bab i

98
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penegak hukum merupakan profesi yang didengungkan sebagai profesi yang luhur (honorable profession). Dengan image seperti itu seharusnyalah para pemangku penegak hukum dapat memegang amanah tersebut. Faktanya didalam praktik kehidupan bermasyarakat masih dapat kita lihat sikap dan tindakan yang tidak terpuji yang mengarah pada tindakan koruptif yang dapat memperburuk citra dari profesi penegak hukum. Para professional penegak hukum nampaknya lupa, bahwa profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat. Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terurai dalam kaidah- 1

Upload: evans-satria-abdi

Post on 12-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

6064

BAB I

PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG

Penegak hukum merupakan profesi yang didengungkan sebagai profesi yang luhur (honorable profession). Dengan image seperti itu seharusnyalah para pemangku penegak hukum dapat memegang amanah tersebut. Faktanya didalam praktik kehidupan bermasyarakat masih dapat kita lihat sikap dan tindakan yang tidak terpuji yang mengarah pada tindakan koruptif yang dapat memperburuk citra dari profesi penegak hukum. Para professional penegak hukum nampaknya lupa, bahwa profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.

Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai nilai yang terurai dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantab dan mewujudkan dalam sikap, perilaku sebagai serangkaian uraian nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian dalam pergaulan hidup.

Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum. Kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang undangan.

Penegakan hukum di Indonesia dewasa ini masih jauh dari konsep Negara hukum (rechsstaat) dimana idealnya hukum merupakan panglima (yang utama) diatas politik dan ekonomi namun kenyataanya maraknya judicial corruption dalam proses peradilan mengakibatkan hancurnya sistem hukum dan lembaga penegak hukum menjadi tercemar disebabkan keacuhan para penegak hukum akan penegakan hukum yang efektif, rendahnya kualitas sumber daya manusia baik secara intelektual maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan internal yang lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di Indonesia.

Sistem hukum dibangun dengan 3 (tiga) hal yaitu : Struktur hukum, Substansi hukum dan Budaya hukum. Tiga unsur sistem hukum tersebut disebutkan oleh Lawrence M Friedman sebagai three element of legal system. Struktur Hukum menurut Lawrence M Friedman merupakan kerangka dan sebagai bagian-bagian dari hukum yang tetap senantiasa bertahan, atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kelembagaan hukum adalah merupakan struktur hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisan, Advokat; Sedangkan Subtansi Hukum (materi hukum) yaitu aturan,norma dan pola perilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu. Subtansi juga merupakan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu mencakup keputusan yang mereka keluarkan, juga aturan baru yang mereka susun. Selanjutnya substansi hukum juga mencakup hukum yang hidup (living law) yang tidak hanya pada aturan yang ada dalam kitab hukum (law in book); Budaya Hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan nilai, pemikiran dan harapanya. Budaya hukum juga mencakup suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak dapat berjalan.

Di Indonesia konsistensi penegakan hukum masih terdengar seperti wacana. 3 (tiga) tujuan hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbuch yaitu keadilan, kepastian, kemanfaatan belum sepenuhnya terwujud. Aturan hukum yang ada di Indonesia masih terbatas slogan karena masyarakat masih banyak yang merasa belum terlindungi dengan baik, padahal penegakan hukum merupakan salah satu tujuan agenda reformasi di Indonesia. Seperti diketahui bahwa penegakan hukum harus diikuti oleh profesionalisme penegak hukumnya. Hal ini tidak dapat terwujud jika sistem hukum di Indonesia masih semrawut dan tidak ada perubahan dalam struktur, substansi dan budaya hukum seperti yang disebutkan oleh Lawrence M Friedman.

Pengertian penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan Aparatur penegak hukum adalah institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum.

Dalam pengertian luas aparat penegak hukum merupakan institusi penegak hukum, sedangkan dalam arti sempit, aparat penegak hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim, advokat.

Dalam penyelenggaraan sistem peradilan serta penegakan hukum, diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.

Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional.

Aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran profesi tidak pernah hilang; tetapi perkembangannya bisa dicegah. Kualitas komitmen tergantung kemampuan membangun self-image positif dan menjadi refleksi pentingnya self-esteem sebagai nilai. Kesadaran akan pentingnya self-image positif dan self-esteem sebagai nilai akan membantu seorang profesional hukum tidak mudah memperdagangkan profesinya. Artinya, keahlian saja tidak cukup. Diperlukan keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Konsistensi bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil.

Keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair dalam menjalankan profesi terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak mendiamkan tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang tidak mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut keberanian mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.

Dalam konsep negara hukum (rechtsstaat), ada dua fungsi penegakan hukum, yaitu fungsi pembentukan hukum (law making process) dan fungsi penerapan hukum (law applying process). Fungsi pembentukan hukum (law making process) harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum. Hukum yang dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Demikian pula sebaliknya tidak ada hukum yang dapat dijalankan jika hukumnya tidak ada. Jika hukum dan keadilan telah terwujud maka supremasi hukum dapat dirasakan oleh segenap masyarakat. Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum (law applying process) tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif efektifitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau pelaksana hukumkah sesungguhnya yang berperan untuk mengefektifkan hukum itu?Pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, juridis dan sosiologis. Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum (Law Applying Process). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ishaq, SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :1. Hukumnya sendiri.

2. Penegak hukum.

3. Sarana dan fasilitas.

4. Masyarakat.

5. Kebudayaan.

Dalam mengemban tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban nasional, tiap-tiap anggota Polri harus menjalankannya dengan berlandas pada ketentuan berperilaku petugas penegak hukum (code of conduct) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Standar-standar dalam code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktik profesional atau tidak. Dapat dikatakan telah terjadi malpraktik apabila seorang profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah melakukan tindakan yang tidak profesional di bawah standar atau sub-standar profesinya, menimbulkan kerugian (damage) terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya.

Profesi hukum (legal profesion) dalam hal ini advokat (legal Consel,attorney) di dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No18 Tahun 2003 tentang advokat disebutkan bahwa :Advokat berlembaga sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya (Pasal 4 ayat (1)). Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut (Pasal 4 ayat (2)): Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :

bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga; bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani; bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat; bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.Seorang advokat ternama asal Belanda, PM Trapman seperti dikutip oleh Prof van Bummelen dalam bukunya Strafvordering mengatakan bahwa : dalam suatu persidangan, antara Jaksa, Pembela dan Hakim mempunyai fungsi yang sama, meskipun posisi dan pendiriannya berbeda. Fungsi yang sama karena masing-masing pihak berusaha untuk :

1. Mencari kebenaran dengan menyelidiki secara jujur fakta- fakta perbuatan, maksud dan akibatnya;

2. Menilai apakah fakta-fakta perbuatan itu memenuhi unsure pidana untuk dapat atau tidaknya dipermasalahkan;

Demikian juga dengan profesi hukum lainya yaitu polisi sebagaimana termuat dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa :

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Jadi antara advokat dan polisi yang keduanya merupakan penegak hukum mempunyai tugas yang berbeda. Polisi sebagai penegak hukum mempunyai fungsi police power yaitu memiliki hak untuk menangkap (to arrest) dan hak untuk menahan (to detain), sedangkan advokat sebagai profesi hukum (legal profession) tidak memiliki police power tersebut. Justru seorang advokat harus mencoba membebaskan, meringankan, merubah dan menghindar dari tuntutan hukum, penangkapan dan penahanan oleh penegak hukum (law enforcement official). Oleh karena itu advokat merupakan profesi yang bebas dan independen yang fungsinya membela klien atau kepentingan klien.

