bab i

Upload: awahyudi14

Post on 18-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

,mbkjghzx

TRANSCRIPT

Abstrak

Salah satu upaya yang dilakukan manusia untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan hidupnya adalah dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Salah satu kebutuhan yang paling mendasar adalah istirahat dan tidur. Namun, sebagian besar manusia terutama perempuan mengalami sulit tidur atau insomnia. Insomnia dapat diatasi dengan 2 cara yaitu non farmakologis dan farmakologis.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti dengan gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas pada siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan untuk memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% diantaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup (American Academy of Sleep Medicine, 2005). Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka (Kaplan dan Sadock, 2010). Insomnia umumnya merupaka kondisi sementara atau jangka pendek. Dlam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stress akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor.Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal inibiasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapatsituasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (sepertikebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebihdari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis danpsikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untukinsomnia.Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidakmengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelahdan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengankeadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkanuntuk tidur siang.Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan sepertiberkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasiendengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidupmeningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yangterlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan denganterganggunya kinerja pekerjaan dan sosialInsomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala darisejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknyamenjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatankondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapatmeningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokterperlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yangmembutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas danmeningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.Pada penelitian ini akan meneliti berapa banyak mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Warmadewa yang mengalami insomnia.1.2 Rumusan MasalahBerapakah prevalensi mahasiswa FKIK Universitas Warmadewa yang mengalami insomnia?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui prevalensi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang mengalami insomnia pada Desember tahun 2012.1.4 Manfaat 1.4.1 Meneliti jumlah mahasiswa yang mengalami insomnia.

1.4.2 Memberikan informasi kepada pembaca paper ini agar dapat mengurangi insomnia.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Klasifikasi Tidur

Sampai saat ini sistem klasifikasi untuk tingkatan tidur yang diterima adalah usulan dari Rechtschaffen dan Kales yaitu dengan pemeriksaan EEG, electrooculogram (EOG) dan electromyogram (EMG). Tidur terdiri dari 5 tingkatan, 4 tingkatan tidur dalam yang disebut non REM (non Rapid Eye Movement) juga dikenal sebagai Slow Wave Sleep (SWS) dan tingkat 5 yang disebut REM (Rapid Eye Movement) disebut Paradoxical Sleep (PS). Pada waktu non REM gelombang otak makin lambat dan teratur. 4 tingkatan non REM dikenal dengan tingkat 1,2,3, dan 4. Tidur yang paling dalam adalah pada tingkat 4, dan aktivitas listrik paling dalam. Tidur REM lebih dangkal, ditandai dengan gerakan bola mata cepat di bawah kelopak mata yang tertutup. Pada waktu REM, nafas menjadi tidak teratur, aliran darah ke otak menjadi bertambah dan suhu tubuh meningkat. Orang dewasa yang sehat bila sudah tertidur akan masuk ke dalam tingkat 1, diikuti tingkat 2,3 dan 4, kemudian kembali ke tingkat 1 dan setelah 2 periode, siklus itu akan lengkap setelah diikuti oleh periode REM antara 5 sampai 15 menit. Putaran akan berlangsung 4-5 kali dengan penambahan periode REM pada tahap berikutnya, disertai pengurangan periode non REM (terutama pada tingkat 3 dan 4) pada orang yang tidur 8 jam, akan mengalami 2 jam tidur REM dan 6 jam tidur non REM (Beny Atmadja W)..2.2 Definisi Insomnia

Insomnia adalah kesulitan untuk tidur maupun mempertahankan tidur, yang dialami setidaknya 3 kali seminggu selama sebulan. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala yang memiliki berbagai penyebab seperti kelainan emosional, kelainan fisik, dan pemakaian obat-obatan (Holbrook dkk, 2000 dan Wilson S dan Nutt D, 2007)..2.3 Klasifikasi Insomnia

Insomnia menurut penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi insomnia primer dan sekunder.

