bab i

62
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes. Diabetes retinopati sering menyebabkan kebutaan dan merupakan penyebab hampir seperempat angka kebutaan di negara – negara barat pada usia 30-65 tahun. Sebanyak 60 – 75% pengidap diabetes mellitus tipe 1 akan mengalami retinopati berat dalam 20 tahun walaupun kontrol penyakit dengan baik. Sedangkan pada diabetes mellitus tipe 2 yang lebih tua retinopatinya lebih sering bersifat nonproliferatid dengan resiko gangguan penglihatan sentral yang parah akibat makulopati. kontrol diabetes dan hipertensi yang baik akan memperlambat pembentukan retinopati dan komplikasi diabetic lainnya. Adanya pasien dengan diabetes harus selalu mempertimbangkan pada semua pasien dengan retinopati sehingga dapat ditangani secara agresif dengan tindakan penyelamatan mata fotokoagulasi panretina. 1 Retinopati diabetik merupakan kelainan retina akibat dari komplikasi diabetes yang menyebabkan kebutaan. Retinopati ini dapat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan klinis yaitu retinopati diabetik non

Upload: nirmalaquinn

Post on 04-Jan-2016

228 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

mmmm

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan

pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali

lebih mudah mengalami kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes.

Diabetes retinopati sering menyebabkan kebutaan dan merupakan penyebab

hampir seperempat angka kebutaan di negara – negara barat pada usia 30-65 tahun.

Sebanyak 60 – 75% pengidap diabetes mellitus tipe 1 akan mengalami retinopati

berat dalam 20 tahun walaupun kontrol penyakit dengan baik. Sedangkan pada

diabetes mellitus tipe 2 yang lebih tua retinopatinya lebih sering bersifat

nonproliferatid dengan resiko gangguan penglihatan sentral yang parah akibat

makulopati. kontrol diabetes dan hipertensi yang baik akan memperlambat

pembentukan retinopati dan komplikasi diabetic lainnya. Adanya pasien dengan

diabetes harus selalu mempertimbangkan pada semua pasien dengan retinopati

sehingga dapat ditangani secara agresif dengan tindakan penyelamatan mata

fotokoagulasi panretina.1

Retinopati diabetik merupakan kelainan retina akibat dari komplikasi diabetes

yang menyebabkan kebutaan. Retinopati ini dapat dibagi dalam dua kelompok

berdasarkan klinis yaitu retinopati diabetik non proliferatif dan retinopati diabetik

proliferatif, dimana retinopati diabetik non proliferatif merupakan gejala klinik yang

paling dini didapatkan pada penyakit retinopati diabetik.

Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya

ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat

menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita

retinopati diabetik.

Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah

menderita retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20

tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam

berbagai derajat. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien

diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total setiap tahun.

Page 2: BAB I

Metode pengobatan retinopati diabetik dewasa ini telah mengalami

perkembangan yang sangat pesat sehingga resiko kebutaan banyak berkurang.

Namun demikian, karena angka kejadian diabetes di seluruh dunia cenderung makin

meningkat maka retinopati diabetik masih tetap menjadi masalah penting.

Oleh karena itu penting bagi kita sebagai dokter layanan primer untuk dapat

mendeteksi secara dini diabetes retinopati pada masyarakat agar dapat ditatalaksana

sesegera mungkin. Pembuatan refreat ini bertujuan untuk mengetahui pengertian dari

diabetes retinopati, bentuk diabetes retinopati beserta patofisologinya, cara

menegakkan diagnosa, komplikasi yang dapat terjadi, serta penatalaksanaan diabetes

retinopati.

1.2 TUJUAN

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari mengenai

Retinopati Diabetik.

Page 3: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MATA11

Gambar 1 anatomi bola mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata

bagian depan (kornea) memiliki kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat

bentuk 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan

yaitu sklera, uvea, dan retina. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang

merupakan bagian terluar dan memberi bentuk bola mata. Jaringan uvea merupakan

jaringan vaskular. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris

didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk

ke dalam bola mata, yaitu otot dilator, sfingter iris, dan otot siliar. Otot siliar yang

Page 4: BAB I

terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Otot

melingkari badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi mengakibatkan

mengendornya Zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa.

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan

multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.

Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan

berakhir di tepi ora serata. (4)

Retina dibentuk dari lapisan neuroektoderma sewaktu proses embriologi.

Retina berasal dari divertikulum otak bagian depan (proencephalon). Pertama-tama

vesikel optic terbentuk kemudian berinvaginasi membentuk struktur mangkuk

berdinding ganda, yang disebut optic cup.  Dalam perkembangannya, dinding luar

akan membentuk epitel pigmen sementara dinding dalam akan membentuk sembilan

lapisan retina lainnya. Retina akan terus melekat dengan proencephalon sepanjang

kehidupan melalui suatu struktur yang disebut traktus retinohipotalamikus.(,6,7)

Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor

yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatasan dengan koroid dan sel epitel

pigmen retina. Retina terdiri atas 2 lapisan utama yaitu lapisan luar yang berpigmen

dan lapisan dalam yang merupakan lapisan saraf. Lapisan saraf memiliki 2 jenis sel

fotoreseptor yaitu sel batang yang berguna untuk melihat cahaya dengan intensitas

rendah (penglihatan di malam hari), tidak dapat melihat warna, untuk penglihatan

perifer dan orientasi ruangan sedangkan sel kerucut berguna untuk melihat warna,

cahaya dengan intensitas tinggi (untuk penglihatan di siang hari) dan penglihatan

sentral. Retina memiliki banyak pembuluh darah yang menyuplai nutrient dan

oksigen pada sel retina.4,6

Secara histologis, lapisan-lapisan retina terdiri atas 10 lapisan, mulai dari sisi

dalam adalah sebagai berikut:

1. Membrana limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan

kaca.

2. Lapisan serabut saraf, yang mengandung akson–akson sel ganglion yang

berjalan menuju ke Nervus Optikus. Di dalam lapisan–lapisan ini

terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

Page 5: BAB I

3. Lapisan sel ganglion, yang merupakan lapis badan sel dari pada Nervus Optikus.

4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan–sambungan sel

ganglion dalam sel amakrin dan sel bipolar.

5. Lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.

Lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.

6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan–sambungan sel bipolar

dan sel horizontal dengan fotoreseptor.

7. Lapisan inti luar, yang merupakan susunan lapis nukleus, sel kerucut dan

batang. Ketiga lapisan di atas avaskuler dan mendapat metabolisme dari kapiler

koroid.

