bab i
TRANSCRIPT
BAB I
STUDI KASUS PERTAMBANGAN EMAS
1.1PT Freeport Indonesia
Operasi pertambangan PTFI didasarkan pada Kontrak Karya dengan Pemerintah
Indonesia pada tahun 1991 dengan wilayah Kontrak Karya (Gabungan daerah
Kontrak Karya A dan daerah Proyek Kontrak Karya) yang memanjang dari
punggung pegunungan Jayawijaya di bagian utara (dekat dengan Puncak Jaya dan
Carstenz Glacier) sampai ke laut Arafura di bagian selatan. Wilayah Kontrak Karya
tersebut terletak berdekatan dengan Taman Nasional Lorentz di bagian timurnya
yang terdaftar di UNESCO sebagai salah satu warisan dunia. Luas wilayah kontrak
karya adalah sekitar 292.900 hektar yang di dalamnya juga mencakup kota Timika
(ibukota Kabupaten Mimika), dan beberapa pemukiman dan desa baik di dataran
tinggi maupundataran rendah.
Kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan sejak ditandatanganinya kontrak karya
pertama tahun 1967 telah menemukan cadangan tembaga yang juga mengandung
emas dan perak yang potensial untuk ditambang. Produksi bijih dimulai pada tahun
1972 dengan kapasitas produksi sebesar 7.500 ton/hari. Biji hasil penambangan
diolah sehingga menghasilkan konsentrat yang selanjutnya dialirkan melalui
jaringan pipa ke areal pelabuhan sejauh kurang lebih 115 km ke arah pantai selatan.
Metode penambangan yang diterapkan adalah metode tambang terbuka dan
tambang bawah tanah. Pada tahun 1988 ditemukan badan bijih Grasberg yang
merupakan salah satu badan bijih tembaga, emas dan perak terbesar di dunia.
Tambang terbuka Grasberg mulai berproduksi pada tahun 1990 dan akan
beroperasi sampai tahun 2015. Tambang bawah tanah yang sedang beroperasi saat
ini adalah tambang DOZ (Deep Ore Zone) dan Big Gossan. Beberapa tambang bawah
tanah, seperti Deep MLZ, Grasberg Block Cave dan Kucing Liar sedang dalam tahap
pengembangan dan nantinya akan menjadi pusat produksi bijih utama PTFI di masa
depan.Kegiatan eksplorasi terus berlanjut dengan tujuan untuk terus memperluas
cadangan.
Untuk menunjang kegiatan pertambangan yang berskala dunia, PTFI telah
membangun berbagai sarana dan prasarana, baik yang langsung maupun tidak
langsung menunjang operasi pertambangan.
Penambangan
Hingga tahun 1987, jumlah bijih yang diproduksi dan diolah di pabrik pengolahan
rata-rata adalah 16.400 ton per hari dengan jumlah cadangan bijih sebesar 100 juta
ton. Pada tahun 1988 cebakan tembaga, emas dan perak Grasberg,yang merupakan
salah satu badan bijih tembaga, emas dan perak terbesar di dunia,ditemukan. Saat
ini jumlah produksi bijih rata-rata mencapai 230.000 ton per hari dengan jumlah
cadangan bijih terbukti (proven) dan terkira (probable) mencapai sekitar 2,6 milyar
ton.
Sesuai dengan kondisi cebakan tembaga emas, sistem penambangan yang
diterapkan saat ini adalah tambang terbuka (open pit) di Grasberg dan tambang
bawah tanah di DOZ dan Big Gossan. Metode penambangan di DOZ, yang juga telah
diterapkan di tambang GBT dan IOZ serta akan diterapkan di Grasberg Block Cave,
Deep MLZ dan Kucing Liar adalah metode block cave. Sementara cebakan di Big
Gossan ditambang dengan metode stope & fill mengingat bentuk dari cebakan serta
keberadaan pabrik pengolahan di permukaan.
Sejak tahun 1988 produksi bijih yang diolah dari waktu ke waktu meningkat secara
tajam. Pada tahun 2010 produksi bijih dari tambang Grasberg rata-rata mencapai
145.529 ton/hari dan dari tambang DOZ rata-rata mencapai 80.367 ton/hari,
sehingga produksi bijih total rata-rata mencapai 225.896 ton/hari. Pada tahun 2011
direncanakan jumlah bijih rata-rata yang akan ditambang di tambang terbuka
Grasberg mencapai 154.070 ton/hari dan di tambang bawah tanah sebesar 81.485
ton/hari sehingga total mencapai rata-rata 235.555 ton/hari. Kapasitas pengolahan
bijih maksimum yang telah mendapat ijin dari pemerintah adalah sebesar 300.000
ton/ hari.