a. Insomnia Primer

Insomnia primer merupakan kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur yang tidak berhubungan dengan kondisi medis (Petit dkk, 2003). Insomnia primer terdiri dari insomnia idiopatik, insomnia psikofisiologik, dan insomnia paradoksikal. Yang paling sering terjadi adalah insomnia psikofisiologik. Insomnia berlangsung sekitar 1 bulan yang dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu dapat pula terjadi akibat kebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur (Budur dkk, 2007 dan Erika dkk, 2004).

b. Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder merupakan insomnia yang paling sering terjadi pada orang tua. Insomnia ini dapat berhubungan dengan kondisi medis (sakit kronis, disfungsi tiroid, esophageal reflux), gangguan kejiwaan (kecemasan, depresi), gangguan neurologis (penyakit Parkinson, penyakit Alzeimer), gangguan tidur primer (sleep apnea, restless legs syndrome), dan obat-obatan (antihipertensi, antidepresan, steroid) (Budur dkk, 2007 dan Erika dkk, 2004).2.4 Tanda dan Gejala Insomnnia

Terdapat beberapa tanda dan gejala dari insomnia, yaitu (Kaplan dan Sadock,2010 dan Rusdi Maslim,2001):

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

Bangun tidur terlalu awal

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

Konsentrasi dan perhatian berkurang

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

Ketegangan dan sakit kepala

2.5 Etiologi Insomnia

Insomnia terdiri dari berbagai macam etiologi yang terdiri dari (Michael G Gelder,2003):

Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif pada malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stress, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian, atau kehilangan pekerjaan, dapat menjadi penyebab insomnia. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depesi.

Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, pbat jantung, dan tekanan darah, obat alergi, stimulant (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.

Kafein, nikotin, dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulant yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang mampu membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam. Kondisi medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas, dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka mengalami insomnia jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakitParkinson dan penyakit Alzheimer. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauhatau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya iramasirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagaijam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh. 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihantentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuhtertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika merekaberada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidakmencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.2.6 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada (Kaplan dan Sadock,2010 dan David,2004):

Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormonselama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selamamenopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomniameningkat sejalan dengan usia. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggutidur. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjangseperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkaninsomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkanrisiko terjadinya insomnia. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam harisering meningkatkan resiko insomnia.2.7 Diagnosis Insomnia

Untuk menegakkan diagnosis insomnia perlu dilakukan anamnesa dan beberapa pemeriksaan. Anamnesa terdiri dari rincian tentang riwayat tidur, riwayat medis, riwayat psikiatris, riwayat penggunaan alkohol, lingkungan tempat tidur, dan faktor pekerjaan. Yang termasuk dalam riwayat tidur adalah kebiasaan waktu tidur dan waktu bangun pada hari kerja dan tidak kerja, berapa kali terbangun saat malm hari, kegiatan yang dilakukan di tempat tidur, dan gejala gangguan tidur seperti sleep apnea dan restless legs syndrome.

Setelah melakukan anamnesa, dapat dilakukan pemeriksaan umum dan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan fisik secara umum yang dilakukan pada penderita insomnia dapat menunjukkan hasil yang normal, kecuali pada penderita insomnia sekunder akan didapatkan kelainan seperti sleep apnea, gangguan endokrin, dan masalah pada jantung. Pemeriksaan neurologis yang dilakukan meliputi pemeriksaa sistem sensorik, sistem motorik, dan refleks tendon dalam untuk identifikasi neuropati perifer.

2.8 Penatalaksanaan Insomnia

Penatalaksanaan insomnia dapat dibagi menjadi 2, yaitu penatalaksanaan non farmakologis dan penatalaksanaan farmakologis.

2.4.1 Penatalaksanaan non farmakologis Penatalaksanaan non farmakologis untuk insomnia lebih unggul dari obat hipnotik karena obat menyebabkan toleransi pada efek hipnotik maupun ketergantungan yang timbul akibat efek penarikan kembali selama penghentian 1obat. Oleh karena itu, obat hipnotik hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek. Penatalaksanaan non farmakologi direkomendasikan sebagai langkah awal dan merupakan strategi jangka panjang untuk mengelola insomnia. Penatalaksanaan non farmakologis meliputi edukasi higiene tidur, teapi kontrol stimulus, terapi pembatasan tidur, terapi perilaku kognitif, dan terapi relaksasi.