8. Membran limitan eksterna, yang merupakan membran ilusi.

9. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang

mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.

10. Epitelium pigmen retina.

Gambar 2 : Penampang histologis lapisan retina

Page 6: BAB I

Gambar 3 : Foto Fundus: Retina Normal. Makula lutea terletak 3-4 mm kea rah temporal dan

sedikit dibawah disk optik, Diameter vena 1,5 kali lebih besar dari arteri

Vaskularisasi

Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu arteri retina sentralis yang

merupakan cabang dari arteri oftalmika dan khoriokapilari yang berada tepat di luar

membrana Bruch.Arteri retina sentralis memvaskularisasi dua per tiga sebelah dalam dari

lapisan retina (membran limitans interna sampai lapisan inti dalam), sedangkan sepertiga

bagian luar dari lapisan retina (lapisan plexiform luar sampai epitel pigmen retina) mendapat

nutrisi dari pembuluh darah di koroid.Arteri retina sentralis masuk ke retina melalui nervus

optik dan bercabang-cabang pada permukaan dalam retina. Cabang-cabang dari arteri ini

merupakan arteri terminalis tanpa anastomose. Lapisan retina bagian luar tidak mengandung

pembuluh-pembuluh kapiler sehingga nutrisinya diperoleh melalui difusi yang secara primer

berasal dari lapisan yang kaya pembuluh darah pada koroid.6,7

Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang, membentuk

sawar darah retina.Lapisan endotel pembuluh koroid dapat ditembus.Sawar darah retina

sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.Fovea sentralis merupakan daerah

avaskuler dan sepenuhnya tergantung pada difusi sirkulasi koroid untuk nutrisinya. Jika

retina mengalami ablasi sampai mengenai fovea maka akan terjadi kerusakan yang

irreversibel.6,7

Page 7: BAB I

Innervasi Retina

Neurosensoris pada retina tidak memberikan suplai sensibel.Kelainan-kelainan yang

terjadi pada retina tidak menimbulkan nyeri akibat tidak adanya saraf sensoris pada

retina.Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina seperti :

tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapangan pandang. Pemeriksaan obyektif adalah

elektroretinogram (ERG), elektro-okulogram (EOG), dan visual evoked respons

(VER).Salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui keutuhan retina adalah

pemeriksaan funduskopi.6,7

Fisiologi

Retina adalah jaringan mata yang paling komplek. Mata berfungsi sebagai suatu alat

optik, suatu reseptor yang komplek dan suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan

kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf

yang dihantarkan oleh jarak-jarak penglihatan ke korteks penglihatan oksipital. Fovea

berperan pada resolusi special(ketajaman penglihatan) dan penglihatan warna yang baik,

semuanya memerlukan pencahayaan ruang yang terang (penglihatan fotopik) dan paling

baik di foveola; sementara retina sisanya terutama digunakan untuk penglihatan

gerak,kontras,dan penglihatan malam(skotopik).1

Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut meningkat

dipusat macula (fovea),semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan sel lebih tinggi di

perifer. Fotoreseptor kerucut dan batang terletak dilapisan terluar retina sensorik avaskuler

dan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali proses penglihatan.1

1. Fotokimiawi Penglihatan

Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia rodopsin dan pigmen

kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila rodopsin sudah mengabsorbsi energi

cahaya, rodopsin akan segera terurai akibat fotoaktivasi elektron pada bagian retinal yang

mengubah bentuk cis dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-trans memiliki

struktur kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya berbeda, yaitu

lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang melengkung. Oleh karena

orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal all-trans tidak lagi cocok dengan tempat

reaksi protein skotopsin, maka terjadi pelepasan dengan skotoopsin. Produk yang segera

terbentuk adalah batorodopsin, yang merupakan kombinasi terpisah sebagian dari

retianal all-trans dan opsin. Batorodopsin sendiri merupakan senyawa yang sangat tidak

stabil dan dalam waktu singkat akan rusak menjadi lumirodopsin yang lalu berubah lagi

menjadi metarodopsin I. Metarodopsin I ini selanjutnya akan menjadi produk pecahan

Page 8: BAB I

akhir yaitu metarodopsin II yang disebut juga rodopsin teraktivasi, yang menstimulasi

perubahan elektrik dalam sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke otak.

Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah all-trans retinal

menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula mengubah all-trans retinal

menjadi menjadi all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk vitamin A.

Selanjutnya, di bawah pengaruh enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-cis

retinol lalu diubah lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin

membentuk rodopsin.

2. Adaptasi Terang dan Gelap

Bila seseorang berada di tempat yang sangat terang untuk waktu yang lama, maka

banyak sekali fotokimiawi yang yang terdapat di sel batang dan kerucut menjadi

berkurang karena diubah menjadi retinal dan opsin. Selanjutnya, sebagian besar retinal

dalam sel batang dan kerucut akan diubah menjadi vitamin A. Oleh karena kedua efek

ini, maka konsentrasi bahan kimiawi fotosensitif yang menetap dalam sel batang dan

kerucut akan sangat banyak berkurang, akibatnya sensitivitas mata terhadap cahaya juga

turut berkurang. Keadaan ini disebut adaptasi terang.

Sebaliknya, bila orang tersebut terus berada di tempat gelap dalam waktu yang

lama, maka retinal dan opsin yang ada di sel batang dan kerucut diubah kembali menjadi

pigmen yang peka terhadap cahaya. Selanjutnya, vitamin A diubah kembali menjadi

retinal untuk terus menyediakan pigmen peka cahaya tambahan, dimana batas akhirnya

ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan kerucut. Keadaan ini

disebut adaptasi gelap.

2.2 DIABETES MELITUS

2.2.1 DEFINISI

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus berhubungan dengan

kerusakan jangka panjang, kegagalan beberapa organ tubuh termasuk mata, ginjal,

saraf, jantung dan pembuluh darah. WHO telah merumuskan bahwa diabetes

mellitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang

jelas dan singkat namun secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan

Page 9: BAB I

problema anatomic dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat

defisiensi insulin absolut atau relative dan gangguan fungsi insulin.9

2.2.2 PATOFISIOLOGI

Dalam proses pencernaan yang normal, karbohidrat dari makanan diubah

menjadi glukosa, yang berguna sebagai bahan bakar atau energy bagi tubuh manusia.

Hormon insulin mengubah glukosa dalam darah menjadi energy yang digunakan sel.

