bab i

54
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil Indonesia berperan cukup besar dalam menunjang perekonomian Nasional. Pada tahun 2006, industri tekstil memberikan kontribusi sebesar 11,7 % terhadap ekspor Nasional (Departemen Perindustrian Jawa Barat, 2006). Namun saat ini keberadaan industri tekstil menjadi masalah karena merupakan industri penghasil limbah cair yang tinggi dan dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya pencemaran air. Sekitar 85 % industri tekstil di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sisanya tersebar di Sumatera dan Bali (Indrayani, 2004). Air limbah industri tekstil dapat dengan mudah dikenali karena cemaran zat warna yang bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Zat warna tersebut selalu menjadi kontaminan utama dan terlihat pada limbah 1

Upload: ina-darliana

Post on 02-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri tekstil Indonesia berperan cukup besar dalam menunjang

perekonomian Nasional. Pada tahun 2006, industri tekstil memberikan kontribusi

sebesar 11,7 % terhadap ekspor Nasional (Departemen Perindustrian Jawa Barat,

2006). Namun saat ini keberadaan industri tekstil menjadi masalah karena

merupakan industri penghasil limbah cair yang tinggi dan dianggap sebagai salah

satu penyebab terjadinya pencemaran air. Sekitar 85 % industri tekstil di

Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sisanya tersebar di Sumatera

dan Bali (Indrayani, 2004).

Air limbah industri tekstil dapat dengan mudah dikenali karena cemaran

zat warna yang bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Zat warna tersebut selalu

menjadi kontaminan utama dan terlihat pada limbah tekstil . Limbah yang

berwarna tidak hanya menimbulkan polusi secara visual, tetapi dapat

meningkatkan resiko kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia (Cascio,

1994).

Limbah cair industri tekstil banyak mengandung material organik, berbau

tidak sedap dan berwarna pekat. Pencemaran air oleh industri tekstil pada

umumnya bersumber dari proses basah diantaranya proses pencelupan.

1

Selanjutnya, pencemaran dapat dihasilkan dari proses penyempurnaan (Finishing)

dalam air mendidih juga dari proses pencucian kain yang telah selesai diproses.

Pembuatan kain pada industri tekstil biasanya menggunakan zat warna

sintetis, jarang pengusaha yang menggunakan zat warna alam. zat warna sintetik

lebih disukai karena dapat memenuhi kebutuhan skala besar, warna lebih

bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis dengan hasil pencelupan sangat baik

(Montano, 2007). Zat warna sintetis yang banyak digunakan ialah zat warna

remazol yang termasuk zat warna reaktif . Zat warna ini merupakan zat warna

sintetik yang mengandung paling sedikit satu ikatan ganda N=N dan mempunyai

gugus reaktif yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus –OH, -NH

atau –SH pada serat. Zat warna remazol banyak digunakan dalam pencelupan

kain terutama yang terbuat dari serat selulosa dan rayon. Hal ini disebabkan zat

warna remazol dapat terikat kuat pada kain, memberikan warna yang lebih baik

dan tidak mudah luntur (Blackburn and Burkinshaw, 2002). Zat warna reaktif

disintesis untuk tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia maupun fotolitik.

Dengan demikian, bila terbuang ke lingkungan dapat bertahan dalam jangka

waktu yang lama dan mengalami akumulasi dalam lingkungan sampai pada

tingkat konsentrasi tertentu dan menimbulkan dampak negatif terhadap daya

dukung lingkungan.

Sebelum dibuang ke sungai kebanyakan cara pengolahan limbah dilakukan

secara kimia dan fisika yang dilakukan dengan menggunakan metode adsorpsi,

koagulasi dan oksidasi (Reddy et al., 2006; Bidhendi et al., 2007; Aslam et al.,

2004).

2

Pengolahan limbah seperti cara tersebut cukup efektif menghilangkan

warna, akan tetapi memerlukan biaya yang besar dan menggunakan bahan kimia

yang banyak. Selain itu, proses ini menimbulkan limbah sampingan berupa sludge

yang juga banyak. Untuk mengatasi kelemahan pengolahan limbah secara fisika

dan kimia, maka pengolahan limbah secara biologis merupakan salah satu

alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pengolahan limbah secara biologis adalah

menggunakan mikroorganisme sebagai agensia pengurai zat warna. Penggunaan

mikroorganisme untuk mengolah limbah sangat potensial untuk dikembangkan,

karena limbah tekstil mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dan dapat

dimanfaatkan oleh mikroorganisme tertentu sebagai sumber nutrisi . Kandungan

bahan organik yang ada dalam limbah memungkinkan mikroorganisme dapat

tumbuh pada limbah tekstil

Beberapa mikroba tertentu memiliki kemampuan untuk menggunakan zat

warna sebagai sumber karbon dan nitrogen dan mereduksi zat warna tersebut

dengan enzim azo reduktase (Sharma et al, 2009).

Penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, menunjukkan

penggunaan mikroba untuk proses degradasi zat warna adalah dari jenis jamur

pelapuk putih yaitu Trametes vilosa, Phanerochaete chrysosporium (Machado et

al., 2006). Berdasarkan uraian tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan

isolasi, dan identifikasi mikroba pengurai zat warna dari sampel tanah dan air laut

asal Taman Nasional Alas Purwo . Selanjutnya akan dilihat kemampuan isolat

mikroba terpilih tersebut untuk dekolorisasi zat warna tekstil.

3

1.2. Identifikasi masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, timbul beberapa masalah untuk dikaji

lebih lanjut, yaitu :

1. Apakah dari sampel tanah dan air laut dapat diisolasi dan diidentifikasi

mikroba pengurai zat warna?

2. Isolat mikroba pengurai zat warna apa saja yang ada pada sampel tanah

dan air laut ?