Edukasi higiene tidur

Pendekatan ini mencoba mengubah gaya hidup dan lingkungan penderita untuk mengoptimalkan kualitas tidurnya. Higiene tidur yang buruk merupakan penyebab utama insomnia. Edukasi higiene tidur dapat diberikan pada penderita insomnia primer dan sekunder. Edukasi higiene tidur terdiri dari (Petit dkk,2003, Budur dkk,2007, Wilson dan Nutt,2007, R. Gregory Lande DO dan Cynthia Gragnami,2010, dan Luciono Ribeiro Pinto Jr dkk, 2010):

1. Hindari penggunaan produk yang mengandung kafein, nikotin, dan alkohol.

2. Hindari makanan berat dalam waktu 2 jam sebelum tidur.

3. Hindari minum terlalu banyak setelah makan malam untuk mencegah sering buang air kecil pada malam hari.

4. Hindari lingkungan bising setelah jam 5 sore.

5. Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur. Duduk di kursi jika ingin rileks.

6. Hindari menonton televisi di tempat tidur.

7. Membuat rutinitas untuk bersiap-siap tidur.

8. Menyisihkan waktu untuk rileks sebelum tidur dan memanfaatkan teknik relaksasi.

9. Menciptakan suasana yang nyaman untuk tidur.

10. Bersantai dan memikirkan pikiran yang menyenangkan di tempat tidur dapat membantu untuk terlelap tidur.

11. Bangunlah pada waktu yang sama setiap hari.

12. Hindari tidur siang, jika harus tidur siang, pastikan tidur sebelum jam 3 siang, dan total waktu tidur siang tidak lebih dari 1 jam.

13. Melakukan aktivitas fisik secara teratur, seperti berjalan-jalan atau berkebun, tetapi menghindari olah raga berat terlalu dekat dengan waktu tidur.

Terapi kontrol stimulus

Terapi kontrol stimulus berguna untuk mmepertahankan waktu bagun pagi penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan melarang penderita tidur pada siang hari. Pada sesi pertama, dokter menjelaskan setiap langkah dari protokol dan membrikan salinan protokol kepada penderita. Sesi-sesi berikutnya digunakan untuk memberikan motivasi agar penderita mau melaksanakan dan mematuhi protokol. Protokol terapi kontrol stimulus terdiri dari (Holbrook dkk,2000, Petit L dkk,2003, erika N dkk,2004, R Gregory Lande Do dkk,2010, dan Luciono ribeiro Pinto Jr dkk,2010):1. Pergi ke tempat tidur jika merasa lelah.

2. Gunakan tempat tidur dan kamar tidur hanya untuk tidur dan seks.

3. Meninggalkan kamar tidur jika tidak tidur dalam 15-20 menit dan kembali ke kamar tidur jika telah merasa ngantuk.

4. Jika tidak dapat tidur, ulangi langkah 3. Lakukan ini sesering mungkin sepanjang malam.

5. Bangunlah pada waktu yang sama setiap pagi, tidak peduli berapa banyak total waktu tidur yang diperoleh malam sebelumnya, gunakan alarm jika diperlukan.

6. Hindari tidur di siang hari.

Terapi pembatasan tidur

Terapi pembatasan tidur digunakan untk memperbaiki efisiensi tidur penderita insomnia dengan membatasi waktu yang dihabiskan di tempat tidur. Penerapan terapi ini membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan terapi non farmakologis lainnya. Terapi pembatasan tidur terdiri dari (Petit L dkk,2003, Wilfred R. Pigeon,2010, R Gregory Lande DO,2010, dan Luciono Ribeiro Pinto Jr,2010):

1. Menentukan rata-rata total waktu tidur yang dibutuhkan. Data yang digunakan untuk melakukan hal ini diperoleh dari buku harian tidur yang telah diisi minimal 2 minggu.