Secara keseluruhan pada tahun 2011 operasi tambang terbuka Grasberg akan
memproduksi 54,37 juta ton bijih dan 181,74 juta ton batuan penutup (waste
rock)atau nisbah batuan penutup dan bijih (waste/ore atau strip ratio) sebesar 3,34
Direncanakan operasi penambangan di tambang terbuka Grasberg akan berakhir
pada tahun 2016 dan selanjutnya produksi bijih akan sepenuhnya dihasilkan dari
tambang bawah tanah.
Saat ini operasi penambangan bawah tanah dilakukan di tambang DOZ (Deep Ore
Zone). Berbagai fasilitas untuk menunjang peningkatan produksi dari tambang
bawah tanah (Common Infrastructure – CIP) telah dan sedang dibangun. Proyek
pengembangan tambang bawah tanah yang sedang dilakukan adalah:
Tambang Big Gossan yang sudah mulai berproduksi pada tahun 2011 dan
akan mencapai kapasitas produksi puncak pada tahun 2012
Tambang Deep Mill Level Zone (Deep MLZ) yang akan mencapai puncak
produksi pada tahun 2021
Tambang Grasberg Block Cave yang akan mencapai puncak produksi pada
tahun 2022
Gambaran strategi rencana jangka panjang produksi bijih PTFI dapat dilihat pada
Gambar 7.1.
Gambar 7.1. Strategi rencana jangka panjang produksi bijih PTFI
Baik tambang terbuka Grasberg maupun tambang bawah tanah DOZ dilengkapi
dengan fasilitas peremukan bijih (crusher) dan pengangkutan bijih hasil peremukan
ke stockpile di pabrik pengolahan (mill). Stockpile Amole menampungbijih yang
berasal dari tambang Grasberg sementara stockpile MLA menampungbijih dari
tambang bawah tanah (DOZ).
Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing
Proses pemisahan konsentrat dan tailing dilakukan di pabrik pengolahan melalui
metode flotasi yang merupakan proses pemisahan yang didasarkan pada sifat fisik
yaitu sifat permukaan mineral. Terdapat 4 (empat) concentrator, yaitu concentrator
#1, #2, #3 dan #4 yang dibangun secara bertahap untuk menunjang kapasitas
penambangan dan cadangan. Aliran proses di pabrik pengolahan (concentrator)
secara skematik dapat dilihat pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2 Aliran Proses Pengolahan Secara Umum
Bijih yang telah mengalami peremukan yang ditampung pada stockpile diumpankan
ke Semi-Autogenous Grinding (SAG) mills dan ball mills untuk digerus hingga
mencapai suatu ukuran fraksi yang memungkinkan proses pemisahan mineral
perak, emas dan tembaga.
Setelah proses penggerusan, bijih dalam bentuk lumpur (slurry) dialirkan ke
serangkaian sel flotasi. Pada sel flotasi dilakukan penambahan reagen (collectors
dan frothers) yang antara lain berfungsi untuk menstabilkan gelembung udara
sehingga terjadi proses penempelan mineral berharga yang mengandung tembaga,
emas dan perak sehingga terapung.
Perolehan emas meningkat dengan penggunaan metode pemisahan gravitasi.
Partikel batu yang tersisa akan mengendap membentuk tailing.
Konsentrat yang diperoleh dari sel flotasi kemudian dialirkan kedalam thickener
hingga mencapai kandungan padatan sekitar 65% dan dimasukkan ke dalam
temporary concentrate tanks. Selanjutnya konsentrat dipompa menuju ke lokasi
pelabuhan sejauh kurang lebih 115 km melalui 3 jaringan pipa yang terdiri atas satu
jaringan pipa berdiameter 5 inci dan dua jaringan pipa berdiameter 6 inci.
Kapasitas pengangkutan konsentrat adalah sebesar 9600 ton/hari. Di lokasi
pelabuhan, konsentrat dikeringkan atau dikurangi kadar airnya hingga tinggal 9%
pada instalasi pengeringan (dewatering plant) yang sesuai untuk dikapalkan menuju
pabrik peleburan (smelter) di Indonesia dan berbagai penjuru dunia. Tabel 2.1.
menunjukkan data produksi bijih dan konsentrat per tahun selama kurun waktu
tahun 2006 sampai tahun 2010.
