bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri tekstil Indonesia berperan cukup besar dalam menunjang
perekonomian Nasional. Pada tahun 2006, industri tekstil memberikan kontribusi
sebesar 11,7 % terhadap ekspor Nasional (Departemen Perindustrian Jawa Barat,
2006). Namun saat ini keberadaan industri tekstil menjadi masalah karena
merupakan industri penghasil limbah cair yang tinggi dan dianggap sebagai salah
satu penyebab terjadinya pencemaran air. Sekitar 85 % industri tekstil di
Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sisanya tersebar di Sumatera
dan Bali (Indrayani, 2004).
Air limbah industri tekstil dapat dengan mudah dikenali karena cemaran
zat warna yang bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Zat warna tersebut selalu
menjadi kontaminan utama dan terlihat pada limbah tekstil . Limbah yang
berwarna tidak hanya menimbulkan polusi secara visual, tetapi dapat
meningkatkan resiko kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia (Cascio,
1994).
Limbah cair industri tekstil banyak mengandung material organik, berbau
tidak sedap dan berwarna pekat. Pencemaran air oleh industri tekstil pada
umumnya bersumber dari proses basah diantaranya proses pencelupan.
1
Selanjutnya, pencemaran dapat dihasilkan dari proses penyempurnaan (Finishing)
dalam air mendidih juga dari proses pencucian kain yang telah selesai diproses.
Pembuatan kain pada industri tekstil biasanya menggunakan zat warna
sintetis, jarang pengusaha yang menggunakan zat warna alam. zat warna sintetik
lebih disukai karena dapat memenuhi kebutuhan skala besar, warna lebih
bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis dengan hasil pencelupan sangat baik
(Montano, 2007). Zat warna sintetis yang banyak digunakan ialah zat warna
remazol yang termasuk zat warna reaktif . Zat warna ini merupakan zat warna
sintetik yang mengandung paling sedikit satu ikatan ganda N=N dan mempunyai
gugus reaktif yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus –OH, -NH
atau –SH pada serat. Zat warna remazol banyak digunakan dalam pencelupan
kain terutama yang terbuat dari serat selulosa dan rayon. Hal ini disebabkan zat
warna remazol dapat terikat kuat pada kain, memberikan warna yang lebih baik
dan tidak mudah luntur (Blackburn and Burkinshaw, 2002). Zat warna reaktif
disintesis untuk tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia maupun fotolitik.
Dengan demikian, bila terbuang ke lingkungan dapat bertahan dalam jangka
waktu yang lama dan mengalami akumulasi dalam lingkungan sampai pada
tingkat konsentrasi tertentu dan menimbulkan dampak negatif terhadap daya
dukung lingkungan.
Sebelum dibuang ke sungai kebanyakan cara pengolahan limbah dilakukan
secara kimia dan fisika yang dilakukan dengan menggunakan metode adsorpsi,
koagulasi dan oksidasi (Reddy et al., 2006; Bidhendi et al., 2007; Aslam et al.,
2004).
2
Pengolahan limbah seperti cara tersebut cukup efektif menghilangkan
warna, akan tetapi memerlukan biaya yang besar dan menggunakan bahan kimia
yang banyak. Selain itu, proses ini menimbulkan limbah sampingan berupa sludge
yang juga banyak. Untuk mengatasi kelemahan pengolahan limbah secara fisika
dan kimia, maka pengolahan limbah secara biologis merupakan salah satu
alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pengolahan limbah secara biologis adalah
menggunakan mikroorganisme sebagai agensia pengurai zat warna. Penggunaan
mikroorganisme untuk mengolah limbah sangat potensial untuk dikembangkan,
karena limbah tekstil mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dan dapat
dimanfaatkan oleh mikroorganisme tertentu sebagai sumber nutrisi . Kandungan
bahan organik yang ada dalam limbah memungkinkan mikroorganisme dapat
tumbuh pada limbah tekstil
Beberapa mikroba tertentu memiliki kemampuan untuk menggunakan zat
warna sebagai sumber karbon dan nitrogen dan mereduksi zat warna tersebut
dengan enzim azo reduktase (Sharma et al, 2009).
Penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, menunjukkan
penggunaan mikroba untuk proses degradasi zat warna adalah dari jenis jamur
pelapuk putih yaitu Trametes vilosa, Phanerochaete chrysosporium (Machado et
al., 2006). Berdasarkan uraian tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan
isolasi, dan identifikasi mikroba pengurai zat warna dari sampel tanah dan air laut
asal Taman Nasional Alas Purwo . Selanjutnya akan dilihat kemampuan isolat
mikroba terpilih tersebut untuk dekolorisasi zat warna tekstil.
3
1.2. Identifikasi masalah
Dari latar belakang tersebut diatas, timbul beberapa masalah untuk dikaji
lebih lanjut, yaitu :
1. Apakah dari sampel tanah dan air laut dapat diisolasi dan diidentifikasi
mikroba pengurai zat warna?
2. Isolat mikroba pengurai zat warna apa saja yang ada pada sampel tanah
dan air laut ?
1.3. Maksud dan tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengidentifikasi
mikroba pengurai zat warna dari tanah dan air laut.
Sedangkan tujuan pengamatannya adalah melihat potensi mikroba dari
tanah dan air laut asal Taman Nasional Alas Purwo untuk dimanfaatkan sebagai
agensia pengurai zat warna.
1.4. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis
deskriptif yaitu dengan cara melakukan pengambilan sampel tanah dan air laut di
lapangan dan melakukan identifikasi di laboratorium, selanjutnya menguji
kemampuan isolat asal tanah dan air laut tersebut untuk dekolorisasi zat warna .