2. Membatasi waktu di tempat tidur dengan memperhatikan rata-rata total waktu tidur.

3. Setiap minggu, tentukan efisiensi tidur mingguan penderita (total tidur/waktu di tempat tidur x 100) dari data pada buku harian tidur.

4. Meningkatkan total waktu tidur 15-20 menit ketika efisiensi tidur melebihi 90%. Menurunkan 15-20 menit ketika efisiensi tidur dibawah 80%. Mempertahankan total waktu di tempat tidur ketika efisiensi tidur antara 80-90%.

5. Setiap minggu, sesuaikan total waktu di tempat tidur sampai durasi tidur yang ideal diperoleh.

6. Jangan mengurangi waktu di tempat tidur di bawah 5 jam.

7. Tidur siang singkat mungkin diperkenankan, terutama di awal fase pengobatan.

8. Jika menerapkan terapi ini pada orang tua, direkomendasikan untuk mengurangi waktu di tempat tidur jika efisiensi tidur di bawah 75%.

Terapi perilaku kognitif

Terapi perilaku kognitif efektif untuk insomnia primer dan sekunder. Tetapi terapi ini membutuhkan terapis yang terlatih, membutuhkan beberapa kali terapi, dan biaya. Tujuan dari terapi perilaku kognitif adalah untuk memperbaiki pola pikir dan perilaku maladaptif yang dapat menyebabkan atau memperburuk insomnia. Penderita diharapkan aktif dalam terapi ini agar suatu saat penderita dapat menjadi terapis untuk dirinya sendiri. Sebuah sesi terapi perilaku kognitif berlangsung 40-60 menit dan dilakukan oleh psikolog. Terapi yang diberikan bervariasi dari 6 sampai 10 sesi, tergantung pada intensitas dari masalah dan kemajuan yang dicapai penderita. Terapi perilaku kognitif telah terbukti dapat meningkatkan total waktu tidur sebesar 20-65 menit dan efisiensi tidur sebesar 61-85%(Budur K dkk,2007, Wilson S dkk,2007, Jack D dkk,2005, Wilfred R dan Pigeon,2010, dan Luciono Ribeiro pinto Jr dkk,2010).

Terapi relaksasi

Terapi relaksasi berguna untuk membuat penderita rileks saat dihadapkan pada kondisi yang penuh ketegangan. Terdapat beberapa terapi relaksasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan tidur. Relaksasi otot progresif adalah teknik untuk mengurangi ketegangan otot. Dengan merelaksasikan otot dapat membentuk suasana tenang dan santai. Terapi relaksasi yang dapat dilakukan sendiri oleh penderita adalah dengan mendengarkan musik. Walaupun ada beberapa yang berhasil mengatasi insomnia dengan terapi relaksasi, tetapi masih diperlukan penelitian yang lebih banyak lagi untuk mendukung terapi ini (Petit L dkk,2003, erika N dkk,2004, dan Luciono ribeiro Pinto Jr dkk,2010). Olah raga

Olah raga merupakan terapi paling sederhana untuk insomnia. Dalam sebuah penelitian, penderita insomnia yang melakukan olah raga seperti jalan cepat atau aeobik merasakan dampak yang bagus. Penderita mengaku dapat tertidur lebih cepat, waktu tidur total meningkat, dan saat terbangun merasa lebih segar. Direkomendasikan untuk penderita insomnia agar melakukan olah raga 20 menit olah raga ringan sampai berat, dilakukan 3 sampai 4 kali dalam seminggu, dan paling lambat olah raga 4 jam sebelum tidur (R. Gregory lande Do dkk,2010).2.4.2 Penatalaksanaan farmakologis

Beberapa prinsip dasar penatalaksanaan farmakologi untuk insomnia adalah sebagai berikut (Holbrook AM dkk,2000 dan Budur K dkk 2007):

1. Tidak menggunakan obat hipnotik sebagai obat tunggal, pengobatan harus dikombinasikan dengan edukasi higiene tidur dan terapi perilaku.

