bab i

20
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Nefrotik adalah penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak (Behrman, et.al.,2004; Gibson, et.al.,2009). Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000 anak (Eddy et. al., 2003). Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki- laki dan perempuan 2:1 (Wirya, 1992). Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Penyebabnya meliputi minimal change disease (85%), mesangial proliferation (5%), and focal segmental glomerulosclerosis (10%). Sekitar 10% anak merupakan sindroma nefrotik sekunder yang berhubungan dengan penyakit sistemik. Pasien dengan minimal change disease kebanyakan menunjukan respon pada pengobatan kortikosteroid (Churg et.al.,1970). Disamping untuk menginduksi remisi, kortikosteroid juga bermaanfaat untuk mempertahankan remisi. Sindrom nefrotik idiopatik dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan respon terhadap steroid, yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) (Avner et.al., 2004). Penderita sindrom nefrotik mendapat regimen glukokortikoid untuk mempertahankan remisi. Dari beberapa efek samping potensial terapiglukokortikoid, obesitas merupakan salah satu yang sering ditemui. Penelitian terdahulu mengestimasi prevalensi obesitas sebesar 35-43 % [Askep Sindroma Nefrotik] 1

Upload: ridho-rizki

Post on 29-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Perkemihan

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Nefrotik adalah penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak (Behrman,

et.al.,2004; Gibson, et.al.,2009). Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak

per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000 anak (Eddy et. al., 2003). Di

Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan

perempuan 2:1 (Wirya, 1992).

Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom nefrotik

idiopatik. Penyebabnya meliputi minimal change disease (85%), mesangial proliferation

(5%), and focal segmental glomerulosclerosis (10%). Sekitar 10% anak merupakan

sindroma nefrotik sekunder yang berhubungan dengan penyakit sistemik. Pasien dengan

minimal change disease kebanyakan menunjukan respon pada pengobatan kortikosteroid

(Churg et.al.,1970). Disamping untuk menginduksi remisi, kortikosteroid juga

bermaanfaat untuk mempertahankan remisi. Sindrom nefrotik idiopatik dibedakan

menjadi dua tipe berdasarkan respon terhadap steroid, yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif

Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) (Avner et.al., 2004).

Penderita sindrom nefrotik mendapat regimen glukokortikoid untuk mempertahankan

remisi. Dari beberapa efek samping potensial terapiglukokortikoid, obesitas merupakan

salah satu yang sering ditemui. Penelitian terdahulu mengestimasi prevalensi obesitas

sebesar 35-43 % selama terapi glukokortikoid. Penurunan berat badan relatif terjadi

bilamana dosis glukokortikoid diturunkan atau dihentikan. Meskipun demikian, belum

jelas apakah berat badan akan kembali ke normal setelah penghentian terapi

glukokortikoid (Merritt et.al., 1986).

Pada penelitian Foster tahun 2006 di Philadelphia, Amerika Serikat, yang meneliti

mengenai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya obesitas pada penggunaan steroid,

terutama faktor ras dan indeks masa tubuh maternal menyimpulkan bahwa risiko obesitas

meningkat pada pasien sindrom nefrotik sensitif steroid yang masih mendapat paparan

terapi steroid dalam waktu 6 bulan terakhir OR :26,14 (CI 95%: 7,54-90,66). Risiko ini

meningkat hanya pada ras bukan kulit hitam, sedangkan pada ras kulit hitam tidak

terdapat peningkatan OR 0,32 (CI 95%: 0,032-3,29). Penelitian ini menggunakan kontrol,

anak sehat dan remaja yang tidak menderita sakit kronis dan tidak mendapat paparan

steroid (Foster et.al., 2006).

[Askep Sindroma Nefrotik] 1

Page 2: BAB I

Penelitian yang membandingkan risiko obesitas pada pasien sindrom nefrotik sensitif

steroid masih sangat sedikit dan penelitian tersebut menggunakan anak normal sebagai

pembanding eksternal. Merritt tahun 1986 menemukan prevalensi obesitas sebesar 43 %

selama mendapat terapi steroid dan 17 % setelah bebas steroid ≥ 6 bulan (Merritt et. al.,

1986). Sedangkan Foster tahun 2006 menemukan bahwa risiko obesitas meningkat

bermakna pada kelompok sindrom nefrotik sensitif steroid yang masih mendapat paparan

terapi steroid dalam waktu 6 bulan terakhir OR :26,14 (CI 95%: 7,54-90,66) dan setelah

periode bebas steroid ≥ 6 bulan dibandingkan kontrol normal (OR 5,22 CI 95%: 1,77-

15,4) dengan prevalensi sebesar 20% (Foster et. al., 2006). Kedua peneliti diatas

mencurigai masih besarnya prevalensi obesitas setelah penghentian steroid ≥ 6 bulan

berdasarkan keluaran sekunder penelitian mereka, Foster et.al menemukan OR 5,22 dan

Merrit et.al menemukan prevalensi sebesar 17 %. Hal ini bertentangan dengan beberapa

literatur yang menyatakan obesitas terkait steroid bersifat reversibel (Kopelman, 1994;

Stewart, 1999). Untuk itu masih diperlukan penelitian lain yang dapat mengukur

prevalensi obesitas setelah paparan steroid dosis tinggi.

