bab i
DESCRIPTION
mmmmTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan
pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali
lebih mudah mengalami kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes.
Diabetes retinopati sering menyebabkan kebutaan dan merupakan penyebab
hampir seperempat angka kebutaan di negara – negara barat pada usia 30-65 tahun.
Sebanyak 60 – 75% pengidap diabetes mellitus tipe 1 akan mengalami retinopati
berat dalam 20 tahun walaupun kontrol penyakit dengan baik. Sedangkan pada
diabetes mellitus tipe 2 yang lebih tua retinopatinya lebih sering bersifat
nonproliferatid dengan resiko gangguan penglihatan sentral yang parah akibat
makulopati. kontrol diabetes dan hipertensi yang baik akan memperlambat
pembentukan retinopati dan komplikasi diabetic lainnya. Adanya pasien dengan
diabetes harus selalu mempertimbangkan pada semua pasien dengan retinopati
sehingga dapat ditangani secara agresif dengan tindakan penyelamatan mata
fotokoagulasi panretina.1
Retinopati diabetik merupakan kelainan retina akibat dari komplikasi diabetes
yang menyebabkan kebutaan. Retinopati ini dapat dibagi dalam dua kelompok
berdasarkan klinis yaitu retinopati diabetik non proliferatif dan retinopati diabetik
proliferatif, dimana retinopati diabetik non proliferatif merupakan gejala klinik yang
paling dini didapatkan pada penyakit retinopati diabetik.
Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya
ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat
menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita
retinopati diabetik.
Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah
menderita retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20
tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam
berbagai derajat. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien
diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total setiap tahun.
Metode pengobatan retinopati diabetik dewasa ini telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat sehingga resiko kebutaan banyak berkurang.
Namun demikian, karena angka kejadian diabetes di seluruh dunia cenderung makin
meningkat maka retinopati diabetik masih tetap menjadi masalah penting.
Oleh karena itu penting bagi kita sebagai dokter layanan primer untuk dapat
mendeteksi secara dini diabetes retinopati pada masyarakat agar dapat ditatalaksana
sesegera mungkin. Pembuatan refreat ini bertujuan untuk mengetahui pengertian dari
diabetes retinopati, bentuk diabetes retinopati beserta patofisologinya, cara
menegakkan diagnosa, komplikasi yang dapat terjadi, serta penatalaksanaan diabetes
retinopati.
1.2 TUJUAN
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari mengenai
Retinopati Diabetik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI MATA11
Gambar 1 anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata
bagian depan (kornea) memiliki kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat
bentuk 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan
yaitu sklera, uvea, dan retina. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang
merupakan bagian terluar dan memberi bentuk bola mata. Jaringan uvea merupakan
jaringan vaskular. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris
didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk
ke dalam bola mata, yaitu otot dilator, sfingter iris, dan otot siliar. Otot siliar yang
terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Otot
melingkari badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi mengakibatkan
mengendornya Zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa.
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
berakhir di tepi ora serata. (4)
Retina dibentuk dari lapisan neuroektoderma sewaktu proses embriologi.
Retina berasal dari divertikulum otak bagian depan (proencephalon). Pertama-tama
vesikel optic terbentuk kemudian berinvaginasi membentuk struktur mangkuk
berdinding ganda, yang disebut optic cup. Dalam perkembangannya, dinding luar
akan membentuk epitel pigmen sementara dinding dalam akan membentuk sembilan
lapisan retina lainnya. Retina akan terus melekat dengan proencephalon sepanjang
kehidupan melalui suatu struktur yang disebut traktus retinohipotalamikus.(,6,7)
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatasan dengan koroid dan sel epitel
pigmen retina. Retina terdiri atas 2 lapisan utama yaitu lapisan luar yang berpigmen
dan lapisan dalam yang merupakan lapisan saraf. Lapisan saraf memiliki 2 jenis sel
fotoreseptor yaitu sel batang yang berguna untuk melihat cahaya dengan intensitas
rendah (penglihatan di malam hari), tidak dapat melihat warna, untuk penglihatan
perifer dan orientasi ruangan sedangkan sel kerucut berguna untuk melihat warna,
cahaya dengan intensitas tinggi (untuk penglihatan di siang hari) dan penglihatan
sentral. Retina memiliki banyak pembuluh darah yang menyuplai nutrient dan
oksigen pada sel retina.4,6
Secara histologis, lapisan-lapisan retina terdiri atas 10 lapisan, mulai dari sisi
dalam adalah sebagai berikut:
1. Membrana limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.
2. Lapisan serabut saraf, yang mengandung akson–akson sel ganglion yang
berjalan menuju ke Nervus Optikus. Di dalam lapisan–lapisan ini
terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
3. Lapisan sel ganglion, yang merupakan lapis badan sel dari pada Nervus Optikus.
4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan–sambungan sel
ganglion dalam sel amakrin dan sel bipolar.
5. Lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.
Lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan–sambungan sel bipolar
dan sel horizontal dengan fotoreseptor.
7. Lapisan inti luar, yang merupakan susunan lapis nukleus, sel kerucut dan
batang. Ketiga lapisan di atas avaskuler dan mendapat metabolisme dari kapiler
koroid.
8. Membran limitan eksterna, yang merupakan membran ilusi.
9. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.