2. Dosis dimulai dari dosis paling rendah dan dinaikkan perlahan-lahan sesuai kebutuhan, terutama pada orang tua.

3. Hindari penggunaan benzodiazepine untuk jangka panjang.

4. Hati-hati dalam menggunakan hipnotik (terutama benzodiazepine) pada penderita dengan riayat penyalahgunaan atau ketergantungan obat-obatan.

5. Monitor tanda-tanda toleransi, ketergantungan dan withdrawal pada penderita.

6. Peringatkan penderita efek samping yang dapat ditimbulkan hipnotik.

7. Dosis hipnotik diturunkan secara bertahap untuk menghindari efek withdrawal.

Penatalaksanaan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi 2 yaitu benzodiazepine dan non benzodiazepine.

Benzodiazepine

Benzodiazepine merupakan hipnotik yag paling banyak diresepkan untuk penderita insomnia dan dijadikan terapi lini pertama. Obat ini efektif untuk mempercepat tidur, memperpanjang waktu tidur dengan mengurangi frekuensi terbangun, serta memperbaiki kualitas tidur. Benzodiazepine memiliki potensi untuk ketergantungan dan efek samping yang signifikan, seperti mabuk, pusing, hipotensi, dan depresi pernafasan. Obat ini harus hati-hati diberikan pada penderita dengan riwayat penyalahgunaan obat, orang tua, dan pada penderita dengan masalah pernafasan kronis seperti penyakit paru obstruktif dan sleep apnea. Benzodiazepine kontraindikasi pada penderita dengan gangguan pernafasan parah dan orang tua. Benzodiazepine berhubungan dengan peningkatan kejadian patah tulang panggul sekunder dan jatuh(Holbrook AM dkk,2000, Budur K dkk,2007, Wilson S dan Nutt D,2007, dan Anoja S dkk,2000).

Zolpidem

Zolpidem merupakan hipnotik non benzodiazepine dari kelas imidazopirin yang telah disetjui olh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1992 untuk pengobatan insomnia jangka pendek. Dalam uji klinis, zolpidem dapat menurunkan latensi tidur dan meningkatkan durasi tidur hingga 5 minggu. Waktu paruh dari obat ini adalah 2,5 jam. Dosis yang direkomendasikan 5-10mg. Efek samping dari zolpidem adalah mengantuk, pusing, sakit kepala, ruam, dan gangguan pencernaan (Budur K dkk,2007, Wilson S dan Nutt D,2007, dan Luciono Ribeiro Pinto Jr dkk,2010). Zaleplone

Zaleplone merupakan hipnotik pirazolopirimidin yang awitan kerjanya cepat dan waktu paruhnya pendek yaitu sekitar 1 jam. Obat ini telah disetujui untuk pengobatan insomnia jangka panjang pada tahun 1999. Zaleplon telah terbukti mengurangi waktu tidur dalam 5 minggu. Zaleplone meningkatkan total waktu tidur dan menurunkan jumlah terbangun pada malam hari. Dosis yang diberikan adalah 5-10mg. Efek sampingnya adalah pusing, sakit kepala, anxietas, amnesia, dan malaise (Budur K dkk,2007, Wilson S dan Nutt D,2007, dan Luciono Ribeiro Pinto Jr dkk,2010). Eszopiclone

Ezsopiclone telah digunakan di Eropa sejak tahun 1987 dan disetujui oleh FDA pada Desember 2004 untuk mengobati insomnia. Eszopiclone mempunyai paruh waktu yang lebih panjang (5-6 jam) dari non benzodiazepine lainnya. Obat ini harus diresepkan untuk pasien yang mengharapkan tidur minimal 8 jam. Dosis yang dianjurkan adalah 3mg sebelum tidur untuk orang dewasa, 2mg untuk usia lanjut dan 1-2mg pada penderita dengan kerusakan hati. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, mengantuk, dan pusing (Budur K dkk,2007 dan Luciono Ribeiro Pinto Jr,2010).

