bab i

15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejadian thalassemi sampai saat ini tidak bisa terkontrol, prevalensinya terus meningkat. Kurang lebih 3% dari penduduk dunia mempunyai gen thalassemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasus adalah di Asia (Rund, 2005). Adapun di wilayah Asia Tenggara pembawa sifat thalasemia mencapai 55 juta orang (Thavorncharoensap, 2010). Di Indonesia thalassemia merupakan penyakit terbanyak diantara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Jenis thalassemia terbanyak yang ditemukan di Indonesia adalah thalassemia beta mayor sebanyak 50% dan thalassemia β– HbE sebanyak 45%. Data perhimpunan Yayasan Thalassemi Indonesia (YTI) mencatat pada tahun 2008 terdapat sekitar 5000 kasus thalassemi dan pada tahun 2010 jumlah penderita meningkat menjadi 6000 orang. Dalam kurun waktu dua tahun jumlahnya bertambah seribu orang. 1

Upload: mandala-adi

Post on 17-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pendahuluan thalasemia

TRANSCRIPT

5

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahKejadian thalassemi sampai saat ini tidak bisa terkontrol, prevalensinya terus meningkat. Kurang lebih 3% dari penduduk dunia mempunyai gen thalassemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasus adalah di Asia (Rund, 2005). Adapun di wilayah Asia Tenggara pembawa sifat thalasemia mencapai 55 juta orang (Thavorncharoensap, 2010). Di Indonesia thalassemia merupakan penyakit terbanyak diantara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Jenis thalassemia terbanyak yang ditemukan di Indonesia adalah thalassemia beta mayor sebanyak 50% dan thalassemia HbE sebanyak 45%. Data perhimpunan Yayasan Thalassemi Indonesia (YTI) mencatat pada tahun 2008 terdapat sekitar 5000 kasus thalassemi dan pada tahun 2010 jumlah penderita meningkat menjadi 6000 orang. Dalam kurun waktu dua tahun jumlahnya bertambah seribu orang.Berdasarkan data RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) Jawa Barat merupakan ranking ke satu penderita thalassemia yaitu mencapai 2000 penderita atau sekitar 35 % berasal dari jawa Barat, hal tersebut dilaporkan oleh YTI dan Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia (POPTI). Saat ini di Kota Banjar tercatat sebanyak 84 orang yang penderita thalassaemia. Thalassemi prevalensinya terus meningkat karena terkait faktor genetik yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya dan belum maksimalnya tindakan screening untuk thalassemia. Jauh sebelum adanya penemuan ilmiah yaitu pada abad VII diturunkan ayat Al Quran tentang larangan perkawinan sedarah atau perkawinan antar anggota keluarga. Terdapat dalam Al Quran surat An Nisaa ayat 23 :

Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,(QS. An-Nisa (4):23).