10. Epitelium pigmen retina.
Gambar 2 : Penampang histologis lapisan retina
Gambar 3 : Foto Fundus: Retina Normal. Makula lutea terletak 3-4 mm kea rah temporal dan
sedikit dibawah disk optik, Diameter vena 1,5 kali lebih besar dari arteri
Vaskularisasi
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu arteri retina sentralis yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika dan khoriokapilari yang berada tepat di luar
membrana Bruch.Arteri retina sentralis memvaskularisasi dua per tiga sebelah dalam dari
lapisan retina (membran limitans interna sampai lapisan inti dalam), sedangkan sepertiga
bagian luar dari lapisan retina (lapisan plexiform luar sampai epitel pigmen retina) mendapat
nutrisi dari pembuluh darah di koroid.Arteri retina sentralis masuk ke retina melalui nervus
optik dan bercabang-cabang pada permukaan dalam retina. Cabang-cabang dari arteri ini
merupakan arteri terminalis tanpa anastomose. Lapisan retina bagian luar tidak mengandung
pembuluh-pembuluh kapiler sehingga nutrisinya diperoleh melalui difusi yang secara primer
berasal dari lapisan yang kaya pembuluh darah pada koroid.6,7
Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang, membentuk
sawar darah retina.Lapisan endotel pembuluh koroid dapat ditembus.Sawar darah retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.Fovea sentralis merupakan daerah
avaskuler dan sepenuhnya tergantung pada difusi sirkulasi koroid untuk nutrisinya. Jika
retina mengalami ablasi sampai mengenai fovea maka akan terjadi kerusakan yang
irreversibel.6,7
Innervasi Retina
Neurosensoris pada retina tidak memberikan suplai sensibel.Kelainan-kelainan yang
terjadi pada retina tidak menimbulkan nyeri akibat tidak adanya saraf sensoris pada
retina.Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina seperti :
tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapangan pandang. Pemeriksaan obyektif adalah
elektroretinogram (ERG), elektro-okulogram (EOG), dan visual evoked respons
(VER).Salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui keutuhan retina adalah
pemeriksaan funduskopi.6,7
Fisiologi
Retina adalah jaringan mata yang paling komplek. Mata berfungsi sebagai suatu alat
optik, suatu reseptor yang komplek dan suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf
yang dihantarkan oleh jarak-jarak penglihatan ke korteks penglihatan oksipital. Fovea
berperan pada resolusi special(ketajaman penglihatan) dan penglihatan warna yang baik,
semuanya memerlukan pencahayaan ruang yang terang (penglihatan fotopik) dan paling
baik di foveola; sementara retina sisanya terutama digunakan untuk penglihatan
gerak,kontras,dan penglihatan malam(skotopik).1
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut meningkat
dipusat macula (fovea),semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan sel lebih tinggi di
perifer. Fotoreseptor kerucut dan batang terletak dilapisan terluar retina sensorik avaskuler
dan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali proses penglihatan.1
1. Fotokimiawi Penglihatan
Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia rodopsin dan pigmen
kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila rodopsin sudah mengabsorbsi energi
cahaya, rodopsin akan segera terurai akibat fotoaktivasi elektron pada bagian retinal yang
mengubah bentuk cis dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-trans memiliki
struktur kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya berbeda, yaitu
lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang melengkung. Oleh karena
orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal all-trans tidak lagi cocok dengan tempat
reaksi protein skotopsin, maka terjadi pelepasan dengan skotoopsin. Produk yang segera
terbentuk adalah batorodopsin, yang merupakan kombinasi terpisah sebagian dari
retianal all-trans dan opsin. Batorodopsin sendiri merupakan senyawa yang sangat tidak
stabil dan dalam waktu singkat akan rusak menjadi lumirodopsin yang lalu berubah lagi
menjadi metarodopsin I. Metarodopsin I ini selanjutnya akan menjadi produk pecahan
akhir yaitu metarodopsin II yang disebut juga rodopsin teraktivasi, yang menstimulasi
perubahan elektrik dalam sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke otak.
Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah all-trans retinal
menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula mengubah all-trans retinal
menjadi menjadi all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk vitamin A.
Selanjutnya, di bawah pengaruh enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-cis
retinol lalu diubah lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin
membentuk rodopsin.
2. Adaptasi Terang dan Gelap
Bila seseorang berada di tempat yang sangat terang untuk waktu yang lama, maka
banyak sekali fotokimiawi yang yang terdapat di sel batang dan kerucut menjadi
berkurang karena diubah menjadi retinal dan opsin. Selanjutnya, sebagian besar retinal
dalam sel batang dan kerucut akan diubah menjadi vitamin A. Oleh karena kedua efek
ini, maka konsentrasi bahan kimiawi fotosensitif yang menetap dalam sel batang dan
kerucut akan sangat banyak berkurang, akibatnya sensitivitas mata terhadap cahaya juga
turut berkurang. Keadaan ini disebut adaptasi terang.
Sebaliknya, bila orang tersebut terus berada di tempat gelap dalam waktu yang
lama, maka retinal dan opsin yang ada di sel batang dan kerucut diubah kembali menjadi
pigmen yang peka terhadap cahaya. Selanjutnya, vitamin A diubah kembali menjadi
retinal untuk terus menyediakan pigmen peka cahaya tambahan, dimana batas akhirnya
ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan kerucut. Keadaan ini
disebut adaptasi gelap.
2.2 DIABETES MELITUS
2.2.1 DEFINISI
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, kegagalan beberapa organ tubuh termasuk mata, ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah. WHO telah merumuskan bahwa diabetes
mellitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang
jelas dan singkat namun secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomic dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat
defisiensi insulin absolut atau relative dan gangguan fungsi insulin.9
2.2.2 PATOFISIOLOGI
Dalam proses pencernaan yang normal, karbohidrat dari makanan diubah
menjadi glukosa, yang berguna sebagai bahan bakar atau energy bagi tubuh manusia.
Hormon insulin mengubah glukosa dalam darah menjadi energy yang digunakan sel.
Jika kebutuhan energy telah mencukupi, kebutuhan glukosa disimpen dalam bentuk
glukogen dalam hati dan otot yang nantinya bisa digunakan lagi sebagai energi
setelah direkovensi menjadi glukosa lagi. Proses penyimpanan dan rekovensi ini
membutuhkan insulin. Insulin adalah hormone yang dihasilkan oleh kelenjar
pancreas yang mengurangi dan mengontrol kadar gula darah sampai batas tertentu.9
Diabetes melitus terjadi akibat produksi insulin tubuh kurang jumlahnya atau
kurang daya kerjanya,walopun jumlah insulin sendiri normal bahkan mungkin
berlebihan akibat kurangnya jumlah atau daya kerja insulin. Glukosa yang tidak
dapat dimaanfatkan oleh sel hanya terakumulasi didalam darah dan beredar
keseluruh tubuh. Gula yang tidak dikonversi berhamburan di dalam darah, kadar
glukosa yang tinggi dalam darah akan di keluarkan lewat urin,tingginya glukosa
dalam urin membuat pederita banyak kencing, akibat muncul gejala keinginan
minum trus menerus (polydipsia) dan gejala makan (polypasia), walopun kadar
glukosa dalam darah cukup tinggi. Glukosa dalam darah jadi mubazir karena tidak
bisa dimasukan kedalam sel-sel tubuh.9
2.2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes mellitus menurut ADA, 2009 antara lain :
Diabetes mellitus tipe 1
Disebabkan karena destruksi sel beta yang umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut. Hal ini dapat terjadi melalui proses imunologik ataupun idiopatik.