4
1.5. Lokasi dan waktu pengamatan
Penelitian akan dilaksanakan pada tanggal 7 – 12 April di Taman Nasional
Alas Purwo Blambangan Jawa Timur.
5
BAB II
TINJAUAN UMUM LOKASI
2.1 Letak Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung Pangandaran
Kawasan konservasi Sumber Daya Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis
Jawa Barat merupakan semenanjung kecil berbentuk seperti tinju manusia yang
terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau
yang dihubungkan dengan daratan utama hanya dipisahkan oleh suatu jalur sempit
diapit antara dua teluk selebar ± 200 m. Secara administratif termasuk ke dalam
kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, yang
berdekatan dengan perbatasan Jawa Tengah. Lokasinya sekitar 90 km dari Kota Ciamis ke
sebelah Tenggara, 221 km dari Bandung, atau 407 km dari kota Jakarta.
Semenanjung ini terlatak pada koordinat 108o 40' Bujur Timur dan 7o 43'
Lintang Selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan Teluk Pangandaran, sebelah
selatan dengan Samudera Indonesia dan di sebelah barat dengan Teluk Parigi.
2.2 Sejarah dan Perkembangan Kawasan
Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung pangandaran semula
merupakan tempat perladangan penduduk di sekitarnya dengan lokasi yang
terpencar. Pada tahun 1921, Y. Eycken (Residen Priangan) mengusulkan agar
kawasan tersebut menjadi tempat perburuan. Sebagai tahap persiapan
6
dimasukkan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina serta beberapa ekor rusa
India (Axis axis).
Pada tahun 1934 kawasan ini ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa (Wild
resevaat), berdasarkan Government bisluit tanggal 7 Desember 1934, Stbl 1934
No. 669 seluas 530 Ha.
Pada tahun 1961 kawasan yang berstatus Suaka Margasatwa diubah
satusnya menjadi Cagar Alam. Perubahan ini terjadi setelah ditemukannya
tumbuhan unik “Raflesia padma” serta terdapat unsur - unsur alami dan kultural.
Perubahan status ini berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.34/KMP/1961 tanggal
20 April 1961.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk rekreasi di alam sesuai
dengan perkembangan kepariwisataan di Indonesia maka atas SK. Menteri
Pertanian No.170/KTPS/UM/1978, tanggal 10 Maret 1978 sebagai kawasan Cagar
Alam Pananjung Pangandaran seluas 37,7 Ha, diubah fungsi dan statusnya
menjadi Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata dan sisanya seluas 492,30 Ha
merupakan Cagar Alam.
2.3 Status dan Luas
Kawasan Pananjung Pangandaran ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa
pada tanggal 7 Desember 1934 dengan surat keputusan No.9, yang dikeluarkan
oleh Director Van Scomishe Zoken. Setelah Indonesia merdeka diperkuat dengan
surat pemerintahan Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tanggal 20 April
1961 No. 34/KUP/1961 menjadi Pananjung Pangandaran sebagai Cagar Alam.
Mula-mula daerah yang ditunjuk sebagai “Wild reservon ink” mempunyai luas
7
457 Ha, yang kemudian diperluas menjadi 524,6 Ha dengan surat keputusan
Menteri Pertanian tersebut.
Pada tahun 1957 kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung
Pangandaran pengelolaannya ditangani oleh Kebun Raya Bogor. Selanjutnya
pada tahun 1957-1972 pengelolaannya dikelola oleh seksi Perlindungan dan
Pengwetan Alam Jawa Barat II. Kemudian pada tahun 1978 sampai sekarang
dibawah tanggung jawab Sub Balai Kawasan Pelestarian Pangandaran-Ciamis,
dalam lingkungan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam III, Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan.
2.4 Topografi dan Geologi
Secara umum kondisi topografi kawasan konservasi Sumber Daya Alam
Pangandaran terdiri dari 15% bergunung dan rata-rata ketinggian 100 m dpl.
Daerah tertinggi mencapai 148 dpl terletak di sebelah Selatan padang rumput
Badeto sedangkan keadaan berbukit ditemukan di bagian selatan Taman Wisata
Alam Pangandaran, memanjang di sepanjang perbatasan wilayah tersebut mulai
dari Ciborok (Barat) sampai Cirengganis (Timur) dan keadaan bergunung
ditemukan dalam bentuk tonjolan-tonjolan batu karang terjal yang terpisah dan
menjulang tinggi 5-20 m.
Semenanjung Pangandaran terbentuk bersama-sama dengan Pulau Jawa
pada periode Miocene. Sebagian besar terdiri dari batuan breccia dan susunan
kapur. Tetapi di daerah pantai, diantara bukit-bukit dan semenanjung, susunan
Miocene ditutupi oleh karang (coral) dan endapan alluvial selama periode
Pleiocene.
8
2.5 Iklim
Kawasan ini mempunyai curah hujan rata-rata 3.196 mm/th dengan suhu
udara berkisar 25o-30o C dan kelembapan udara antara 80-90 %. Musim basah
terjadi pada bulan Oktober-Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat laut.
Sedangkan musim kering terjadi pada bulan Juli-September, yaitu selama periode
angin musim tenggara dan curah hujan kurang dari 60 mm.
2.6 Keadaan Air dan Tanah
Dalam kawasan TWA/CA Pangandaran terdapat sepuluh buah sungai yang
panjangnya tidak lebih dari 1-2 km. Sungai terbesar adalah Sungai Cikamal yang
mempunyai muara di pantai Barat dan Sungai Cirengganis yang bermuara di
pantai Timur, sehingga kawasan ini dapat disebut sebagai sumber air tawar.
Jenis tanah yang ada di kawasan ini antara lain : podsolik merah kuning,
podsolik kuning, latosol, endapan alluvial yang berasal dari laut yang terdiri dari
pasir dan tanah berpasir yang terdapat diantara pantai sebelah utara semenanjung
yang berbentuk karang-karang terjal.