Sedangkan jaksa sebagai penegak hukum, mempunyai fungsi melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Hal tersebut sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yaitu :

1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sebagai salah satu aparat penegak hukum dalam sistem hukum di Indonesia, hakim merupakan tempat masyarakat berupaya untuk mencari keadilan berdasarkan hukum yang berlaku di suatu negara. Dalam menjalankan tugasnya secara professional. Hal tersebut sesuai dengan amanat UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasiladan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia

Sedangkan pelaku dalam kekuasan kehakiman di Indonesia yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Kontitusi hal itu sesuai dengan Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No.48 Tahun 2009 yang berbunyi : 2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sorang hakim yang merpakan pelaku kekuasaan kehakiman harus patuh terhadap kode etik profesinya. Seperti disebutkan Socrates, Etika Profesi, Kode Etik Hakim ialah The Four Commandments for Judges yakni:

1. To hear courteously (mendengar dengan sopan, beradab).

2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).

3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).

4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

Profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan sekarang ini disebabkan karena lunturnya makna sebuah kode etik profesi hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi. Kode etik profesi memunculkan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari profesi yang dijalani, berkaitan dengan profesionalitas dan kehormatan dirinya. Kode Etik profesi menurut Bertens adalah:

Norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan berperilaku sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.

Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif, dan meta-etika. Jadi kode etik berkaitan dengan profesi tertentu sehingga setiap profesi memiliki kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang disepakati bersama seperti bagaimana harus bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan dengan rekan sejawat. Akan tetapi tidak semua pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi yang berhak dan layak memiliki kode etik tersendiri.

Ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur apakah suatu pekerjaan itu dikatakan suatu profesi atau bukan:

1. Profesi itu dilaksanakan atas keahlian tinggi dan karena itu hanya dapat dimasuki oleh mereka yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan teknis yang amat lanjut. Contohnya seperti dokter dan advokat.

2. Profesi itu mensyaratkan agar keahlian yang dipakainya selalu berkembang secara nalar dan dikembangkan dengan teratur seiring dengan kebutuhan masyarakat yang minta dilayani oleh profesi yang menguasai keahlian profesional tersebut, atau dengan kata lain ada standar keahlian tertentu yang dituntut untuk dikuasai. Contohnya seperti dokter atau sarjana hukum.

3. Profesi selalu mengembangkan pranata dan lembaga untuk mengontrol agar keahlian-keahlian profesional didayagunakan secara bertanggung jawab, bertolak dari pengabdian yang tulus dan tak berpamrih, dan semua itu dipikirkan untuk kemaslahatan umat.

Aparat penegak hukum memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat tidak dapat seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman perilakuJika diamati, ketentuan dalam Kode Etik Profesi masing-masing aparat penegak hukum mewajibkan agar setiap tugas dan wewenang dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Namun dalam praktiknya, masih banyak pelanggaran kode etik yang pada akhirnya mencerminkan ketidakprofesionalan seorang penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, singkatnya das sollen dan das sein sangat berbeda di dalam praktik sehari-hari Untuk dapat menjaga moralitas dan keprofesionalan kinerja dalam menegakkan hukum, para penegak hukum wajib mentaati kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada. Menurut O. Notohadimidjodjo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu:

a. Kemanusiaan

Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.

b. Keadilan

Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.

c. Kepatutan

Kepatutan atau equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.

d. Kejujuran

Pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap ahli hukum diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara

Penegak hukum dan penegak keadilan di dalam masyarakat, dalam kedudukannya sebagai profesi luhur, menuntut kejelasan dan kekuatan moral yang tinggi. Franz Magnis-Suseno dkk., menunjukkan ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu:

a. Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.

b. Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.

c. Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna mission statement masing-masing organisasi profesionalnya.

Artinya, setiap penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing dituntut untuk bertindak dengan tekad dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesinya. Integritas dan profesionalisme tidak dilahirkan secara instan, melainkan terbentuk dalam proses menjalankan tugas dan kewajibannya dalam sistem yang baik. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, yaitu:

a. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;

b. Faktor petugas yang menegakkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum;

d. Faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum; dan

e. Faktor budaya atau legal culture;Moral para penegak sangat ditentukan oleh bagaimana para profesional hukum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk memelihara kehidupan sosial. Tugas memelihara kehidupan sosial itu dirumuskan dalam sumpah para profesional penegak hukum, yakni to serve people. Melayani masyarakat bukan sekadar jargon para profesional penegak hukum, karena sumpah itu memiliki arti moral yang mendalam. Sumpah profesi yang diucapkan oleh para profesional hukum, di hadapan pemuka agama ketika dilantik di instansi-instansi hukum, seperti kehakiman, kejaksaan dan kepolisian, bukan sekadar simbol dan formalitas kosong. Sumpah itu merupakan kaul kesetiaan yang mengikat profesional penegak hukum, dengan masyarakat yang mempercayakan kebebasannya serta tujuan hidupnya untuk mencapai kesejahteraan. Kaul itu merupakan janji suci (covenant) untuk tunduk kepada Tuhan dan melayani masyarakat dengan penuh tanggung jawab. Makna moral dari kaul profesi adalah kesetiaan profesi pada kepercayaan masyarakat, untuk secara bertanggung jawab melaksanakan tugas untuk memelihara masyarakat dan tatanannya. Otoritas yang didapatkan oleh para penegak hukum merupakan titipan kepercayaan masyarakat yang tidak pernah boleh disalahgunakan demi alasan apa pun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan para penegak hukum untuk menjalankan kepercayaan masyarakat, pasti akan sering berbenturan dengan kepentingan pribadi para penegak hukum. Hal inilah yang menimbulkan kegelisahan para akademisi. Padahal benturan seperti itulah dapat menjadikan tolak ukur keluhuran setiap penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenang mendapatkan tantangannya.

Secara historis peran pemberian jasa hukum oleh advokat di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda, Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, sistem hukum yang secara formal diberlakukan di Indonesia sebagian mengadopsi system hukum yang ditetapkan pemerintah Belanda. Sementara, masyarakat Indonesia sebelumnya telah lebih dulu memiliki seperangkat ketentuan hukum tradisional yang relatif berkembang dan dijadikan patokan dalam membangun sistem sosial, mengatur interaksi sosial, termasuk untuk menengahi berbagai persoalan atau sengketa yang muncul pada sistem dan interaksi sosial tersebut.

Persinggungan antara perangkat hukum asing yang diperkenalkan dan diberlakukan oleh Belanda dengan tata nilai yang telah hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut menimbulkan hubungan informal antara tata tertib hukum tradisional dan kolonial.

Berdasarkan asas konkordansi (ordonantie met koninklijke matchiging) yang termuat dalam Staatsblaad 1848 No. 16, dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda juga diberlakukan di Indonesia. Termasuk didalamnya Staatsblaad 1847-23 jo. Stbl. Ap de Rechtlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) yang lazim disingkat dengan RO(Rechtlijke Organisatie).RO merupakan pranata hukum pertama yang mengatur lembaga advokat di Indonesia. Namun dengan politik diskriminasi (dualisme) yang mewarnai penerapan hukum di Hindia Belanda, RO sebenarnya diperuntukkan bagi kawula (warga Negara) Belanda yang merupakan sarjana hukum lulusan universitas di Belanda atau lulusan sekolah tinggi hukum di Jakarta.

Berdasarkan politik diskriminasi, pemerintah Hindia Belanda membedakan peruntukan hukum bagi orang-orang Eropa di satu pihak, dan golongan pribumi atau bumiputera di pihak lain. Hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut pun dibedakan. Bagi orang atau peradilan Eropa untuk acara perdata berlaku Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan untuk acara pidananya berlaku Reglement op de Stravordering (Sv). Sedangkan bagi orang Indonesia, untuk acara pidana dan perdata berlaku Herziene Indonesisch Reglement atau HIR.

