bab i
DESCRIPTION
PerkemihanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Nefrotik adalah penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak (Behrman,
et.al.,2004; Gibson, et.al.,2009). Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak
per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000 anak (Eddy et. al., 2003). Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1 (Wirya, 1992).
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Penyebabnya meliputi minimal change disease (85%), mesangial proliferation
(5%), and focal segmental glomerulosclerosis (10%). Sekitar 10% anak merupakan
sindroma nefrotik sekunder yang berhubungan dengan penyakit sistemik. Pasien dengan
minimal change disease kebanyakan menunjukan respon pada pengobatan kortikosteroid
(Churg et.al.,1970). Disamping untuk menginduksi remisi, kortikosteroid juga
bermaanfaat untuk mempertahankan remisi. Sindrom nefrotik idiopatik dibedakan
menjadi dua tipe berdasarkan respon terhadap steroid, yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) (Avner et.al., 2004).
Penderita sindrom nefrotik mendapat regimen glukokortikoid untuk mempertahankan
remisi. Dari beberapa efek samping potensial terapiglukokortikoid, obesitas merupakan
salah satu yang sering ditemui. Penelitian terdahulu mengestimasi prevalensi obesitas
sebesar 35-43 % selama terapi glukokortikoid. Penurunan berat badan relatif terjadi
bilamana dosis glukokortikoid diturunkan atau dihentikan. Meskipun demikian, belum
jelas apakah berat badan akan kembali ke normal setelah penghentian terapi
glukokortikoid (Merritt et.al., 1986).
Pada penelitian Foster tahun 2006 di Philadelphia, Amerika Serikat, yang meneliti
mengenai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya obesitas pada penggunaan steroid,
terutama faktor ras dan indeks masa tubuh maternal menyimpulkan bahwa risiko obesitas
meningkat pada pasien sindrom nefrotik sensitif steroid yang masih mendapat paparan
terapi steroid dalam waktu 6 bulan terakhir OR :26,14 (CI 95%: 7,54-90,66). Risiko ini
meningkat hanya pada ras bukan kulit hitam, sedangkan pada ras kulit hitam tidak
terdapat peningkatan OR 0,32 (CI 95%: 0,032-3,29). Penelitian ini menggunakan kontrol,
anak sehat dan remaja yang tidak menderita sakit kronis dan tidak mendapat paparan
steroid (Foster et.al., 2006).
[Askep Sindroma Nefrotik] 1
Penelitian yang membandingkan risiko obesitas pada pasien sindrom nefrotik sensitif
steroid masih sangat sedikit dan penelitian tersebut menggunakan anak normal sebagai
pembanding eksternal. Merritt tahun 1986 menemukan prevalensi obesitas sebesar 43 %
selama mendapat terapi steroid dan 17 % setelah bebas steroid ≥ 6 bulan (Merritt et. al.,
1986). Sedangkan Foster tahun 2006 menemukan bahwa risiko obesitas meningkat
bermakna pada kelompok sindrom nefrotik sensitif steroid yang masih mendapat paparan
terapi steroid dalam waktu 6 bulan terakhir OR :26,14 (CI 95%: 7,54-90,66) dan setelah
periode bebas steroid ≥ 6 bulan dibandingkan kontrol normal (OR 5,22 CI 95%: 1,77-
15,4) dengan prevalensi sebesar 20% (Foster et. al., 2006). Kedua peneliti diatas
mencurigai masih besarnya prevalensi obesitas setelah penghentian steroid ≥ 6 bulan
berdasarkan keluaran sekunder penelitian mereka, Foster et.al menemukan OR 5,22 dan
Merrit et.al menemukan prevalensi sebesar 17 %. Hal ini bertentangan dengan beberapa
literatur yang menyatakan obesitas terkait steroid bersifat reversibel (Kopelman, 1994;
Stewart, 1999). Untuk itu masih diperlukan penelitian lain yang dapat mengukur
prevalensi obesitas setelah paparan steroid dosis tinggi.