Hal ini berhubungan dengan HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa
autoimunitas serologic dan cell – mediated. Diabetes mellitus tipe 1 memiliki
prevalensi di inggris sebesar 2 per 1000 pada usia kurang dari 20 tahun dimana
retinopati diabetic akan terlihat setelah 5 tahun kemudian.4,9
Diabetes mellitus tipe 2
Tidak berhubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya
mempunyai sel beta yang masih berfungsi, dimana sering memerlukan insulin
tetapi tidak bergantung pada pemakaian insulin seumur hidup. Dimana terjadi
resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati, kenaikan produksi glukosa
oleh hati dan kekurangan insulin oleh pancreas. Awalnya resistensi insulin belum
menyebabkan diabetes mellitus secara klinis. Dimana pada saat itu sel beta
pancreas masih dapat mengkompensasi keadaan tersebut dan terjadi suatu
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat.
Kemudian ketika sel beta pancreas tidak sanggup lagi maka muncul diabetes
mellitus secara klinis yang ditandai engan peningkatan glukosa darah yang
memenuhi kriteria diagnose diabetes mellitus. Tipe ini muncul pada usia lebih tua
yang memiliki prevalensi 5 – 20 per 1000, karena diabetes tipe 2 dapat terjadi
beberapa tahun sebelum diagnosis ditegakkan sehingga retinopati diabetic dapat
sudah terjadi sebelum pasien datang.9
Diabetes mellitus tipe lain
Defek genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit eksokrin
pancreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi, imunologi (jarang), dan
sindroma genetic lainnya. 9
Diabetes gestasional
Merupakan intoleransiglukosadenganonsetataupertama kaliselama
kehamilan. Akan tetapi hal Ini tidakmengesampingkan kemungkinan
bahwaintoleransi glukosamungkin telahmendahuluiataumulaisecara bersamaan
dengankehamilan. Prevalensi diabetes gestasional 4% dari seluruh kehamilandi
Amerika Serikat, yang mengakibatkan135.000kasus per tahun. Prevalensidapat
berkisardari 1 sampai 14% darikehamilan, tergantung pada populasi yang diteliti.
Diabetes gestasionalmewakilihampir 90% darisemuakehamilan dengan
komplikasidiabetes. Namun memburuknyatoleransiglukosaterjadi secara
normalselama kehamilan, terutamapada trimesterke-3. 10
2.2.4 TANDA & GEJALA
Pada DM tipe 1 muncul secara mendadak, sedangkan pada DM tipe 2 muncul
secara perlahan-lahan. Gejala dan tanda yang utama adalah :
3P, yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia
Penurunan berat badan pada kondisi nafsu makan normal atau meningkat.
Fenomena ini terutama pada DM tipe 1 yang tidak terkontrol, sedangkan DM
tipe 2 umumnya berasosiasi dengan obesitas.
Hiperglikemia disertai gangguan penglihatan, kelelahan, parestesia, dan infeksi
kulit.
Menurut PERKENI alur diagnosis diabetes mellitus dibagi menjadi 2 bagian
besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas pada diabetes mellitus. Gejala klinis
yang khas pada diabetes mellitus antara lain : poliuria, polifagia, dan berat badan
yang menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala yang tidak khas pada
diabetes mellitus antara lain lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata
kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.9
2.2.5 DIAGNOSIS
Menurut PERKENI diagnosis ditegakkan apabila ditemukan gejala khas
diabetes mellitus, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas diabetes mellitus maka diperlukan dua
kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan
kriteria diagnosis diabetes mellitus, yaitu antara lain9 :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)TTGO dilakukan
dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
2.2.6 KOMPLIKASI
1. Komplikasi Akut
a) Hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat glukosa darah < 60 mg/dl,
dengan gejala:rasa lapar, gemetar, keringat dingin, berdebar, pusing, gelisah
koma.
b) Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut serius pada penderita
diabetes mellitus. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk
ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau
kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan
yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan
kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni.
2. Komplikasi Kronis
a) Infeksi (furunkel, karbunkel, TBC paru, UTI mikosis).
b) Mata
o N III, N VI, N II (Neuritis Optica), dan nervi sentralis lain
o Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (myopia-reversible, tetapi katarak-
irreversible)
o Retinopati DM = RD (Non-Proliferatif Retinopathy, Maculopathy, dan
Proliferative Retinopathy)
o Glaucoma
o Perdarahan Corpus Vitreum
c) Mulut
o Ludah (kental, mulut kering = Xerostomia Diabetik)
o Gingiva (udematus, merah tua, gingivitis)
o Periodontium (rusak biasanya karena mikroangiopati periodontitis DM;
semuanya menyebabkan gigi mudah goyah-lepas)
o Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa akibat dari neuropati)
d) Jantung
o Mudah mengidap PJK atau Infark
o Silent infarction 40% (karena neuropati otonom)
o Adanya neuropati otonom menyebabkan kenaikan denyut jantung per
menit tidak sesuai sewaktu latihan.
e) Tractus Urogenitalis
Nefropati Diabetik, Sindrom Kiemmelstiel Wilson, Pielonefritis,
necrotizing papillitis, UTI, DNVD = Diabetic Neurogenic Vesical
Dysfunction = Diabetic Bladder (dapat menyebabkan retensio/inkontinensia).
f) Saraf
Saraf Perifer (parestesia, anesthesia, Gloves Neuropathy, Stocking
Neuropathy, kramp, Nocturnal pain).
