengan nyeri yang

bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pasca bedah. Efektifitas morfin peroral

hanya 1/6 – 1/5 kali efektifitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg morfin peroral

memberikan efek analgesic sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang

daripada pemberian 8 mg morfin IM.

Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCl

atau fosfat. Satu tablet mengandung 10, 15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang

ditimbulkan oleh kodein oral kira-kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan

setelah pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg kodein per oral memberikan

efek analgetik sama besar dengan efek 600 mg aseptosal. Pemberian kedua obat ini

bersamaan akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10

mg untuk orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4mg.

Untuk menimbulkan emesis digunakan 5-10 mg apomorfin subkutan.

17

Page 18: BAB I

2.8. Efek Samping

A. Idiosinkrasi dan alergi

Morfin dapat meyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita

berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi

dengan tremor, dan jarang-jarang delirium, lebih jarang lagi konvulsi dan

insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria,

eksntem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.

Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal

saja dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan

penderita penyakit berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan

opioid lain juga harus digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas

(respiratory reserve) telah berkurang, misalnya pada emfisem, kifoskoliosis,

korpulmonale kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun penderita dengan

keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah

menggunakan mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang

lebih tinggi. Pada penderita tersebut, kadar CO2 plasma tinggi secara kronik

dan kepekaan pusat napas terhadap CO2 telah berkurang. Pembedahan lebih

lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat membahayakan.

B. Intoksikasi akut

Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat

percobaan bunuh diri atau pada takar lajak (operdosis). Penderita tidur,

soporous atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4

kali/menit, dan pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Penderita sianotik,

kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-

mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini

dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin poin

pupil), kemudian nidriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat

berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu

badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibular dalam

18

Page 19: BAB I

keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin

timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.

2.9. Indikasi dan Kontra Indikasi

A. Indikasi

a) Terhadap Nyeri

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan

atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesic

non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.

Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab

nyeri merupakan antidotum faalan bagi efek depresi napas morfin. Morfin

sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai seperti Infark miokard,

neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, Oklusio akut pembuluh darah

perifer, pulmonal atau coroner, Pericarditis akut, pleuritis dan

pneumothoraks spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur,

dan nyeri pascabedah. Sebagai medikasi preanestesik, morfin sebaiknya

hanya diberikan pada penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak

ada nyeri dan obat preanastetik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan

ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan pentobarbital atau diazepam.

1. Persepsi Nyeri

Nyeri terasa ketika terjadi kerusakan jaringan. Cedera pada

sel akan melepaskan berbagai zat kimia, termasuk kinin dan

postaglandin, yang menstimulasi saaf sensori spesifik (gambar 26-1),

dua saraf sensori berdiameter kecil yang yang disebut saraf delta A

dan C, berespons terhadap timulus dengan cara membuat impuls saraf

yang menghasilkan sensasi nyeri. Impuls nyeri dari kulit, jaringan

subkutan, otot, dan struktur viseral dalam, akan dihantarkan ke tanduk

dorsal, atau posterior medula spinalis dalam serat-serat ini. Pada

medula spinalis, semua saraf ini membentuk sinaps dengan saraf

19

Page 20: BAB I

medula spinalis dan kemudian menghantarkan impuls saraf tersebut ke

otak.

Selain itu, saraf sensori berdiameter besar masuk ke tanduk

dorsal medula spinalis. Serat yang disebut serat A ini tidak

menghantarkan impuls nyeri, namun serat tersebut menghantarkan

sensasi yang terkait dengan sentuhan dan suhu. Serat A, yang lebih

besar dan dapat menghantarkan impuls dengan lebih cepat daripada

serat yang lebih kecil, dapat secara langsung menghambat

kemampuan serat yang lebih kecil dalam menghantarkan sinyal serat

tersebut ke neuron sekunder dalam medula spinalis. Tanduk dorsal,

kemudian dapat bersifat membangkitkan dan menghambat pada

impuls nyeri yang berasal dari perifer. Semua impuls yang mencapai

tanduk dorsal kemudian akan dihantarkan ke atas untuk mencapai otak

melalui sejumlah jalur saraf asenden spesifik. Jalur saraf ini dimulai

dari medula spinalis sampai ke dalam talamus, tempat jalur saraf

tersebut membentuk sinaps dengan berbagai sel saraf yang

menghantarkan informasi ke kortek serebral di sepanjang saluran

spinotalamik. Menurut teori gerbang kendali penghantaran semua

impuls ini dapat diatur di sepanjang jalur ini (gambar 26-2).