Ramelteon

Ramelteon telah disetujui oleh FDA penggunaannya untuk insomnia pada Juli 2005 dan dapat diresepkan untuk pengobatan jangka panjang. Waktu paruh dari obat ini adalah 1-6 jam. Ramelteon dapat meningkatkan total waktu tidur pada orang dewasa dan usia lanjut dngan insomnia kronis. Dosis yang direkomendasikan adalah 8mg dan dikonsumsi 30 menit sebelum tidur. Efek samping dari ramelteon adalah mengantuk, pusing, dan kelelahan (Budur K dkk,2007).

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang mencari informasi berapa banyak mahasiswa yang mengalami insomnia. Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, yaitu dimana peneliti melakukan pengumpulan semua data secara bersama-sama.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang kuliah di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Warmadewa.

4.2.2 Sampel dan Teknik Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Untuk menentukan jumlah ukuran sampel menggunakan rumus Solvin (1960) dalam Sevilla (1993), yaitu;

n = N/1+N.0,01Keterangan:

n : ukuran sampel

N : ukuran populasiMahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa berjumlah 225 mahasiswa yang teriri dari 52 orang angkatan 1, 59 orang angkatan 2, 59 orang angkatan 3, dan 55 orang angkatan 4. Jadi sampel yang digunakan menurut rumus adalah

n = 225/1+225.0,01

n = 225/3,25

n = 69,23 dibulatkan menjadi 70 Untuk teknik sampling yang digunakan adalah sampel berjatah (Quota Sampling). Pengambilan sampel hanya berdasarkan pertimbangan peneliti saja, dimana besar dan kriteria sampel ditentukan terlebih dahulu. Menurut rumus yang telah ditentukan penelitian ini akan menggunakan 70 sampel. Setelah menentukan jumlah sampel, dibagi antara sampel laki-laki dan perempuan, jadi 35 sampel laki-laki dan 35 sampel perempuan. Yang digunakan adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Warmadewa. Yang memenuhi kriteria inklusi yaitu kriteria yang dapat mewakili dari sampel penelitian dan memenuhi syarat-syarat sebagai sampel.Adapun kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Mahasiswa laki-laki atau perempuan.

b. Hadir dalam hari disebarkannya kuesioner

c. Bersedia menjadi responden.

Sedangkan kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat dijadikan sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitiankarena berbagai sebab. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Tidak bersedia menjadi responden.

b. Tidak hadir dalam pembagian kuesioner.

4.3 Definisi Operasional4.3.1 Variabel Penelitian

Variabel penelitiannya adalah kejadian insomnia.

4.3.2 Definisi operasional

Insomnia adalah kondisi dimana mahasiswa mengalami kesulitan memulai tidur, dan sering terbangun waktu malam hari serta bangun lebih awal dan termasuk dalam hasil ukur kuesioner.4.3.3 Alat ukur dan cara ukur

Insomnia diukur dengan kuesioner yang berisi 15 pertanyaan yang bersifat negatif dengan kriteria sebagai berikut:

Skor 1 : tidak pernah

Skor 2 : kadang-kadang

Skor 3 : sering

Skor 4 : selalu

4.3.4 Hasil ukur

Hasil ukurnya adalah total skor insomnia setiap kuesioner yang diisi oleh mahasiswa dengan analisa deskriptif:

Skor 25 : tidak insomnia

Skor 26-36 : kadang-kadang mengalami insomnia

Skor 37-47 : sering mengalami insomnia.