Tabel 2.1 Data Produksi Bijih dan Konsentrat Per Tahun 2006-2010
Tailing dialirkan ke thickener untuk memperoleh kembali air yang akan digunakan
dalam pabrik pengolahan. Sekitar 50% air yang digunakan untuk proses pengolahan
berasal dari air daur ulang tersebut.
Underflow dari thickener dialirkan ke daerah pengendapan tailing melalui aliran
sungai yang hulunya berasal dari lokasi pabrik pengolahan.
Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) yang mencakup areal seluas 230 km2
adalah daerah pengelolaan tailing di daratan yang menerima aliran tailing dari
dataran tinggi melalui sungai Aghawagon dan Otomona. Batas bagian utara dari
ModADA adalah jembatan Otomona sementara batas di bagian selatan adalah
Kelapa Lima dan Pandan Lima.
Pada tahun 2005 aliran sungai Ajkwa yang tadinya bergabung dengan aliran tailing
dipisahkan dengan membangun tanggul barat baru. Saat ini daerah pengendapan
tailing dibatasi oleh dua tanggul, yaitu tanggul barat baru dan tanggul timur. Dengan
semakin banyaknya tailing yang mengendap, maka tinggi tanggul harus
ditingkatkan untuk memenuhi kriteria freeboard atau tinggi minimal permukaan
endapan tailing dengan permukaan tanggul. Oleh karena itu peningkatan tinggi
tanggul secara terus menerus dilakukan menggunakan material galian (kerikil dan
pasir) dari kuari yang berlokasi di bagian timur ModADA. Total jumlah material
yang telah digunakan untuk konstruksi tanggul sampai tahun 2010 adalah 45,8 juta
m3 terdiri atas 25,4 juta m3 pada tanggul barat, 19,5 juta m3pada tanggul timur,
0,79 juta m3untuk gabion groundsill di MA117 serta 2,70 juta m3 untuk pekerjaan
lain (termasuk perbaikan jalan, dan keperluan pengembangan dan perawatan
kuari).
Fasilitas Penunjang
Berbagai fasilitas penunjang penting antara lain:
Sarana transportasi berupa jalan dari areal pelabuhan sampai ke tambang
Grasberg, termasuk beberapa terowongan
Fasilitas perumahan dan akomodasi bagi para pekerja, yang tersebar di
Kuala Kencana, Tembagapura, Hidden Valley, Ridge camp
Sarana pembangkit listrik yang terdiri atas satu Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) menggunakan batubara dan beberapa Pembangkit/Generator
Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan jaringan transmisi listrik
Sarana pergudangan dan fasilitas penyimpanan bahan bakar
Fasilitas perkantoran
Fasilitas perbengkelan
Rumah sakit, klinik pengobatan dan sekolah
Laboratorium lingkungan yang lengkap dan terakreditasi
Bandar udara (airport)
Fasilitas bongkar muat kargo di laut lepas, penunjang logistik, dan pelayanan
distribusi dan pergudangan kargo
Fasilitas perbaikan dan perawatan di laut lepas
Fasilitas penanganan limbah berbahaya dan tidak berbahaya
Ketika awal dimulainya kegiatan pertambangan PTFI di Papua (sebelumnya Irian
Jaya) pada 1972, tingkat produksi bijih adalah 7.500 ton/hari dan populasi pekerja
di Tembagapura kurang dari 1.000 orang. Pada awalnya tidak terdapat pemukiman
asli dekat dengan daerah Timika. Saat ini, PTFI dan kontraktornya memiliki
populasi pekerja mencapai 21.000 orang yang bermukim di Tembagapura, Kuala
Kencana dan sekitarnya. Jumlah penduduk diTimika dan sekitarnya dilaporkan
mencapai sekitar 150.000 orang. Perkembangan skala operasi pertambangan yang
signifikan terutama sejak dikembangkannya tambang terbuka Grasberg
mengakibatkan semakin rumitnya persoalan manajemen di berbagai aspek.Pada
tahun 1993 manajemen PTFI membuat keputusan strategis untuk lebih fokus pada
inti bisnisnya yaitupenambangan dan pengolahan bijih dan mengurangi beban
pengelolaan berbagai kegiatan penunjang. Selanjutnya PTFI melakukan divestasi
berbagai aset dari berbagai pelayanan penunjang seperti penerbangan, operasi
pembangkit listrik, logistik, kelautan, operasi peralatan konstruksi, kesehatan,
perumahan dan katering. Fasilitas-fasilitas tersebut saat ini berada dibawah
kepemilikan dan pengelolaan dari perusahaan swasta yang terpisah dari PTFI.
