bab i

23
BAB I SELAYANG PANDANG 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia berkembang selaras dengan alam. Bentuk mula kehidupan manusia mengerti betul bahwa alam tidak bisa dipisahkan dari mereka. Mereka belajar bertahan hidup, mengambil apa yang diperlukan secukupnya tanpa merusak dan memahami bahwa keberadaan mereka merupakan salah satu sub-sistem dari kumpulan berbagai macam sub-sistem dalam suatu rangkaian besar sistem lingkungan hidup. Bahkan, di beberapa kebudayaan awal alam dipuja sebagai Tuhan, yang menunjukkan bahwa dulu manusia mempunyai kerendahan hati untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada alam. Saat revolusi industri dimulai di abad ke-18, alam mulai dilupakan. Manusia seolah menemukan “dewa” baru yang membuat hidup lebih mudah dan praktis. Alam sudah bukan lagi sahabat, bahkan dipandang sebagai penghambat kemajuan peradaban. Maka, dimulailah pembantaian besar- 1

Upload: chopya-myrgh-kerenza-sumino

Post on 11-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

green

TRANSCRIPT

BAB I

SELAYANG PANDANG1.1 Latar BelakangPada hakikatnya, manusia berkembang selaras dengan alam. Bentuk mula kehidupan manusia mengerti betul bahwa alam tidak bisa dipisahkan dari mereka. Mereka belajar bertahan hidup, mengambil apa yang diperlukan secukupnya tanpa merusak dan memahami bahwa keberadaan mereka merupakan salah satu sub-sistem dari kumpulan berbagai macam sub-sistem dalam suatu rangkaian besar sistem lingkungan hidup. Bahkan, di beberapa kebudayaan awal alam dipuja sebagai Tuhan, yang menunjukkan bahwa dulu manusia mempunyai kerendahan hati untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada alam.Saat revolusi industri dimulai di abad ke-18, alam mulai dilupakan. Manusia seolah menemukan dewa baru yang membuat hidup lebih mudah dan praktis. Alam sudah bukan lagi sahabat, bahkan dipandang sebagai penghambat kemajuan peradaban. Maka, dimulailah pembantaian besar-besaran oleh manusia terhadap bumi. Hutan dibabat untuk membuat lahan sebagai lokasi industri dan pemukiman, gunung dan bukit diratakan sebagai jalur transportasi untuk mempermudah distribusi dan mobilitas. Laut, sungai dan sumber air lainnya disalahgunakan sebagai sasaran pembuangan limbah. Belum lagi berbagai sumber daya alam yang dieksploitasi habis-habisan tanpa mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang.Dalam dunia modern dimana industri dipandang sebagai tulang punggung kehidupan, manusia memposisikan alam sebagai objek dan faktor eksternal yang tidak ada sangkut pautnya dengan keberlangsungan hidup. Manusia mengambil, mengeksploitasi, merusak, untuk kemudian meninggalkannya dalam keadaan kerontang karena dihisap kehidupannya.Dalam Bahasa Inggris, bumi disebut sebagai Mother Earth. Dalam Bahasa Indonesia, dikenal istilah Ibu Pertiwi. Sebutan itu merupakan sebuah simbol. Bumi diibaratkan sebagai seorang ibu. Seorang ibu pasti menyayangi anak-anaknya. Membelai, menimang, dan memeluk mereka penuh cinta. Namun, seorang ibu juga pasti marah kalau anaknya nakal, membuat keributan, merusak dan bertingkah di luar batas. Begitu pula bumi. Bumi menaungi kehidupan manusia sejak bentuk pertama organisme berkembang. Ia menyertai evolusi manusia, merawat mereka dengan tubuhnya, menyediakan sumber kehidupan tak terbatas sehingga akhirnya tahap evolusi itu menjadi sempurna, yaitu ketika manusia menduduki posisi sebagai puncak rantai makanan diantara semua makhluk hidup.