Terapi kortikosteroid kronis menekan fungsi aksis hipotalamus hipofisis. Supresi ini

bergantung pada dosis dan durasi terapi. Pada pasien yang mendapat terapi steroid kurang

dari tiga minggu, penekanan aksis hipotalamus hipofisis jarang dijumpai. Berbeda halnya

dengan pasien yang mendapat terapi kortikosteroid frekuen, akan muncul supresi

terhadap aksis ini. Sebuah penelitian melaporkan prednisolon dosis 5 mg/hari sudah

mampu menimbulkan defek respon pada aksis hipotalamus hipofisis, namun masih

menjadi perdebatan seberapa dosis yang dapat mensupresi aksis hipotalamus hipofisis

(Stewart, 2003). Pasien sindrom nefrotik sensitif steroid mendapat steroid frekuen

terutama karena relaps berulang, sedangkan sindrom nefrotik resisten steroid lebih

sedikit mendapat dosis berulang karena penggunaan steroid-sparing agent. Pasien

dengan SNSS sesuai perjalanan penyakitnya 76 – 93% akan mengalami relaps, 30%

diantaranya akan mengalami relaps sering/frekuen, 10 – 20% akan mengalami relaps

jarang, sedangkan 40 – 50% sisanya akan mengalami dependen steroid (SNDS). Oleh

karena adanya perbedaan pengaruh glukokortikoid yang bergantung pada dosis dan

durasi ini, maka perlu diteliti seberapa besar risiko obesitas antara pasien sindrom

nefrotik sensitif steroid dibandingkan pasien sindrom nefrotik resisten steroid.

[Askep Sindroma Nefrotik] 2

Page 3: BAB I

2. Batasan Masalah

Memahami apa pengertian dari Sindroma Nefrotik

Mengetahui klasifikasi dari Sindroma Nefrotik

Mengetahui Etiologi dari Sindroma Nefrotik

Mengetahui Manifestasi Klinis dari Sindroma Nefrotik

Mengetahui Komplikasi dari Sindroma Nefrotik

Mengetahui Patofiologi dari Sindroma Nefrotik

Mengetahui Penatalaksanaan dari Sindroma Nefrotik

Mampu membuat Asuhan Keperawatan dari Sindroma Nefrotik

3. Tujuan

3.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari pembuatan makalah ini agar mahasiswa mengerti dan

memahami mengenai Sindroma Nefrotik dan dapat menempatkan asuhan

keperawatan yang sesuai.

3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas mata kuliah

sistem Perkemihan

[Askep Sindroma Nefrotik] 3

Page 4: BAB I

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFENISI

Sindrom Nefrotik adalah kelainan pada sistem perkemihan/urinary yang ditandai

dengan adanya peningkatan protein dalam urine (proteinuria), penurunan albumin dalam

darah, dan adanya edema.

Nephrotic Syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury

glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik : proteinuria,  hypoproteinuria,

hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suryadi, 2001).

Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia

dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan

fungsi ginjal ( Ngastiyah, 1997).

B. ANATOMI FISIOLOGI

Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus-menurus menghasilkan urine, dan

berbagai saluran dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa urine keluar tubuh.

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna

vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih reendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan

kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak stinggi iga kedua belas. Sedangkan kutup atas

ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.

Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10-12 inchi (25 hingga 30

cm), terbentang dari ginjal sampai vesica urinaria. Fungsi satu-satunya adalah

menyalurkan urine ke vesika urinari. Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang

dapat mengempis, terletak di belakang simpisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga

muara: dua dari ureter dan satu menuju uretra. Dua fungsi vesica urinaria adalah sebagai

tempat penyimpanan urine sebelum meninggalkan tubuh dan berfungsi mendorong urine

keluar tubuh (dibantu uretra)

Uretra adalah saluran kecil yanng dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria

sampai keluar tubuh, panjang pada perempuan sekitar 1 ½ inci (4cm) dan pada laki-laki

sekitar 8 inci (20cm), muara uretra keluar tubuh disebut meatus urinarius .