Semua perusahaan swastatersebut terikat kontrak dengan PTFI dan memiliki
kewajiban untuk mematuhi semua kebijakan lingkungan PTFI dan tentu juga
peraturan perundangundangan dan hukum Indonesia.
Pengelolaan Air Asam Batuan
Acid rock drainage (ARD) merupakan masalah lingkungan yang penting untuk
penambangan bijih yang mengandung sulfida seperti Grasberg. Baik overburden
maupun tailing dikelola untuk mencegah atau mengumpulkan dan mengolahARD.
Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang di tambang Grasberg dilakukan
dengan mengidentifikasi berbagai tipe batuan berdasarkan karakteristik
geokimianya.
Karakterisasi batuan didasarkan pada kemampuan batuan untuk membangkitkan
asam atau untuk menetralkan asam berdasarkan uji statik seperti Net Acid
Generation (NAG), Maximum Potential of Acidity (MPA) dan Acid Neutralizing
Capacity (ANC).
Terdapat 7 (tujuh) tipe batuan pada batuan penutup (overburden) di tambang
Grasberg, yaitu :
Tipe 1 (hijau) : Batuan yang dapat menetralkan asam (limestone dan
dolomite)
Tipe 2 (hijau) : Batuan bukan pembentuk asam
Tipe 3 (biru) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas rendah
Tipe 4 (biru) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas menengah
Tipe 5 (merah) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas cukup
tinggi
Tipe 6 (merah) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas tinggi
Tipe 7 (hitam) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas sangat
tinggi
Pada dasarnya proses pengolahan bijih dengan cara flotasi dilakukan pada kondisi
basa. Untuk mendapatkan kondisi tersebut ditambahkan kapur pada saat awal dari
proses pengolahan.
Pengendalian potensi pembentukan air asam tambang pada tailing dilakukan
dengan memonitor rasio antara ANC dan MPA pada aliran tailing, baik pada saat
keluar dari pabrik pengolahan maupun pada saat memasuki tempat pengendapan
ModADA.
ANC/MPA minimal yang dijadikan acuan yang dapat mencegah pembentukan air
asam tambang adalah 1,5 (kapasitas netralisasi 50% lebih besar dari kapasitas
pembentukan asam). Data pengelolaan air asam tambang maupun geokimia tailing
dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 7.2.
Tabel 2.2 Pengelolaan Air Asam Tambang Tahun 2008-2010
Pengelolaan Limbah
Sebagian besar sarana-prasarana yang digunakan dalam pengelolaan limbah di PTFI
adalah berinduk pada group Water, Sewage & Waste (WSW) di bawah Facilities
Management (FM) Department. Gambar 2.3 dan Gambar 2.4 menggambarkan
pembagian limbah yang dihasilkan di PTFI.
Grup WSW mengoperasikan 3 buah landfill, 1 buah leachate treatmen plant (LTP),
10 buah sewage treatment plants (STP), 2 pallet shredder, dan area penyimpanan
(storage) limbah B3, serta 10 unit water supply plants (WSP).
Kualitas Air
Pemantauan kualitas air di wilayah kerja PTFI dillakukan pada areal yang luas, yang
mencakup dataran tinggi maupun dataran rendah. Secara umum persebaran titik-
titik pemantauan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.5. Pemantauan
kandungan logam terlarut dan parameter standar lainnya seperti pH dan TSS (Total
Suspended Solid) dilakukan di semua lokasi pemantauan air sungai di dataran tinggi
dan dataran rendah. Pemantauan di daerah muara dilakukan pada titik pemantauan
EM270 (daerah muara Ajkwa yang dipengaruhi tailing secara langsung) dan titik
pemantauan EM430 (daerah Muara Minajerwi yang tidak dipengaruhi oleh tailing
sejak awal 1997).
Tabel 2.3 Persebaran Titik-Titik Pemantauan Pada Tahun 2010
BAB IV
DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN EMAS
Kegiatan penambangan emas memiliki dampak negatif yang tidak sedikit terhadap
lingkungan. Secara umum, kegiatan penambangan emas ini dapat dibagi menjadi
dua jenis berdasarkan skala kegiatannya, yaitu skala besar dan skala kecil
4.1Pembuangan Tailing Melalui Sungai
PT Freeport Indonesia (PT-FI) adalah perusahaan tambang tembaga-emas yang
melakukan kegiatan penambangannya di Papua Barat. Tambang PT-FI
menghasilkan dan membuang 200.000 ton tailing per hari (lebih dari 80 juta ton
per tahun) (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).
