bab i

4
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya yang terendah. 6 Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat tidak sebagaimana dinyatakan dalam definisi di atas, itulah pengobatan yang tidak rasional. Irrational prescribing dapat kita lihat dalam bentuk pemberian dosis yang berlebihan (overprescribing) atau tidak memadai (underprescribing), penggunaan banyak jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi), menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada yang lebih aman, penggunaan AB untuk infeksi virus, menggunakan injeksi padahal dapat digunakan sediaan oralnya, memberikan beberapa obat yang berinteraksi, menggunakan obat tanda dasar. 6,8 Bentuk lain irrational prescribing adalah extravagant prescribing, kebiasaan meresepkan obat mahal padahal tersedia obat yang sama efektifnya dan lebih murah, baik dalam kelompok yang sama atau berbeda kelompok. Penggunaan berlebihan ini terjadi juga untuk obat yang dijual bebas semacam obat flu kombinasi. Underprescribing antara lain terjadi karena dokter khawatir akan efek samping obat tanpa mempertimbangkan manfaat obat, misalnya trombolisis pada pasien usia lanjut.

Upload: tiodora-wike-ds

Post on 06-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

referat t

TRANSCRIPT

Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai, dan dengan biaya yang terendah.6 Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat tidak sebagaimana dinyatakan dalam definisi di atas, itulah pengobatan yang tidak rasional. Irrational prescribing dapat kita lihat dalam bentuk pemberian dosis yang berlebihan (overprescribing) atau tidak memadai (underprescribing), penggunaan banyak jenisobat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi), menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada yang lebih aman, penggunaan AB untuk infeksi virus, menggunakan injeksi padahal dapat digunakan sediaan oralnya, memberikan beberapa obat yang berinteraksi, menggunakan obat tanda dasar.6,8 Bentuk lain irrational prescribing adalah extravagant prescribing, kebiasaan meresepkan obat mahal padahal tersedia obat yang sama efektifnya dan lebih murah, baik dalam kelompok yang sama atau berbeda kelompok. Penggunaan berlebihan ini terjadi juga untuk obat yang dijual bebas semacam obat flu kombinasi.Underprescribing antara lain terjadi karena dokter khawatir akan efek samping obat tanpa mempertimbangkan manfaat obat, misalnya trombolisis pada pasien usia lanjut.Pengobatan yang tidak memadai juga tampak pada penggunaan morfin untuk penderita kanker lanjut karena dokter underestimate terhadap persepsi nyeri pasien.11Banyak faktor yang berperanan menyebabkan irrational prescribing, faktor ini dapat dibedakan dalam 5 komponen yaitu unsur instrinsik sang dokter, unsur kelompok kerja dokter, unsur tempat kerja dokter, unsur informasi yang diterima dokter, dan unsur sosial budaya masyarakat.12Intriksik faktor mencakup pengetahuan dokter tentang pasien, penyakitnya, dan obat yang akan diresepkannya. Dalam hal antibiotik, misalnya, pengetahuan tentang kuman yang paling mungkin sebagai penyebab infeksi yang dihadapi sangat penting untuk menghindari pilihan yang salah. Pendekatan ini dikenal sebagai educated guess. Kemudian, pengetahuan tentang antibiotiknya sendiri untuk menghindari penggunaan dalam dosis, interval, dan durasi yang tidak tepat. Ini dipengaruhi oleh perolehan ilmu kedokteran termasuk ilmu terapeutik yang diterima sang dokter di masa pendidikannya.13Salah satu faktor yang menentukan keputusan dokter memberikan obat adalah informasi obat yang diperoleh dokter dalam masa karirnya yang, jujur saja, umumnya disediakan oleh pihak industri. Banyak bukti anekdot yang menunjukkan bahwa pola penggunaan obat berubah sesuai dengan aktivitas promosi obat. Hal serupa terjadi juga di masyarakat untuk obat nonresep. Penggunaan yang tidak bijak atas siproheptadin sebagai obat perangsang nafsu makan pada anak, dan PPI untuk keluhan dyspepsia merupakan contoh yang baik tentang peranan berbagai faktor tersebut. Dibandingkan plasebo siproheptadin memang memperlihatkan efektivitas dalam mengatasi anoreksia nervosa,14 tetapi tidak pernah ada bukti ilmiah manfaatnya untuk meningkatkan nafsu makan pada anak yang sehat sehingga indikasi tersebut tidak pernah ada untuk obat tersebut. Selain itu, dengan tersedianya multivitamin yang dikombinasi dengan siproheptadin tersebut, ditambah pula dengan kesan seolah-olah obat ini tak ada efek sampingnya, terjadilah misuse (penggunaan obat yang tidak bijak). Hal ini menunjukkan pentingnya peranan badan POM.Penggunaan PPI punya riwayat serupa: obat ini sebenarnya diterima oleh FDA dan Badan POM untuk digunakan pada tukak peptik yang berkomplikasi karena kekuatannya menekan sekresi asam lambung puluhan kali lebih kuat daripada antihistamin H2. Obat ini juga dibutuhkan untuk gastroesophagus reflux disease (GERD) dan sindrom Zollinger Ellison. Namun, penegakan diagnosis semua keadaan itu memang membutuhkan banyak usaha dan biaya sehingga biasanya dokter potong kompas (ini contoh factor habit) dengan meresepkan PPI, sering dengan mengabaikanbahwa penggunaannya hanya boleh paling lama 4 minggu.Dipasarkannya PPI sebagai OTC pada dasarnya bertujuan menolong sebagian pasien yang akan memerlukannya untuk jangka panjang, tetapi gencarnya promosi telah mendorong overprescribing PPI untuk sekedar dispepsia fungsional.