HIR yang dipilih menjadi hukum acara dalam sistem hukum Indonesia bila dibandingkan dengan RV untuk pidana adalah kitab undang-undang yang lebih sederhana, dimana didalamnya kurang dituntut persyaratan keahlian bagi para hakim dan jaksa, serta kurang ketat memberi perlindungan bagi terdakwa. Peraturan yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sebelum kemerdekaan tetap berlaku selama belum ada penggantinya, sehingga peraturan seperti HIR dan Rbg tetap menjadi pedoman beracara dalam hukum positif di Indonesia. Apakah politik diskriminasi Belanda ini telah mendarah daging pada penegak hukum Indonesia, sehingga para profesional justru melacurkan profesinya semata-mata hanya demi desakan kebutuhan pribadi. Padahal kita ketahui bersama 17 Agustus 1945 kita telah merdeka.

Melacurkan profesi demi memenuhi desakan kebutuhan atau karena alasan keserakahan belaka, sama-sama merupakan kejahatan dan pelanggaran atas janji setia untuk melayani masyarakat. Para penegak hukum dalam menjalankan profesi luhurnya harus memiliki keberanian moral untuk senantiasa setia terhadap hati nuraninya dan menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik pribadi.

Untuk menjelaskan kedudukan dan fungsi advokat dalam penegakan hukum, bisa dilihat dari situasi ini. Bayangkan, jika seseorang menjadi tersangka atau terdakwa tidak didampingi advokat atau pengacara. Padahal, seorang yang ditangkap atau ditahan, secara psikologis, tentu merasa takut dan tidak aman dalam pemeriksaan oleh yang berwajib. Ia tidak tau apa yang harus diperbuat dan apa saja yang menjadi hak-haknya untuk mendapat perlindungan. Emosinya tidak stabil. Bukankah dengan kondisi psikologis seperti itu, tersangka atau terdakwa bias dijadikan bulan-bulanan untuk mengikuti saja kemauan atau keinginan penyidik yang memeriksanya? Oleh sebab itulah, diperlukan kehadiran advokat yang mendampinginya guna memberikan bantuan hukum dan membela hak-hak hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang tetapi kadangkala para penyidik mengabaikan perintah undang-undang.

Sama halnya situasi di pengadilan. Bayangkan, seandainya seorang terdakwa yang menjalani persidangan tanpa kehadiran Penasehat Hukum (Advokat). Bukankah terdakwa akan menjadi sasaran empuk Penuntut Umum sehingga persidangan akan berjalan berat sebelah bahkan, terdakwa pun bisa dihukum berat yang tidak setimpal dengan perbuatan pidana yang dilakukannya. Hal itulah yang sering terjadi di pengadilan-pengadilan.

Seperti kita tahu, di dalam proses perkara pidana terdapat pihak-pihak yang berkompeten guna mengadili terdakwa, yaitu: Penuntut Umum (Jaksa) adalah pihak yang mewakili kepentingan umum/Negara yang berusaha membuktikan bahwa terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan melanggar UU/hukum, sehingga ia menuntut hukuman bagi terdakwa di pengadilan.

Mantan hakim agung, Bismar Siregar dalam artikelnya : Mekanisme Kontrol Penahanan Sementara di Bidang Penegak Hukum (1979), menyatakan bahwa kedudukan advokat sebagai pembela patut diterima dan pembelapun menyadari tanggungjawabnya sebagai kawan penegak hukum, tentu tidak suka akan membela yang salah untuk dinyatakan tidak bersalah, paling-paling ia memohon keringanan hukuman bagi terdakwa dalam perkara pidana. Oleh karena itulah, sangat tepat atau tidak menjadi keberatan yang prinsipil bilamana pintu dibuka bagi pembela sejak awal pemeriksaan pendahuluan mendampingi terdakwa.

Di dalam Pasal 56 angka 1 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang merupakan perubahan dari UU No. 4 Tahun 2004) telah ditegaskan bahwa :

1. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh

bantuan hukum.

Pasal ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak azasi manusia yang mendapatkan perlindungan dari negara.Perlunya tersangka atau terdakwa mendapatkan bantuan dari advokat adalah: Pertama:sesuai dengan sila perikemanusiaan, maka seorang tersangka atau terdakwa harus diperlakukaan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah (azas presumption of innocence). Karena itu, ia (tersangka, terdakwa) sejak ditangkap atau ditahan harus diperbolehkan berhubungan denga keluarga atau penasihat hukumnya; kedua, tersangka atau terdakwa itu tidak dapat berpikir sehat, bisa diumpamakan seorang pasien yang membutuhkan pertolongan dokter, oleh sebab itu bantuan hukum dari advokat merupakan obat baginya.

Pada dasarnya, masyarakat yang menghadapi persoalan hukum berhak memperoleh bantuan hukum dari seorang advokat. Dan hal itu telah diperintahkan oleh undang-undang. Dalam UU No.48 Tahun 2009 (yang merupakan perubahan dari UU No.4 Tahun 2004.

Mengenai hak-hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, secara implicit diatur dalam Pasal 54 57, dan Pasal 114 KUHAP. Secara ringkas dan disebutkan:

Guna kepentingan pembelaan, tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukumnya selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54)

Tersangka berhak memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55)

Kewajiban pejabat pada semua tingkat pemeriksaan untuk menunjuk penasihat hukum dalam hal tersangka/tersakwa diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. (Pasal 56 ayat 1).

Hak mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma (Pasal 56 ayat 2)

Hak tersangka yang ditahan untuk menghubungi penasihat hukumnya (Pasal 57 ayat 1).

Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh panesehat hukum (Pasal 114)

Seorang advokat yang memberikan bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa dalam proses pemeriksaan berkedudukan sebagai Pembela atau dalam KUHAP disebut sebagai Penasihat Hukum. Sebagai Penasihat Hukum, ia mempunyai beberapa ketentuan yang telah digariskan KUHAP mengenai hak-haknya, dan yang terpenting, antara lain :

Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap/ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 69).

Penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya. (Pasal 70 ayat 1).

Penasihat hukum atau tersangka dapat meminta turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaanya (Pasal 72).

Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tesangka setiap kali dikehendaki olehnya (Pasal 73).

Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka dalam pasal 70 ayat (2), (3), (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan untuk disidangkan (Pasal 74).

Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan (Pasal 115 ayat (1)); Dalam hal kejahatan terhadap negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka ( Pasal 115 ayat (2)). Dari melihat ketentuan-ketentuan ini menandakan bahwa dalam mengikuti jalannya pemeriksaan, penasehat hukum (advokat) bersifat pasif.

Akan tetapi, dalam sifatnya yang pasif itu, apabila penahanan tidak sah atau karena ada alasan lain, maka sebagai advokat melakukan tindakan aktif yakni dapat menyatakan keberatan atas penahanan tersebut kepada penyidik yang melakukan penahanan itu (Pasal 123 ayat (1)). Bahkan, ia dapat mengajukan keberatan itu kepada Pengadilan Negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan itu sah atau tidak menurut hukum (Pasal 124).