Jika kebutuhan energy telah mencukupi, kebutuhan glukosa disimpen dalam bentuk

glukogen dalam hati dan otot yang nantinya bisa digunakan lagi sebagai energi

setelah direkovensi menjadi glukosa lagi. Proses penyimpanan dan rekovensi ini

membutuhkan insulin. Insulin adalah hormone yang dihasilkan oleh kelenjar

pancreas yang mengurangi dan mengontrol kadar gula darah sampai batas tertentu.9

Diabetes melitus terjadi akibat produksi insulin tubuh kurang jumlahnya atau

kurang daya kerjanya,walopun jumlah insulin sendiri normal bahkan mungkin

berlebihan akibat kurangnya jumlah atau daya kerja insulin. Glukosa yang tidak

dapat dimaanfatkan oleh sel hanya terakumulasi didalam darah dan beredar

keseluruh tubuh. Gula yang tidak dikonversi berhamburan di dalam darah, kadar

glukosa yang tinggi dalam darah akan di keluarkan lewat urin,tingginya glukosa

dalam urin membuat pederita banyak kencing, akibat muncul gejala keinginan

minum trus menerus (polydipsia) dan gejala makan (polypasia), walopun kadar

glukosa dalam darah cukup tinggi. Glukosa dalam darah jadi mubazir karena tidak

bisa dimasukan kedalam sel-sel tubuh.9

2.2.3 KLASIFIKASI

Klasifikasi diabetes mellitus menurut ADA, 2009 antara lain :

Diabetes mellitus tipe 1

Disebabkan karena destruksi sel beta yang umumnya menjurus ke defisiensi

insulin absolut. Hal ini dapat terjadi melalui proses imunologik ataupun idiopatik.

Hal ini berhubungan dengan HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa

autoimunitas serologic dan cell – mediated. Diabetes mellitus tipe 1 memiliki

prevalensi di inggris sebesar 2 per 1000 pada usia kurang dari 20 tahun dimana

retinopati diabetic akan terlihat setelah 5 tahun kemudian.4,9

Diabetes mellitus tipe 2

Page 10: BAB I

Tidak berhubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya

mempunyai sel beta yang masih berfungsi, dimana sering memerlukan insulin

tetapi tidak bergantung pada pemakaian insulin seumur hidup. Dimana terjadi

resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati, kenaikan produksi glukosa

oleh hati dan kekurangan insulin oleh pancreas. Awalnya resistensi insulin belum

menyebabkan diabetes mellitus secara klinis. Dimana pada saat itu sel beta

pancreas masih dapat mengkompensasi keadaan tersebut dan terjadi suatu

hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat.

Kemudian ketika sel beta pancreas tidak sanggup lagi maka muncul diabetes

mellitus secara klinis yang ditandai engan peningkatan glukosa darah yang

memenuhi kriteria diagnose diabetes mellitus. Tipe ini muncul pada usia lebih tua

yang memiliki prevalensi 5 – 20 per 1000, karena diabetes tipe 2 dapat terjadi

beberapa tahun sebelum diagnosis ditegakkan sehingga retinopati diabetic dapat

sudah terjadi sebelum pasien datang.9

Diabetes mellitus tipe lain

Defek genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit eksokrin

pancreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi, imunologi (jarang), dan

sindroma genetic lainnya. 9

Diabetes gestasional

Merupakan intoleransiglukosadenganonsetataupertama kaliselama

kehamilan. Akan tetapi hal Ini tidakmengesampingkan kemungkinan

bahwaintoleransi glukosamungkin telahmendahuluiataumulaisecara bersamaan

dengankehamilan. Prevalensi diabetes gestasional 4% dari seluruh kehamilandi

Amerika Serikat, yang mengakibatkan135.000kasus per tahun. Prevalensidapat

berkisardari 1 sampai 14% darikehamilan, tergantung pada populasi yang diteliti.

Diabetes gestasionalmewakilihampir 90% darisemuakehamilan dengan

komplikasidiabetes. Namun memburuknyatoleransiglukosaterjadi secara

normalselama kehamilan, terutamapada trimesterke-3. 10

2.2.4 TANDA & GEJALA

Pada DM tipe 1 muncul secara mendadak, sedangkan pada DM tipe 2 muncul

secara perlahan-lahan. Gejala dan tanda yang utama adalah :

3P, yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia

Page 11: BAB I

Penurunan berat badan pada kondisi nafsu makan normal atau meningkat.

Fenomena ini terutama pada DM tipe 1 yang tidak terkontrol, sedangkan DM

tipe 2 umumnya berasosiasi dengan obesitas.

Hiperglikemia disertai gangguan penglihatan, kelelahan, parestesia, dan infeksi

kulit.

Menurut PERKENI alur diagnosis diabetes mellitus dibagi menjadi 2 bagian

besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas pada diabetes mellitus. Gejala klinis

yang khas pada diabetes mellitus antara lain : poliuria, polifagia, dan berat badan

yang menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala yang tidak khas pada

diabetes mellitus antara lain lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.9

2.2.5 DIAGNOSIS

Menurut PERKENI diagnosis ditegakkan apabila ditemukan gejala khas

diabetes mellitus, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup,

namun apabila tidak ditemukan gejala khas diabetes mellitus maka diperlukan dua

kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan

kriteria diagnosis diabetes mellitus, yaitu antara lain9 :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Atau gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)Puasa

diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)TTGO dilakukan

dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram

glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

2.2.6 KOMPLIKASI

1. Komplikasi Akut

a) Hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat glukosa darah < 60 mg/dl,

dengan gejala:rasa lapar, gemetar, keringat dingin, berdebar, pusing, gelisah

koma.

b) Krisis Hiperglikemia

Page 12: BAB I

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut serius pada penderita

diabetes mellitus. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk

ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau

kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan

yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang

berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan

kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni.

2. Komplikasi Kronis

a) Infeksi (furunkel, karbunkel, TBC paru, UTI mikosis).

b) Mata

o N III, N VI, N II (Neuritis Optica), dan nervi sentralis lain

o Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (myopia-reversible, tetapi katarak-

irreversible)

o Retinopati DM = RD (Non-Proliferatif Retinopathy, Maculopathy, dan

Proliferative Retinopathy)

o Glaucoma

o Perdarahan Corpus Vitreum

c) Mulut

o Ludah (kental, mulut kering = Xerostomia Diabetik)

o Gingiva (udematus, merah tua, gingivitis)

o Periodontium (rusak biasanya karena mikroangiopati periodontitis DM;

semuanya menyebabkan gigi mudah goyah-lepas)

o Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa akibat dari neuropati)

d) Jantung

o Mudah mengidap PJK atau Infark

o Silent infarction 40% (karena neuropati otonom)

o Adanya neuropati otonom menyebabkan kenaikan denyut jantung per

menit tidak sesuai sewaktu latihan.

e) Tractus Urogenitalis

Nefropati Diabetik, Sindrom Kiemmelstiel Wilson, Pielonefritis,

necrotizing papillitis, UTI, DNVD = Diabetic Neurogenic Vesical

Dysfunction = Diabetic Bladder (dapat menyebabkan retensio/inkontinensia).