1.3. Maksud dan tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengidentifikasi

mikroba pengurai zat warna dari tanah dan air laut.

Sedangkan tujuan pengamatannya adalah melihat potensi mikroba dari

tanah dan air laut asal Taman Nasional Alas Purwo untuk dimanfaatkan sebagai

agensia pengurai zat warna.

1.4. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis

deskriptif yaitu dengan cara melakukan pengambilan sampel tanah dan air laut di

lapangan dan melakukan identifikasi di laboratorium, selanjutnya menguji

kemampuan isolat asal tanah dan air laut tersebut untuk dekolorisasi zat warna .

4

1.5. Lokasi dan waktu pengamatan

Penelitian akan dilaksanakan pada tanggal 7 – 12 April di Taman Nasional

Alas Purwo Blambangan Jawa Timur.

5

BAB II

TINJAUAN UMUM LOKASI

2.1 Letak Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung Pangandaran

Kawasan konservasi Sumber Daya Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis

Jawa Barat merupakan semenanjung kecil berbentuk seperti tinju manusia yang

terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau

yang dihubungkan dengan daratan utama hanya dipisahkan oleh suatu jalur sempit

diapit antara dua teluk selebar ± 200 m. Secara administratif termasuk ke dalam

kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, yang

berdekatan dengan perbatasan Jawa Tengah. Lokasinya sekitar 90 km dari Kota Ciamis ke

sebelah Tenggara, 221 km dari Bandung, atau 407 km dari kota Jakarta.

Semenanjung ini terlatak pada koordinat 108o 40' Bujur Timur dan 7o 43'

Lintang Selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan Teluk Pangandaran, sebelah

selatan dengan Samudera Indonesia dan di sebelah barat dengan Teluk Parigi.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Kawasan

Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung pangandaran semula

merupakan tempat perladangan penduduk di sekitarnya dengan lokasi yang

terpencar. Pada tahun 1921, Y. Eycken (Residen Priangan) mengusulkan agar

kawasan tersebut menjadi tempat perburuan. Sebagai tahap persiapan

6

dimasukkan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina serta beberapa ekor rusa

India (Axis axis).

Pada tahun 1934 kawasan ini ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa (Wild

resevaat), berdasarkan Government bisluit tanggal 7 Desember 1934, Stbl 1934

No. 669 seluas 530 Ha.

Pada tahun 1961 kawasan yang berstatus Suaka Margasatwa diubah

satusnya menjadi Cagar Alam. Perubahan ini terjadi setelah ditemukannya

tumbuhan unik “Raflesia padma” serta terdapat unsur - unsur alami dan kultural.

Perubahan status ini berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.34/KMP/1961 tanggal

20 April 1961.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk rekreasi di alam sesuai

dengan perkembangan kepariwisataan di Indonesia maka atas SK. Menteri

Pertanian No.170/KTPS/UM/1978, tanggal 10 Maret 1978 sebagai kawasan Cagar

Alam Pananjung Pangandaran seluas 37,7 Ha, diubah fungsi dan statusnya

menjadi Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata dan sisanya seluas 492,30 Ha

merupakan Cagar Alam.

2.3 Status dan Luas

Kawasan Pananjung Pangandaran ditunjuk sebagai Suaka Margasatwa

pada tanggal 7 Desember 1934 dengan surat keputusan No.9, yang dikeluarkan

oleh Director Van Scomishe Zoken. Setelah Indonesia merdeka diperkuat dengan

surat pemerintahan Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tanggal 20 April

1961 No. 34/KUP/1961 menjadi Pananjung Pangandaran sebagai Cagar Alam.

Mula-mula daerah yang ditunjuk sebagai “Wild reservon ink” mempunyai luas

7

457 Ha, yang kemudian diperluas menjadi 524,6 Ha dengan surat keputusan

Menteri Pertanian tersebut.

Pada tahun 1957 kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Pananjung

Pangandaran pengelolaannya ditangani oleh Kebun Raya Bogor. Selanjutnya

pada tahun 1957-1972 pengelolaannya dikelola oleh seksi Perlindungan dan

Pengwetan Alam Jawa Barat II. Kemudian pada tahun 1978 sampai sekarang

dibawah tanggung jawab Sub Balai Kawasan Pelestarian Pangandaran-Ciamis,

dalam lingkungan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam III, Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan.

2.4 Topografi dan Geologi

Secara umum kondisi topografi kawasan konservasi Sumber Daya Alam

Pangandaran terdiri dari 15% bergunung dan rata-rata ketinggian 100 m dpl.

Daerah tertinggi mencapai 148 dpl terletak di sebelah Selatan padang rumput

Badeto sedangkan keadaan berbukit ditemukan di bagian selatan Taman Wisata

Alam Pangandaran, memanjang di sepanjang perbatasan wilayah tersebut mulai

dari Ciborok (Barat) sampai Cirengganis (Timur) dan keadaan bergunung

ditemukan dalam bentuk tonjolan-tonjolan batu karang terjal yang terpisah dan

menjulang tinggi 5-20 m.

Semenanjung Pangandaran terbentuk bersama-sama dengan Pulau Jawa

pada periode Miocene. Sebagian besar terdiri dari batuan breccia dan susunan

kapur. Tetapi di daerah pantai, diantara bukit-bukit dan semenanjung, susunan

Miocene ditutupi oleh karang (coral) dan endapan alluvial selama periode

Pleiocene.

8

2.5 Iklim

Kawasan ini mempunyai curah hujan rata-rata 3.196 mm/th dengan suhu

udara berkisar 25o-30o C dan kelembapan udara antara 80-90 %. Musim basah

terjadi pada bulan Oktober-Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat laut.

Sedangkan musim kering terjadi pada bulan Juli-September, yaitu selama periode

angin musim tenggara dan curah hujan kurang dari 60 mm.