Skor 48-60 : selalu mengalami insomnia.4.4 Alat dan Metode Pengumpulan Data

4.4.1 Alat pengumpulan data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari 15 pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden. Kuesioner tersebut terdiri dari:

1. Apakah anda mengalami kesulitan tidur

2. Apakah anda saat terbangun merasa kurang bersemangat3. Apakah anda merasa mudah tersinggung

4. Apakah anda terbangun di malam hari dan sulit memulai tidur kembali

5. Apakah anda terbangun lebih dari 2 kali sepanjang malam

6. Apakah anda memikirkan sesuatu sebelum memulai tidur

7. Apakah waktu tidur anda kurang dari 7-8 jam perhari

8. Apakah anda bangun lebih awal/pagi dari yang anda inginkan

9. Apakah anda mulai tegang ketika siap untuk tidur

10. Apakah anda tidur lebih awal atau tidur di pagi hari dengan harapan dapat mengganti waktu tidur malam yang hilang

11. Apakah anda merasa tidur anda kurang memuaskan

12. Apakah anda ingin menggunakan bantuan tidur seperti obat tidur

13. Apakah anda mudah terbangun karena suara keras/gaduh tengah malam

14. Apakah anda pernah mengalami terjaga pada saat malam hari

15. Pernahkan anda tidak mampu bergerak atau berbicara sesaat sebelum tidur

4.4.2 Metode pengumpulan dataMetode pengumpulan data adalah suatu usaha utuk memperoleh data dengan ditentukan oleh peneliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode kuesioner yaitu selembar kertas yang berisi sejumlah pertanyaan yang diberikan penliti kepada responden untuk memperoleh informasi. 4.5 Metode Pengolahan dan Analisa Data

4.5.1 Cara pengumpulan data

Data primer

Data primer diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan yang berhubungan dengan insomnia.

BAB IV

HASIL

BAB V

PEMBAHASAN

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 International Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual. Diagnostic and Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, III: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.Anoja S. Attele, DDS, Jing-Tian Xie, MD, and Chun-Su Yuan, MD, Phd. Treatment of Insomnia: An Alternative Approach. Altern Med Rev 2000;5(3):249-259.Beny Atmadja W. Fisiologi Tidur. SMF. Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Unpad/RS. Sadikin Bandung.Budur K, Rodriguez C, Schaefer NF. Advances in treating insomnia. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2007;74(4):251-266.Consuelo G. Sevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI-Press.Erika N. Ringdahl, MD, Susan L. Pereira, MD, and John E. Delzell, Jr, MD, MSPH. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. 2004. Vol. 17. No. 3.

Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.London: Oxford University Press.

Holbrook AM, Crowther R, Lotter A, Cheng C, King D. The diagnosis and management of insomnia in clinical practice: a practical evidence-based approach. CMAJ 2000;162(2):216-220.Jack D. EdingerT, Melanie K. Means. Cognitivebehavioral therapy for primary insomnia. Clinical Psychology Review 25 (2005) 539558.Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher.Luciano Ribeiro Pinto Jr., Rosana Cardoso Alves, Eliazor Caixeta, John Araujo Fontenelle, Andrea Bacellar5, Dalva Poyares, Flavio Aloe, Geraldo Rizzo, Gisele Minhoto, Lia Rita Bittencourt, Luiz Ataide Jr., Mrcia Assis, Mrcia Pradella-Hallinan, Maria Christina Ribeiro Pinto, Raimundo Nonato D. Rodrigues, Rosa Hasan, Ronaldo Fonseca, Stella Tavares. New guidelines for diagnosis and treatment of insomnia. Arq Neuropsiquiatr 2010;68(4):666-675Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa RujukanRingkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-UnikaAtmajaya.Petit L, Azad N, Byszewski A, Francine F, Sarazan, Power B. Non-pharmacological management of primary and secondary insomnia among older people: review of assessment tools and treatments. British Geriatrics Society 2003;32:19-25.R. Gregory Lande DO, Cynthia Gragnani, PhD. Nonpharmacologi Approaches to the Management of Insomnia. Am Osteopath Assoc. 2010;110(12):695-701.

Tomb, David A. 2004.Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

Wilfred R. Pigeon. Diagnosis, prevalence, pathways, consequences & treatment of insomnia. Indian J Med Res 131, February 2010, pp 321-332.Wilson S, Nutt D. Management of insomnia: treatments and mechanisms. British Journal of Psychiatry. 2007;191:195-197