Page 13: BAB I

f) Saraf

Saraf Perifer (parestesia, anesthesia, Gloves Neuropathy, Stocking

Neuropathy, kramp, Nocturnal pain).

Saraf otonom: Gastrointestinalis (Neuropati Esofagus, Gastroparese

Diabeticorum, Gastro Atrophy, Diare Diabetik; Gastroparese Diabeticorum

dapat menyebabkan rasa mual, perut mudah penuh. Sedangkan pada regio

urogenital bisa terjadi seperti: (DNVD, retensio urinae, UTI, impotensi,

vulvitis). Pada kelenjar keringat: neuropati otonom dapat menyebabkan

distribusi keringat tidak merata, ada yang kering – ada yang basah.

g) Kulit

Gatal, shinspot (Dermopati Diabetik), Necrobiosis Lipoidica Diabeticorum,

kekuningan (hiperkarotenemia = psedo icterus) selulitis gangren.

2.3 DEFINSI RETINOPATI DIABETIK

Diabetic retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh

kerusakan dan subatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina,

kapiler-kapiler dan vena-vena.1

2.4 EPIDEMILOGI

Diabetes adalah penyakit yang umum terjadi pada negara maju dan menjadi

masalah terbesar di seluruh dunia. Insidens diabetes telah meningkat secara dramatis

pada dekade terakhir ini dan diperkirakan akan meningkat duakali lipat pada dekade

berikutnya. Meningkatnya prevalensi diabetes, mengakibatkan meningkat pula

komplikasi jangka panjang dari diabetes seperti retinopati, nefropati, dan neuropati, yang

mempunyai dampak besar terhadap pasien maupun masyarakat.2

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada

usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih

mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes.Resiko mengalami retinopati pada

pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes.Pada waktu diagnosis

diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah

10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90%

pasien sudah menderita rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis

ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif.Setelah 20

Page 14: BAB I

tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai

derajat. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2

mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat

mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun.1,2,3

2.5 ETIOLOGI

Penyebab pasti Retinopati Diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa

lamanya terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan

fisiologis dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.

Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda

dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa

telah diperleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih

sulit ditentukan secara tepat.

Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara

pasti, namun keadaan hiperglikemik lama dianggap sebagai faktor resiko utama.Lamanya

terpapar hiperglikemik menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhinya

menyebabkan perubahan kerusakan endotel pembuluh darah.  Perubahan abnormalitas

sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan

beratnya retinopati antara lain : 1) adhesi platelet yang meningkat, 2) agregasi eritrosit

yang meningkat, 3) abnormalitas lipid serum, 4) fibrinolisis yang tidak sempurna, 5)

abnormalitas serum dan viskositas darah.5

2.6 KLASIFIKASI

Secara umum klasifikasi retinopati diabetic dibagi menjadi :

1. Retinopati diabetik non proliferatif.

Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita

diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil pada mata

melemah. Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut (mikroaneurisma)

yang dapat pecah sehingga membocorkan cairan dan protein ke dalam retina.

Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk

“cotton wool” berwarna abu-abu atau putih. Endapan lemak protein yang

berwarna putih kuning (eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina.

Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan kecuali cairan dan

Page 15: BAB I

protein dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan pembengkakan pada pusat

retina (makula). Keadaan ini yang disebut makula edema, yang dapat

memperparah pusat penglihatan seseorang.1

Diabetik retinopati nonproliferatif dibagi menjadi tiga yaitu:

Mild: Ditandai dengan adanya minimal 1 microaneurisma

Moderat: Termasuk adanya perdarahan intraretina, mikroaneurisma yang luas,

gambaran manik – manik pada retina (venous beading), eksudat keras dan/ bercak

– bercak cotton wool.

Berat (4-2-1): Ditandai dengan bercak – bercak cotton wool, perdarahan

intraretina dan mikroaneurisma di 4 kuadran, dengan venous beading dalam

setidaknya 2 kuadran dan kelainan mikrovaskuler intraretinal dalam setidaknya 1

kuadran

Gambar 4 : Funduskopi pada NPDR. Mikroneurisma, hemorrhages intraretina (kepala panah terbuka), hard exudates merupakan deposit lipid pada retina (panah), cotton-wool spots

menandakan infark serabut saraf dan eksudat halus (kepala panah hitam).

2. Retinopati diabetik proliferative.

Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati

proliferatif yaitu stadium yang lebih berat pada penyakit retinopati diabetik.

Bentuk utama dari retinopati proliferatif adalah pertumbuhan (proliferasi) dari

pembuluh darah yang rapuh pada permukaan retina. Dimana iskemia retina yang

progresif akhirnya merangsang pembentukkan pembuluh – pembuluh halus baru

sehingga menyebabkan kebocoran protein – protein serum (dan fluoresens) dalam

jumlah besar dan pembuluh darah yang baru akan berproliferasi pada permukaan

Page 16: BAB I

retina. Pembuluh abnormal ini mudah pecah, terjadi perdarahan pada pertengahan

bola mata sehingga menghalangi penglihatan. Juga akan terbentuk jaringan parut

yang dapat menarik retina sehingga retina terlepas dari tempatnya. Jika tidak

diobati, retinopati proliferative dapat merusak retina secara permanen serta

bagian-bagian lain dari mata sehingga mengakibatkan penglihatan yang berat atau

kebutaan. Biasanya telah diawali oleh diabetik retinopati nonproliferatif paling

sedikit beberapa tahun sebelum terjadinya bentuk proliferatif.1,5

Gambar 5:Retinopati diabetik proliferatif

Diabetik retinopati proliferatif ditandai dengan adanya:

pembuluh darah baru atau neovaskularisasi pada diskus optikus (NVD) atau

pada bagian retina (NVE)

Pendarahan di vitreous

Dimana pendarahan vitreous yang masif dapat menyebabkan penurunan

penglihatan secara mendadak

Pendarahan di subhyaloid jaringan ikat vitreoretinal

Ablasi retina.