2.6 Keadaan Air dan Tanah

Dalam kawasan TWA/CA Pangandaran terdapat sepuluh buah sungai yang

panjangnya tidak lebih dari 1-2 km. Sungai terbesar adalah Sungai Cikamal yang

mempunyai muara di pantai Barat dan Sungai Cirengganis yang bermuara di

pantai Timur, sehingga kawasan ini dapat disebut sebagai sumber air tawar.

Jenis tanah yang ada di kawasan ini antara lain : podsolik merah kuning,

podsolik kuning, latosol, endapan alluvial yang berasal dari laut yang terdiri dari

pasir dan tanah berpasir yang terdapat diantara pantai sebelah utara semenanjung

yang berbentuk karang-karang terjal.

2.7 Potensi Flora

Jenis flora yang ada di kawasan Konservasi Sumber Daya Alam

Pangandaran terdiri dari berbagai famili dan species diantaranya: kelompok pohon

249 species, perdu 71 species, liana 65 species, semak 193 species, rumput 53

species, epifit 26 species dan parasit 10 species.

9

Sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua dan sisanya adalah

hutan primer. Pohon-pohon yang dominan adalah Laban (Vitex pubescent),

Kisegel (Dilenia exelsa), Reungas (Buchanaria arborences), Kondang (Ficus

variegata), dan Teureup (Artocarpus elastica).

Di dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang merupakan tanaman

eksotik yaitu: Jati (Tectonia grandis), Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Kormis

(Acacia auriculiformis).

2.8 Potensi Fauna

Kawasan konservasi Pangandaran selain terdapat flora yang beragam juga

terdapat fauna yang cukup beragam dan menarik yaitu: 30 jenis mamalia, 4 jenis

amfibia, 78 jenis aves, 75 jenis pisces dan 15 jenis terumbu karang.

Satwa liar yang terdapat di kawasan konservasi Pangandaran ini adalah:

Banteng (Bos javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak), Tando (Cyanocephalus

variegatus), Kalong (Pteroptus vampyrus), Kera abu-abu (Macaca fasicularis),

Lutung (Tracypithecus auratus), Kangkareng (Anthracocerus convexus),

Rangkong (Buceros rhinocerus), dan Ayam hutan (Gallus gallus) yang terdapat di

hutan cagar alam hanya tinggal 2 ekor, salah satunya adalah jantan

10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Pandanus tectorius

Pandan duri ( Pandanus tectorius ) adalah tumbuhan yang termasuk ke

dalam suku Pandanaceae, tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda pada setiap

daerah tanaman ini tumbuh diantaranya : pandan (Indonesia), dan screwpine

(Inggris).

Berikut ini adalah taksonomi dari

P.tectorius SOLAND. EX PARK.

Kerajaan Plantae

Divisi Magnoliophyta

Kelas Liliopsida

Ordo Pandanales

Famili Pandanaceae

Genus Pandanus

Spesies P.tectorius

Gambar 1.1. Tumbuhan P.tectorius

Sumber (Wikipedia.com)

11

3.1.1. Habitat, penyebaran, dan morfologi

P.tectorius tumbuh alami di daerah pesisir, sepanjang Australia, dan

Indonesia Timur melalui pulau-pulau tropis Samudera Pasifik sampai ke Hawaii,

seperti mangrove dan pantai yang memiliki ketinggian 20-40 meter diatas

permukaan laut (dpl). Tumbuhan ini memerlukan 1500-4000 milimeter dari

curah hujan tahunan. Tumbuhan ini tumbuh di bawah sinar matahari dengan

kelembapan 30-50%. P.tectorius adalah pohon yang tumbuh 4-14 meter di atas

tanah. Batang tegak, lunak, bulat, percabangan monopodial, putih kotor. Daun

tunggal, memeluk batang, berbentuk lanset, tepi berduri, ujung runcing, pangkal

tumpul, pertulangan sejajar, panjang 75-90 cm, lebar 8-10 cm, hijau. Bunga

majemuk, bentuk bongkol, berkelamin dua, di ketiak daun, bunga jantan berdiri

sendiri, lonjong, daun pelindung bentuk lanset, benang sari terkumpul rapat pada

poros tongkol, putih kotor. Buah berbentuk bulat telur dengan diameter 4-20

cmdan panjang 8-30 cm yang memiliki benang sekam di bagian luarnya.

(Anonim 1, 2009).

3.1.3. Kandungan Senyawa

Tumbuhan family Pandanaceae mengandung senyawa polifenol dan

saponin.(Anonim 1, 2009). Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan

pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol

dalam molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu

tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Pada beberapa penelitian

disebutkan bahwa kelompok polifenol memiliki peran sebagai antioksidan yang

12

baik untuk kesehatan. Antioksidan polifenol dapat mengurangi risiko penyakit

jantung dan kanker.(Anonim 6, 2009). Saponin adalah salah satu dari banyak

metabolites sekunder yang ditemukan dalam sumber-sumber alam, dengan

saponin tertentu banyak ditemukan di dalam berbagai jenis tanaman (Anonim 7,

2009).

Senyawa polifenol pada tumbuhan yang berhubungan dengan aktivitas

metabolisme hewan dapat berupa bentuk antrakinon. Antrakinon merupakan

senyawa polifenol yang bersifat antibakteri, senyawa ini banyak terdapat pada

tanaman obat-obatan. Antrakinon sangat beragam seperti aloin, antrasin,

barbaloin, aloemoden (pada lidah buaya) dan morindon (pada mengkudu).

Senyawa ini bersifat anti bakteri (Tanaka, 1997).

3.2. Escherichia coli T. Escherich, 1885

Gambar 1.2. Escherichia coliSumber (Wikipedia.com)

Superdomain Phylogenetica

Filum Proteobacteria

Kelas Gamma Proteobacteria

13

Ordo Enterobacteriales

Famili Enterobacteriaceae

Genus Escherichia

Spesies E. coli

Escherichia coli, adalah salah satu jenis spesies bakteri gram negatif. Pada

umumnya hidup pada tinja, dan dapat menyebabkan masalah kesehatan pada

manusia.