Saraf otonom: Gastrointestinalis (Neuropati Esofagus, Gastroparese
Diabeticorum, Gastro Atrophy, Diare Diabetik; Gastroparese Diabeticorum
dapat menyebabkan rasa mual, perut mudah penuh. Sedangkan pada regio
urogenital bisa terjadi seperti: (DNVD, retensio urinae, UTI, impotensi,
vulvitis). Pada kelenjar keringat: neuropati otonom dapat menyebabkan
distribusi keringat tidak merata, ada yang kering – ada yang basah.
g) Kulit
Gatal, shinspot (Dermopati Diabetik), Necrobiosis Lipoidica Diabeticorum,
kekuningan (hiperkarotenemia = psedo icterus) selulitis gangren.
2.3 DEFINSI RETINOPATI DIABETIK
Diabetic retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan subatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina,
kapiler-kapiler dan vena-vena.1
2.4 EPIDEMILOGI
Diabetes adalah penyakit yang umum terjadi pada negara maju dan menjadi
masalah terbesar di seluruh dunia. Insidens diabetes telah meningkat secara dramatis
pada dekade terakhir ini dan diperkirakan akan meningkat duakali lipat pada dekade
berikutnya. Meningkatnya prevalensi diabetes, mengakibatkan meningkat pula
komplikasi jangka panjang dari diabetes seperti retinopati, nefropati, dan neuropati, yang
mempunyai dampak besar terhadap pasien maupun masyarakat.2
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada
usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes.Resiko mengalami retinopati pada
pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes.Pada waktu diagnosis
diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah
10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90%
pasien sudah menderita rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis
ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif.Setelah 20
tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai
derajat. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2
mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat
mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun.1,2,3
2.5 ETIOLOGI
Penyebab pasti Retinopati Diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa
lamanya terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan
fisiologis dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda
dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa
telah diperleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih
sulit ditentukan secara tepat.
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiperglikemik lama dianggap sebagai faktor resiko utama.Lamanya
terpapar hiperglikemik menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhinya
menyebabkan perubahan kerusakan endotel pembuluh darah. Perubahan abnormalitas
sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan
beratnya retinopati antara lain : 1) adhesi platelet yang meningkat, 2) agregasi eritrosit
yang meningkat, 3) abnormalitas lipid serum, 4) fibrinolisis yang tidak sempurna, 5)
abnormalitas serum dan viskositas darah.5
2.6 KLASIFIKASI
Secara umum klasifikasi retinopati diabetic dibagi menjadi :
1. Retinopati diabetik non proliferatif.
Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita
diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil pada mata
melemah. Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut (mikroaneurisma)
yang dapat pecah sehingga membocorkan cairan dan protein ke dalam retina.
Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk
“cotton wool” berwarna abu-abu atau putih. Endapan lemak protein yang
berwarna putih kuning (eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina.
Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan kecuali cairan dan
protein dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan pembengkakan pada pusat
retina (makula). Keadaan ini yang disebut makula edema, yang dapat
memperparah pusat penglihatan seseorang.1
Diabetik retinopati nonproliferatif dibagi menjadi tiga yaitu:
Mild: Ditandai dengan adanya minimal 1 microaneurisma
Moderat: Termasuk adanya perdarahan intraretina, mikroaneurisma yang luas,
gambaran manik – manik pada retina (venous beading), eksudat keras dan/ bercak
– bercak cotton wool.
Berat (4-2-1): Ditandai dengan bercak – bercak cotton wool, perdarahan
intraretina dan mikroaneurisma di 4 kuadran, dengan venous beading dalam
setidaknya 2 kuadran dan kelainan mikrovaskuler intraretinal dalam setidaknya 1
kuadran
Gambar 4 : Funduskopi pada NPDR. Mikroneurisma, hemorrhages intraretina (kepala panah terbuka), hard exudates merupakan deposit lipid pada retina (panah), cotton-wool spots
menandakan infark serabut saraf dan eksudat halus (kepala panah hitam).
2. Retinopati diabetik proliferative.
Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati
proliferatif yaitu stadium yang lebih berat pada penyakit retinopati diabetik.
Bentuk utama dari retinopati proliferatif adalah pertumbuhan (proliferasi) dari
pembuluh darah yang rapuh pada permukaan retina. Dimana iskemia retina yang
progresif akhirnya merangsang pembentukkan pembuluh – pembuluh halus baru
sehingga menyebabkan kebocoran protein – protein serum (dan fluoresens) dalam
jumlah besar dan pembuluh darah yang baru akan berproliferasi pada permukaan
retina. Pembuluh abnormal ini mudah pecah, terjadi perdarahan pada pertengahan
bola mata sehingga menghalangi penglihatan. Juga akan terbentuk jaringan parut
yang dapat menarik retina sehingga retina terlepas dari tempatnya. Jika tidak
diobati, retinopati proliferative dapat merusak retina secara permanen serta
bagian-bagian lain dari mata sehingga mengakibatkan penglihatan yang berat atau
kebutaan. Biasanya telah diawali oleh diabetik retinopati nonproliferatif paling
sedikit beberapa tahun sebelum terjadinya bentuk proliferatif.1,5
Gambar 5:Retinopati diabetik proliferatif
Diabetik retinopati proliferatif ditandai dengan adanya:
pembuluh darah baru atau neovaskularisasi pada diskus optikus (NVD) atau
pada bagian retina (NVE)
Pendarahan di vitreous
Dimana pendarahan vitreous yang masif dapat menyebabkan penurunan
penglihatan secara mendadak
Pendarahan di subhyaloid jaringan ikat vitreoretinal
Ablasi retina.
Disebabkan oleh karena jaringan neovaskular yang timbul dapat mengalami
perubahan fibrosa dan membentuk pita – pita fibrovaskular rapat sehingga
menyebabkan traksi vitreoretina sehingga dapat menyebabkan ablasio retina
akibat traksi progresif atau apabila terjadi robekan retina maka menyebabkan
ablasio retina regmatogenesa. Ablasio retina dapat ditandai atau ditutup oleh
pendarahan vitreous.