Terapi kortikosteroid kronis menekan fungsi aksis hipotalamus hipofisis. Supresi ini
bergantung pada dosis dan durasi terapi. Pada pasien yang mendapat terapi steroid kurang
dari tiga minggu, penekanan aksis hipotalamus hipofisis jarang dijumpai. Berbeda halnya
dengan pasien yang mendapat terapi kortikosteroid frekuen, akan muncul supresi
terhadap aksis ini. Sebuah penelitian melaporkan prednisolon dosis 5 mg/hari sudah
mampu menimbulkan defek respon pada aksis hipotalamus hipofisis, namun masih
menjadi perdebatan seberapa dosis yang dapat mensupresi aksis hipotalamus hipofisis
(Stewart, 2003). Pasien sindrom nefrotik sensitif steroid mendapat steroid frekuen
terutama karena relaps berulang, sedangkan sindrom nefrotik resisten steroid lebih
sedikit mendapat dosis berulang karena penggunaan steroid-sparing agent. Pasien
dengan SNSS sesuai perjalanan penyakitnya 76 – 93% akan mengalami relaps, 30%
diantaranya akan mengalami relaps sering/frekuen, 10 – 20% akan mengalami relaps
jarang, sedangkan 40 – 50% sisanya akan mengalami dependen steroid (SNDS). Oleh
karena adanya perbedaan pengaruh glukokortikoid yang bergantung pada dosis dan
durasi ini, maka perlu diteliti seberapa besar risiko obesitas antara pasien sindrom
nefrotik sensitif steroid dibandingkan pasien sindrom nefrotik resisten steroid.
[Askep Sindroma Nefrotik] 2
2. Batasan Masalah
Memahami apa pengertian dari Sindroma Nefrotik
Mengetahui klasifikasi dari Sindroma Nefrotik
Mengetahui Etiologi dari Sindroma Nefrotik
Mengetahui Manifestasi Klinis dari Sindroma Nefrotik
Mengetahui Komplikasi dari Sindroma Nefrotik
Mengetahui Patofiologi dari Sindroma Nefrotik
Mengetahui Penatalaksanaan dari Sindroma Nefrotik
Mampu membuat Asuhan Keperawatan dari Sindroma Nefrotik
3. Tujuan
3.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari pembuatan makalah ini agar mahasiswa mengerti dan
memahami mengenai Sindroma Nefrotik dan dapat menempatkan asuhan
keperawatan yang sesuai.
3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas mata kuliah
sistem Perkemihan
[Askep Sindroma Nefrotik] 3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFENISI
Sindrom Nefrotik adalah kelainan pada sistem perkemihan/urinary yang ditandai
dengan adanya peningkatan protein dalam urine (proteinuria), penurunan albumin dalam
darah, dan adanya edema.
Nephrotic Syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury
glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik : proteinuria, hypoproteinuria,
hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suryadi, 2001).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia
dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal ( Ngastiyah, 1997).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus-menurus menghasilkan urine, dan
berbagai saluran dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa urine keluar tubuh.
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih reendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan
kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak stinggi iga kedua belas. Sedangkan kutup atas
ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10-12 inchi (25 hingga 30
cm), terbentang dari ginjal sampai vesica urinaria. Fungsi satu-satunya adalah
menyalurkan urine ke vesika urinari. Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang
dapat mengempis, terletak di belakang simpisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga
muara: dua dari ureter dan satu menuju uretra. Dua fungsi vesica urinaria adalah sebagai
tempat penyimpanan urine sebelum meninggalkan tubuh dan berfungsi mendorong urine
keluar tubuh (dibantu uretra)
Uretra adalah saluran kecil yanng dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria
sampai keluar tubuh, panjang pada perempuan sekitar 1 ½ inci (4cm) dan pada laki-laki
sekitar 8 inci (20cm), muara uretra keluar tubuh disebut meatus urinarius .