[Askep Sindroma Nefrotik] 4

Page 5: BAB I

C. ETIOLOGI

Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap

sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya

para ahli membagi etiologinya menjadi:

1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya

adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua

pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada

masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita

meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

2. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh:

- Malaria kuartana atau parasit lain.

- Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

- Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.

- Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan

lebah, racun oak, air raksa.

- Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membran oproliferatif

hipokomplementemik.

3. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan

mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan

[Askep Sindroma Nefrotik] 5

Page 6: BAB I

yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan

glomerulosklerosis fokal segmental

D. KLASIFIKASI

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

a.   Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak

dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat

dengan mikroskop cahaya.

b.   Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik,

purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan

neoplasma limfoproliferatif.

c.     Sindrom Nefrotik Kongenital

Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang

terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema

dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat

terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala utama yang di temukan adalah :

1. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.

2. Hipoalbuminemia < 30 g/l.

3. Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan

edema muka, ascxites dan efusi pleura.

4. Anorexia

5. Fatique

6. Nyeri abdomen

7. Berat badan meningkat

8. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.

9. Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis vena dan arteri.

F. KOMPLIKASI

1. Infeksi sekunder terjadi mungkin karena kadar imunoglobin yang rendah akibat

hipoalbuminaria

2. Infeksi (akibat defisiensi respon imun)

3. Tromboembolisme (terutama vena renal)

[Askep Sindroma Nefrotik] 6

Page 7: BAB I

4. Emboli pulmo

5. Peningkatan terjadinya aterosklerosi

6. Hypovolemia

7. Hilangnya protein dalam urin

8. Dehidrasi

G. PATOFISOLOGI

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada

hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari

proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan

osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam

interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler

berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.

Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan

merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik

hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air.

Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.

Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan

stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan

onkotik plasma

Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipopprtein

dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan

banyak dalam urin (lipiduria)

Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan

oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. (Suriadi dan Rita

yuliani, 2001 :217)

H. PENATALAKSANAAN MEDIK

1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak

berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan

tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.

2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari

dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan

edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein

yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang

[Askep Sindroma Nefrotik] 7

Page 8: BAB I

persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus

mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia

akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.

3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma

terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus

dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,

menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus

dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak

menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.

4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan

untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.

5. Kemoterapi:

1) Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai

efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis

pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering

terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat

dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya

pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan

hipertensi.

2) Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat

cairan berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan sitotoksik

( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan

imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-

merkaptopurin dan siklofosfamid.

[Askep Sindroma Nefrotik] 8

Page 9: BAB I

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Identitas

Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, juimlah saudara, TB,  BB, alamat,

identitas ayah dan ibu

b. Riwayat kesehatan

Keluhan utama

Biasanya anak dengan sindroma nefrotik datang dengan keluhan Badan bengkak, sesak

napas, muka sembab dan napsu makan menurun

Riwayat penyakit dahulu

Biasanya pasien sindroma nefrotik memiliki riwayat Edema masa neonatus,riwayat

penyakit malaria, riwayat glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronis, terpapar

bahan kimia.

Riwayat penyakit sekarang

keluhan yang dirasakan anak dengan sindroma nefrotik adalah Badan bengkak, muka

sembab, muntah, napsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun.

Riwayat penyakit keluarga

Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi

biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.

2. PEMERIKSAAN FISIK

a. Pemeriksaan Kepala

Bentuk kepala mesochepal, wajah tampak sembab karena ada edema fascialis.

b. Pemeriksaan Mata

Edema periorbital, mata tampak sayu karena malnutrisi.

c. Pemeriksaan Hidung

Adanya pernapasan cuping hidung jika klien sesak napas.

d. Pemeriksaan Telinga

Fungsi pendengaran, kebersihan telinga, ada tidaknya keluaran.

e. Pemeriksaan Gigi dan Mulut

Kebersihan gigi, pertumbuhan gigi, jumlah gigi yang tanggal, mukosa bibir biasanya

kering, pucat.

f. Pemeriksaan Leher

[Askep Sindroma Nefrotik] 9

Page 10: BAB I

Adanya distensi vena jugularis karena edema seluruh tubuh dan peningkatann kerja

jantung.

g. Pemeriksaan Jantung

Mungkin ditemukan adanya bunyi jantung abnormal, kardiomegali.

h. Pemeriksaan Paru

Suara paru saat bernapas mungkin ditemukan ronkhi karena efusi pleura,

pengembangan ekspansi paru sama atau tidak.