Selama itu pula manusia dan bumi adalah sahabat baik. Sehingga ketika kini manusia, yang merasa mempunyai hak sepenuhnya atas bumi merusak dan mengeksploitasi alam tanpa pandang bulu atas nama kemajuan, maka bumi pun marah seperti seorang ibu marah pada anaknya.Banyaknya bencana alam dahsyat dengan dampak yang sebelumnya tidak pernah dikenal manusia, munculnya penyakit-penyakit aneh, pencemaran udara, maupun anomali cuaca dan musim yang menjadikan hidup di bumi terasa semakin tidak nyaman. Bumi pun menjadi musuh dalam selimut, alam sudah tidak lagi bersahabat.Sebenarnya kemajuan bukanlah hal yang buruk. Hal tersebut merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam peradaban manusia. Namun, euforia manusia akan pesona baru industri membuat lupa terhadap hal lain yang menunjang kehidupan, seperti lingkungan. Kemajuan dan efisiensi dianggap segalanya, yaitu tujuan yang harus dicapai oleh umat manusia dengan cara apapun.Begitu banyaknya kasus-kasus menghebohkan tentang dampak kerusakan lingkungan oleh industri terhadap manusia yang semakin lama terdengar semakin mengerikan. Kasus internasional yang paling gencar publikasinya dan yang gaungnya pertama kali menyentak hati umat manusia adalah Tragedi Minamata yang terjadi di Jepang pada tahun 1959. Tragedi tersebut terjadi akibat limbah industri dari sebuah pabrik tidak diolah dan dibuang begitu saja di sebuah teluk kecil yang menjadi pusat mata pencaharian penduduk setempat. Akumulasi bertahun-tahun dari tumpukan limbah tersebut menjadi bom waktu yang merusak segala bentuk kehidupan. Begitu banyak manusia dan hewan yang menjadi korban, penyakit aneh yang tidak ditemukan obatnya, biaya rehabilitasi dan reklamasi yang begitu tinggi, hilangnya sumber mata pencaharian, belum lagi lamanya waktu yang diperlukan untuk pulih dari tragedi itu (Https://theknightman.wordpress.com/). Kasus Teluk Minamata seakan menjadi tuas yang membuka bendungan dari banjir kasus-kasus serupa. Ternyata bumi menyimpan penderitaan akibat limbah industri di banyak tempat. Diantara daftar panjang kasus kerusakan lingkungan adalah kasus Love Canal dan Kepone di Amerika Serikat, Kabut Dioxin di Italia, lahan Stringfellow di USA dan lain-lain (Http://jujubandung.wordpress.com/).Di Indonesia, kasus kerusakan lingkungan yang paling banyak diberitakan karena banyaknya kepentingan yang terlibat di dalamnya adalah tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasus ini terjadi karena kombinasi dari human error, buruknya manajemen kerja dan kualitas peralatan pertambangan gas. Efeknya pun amat masif. Kerugian yang ditimbulkan baik materil dan immateril menyebar ke berbagai aspek kehidupan, tidak hanya kesehatan namun juga pendidikan, sosial budaya, politik, hukum, hingga menyeret nama petinggi-petinggi negeri ini (Agustina, 2009). Meski sudah berselang delapan tahun, kasus Lapindo belum juga memperoleh penyelesaian yang dapat memuaskan semua pihak.Di Kota Palu, pernah terjadi kasus yang hampir serupa dengan Tragedi Teluk Minamata. Namun karena masyarakat dan media sudah lebih waspada, maka dampaknya tidak sehebat kasus di Jepang. Kejadian tersebut disebut kasus Poboya yang melibatkan sebuah perusahaan penambangan emas. Beroperasi di tengah kota dan dekat dengan pemukiman warga, tentu saja limbah kimia bekas pengolahan emas pabrik itu seketika mencemari sumber air, tanah, dan merusak bentangan alam disana. Hewan dan ternak mati, tanaman perkebunan dan sawah yang menjadi sumber mata pencaharian tidak dapat tumbuh, dan tingkat pencemaran air konsumsi oleh bahan kimia bekas industri mencapai lebih