2.7 Potensi Flora
Jenis flora yang ada di kawasan Konservasi Sumber Daya Alam
Pangandaran terdiri dari berbagai famili dan species diantaranya: kelompok pohon
249 species, perdu 71 species, liana 65 species, semak 193 species, rumput 53
species, epifit 26 species dan parasit 10 species.
9
Sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua dan sisanya adalah
hutan primer. Pohon-pohon yang dominan adalah Laban (Vitex pubescent),
Kisegel (Dilenia exelsa), Reungas (Buchanaria arborences), Kondang (Ficus
variegata), dan Teureup (Artocarpus elastica).
Di dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang merupakan tanaman
eksotik yaitu: Jati (Tectonia grandis), Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Kormis
(Acacia auriculiformis).
2.8 Potensi Fauna
Kawasan konservasi Pangandaran selain terdapat flora yang beragam juga
terdapat fauna yang cukup beragam dan menarik yaitu: 30 jenis mamalia, 4 jenis
amfibia, 78 jenis aves, 75 jenis pisces dan 15 jenis terumbu karang.
Satwa liar yang terdapat di kawasan konservasi Pangandaran ini adalah:
Banteng (Bos javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak), Tando (Cyanocephalus
variegatus), Kalong (Pteroptus vampyrus), Kera abu-abu (Macaca fasicularis),
Lutung (Tracypithecus auratus), Kangkareng (Anthracocerus convexus),
Rangkong (Buceros rhinocerus), dan Ayam hutan (Gallus gallus) yang terdapat di
hutan cagar alam hanya tinggal 2 ekor, salah satunya adalah jantan
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Pandanus tectorius
Pandan duri ( Pandanus tectorius ) adalah tumbuhan yang termasuk ke
dalam suku Pandanaceae, tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda pada setiap
daerah tanaman ini tumbuh diantaranya : pandan (Indonesia), dan screwpine
(Inggris).
Berikut ini adalah taksonomi dari
P.tectorius SOLAND. EX PARK.
Kerajaan Plantae
Divisi Magnoliophyta
Kelas Liliopsida
Ordo Pandanales
Famili Pandanaceae
Genus Pandanus
Spesies P.tectorius
Gambar 1.1. Tumbuhan P.tectorius
Sumber (Wikipedia.com)
11
3.1.1. Habitat, penyebaran, dan morfologi
P.tectorius tumbuh alami di daerah pesisir, sepanjang Australia, dan
Indonesia Timur melalui pulau-pulau tropis Samudera Pasifik sampai ke Hawaii,
seperti mangrove dan pantai yang memiliki ketinggian 20-40 meter diatas
permukaan laut (dpl). Tumbuhan ini memerlukan 1500-4000 milimeter dari
curah hujan tahunan. Tumbuhan ini tumbuh di bawah sinar matahari dengan
kelembapan 30-50%. P.tectorius adalah pohon yang tumbuh 4-14 meter di atas
tanah. Batang tegak, lunak, bulat, percabangan monopodial, putih kotor. Daun
tunggal, memeluk batang, berbentuk lanset, tepi berduri, ujung runcing, pangkal
tumpul, pertulangan sejajar, panjang 75-90 cm, lebar 8-10 cm, hijau. Bunga
majemuk, bentuk bongkol, berkelamin dua, di ketiak daun, bunga jantan berdiri
sendiri, lonjong, daun pelindung bentuk lanset, benang sari terkumpul rapat pada
poros tongkol, putih kotor. Buah berbentuk bulat telur dengan diameter 4-20
cmdan panjang 8-30 cm yang memiliki benang sekam di bagian luarnya.
(Anonim 1, 2009).
3.1.3. Kandungan Senyawa
Tumbuhan family Pandanaceae mengandung senyawa polifenol dan
saponin.(Anonim 1, 2009). Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan
pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol
dalam molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu
tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Pada beberapa penelitian
disebutkan bahwa kelompok polifenol memiliki peran sebagai antioksidan yang
12
baik untuk kesehatan. Antioksidan polifenol dapat mengurangi risiko penyakit
jantung dan kanker.(Anonim 6, 2009). Saponin adalah salah satu dari banyak
metabolites sekunder yang ditemukan dalam sumber-sumber alam, dengan
saponin tertentu banyak ditemukan di dalam berbagai jenis tanaman (Anonim 7,
2009).
Senyawa polifenol pada tumbuhan yang berhubungan dengan aktivitas
metabolisme hewan dapat berupa bentuk antrakinon. Antrakinon merupakan
senyawa polifenol yang bersifat antibakteri, senyawa ini banyak terdapat pada
tanaman obat-obatan. Antrakinon sangat beragam seperti aloin, antrasin,
barbaloin, aloemoden (pada lidah buaya) dan morindon (pada mengkudu).
Senyawa ini bersifat anti bakteri (Tanaka, 1997).
3.2. Escherichia coli T. Escherich, 1885
Gambar 1.2. Escherichia coliSumber (Wikipedia.com)
Superdomain Phylogenetica
Filum Proteobacteria
Kelas Gamma Proteobacteria
13
Ordo Enterobacteriales
Famili Enterobacteriaceae
Genus Escherichia
Spesies E. coli
Escherichia coli, adalah salah satu jenis spesies bakteri gram negatif. Pada
umumnya hidup pada tinja, dan dapat menyebabkan masalah kesehatan pada
manusia.
E. coli banyak digunakan dalam teknologi rekayasa genetika. Biasa
digunakan sebagai vektor untuk menyisipkan gen-gen tertentu yang diinginkan
untuk dikembangkan. E. coli dipilih karena pertumbuhannya sangat cepat dan
mudah dalam penanganannya (Anonim 4, 2009).
