bab i

4
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Ikawati, 2010). Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu disajikan proyek percontohan yang disebut “9 th floor project” yang diselenggarakan di University of California. “Perkawinan” antara pemberian informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh

Upload: aenhiequrra-althafunnisa

Post on 21-Dec-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika,

dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan

dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan

profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari

ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan

adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang

memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan

munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University

of Kentucky pada tahun 1960-an (Ikawati, 2010).

Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan

kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien

sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang

informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan

didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu

disajikan proyek percontohan yang disebut “9th floor project” yang

diselenggarakan di University of California. “Perkawinan” antara pemberian

informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS

mengawali kelahiran suatu konsep baru dalam pelayanan farmasi yang oleh

para anggota delegasi konferensi disebut sebagai farmasi klinik (DiPiro,

2002). Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan

farmasi di Amerika saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya

farmasis yang  memiliki keahlian klinik.

Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan

ketika Hepler dan Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990

memperkenalkan istilah pharmaceutical care. Pada dekade berikutnya, kata itu

menjadi semacam kata “sakti” yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi

farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan menjadi

“asuhan kefarmasian”, adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan

Page 2: BAB I

berorientasi terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam

ini, farmasis menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan,

dengan tanggung jawab pada outcome pengobatan.

Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin

diperkuat pada tahun 2000, ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika

American College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah

makalah berjudul, “A vision of pharmacy’s future roles, responsibilities, and

manpower needs in the United States.” Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP

menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan

kesehatan yang akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan

dan penyembuhan penyakit (ACCP, 2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus

dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan

memadai.

Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan

dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan

memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga

kesehatan lain. Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah

yang dapat dipercaya tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi

terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective. Konsep

farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia,

termasuk Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara

berdasarkan kondisi masing-masing. Secara sederhananya, pharmaceutical

care merupakan sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan

terapi obat pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu sendiri.

Hal ini berarti mengubah bentuk pekerjaan apoteker yang semula hanya berada

di belakang layar menjadi sebuah profesi yang langsung bersentuhan dengan

pasien.

Perubahan ini juga berarti bahwa pekerjaan apoteker tidak lagi hanya

meracik dan menyerahkan obat saja kepada pasien, tetapi bertanggung jawab

juga terhadap terapi yang diberikan kepada pasien. Hal ini berarti pekerjaan

kefarmasian di era patient oriented ini jika terlaksana dalam sebuah sistem

Page 3: BAB I

kesehatan nasional maka dipastikan akan meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat Indonesia.

Pergeseran paradigma kefarmasian dari “Drug Oriented” menjadi “Patient

Oriented” merupakan sebuah hal yang mesti direspon positif oleh semua

kalangan, baik itu pemerintah, farmasis maupun masyarakat. Perubahan

paradigma ini melahirkan sebuah produk yang dinamakan dengan

“Pharmaceutical Care”