dari ambang batas normal. Belum lagi terjadi konflik berdarah akibat berbagai benturan kepentingan, kriminalitas dan ironisnya tidak ada bukti nyata bahwa keberadaan perusahaan itu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya (Zurhaar, 2010).Isu pemanasan global berkembang sejak awal tahun 1970-an dan merupakan isu internasional yang kerap diangkat dalam berbagai forum kerjasama antar negara. Ancaman naiknya permukaan laut dan tenggelamnya sebagian besar daratan di bumi karena anomali cuaca serta melelehnya es di kutub utara terdengar sangat mengerikan. Banyak pihak akhirnya menyadari betapa beratnya harga yang harus dibayar manusia atas keserakahan mereka. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pencemaran lingkungan memang tidak terjadi seketika, butuh waktu yang lama sebelum tanda-tanda kerusakan hayati muncul di permukaan. Siapa yang menanam, dialah yang menuai. Manusia memetik hasil atas pengabaian dan penganiayaannya terhadap bumi selama hampir empat abad sejak revolusi industri bergaung pertama kali. Manusia akhirnya paham bahwa menjadi puncak rantai makanan bukan berarti tak akan terkalahkan. Kemarahan ibu bumi yang ditunjukkan dengan banyaknya bencana alam semakin menjadi perhatian seiring fakta bahwa banyaknya korban jiwa dalam setiap peristiwa tak terelakkan itu.Masalah industri memang masalah yang sangat rumit. Banyaknya uang dan kepentingan yang berputar disana, membuat kasus kerusakan lingkungan hidup menjadi kompleks dan akhirnya tidak berlarut-larut dan tidak terselesaikan dengan baik.Meski begitu, kerusakan lingkungan yang semakin memprihatinkan tidak bisa hanya ditudingkan kepada kalangan industri semata. Semua manusia patut memikul tanggung jawab, termasuk pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang atas perizinan berbagai macam industri kadangkala mempunyai kepentingan tersendiri yang disetir oleh dunia bisnis, politik, maupun ranah kekuasaan yang lebih besar lagi seperti kepentingan pihak-pihak asing. Lingkungan dipandang sebelah mata bila dibandingkan dengan prinsip kepentingan orang banyak dan kemajuan ekonomi daerah. Disitulah pemerintah mengambil peran, diantaranya dengan membuat dan melaksanakan regulasi terkait lingkungan hidup dengan tertib dan teliti, melakukan pengawasan secara kontinyu atas kepatuhan dunia usaha, serta menegakkan dan memberlakukan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap para pelanggar. Tata kelola ruang kota juga harus benar-benar dipatuhi agar kejadian seperti Poboya tidak terulang lagi.Masyarakat pun sama saja. Selama ini, lingkungan tidak dipandang sebagai bagian inti dari kehidupan. Limbah rumah tangga menjadi masalah serius di berbagai kota-kota metropolitan dunia. Sedikit sekali orang yang peduli pada sampah yang dihasilkannya. Jika dilihat sepintas, sampah yang dibuang oleh individu memang sedikit, tapi bagaimana jika itu dilakukan oleh tiap individu yang hidup di dunia ini? Selain itu, termasuk salah satu penyebab rusaknya lingkungan adalah masyarakat yang mata pencahariannya mengambil dari alam namun melakukannya secara sembarangan. Contoh paling nyata adalah para nelayan yang mengambil ikan dan hasil laut dengan menggunakan bom serta pukat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seperti tidak peduli pada bumi, namun jika terjadi kasus kerusakan lingkungan oleh perusahaan besar yang berdampak pada mereka, barulah masyarakat menuntut keadilan dan ganti rugi. Schimedheiny (1995) menyatakan bahwa kenyataan tersebut merupakan akibat dari kesalahpahaman masyarakat mengenai keberlanjutan lingkungan yaitu :