E. coli masuk ke dalam famili Enterobacteriacea, termasuk di dalamnya
genera lain yang bersifat patogen seperti Salmonella, Shigella, and Yersinia.
E. coli adalah coliform fecal yang dapat memfermentasi laktosa, memproduksi
gas pada 35° C dan 44° C atau 45,5 ° C, indol positif dan dapat ditandai dengan
adanya karakteristik yang khusus dengan enzim beta galaktosidase dan beta
glukoronidase.
3.2.1. Biologi dan biokimia
14
Gambar 1.3. Ilustrasi struktur E.coli
E.coli merupakan bakteri Gram Negatif, anaerob fakultatif, dan tidak
berspora. Panjang sel sekitar 2 dan diameter 0,5 μm, dengan volum sel 0.6 - 0.7
μm3. Bakteri ini dapat tumbuh pada banyak substrat juga tumbuh baik pada
medium pepton-laktosa atau pepton-glukosa (Schlegel, 1994). E. coli
menggunakan fermentasi campuran asam (mixed-acid) dalam keadaan anaerobik,
menghasilkan laktat, suksinat, etanol, asetat, dan karbon dioksida (Anonim8,
2009).
Temperatur pertumbuhan optimal E. coli sekitar 37°C, namun pada
beberapa strain laboratorium dapat dibiakkan pada temperatur hingga 49°C.
Pertumbuhan dapat dijalankan pada respirasi aerob dan anaerob, menggunakan
variasi yang besar dari pasangan redoks, termasuk oksidasi asam piruvat, asam
format, hidrogen, dan asam amino, dan reduksi dari substrat seperti oksigen,
nitrat, dimetil sulfooksida dan trimetilamin N-oksida. Strain yang memiliki
flagella dapat berenang dan bergerak, namun strain lainnya tidak memiliki
flagella. Tipe flagelanya yaitu peritrik.
15
Sebagian besar strains E. coli tidak bersifat patogen, walau dapat menjadi
opportunistik patogen (dapat bertahan dalam lingkungan yang ekstrim) dan
menyebabkan infeksi pada inang yang ada dalam kondisi immunocompromised.
Beberapa strain E. coli yang patogen menyebabkan penyakit pada saluran
pencernaan, seperti diare, muntaber dan masalah pencernaan lainnya.
Tahun 1892, Shardinger mengusulkan penggunaan E. coli sebagai
indikator kontaminasi oleh bakteri fekal. Hal tersebut didasarkan atas fakta bahwa
E. coli banyak terdapat pada fekal manusia maupun hewan tetapi tidak pada
relung (niche) lainnya. Selain itu bakteri patogen sendiri relatif jarang sehingga
sulit dan memerlukan waktu lama untuk dapat dimonitor langsung. E. coli mudah
dideteksi melalui kemampuannya dalam memfermentasi glukosa (kemudian uji
diubah berdasarkan kemampuan fermentasi laktosa) maka akan lebih mudah
untuk mengisolasinya dibandingkan mengisolasi bakteri patogen penyebab
penyakit saluran pencernaan lainnya(Anonim8, 2009).
3.3. Staphylococcus aureus Rosenbach 1884
16
Gambar 1.4. Staphylococcus aureusSumber (Wikipedia.com)
Domain Bakteri
Kerajaan Eubacteria
Divisi Firmicutes
Kelas Cocci
Order Bacillales
Famili Staphylococcaceae
Genus: Staphylococcus
Spesies: S. aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang berbentuk bola yang banyak
terdapat pada hidung dan kulit manusia. Merupakan bakteri anaerobik fakultatif
dan bakteri gram positif. S. aureus adalah katalase positif (yang berarti dapat
menghasilkan enzim "katalase") dan dapat mengkonversi hidrogen peroksida
(H²O²) menjadi air dan oksigen.(Ryan, 2004). S. aureus dapat menyebabkan
berbagai penyakit kulit seperti jerawat, impetigo (mungkin juga disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes), selulit, bisul, dan abses, juga penyakit yang mengancam
kehidupan seperti radang paru-paru , meningitis, Toxic shock syndrome (TSS),
dan septisemia (Anonim 3, 2009).
S. aureus bersifat komensalisme pada kulit manusia; juga terdapat pada
hidung juga sedikit pada tenggorokan. Keberadaan S. aureus tidak selalu
mengindikasikan infeksi dan tidak diperlukan adanya perawatan. Bakteri ini dapat
beratahan pada hewan domestikan seperti anjing, kucing, dan kuda. Bakteri ini
17
juga dapat bertahan dalam keadaan lingkungan kering selama beberapa jam
(Anonimf, 2009).
Bakteri E.coli dan S.aureus mengandung mikroba yang termasuk ke dalam
golongan mikroba endofitik. Mikroba endofit adalah organisme hidup yang
berukuran mikroskopis (bakteri dan jamur) di dalam jaringan tumbuhan (xylem
dan phloem), daun, akar, buah, dan batang. Mikroba ini hidup bersimbiosis saling
menguntungkan, dalam hal ini mikroba endofitik mendapatkan nutrisi dari hasil
metabolisme tumbuhan dan memproteksi tumbuhan melawan herbivora, serangga,
atau jaringan yang patogen sedangkan tumbuhan mendapatkan derivat nutrisi dan
senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya (Tanaka, 1999).