Tambang ini diperkirakan akan menghasilkan tailing lebih dari 3 milyar ton
sebelum tambang ditutup. Tailing tersebut mengandung tembaga, arsen, kadmium,
dan selenium dalam konsentrasi tinggi (Earthworks and MiningWatch Canada,
2012). Namun demikian, PT-FI tidak menggunakan sianida maupun merkuri pada
proses pengolahannya.
Reagen flotasi yang digunakan dalam proses flotasi untuk memisahkan konsentrat
dari bijih mengalami penguapan dengan cepat dan tidak dapat dideteksi bahkan
pada jarak dekat dari pabrik pengolahan. PT-FI memanfaatkan sebuah daerah aliran
sungai untuk mengalirkan tailing menuju daerah peruntukan dikawasan dataran
rendah dan pesisir yang dinamakan Daerah Pengendapan Modifikasi.
Daerah pengendapan tersebut adalah bagian dari bantaran banjir sungai yang saat
ini mencakup luas sekitar 235 km2, yang merupakan sistem yang direkayasa dan
dikelola bagi pengendapan dan pengendalian tailing. Akan tetapi, tailing tersebut
telah mengubur 166 km2 hutan produktif dan wetland, dan beberapa jenis ikan telah
punah (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Tailing ini juga
mengontaminasi estuari dan Laut Arafura dan kemungkinan juga Taman Nasional
Lorentz, yang merupakan area warisan dunia (World Heritage site).
Gambar 4.1 Lokasi Tambang PT Freeport Indonesia (Sumber: Earthworks and MiningWatch
Canada, 2012)
Sistem yang berlaku saat ini yang memanfaatkan aliran sungai untuk mengalirkan
tailing dari daerah pegunungan yang tinggi menuju lokasi pengendapan di daerah
dataran rendah juga memungkinkan aliran air permukaan dengan kandungan alami
alkali yang tinggi untuk bercampur dengan tailing pada aliran sungai, sehingga
terjadi meningkatkan daya penyangga (buffering) dan mengurangi potensi
pembentukan asam, yang menjadi pertimbangan lingkungan yang cukup berarti.
Akan tetapi tumpukan batuan limbah (waste rock dumps) masih ada yang
menimbulkan air asam batuan (acid rock drainage) yang berpotensi merusak danau
dan hutan (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).
Gambar 4.2 Aliran Sungai Ajkwa (sumber: PT Freeport Indonesia, 2006)
4.2Pembuangan Tailing melalui laut dalam
Sejak tahun 2000, tambang tembaga-emas Batu Hijau di Pulau Sumbawa telah
membuang tailing ke Teluk Senunu (Samudra Hindia) melalui jalur pipa sepanjang
3.4 km offshore ke kedalaman 120 meter (Earthworks and MiningWatch Canada,
2012). Tambang ini dioperasikan oleh US Newmont Mining Corp (PT Newmont
Nusa Tenggara). Dampak yang ditimbulkan akibat pembuangan tailing ke laut,
antara lain:
1. Penumpukan tailing di area terumbu karang apabila terjadi kerusakan pipa (setelah
13 bulan beroperasi, terdapat jalur pipa yang rusak);
2. Penurunan populasi ikan karena pencemaran air antara tahun 2006 – 2010 akibat
dari pembuangan lebih dari 40 juta ton tailing ke laut setiap tahun oleh PT
Newmont Nusa Tenggara (WALHI dalam Earthworks and MiningWatch Canada,
2012).
Karena adanya kepedulian akan kemungkinan terjadinya kontaminasi, beberapa
kelompok masyarakat melakukan protes ke perusahaan tersebut dan meminta
kompensasi pencemaran dan pemerintah daerah telah meletakkan peraturan yang
lebih ketat mengenai dumping. Pada bulan Mei 2011, pemerintah lokal Sumbawa
Barat meminta kepada pemerintah Indonesia untuk tidak memperbarui izin
pembuangan tailing ke laut tersebut. Akan tetapi, pemerintah Indonesia telah
menyetujui izin dengan beberapa kondisi, dimana sekarang telah banyak menuai
banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat.