Penurunan tajam penglihatan secara perlahan
Klasifikasi retinopati diabetic menurut Bagian Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / Rumah Sakit Dr.Cipto MAngunkusumo, yaitu :1
Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada
fundus okuli
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau
tanpa fatty exudates pada fundus okuli
Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,
neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong pada
derajat berat.
2.7 PATOFISIOLOGI
Ada tiga proses biokimiawi yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik
yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan pembentukan protein kinase C dan
pembentukan reactive oxygen speciasi (ROS)
Gambar 6: Patofisiologi Diabetik Retinopati
Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa
hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi
hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat
kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu
sendiri.Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga
berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:7,8
1) Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur
poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada
jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi
kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.
Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel
menjadi bengkak akibat proses osmotik.
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan
uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis fosfatidilinositol
untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf.Secara singkat,
akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi saraf.
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase(sorbinil)
yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau memperlambat
terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan
perlambatan dari progresifisitas retinopati.
2) Pembentukan protein kinase C (PKC)
Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular
meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu
regulator PKC dari glukosa.PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi
trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan
PKC secara relevan meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu
permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi
plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan
agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain
itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos
vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan
terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang
merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses
tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi
vaskular retina.
3) Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik.
Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE
ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit
oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya
oklusi vaskular retina.
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa.
Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi
pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan
glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini
lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.
4) Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)
ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang
menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi
ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan
sel.
Gambar 7: Patofisiologi Diabetik Retinopati
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia
kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa.
Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi
retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat penyampaian impuls listrik
ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan
penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh
edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan
hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi. 3,6
Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena
angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut
Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular
terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan penyokong
dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular
karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai
mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek
dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada
retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya
dikeluhkan penderita dengan floaters atau benda yang melayang-layang pada
penglihatan.3,6
Gambar 8. retina pada penderita retinopati diabetik
a. Retinopati diabetik non proliferative
Retinopati diabetik non proliferatif merupakan bentuk yang paling umum
dijumpai. Merupakan cerminan klinis dan hiperpermeabilitas dan inkompetens
pembuluh yang terkena. Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler,
mekanisme perubahannya tidak diketahui tapi telah diteliti adanya perubahan
endotel vaskuler (penebalan membrana basalis dan hilangnya perisit) dan
gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Disini
perubahan mikrovaskular pada retina terbatas pada lapisan retina (intraretinal),
terikat ke kutub posterior dan tidak melebihi membran internal.
Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multiple
yang dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil
menonjol seperti titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok,
bercak perdarahan intraretinal. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina
dan berbentuk nyala api karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang
berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak
terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi
vertikal.
b. Retinopati Diabetik Preproliferatif dan Edema Makula
Merupakan stadium yang paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif.
Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran
plasma yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding retina (cotton wool spot,
infark pada lapisan serabut saraf). Hal ini menimbulkan area non perfusi yang
luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari
stadium ini adalah cotton wool spot, blot haemorrage, intraretinal Microvasculer
Abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manik-manik. Bila satu dari
keempatnya dijumpai ada kecendrungan untuk menjadi progresif (Retinopati
Diabetik Proliferatif), dan bila keempatnya dijumpai maka beresiko untuk
menjadi Proliferatif dalam satu tahun.
Edema makula pada retinopati diabetik non proliferatif merupakan penyebab
tersering timbulnya gangguan penglihatan. Edema ini terutama disebabkan oleh
rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada endotel kapiler retina sehingga
terjadi kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya.
Edema ini dapat bersifat fokal dan difus. Edema ini tampak sebagai retina yang
menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga
terbentuk zona eksudat kuning kaya lemak bentuk bundar disekitar
mikroaneurisma dan paling sering berpusat dibagian temporal makula.
Retinopati Diabetik Non Proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan
melalui 2 mekanisme yaitu :
Perubahan sedikit demi sedikit dari pada penutupan kapiler intraretinal
yang menyebabkan iskemik makular.
Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema
makular.
c. Retinopati Diabetik Proliferatif
Merupakan penyulit mata yang paling parah pada Diabetes Melitus. Pada jenis ini
iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-
pembuluh halus (neovaskularisasi) yang sering terletak pada permukaan diskus
dan di tepi posterior zona perifer disamping itu neovaskularisasi iris atau rubeosis
iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi dan
menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai berkontraksi menjauhi retina dan
darah keluar dari pembuluh tersebut maka akan terjadi perdarahan massif dan
dapat timbul penurunan penglihatan mendadak.
Disamping itu jaringan neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami
fibrosis dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan
menimbulkan kontraksi terus-menerus pada korpus vitreum. Ini dapat
menyebabkan pelepasan retina akibat traksi progresif atau apabila terjadi robekan
retina, terjadi ablasio retina regmatogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau
ditutupi oleh perdarahan korpus vitreum. Apabila kontraksi korpus vitreum telah
sempurna dimata tersebut, maka retinopati proliferatif cenderung masuk ke
stadium involusional atau burnet-out.
2.8 GEJALA KLINIS
Retinopati diabetik biasanya asimtomatis untuk jangka waktu yang lama. Hanya pada
stadium akhir dengan adanya keterlibatan macular atau hemorrhages vitreus maka pasien
akan menderita kegagalan visual dan buta mendadak. Gejala klinis retinopati diabetik
proliferatif dibedakan menjadi dua yaitu gejala subjektif dan gejala obyektif.11,12,3
Gejala Subjektif yang dapat dirasakan :
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur disebabkan karena edema macula
Penglihatan ganda
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya jika telah terjadi perdarahan vitreus
Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip
Gambar 9: Perbedaan melihat normal dengan diabetik retinopati
Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:
Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah vena
dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
terutama polus posterior. Mikroaneurismaterletakpadalapisan nuclear
dalamdanmerupakanlesiawal yang dapatdideteksisecaraklinis.
Mikroaneurismaberupatitikmerah yang bulatdankecil, awalnyatampakpada
temporal dari fovea. Perdarahandapatdalambentuktitik, garis, danbercak yang
biasanyaterletakdekatmikroaneurismadipolus posterior.