Disebabkan oleh karena jaringan neovaskular yang timbul dapat mengalami

perubahan fibrosa dan membentuk pita – pita fibrovaskular rapat sehingga

menyebabkan traksi vitreoretina sehingga dapat menyebabkan ablasio retina

akibat traksi progresif atau apabila terjadi robekan retina maka menyebabkan

ablasio retina regmatogenesa. Ablasio retina dapat ditandai atau ditutup oleh

pendarahan vitreous.

Penurunan tajam penglihatan secara perlahan

Klasifikasi retinopati diabetic menurut Bagian Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia / Rumah Sakit Dr.Cipto MAngunkusumo, yaitu :1

Page 17: BAB I

Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada

fundus okuli

Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau

tanpa fatty exudates pada fundus okuli

Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,

neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.

Jika gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong pada

derajat berat.

2.7 PATOFISIOLOGI

Ada tiga proses biokimiawi yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik

yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan pembentukan protein kinase C dan

pembentukan reactive oxygen speciasi (ROS)

Gambar 6: Patofisiologi Diabetik Retinopati

Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa

hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi

hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat

kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu

Page 18: BAB I

sendiri.Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga

berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:7,8

1)      Akumulasi Sorbitol

Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur

poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada

jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi

kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati

membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.

Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel

menjadi bengkak akibat proses osmotik.

Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan

uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis fosfatidilinositol

untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf.Secara singkat,

akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi saraf.

Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase(sorbinil)

yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau memperlambat

terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan

perlambatan dari progresifisitas retinopati.

2)      Pembentukan protein kinase C (PKC)

Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular

meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu

regulator PKC dari glukosa.PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi

trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan

PKC secara relevan meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu

permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.

Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi

plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan

agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain

itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos

Page 19: BAB I

vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan

terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang

merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses

tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi

vaskular retina.

3)      Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik.

Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE

ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas

vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit

oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya

oklusi vaskular retina.

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa.

Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi

pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan

glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini

lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.

4)      Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)

ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang

menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS

meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi

ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan

sel.

Page 20: BAB I

Gambar 7: Patofisiologi Diabetik Retinopati

Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia

kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa.

Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi

retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat penyampaian impuls listrik

ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan

penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh

edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan

hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi. 3,6

Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena

angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut

Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular

terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan penyokong

dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular

karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai

mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek

dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada

retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya

dikeluhkan penderita dengan floaters atau benda yang melayang-layang pada

penglihatan.3,6

Page 21: BAB I

Gambar 8. retina pada penderita retinopati diabetik

a. Retinopati diabetik non proliferative

Retinopati diabetik non proliferatif merupakan bentuk yang paling umum

dijumpai. Merupakan cerminan klinis dan hiperpermeabilitas dan inkompetens

pembuluh yang terkena. Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler,

mekanisme perubahannya tidak diketahui tapi telah diteliti adanya perubahan

endotel vaskuler (penebalan membrana basalis dan hilangnya perisit) dan

gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Disini

perubahan mikrovaskular pada retina terbatas pada lapisan retina (intraretinal),

terikat ke kutub posterior dan tidak melebihi membran internal.

Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multiple

yang dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil

menonjol seperti titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok,

bercak perdarahan intraretinal. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina

dan berbentuk nyala api karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang

berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak

terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi

vertikal.

b. Retinopati Diabetik Preproliferatif dan Edema Makula

Merupakan stadium yang paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif.

Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran

plasma yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding retina (cotton wool spot,

infark pada lapisan serabut saraf). Hal ini menimbulkan area non perfusi yang

luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari

Page 22: BAB I

stadium ini adalah cotton wool spot, blot haemorrage, intraretinal Microvasculer

Abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manik-manik. Bila satu dari

keempatnya dijumpai ada kecendrungan untuk menjadi progresif (Retinopati

Diabetik Proliferatif), dan bila keempatnya dijumpai maka beresiko untuk

menjadi Proliferatif dalam satu tahun.

Edema makula pada retinopati diabetik non proliferatif merupakan penyebab

tersering timbulnya gangguan penglihatan. Edema ini terutama disebabkan oleh

rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada endotel kapiler retina sehingga

terjadi kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya.

Edema ini dapat bersifat fokal dan difus. Edema ini tampak sebagai retina yang

menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga

terbentuk zona eksudat kuning kaya lemak bentuk bundar disekitar

mikroaneurisma dan paling sering berpusat dibagian temporal makula.

Retinopati Diabetik Non Proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan

melalui 2 mekanisme yaitu :

Perubahan sedikit demi sedikit dari pada penutupan kapiler intraretinal

yang menyebabkan iskemik makular.

Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema

makular.

c. Retinopati Diabetik Proliferatif

Merupakan penyulit mata yang paling parah pada Diabetes Melitus. Pada jenis ini

iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-

pembuluh halus (neovaskularisasi) yang sering terletak pada permukaan diskus

dan di tepi posterior zona perifer disamping itu neovaskularisasi iris atau rubeosis

iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi dan

menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai berkontraksi menjauhi retina dan

darah keluar dari pembuluh tersebut maka akan terjadi perdarahan massif dan

dapat timbul penurunan penglihatan mendadak.

Disamping itu jaringan neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami

fibrosis dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan

menimbulkan kontraksi terus-menerus pada korpus vitreum. Ini dapat

menyebabkan pelepasan retina akibat traksi progresif atau apabila terjadi robekan

retina, terjadi ablasio retina regmatogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau

Page 23: BAB I

ditutupi oleh perdarahan korpus vitreum. Apabila kontraksi korpus vitreum telah

sempurna dimata tersebut, maka retinopati proliferatif cenderung masuk ke

stadium involusional atau burnet-out.

2.8 GEJALA KLINIS

Retinopati diabetik biasanya asimtomatis untuk jangka waktu yang lama. Hanya pada

stadium akhir dengan adanya keterlibatan macular atau hemorrhages vitreus maka pasien

akan menderita kegagalan visual dan buta mendadak. Gejala klinis retinopati diabetik

proliferatif dibedakan menjadi dua yaitu gejala subjektif dan gejala obyektif.11,12,3

Gejala Subjektif yang dapat dirasakan :

         Kesulitan membaca

         Penglihatan kabur disebabkan karena edema macula

         Penglihatan ganda

         Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata

         Melihat lingkaran-lingkaran cahaya jika telah terjadi perdarahan vitreus

         Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gambar 9: Perbedaan melihat normal dengan diabetik retinopati

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:

Page 24: BAB I

Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah vena

dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah

terutama polus posterior. Mikroaneurismaterletakpadalapisan nuclear

dalamdanmerupakanlesiawal yang dapatdideteksisecaraklinis.