E. coli banyak digunakan dalam teknologi rekayasa genetika. Biasa

digunakan sebagai vektor untuk menyisipkan gen-gen tertentu yang diinginkan

untuk dikembangkan. E. coli dipilih karena pertumbuhannya sangat cepat dan

mudah dalam penanganannya (Anonim 4, 2009).

E. coli masuk ke dalam famili Enterobacteriacea, termasuk di dalamnya

genera lain yang bersifat patogen seperti Salmonella, Shigella, and Yersinia.

E. coli adalah coliform fecal yang dapat memfermentasi laktosa, memproduksi

gas pada 35° C dan 44° C atau 45,5 ° C, indol positif dan dapat ditandai dengan

adanya karakteristik yang khusus dengan enzim beta galaktosidase dan beta

glukoronidase.

3.2.1. Biologi dan biokimia

14

Gambar 1.3. Ilustrasi struktur E.coli

E.coli merupakan bakteri Gram Negatif, anaerob fakultatif, dan tidak

berspora. Panjang sel sekitar 2 dan diameter 0,5 μm, dengan volum sel 0.6 - 0.7

μm3. Bakteri ini dapat tumbuh pada banyak substrat juga tumbuh baik pada

medium pepton-laktosa atau pepton-glukosa (Schlegel, 1994). E. coli

menggunakan fermentasi campuran asam (mixed-acid) dalam keadaan anaerobik,

menghasilkan laktat, suksinat, etanol, asetat, dan karbon dioksida (Anonim8,

2009).

Temperatur pertumbuhan optimal E. coli sekitar 37°C, namun pada

beberapa strain laboratorium dapat dibiakkan pada temperatur hingga 49°C.

Pertumbuhan dapat dijalankan pada respirasi aerob dan anaerob, menggunakan

variasi yang besar dari pasangan redoks, termasuk oksidasi asam piruvat, asam

format, hidrogen, dan asam amino, dan reduksi dari substrat seperti oksigen,

nitrat, dimetil sulfooksida dan trimetilamin N-oksida. Strain yang memiliki

flagella dapat berenang dan bergerak, namun strain lainnya tidak memiliki

flagella. Tipe flagelanya yaitu peritrik.

15

Sebagian besar strains E. coli tidak bersifat patogen, walau dapat menjadi

opportunistik patogen (dapat bertahan dalam lingkungan yang ekstrim) dan

menyebabkan infeksi pada inang yang ada dalam kondisi immunocompromised.

Beberapa strain E. coli yang patogen menyebabkan penyakit pada saluran

pencernaan, seperti diare, muntaber dan masalah pencernaan lainnya.

Tahun 1892, Shardinger mengusulkan penggunaan E. coli sebagai

indikator kontaminasi oleh bakteri fekal. Hal tersebut didasarkan atas fakta bahwa

E. coli banyak terdapat pada fekal manusia maupun hewan tetapi tidak pada

relung (niche) lainnya. Selain itu bakteri patogen sendiri relatif jarang sehingga

sulit dan memerlukan waktu lama untuk dapat dimonitor langsung. E. coli mudah

dideteksi melalui kemampuannya dalam memfermentasi glukosa (kemudian uji

diubah berdasarkan kemampuan fermentasi laktosa) maka akan lebih mudah

untuk mengisolasinya dibandingkan mengisolasi bakteri patogen penyebab

penyakit saluran pencernaan lainnya(Anonim8, 2009).

3.3. Staphylococcus aureus Rosenbach 1884

16

Gambar 1.4. Staphylococcus aureusSumber (Wikipedia.com)

Domain Bakteri

Kerajaan Eubacteria

Divisi Firmicutes

Kelas Cocci

Order Bacillales

Famili Staphylococcaceae

Genus: Staphylococcus

Spesies: S. aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang berbentuk bola yang banyak

terdapat pada hidung dan kulit manusia. Merupakan bakteri anaerobik fakultatif

dan bakteri gram positif. S. aureus adalah katalase positif (yang berarti dapat

menghasilkan enzim "katalase") dan dapat mengkonversi hidrogen peroksida

(H²O²) menjadi air dan oksigen.(Ryan, 2004). S. aureus dapat menyebabkan

berbagai penyakit kulit seperti jerawat, impetigo (mungkin juga disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes), selulit, bisul, dan abses, juga penyakit yang mengancam

kehidupan seperti radang paru-paru , meningitis, Toxic shock syndrome (TSS),

dan septisemia (Anonim 3, 2009).

S. aureus bersifat komensalisme pada kulit manusia; juga terdapat pada

hidung juga sedikit pada tenggorokan. Keberadaan S. aureus tidak selalu

mengindikasikan infeksi dan tidak diperlukan adanya perawatan. Bakteri ini dapat

beratahan pada hewan domestikan seperti anjing, kucing, dan kuda. Bakteri ini

17

juga dapat bertahan dalam keadaan lingkungan kering selama beberapa jam

(Anonimf, 2009).

Bakteri E.coli dan S.aureus mengandung mikroba yang termasuk ke dalam

golongan mikroba endofitik. Mikroba endofit adalah organisme hidup yang

berukuran mikroskopis (bakteri dan jamur) di dalam jaringan tumbuhan (xylem

dan phloem), daun, akar, buah, dan batang. Mikroba ini hidup bersimbiosis saling

menguntungkan, dalam hal ini mikroba endofitik mendapatkan nutrisi dari hasil

metabolisme tumbuhan dan memproteksi tumbuhan melawan herbivora, serangga,

atau jaringan yang patogen sedangkan tumbuhan mendapatkan derivat nutrisi dan

senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya (Tanaka, 1999).