Bila kita kaitkan dengan ayat diatas sebaiknya dianjurkan menikah dengan nasab yang berbeda dan melakukan screening terlebih dahulu sebelum menikah. Apabila diketahui memiliki gen pembawa thalassemia sebaiknya dalam mencari pasangan jangan dengan pasangan yang memiliki gen pembawa thalassemia juga agar tidak beresiko menurunkan keturunan yang rentan dan lemah bahkan bisa menimbulkan kematian seperti halnya thalassemia.Thalassemia merupakan golongan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara autosom resesif, disebabkan mutasi gen tunggal, akibat adanya gangguan pembentukan rantai globin alfa atau beta. Penderita thalassemia beta mayor tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup hal ini menyebabkan sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna sehingga thalassemia beta mayor membutuhkan transfusi darah dan terapi besi secara rutin (Dahlui, 2009)Pasien thalassemia akan senantiasa mengalami anemia akibat gangguan produksi hemoglobin. Derajat anemia yang terjadi dapat bervariasi dari ringan hingga berat. Anemia ini merupakan masalah utama pada thalassemia mayor, baik pasien thalassemia- mayor ataupun -Hb E. Transfusi darah merupakan tata laksana suportif utama pada pasien thalassemia dengan tujuan mempertahankan kadar hemoglobin 9 - 10 g/dL untuk meningkatkan tumbuh kembang anak serta mengurangi deformitas tulang dan hepatosplenomegali akibat hematopoeisis ekstramedular (Bulan, 2009).Anemia herediter pada thalassemia menyebabkan pasien harus mendapatkan transfusi darah terus menerus yang dapat menimbulkan komplikasi penimbunan zat besi dalam tubuh. Pada pasien yang tidak sering mendapatkan transfusi darah pun, tetap terjadi absorpsi besi abnormal yang menyebabkan penumpukan besi berkisar 2 5 gram per tahun. Kelebihan besi ini menyebabkan kapasitas transferin serum untuk mengikat besi bebas akan terlampaui sehingga besi bebas ini akan menghasilkan radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Kelebihan besi (iron overload) ini dideposit dalam berbagai organ terutama di hati dan jantung hingga terjadi disfungsi organ tersebut dan mengakibatkan gangguan tumbuh kembang (Bulan, 2009). Kelebihan besi merupakan komplikasi yang fatal pada thalassemia bila tidak diatasi dengan baik, karena itu hal ini menjadi fokus utama dalam tata laksana thalassemia. Bila seorang pasien thalassemia tidak mendapatkan kelasi besi, akan terjadi disfungsi pada hati, jantung, dan kelenjar endokrin yang progresif berakibat timbulnya fibrosis hati, sirosis hati, gagal jantung, diabetes melitus, hipogonadism, hipotiroidism, hipoparatiroidism hingga kematian. Kematian pada thalassemia dilaporkan terbanyak akibat kelainan jantung yang didasari oleh hemokromatosis pada jantung. Penyebab utama kematian pasien thalassemia adalah gagal jantung (50,8%). Pusat Thalassemia Jakarta juga mendapatkan penyebab kematian terbanyak pada thalassemia adalah gagal jantung (Bulan, 2009).Angka thalassemia dilaporkan semakin membaik dengan mulai diberikannya terapi kelasi besi (deferoksamin/DFO), namun mortalitas akibat kelainan jantung terkait kelebihan besi masih tetap tinggi. Adanya obat kelasi oral yang dapat digunakan secara monoterapi maupun kombinasi dengan deferoksamin dilaporkan menurunkan mortalitas thalassemia akibat kelainan jantung (Bulan, 2009).Sehingga terapi kelasi besi sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah pemberian 10 20 kali transfusi atau kadar feritin meningkat diatas 1000 g/l. Bila terapi simptomatis ini diberikan sesuai dengan kebutuhan, maka perubahan fisik yang terjadi sebagai akibat dari patofisiologi thalassemia beta mayor dapat dibatasi dan pasien dapat menjalankan suatu kehidupan yang relatif normal. Sebaliknya bila terapi yang diberikan tidak adekuat, maka thalassemia beta mayor merupakan penyakit terminal dengan angka kematian cukup tinggi (Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 Mei, 2007: 78 84).Berikut ini adalah data thalassemia di Rumah Sakit Umum Kota BanjarTabel 1.1 : Data Penderita Thalasemia Beta Mayor di Ruang MelatiRumah Sakit Umum Kota BanjarNoTahunJumlah Keseluruhan Penderita Thalasemia Beta Mayor yang Lama dan Baru di Ruang melati Rumah Sakit Umum Kota Banjar