Mikroaneurismaberupatitikmerah yang bulatdankecil, awalnyatampakpada

temporal dari fovea. Perdarahandapatdalambentuktitik, garis, danbercak yang

biasanyaterletakdekatmikroaneurismadipolus posterior. 

Gambar 10. Mikroaneurisma dan hemorrhages pada backround diabetic retinopathy

Gambar 11. FA menunjukkan titik hiperlusen yang menunjukkan mikroaneurisma non-

trombosis

Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya terletak dekat

mikroaneurisma di polus posterior.

o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak

superficial, searah dengan nerve fiber.

Page 25: BAB I

o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end artery,

dilapisan tengah dan compact.

Gambar 12. Perdarahan pada retinopati diabetic

Gambar 13. Flame-shaped hemorrhages

Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-kelok

Gambar 14. Dilatasi Vena

Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina. Gamabarannya

kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata, membesar kemudian

bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

Page 26: BAB I

Gambar 15. Hard Exudates

Gambar 16. FA Hard Exudates menunjukkan hipofluoresens

Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat

becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi

daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

Gambar 17. Cotton Wool Spots pada oftalmologi dan FA

Page 27: BAB I

Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh

yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula-mula terletak pada

jaringan retina, kemudian berkembang kearah preretinal, ke badan kaca. Jika

pecah dapat menimbulkan perdarahan retian, perdarahan subhialoid (preretinal)

maupun perdarahan badan kaca.

Gambar 14 NVD severe dan NVE severe

Gambar 18. Retinopati Diabetik Resiko tinggi yang disertai perdarahan vitreus

Page 28: BAB I

Gambar 19 : Funduskopi pada PDR. Tanda panah menunjukkan adanya preretinal neovascularisation

Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah macula

sehingga sangat mengganngu tajam pengelihatan.

Gambar 20: Clinically significant macular edema with hard exudates in thefovea.  Cotton-wool spots are

present near the major retinal vessels (arrows).

2.9 DIAGNOSIS

Retinopati diabetik didiagnosis berdasarkan :

a. Anamnesa

Diabetik retinopati harus didiagnosis sebelum memberikan gejala. Semua pasien

diabetes harus menjalani pemeriksaan funduskopi paling tidak setahun sekali.

Skrining retinopati yang mengancam penglihatan (makulopati dan diabetik

retinopati proliferatif) harus dilakukan 5 tahun setelah didiagnosis pada pasien

dengan diabetes tipe I dan sejak saat datang pada pasien dengan diabetes tipe II.

Tajam penglihatan dapat berkurang secara perlahan karena makulopati dan secara

Page 29: BAB I

mendadak pada pendarahan vitreous4. Padapenderita diabetes mellitus yang

sudahmenderitalebihdari 5

tahunwalaupuntidakadakeluhanpenglihatanharusdiperiksa fundus okulidengan

oftalmoskop2.

b. pemeriksaan fisik

- Tes ketajaman penglihatan

- Dilatasi pupil

c. pemeriksaan penunjang

- Fundal flourescein angiography

- Pemotretan dengan memakai film berwarna

- Oftalmoskopi

- Slit lamp biomicroscopy

- Ocular Coherence Tomography (OCT); suatu pemeriksaan yang menyerupai

ultrasound yang digunakan untuk mengukur tekanan intraocular.

- Digital retinal screening programs, sebuah program sistematik untuk deteksi

dini penyakit mata termasuk retinopati diabetik.

Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan

pemeriksaan stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.Oftalmoskopi dan foto

funduskopi merupakan gold standard bagi penyakit ini.Angiografi

Fluoresens(FA) digunakan untuk menentukan jika pengobatan laser

diindikasikan. FA diberikan dengan cara menyuntikkan zat fluorresens secara

intravena dan kemudian  zat tersebut melalui pembuluh darah akan sampai di

fundus.

Page 30: BAB I

Gambar 21. Neovaskularisasi retina perifer  lebih terlihat jelas dengan angiography daripada funduskopi.

Studi laboratorium dari kadar HbA1cdanmeregulasikadarglukosadarah

penting dalam perawatan tindak lanjut jangka panjang pasien dengan diabetes

dan diabetik retinopati. Pemeriksaan penunjang yang digunakan dalam

diagnosis retinopati diabetik adalah sebagai berikut:

1. Screening

Deteksi sejak dini penting dilakukan sebelum penghilatan terganggu. Skrining

dilakukan dalam 3 tahun sejak di diagnosa diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan

selanjutnya setahun sekali pada keduanya. Screening dapat dilakukan dengan

fotografi fundus digital yang merupakan metode skrining yang efektif dan

sensitif. Selain itu dapat juga dilakukan fotografi tujuh bidang yang

merupakan pemeriksaan skreening batu emas, ettapi pemeriksaan dua bidang

45 derajat, satu difokuskan pada makula dan satunya lagi pada diskus,

pemeriksaan ini menjadi metode pilihan pada program skreening. Midriasis

diperlukan untuk mendapatkan foto yang berkualitas baik terutama apabila

pasien dengan katarak. Pada pasien wanita hamil dengan diabetes harus

diperiksa oleh dokter ahli mata atau dengan pemeriksaan fotografi fundus

digital pada trimester pertama dan sedikitnya setiap 3 bulan sampai waktu

persalinan.1

2. Fundal Fluorescein angiography

Untukmenegakkandanmengetahuiindikasipengobatanperludilakukanpemeriks

aan fundal fluorescein angiography.Jikadidapatkanmikroneurisma, eksudat,

perdarahan retina yang mengancamdaerah macula

harusdilakukanpemeriksaan FFA untukmencariindikasifotokoagulasi

laser2.Pada pemeriksaan FFA dengan jelas dan gamblang dapat melihat

adanya mikroaneurisma yang berdifusi atau tidak berdifusi, daerah hipoksia

atau iskemi adanya neovaskularisasi di retina di papil maupun di vitreous dan

melihat dengan pasti adanya edema di makula atau di retina, serta Intra Retina

Micro Angiopathy (IRMA).

Page 31: BAB I

Gambar 22. Microaneurysms:  hyperfluorescent dots in early phase of fluorescein angiogram

(arrows).

Gambar 23. Two minutes later, fluorescein leakage from the microaneurysms gives them a

hazy appearance.

Gambar 24.: FA menunjukkan titik hiperlusen yang menunjukkan mikroaneurisma non-

trombosis.

Page 32: BAB I

Gambar 25. FA Hard Exudates menunjukkan hipofluoresens.