Gambar 10. Mikroaneurisma dan hemorrhages pada backround diabetic retinopathy
Gambar 11. FA menunjukkan titik hiperlusen yang menunjukkan mikroaneurisma non-
trombosis
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma di polus posterior.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superficial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end artery,
dilapisan tengah dan compact.
Gambar 12. Perdarahan pada retinopati diabetic
Gambar 13. Flame-shaped hemorrhages
Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-kelok
Gambar 14. Dilatasi Vena
Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina. Gamabarannya
kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata, membesar kemudian
bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Gambar 15. Hard Exudates
Gambar 16. FA Hard Exudates menunjukkan hipofluoresens
Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat
becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi
daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Gambar 17. Cotton Wool Spots pada oftalmologi dan FA
Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh
yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula-mula terletak pada
jaringan retina, kemudian berkembang kearah preretinal, ke badan kaca. Jika
pecah dapat menimbulkan perdarahan retian, perdarahan subhialoid (preretinal)
maupun perdarahan badan kaca.
Gambar 14 NVD severe dan NVE severe
Gambar 18. Retinopati Diabetik Resiko tinggi yang disertai perdarahan vitreus
Gambar 19 : Funduskopi pada PDR. Tanda panah menunjukkan adanya preretinal neovascularisation
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah macula
sehingga sangat mengganngu tajam pengelihatan.
Gambar 20: Clinically significant macular edema with hard exudates in thefovea. Cotton-wool spots are
present near the major retinal vessels (arrows).
2.9 DIAGNOSIS
Retinopati diabetik didiagnosis berdasarkan :
a. Anamnesa
Diabetik retinopati harus didiagnosis sebelum memberikan gejala. Semua pasien
diabetes harus menjalani pemeriksaan funduskopi paling tidak setahun sekali.
Skrining retinopati yang mengancam penglihatan (makulopati dan diabetik
retinopati proliferatif) harus dilakukan 5 tahun setelah didiagnosis pada pasien
dengan diabetes tipe I dan sejak saat datang pada pasien dengan diabetes tipe II.
Tajam penglihatan dapat berkurang secara perlahan karena makulopati dan secara
mendadak pada pendarahan vitreous4. Padapenderita diabetes mellitus yang
sudahmenderitalebihdari 5
tahunwalaupuntidakadakeluhanpenglihatanharusdiperiksa fundus okulidengan
oftalmoskop2.
b. pemeriksaan fisik
- Tes ketajaman penglihatan
- Dilatasi pupil
c. pemeriksaan penunjang
- Fundal flourescein angiography
- Pemotretan dengan memakai film berwarna
- Oftalmoskopi
- Slit lamp biomicroscopy
- Ocular Coherence Tomography (OCT); suatu pemeriksaan yang menyerupai
ultrasound yang digunakan untuk mengukur tekanan intraocular.
- Digital retinal screening programs, sebuah program sistematik untuk deteksi
dini penyakit mata termasuk retinopati diabetik.
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan
pemeriksaan stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.Oftalmoskopi dan foto
funduskopi merupakan gold standard bagi penyakit ini.Angiografi
Fluoresens(FA) digunakan untuk menentukan jika pengobatan laser
diindikasikan. FA diberikan dengan cara menyuntikkan zat fluorresens secara
intravena dan kemudian zat tersebut melalui pembuluh darah akan sampai di
fundus.
Gambar 21. Neovaskularisasi retina perifer lebih terlihat jelas dengan angiography daripada funduskopi.
Studi laboratorium dari kadar HbA1cdanmeregulasikadarglukosadarah
penting dalam perawatan tindak lanjut jangka panjang pasien dengan diabetes
dan diabetik retinopati. Pemeriksaan penunjang yang digunakan dalam
diagnosis retinopati diabetik adalah sebagai berikut:
1. Screening
Deteksi sejak dini penting dilakukan sebelum penghilatan terganggu. Skrining
dilakukan dalam 3 tahun sejak di diagnosa diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan
selanjutnya setahun sekali pada keduanya. Screening dapat dilakukan dengan
fotografi fundus digital yang merupakan metode skrining yang efektif dan
sensitif. Selain itu dapat juga dilakukan fotografi tujuh bidang yang
merupakan pemeriksaan skreening batu emas, ettapi pemeriksaan dua bidang
45 derajat, satu difokuskan pada makula dan satunya lagi pada diskus,
pemeriksaan ini menjadi metode pilihan pada program skreening. Midriasis
diperlukan untuk mendapatkan foto yang berkualitas baik terutama apabila
pasien dengan katarak. Pada pasien wanita hamil dengan diabetes harus
diperiksa oleh dokter ahli mata atau dengan pemeriksaan fotografi fundus
digital pada trimester pertama dan sedikitnya setiap 3 bulan sampai waktu
persalinan.1
2. Fundal Fluorescein angiography
Untukmenegakkandanmengetahuiindikasipengobatanperludilakukanpemeriks
aan fundal fluorescein angiography.Jikadidapatkanmikroneurisma, eksudat,
perdarahan retina yang mengancamdaerah macula
harusdilakukanpemeriksaan FFA untukmencariindikasifotokoagulasi
laser2.Pada pemeriksaan FFA dengan jelas dan gamblang dapat melihat
adanya mikroaneurisma yang berdifusi atau tidak berdifusi, daerah hipoksia
atau iskemi adanya neovaskularisasi di retina di papil maupun di vitreous dan
melihat dengan pasti adanya edema di makula atau di retina, serta Intra Retina
Micro Angiopathy (IRMA).
Gambar 22. Microaneurysms: hyperfluorescent dots in early phase of fluorescein angiogram
(arrows).
Gambar 23. Two minutes later, fluorescein leakage from the microaneurysms gives them a
hazy appearance.
Gambar 24.: FA menunjukkan titik hiperlusen yang menunjukkan mikroaneurisma non-
trombosis.
Gambar 25. FA Hard Exudates menunjukkan hipofluoresens.
3. Optical coherence tomography
Pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam memantau dan menentukkan edema
makula. Umunya pengobatan ini deperlukan pada penebalan retina lebih dari
300 mikron.1
Gambar 26. OCT image showing diffuse macular edema
Gambar 27. OCT image showing cystoid macular edema in a diabetic patient.