3.3.1. Karakteristik dari Staphylococcus aureus

18

Gambar 1.5. Koloni S.aureus

Gram Positif, berbentuk kokus (bulat), tidak bergerak, tidak berspora,

anaerob fakultatif, fermentasi pada glukosa menghasilkan asam laktat, fermentasi

mannitol, positif katalase, positif koagulan, koloni berwarna kuning – emas pada

agar, flora normal pada manusia yang ditemukan pada hidung (nasal), kulit, dan

membran mukosa, patogen pada manusia, menyebabkan infeksi meluas, seperti

keracunan makanan dan sindrom keracunan (Todar, 2008).

3.4. Uji Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik

Uji resistensi bakteri adalah suatu pengujian untuk mengetahui kepekaan

bakteri terhadap antibiotik. Terdapat dua metoda umum yang digunakan untuk uji

seperti ini adalah metoda difusi tabung dan metoda difusi agar.

1. Metoda difusi tabung adalah metoda untuk menentukan jumlah terkecil

dari antibiotik yang diperlukan untuk menghambat suatu organisme yang

akan di tes. Jumlah ini diketahui sebagai konsentrasi hambat minimum.

Untuk menentukan hal tersebut, para ahli telah menyiapkan suatu set

tabung dengan konsentrasi antibiotik tertentu yang berbeda-beda. Ke

dalam tabung-tabung itu kemudian diinokulasikan bakteri yang akan diuji,

19

setelah itu diinkubasikan dan diuji pertumbuhan dari bakteri tersebut.

Tingginya pertumbuhan akan menurun sesuai dengan pertambahan

konsentrasi antibiotik dan kemungkinan konsentrasi antibiotik yang

terpakai diamati pada tiap pertumbuhan bakteri yang gagal terjadi.

2. Metoda difusi agar adalah metoda yang digunakan berdasarkan prinsip

bahwa antibiotik akan berdifusi. Dari paper disk/silinder kecil ke dalam

medium agar yang berisi bakteri yang akan diuji. Daya hambat (zona

bening) diamati sebagai kegagalan suatu organisme untuk tumbuh pada

daerah di sekitar antibiotik. Medium agar seperti medium Nutrient Agar

dituangkan ke dalam cawan petri, kemudian ke dalamnya diinokulasikan

suatu mikroorganisme (bakteri). Paper disk berisi konsentrasi antibiotik

yang telah diketahui diletakkan di permukaan medium agar lalu

diinkubasikan. Munculnya zona hambat / zona bening mengelilingi disk

mengindikasikan kesensitivitasan organisme terhadap antibiotik tersebut.

Dengan membandingkan diameter dari zona bening dengan standar, maka

dapat ditentukan organisme apa yang rentan atau yang resisiten.

Tabel 3.1 Tingkat kekuatan antibakteri berdasarkan pembentukan zona

bening.

Diameter Zona Bening (DZB) Resistensi Mikroorganisme> 20 mm Sangat sensitif10 – 20 mm Sensitif5 – 10 mm Kurang sensitif< 5 mm Resisten

(Stout, 2001)

20

21

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Bahan dan Alat

4.1.1. Bahan Percobaan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri dari

tumbuhan pandan, ekstrak pandan, kultur bakteri E. coli dan S. aureus, NaCl,

akuades, etanol, dan medium NA (Nutrien Agar).

4.1.2. Alat Percobaan

Akuades steril, botol vial, cawan petri, gelas kimia, jarum oose, kertas

saring, kertas label, otoklav, pembakar bunsen, pinset, dan pisau

4.2 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan yaitu metode analisis deskriptif di mana pada

penelitian diawali dengan pengambilan sampel tumbuhan di lapangan yang

selanjutnya dilakukan penelitian di laboratorium. Tahapan yang dilakukan

adalah:

1. Pengambilan sampel tumbuhan Pandanus tectorius

2. Penelitian lanjutan di laboratorium : pembuatan ekstrak etanol dari

tumbuhan, pembuatan suspensi bakteri uji, pengujian ekstrak terhadap

22

bakteri uji, inkubasi, isolasi bakteri endofit tumbuhan, pengujian

sensitivitas bakteri uji terhadap bakteri endofit.

4.2.1. Ekstraksi

Cacahan batang atau akar pandan direndam selama 24 jam dalam etanol.

Kemudian disaring dengan kertas saring dan ampasnya dibuang. Kertas saring

yang sudah di potong bulat-bulat kecil dimasukkan dan direndam ke dalam

ekstrak selama 24 jam. Penyediaan ekstrak ini dilakukan di lapangan.

4.2.2. Isolasi bakteri endofit tumbuhan Pandan

Isolat bakteri endofit dari tumbuhan Pandan : Cacahan akar, batang dan

daun tumbuhan Pandan yang di beri NaCl fisiologis kemudian di streak ke dalam

medium NA. lalu isolat bakteri tersebut di suspensikan di dalam NaCl fisiologis

dan di beri kertas saring yang sudah di potong bulat-bulat kecil dan direndam

selama 24 jam.

4.3 Tata Kerja

4.3.1 Ekstraksi tumbuhan obat

a. Ekstrak Etanol

1. 100 - 200 gr batang, akar dan daun dari tumbuhan yang akan

digunakan ditimbang.

2. Cuci bersih bagian-bagian tumbuhan tersebut kemudian keringkan.

3. Setelah itu masing-masing bagian tumbuhan tersebut digerus di

dalam mortir hingga halus.

23

4. Memasukan hasil gerusan dari ketiga tumbuhan tersebut ke dalam

3 botol vial yang berbeda.

5. Memasukan sedikit etanol ke dalam botol vial yang telah berisi

ekstrak hingga ekstrak terendam dan jangan mengocok botol vial

tersebut.