3. Optical coherence tomography

Pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam memantau dan menentukkan edema

makula. Umunya pengobatan ini deperlukan pada penebalan retina lebih dari

300 mikron.1

Gambar 26. OCT image showing diffuse macular edema

Gambar 27. OCT image showing cystoid macular edema in a diabetic patient.

Page 33: BAB I

Gambar 28. OCT image showing subretinal fluid in a patient with diabetic retinopathy

Gambar 29. OCT image showing an epiretinal membrane and diabetic macular edema

2.10 DIAGNOSIS BANDING2

a) Mikroaneurisma dan perdarahan akibat retinopati hipertensi, oklusi vena retina.

b) Perdarahan vitreous dan neovaskularisasi akibat kelainan vitreo retina yang lain.

2.11 PENATALAKSANAAN11,12,13,14,15

Prinsip utama  penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan.

Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi

perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.

1. Pemeriksaan rutin pada ahli mata

Tabel 1. Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan

Umur onset

DM/kehamilan

Rekomendasi pemeriksaan pertama

kali

Follow up rutin minimal

Page 34: BAB I

0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis Setiap tahun

>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun

Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau sesuai

kebijakan dokter mata

Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli 

mata mungkin lebih memilih  untuk megikuti perkembangan  pasien-pasien

tertentu lebih sering karena antisipasi kebutuhan untuk terapi.

Tabel 2. Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina

Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan

Normal atau mikroaneurisma yang sedikit Setiap tahun

Retinopati Diabetik non proliferatif ringan Setiap 9 bulan

Retinopati Diabetik non proliferative Setiap 6 bulan

Retinopati Diabetik non proliferative Setiap 4 bulan

Edema makula Setiap 2-4 bulan

Retinopati Diabetik  proliferative Setiap 2-3 bulan

2. Kontrol glukosa darah dan hipertensi

Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik,

Diabetik Control and Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap

1441 pasien dengan DM Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang

sudah menderita RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati dan

mendapat terapi intensif selama 36 bulan mengalami penurunan resiko terjadi

retinopati sebesar 76% sedangkan pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko

perburukan retinopati sebesar 54%. Pada penelitian yang dilakukan United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada penderita DM Tipe II

dengan terapi intensif menunjukkan bahwa setiap penurunan HbA1c sebesar 1%

akan diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%.

Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun

kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati

diabetik secara sempurna, namun dapat mengurangi resiko timbulnya retinopati

diabetik dan memburuknya retinopati diabetic yang sudah ada.Secara klinik,

kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi resiko

kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser. UKPDS

Page 35: BAB I

menunjukkan bahwa control hipertensi juga menguntungkan mengurangi

progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan.

3. Fotokoagulasi

Selain meregulasi kadar glukosa di darah untuk mencegah kebutaan akibat

RD ini dilakukan fotokoagulasi LASER di daerah hipoksia dan mikroaneurisma

yang berdifusi dan adanya neovaskularisasi. Pengobatan dangan sinar Laser

hanya efektif bila media optik masih jernih, oleh karena itu harus dilakukan

sedini mungkin.

Teknik fotokoagulasi : setelah pupil dikeluarkan maksimal dipasang lensa

kontak 3 cermin dari Goldmann, sinar LASER ditembakkan melalui lensa

kontak, kornea, lensa, vitreous sampai retina.

Fotokoagulasi fokal : untuk daerah retina yang hanya mengalami hipoksia

atau mikroaneurisma yang berdifusi dan edema makula.

Fotokoagulasi par retina : untuk RD yang sudah ada neovaskularisasi baik

di papil retina maupun vitreous.

Jika sudah terjadi perdarahan di vitreous di mana LASER tidak bisa

menembus sampai di retina boleh dilakukan vitrektomi.

Dosis LASER yang digunakan adalah sebagai berikut :

Untuk daerah di sentral dekat makula penampang dari LASER (Spotsize)

50 mikron, makin ke perifer makin melebar sampai 500 on, sedangkan waktu

dan daya LASER disesuaikan dengan hasil tembakan yang terlihat saat

melakukan fotokoagulasi yakni antara 0,1 0,2 secon dengan daya 200-1000 mW.

Jumlah tembakan LASER tergantung tekhnik yang dipakai antara 200-

2000 tembakan.

Setiap penderita diabetes mellitus yang sudah menderita lebih dari 5 tahun

walaupun tidak ada keluhan penglihatan harus diperiksa fundus okuli dengan

oftalmoskop. Jika didapatkan mikroaneurisma, eksudat, perdarahan retina yang

mengancam daerah makula harus dilakukan pemeriksaan FFA untuk mencari

indikasi adanya fotokoagulasi LASER.

Jika dilakukan fotokoagulasi LASER setiap 3-6 bulan diperiksa ulang

untuk mengetahui kemajuan pengobatan.

Jika belum ada indikasi LASER sebaiknya diperiksa FFA setiap tahun.

Page 36: BAB I

Gambar 30. Laser Fotokoagulasi

1. Injeksi anti-VEGF

Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah

studi baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk

degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita

melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh

dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya

memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis. Avastin

merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah

pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi

vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk pengunaan

okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars

plana dengan dosis 0,1 mL. Lucentis merupakan versi modifikasi dari avastin

yang  khusus dimodifikasi untuk penggunaan di okuler via intra vitreal dengan

dosis 0,05 mL.

2. Vitrektomi

Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan

(opacity) vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat

juga membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang

mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan

bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah

fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami

perbaikan.

Page 37: BAB I

Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan clinical trial

pada pasien dengan dengan diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS

mengevaluasi keuntungan pada vitrektomi yang cepat (1-6 bulan setelah

perdarahn vitreus) dengan yang terlambat ( setalah 1 tahun) dengan perdarahan

vitreous berat dan kehilangan penglihatan (<5/200). Pasien dengan diabetes tipe

1 secara jelas menunjukan keuntungan vitrektomi awal, tetapi tidak pada tipe 2.

DRSV juga menunjukkan keuntungan vitrektomi awal dibandingkan dengan

managemen konvensional pada mata dengan retinopati diabetik proliferatif yang

sangat berat.

2.12 KOMPLIKASI3,11,16

1. Rubeosis iridis progresif

Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering.

Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap

adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata

maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.

Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan

kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membran fibrovaskular pada

permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati

ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat

pembuangan aquous dengan akibat tekanan intra okuler meningkat dan keadaan

sudut masih terbuka. Suatu saat membran fibrovaskular ini konstraksi menarik

iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS), sehingga sudut bilik

mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga

timbul reaksi radang intra okuler. Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis

terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada

pasien retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden

terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42% setelah tindakan vitrektomi,

sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan

pertama setelah dilakukan operasi.