3.3.1. Karakteristik dari Staphylococcus aureus
18
Gambar 1.5. Koloni S.aureus
Gram Positif, berbentuk kokus (bulat), tidak bergerak, tidak berspora,
anaerob fakultatif, fermentasi pada glukosa menghasilkan asam laktat, fermentasi
mannitol, positif katalase, positif koagulan, koloni berwarna kuning – emas pada
agar, flora normal pada manusia yang ditemukan pada hidung (nasal), kulit, dan
membran mukosa, patogen pada manusia, menyebabkan infeksi meluas, seperti
keracunan makanan dan sindrom keracunan (Todar, 2008).
3.4. Uji Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik
Uji resistensi bakteri adalah suatu pengujian untuk mengetahui kepekaan
bakteri terhadap antibiotik. Terdapat dua metoda umum yang digunakan untuk uji
seperti ini adalah metoda difusi tabung dan metoda difusi agar.
1. Metoda difusi tabung adalah metoda untuk menentukan jumlah terkecil
dari antibiotik yang diperlukan untuk menghambat suatu organisme yang
akan di tes. Jumlah ini diketahui sebagai konsentrasi hambat minimum.
Untuk menentukan hal tersebut, para ahli telah menyiapkan suatu set
tabung dengan konsentrasi antibiotik tertentu yang berbeda-beda. Ke
dalam tabung-tabung itu kemudian diinokulasikan bakteri yang akan diuji,
19
setelah itu diinkubasikan dan diuji pertumbuhan dari bakteri tersebut.
Tingginya pertumbuhan akan menurun sesuai dengan pertambahan
konsentrasi antibiotik dan kemungkinan konsentrasi antibiotik yang
terpakai diamati pada tiap pertumbuhan bakteri yang gagal terjadi.
2. Metoda difusi agar adalah metoda yang digunakan berdasarkan prinsip
bahwa antibiotik akan berdifusi. Dari paper disk/silinder kecil ke dalam
medium agar yang berisi bakteri yang akan diuji. Daya hambat (zona
bening) diamati sebagai kegagalan suatu organisme untuk tumbuh pada
daerah di sekitar antibiotik. Medium agar seperti medium Nutrient Agar
dituangkan ke dalam cawan petri, kemudian ke dalamnya diinokulasikan
suatu mikroorganisme (bakteri). Paper disk berisi konsentrasi antibiotik
yang telah diketahui diletakkan di permukaan medium agar lalu
diinkubasikan. Munculnya zona hambat / zona bening mengelilingi disk
mengindikasikan kesensitivitasan organisme terhadap antibiotik tersebut.
Dengan membandingkan diameter dari zona bening dengan standar, maka
dapat ditentukan organisme apa yang rentan atau yang resisiten.
Tabel 3.1 Tingkat kekuatan antibakteri berdasarkan pembentukan zona
bening.
Diameter Zona Bening (DZB) Resistensi Mikroorganisme> 20 mm Sangat sensitif10 – 20 mm Sensitif5 – 10 mm Kurang sensitif< 5 mm Resisten
(Stout, 2001)
20
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Bahan dan Alat
4.1.1. Bahan Percobaan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri dari
tumbuhan pandan, ekstrak pandan, kultur bakteri E. coli dan S. aureus, NaCl,
akuades, etanol, dan medium NA (Nutrien Agar).
4.1.2. Alat Percobaan
Akuades steril, botol vial, cawan petri, gelas kimia, jarum oose, kertas
saring, kertas label, otoklav, pembakar bunsen, pinset, dan pisau
4.2 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan yaitu metode analisis deskriptif di mana pada
penelitian diawali dengan pengambilan sampel tumbuhan di lapangan yang
selanjutnya dilakukan penelitian di laboratorium. Tahapan yang dilakukan
adalah:
1. Pengambilan sampel tumbuhan Pandanus tectorius
2. Penelitian lanjutan di laboratorium : pembuatan ekstrak etanol dari
tumbuhan, pembuatan suspensi bakteri uji, pengujian ekstrak terhadap
22
bakteri uji, inkubasi, isolasi bakteri endofit tumbuhan, pengujian
sensitivitas bakteri uji terhadap bakteri endofit.
4.2.1. Ekstraksi
Cacahan batang atau akar pandan direndam selama 24 jam dalam etanol.
Kemudian disaring dengan kertas saring dan ampasnya dibuang. Kertas saring
yang sudah di potong bulat-bulat kecil dimasukkan dan direndam ke dalam
ekstrak selama 24 jam. Penyediaan ekstrak ini dilakukan di lapangan.
4.2.2. Isolasi bakteri endofit tumbuhan Pandan
Isolat bakteri endofit dari tumbuhan Pandan : Cacahan akar, batang dan
daun tumbuhan Pandan yang di beri NaCl fisiologis kemudian di streak ke dalam
medium NA. lalu isolat bakteri tersebut di suspensikan di dalam NaCl fisiologis
dan di beri kertas saring yang sudah di potong bulat-bulat kecil dan direndam
selama 24 jam.
4.3 Tata Kerja
4.3.1 Ekstraksi tumbuhan obat
a. Ekstrak Etanol
1. 100 - 200 gr batang, akar dan daun dari tumbuhan yang akan
digunakan ditimbang.
2. Cuci bersih bagian-bagian tumbuhan tersebut kemudian keringkan.
3. Setelah itu masing-masing bagian tumbuhan tersebut digerus di
dalam mortir hingga halus.
23
4. Memasukan hasil gerusan dari ketiga tumbuhan tersebut ke dalam
3 botol vial yang berbeda.
5. Memasukan sedikit etanol ke dalam botol vial yang telah berisi
ekstrak hingga ekstrak terendam dan jangan mengocok botol vial
tersebut.
6. Memberi label nama tumbuhan pada ketiga botol vial tersebut
7. Menutup botol vial dan menyimpannya selama ± 24 jam.
8. Setelah 24 jam, buka tutup botol vial kemudian menyaring atau
mengambil bagian atas dari hasil gerusan sehinnga didapatkan
ekstrak etanol (jangan mengenai endapan).