i. Pemeriksaan Abdomen

Adanya asites, nyeri tekan, hepatomegali.

j. Pemeriksaan Genitalia

Pembengkakan pada labia atau skrotum.

k. Pemeriksaan Ektstrimitas

Adanya edema di ekstrimitas atas maupun bawah seperti di area sakrum, tumit, dan

tangan

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Selain proteinuria masif, sedimen urin biasanya normal. Bila terjadi hematuria

mikroskopik lebih dari 20 eritrosit/LPB dicurigai adanya lesi glomerular (misal sklerosis

glomerulus fokal). Albumin plasma rendah dan lipid meningkat. IgM dapat meningkat,

sedangkan IgG menurun. Komplemen serum normal dan tidak ada krioglobulin.

Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit

sistemik klien perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologit dan biopsi ginjal sering

diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN

sekunder. Pemeriksaan serologit sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya

mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologit hanya dilakukan berdasarkan indikasi

yang kuat.

4. DIAGNOSA DAN INTERVENSI

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan sindrom nefrotik adalah

sebagai berikut :

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi .

2. Ansietas berhubungan dengan hospitalisasi

3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrien

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit : pusing, malaise

[Askep Sindroma Nefrotik] 10

Page 11: BAB I

6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor internal : perubahan status

cairan, penurunan sirkulasi

7. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder :

imunosuprsi, malnutrisi

8. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan faktor resiko individual :

penyakit kronis, nutrisi yang tidak adekuat

9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hospitalisasi

10. Penurunan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasional yang dapat

dihadapi orang yang penting bagi klien

N

o

Diagnosa

keperawatan

Noc Nic Aktivitas

keperawatan

1 Kelebihan volume

cairan berhubungan

dengan gangguan

mekanisme

regulasi

Tidak ada edema -

Berat badan stabil

-Intake sama dengan

output

-Berat jenis urin atau

hasil laboratorium

-Ttv dlm batas

normal

-Fluid and

electrolyte

management

(2080)

-fluid monitoring

(4130)

-mood

management

(5330)

-theraupetik

play(4430)

Monitor tanda

vital

-Monitor hasil lab

terkait

keseimbangan

cairan dan

elektrolit

-Pertahankan

terapi intravena

pada flow rate yg

konstan

-monitor intake

output cairan

2 Ketidakseimbangan

nutrisi: kurang dari

kebutuhan tubuh

b.d

ketidakmampuan

untuk

mengabsorbsi

-anak tidak

mengeluh mual

-keluarga

mengatakan nafsu

makan meingkat

-protein dan albumin

dalam batas normal

-Nutrition

management(110

0)

-Nutrition therapy

(1120)

-Nutritional

monitoring (1160)

-Kaji makanan

yang di sukai oleh

klien

-Anjurkan klien

untuk makan

sedikit tapi sering

-Anjurkan

[Askep Sindroma Nefrotik] 11

Page 12: BAB I

nutrisi keluarga untuk

tidak

membolehkan

anak makan

makanan yang

banyak

mengandung

garam

-pantau

perubahan

kebiasaan makan

klien

-pantau adanya

mual dan muntah

-pantau

kebutuhan kalori

pada

catatanasupan

3 Intoleransi aktivitas

b.d kelemahan

umum :fisik

Energy conservation

-Istirahat dan

aktivitas seimbang

- mengetahui

keterbatasan

energinya

Activity Tolerance

-Saturasi oksigen

dalam batas normal

-pernafasan dalam

batas normal

-Activity Therapy

-Relaxation

Therapy

-Environmental

Management

- Menentukan

penyebab

intoleransi

aktivitas

- Berikan periode

istirahat saat

beraktivitas

-Ubah posisi

pasien secara

perlahan dan

monitor gejala

intoleransi

aktivitas

-Anjurkan klien

untuk bernafas

dalam ketika

[Askep Sindroma Nefrotik] 12

Page 13: BAB I

merasa tidak

nyaman

-Anjurkan klien

untuk beristirahat

-Batasi

pengunjung saat

klien istirahat.

DAFTAR PUSTAKA

[Askep Sindroma Nefrotik] 13

Page 14: BAB I

1. Brunner and Suddart. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah volume 2 edisi 8.

Jakarta : EGC

2. Mansjoer, Arif dkk. 2000.kapita selekta kedokteran edisi 2. Jakarta : Medika salemba

3. NANDA Internasional.2012. Nursing Diagnoses : Defenition and Classification.Jakarta :

EGC

4. Surjadi, Rita Yuliani.2006. Asuhan keperawatan pada anak edisi 2. Jakarta : EGC

[Askep Sindroma Nefrotik] 14