Sepanjang medula spinalis, antarneuron dapat bekerja sebagai

“gerbang” dengan cara menghambat hantaran impuls saraf asenden.

Gerbang ini diperkirakan dapat ditutup dengan adanya stimulus serat

A yang lebih besar dan dengan saraf impuls saraf desenden yang

menuruni medula spinalis dari tingkat yang lebih tinggi pada beberapa

area seperti korteks serebral, sistem limbik, dan sistem aktivasi

retikular.

20

Page 21: BAB I

b) Terhadap Batuk dan Sesak

Penghambatan refleks batuk dapat dipertanggungjawabkan pada

batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Batuk demikian mengganggu

tidur dan menyebabkan penderita tidak dapat beristirahat dan mungkin

sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesic opioid

untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak

obat-obat sintetik lain yang efektif yang tidak menimbulkan adiksi. Sesak

napas pada dekompensasio akut ventrikel kiri dan edema pulmonal hanya

dapat dihilangkan dengan pemberian derivate opium.

21

Gambar 26-1. Jalur saraf terjadinya nyeri. Gambar 26-2. Teori gerbang kendali

nyeri, narkotik menempati reseptor opioid untuk menghambat reseptor nyeri.

Gambar 26-1 Gambar 26-2

Page 22: BAB I

c) Efek Antidiare

Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare

berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan

diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat,

pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik untuk

mengeluarkan penyebab. Dosis alkaloid morfin yang menyebabkan

sembelit dan menghambat refleks batuk kira-kira sama. Akan tetapi,

dewasa ini tersedia senyawa-senyawa sintetik yang bekerja lebih selektif

pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan loperamid.

B. Kontraindikasi

Agens narkotik dikontraindikasikan pada beberapa kondisi berikut

ini, alergi terhadap salah satu agonis nakotik; kehamilan, persalinan, atau

laktasi karena adanya efek merugikan potensial pada janin dan neonatus,

termasuk depresi pernapasan, diare yang disebabkan oleh racun, karena depresi

aktivitas saluran GI dapat meningkatkan absorbsi dan toksisitas dan setelah

pembedahan biliari atau anastomosis pembedahan, karena adanya efek

merugikan yang terkait dengan depresi GI dan narkotik. Perlu adanya tindakan

kewaspadaan pada pasien yang mengalami disfungsi pernapasan, yang amat

diperburuk oleh depresi pernapasan akibat obat- obatan ini, baru saja menjalani

pembedahan GI atau GU, kolitis abdomen akutu ulserasi, yang dapat menjadi

lebih parah karena adannya efek depresif dari narkotik, trauma kepala,

alkoholisme, delirium tremens, atau penyakit pembuluh darah serebral, yang

dapat diperburuk oleh efek obat pada SSP, serta disfungsi ginjal atau hati, yang

dapat mengubah metabolisme dan eksresi obat. (Amy M. Karch, 2003 hal. 395)

22

Page 23: BAB I

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Morfin adalah derivat yang paling paten dari opium. Agens ini bekerja

pada sistem saraf pusat (SSP) sebagai depresan, kantuk, depresi pernapasan dan

depresi refleks batuk, dan sebagai stimulan SSP, berakibat muntah, miosis,

konvulsi. Agens ini merangsang otot- otot, berakibat spasme otot gastrointestinal,

saluran biliaris, dan saluran kemih. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau

natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Efek morfin pada susunan

saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis

pada reseptor u. Akan tetapi selain itu, morfin juga mempunyai afinitas yang lebih

lemah terhadap reseptor σ dan к.

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui

kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini

absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik

setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul

setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.

3.2. Saran

Penulis ingin menyampaikan saran terkait dengan terselesaikannya

makalah ini. Alangkah baiknya kita sebagai tenaga kesehatan khususnya mahasiswa

keperawatan mengetahui mengenai morfin dan opioid, sehingga perawat dapat

memberikan intervensi keperawatan yang efektif dan efisien.

23