1201271

2201376

3s/d Juli 201484

Sumber : Rekam Medik Rumah Sakit Umum Kota banjar, 2014

Penderita thalassemia di Kota Banjar setiap tahunnya terus mengalami peningkatan 1 orang diantaranya meninggal pada bulan April 2014 karena sudah menjalani splenektomi orang tuanya merasa keadaan anaknya sudah membaik sehingga jarang melakukan kunjungan ke Rumah Sakit untuk transfusi dan mengkonsumsi terapi kelasi besi. Tahun 2014 jumlah penderita meningkat menjadi 84 orang, dalam kurun waktu 7 bulan jumlah penderita thalassemi bertambah 8 orang dengan pasien kunjungan rata rata perbulan 50 60 pasien (Catatan Rekam Medik BLUD Kota Banjar, 2014). Hasil dari pemeriksaan fisik antara ke empat anak penderita thalassemia di Ruang Melati RSU Kota Banjar antara yang rutin dan yang tidak rutin melakukan kunjungan ke Rumah Sakit ke empatnya teraba adanya splenomegali namun terdapat perbedaan antara yang rutin dan yang tidak. Yang melakukan kunjungan rutin ke Rumah Sakit pembesaran splenomegalinya tidak begitu teraba, berbeda dengan yang tidak rutin pembesaran splenomegalinya teraba jelas. Dari hasil wawancara kepada ke empat orang tua dengan anak thalassemia tersebut, alasan orang tua rutin melakukan kunjungan ke Rumah Sakit karena ingin anaknya sembuh, tidak lemas dan bisa melakukan aktivitas seperti anak yang lain sedangkan orang tua yang tidak rutin mengatakan kalau anaknya sudah merasa lebih baik dan datang ke Rumah Sakit kalau anak ada keluhan saja walaupun persediaan obat kelasi besi dirumah sudah habis dan karena ada kepentingan yang lain. Salah satu faktor hal ini bisa terjadi kerena pengetahuan orang tua yang tidak tahu mengenai terapi kelasi besi.Dari berbagai fenomena di atas peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai pengetahuan dan sikap orang tua terhadap terapi kelasi besi. Maka perlu dilakukan penelitian tentang Gambaran pengetahuan dan sikap orang tua tentang terapi kelasi besi pada anak penderita thalassemia beta mayor di Ruang Melati Rumah Sakit Umum Kota Banjar.B. Rumusan MasalahThalassemia merupakan golongan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara autosom resesif, disebabkan mutasi gen tunggal, akibat adanya gangguan pembentukan rantai globin alfa atau beta (Dahlui, 2009).Pasien thalassemia akan senantiasa mengalami anemia akibat gangguan produksi hemoglobin. Anemia ini merupakan masalah utama pada thalassemia mayor, baik pasien thalassemia- mayor ataupun -Hb E. Anemia herediter pada thalassemia menyebabkan pasien harus mendapatkan transfusi darah terus menerus yang dapat menimbulkan komplikasi penimbunan zat besi dalam tubuh. Kelebihan zat besi merupakan komplikasi yang fatal pada thalassemia bila tidak diatasi dengan baik, sehingga menjadi fokus utama dalam tata laksana thalassemia. Bila seorang pasien thalassemia tidak mendapatkan kelasi besi, akan terjadi disfungsi pada hati, jantung, dan kelenjar endokrin yang progresif berakibat timbulnya fibrosis hati, sirosis hati, gagal jantung, diabetes melitus, hipogonadism, hipotiroidism, hipoparatiroidism hingga kematian. Penelitian yang berkaitan dengan terapi kelasi besi pada anak penderita thalasemia khususnya di Rumah Sakit Umum Kota Banjar belum pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah gambaran pengetahuan dan sikap orang tua tentang terapi kelasi besi pada anak penderita thalasemia beta mayor?C. Tujuan penelitian1. Tujuan UmumPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap orang tua tentang terapi kelasi besi pada anak penderita thalasemia beta mayor di Ruang Melati RSU Kota Banjar.2. Tujuan Khususa. Diketahui pengetahuan orang tua dengan anak penderita thalassemia di RSU Kota banjar tentang :1) Pengertian thalassemia pada anak 2) Penyebab thalassemia pada anak3) Tanda dan gejala thalassemia pada anak4) komplikasi yang timbul dari thalassemia5) Manfaat transfusi pada anak6) Terapi kelasi besi pada anak7) Diet thalassemi pada anakb. Diketahui sikap orang tua tentang terapi kelasi besi pada anak penderita thalassemi di RSU Kota BanjarD. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang gambaran pengetahuan dan sikap orang tua tentang terapi kelasi besi pada anak penderita thalasemia beta mayor di Ruang Melati Rumah Sakit Umum Kota Banjar pada tahun 20142. Manfaat Praktisa. Bagi Institusi Untuk menambah pembendaharaan bahan materi khususnya mata kuliah keperawatan anak.b. Bagi PerawatDapat menjadi masukan untuk perawat mengenai terapi kelasi besi sehingga dapat menjalankan perannya sebagai edukator dan mampu memotivasi pada keluarga untuk patuh dalam mengkonsumsi terapi kelasi besi.c. Bagi Peneliti SelanjutnyaSebagai bahan dasar untuk pembuatan penelitian yang selanjutnya dengan masalah yang sama namun dengan metode penelitian yang berbeda dengan sebelumnya.

d. Bagi Rumah SakitDapat menjadi masukan untuk meningkatkan kinerja perawat dalam memberikan pelayanaan pada anak penderita thalasemia beta mayor, sehingga intervensi keperawatan yang berkaitan dengan thalasemia bisa optimal dilaksanakan.E. Keaslian Penelitian1. Dewi ratih pada tahun 2011 dengan judul Pengaruh Deferasirox Terhadap Kadar T4 dan TSH pada Penderita Thalassemia Mayor dengan Ferritin yang Tinggi. Jenis penelitian menggunakan metode ELFA (Enzym Linked Fluoresient Assay) dengan jumlah 20 penderita Thalasemia beta mayor di bangsal thalassemia anak di RS. Dr. Kariadi Semarang. Analisis statistik yang digunakan adalah uji t-berpasangan. Hipotiroidisme ditemukan sekitar 20%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata kadar ferritin setelah 6 bulan lebih rendah dibanding awal penelitian, namun perbedaan tersebut tidak bermakna (I : 1182,753,64 dan II : 1182,348,42; p=1,0). Rerata kadar T4 tidak berbeda bermakna setelah 6 bulan pemberian deferasirox (I : 91,822,37 dan II : 88,620,46 ; p=0,5). Dua pasien dengan kadar TSH yang awalnya tinggi menjadi normal, namun penurunan tersebut tidak berbeda bermakna secara statistik (p=0,2).2. Dini Mariani pada tahun 2011 dengan judul Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Anak Thalasemia Beta Mayor di RSU Kota Tasikmalaya dan Ciamis. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 84 responden yang berasal dari dua RS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas hidup dengan kadar Hb pretransfusi (p Value 0,003), dengan dukungan keluarga (p Value 0,003) dan dengan penghasilan (p Value 0,046). Hasil multivariat didapatkan bahwa kadar Hb pretransfusi merupakan faktor yang paling mempengaruhi.Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dengan menggunakan metode deskriptif. Sedangkan sampel pada penelitian ini diambil dengan tehnik pengambilan sampel dengan cara accidental sampling yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian, dengan kata lain sampel yang diambil dari responden atau kasus yang kebetulan ada disuatu tempat dan keadaan tertentu. Adapun perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dari judul dan lokasi.1