6. Memberi label nama tumbuhan pada ketiga botol vial tersebut

7. Menutup botol vial dan menyimpannya selama ± 24 jam.

8. Setelah 24 jam, buka tutup botol vial kemudian menyaring atau

mengambil bagian atas dari hasil gerusan sehinnga didapatkan

ekstrak etanol (jangan mengenai endapan).

9. Memasukan ekstrak etanol ke dalam botol vial baru yang di

dalamnya terdapat kertas saring berbentuk bulat. Beri label

kemudian menutup botol vial tersebut dan menyimpannya kembali

selama ± 24 jam.

4.3.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji

1. Menyiapkan 2 biakan bakteri uji (E.coli dan S.aureus) di dalam

medium agar miring

2. Memasukan NaCl Fisiologis steril sebanyak 5 ml ke dalam botol

vial steril.

3. Kemudian dengan ose diambil koloni bakteri (E.coli) pada agar

miring dan masukan ke dalam botol vial yang telah berisi NaCl

24

fisiologis steril. Aduk atau goyangkan botol vial hingga bakteri dan

NaCl homogeny dengan kekeruhan Mc Farland 3.

4. Menutup botol vial dan menyimpan bakteri hingga bakteri tersebut

digunakan.

5. Melakukan hal yang sama untuk mebuat suspensi bakteri lainnya

(S.aureus).

4.3.3 Pembuatan Medium Agar Berisi Bakteri Uji

1. Menyiapkan ± 120 ml Agar Nutrisi yang telah disterilkan, 6 cawan

petri steril, 2 suspensi bakteri dan 2 volume pipet steril.

2. Suspensi bakteri (E.coli) dimasukan ke dalam 3 cawan petri

masing-masing sebanyak 1 ml dengan menggunakan volume pipet.

3. Melakukan hal yang sama terhadap jenis suspensi bakteri

(S.aureus), dimasukan ke dalam 3 cawan petri sebanyak 1 ml.

4. Memasukan Agar Nutrisi cair suam-suam kuku yang telah

disterilkan sebanyak 20 ml ke dalam semua cawan petri yang telah

berisi bakteri kemudian menggoyang-goyangkannya perlahan di

atas meja hingga Agar dan suspensi bakteri menjadi homogen.

5. Agar tersebut kemudian didiamkan hingga padat atau membeku.

4.3.4 Uji Sensitivitas Bakteri Uji terhadap Ekstrak Tumbuhan

1. Menyiapkan 3 botol vial yang telah berisi ekstrak tumbuhan

25

2. Mengambil kertas saring yang terdapat di dalam botol film

menggunakan pinset, kemudian meletakannya ke dalam 6 cawan

petri yang telah berisi campuran agar dan bakteri. Tiap cawan petri

terdiri dari 2 lembar kertas saring ekstrak murni dan 2 lembar

kertas saring ekstrak etanol dari masing-masing tumbuhan.

3. Menutup cawan petri yang telah berisi kertas saring, agar, dan

bakteri, kemudian berikan label pada masing-masing cawan petri.

Setelah itu bungkus cawan petri dengan kertas koran.

4. Menginkubasi semua cawan petri tersebut pada suhu 37°C selama

24 jam.

5 Setelah 24 jam, kemudian diukur diameter zona bening yang

terbentuk di sekeliling kertas saring-kertas saring tersebut dan

dicatat hasilnya.

4.3.5 Pembuatan Kultur Koloni Bakteri dari Ekstrak Tumbuhan

1. Menyiapkan botol vial yang telah berisi ekstrak/ hasil gerusan dari

ketiga bagian tumbuhan tersebut dan telah didiamkan ± 15 menit.

2. Menyiapkan medium Agar Nutrisi masing-masing sebanyak 20 ml

ke dalam 3 cawan petri didinginkan.

3. Siapkan ose steril, kemudian celupkan ose tersebut ke dalam botol

vial berisi ekstrak.

4. Setelah itu, strik/goreskan ose di atas medium Agar Nutrisi.

26

5. Melakukan strik terhadap 3 ekstrak bagian tumbuhan tersebut pada

cawan petri yang berbeda.

6. Menutup cawan petri tersebut kemudian berikan label pada

masing-masing cawan petri. Setelah itu bungkus cawan petri

dengan kertas koran.

7. Menginkubasi semua cawan petri tersebut pada suhu 37°C selama

24 jam.

8. Setelah 24 jam, buka kertas koran dan lihat koloni bakteri yang

terbentuk

9. Melihat perbedaan morfologi dari masing-masing koloni yang

terbentuk kemudian dicatat.

4.3.6 Isolasi dan Suspensi Biakan Murni Bakteri Endofit (Bakteri

pada Tumbuhan)

1. Menyiapkan 9 medium Agar miring steril, 9 Agar Nutrisi yang

telah berisi koloni bakteri, dan 9 buah botol vial steril.

2. Memilih kemudian memindahkan masing-masing koloni yang

terbentuk dari ekstrak tumbuhan pandan tersebut menggunakan ose

steril.

3. Melakukan penggoresan ose berisi bakteri di atas agar miring.

4. Menutup Agar miring dengan sumbat tabung dan dibungkus kertas

koran kemudian menginkubasinya selama ± 24 jam.

27

5. Setelah 24 jam, suspensi bakteri dibuat dengan cara memindahkan

1-2 ose bakteri dari Agar miring ke dalam botol vial yang telah

berisi NaCl fisiologis steril. Kemudian mengoyang-goyangkan

tabung vial secara perlahan hingga bakteri dan NaCl fisiologis

menjadi homogen.

6. Setelah itu, memasukan masing-masing 2 buah kertas saring ke

dalam 9 botol vial hasil suspensi bakteri kemudian memberikan

label.