[Askep Sindroma Nefrotik] 4
C. ETIOLOGI
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya
para ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada
masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
- Malaria kuartana atau parasit lain.
- Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
- Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
- Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, racun oak, air raksa.
- Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membran oproliferatif
hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan
[Askep Sindroma Nefrotik] 5
yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan
glomerulosklerosis fokal segmental
D. KLASIFIKASI
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak
dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat
dengan mikroskop cahaya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik,
purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan
neoplasma limfoproliferatif.
c. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang
terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema
dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat
terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama yang di temukan adalah :
1. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
2. Hipoalbuminemia < 30 g/l.
3. Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan
edema muka, ascxites dan efusi pleura.
4. Anorexia
5. Fatique
6. Nyeri abdomen
7. Berat badan meningkat
8. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
9. Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis vena dan arteri.
F. KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder terjadi mungkin karena kadar imunoglobin yang rendah akibat
hipoalbuminaria
2. Infeksi (akibat defisiensi respon imun)
3. Tromboembolisme (terutama vena renal)
[Askep Sindroma Nefrotik] 6
4. Emboli pulmo
5. Peningkatan terjadinya aterosklerosi
6. Hypovolemia
7. Hilangnya protein dalam urin
8. Dehidrasi
G. PATOFISOLOGI
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan
osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam
interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler
berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik
hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air.
Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan
onkotik plasma
Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein
dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan
banyak dalam urin (lipiduria)
Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita
yuliani, 2001 :217)
H. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak
berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan
tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari
dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan
edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein
yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang
[Askep Sindroma Nefrotik] 7
persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus
mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia
akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus
dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,
menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus
dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak
menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
1) Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai
efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis
pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering
terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat
dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan
hipertensi.
2) Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan sitotoksik
( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan
imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-
merkaptopurin dan siklofosfamid.
[Askep Sindroma Nefrotik] 8
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, juimlah saudara, TB, BB, alamat,
identitas ayah dan ibu
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Biasanya anak dengan sindroma nefrotik datang dengan keluhan Badan bengkak, sesak
napas, muka sembab dan napsu makan menurun
Riwayat penyakit dahulu
Biasanya pasien sindroma nefrotik memiliki riwayat Edema masa neonatus,riwayat
penyakit malaria, riwayat glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronis, terpapar
bahan kimia.
Riwayat penyakit sekarang
keluhan yang dirasakan anak dengan sindroma nefrotik adalah Badan bengkak, muka
sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
Riwayat penyakit keluarga
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi
biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
2. PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan Kepala
Bentuk kepala mesochepal, wajah tampak sembab karena ada edema fascialis.
b. Pemeriksaan Mata
Edema periorbital, mata tampak sayu karena malnutrisi.
c. Pemeriksaan Hidung
Adanya pernapasan cuping hidung jika klien sesak napas.
d. Pemeriksaan Telinga
Fungsi pendengaran, kebersihan telinga, ada tidaknya keluaran.
e. Pemeriksaan Gigi dan Mulut
Kebersihan gigi, pertumbuhan gigi, jumlah gigi yang tanggal, mukosa bibir biasanya
kering, pucat.
f. Pemeriksaan Leher
[Askep Sindroma Nefrotik] 9
Adanya distensi vena jugularis karena edema seluruh tubuh dan peningkatann kerja
jantung.
g. Pemeriksaan Jantung
Mungkin ditemukan adanya bunyi jantung abnormal, kardiomegali.
h. Pemeriksaan Paru
Suara paru saat bernapas mungkin ditemukan ronkhi karena efusi pleura,
pengembangan ekspansi paru sama atau tidak.
i. Pemeriksaan Abdomen
Adanya asites, nyeri tekan, hepatomegali.
j. Pemeriksaan Genitalia
Pembengkakan pada labia atau skrotum.
k. Pemeriksaan Ektstrimitas
Adanya edema di ekstrimitas atas maupun bawah seperti di area sakrum, tumit, dan
tangan
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selain proteinuria masif, sedimen urin biasanya normal. Bila terjadi hematuria
mikroskopik lebih dari 20 eritrosit/LPB dicurigai adanya lesi glomerular (misal sklerosis
glomerulus fokal). Albumin plasma rendah dan lipid meningkat. IgM dapat meningkat,
sedangkan IgG menurun. Komplemen serum normal dan tidak ada krioglobulin.
Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit
sistemik klien perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologit dan biopsi ginjal sering
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN
sekunder. Pemeriksaan serologit sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya
mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologit hanya dilakukan berdasarkan indikasi
yang kuat.
4. DIAGNOSA DAN INTERVENSI
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan sindrom nefrotik adalah
sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi .
2. Ansietas berhubungan dengan hospitalisasi
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrien
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit : pusing, malaise
[Askep Sindroma Nefrotik] 10
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor internal : perubahan status
cairan, penurunan sirkulasi
7. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder :
imunosuprsi, malnutrisi
8. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan faktor resiko individual :
penyakit kronis, nutrisi yang tidak adekuat
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hospitalisasi
10. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasional yang dapat
dihadapi orang yang penting bagi klien
N
o
Diagnosa
keperawatan
Noc Nic Aktivitas
keperawatan
1 Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan gangguan
mekanisme
regulasi
Tidak ada edema -
Berat badan stabil
-Intake sama dengan
output
-Berat jenis urin atau
hasil laboratorium
-Ttv dlm batas
normal
-Fluid and
electrolyte
management
(2080)
-fluid monitoring
(4130)
-mood
management
(5330)
-theraupetik
play(4430)
Monitor tanda
vital
-Monitor hasil lab
terkait
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
-Pertahankan
terapi intravena
pada flow rate yg
konstan
-monitor intake
output cairan
2 Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
b.d
ketidakmampuan
untuk
mengabsorbsi
-anak tidak
mengeluh mual
-keluarga
mengatakan nafsu
makan meingkat
-protein dan albumin
dalam batas normal
-Nutrition
management(110
0)
-Nutrition therapy
(1120)
-Nutritional
monitoring (1160)
-Kaji makanan
yang di sukai oleh
klien
-Anjurkan klien
untuk makan
sedikit tapi sering
-Anjurkan
[Askep Sindroma Nefrotik] 11
nutrisi keluarga untuk
tidak
membolehkan
anak makan
makanan yang
banyak
mengandung
garam
-pantau
perubahan
kebiasaan makan
klien
-pantau adanya
mual dan muntah
-pantau
kebutuhan kalori
pada
catatanasupan
3 Intoleransi aktivitas
b.d kelemahan
umum :fisik
Energy conservation
-Istirahat dan
aktivitas seimbang
- mengetahui
keterbatasan
energinya
Activity Tolerance
-Saturasi oksigen
dalam batas normal
-pernafasan dalam
batas normal
-Activity Therapy
-Relaxation
Therapy
-Environmental
Management
- Menentukan
penyebab
intoleransi
aktivitas
- Berikan periode
istirahat saat
beraktivitas
-Ubah posisi
pasien secara
perlahan dan
monitor gejala
intoleransi
aktivitas
-Anjurkan klien
untuk bernafas
dalam ketika
[Askep Sindroma Nefrotik] 12
merasa tidak
nyaman
-Anjurkan klien
untuk beristirahat
-Batasi
pengunjung saat
klien istirahat.
DAFTAR PUSTAKA
[Askep Sindroma Nefrotik] 13
1. Brunner and Suddart. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah volume 2 edisi 8.
Jakarta : EGC
2. Mansjoer, Arif dkk. 2000.kapita selekta kedokteran edisi 2. Jakarta : Medika salemba
3. NANDA Internasional.2012. Nursing Diagnoses : Defenition and Classification.Jakarta :
EGC
4. Surjadi, Rita Yuliani.2006. Asuhan keperawatan pada anak edisi 2. Jakarta : EGC
[Askep Sindroma Nefrotik] 14