Gambar 28. OCT image showing subretinal fluid in a patient with diabetic retinopathy
Gambar 29. OCT image showing an epiretinal membrane and diabetic macular edema
2.10 DIAGNOSIS BANDING2
a) Mikroaneurisma dan perdarahan akibat retinopati hipertensi, oklusi vena retina.
b) Perdarahan vitreous dan neovaskularisasi akibat kelainan vitreo retina yang lain.
2.11 PENATALAKSANAAN11,12,13,14,15
Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan.
Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
1. Pemeriksaan rutin pada ahli mata
Tabel 1. Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan
Umur onset
DM/kehamilan
Rekomendasi pemeriksaan pertama
kali
Follow up rutin minimal
0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis Setiap tahun
>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun
Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau sesuai
kebijakan dokter mata
Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli
mata mungkin lebih memilih untuk megikuti perkembangan pasien-pasien
tertentu lebih sering karena antisipasi kebutuhan untuk terapi.
Tabel 2. Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina
Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan
Normal atau mikroaneurisma yang sedikit Setiap tahun
Retinopati Diabetik non proliferatif ringan Setiap 9 bulan
Retinopati Diabetik non proliferative Setiap 6 bulan
Retinopati Diabetik non proliferative Setiap 4 bulan
Edema makula Setiap 2-4 bulan
Retinopati Diabetik proliferative Setiap 2-3 bulan
2. Kontrol glukosa darah dan hipertensi
Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik,
Diabetik Control and Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap
1441 pasien dengan DM Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang
sudah menderita RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati dan
mendapat terapi intensif selama 36 bulan mengalami penurunan resiko terjadi
retinopati sebesar 76% sedangkan pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko
perburukan retinopati sebesar 54%. Pada penelitian yang dilakukan United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada penderita DM Tipe II
dengan terapi intensif menunjukkan bahwa setiap penurunan HbA1c sebesar 1%
akan diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%.
Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun
kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati
diabetik secara sempurna, namun dapat mengurangi resiko timbulnya retinopati
diabetik dan memburuknya retinopati diabetic yang sudah ada.Secara klinik,
kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi resiko
kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser. UKPDS
menunjukkan bahwa control hipertensi juga menguntungkan mengurangi
progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan.
3. Fotokoagulasi
Selain meregulasi kadar glukosa di darah untuk mencegah kebutaan akibat
RD ini dilakukan fotokoagulasi LASER di daerah hipoksia dan mikroaneurisma
yang berdifusi dan adanya neovaskularisasi. Pengobatan dangan sinar Laser
hanya efektif bila media optik masih jernih, oleh karena itu harus dilakukan
sedini mungkin.
Teknik fotokoagulasi : setelah pupil dikeluarkan maksimal dipasang lensa
kontak 3 cermin dari Goldmann, sinar LASER ditembakkan melalui lensa
kontak, kornea, lensa, vitreous sampai retina.
Fotokoagulasi fokal : untuk daerah retina yang hanya mengalami hipoksia
atau mikroaneurisma yang berdifusi dan edema makula.
Fotokoagulasi par retina : untuk RD yang sudah ada neovaskularisasi baik
di papil retina maupun vitreous.
Jika sudah terjadi perdarahan di vitreous di mana LASER tidak bisa
menembus sampai di retina boleh dilakukan vitrektomi.
Dosis LASER yang digunakan adalah sebagai berikut :
Untuk daerah di sentral dekat makula penampang dari LASER (Spotsize)
50 mikron, makin ke perifer makin melebar sampai 500 on, sedangkan waktu
dan daya LASER disesuaikan dengan hasil tembakan yang terlihat saat
melakukan fotokoagulasi yakni antara 0,1 0,2 secon dengan daya 200-1000 mW.
Jumlah tembakan LASER tergantung tekhnik yang dipakai antara 200-
2000 tembakan.
Setiap penderita diabetes mellitus yang sudah menderita lebih dari 5 tahun
walaupun tidak ada keluhan penglihatan harus diperiksa fundus okuli dengan
oftalmoskop. Jika didapatkan mikroaneurisma, eksudat, perdarahan retina yang
mengancam daerah makula harus dilakukan pemeriksaan FFA untuk mencari
indikasi adanya fotokoagulasi LASER.
Jika dilakukan fotokoagulasi LASER setiap 3-6 bulan diperiksa ulang
untuk mengetahui kemajuan pengobatan.
Jika belum ada indikasi LASER sebaiknya diperiksa FFA setiap tahun.
Gambar 30. Laser Fotokoagulasi
1. Injeksi anti-VEGF
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah
studi baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk
degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita
melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh
dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya
memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis. Avastin
merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah
pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi
vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk pengunaan
okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars
plana dengan dosis 0,1 mL. Lucentis merupakan versi modifikasi dari avastin
yang khusus dimodifikasi untuk penggunaan di okuler via intra vitreal dengan
dosis 0,05 mL.
2. Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
(opacity) vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat
juga membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan
bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah
fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami
perbaikan.
Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan clinical trial
pada pasien dengan dengan diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS
mengevaluasi keuntungan pada vitrektomi yang cepat (1-6 bulan setelah
perdarahn vitreus) dengan yang terlambat ( setalah 1 tahun) dengan perdarahan
vitreous berat dan kehilangan penglihatan (<5/200). Pasien dengan diabetes tipe
1 secara jelas menunjukan keuntungan vitrektomi awal, tetapi tidak pada tipe 2.
DRSV juga menunjukkan keuntungan vitrektomi awal dibandingkan dengan
managemen konvensional pada mata dengan retinopati diabetik proliferatif yang
sangat berat.
2.12 KOMPLIKASI3,11,16
1. Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering.
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap
adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata
maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membran fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan aquous dengan akibat tekanan intra okuler meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka. Suatu saat membran fibrovaskular ini konstraksi menarik
iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS), sehingga sudut bilik
mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga
timbul reaksi radang intra okuler. Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis
terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada
pasien retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden
terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42% setelah tindakan vitrektomi,
sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan
pertama setelah dilakukan operasi.