4.3.7 Uji Sensitivitas Bakteri Uji terhadap Bakteri pada Ekstrak

Tumbuhan (Bakteri Endofit).

1. Suspensi bakteri uji disiapkan dan bakteri dari ekstrak tumbuhan

(bakteri endofit).

2. Cawan petri yang berisi Agar Nutrisi kemudian dicampurkan

dengan bakteri uji.

3. Setelah Agar nutrisi dan bakteri uji tercampur dan membeku, di

atas Agar Nutrisi tersebut diletakan 9 buah kertas saring yang

diambil dari 9 suspensi bakteri dengan jarak yang berjauhan.

4. Menutup medium Agar Nutrisi kemudian memberi label dan

membungkusnya dengan kertas koran dan diinkubasi selama ± 24

jam.

5. Setelah 24 jam cawan petri dibuka dan dilihat pembentukan zona

bening yang terjadi kemudian dicatat.

28

4.4 Analisis Data

Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak tumbuhan dan bakteri endofit

terhadap bakteri uji dianalisis setelah 24 jam proses inkubasi yaitu

berdasarkan lebarnya diameter zona bening yang terbentuk. Ketahanan

bakteri terhadap ekstrak tumbuhan dan bakteri endofit dapat dilihat dari

daerah hambat (zona bening) berikut :

Zona bening dengan diameter lebih dari 20 mm menunjukkan

bahwa bakteri tersebut sangat sensitif terhadap ekstrak tumbuhan dan

bakteri endofit.

Zona bening dengan diameter lebih dari 10 - 20 mm menunjukkan

bahwa bakteri tersebut sensitif terhadap ekstrak tumbuhan dan bakteri

endofit.

Zona bening dengan diameter kurang dari 5 - 10 mm menunjukkan

bahwa bakteri tersebut kurang sensitif terhadap ekstrak tumbuhan dan

bakteri endofit.

29

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

Tabel 5.1. Hasil penelitian pengaruh bakteri endofit tumbuhan pandan terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus

Bagian Tumbuhan Pandan

BAKTERI ENDOFIT

Diameter Zona Bening (mm)

Escherichia coli Staphylococcus

aureus

Daun

I 5 (-)II (-) (-)III 7 9,5IV 8 8,5

BatangV 9,5 10,5VI 8,5 10VII 7 (-)

30

AkarVIII 9 (-)IX (-) 5

Tabel 5.2. Pengaruh ekstrak Pandanus tectorius terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus

Ekstrak Pandanus tectorius

Diameter Zona Bening (mm)

Escherichia coliStaphylococcus

aureusDaun 6,5 (-)

Batang 6,5 (-)Akar 6,5 (-)

5.2. PEMBAHASAN

Pengamatan terhadap pengaruh esktrak pandan dan bakteri endofit

terhadap pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus dilakukan pada hari kedua

karena pada hari pertama belum terlihat adanya daerah hambat atau zona bening.

Pada cawan petri yang berisi kertas saring yang sudah direndam di dalam suspensi

bakteri endofit, terlihat adanya zona bening atau daerah hambat untuk E.coli pada

bakteri endofit I (5 mm), III ( 7 mm), IV (8 mm), V (9,5 mm), VI (8,5 mm), VII

(7 mm), VIII (9 mm), sedangkan endofit II dan IX tidak menunjukkan adanya

daerah hambat terhadap bakteri E.coli. Sedangkan untuk S.aureus yang

menunjukkan adanya daerah hambat adalah endofit III (9,5 mm), IV (8,5 mm), V

31

(10,5 mm), VI (10 mm), dan IX (5 mm), namun pada bakteri endofit I, II, VII, dan

VIII tidak menunjukkan adanya daerah hambat terhadap bakteri S.aureus. Dari

semua bakteri endofit yang ditanamkan hanya bakteri endofit II yang tidak

menunjukkan adanya daerah hambat baik terhadap E.coli maupun S.aureus, hal

ini menunjukkan bahwa bakteri endofit II tidak resisten atau tidak memiliki

kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang diujikan.

Sedangkan pada cawan petri yang berisi kertas saring yang sudah

direndam di dalam ekstrak bagian daun, batang, akar pandan, terlihat adanya zona

bening atau daerah hambat untuk E.coli pada semua ekstrak bagian tumbuhan

pandan yaitu sebesar 6,5 mm. Sedangkan untuk bakteri S.aureus tidak satupun

ekstrak yang menunjukkan adanya daerah hambat pada kedua bakteri S.aureus,

hal ini menunjukkan bahwa ekstrak pandan dari bagian daun, batang, dan akar

tidak memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus.

Tidak munculnya daerah hambat pada ekstrak maupun bakteri endofit terhadap

bakteri uji tidak hanya disebabkan oleh tidak adanya kemampuan antibakteri,

tetapi juga bisa disebabkan kultur bakteri yang dibiakkan dalam terlalu pekat

sedangkan kandungan senyawa antibakteri yang dimiliki ekstrak dan bakteri

endofit tidak mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan konsentrasi yang

tinggi.

32

I II III IV V VI VII VIII IX0

2

4

6

8

10

12

Gambar 5.1. Grafik diameter daerah hambat bakteri endofit tumbuhan pandan terhadap bakteri

E.coli dan S.aureus.

Daun Batang Akar0

1

2

3

4

5

6

7

Pengaruh terhadap E.coli (mm)

Pengaruh terhadap S.aureus (mm)

Gambar 5.2. Grafik diameter daerah hambat ekstrak bagian tumbuhan pandan terhadap bakteri

E.coli dan S.aureus.

Pada grafik diketahui bahwa diameter daerah hambat pada bakteri endofit

V merupakan yang tertinggi dengan nilai 9,5 mm untuk bakteri E.coli dan 10,5

mm untuk S.aureus. Pada bakteri endofit lain diameter daerah hambat yang

terlihat berkisar antara 5-9 mm cm untuk E.coli dan 8,5-10 mm untuk S.aureus.