Bagaimana hak advokat (penasehat hukum) jika berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan? Oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penasihat hukum di beri hak:

Penasihat hukum terdakwa dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan ( Pasal 156 ayat (1)); Penasihat hukum dengan perantara hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa ( Pasal 164 ayat 2 jo pasal 165 ayat (2)); Penasihat hukum dengan perantara hakim ketua sidang dapat menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing masing ) Pasal 265 ayat (4)). Penasihat hukum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang agar diantara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya di panggil masuk untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama sama ( Pasal 172 ayat (2)); Penasihat hukum dapat menyatakan keberatan dengan alasan terhadap hasil keterangan saksi ahli dan hakim dalam hal ini dapat memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang ( Pasal 180 ayat (2)); Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana (Pasal 182 ayat (1) a); selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaanya ( Pasal 182 ayat (1) b). Kemudian hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim, maupun atas permintaan penasehat hukum dengan memberikan alasanya (Pasal 182 ayat (2)).Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, dalam proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, maka penasihat hukum (advokat) bertindak secara aktif, artinya ia dapat mengajukan hak- haknya seperti yang dimiliki oleh hakim dan penuntut umum yaitu mengajukan pertanyaan, hak mengajukan pembuktian, hak mengajukan saksi-saksi (termasuk a de charge atau saksi yang meringankan, dan juga mengajukan saksi ahli), hak mengajukan surat-surat maupun alat bukti lainnya dan hak mengajukan nota pembelaan atau pledoi.

Dalam hal ini Advokat yang merupakan profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat, mempunyai peranan penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Advokat dalam memperjuangkan hak-hak para pencari keadilan (justitiabelen) harus berpegang teguh dalam penyelenggaraan peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum (fair trial).

Perlu dipahami, bahwa sejak diundangkanya UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka kedudukan advokat itu setara dengan polisi, jaksa dan hakim, yakni sama sama sebagai aparat penegak hukum. Dalam menjalankan tugasnya, advokat dilindungi pula oleh undang-undang sebagaimana polisi, jaksa dan hakim. Sekalipun advokat mempunyai kedudukan dan posisi yang berbeda yakni sebagai pembela, namun sejatinya advokat mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan aparat penegak hukum lainnya, yaitu sama sama mencari dan menemukan kebenaran materiil.

Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 terbentuknya Organisasi Advokat untuk mewadahi para advokat sebagai penegak hukum yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI ) pada tanggal 21 Desember 2014. Sejak dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) tidak terlepas dari segala tugas dan wewenangnya yang diberikan oleh Undang-undang Advokat. Tugas dan wewenang Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI ) adalah menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, mengadakan ujian profesi advokat, meregulasi pelaksanaan magang untuk calon advokat, melakukan pengangkatan advokat di seluruh Indonesia,melakukan penegakan kode etik advokat, mengawasi perilaku advokat.

Bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melalui Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI) PERADI telah melaksanakan wewenangnya menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat. Selanjutnya Perhimpunan Advokat Indonesia PERADI telah mengeluarkan Peraturan Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat dengan Nomor : 3 Tahun 2006 yang diuraikan dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : PERADI sebagai organisasi advokat yang didirikan berdasarkan Undang undang Advokat memiliki kewenangan untuk melaksanakan PKPA sebagaimana dimaksud pasal 2 Ayat 1 Undang undang advokat.Disamping telah menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melalui Panitia Ujian Profesi Advokat (PUPA) PERADI telah menyelenggarakan Ujian Profesi Advokat di berbagai kota di Indonesia bagi setiap warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat untuk mengkuti ujian dengan kriteria penilaian kelulusan yang cukup tinggi dengan budaya zero KKN (korupsi, Kolusi, Nepotisme). Hal itu diterapkan untuk meningkatkan standar atau kualitas sorang advokat.

Bahwa setelah lulus ujian profesi advokat PERADI, setiap calon advokat melaksanakan program magang di Kantor Advokat yang memenuhi syarat untuk ditempati magang yang di koordinasi oleh PERADI.

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melaksanakan pengangkatan calon advokat yang telah memenuhi syarat menjadi advokat, kemudian penyumpahan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat sesuai dengan domisli calon advokat yang diusulkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ke Ketua Pengadilan Tinggi.

Seorang advokat dalam menjalankan profesinya dalam keseharian tentunya berhadapan dengan berbagai kalangan penegak hukum juga berhubungan dengan masyarakat, dalam hal ini penegak hukum serta masyarakat yang merasakan dirugikan oleh seorang advokat dalam menjalankan profesinya maka penegak hukum serta masyarakat dapat melaporkan dugaan pelanggaran kode etik ke Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melalui Dewan Kehormatan Daerah PERADI terdekat. Oleh karena itu Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI) melalui Dewan Kehormatan Daerah PERADI menjalankan tugasanya melakukan penegakan kode etik advokat. Sedangkan pengawasan tingkah laku advokat dilakukan oleh Komisi Pengawas Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI).

Mengenai fungsi dan kedudukan advokat, undang-undang pun telah mengakui eksistensinya dalam memberikan jasa bantuan hukum. Dalam Pasal 1 butir 1 UU Advokat telah ditegaskan, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Sedangkan jasa hukum yang diberikan advokat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 butir 2 UU Advokat).Undang-undang Advokat mengakui eksistensi advokat sebagai penegak hukum, hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat, Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum diberikan kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan kepada advokat. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan kesejajaran diantara aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan. Sementara UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai organ negara yang menjalankan fungsi negara. Yang membedakan Advokat dengan penegak hukum lain adalah advokat merupakan lembaga privat yang berfungsi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih baik.Karena itulah, untuk menunjang eksistensi advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada advokat. Kewenangan advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (hakim, jaksa, polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya.

Dalam UU No. 18 Tahun 20013 tentang Advokat hanya mengatur tentang hak dan kewajiban Advokat. Hak dan kewajiban Advokat diatur dalam Pasal 14-Pasal 20. Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 17). Dalam membela kepentingan klien, seorang Advokat harus menjaga kerahasiaan segala sesuatunya. Hal ini diatur dalam Pasal 19 UU Advokat:

(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.

(2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Sejak terbentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI ) yang merupakan perwujudan dari Undang-Undang Advokat (UU No.18 Tahun 2003) yang telah menjalankan amanat Undang-Undang Advokat (UU No.18 Tahun 2003) tetapi dalam perjalanannya ada yang mengaku sebagai organisasi yang sah dan merupakan perwujudan dari UU Advokat yaitu Konggres Advokat Indonesia (KAI), Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). Selanjutnya organisasi yaitu Konggres Advokat Indonesia (KAI), Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) juga melakukan tugas dan wewenang yang sama seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Munculnya organisasi yang mengaku juga sebagai organisasi yang sah mengakibatkan Advokat sebagai salah satu catur wangsa penegak hukum di Indonesia fungsi, tugas menjadi tidak maksimal dalam penegakan hukum di Indonesia untuk mewujudkan keadilan di masyarakat.

Munculnya lembaga/organisasi lain selain Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) tentunya sangat merugikan masyarakat pencari keadilan karena standar pelayanan hukum, konsultasi hukum maupun bantuan hukum tidak terstandar serta tingkah laku advokat dalam memahami dan advokat dalam menjalankan profesinya sering mengabaikan kode etik.

Dalam praktiknya di masyarakat, advokat selain anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) juga banyak berpraktik sebagai advokat dan juga di terima oleh penegak hukum lainnya. Disamping ada yang mengaku sebagai organisasi yang sah sesuai dengan UU Advokat, UU Advokat mengalami serangakaian ujian yaitu uji materiil (judicial review). Bahwa UU advokat diujikan ( judicial review ) terhadap UUD 1945. Terhadap hasil uji materiil UU advokat terhadap organisasi advokat telah diputuskan bahwa organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ Negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara hal ini dikuatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 dengan bunyi organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara. Dengan demikian profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum baik pidana, perdata, tata usaha Negara selalu melibatkan advokat. Oleh karena itu profesi advokat telah dijamin kemerdekaan dan kebebasanya dalam Undang- Undang Advokat. Untuk itu, perlu adanya sebuah regulasi dari PERADI yang mengatur mengenai lembaga advokat tersebut dan sangat diperlukan rekonstruksi Undang-Undang Advokat. Hal ini bertujuan agar tidak muncul lembaga advokat lain atau organisasi advokat lain selain Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Ini bertujuan agar masyarakat pencari keadilan tidak dirugikan oleh standar pelayanan hukum, konsultasi hukum maupun bantuan hukum yang tidak terstandar serta tingkah laku advokat yang sering mengabaikan kode etik dalam menjalankan profesinya.