1. Pendapat bahwa kemajuan industri dan pembangunan berkelanjutan tidak berkaitan. Pandangan tersebut timbul terutama karena masyarakat mengaitkan kepedulian semacam itu dengan masalah pelestarianhutan tropika, spesies langka dan sebagainya. Kepedulian itu juga dihubungkan dengan pencemaran sehingga hanya dilihat sebagai tugas dunia industri.

2. Anggapan bahwa pembangunan berkelanjutan, meskipun perhatiannya adalah kebutuhan masa depan, bahwa pembangunan berkelanjutan mengorbankan kebutuhan jangka pendek.Kalangan usaha juga tidak bisa berpangku tangan, tidak bisa terus bersikap defensif bila dihadapkan dengan isu kerusakan lingkungan. Salah satu yang menjadi alasan enggannya dunia industri dalam menerapkan praktik pengolahan limbah adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Padahal bila ditilik lebih dalam, biaya tersebut tidak sebanding besarnya daripada biaya yang harus mereka keluarkan untuk menanggulangi dan mereklamasi lingkungan pada akhirnya. Begitupun industri-industri kerakyatan yang mengambil bahan baku dari alam, selama ini merasa tidak bersalah terhadap degradasi lingkungan karena mereka menganggap bahwa nilai eksploitasi mereka kecil. Padahal masalah lingkungan bukan hanya disebabkan oleh perusahaan-perusahaan besar, melainkan juga oleh dunia usaha secara umum terutama yang aktivitas usahanya berbahan baku sumber daya alam.Pandangan lama yang masih bertahan mengenai hubungan antara dunia usaha dengan lingkungan adalah bahwa perlindungan lingkungan dan kemampuan menghasilkan laba merupakan dua hal yang selalu berlawanan. Memperbaiki kemampuan dipandang mengurangi kemampuan berlaba bagi dunia usaha dan meningkatnya biaya bagi konsumen, sementara kemampuan berlaba dipandang mengharuskan pemakaian dan perusakan lingkungan. Memilih salah satu: lingkungan yang sehat, atau sektor usaha yang sehat. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa reaksi terhadap tekanan yang memprihatinkan mutu lingkungan sering bersifat reaktif dan tidak sukarela, tetapi sangat dipengaruhi oleh pihak lain melalui hukum, peraturan, dan tekanan konsumen. Secara umum, dalam dua puluh tahun terakhir, dunia usaha cenderung terlalu berhati-hati dan kolot dalam pandangannya terhadap berbagai tantangan ini, mereka kurang yakin pada kemungkinan terjadinya perubahan yang positif (Schmidheiny, 1995).Pemerintah tidak bisa berjuang sendiri. Begitupun dengan LSM-LSM serta berbagai organisasi non profit lain yang selama ini menjadi satu-satunya pihak yang menggebu-nggebu menyerukan pesan peduli lingkungan. Untuk memperoleh hasil yang efektif dan efisien dalam pelestarian lingkungan, dibutuhkan kesatuan suara dan kesatuan aksi dari seluruh elemen masyarakat. Jepang, yang menjadi tempat kejadian perkara dari tragedi Teluk Minamata, memetik pelajaran dari kasus tersebut dan berusaha agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Seluruh masyarakat di negara itu bersatu padu mensterilkan kembali lingkungan mereka. Sampah rumah tangga sekecil apapun dipilah dan diolah sebelum dibuang ke alam. Secara intens, mereka menanamkan budaya cinta lingkungan kepada generasi-generasi muda. Masyarakat Jepang dari segala tingkatan umur paham terhadap arti penting menjaga lingkungan. Bahkan, Pemerintah Jepang merupakan pemerintahan negara pertama di dunia yang mengesahkan undang-undang tentang akuntansi lingkungan. Perusahaan-perusahaan disana belajar untuk menerapkan praktik industri ramah lingkungan. Pada hari ini, Jepang merupakan contoh negara yang paling berhasil dalam memadukan antara keberlanjutan lingkungan dengan kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas usaha.Akuntansi hijau adalah produk akuntasi untuk menjawab wacana pembangunan berkelanjutan yang sedang mengemuka. Pembangunan berkelanjutan berarti mengalihkan keputusan dunia usaha ke arah lingkungan yang sehat dan sekaligus ke arah perekonomian yang sehat. Hal ini menyatakan bahwa lingkungan dan perekonomian saling terjalin bukan sebagai musuh, tetapi sebagai mitra dalam usaha seluruh dunia dalam mencapai mutu kehidupan yang lebih tinggi (Schmidheiny, 1995).Perhatian terhadap lingkungan menjadi bukan sekedar biaya usaha, tetapi merupakan sumber yang kuat untuk keunggulan bersaing. Perusahaan yang menganut konsep tersebut dapat dengan efektif mewujudkan keunggulan itu yaitu proses produksi yang lebih efisien, peningkatan produktivitas, biaya kepatuhan yang lebih rendah dan peluang pasar strategis baru. Perusahaan yang tidak dapat mengikuti perubahan akan menjadi usang. Dengan akuntansi lingkungan perusahaan dapat melakukan efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan secara berkelanjutan, selain itu pembebanan biaya lingkungan yang terjadi pada setiap produk dapat dihitung secara tepat sehingga perhitungan harga pokok produk dapat lebih realistis (Damayanti dan Pentiana, 2013).