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang
terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan
jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan
dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular
ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan
glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubungan dengan neovaskular pada iris
(rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit,
baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati
diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membran fibrovaskuler
pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris
melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaringan trabekula sehingga
menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Pressure meningkat
dan keadaan sudut masih terbuka.
3. Perdarahan vitreus rekuren
Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.
Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina
hingga ke rongga vitreus. Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur
yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan perdarahan.
Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau
intragel. Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior, middle,
posterior, atau keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi
saat perdarahan vitreous masih sedikit. Pada perdarahan badan kaca yang masif,
pasien biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.
Oftalmoskopi direk secara jauh akan menampakkan bayangan hitam yang
berlawanan dengan sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan
tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi
direk dan indirek menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.
Ultrasonografi Bscan membantu untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.
4. Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari
lapisan pigmen epithelium. Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa
menyebabkan gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau
kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
2.13 PROGNOSIS
Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau
menunda retinopati.Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan tekanan
darah disesuaikan <140/85 mmHg).Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan
edema macula dapat menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan.
Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi walaupun diberi terapi
optimum.11,13,16
Prognosis visus penderita diabetik retinopati sangat tergantung pada regulasi
kadar gula yang baik dan ketepatan pengobatan dengan fotokoagulasi LASER, lebih awal
pengobatannya lebih baik prognosisnya.2
Meskipun terapi laser dan bedah telah sangat meningkatkan prognosis pasien
dengan diabetik retinopati, penyakit ini masih menyebabkan kehilangan penglihatan
berat.4
Mata dengan edema makula dan iskemia yang bermakna memiliki prognosis yang
lebih buruk dengan atau tanpa terapi laser dibandingkan mata edema dengan perfusi
relatif lebih baik.1
BAB III
KESIMPULAN
1. Diabetic retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan subatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.Diabetes retinopati sering menyebabkan
kebutaan dan merupakan penyebab hampir seperempat angka kebutaan di negara
– negara barat pada usia 30-65 tahun.
2. Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan
bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ.
Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga
berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain akumulasi sorbitol,
pembentukan protein kinase C (PKC), pembentukan Advanced Glycation End
Product (AGE) dan pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS).
3. Secara umum klasifikasi retinopati diabetic dibagi menjadi : Retinopati diabetik
non proliferative, Retinopati diabetik preproliferative, Retinopati diabetik
proliferative.
4. Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa: Kesulitan membaca, Penglihatan
kabur, Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata, Melihat lingkaran cahaya,
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip.
5. Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina: Mikroaneurisma, Perdarahan
dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurismata di polus posterior, Dilatasi pembuluh darah balik, Hard
exudates, Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches, Pembuluh darah
baru (neovaskularisasi), Edema retina.
6. Retinopati diabetik didiagnosis berdasarkan : anamnesa : adanya riwayat diabetes
mellitus, penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi secara perlahan-lahan
tergantung dari lokasi, luas dan beratnya kelainan. Pemerkiksaan fisik : tes
ketajaman penglihatan & dilatasi pupil. Pemeriksaan penunjang : Fundal
flourescein angiography, Pemotretan dengan memakai film berwarna,
Oftalmoskopi, Slit lamp biomicroscopy, Ocular Coherence Tomography (OCT),
Digital retinal screening programs, sebuah program sistematik untuk deteksi dini
penyakit mata termasuk retinopati diabetik.
7. Diagnosis bandingnya adalah Mikroaneurisma dan pendarahan akibat retinopati
hipertensi, oklusi vena retina serta pendarahan vitreous dan neovaskularisasi
akibat kelainan vitre-retina yang lain.
8. Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal
ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
Penatalaksanaan yang dilakukan antara lain: 1) Pemeriksaan rutin pada ahli mata;
2) Kontrol glukosa darah dan hipertensi; 3) Fotokoagulasi; 4) Injeksi anti-VEGF;
dan 5) Vitrektomi
9. Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi
retinopati yang lebih berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan
iskemik yang bermakna akan memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau
tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang relatif baik.
10. Prognosis visus penderita diabetik retinopati sangat tergantung pada regulasi
kadar gula yang baik dan ketepatan pengobatan dengan fotokoagulasi laser, lebih
awal pengobatannya lebih baik prognosisnya.
.
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan DG, Eva RP, Asbury T., Oftalmologi UmumEdisi 14. Widya Medika. Jakarta. 2000.
2. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.
3. Bhavsar, A.R. 2014. Diabetic Retinopathy. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview pada tanggal 11 Oktober 2014
4. James, B., Chew. C,. dan Bron, A. 2006. Lecture Notes Oftalmologi Edisi Sembilan. Jakarta: Erlangga.
5. Ilyas, H.S. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Ilyas, H.S. dan Yulianti, S.R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Jakarta.
7. Roy, M.S. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1 Diabetes. Diakses di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 pada tanggal 21 Oktober 2014
8. Ciulla T.A., Amador A.G., Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies.Diakses dihttp://care.diabetesjournals.org/content pada tanggal 21 Oktober 2014.
9. Sudoyo A, W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. V Jilid III. Jakarta : Interna Publishing
10. American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Vol 27. Amerika : Diabetes Care
11. Pandelaki K. Retinopati Diabetik. Sudoyo AW, Setyiohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Retinopati Diabetik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p.1857, 1889-1893.
12. Zing-Ma J, Sarah X-hang. Endogenous Angiogenic Inhibitors in Diabetic Retinopathy. In: Ocular Angiogenesis Disease. Mew Jersey : Humana Press ; 2006. p 23-35.
13. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter 5.Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2008. p 107-128
14. Rema M, dan R. Pradeepa. Diabetic retinopathy: An Indian perspective. Madras Diabetes Research Foundation &Dr Mohan’s Diabetes Specialities Centre, Chennai, India. Indian J Med Res 125; March 2007. p 297-310.
15. Mitchell P.Guidelines for the Management of Diabetic Retinopathy : Diabetic Retinopathy. Australia : National Health and Medical Research Council ; 2008. p 26-31,44-47,96-104.
16. Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology. London:Butterworth-Heinemann;2003. p.439-54,468-70.