Kemedekaan dan kebebasan profesi advokat tentu harus diiikuti tanggungjawab advokat. Tanggungjawabnya yaitu : ikut menentukan kebijakan dalam system peradilan. Mengawasi proses peradilan dan aparat penegak hukum, melindungi dan mengutamakan kepentingan hukum kliennya, serta memberikan bantuan kepada rakyat kecil.

Sebagai konsekuensi yang logis, advokat sebagai salah satu penegak hukum haruslah dijamin dengan suatu kaidah hukum yang kuat untuk menjamin prosesionalisme seorang advokat dalam menjalankan profesinya dalam mewujudkan keadilan di masayarakat. Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance) untuk mewujudkan kedailan adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalam peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut diatas memang advokat dapat dikatakan sebagai public defender bahkan disebut sebagai the guardian of the constitution karena sebagai pembela konstitusi kalau ada pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga perlu adanya penelitian lebihlanjut tentang REKONSTRUKSI PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBAGAI PENEGAK HUKUM DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BERBASIS HUKUM PROGRESIF termasuk permasalahannya dan solusinya dalam menyingkapi kendala-kendala yang muncul dilapangan berkaitan dengan tugas, fungsi advokat.

B. FOKUS STUDI DAN PERUMUSAN MASALAH

Kajian ini difokuskan pada kedudukan hukum advokat didalam praktik menjalankan profesinya yaitu rekonstruksi advokat sebagi penegak hukum dengan berpijak pada peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia untuk mewujudkan keadilan di Indonesia yang lebih difokuskan pada penanganan perkara-perkara.

Oleh karena itu uraian tentang rekonstruksi advokat sebagai penegak hukum yang didasarkan peraturan perundang-undangan dalam mewujudkan keadilan di Indonesia (Restorative Justice) pada pilihan advokat sebagai penegak hukum yang mendasari kebijakan pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan advokat.

Kebijakan dan hukum adalah suatu komponen yang tidak terpisah. Hukum merupakan tujuan sekaligus sebagai jembatan yang akan membawa manusia kepada ide yang dicita-citakan. Tujuan bangsa Indonesia tercantum dalam alinea ke- 4 Pembukaan UUD RI 1945. Hukum memiliki hubungan erat dengan proses-proses kebijakan yang melatarbelakanginya. Kebijakan hukum, advokat (dibidang hukum pidana) pada tugas, fungsi dan kewenangan advokat sebagai penegak hukum, patut diduga menimbulkan banyak permasalahan tidak bekerjanya hukum secara efektif dan efisien.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Mengapa perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, saat ini tidak berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dalam mewujudkan keadilan?2. Apakah kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan saat ini?3. Bagaimana rekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan berbasis hukum progresif?C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengungkap latar belakang atau faktor yang mempengaruhi berjalannya atau tidak perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan sehingga penelitian ini diharapkan menggambarkan dan menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam menjalankan profesinya dalam mewujudkan keadilan.

2. Mampu memahami kelemahan-kelemahan pelaksanaan perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan sehingga para penegak hukum lainya mengetahui tugas, fungsi dan peran advokat, sehingga dapat melindungi kepentingan masyarakat pencari keadilan dan dapat mewujudkan peradilan yang fair dan adil.

3. Untuk merekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam menjalankan proses peradilan berbasis hukum progresif, sehingga konstruksi baru tersebut khususnya dalam bentuk konstruksi perlindungan hukum advokat serta kewenangan advokat dalam mewujudkan keadilan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan positif bagi kajian ilmu pengetahuan bagi kalangan advokat

1. Manfaat Teoritis.

Hasil penelitian ini secara teori diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan wawasan para advokat dalam menjalankan profesinya.

2. Manfaat Praktis.

a. Bahan kajian tentang tugas dan peran advokat secara praktis dapat digunakan oleh para advokat dalam menjalankan profesinya secara professional.

b. Untuk dapat melengkapi kajian hukum bagi penyusunan peraturan perundangan dalam tata hukum negara Republik Indonesia

E. KERANGKA PEMIKIRAN

BAGAN I

ALUR KERANGKA PEMIKIRAN DISERTASI

BAGAN II

ALUR KERANGKA PEMIKIRAN DISERTASI

BAGAN III

KERANGKA UMUM RISET DISERTASI

BAGAN IVLANGKAH-LANGKAH DALAM RISET DISERTASI

F. METODE PENELITIAN

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu rekonstruksi pemikiran atau gagasan serta teori baru mengenai tugas dan perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum.Gagasan atau teori baru ini dibangun dari perspektif Hukum Progresif. Progresif berarti hukum yang bersifat maju. . Hal ini dimaksudkan karena istilah hukum progresif yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini salah satu permasalahannya adalah tentang mengapa advokat sebagai penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menggunakan pendekatan penelitian socio legal (socio legal research). Disamping itu, karena penelitian ini dimaksudkan juga untuk menghasilkan suatu rekonstruksi pemikiran atau gagasan serta teori baru tentang peraturan advokat mengenai tugas dan perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan.Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Dimana salah satu jenis penelitian hukum dimaksud, adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum sebagai norma. Penelitian hukum tersebut dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atu konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah dalam penelitian ini.3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, karena penelitian yang akan dilakukan ini ditujukan untuk mencari atau menemukan data-data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan, yang kemudian akan dijabarkan atau dijelaskan atau dipaparkan untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan holistik tentang jawaban atas permasalahan yang dibahas.

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual (conseptualical approach), pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum,peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirjkan pengertian-pengertian hukum,konsep-konsep hukum,dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Strategi untuk mendapatkan data atau informasi (aspek metodologis) ditempuh dengan logika induktif. Menurut Sudarto, Logika Induktif ialah cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah-masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan bersifat umum. Digunakan metode induktif dengan upaya eksplanasi untuk memperoleh simpulan/bukti ada tidaknya hubungan antar fakta, yaitu fakta social dan fakta hukum.

Penelitian ini dititikberatkan pada langkah-langkah pengamatan dan analisa yang bersifat empiris. Pendekatan penelitian ini akan dilakukan pada Kantor Advokat di Propinsi Jawa Tengah, Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dimana dalam hal ini sebagai bahan penelitian. Sedangkan dari yuridis/legal ditekankan pada doktrinal hukum, melalui peraturan-peraturan yang berlaku.

Permasalahan yang diangkat dalam rencana penelitian (proposal) ini antara lain bersifat socio legal, maka pendekatan utama yang dipakai adalah pendekatan socio legal (socio legal approach), dalam konteks ini institusi hukum tidak dipahami sebagai entitas normatif, melainkan akan dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem sosial yang berada dalam kondisi saling terkait dengan variabel sosial yang lain, dengan demikian fokus penelitian ini adalah membuat deskripsi tentang realitas sosial dan hukum, serta berusaha memahami dan menjelaskan logika keterhubungan logis antara keduanya.