Akuntansi berkembang seiring dengan dunia bisnis dan dunia bisnis berjalan seiring dengan kebutuhan manusia. Karena besarnya perhatian masyarakat dunia terhadap degradasi alam oleh aktivitas industri, maka dunia usaha juga sudah bergerak untuk menjawab tuntutan-tuntutan tersebut. Karena itu, akuntansi sebagai cermin utama bagi dunia luar untuk melihat kondisi suatu perusahaan harus mampu mengakomodirnya. Akuntansi tidak bisa lagi hanya terpaku pada masalah untung rugi, tidak boleh lagi berdiri sendiri sebagai simbol rakusnya manusia akan besaran angka. Akuntansi bisa menjadi perantara asimilasi antara dunia usaha dan lingkungan hidup. Akuntansi konvensional tidak memiliki perhatian terhadap transaksi-transaksi yang bersifat non reciprocal transaction, tetapi hanya mencatat transaksi secara timbal balik (reciprocal transaction), sedangkan akuntansi lingkungan mencatat transaksi yang bersifat tidak timbal balik, seperti polusi, kerusakan lingkungan atau hal-hal negatif dari aktivitas perusahaan. Keterbatasan tersebut akan terasa terutama jika sistem akuntansi tersebut dihubungkan dengan operasi bisnis yang terkait dengan pengelolaan lingkungan. Biaya-biaya terkait lingkungan umumnya adalah biaya pengelolaan limbah, pembuangan limbah, instalasi pembuangan, biaya kepada pihak ketiga, biaya perizinan dan sebagainya. Pada akuntansi konvensional pos biaya ini dikenal sebagai pos biaya umum bagi perusahaan (overhead cost). Ketidakcocokan pengelompokan biaya-biaya itu berpengaruh saat perusahaan harus mengambil sebuah keputusan finansial, hingga manajemen perusahaan mungkin saja menetapkan kebijakan yang tidak tepat. Ketidaktepatan ini dapat tejadi karena akuntansi manajemen konvensional ini hanya mampu mengidentifikasi biaya aktual yang muncul, namun tidak mampu menggali besaran biaya yang sebenarnya dari sebuah keputusan (Rossje, 2006).