9. Memasukan ekstrak etanol ke dalam botol vial baru yang di
dalamnya terdapat kertas saring berbentuk bulat. Beri label
kemudian menutup botol vial tersebut dan menyimpannya kembali
selama ± 24 jam.
4.3.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji
1. Menyiapkan 2 biakan bakteri uji (E.coli dan S.aureus) di dalam
medium agar miring
2. Memasukan NaCl Fisiologis steril sebanyak 5 ml ke dalam botol
vial steril.
3. Kemudian dengan ose diambil koloni bakteri (E.coli) pada agar
miring dan masukan ke dalam botol vial yang telah berisi NaCl
24
fisiologis steril. Aduk atau goyangkan botol vial hingga bakteri dan
NaCl homogeny dengan kekeruhan Mc Farland 3.
4. Menutup botol vial dan menyimpan bakteri hingga bakteri tersebut
digunakan.
5. Melakukan hal yang sama untuk mebuat suspensi bakteri lainnya
(S.aureus).
4.3.3 Pembuatan Medium Agar Berisi Bakteri Uji
1. Menyiapkan ± 120 ml Agar Nutrisi yang telah disterilkan, 6 cawan
petri steril, 2 suspensi bakteri dan 2 volume pipet steril.
2. Suspensi bakteri (E.coli) dimasukan ke dalam 3 cawan petri
masing-masing sebanyak 1 ml dengan menggunakan volume pipet.
3. Melakukan hal yang sama terhadap jenis suspensi bakteri
(S.aureus), dimasukan ke dalam 3 cawan petri sebanyak 1 ml.
4. Memasukan Agar Nutrisi cair suam-suam kuku yang telah
disterilkan sebanyak 20 ml ke dalam semua cawan petri yang telah
berisi bakteri kemudian menggoyang-goyangkannya perlahan di
atas meja hingga Agar dan suspensi bakteri menjadi homogen.
5. Agar tersebut kemudian didiamkan hingga padat atau membeku.
4.3.4 Uji Sensitivitas Bakteri Uji terhadap Ekstrak Tumbuhan
1. Menyiapkan 3 botol vial yang telah berisi ekstrak tumbuhan
25
2. Mengambil kertas saring yang terdapat di dalam botol film
menggunakan pinset, kemudian meletakannya ke dalam 6 cawan
petri yang telah berisi campuran agar dan bakteri. Tiap cawan petri
terdiri dari 2 lembar kertas saring ekstrak murni dan 2 lembar
kertas saring ekstrak etanol dari masing-masing tumbuhan.
3. Menutup cawan petri yang telah berisi kertas saring, agar, dan
bakteri, kemudian berikan label pada masing-masing cawan petri.
Setelah itu bungkus cawan petri dengan kertas koran.
4. Menginkubasi semua cawan petri tersebut pada suhu 37°C selama
24 jam.
5 Setelah 24 jam, kemudian diukur diameter zona bening yang
terbentuk di sekeliling kertas saring-kertas saring tersebut dan
dicatat hasilnya.
4.3.5 Pembuatan Kultur Koloni Bakteri dari Ekstrak Tumbuhan
1. Menyiapkan botol vial yang telah berisi ekstrak/ hasil gerusan dari
ketiga bagian tumbuhan tersebut dan telah didiamkan ± 15 menit.
2. Menyiapkan medium Agar Nutrisi masing-masing sebanyak 20 ml
ke dalam 3 cawan petri didinginkan.
3. Siapkan ose steril, kemudian celupkan ose tersebut ke dalam botol
vial berisi ekstrak.
4. Setelah itu, strik/goreskan ose di atas medium Agar Nutrisi.
26
5. Melakukan strik terhadap 3 ekstrak bagian tumbuhan tersebut pada
cawan petri yang berbeda.
6. Menutup cawan petri tersebut kemudian berikan label pada
masing-masing cawan petri. Setelah itu bungkus cawan petri
dengan kertas koran.
7. Menginkubasi semua cawan petri tersebut pada suhu 37°C selama
24 jam.
8. Setelah 24 jam, buka kertas koran dan lihat koloni bakteri yang
terbentuk
9. Melihat perbedaan morfologi dari masing-masing koloni yang
terbentuk kemudian dicatat.
4.3.6 Isolasi dan Suspensi Biakan Murni Bakteri Endofit (Bakteri
pada Tumbuhan)
1. Menyiapkan 9 medium Agar miring steril, 9 Agar Nutrisi yang
telah berisi koloni bakteri, dan 9 buah botol vial steril.
2. Memilih kemudian memindahkan masing-masing koloni yang
terbentuk dari ekstrak tumbuhan pandan tersebut menggunakan ose
steril.
3. Melakukan penggoresan ose berisi bakteri di atas agar miring.
4. Menutup Agar miring dengan sumbat tabung dan dibungkus kertas
koran kemudian menginkubasinya selama ± 24 jam.
27
5. Setelah 24 jam, suspensi bakteri dibuat dengan cara memindahkan
1-2 ose bakteri dari Agar miring ke dalam botol vial yang telah
berisi NaCl fisiologis steril. Kemudian mengoyang-goyangkan
tabung vial secara perlahan hingga bakteri dan NaCl fisiologis
menjadi homogen.
6. Setelah itu, memasukan masing-masing 2 buah kertas saring ke
dalam 9 botol vial hasil suspensi bakteri kemudian memberikan
label.
4.3.7 Uji Sensitivitas Bakteri Uji terhadap Bakteri pada Ekstrak
Tumbuhan (Bakteri Endofit).
1. Suspensi bakteri uji disiapkan dan bakteri dari ekstrak tumbuhan
(bakteri endofit).