Kenyataan hukum dan kenyataan dalam masyarakat akan dikaji secara bersamaan dan berimbang, dimana satu sisi akan diteliti semua keadaan yang ditimbulkan oleh hukum dalam masyarakat, dan pada bagian yang lain akan diteliti proses kemasyarakatan yang mendukun ataupun tidak mendukung atau melemahkan keberlakuan hukum. Selain itu untuk mencapai tujuan yang diharapkan, penulis akan menggunakan juga pendekatan-pendekatan berikut secara terpadu, yaitu :

a. Pendekatan sejarah (historical approach), digunakan untuk menganalisa sejarah advokat di Indonesia dari zaman pra kemerdekatan, pasca kemerdekaan dan pasca lahirnya UU Advokat.

b. Pendekatan Hukum Dogmatis (yuridis dogmatis approach) digunakan sebagai sarana mengkaji penerapan aturan UU Advokat Indonesia dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan advokat demi mewujudkan keadilan indonesia yang berbasis hukum progresif .

c. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), digunakan untuk mengkaji harmonisasi hukum yang memuat dan akan memuat ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pelaksanaan UU Advokat oleh para advokat dalam penegakan hukum Indonesia.

d. Pendekatan perbandi ngan (comparative approach), digunakan untuk mengkaji tentang tugas, fungsi dan kewenangan advokat yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan beberapa aturan lain yang terkait dengan keberadaan Advokat di negara-negara modern.

e. Pendekatan konseptual (conseptual approach), digunakan untuk menyusun konsepsi tentang rekonstruksi peraturan advokat yang mengatur tugas, fungsi serta kewenangan advokat.

f. Pendekatan filosofis (philosophical approach), digunakan untuk mengkaji dari sisi filsafat tentang beberapa kelemahan pelaksanaan tugas advokat sebagai salah satu penegak hukum dalam mewujudkan keadilan di Indonesia, mengapa pelaksanaan tugas advokat tidak berjalan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat, serta mengenai rekonstruksi tugas advokat sebagai salah penegak hukum.

Penggunaan beberapa jenis pendekatan diatas secara terpadu dalam penelitian ini, didasari oleh pendapat Sunaryati Hartono bahwa dalam rangka menganalisa fenomena sosial seringkali dibutuhkan berbagai metode dan pendekatan, meskipun demikian, dalam praktik metode penelitian hukum tetap mendominasi penelitian bidang ilmu hukum.

4. Metode Penentuan Sampel

Metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah dengan metode purposive non random sampling (tidak acak). Non Random Sampling merupakan cara pengambilan sampel secara tidak acak dimana masing-masing anggota tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih anggota sampel. Ada intervensi tertentu dari peneliti dan biasa peneliti menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya.Penelitian akan dibatasi dengan cara melakukan wawancara terhadap beberapa aparat penegak hukum yang berkompeten dan memahami pelaksanaan tugas dan perlindungan hukum advokat di luar maupun di dalam proses persidangan yakni Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, Hakim, serta advokat di Wilayah Jawa Tengah.Objek penelitiannya yaitu implementasi lembaga advokat kaitannya penegakan hukum kepada lembaga advokat kaitannya penegakan hukum dalam proses peradilan dalam tata hukum Negara Republik Indonesia terhadap profesionalisme advokat dalam menjalankan profesinya.5. Sumber data

a. Data Primer

Data primer merupakan data atau fakta-fakta yang diperoleh langsung melalui penelitian di lapangan termasuk keterangan dari responden yang berhubungan dengan objek penelitian yaitu aparat penegak hukum diantaranya adalah Kepolisian, Jaksa, Hakim, serta advokat di Wilayah Jawa Tengah, para akademisi dan masyarakat. Pemilihan responden dengan metode purposive non random sampling (tidak acak). Maksudnya masing-masing anggota tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel. Pertimbangan Penulis, agar peneliti dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Sehingga data yang diperoleh benar-benar sesuai dengan masalah penelitian yang diambil.b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka dan studi dokumenter guna memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah litaratur-literatur hukum yang relevan dengan permasalahan, sedangkan studi dokumenter dilakukan dengan menelaah dokumen yang diperoleh dari subyek penelitian. Bahan hukum yang diperlukan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, sebagai berikut :

1) Bahan hukum primer yang berupa ketentuan perundang-undangan, antar lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981);

c. Undang-Undang Advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003);

d. Undang-Undang Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002);

e. Undang-Undang Kejaksaan RI (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 );

f. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor : 48 Tahun 2009 ) dan peraturan yang terkait.2) Bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan para ahli bidang hukum dan bidang-bidang lain yang terkait dengan penelitian ini. Yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undangan, hasil-hasil penelitian, dan seterusnya. Selain itu juga dirasa perlu untuk menelaah dan mengkaji ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan advokat sebagai salah satu pelaku penegak hukum demi mewujudkan keadilan Indonesia.

3) Bahan hukum tersier

Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperi kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.6. Metode Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada beberapa responden. Kemudian data yang diperoleh dari hasil wawancara tersebut dikumpulkan dan disusun untuk selanjutnya dianalisa.

Pengumpulan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi dan studi kepustakaan untuk melakukan penelusuran literatur hukum. Pengumpulan bahan hukum ini dilakukan dengan cara mencari segala peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, baik yang bersifat legislation maupun regulation bahkan juga delegated legislasion dan delegated regulation.

Bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan melakukan penelusuran literatur hukum baik terhadap bahan hukum cetak maupun bahan hukum yang diunduh dari online. Bahan hukum yang tidak tertulis akan ditelusuri melalui hasil penelitian hukum yang pernah dilakukan di beberapa daerah yang dipublikasikan baik oleh peneliti perguruan tinggi maupun oleh peneliti independen. Bahan hukum berupa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap akan diperoleh dari yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI dan situs direktori putusan Mahkamah Konstitusi RI.

Peneliti akan melakukan inventarisasi, kualifikasi, pemhaman, penafsiran bahan-bahan hukum sekunder tersebut. Kemudian akan dihubungkan dengan beberapa teori yang berkaitan dengan tugas advokat.

Bahan-bahan hukum yang sudah diperoleh tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan dalam penelitian ini, serta untuk menggali teori-teori dasar dan konsep-konsep dasar, juga untuk mengikuti perkembangan teori dalam bidang yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti guna memperoleh orientasi yang lebih luas dan holistik terhadap permasalahan yang akan diteliti, dan untuk menghindari duplikasi penelitian. 7. Metode Analisa Data dan Bahan Hukum

Data primer yang diperoleh dari lapangan akan dikumpulkan, diinventarisasi, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif induktif, untuk menggambarkan keadaan keseluruhan obyek penelitian secara umum, yang selanjutnya akan dipadukan dengan data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil studi pustaka.

Adapun data primer maupun data sekunder berupa bahan hukum yang sudah diperoleh, selanjutnya akan diklasifikasikan sesuai urutan rumusan permasalahan yang akan diteliti, kemudian dianalisa. Analisa data dilakukan dengan berbagai cara interpretasi, yaitu interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, historis, fungsional, futuristik, dan interpretasi secara hermeneutika hukum.

Analisa data dan bahan hukum dalam penelitian ini merupakan suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap semua data dan bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian. Peneliti akan menggunakan cara berpikir secara induktif.Strategi untuk mendapatkan data atau informasi (aspek metodologis) ditempuh dengan logika induktif. Menurut Sudarto, Logika Induktif ialah cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah-masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan bersifat umum. Digunakan metode induktif dengan upaya eksplanasi untuk memperoleh simpulan/bukti ada tidaknya hubungan antar fakta, yaitu fakta social dan fakta hukum.