Page 38: BAB I

2.  Glaukoma neovaskular

Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang

terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan

jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan

dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular

ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan

glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubungan dengan neovaskular pada iris

(rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu

respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit,

baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah  retinopati

diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai

percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membran fibrovaskuler

pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris

melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaringan trabekula sehingga

menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Pressure meningkat

dan keadaan sudut masih terbuka.

3.   Perdarahan vitreus rekuren

Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.

Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina

hingga ke rongga vitreus. Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur

yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan perdarahan.

Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau

intragel. Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior, middle,

posterior, atau keseluruhan badan vitreous.

Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi

saat perdarahan vitreous masih sedikit. Pada perdarahan badan kaca yang masif,

pasien biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.

Oftalmoskopi direk secara jauh akan menampakkan bayangan hitam yang

berlawanan dengan sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan

tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi

direk dan indirek menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.

Ultrasonografi Bscan membantu untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.

Page 39: BAB I

4.    Ablasio retina

Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari

lapisan pigmen epithelium. Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa

menyebabkan gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau

kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur.

2.13 PROGNOSIS

Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau

menunda retinopati.Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan tekanan

darah disesuaikan <140/85 mmHg).Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan

edema macula dapat menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan.

Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi walaupun diberi terapi

optimum.11,13,16

Prognosis visus penderita diabetik retinopati sangat tergantung pada regulasi

kadar gula yang baik dan ketepatan pengobatan dengan fotokoagulasi LASER, lebih awal

pengobatannya lebih baik prognosisnya.2

Meskipun terapi laser dan bedah telah sangat meningkatkan prognosis pasien

dengan diabetik retinopati, penyakit ini masih menyebabkan kehilangan penglihatan

berat.4

Mata dengan edema makula dan iskemia yang bermakna memiliki prognosis yang

lebih buruk dengan atau tanpa terapi laser dibandingkan mata edema dengan perfusi

relatif lebih baik.1

Page 40: BAB I

BAB III

KESIMPULAN

1. Diabetic retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh

kerusakan dan subatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler

retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.Diabetes retinopati sering menyebabkan

kebutaan dan merupakan penyebab hampir seperempat angka kebutaan di negara

– negara barat pada usia 30-65 tahun.

2. Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan

bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ.

Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga

berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain akumulasi sorbitol,

pembentukan protein kinase C (PKC), pembentukan Advanced Glycation End

Product (AGE) dan pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS).

3. Secara umum klasifikasi retinopati diabetic dibagi menjadi : Retinopati diabetik

non proliferative, Retinopati diabetik preproliferative, Retinopati diabetik

proliferative.

4. Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa: Kesulitan membaca, Penglihatan

kabur, Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata, Melihat lingkaran cahaya,

Melihat bintik gelap dan kelap-kelip.

5. Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina: Mikroaneurisma, Perdarahan

dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat

mikroaneurismata di polus posterior, Dilatasi pembuluh darah balik, Hard

exudates, Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches, Pembuluh darah

baru (neovaskularisasi), Edema retina.

6. Retinopati diabetik didiagnosis berdasarkan : anamnesa : adanya riwayat diabetes

mellitus, penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi secara perlahan-lahan

tergantung dari lokasi, luas dan beratnya kelainan. Pemerkiksaan fisik : tes

ketajaman penglihatan & dilatasi pupil. Pemeriksaan penunjang : Fundal

flourescein angiography, Pemotretan dengan memakai film berwarna,

Oftalmoskopi, Slit lamp biomicroscopy, Ocular Coherence Tomography (OCT),

Digital retinal screening programs, sebuah program sistematik untuk deteksi dini

penyakit mata termasuk retinopati diabetik.

Page 41: BAB I

7. Diagnosis bandingnya adalah Mikroaneurisma dan pendarahan akibat retinopati

hipertensi, oklusi vena retina serta pendarahan vitreous dan neovaskularisasi

akibat kelainan vitre-retina yang lain.

8. Prinsip utama  penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal

ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi

perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.

Penatalaksanaan yang dilakukan antara lain: 1) Pemeriksaan rutin pada ahli mata;

2) Kontrol glukosa darah dan hipertensi; 3) Fotokoagulasi; 4) Injeksi anti-VEGF;

dan 5) Vitrektomi

9. Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi

retinopati yang lebih berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan

iskemik yang bermakna akan memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau

tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang relatif baik.

10. Prognosis visus penderita diabetik retinopati sangat tergantung pada regulasi

kadar gula yang baik dan ketepatan pengobatan dengan fotokoagulasi laser, lebih

awal pengobatannya lebih baik prognosisnya.

.

Page 42: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Eva RP, Asbury T., Oftalmologi UmumEdisi 14. Widya Medika. Jakarta. 2000.

2. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.

3. Bhavsar, A.R. 2014. Diabetic Retinopathy. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview pada tanggal 11 Oktober 2014

4. James, B., Chew. C,. dan Bron, A. 2006. Lecture Notes Oftalmologi Edisi Sembilan. Jakarta: Erlangga.

5. Ilyas, H.S. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Ilyas, H.S. dan Yulianti, S.R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Jakarta.

7. Roy, M.S. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1 Diabetes. Diakses di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 pada tanggal 21 Oktober 2014

8. Ciulla T.A., Amador A.G., Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies.Diakses dihttp://care.diabetesjournals.org/content pada tanggal 21 Oktober 2014.

9. Sudoyo A, W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. V Jilid III. Jakarta : Interna Publishing

10. American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Vol 27. Amerika : Diabetes Care

11. Pandelaki K. Retinopati Diabetik. Sudoyo AW, Setyiohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Retinopati Diabetik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p.1857, 1889-1893.

12. Zing-Ma J, Sarah X-hang. Endogenous Angiogenic Inhibitors in Diabetic Retinopathy. In: Ocular Angiogenesis Disease. Mew Jersey : Humana Press ; 2006. p 23-35.

13. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter 5.Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2008. p 107-128

14. Rema M, dan R. Pradeepa. Diabetic retinopathy: An Indian perspective. Madras Diabetes Research Foundation &Dr Mohan’s Diabetes Specialities Centre, Chennai, India. Indian J Med Res 125; March 2007. p 297-310.

15. Mitchell P.Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy : Diabetic Retinopathy. Australia : National Health and Medical Research Council ; 2008. p 26-31,44-47,96-104.

16. Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology. London:Butterworth-Heinemann;2003. p.439-54,468-70.