2. Cawan petri yang berisi Agar Nutrisi kemudian dicampurkan
dengan bakteri uji.
3. Setelah Agar nutrisi dan bakteri uji tercampur dan membeku, di
atas Agar Nutrisi tersebut diletakan 9 buah kertas saring yang
diambil dari 9 suspensi bakteri dengan jarak yang berjauhan.
4. Menutup medium Agar Nutrisi kemudian memberi label dan
membungkusnya dengan kertas koran dan diinkubasi selama ± 24
jam.
5. Setelah 24 jam cawan petri dibuka dan dilihat pembentukan zona
bening yang terjadi kemudian dicatat.
28
4.4 Analisis Data
Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak tumbuhan dan bakteri endofit
terhadap bakteri uji dianalisis setelah 24 jam proses inkubasi yaitu
berdasarkan lebarnya diameter zona bening yang terbentuk. Ketahanan
bakteri terhadap ekstrak tumbuhan dan bakteri endofit dapat dilihat dari
daerah hambat (zona bening) berikut :
Zona bening dengan diameter lebih dari 20 mm menunjukkan
bahwa bakteri tersebut sangat sensitif terhadap ekstrak tumbuhan dan
bakteri endofit.
Zona bening dengan diameter lebih dari 10 - 20 mm menunjukkan
bahwa bakteri tersebut sensitif terhadap ekstrak tumbuhan dan bakteri
endofit.
Zona bening dengan diameter kurang dari 5 - 10 mm menunjukkan
bahwa bakteri tersebut kurang sensitif terhadap ekstrak tumbuhan dan
bakteri endofit.
29
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL PENELITIAN
Tabel 5.1. Hasil penelitian pengaruh bakteri endofit tumbuhan pandan terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus
Bagian Tumbuhan Pandan
BAKTERI ENDOFIT
Diameter Zona Bening (mm)
Escherichia coli Staphylococcus
aureus
Daun
I 5 (-)II (-) (-)III 7 9,5IV 8 8,5
BatangV 9,5 10,5VI 8,5 10VII 7 (-)
30
AkarVIII 9 (-)IX (-) 5
Tabel 5.2. Pengaruh ekstrak Pandanus tectorius terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus
Ekstrak Pandanus tectorius
Diameter Zona Bening (mm)
Escherichia coliStaphylococcus
aureusDaun 6,5 (-)
Batang 6,5 (-)Akar 6,5 (-)
5.2. PEMBAHASAN
Pengamatan terhadap pengaruh esktrak pandan dan bakteri endofit
terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus dilakukan pada hari kedua
karena pada hari pertama belum terlihat adanya daerah hambat atau zona bening.
Pada cawan petri yang berisi kertas saring yang sudah direndam di dalam suspensi
bakteri endofit, terlihat adanya zona bening atau daerah hambat untuk E.coli pada
bakteri endofit I (5 mm), III ( 7 mm), IV (8 mm), V (9,5 mm), VI (8,5 mm), VII
(7 mm), VIII (9 mm), sedangkan endofit II dan IX tidak menunjukkan adanya
daerah hambat terhadap bakteri E.coli. Sedangkan untuk S.aureus yang
menunjukkan adanya daerah hambat adalah endofit III (9,5 mm), IV (8,5 mm), V
31
(10,5 mm), VI (10 mm), dan IX (5 mm), namun pada bakteri endofit I, II, VII, dan
VIII tidak menunjukkan adanya daerah hambat terhadap bakteri S.aureus. Dari
semua bakteri endofit yang ditanamkan hanya bakteri endofit II yang tidak
menunjukkan adanya daerah hambat baik terhadap E.coli maupun S.aureus, hal
ini menunjukkan bahwa bakteri endofit II tidak resisten atau tidak memiliki
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang diujikan.
Sedangkan pada cawan petri yang berisi kertas saring yang sudah
direndam di dalam ekstrak bagian daun, batang, akar pandan, terlihat adanya zona
bening atau daerah hambat untuk E.coli pada semua ekstrak bagian tumbuhan
pandan yaitu sebesar 6,5 mm. Sedangkan untuk bakteri S.aureus tidak satupun
ekstrak yang menunjukkan adanya daerah hambat pada kedua bakteri S.aureus,
hal ini menunjukkan bahwa ekstrak pandan dari bagian daun, batang, dan akar
tidak memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus.
Tidak munculnya daerah hambat pada ekstrak maupun bakteri endofit terhadap
bakteri uji tidak hanya disebabkan oleh tidak adanya kemampuan antibakteri,
tetapi juga bisa disebabkan kultur bakteri yang dibiakkan dalam terlalu pekat
sedangkan kandungan senyawa antibakteri yang dimiliki ekstrak dan bakteri
endofit tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan konsentrasi yang
tinggi.
32
I II III IV V VI VII VIII IX0
2
4
6
8
10
12
Gambar 5.1. Grafik diameter daerah hambat bakteri endofit tumbuhan pandan terhadap bakteri
E.coli dan S.aureus.
Daun Batang Akar0
1
2
3
4
5
6
7
Pengaruh terhadap E.coli (mm)
Pengaruh terhadap S.aureus (mm)
Gambar 5.2. Grafik diameter daerah hambat ekstrak bagian tumbuhan pandan terhadap bakteri
E.coli dan S.aureus.
Pada grafik diketahui bahwa diameter daerah hambat pada bakteri endofit
V merupakan yang tertinggi dengan nilai 9,5 mm untuk bakteri E.coli dan 10,5
mm untuk S.aureus. Pada bakteri endofit lain diameter daerah hambat yang
terlihat berkisar antara 5-9 mm cm untuk E.coli dan 8,5-10 mm untuk S.aureus.