Penelitian ini dititikberatkan pada langkah-langkah pengamatan dan analisa yang bersifat empiris. Pendekatan penelitian ini akan dilakukan pada Kantor Advokat di Propinsi Jawa Tengah, Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dimana dalam hal ini sebagai bahan penelitian. Sedangkan dari yuridis/legal ditekankan pada doktrinal hukum, melalui peraturan-peraturan yang berlaku.G. ORISINALITAS / KEASLIAN PENELITIANNo.Penyusun DisertasiJudul DisertasiHasil Penelitian DisertasiPerbedaan dengan Disertasi Promovendus

1. Solehuddin

Universitas Brawijaya (UB)

Kewenangan Advokat Dalam Penegakan Hukum- Kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum sebagai penegak hukum dan profesi terhormat. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh kewenangan sama dengan halnya dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa dan hakim.

- Organisasi advokat pada dasarnya organ dalam arti yang luas dan bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Untuk itu organisasi advokat seharusnya mempunyai kewenangan yang jelas.- Penelitian ini memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk menerbitkan PP sebagai aturan pelaksana dari UU No. 18 Tahun 2003. PP ini akan digunakan untuk memastikan terlaksananya tugas dan wewenang advokat yang memerlukan jaminan dalam sebuah konstitusi.- Faktor penyebab pelaksanaan tugas dan perlindungan advokat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah:

1. Menurut hakim Sumedi, bahwa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tugas tidak sesuai dengan perundang-undangan adalah belum adanya kesadaran organisasi advokat.

2. Menurut Advokat Sulistyowati, latar belakang yang mempengaruhi pelaksanaan tugas advokat tidak sesuai dengan peraturan yang ada adalah sebagai berikut:

a. kurangnya komitmen terhadap profesi advokat;

b. kurangnya menjunjung tinggi integritas moral;

c. kurangnya memahami tugas dan fungsi profesi advokat.

3. Berdasarkan penuturan Advokat Abdul Fickar Hadjar, Penyebab pelaksanaan tugas advokat tidak berjalan sesuai dengan UU Advokat adalah karena beralihnya fungsi profesi advokat dari dunia penegakan hukum bergeser nilai-nilainya dari ranah untuk mencari kebenaran menjadi ranah industri yang dipenuhi dengan hiruk pikuk para investor, produsen, konsumen yang memperdagangkan kebenaran.- Penelitian ini memberikan rekomendasi untuk merekonstruksi beberapa norma yang ada dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat agar pelaksanaan tugas dan perlindungan hukum advokat berjalan efektif dan sesuai dengan peraturan yang ada.

2.Fabian M. Rompis

Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ManadoKewenangan Advokat di dalam Sistem Peradilan Pidana Guna Menunjang Sistem Peradilan Terpadu

- Kewenangan advokat sebagai penegak hukum ialah guna memberikan bantuan hukum kepada kliennya dengan masalah hukum yang dihadapi. Kewenangan advokat merupakan lembaga penegak hukum di luar pemerintahan.

- Peranan seorang advokat dalam rangka menuju sistem peradilan pidana terpadu sangat diperlukan hingga tercapai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.- Peran Advokat dalam hukum pidana sangat penting namun, advokat juga berperan penting dalam berbagai bidang hukum lain (teori hukum multi disipliner), seperti bidang hukum pidana, perdata, tata usaha negara, hukum kepailitan dan hukum islam.- Dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat jelas ditegaskan bahwa advokat adalah penegak hukum disebut sebagai penegak hukum yang mendampingi terdakwa dalam persidangan cukup kuat, tidak hanya sebagai obyek tetapi subyek bersama para aparat penegak hukum lainnya untuk menemukan putusan yang adil dalam proses peradilan pidana.

3.Setiyono

Universitas Trisakti

JakartaKajian Yuridis Mengenai Hak Imunitas Advokat- Pengertian hak imunitas advokat sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 UU Advokat maka pada kenyataannya masih terdapat ketidakseragaman pemahaman dalam praktek mengenai hak imunitas advokat.- Ketidakseragaman pemahaman mengenai hak imunitas advokat tersebut tidak hanya muncul dari aparat penegak hukum lain namun juga muncul dari kalangan profesi advokat itu sendiri. Ketidakseragaman itu menurut advokat senior, Frans Hendra Winarta telah menimbulkan banyak kesalahartian dalam memahami hak imunitas advokat. Sebelum memahami alasan mendasar mengenai hak imunitas perlu adanya pemahaman tentang alasan perlu diberikannya hak imunitas kepada advokat karena berkaitan dengan sifat profesi advokat sebagai suatu profesi yang bebas, mandiri, dan independen sehingga dalam melaksanakan tugas profesinya maka advokat harus bebas dari tekanan, paksaan dan juga harus terbebas dari rasa takut khususnya terhadap jeratan praturan perundangan yang akan membuat ketidakbebasan dalam melaksanakan tugas profesinya.

- Tolak ukur diperlukan untuk membantu dan menjadi landasan untuk memahami hak imunitas advokat. Tolak ukur tersebut sebagai berikut:

1. hak imunitas advokat tersebut hanya berlaku selama dan pada saat advokat melaksanakan tugas profesi;

2. penggunaan hak imunitas advokat tersebut harus didasarkan pada iktikad baik dari advokat;

3. itikad baik tersebut harus diartikan bahwa dalam melaksanakan tugas profesinya maka advokat wajib mematuhi dan tidak melanggar peraturan yang berlaku;

4. selain kepatuhan terhadap peraturan, advokat juga harus mematuhi KEAI.- Meskipun tidak ada penjelasan resmi mengenai hak imunitas dalam UU Advokat namun dapat diberikan jawaban secara gamblang bahwa advokat memiliki hak imunitas karena advokat memiliki kepentingan klien. Pengaturan tentang hak imunitas dapat disimak dari Pasal 14 hingga Pasal 19 UU Advokat, tepatnya pada Bab IV tentang hak dan kewajiban.- Advokat seringkali tidak menyadari sepenuhnya bahwa ia mempunyai hak imunitas. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan hak imunitas belum ditegakkan sepenuhnya. Selain itu, aparat penegak hukum lain tidak mengetahui atau tidak peduli dengan hak imunitas dalam UU Advokat maupun ketentuan mengenai sanksi terhadap advokat dalam KEAI.

- Pengaturan secara tegas dalam UU Advokat diperlukan sehingga rekonstruksi norma-norma dalam UU Advokat yang mengatur tentang hak kekebalan ini perlu dilakukan. Yakni dengan merekonstruksi beberapa pasal yang mengatur tentang hak imunitas yakni Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) UU Advokat.

H. SISTIMATIKA PENULISANHasil penelitian ini pada akhirnya akan disusun dalam bentuk disertasi, yang terdiri dari 6 bab, yaitu sebagai berikut :

Bab I merupakan Pendahuluan, berisi Latar Belakang Permasalahanxe "Permasalahan", Permasalahan, Tujuan Penelitianxe "Penelitian", Kegunaan Penelitian, Kerangkaxe "Kerangka" Pemikiranxe "Pemikiran", Metodexe "Metode" Penelitian, Orisinalitas/Keaslian Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II adalah Kajian Teorixe "Teori", berisi Kerangkaxe "Kerangka" Konseptualxe "Kerangka Konseptual", Kerangka Teori dan Rekonstruksi Perlindungan Hukum Advokat sebagai Penegak Hukum dalam Mewujudkan Keadilan.Bab III merupakan bab yang akan membahas hasil penelitian untuk menjawab mengapa perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, saat ini tidak berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dalam mewujudkan keadilan.

Bab IV merupakan bab yang akan membahas hasil penelitian untuk menjawab apa saja kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan saat ini.

Bab V merupakan bab yang akan membahas hasil penelitian untuk menjawab bagaimana rekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan berbasis hukum progresif.Bab VI adalah bab penutup yang akan memuat tentang simpulan hasil penelitian, saran-saran dan implikasi kajian disertasi.