Akuntansi merupakan sumber informasi yang menganut prinsip pengungkapan penuh (full disclosure). Karena itu, seharusnya laporan keuangan sebagai output dari siklus akuntansi bisa memberi pemahaman menyeluruh terhadap aktivitas bisnis suatu perusahaan termasuk pada dampak lingkungan. Akuntansi konvensional cenderung hanya melayani kepentingan para pemilik modal dan stockholders dengan menyediakan informasi yang dipandang menguntungkan mereka. Karena orientasi utamanya adalah bisnis, maka laporan kinerja keuangan menjadi satu-satunya hal yang dilirik para calon investor maupun pemegang saham dalam mengambil keputusan ekonomi. Akuntansi adalah alat pertanggungjawaban yang memiliki fungsi sebagai pengendali terhadap aktivitas setiap unit usaha. Tanggung jawab manajemen tidak terbatas pada pengelolaan dana dalam perusahaan, tetapi juga meliputi dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan terhadap lingkungan sosial dan alamnya. Jika harga sumber daya alam tidak dapat ditentukan, maka penggunaannya akan cenderung tidak efisien dan pencemaran lingkungan akan meningkat.Alasan utama peneliti mengambil topik penelitian mengenai akuntansi hijau adalah karena suatu saat peneliti pernah membaca sebaris kalimat dalam sebuah website (https://kutubuku.web.id/) yang membahas tentang akuntansi hijau. Bunyi kalimat tersebut yaitu: Profesi akuntansi sering dituduh terlalu peduli dengan angka dan tidak cukup peduli tentang aspek yang lebih tidak berwujud dari operasi perusahaan .Makna tersirat dari kalimat tersebut adalah seolah-olah akuntansi hanya mementingkan tampilan luar, cover image yang disimbolkan dalam deretan angka-angka, ketimbang isi sesungguhnya di dalam sebuah perusahaan. Padahal, angka-angka tersebut juga secara tidak langsung merupakan hasil dari proses akumulasi dan olah bentuk aspek-aspek tak berwujud yang membentuk nilai suatu perusahaan. Aspek-aspek tersebut diantaranya: Budaya dan etos kerja perusahaan, prinsip dan semboyan, jaringan sistem informasi serta kepedulian sosial dan lingkungan yang dimiliki perusahaan beserta seluruh manajemen dan karyawan yang terlibat di dalamnya. Dalam jurusan akuntansi Universitas Tadulako, terdapat dua mata kuliah yang membahas tentang masalah bisnis dan lingkungan hidup, yaitu Kajian Lingkungan Hidup (KLH) dan Etika Bisnis dan Profesi. Kedua mata kuliah tersebut diberikan kepada mahasiswa akuntansi agar mempunyai bekal kesadaran lingkungan yang cukup sebelum lebih dalam memasuki dunia akuntansi yang sarat akan angka. Hasilnya yaitu ketika mereka telah terjun menjadi profesional dalam bidang akuntansi, ketika segala macam nilai diukur dengan nominal, maka tidak akan terjadi kesenjangan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Mahasiswa mempunyai peran sosial yang penting karena dianggap sebagai manusia-manusia muda yang biasanya penuh semangat, menggebu-gebu, penuh inisiatif dan ide demi kemajuan dan perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Status tersebut pernah begitu diagungkan di negeri ini karena dipandang sebagai pembawa suara rakyat. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan catatan sejarah berukirkan tinta emas tentang besarnya peran mahasiswa dalam menggulingkan pemerintahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat.

Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual. Termasuk diantaranya adalah para mahasiswa akuntansi yang setelah lulus kemungkinan besar akan terjun dalam bidang-bidang pekerjaan yang sesuai dengan fokus studinya saat masa belajar. Jangan sampai mahasiswa akuntansi hanya dipandang sebagai bagian dari menara gading pendidikan yang berdiri sendiri dalam dunianya dan acuh dengan sekitarnya. Ilmu dikatakan bermanfaat apabila bisa berguna bagi orang lain, bangsa dan negaranya. Meskipun dalam dunia akuntansi status mahasiswa masih non profesional, dalam artian dipandang belum memiliki keterampilan yang cukup untuk berpraktik, suatu ketika mahasiswa akuntansi akan lulus dari pendidikannya dan layak menyandang status profesional. Dengan begitu, mereka bisa lebih banyak memberikan pengaruh baik dari hasil pendidikannya kepada dunia akuntansi pada khususnya dan dunia usaha secara umum. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa mahasiswa akuntansi saat ini merupakan cikal bakal generasi yang akan mengubah dunia akuntansi ke depannya.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka peneliti mengambil judul penelitian: Akuntansi Hijau: Pemahaman Mahasiswa Akuntansi (Studi Wacana Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako).1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi terhadap topik akuntansi hijau ?1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan mendeskripsikan topik akuntansi hijau menurut pemahaman para mahasiswa jurusan akuntansi. 1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, yaitu:1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan mengenai akuntansi hijau serta sebagai salah satu bentuk sumbangsih tidak langsung peneliti terhadap lingkungan hidup.2. Bagi MahasiswaMeningkatkan kepedulian dan kesadaran terhadap pentingnya akuntansi hijau dan kegiatan bisnis pada umumnya dalam hubungannya dengan lingkungan alam.3. Bagi Dunia Usaha

Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai akuntansi hijau serta mendorong integrasi akuntansi hijau ke dalam aktivitas bisnis perusahaan.4. Bagi Dunia Pendidikan Akuntansi.Memberikan gambaran mengenai pemahaman mahasiswa akuntansi tentang akuntansi hijau.5. Bagi Peneliti Yang LainDiharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu acuan untuk penelitian sejenis di masa yang akan datang.14