Sedangkan pada ekstrak bagian tumbuhan pandan semua bagian menunjukkan
33
angka yang sama yaitu 6,5 mm untuk E.coli. Hal ini menunjukkan bahwa semua
bagian yang diuji memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri yang
relatif sama.
Dapat terlihat bahwa bakteri E.coli dan S.aureus yang diberi perlakuan
ekstrak dan bakteri endofit sebagai antibakteri hampir semua mengalami
penghambatan pertumbuhan. Hal ini disebabkan adanya senyawa aktif pada
pandan yaitu polifenol yang menyebabkan terjadinya hambatan pada pertumbuhan
bakteri. Menurut Soemarno (1987), senyawa tersebut berkhasiat sebagai
antibakteri. Aktivitasnya sebagai antibakteri dapat disebabkan karena senyawa
fenol mampu mengganggu proses metabolisme pada bakteri, hal ini didukung ole
Leather & Einhelling (1988), yang menyatakan bahwa senyawa golongan fenol
dapat mengganggu proses perpanjangan sel, merubah permeabilitas membran,
mengganggu penyerapan nutrisi, mengganggu sintesa protein, dan mengganggu
aktivitas enzim dan respirasi.
Menurut Sastroutomo (1990), senyawa fenol dapat mengganggu aktivitas
enzim amilase, protease, aldolase dan lipase. Apabila salah satu enzim tersebut
terganggu, maka dapat mengakibatkan metabolisme terganggu, akibatnya
pertumbuhan organisme juga terganggu.
Pada penelitian kali ini adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri
E.coli dan S.aureus bukan hanya disebabkan adanya senyawa aktif pada pandan
dan bakteri endofit yang menghambat pertumbuhan tetapi juga disebabkan oleh
terjadinya kontaminasi pada cawan petri, sehingga pertumbuhan bakteri uji
menjadi terhambat karena di dalam cawan petri yang berisi medium tersebut,
34
bukan saja E.coli dan S.aureus yang tumbuh, tetapi juga mikroba-mikroba lain
ikut tumbuh, seperti bakteri lain dan juga jenis jamur juga ikut tumbuh, akibatnya
diantara organisme tersebut terjadi kompetisi, dan tumbuh saling menekan.
Terjadinya kontaminasi tersebut dapat disebabkan karena sediaan ekstrak
yang digunakan dilakukan tidak secara aseptik, yaitu bahan baku langsung
ditumbuk, kemudian dicampur dengan akuades dan selanjutnya didiamkan selama
kurang lebih satu jam. Hal ini dapat menjadi sumber kontaminasi, karena jenis
mikroba yang terdapat dalam tumbuhan pandan akan ikut terbawa dalam ekstrak,
selain itu juga sumber kontaminan dapat berasal dari air yang digunakan untuk
membersihkan ekstrak. Selanjutnya sediaan ekstrak tersebut juga tidak disimpan
dalam lemari pendingin, sehingga dapat ditumbuhi oleh kontaminan.
Dari percobaan ini dapat dilihat bahwa penghambatan terhadap
pertumbuhan bakteri uji tersebut dapat disebabkan karena penyediaan ekstrak
tidak secara aseptik, sehingga menjadi kurang baik hasilnya. Sebenarnya
tumbuhan pandan tersebut menurut teori, mengandung senyawa aktif yang
bersifat antibakteri, sehingga apabila penyediaan ekstraknya lebih baik,
kemugkinan ekstrak tersebut dapat digunakan sebagai antibiotik alami, antibiotik
alami lebih baik daripada antibiotik sintetik, karena senyawa sintetik dapat
menyebabkan terjadinya residu di lingkungan, karena umumnya senyawa-
senyawa sintetik sulit didegradasi di lingkungan, sedangkan senyawa-senyawa
yang berasal dari bahan alam mudah terdegradasi di lingkungan.
Oleh karena itu seandainya percobaan ini berhasil, bahwa cukup dengan
merendam tumbukan daun, akar, dan batang segar pandan, pertumbuhan bakteri
35
E.coli dan S.aureus dapat terhambat, maka hal ini dapat digunakan langsung di
lapangan, karena dengan biaya murah, cara yang mudah dapat diperoleh hasil
yang lebih baik, dan senyawa-senyawa aktif yang terdapat ekstrak dan bakteri
endofit tersebut mudah terdegradasi, sehingga tidak menimbulkan residu yang
membahayakan bagi kesehatan manusia. Tetapi dalam percobaan ini hal tersebut
menjadi sulit dibuktikan, karena terdapatnya kontaminasi yang berasal dari
sumber kontaminan pada ekstrak pandan
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
36
6.1.Kesimpulan
Tumbuhan Pandanus tectorius mempunyai bakteri endofit dan mampu
untuk menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus.
Kemampuan bakteri endofit dan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan
bakteri E.coli dan S.aureus relatif sama yaitu daerah hambat untuk E.coli
pada bakteri endofit I (5 mm), III ( 7 mm), IV (8 mm), V (9,5 mm), VI
(8,5 mm), VII (7 mm), VIII (9 mm). Sedangkan untuk S.aureus yang
menunjukkan adanya daerah hambat adalah endofit III (9,5 mm), IV (8,5
mm), V (10,5 mm), VI (10 mm), dan IX (5 mm).
6.2. Saran
Setelah melihat hasil dari penelitian, maka disarankan untuk penelitian
selanjutnya atau penelitian yang sama agar:
1. Melakukan maserasi (pembuatan ekstrak dengan alkohol) dalam waktu
yang cukup lama.
2. Melakukan identifikasi sekurang-kurangnya pewarnaan Gram terhadap
bakteri endofit yang diisolasi.
37