Sedangkan pada ekstrak bagian tumbuhan pandan semua bagian menunjukkan

33

angka yang sama yaitu 6,5 mm untuk E.coli. Hal ini menunjukkan bahwa semua

bagian yang diuji memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri yang

relatif sama.

Dapat terlihat bahwa bakteri E.coli dan S.aureus yang diberi perlakuan

ekstrak dan bakteri endofit sebagai antibakteri hampir semua mengalami

penghambatan pertumbuhan. Hal ini disebabkan adanya senyawa aktif pada

pandan yaitu polifenol yang menyebabkan terjadinya hambatan pada pertumbuhan

bakteri. Menurut Soemarno (1987), senyawa tersebut berkhasiat sebagai

antibakteri. Aktivitasnya sebagai antibakteri dapat disebabkan karena senyawa

fenol mampu mengganggu proses metabolisme pada bakteri, hal ini didukung ole

Leather & Einhelling (1988), yang menyatakan bahwa senyawa golongan fenol

dapat mengganggu proses perpanjangan sel, merubah permeabilitas membran,

mengganggu penyerapan nutrisi, mengganggu sintesa protein, dan mengganggu

aktivitas enzim dan respirasi.

Menurut Sastroutomo (1990), senyawa fenol dapat mengganggu aktivitas

enzim amilase, protease, aldolase dan lipase. Apabila salah satu enzim tersebut

terganggu, maka dapat mengakibatkan metabolisme terganggu, akibatnya

pertumbuhan organisme juga terganggu.

Pada penelitian kali ini adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri

E.coli dan S.aureus bukan hanya disebabkan adanya senyawa aktif pada pandan

dan bakteri endofit yang menghambat pertumbuhan tetapi juga disebabkan oleh

terjadinya kontaminasi pada cawan petri, sehingga pertumbuhan bakteri uji

menjadi terhambat karena di dalam cawan petri yang berisi medium tersebut,

34

bukan saja E.coli dan S.aureus yang tumbuh, tetapi juga mikroba-mikroba lain

ikut tumbuh, seperti bakteri lain dan juga jenis jamur juga ikut tumbuh, akibatnya

diantara organisme tersebut terjadi kompetisi, dan tumbuh saling menekan.

Terjadinya kontaminasi tersebut dapat disebabkan karena sediaan ekstrak

yang digunakan dilakukan tidak secara aseptik, yaitu bahan baku langsung

ditumbuk, kemudian dicampur dengan akuades dan selanjutnya didiamkan selama

kurang lebih satu jam. Hal ini dapat menjadi sumber kontaminasi, karena jenis

mikroba yang terdapat dalam tumbuhan pandan akan ikut terbawa dalam ekstrak,

selain itu juga sumber kontaminan dapat berasal dari air yang digunakan untuk

membersihkan ekstrak. Selanjutnya sediaan ekstrak tersebut juga tidak disimpan

dalam lemari pendingin, sehingga dapat ditumbuhi oleh kontaminan.

Dari percobaan ini dapat dilihat bahwa penghambatan terhadap

pertumbuhan bakteri uji tersebut dapat disebabkan karena penyediaan ekstrak

tidak secara aseptik, sehingga menjadi kurang baik hasilnya. Sebenarnya

tumbuhan pandan tersebut menurut teori, mengandung senyawa aktif yang

bersifat antibakteri, sehingga apabila penyediaan ekstraknya lebih baik,

kemugkinan ekstrak tersebut dapat digunakan sebagai antibiotik alami, antibiotik

alami lebih baik daripada antibiotik sintetik, karena senyawa sintetik dapat

menyebabkan terjadinya residu di lingkungan, karena umumnya senyawa-

senyawa sintetik sulit didegradasi di lingkungan, sedangkan senyawa-senyawa

yang berasal dari bahan alam mudah terdegradasi di lingkungan.

Oleh karena itu seandainya percobaan ini berhasil, bahwa cukup dengan

merendam tumbukan daun, akar, dan batang segar pandan, pertumbuhan bakteri

35

E.coli dan S.aureus dapat terhambat, maka hal ini dapat digunakan langsung di

lapangan, karena dengan biaya murah, cara yang mudah dapat diperoleh hasil

yang lebih baik, dan senyawa-senyawa aktif yang terdapat ekstrak dan bakteri

endofit tersebut mudah terdegradasi, sehingga tidak menimbulkan residu yang

membahayakan bagi kesehatan manusia. Tetapi dalam percobaan ini hal tersebut

menjadi sulit dibuktikan, karena terdapatnya kontaminasi yang berasal dari

sumber kontaminan pada ekstrak pandan

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

36

6.1.Kesimpulan

Tumbuhan Pandanus tectorius mempunyai bakteri endofit dan mampu

untuk menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan S.aureus.

Kemampuan bakteri endofit dan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan

bakteri E.coli dan S.aureus relatif sama yaitu daerah hambat untuk E.coli

pada bakteri endofit I (5 mm), III ( 7 mm), IV (8 mm), V (9,5 mm), VI

(8,5 mm), VII (7 mm), VIII (9 mm). Sedangkan untuk S.aureus yang

menunjukkan adanya daerah hambat adalah endofit III (9,5 mm), IV (8,5

mm), V (10,5 mm), VI (10 mm), dan IX (5 mm).

6.2. Saran

Setelah melihat hasil dari penelitian, maka disarankan untuk penelitian

selanjutnya atau penelitian yang sama agar:

1. Melakukan maserasi (pembuatan ekstrak dengan alkohol) dalam waktu

yang cukup lama.

2. Melakukan identifikasi sekurang-kurangnya pewarnaan Gram terhadap

bakteri endofit yang diisolasi.

37