UU ADVOKAT (UU No. 18 Tahun 2003)

LEMBAGA ADVOKAT

HUKUM FORMIL

HUKUM MATERIIL

KOMPONEN PENEGAK HUKUM

JAKSA

HAKIM

POLISI

ADVOKAT

INKONSISTENSI

PENEGAKAN HUKUM

Rekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan.

UU ADVOKAT ( UU NO.18 Tahun 2003 )

Lembaga Advokat

HUKUM MATERIIL

HUKUM FORMIL

KOMPONEN PENEGAK HUKUM

JAKSA

HAKIM

POLISI

ADVOKAT

INKONSITENSI LEMBAGA ADVOKAT SEBAGAI PENEGAK HUKUM

Rekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan

UU ADVOKAT ( UU No.18 Tahun 2003 )

LEMBAGA ADVOKAT

HUKUM MATERIIL

HUKUM FORMIL

KOMPONEN PENEGAK HUKUM

JAKSA

HAKIM

POLISI

ADVOKAT

POLA PERUBAHAN

Rekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan

Ps 1 ayat 1 .UU No.48 Tahun 2009 ( UU Kekuasaan Kehakiman ) jo UU No.3 Tahun 2009 ( UU Mahkamah Agung jo UU no.2 1Tahun 2011 ( UU Mahkamah Konstitusi )

Ps 2 ayat 1. UU No.16 Tahun 2004 ( UU Kejaksaan RI )

Ps 2 . UU No.2 Tahun 2002 ( UU Kepolisian )

Ps 5. Ayat 1. UU No.18 tahun 2003 ( UU Advokat )

NILAI NILAI KEADILAN

UU Advokat ( UU No.18 Tahun 2003)

LEMBAGA ADVOKAT

TUGAS DAN WEWENANG LEMBAGA /ORGANISASI ADVOKAT SESUAI UU ADVOKAT

Mahkamah Agung RI

-Pengangkatan Advokat

-Penegakan Kode Etik Advokat

-Pengawasan advokat

LEMBAGA / ORGANISASI ADVOKAT

Sumpah Advokat

Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI )

Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Ujian Advokat

Magang Calon Advokat

Pengangkatan Advokat

Pengawasan Advokat

Penegakan Kode Etik Advokat

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)

Konggres Advokat Indonesia

(KAI)

Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN)

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010

Tanggal 25 Juni 2010

PENDEKATAN

SOSIOLOGIS

Praktik di dalam masyarakat terjadi Inkonsistensi lembaga advokat sebagai penegak hukum

STUDI

HUKUM

KRITIS

Pemahaman tentang Lembaga Advokat

Pemahaman tentang Advokat

PRAKTIS :Untuk meningkatkan dan memperkuat eksistensi lembaga advokat sebagai penegak hukum untuk bermatrtabat, berwibawa dan professional yang berbasis pada keadilan masyarakat

TEORITIS ; Memberikan solusi terbaru tentang lembaga advokat melalui evaluasi terhadap peraturan yang dipandang telah tertinggal yang perlu pembaruan untuk lembaga advokat sebagai penegak hukum untuk mewujudkan keadilan masyarakat

Konstruksi Advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan

SIMPULAN/HASIL TEMUAN,FENOMENA Rekontruksi perlindungan hukum Advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan di Indonesia

KONSTRIBUSI

UU Advokat ( UU No.18 Tahun 2003)

LEMBAGA ADVOKAT

TUGAS DAN WEWENANG LEMBAGA /ORGANISASI ADVOKAT SESUAI UU ADVOKAT

Mahkamah Agung RI

-Pengangkatan Advokat

-Penegakan Kode Etik Advokat

-Pengawasan advokat

LEMBAGA / ORGANISASI ADVOKAT

Sumpah Advokat

Perhimpunan Advokat Indonesia ( PERADI )

Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Ujian Advokat

Magang Calon Advokat

Pengangkatan Advokat

Pengawasan Advokat

Penegakan Kode Etik Advokat

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)

Konggres Advokat Indonesia

(KAI)

Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN)

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010

Tanggal 25 Juni 2010

Pendekatan : Teori Negara Hukum ;

Teori Penegakan Hukum ;

Teori hukum responsif

PENDEKATAN

SOSIOLOGIS

Praktik di dalam masyarakat terjadi Inkonsistensi lembaga advokat sebagai penegak hukum

STUDI DOKUMEN, OBSEVARSI,INTEREVIW

SUMBER INFORMASI

PIHAK TERAFIKASI, MASYARAKAT,AHLI HUKUM

Konstruksi advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan di Indonesia

ANALISA

ANALISA

DATA DOKUMEN, DATA OBSEVARSI, DATA WAWANCARA

SIMPULAN/HASIL TEMUAN,FENOMENA Rekonstruksi perlindungan hukum advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1983, hlm.3.

AR. Mustopadidjaja, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN, Makalah Seminar Pembangunan Nasional VIII, Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Kesepakatan Bersama antara Komisi Nasional Anti Kekerasan terhada Perempuan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Perhimpunan Advokat Indonesia Tentang Akses Keadilan bagi perempuan Korban Kekerasan pada tanggal 23 November 2011;

Ibid Kesepakatan Bersama antara Komisi Nasional Anti Kekerasan terhada Perempuan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Perhimpunan Advokat Indonesia Tentang Akses Keadilan bagi perempuan Korban Kekerasan pada tanggal 23 November 2011;

Wildan Suyuthi, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, Jakarta: Pusdiklat MA-RI, 2004, hlm. 7.

K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 11-15.

Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2003, hlm. 316-317.

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma bagi Penegak Hukum), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, hlm. 115.

ibid., hlm 165.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 4-5

Ria & Partners, Peran Kode Etik Bagi Advokat dalam Menjalani Profesi, HYPERLINK "http://riaadvocate.com/?p=476" http://riaadvocate.com/?p=476, diposting pada 11 Oktober 2013 dan diakses pada 4 Oktober 2014, pukul 16.48 WIB.

Mafia Hukum dan Moralitas Penegak Hukum, artikel Suara Pembaruan, 3 April 2010, oleh Febiana Rima, Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya Jakarta.

Moh,Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006 hlm 17

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2007, hlm. 7

Soerjono Soekanto dan sri Mamudji, Metode Penelitian Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlm. 2

Dewi, Pendekatan dalam Penelitian Hukum, HYPERLINK "http://imoetlah.blogspot.com/2012/01/pendekatan-dalam-penelitian-hukum.html" http://imoetlah.blogspot.com/2012/01/pendekatan-dalam-penelitian-hukum.html, diposting pada Kamis, 12 Januari 2012, diakses pada 11 November 2014

Sudarto, Metode Peneltian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo, 2002, hlm 57.

Sotandyo Wignjosoebroto (II) Sebuah Pedoman Ringkas Tentang Tata cara Penulisannya, Disertasi, Lab Sosiologi FISIPOL,Univ. Airlangga, 2007,hlm.30.

Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung: Alumni, 1976, hlm. 17

Peter Mahmud Marzuki, op. cit., hlm. 125

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1991, hlm. 21

Neuman, W.Lawrence, Penelitian Sosial Metode: Pendekatan kualitatif dan kuantitatif, Amerika Serikat: University of Wisconsin, 2006, hlm. 227-234

Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 22

Peter Mahmaud Marzuki, op.cit., hlm. 194

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 102

Sudarto. Metode Peneltian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo, 2002, hlm 57

Sotandyo Wignjosoebroto (II) Sebuah Pedoman Ringkas Tentang Tata cara Penulisannya, Disertasi, Lab Sosiologi FISIPOL,Univ. Airlangga, 2007, hlm.30

1