Gambar 4.3 Lokasi Tambang PT Newmont Nusa Tenggara (Sumber:
Earthworks and MiningWatch Canada, 2012)
Tambang ini juga dikritik karena adanya tumpahan tailing dari pipa di tanah,
merusak hutan hujan khususnya area pelestarian burung, mencari izin untuk
memperluas tambang dan tumpukan batuan limbah (waste rock pile) lebih dari 70
hektar ke dalam hutan lindung dan area kunci keanekaragaman hayati, serta dinilai
telah gagal melaporkan kesalahan pit dan biaya pembersihan untuk pemilik saham,
dan adanya eksplorasi dan rencana ekspansi ke Elang/Dodo Rinti (Sumber:
Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).
4.3Kegiatan Penambangan Emas Skala Kecil
Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan dua kali lipat dari
jumlah hotspot ASGM (Artisanal Small-scale Gold Mining) atau sektor pertambangan
rakyat. Area pertambangan emas yang ada umumnya terletak di tanah milik pribadi
yang dikelola oleh sebuah kelompok penambang, maupun masyarakat umum. Di
tahun 2010, terdapat sekitar 900 hotspot, yang mencakup sekitar 250.000
penambang, termasuk di dalam jumlah tersebut adalah para perempuan dan anak-
anak kecil di bawah umur (Bali Fokus, 2012). Sekitar 1.000.000 populasi
menggantungkan keberlangsungan kehidupan mereka dari perputaran ekonomi
bisnis tambang emas yang eksploitatif ini (Ismawati, 2010). Dari berbagai literatur
diperkirakan tiap petambang dalam sehari dapat menghasilkan sekitar 10 gram
emas (Bali Fokus, 2012).
Menurut laporan dari Bali Fokus (2012), penambang, pekerja gelundung/tromol
dan masyarakat di sekitar dan di hilir kegiatan pemrosesan emas adalah kelompok
yang paling dirugikan. Penambang dan pekerja emas hanya mendapat upah harian
dan tidak dapat jaminan kesehatan. Kalau sakit atau melemah akibat keracunan
merkuri, atau meninggal akibat runtuhan dan longsor saat menggali, mereka
dikembalikan langsung ke kampungnya. Anak-anak dan perempuan usia produktif
merupakan kelompok yang rawan. Pencemaran merkuri melalui udara, tanah dan
air menutup akses dan hak-hak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang sehat
dan berkelanjutan. Banyak lahan pertanian, hutan dan perikanan yang terlantar dan
tercemar akibat kegiatan penambangan emas skala kecil yang meraja lela.
Gambar 4.4 Penambangan Emas Skala Kecil (Sumber: Squidoo, 2012)
Proses penggilingan yang dilakukan bersamaan dengan proses amalgamasi
menyebabkan proses pencucian merkuri dalam ampas terbawa masuk sungai. Di
dalam air, merkuri dapat berubah menjadi senyawa organik metil merkuri atau fenil
merkuri akibat proses dekomposisi oleh bakteri. Selanjutnya senyawa organik
tersebut akan terserap oleh jasad renik dan masuk dalam rantai makanan sehingga
terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam tubuh hewan air seperti ikan dan
kerang pada akhirnya berpotensi memasuki tubuh manusia melalui makanan yang
dikonsumsi.
Di sisi lain, pembeli dan pedagang emas serta pedagang merkuri diuntungkan oleh
tingginya harga emas di pasar. Pertemuan negosiasi merkuri keempat yang baru
usai di Uruguay, menghasilkan kesepakatan yang akan melegitimasi pencemaran
merkuri di tambang emas skala kecil. UNEP, negara-negara Amerika Latin, beberapa
negara Afrika dan para pedagang emas dan merkuri berdalih bahwa kegiatan
tambang emas skala kecil merupakan contoh nyata Green Economy yang harus
didukung termasuk melalui pasokan merkuri. Kebijakan ini dinilai merupakan
kebijakan yang salah kaprah karena merkuri adalah logam berat yang sangat
berbahaya, terutama apabila sudah memasuki rantai makanan dan memapari
makhluk hidup sehingga terjadi bioakumulasi. Penyakit Minamata di Jepang
merupakan salah satu contoh pengalaman buruk akibat tidak terkelolanya merkuri
dengan baik. Para pendukung merkuri harus bertanggung jawab atas pembersihan
lahan yang terkontaminasi dan memberi jaminan kesehatan jangka panjang pada
penambang dan masyarakat.
Dalam setiap gram emas yang dihasilkan, terdapat sekitar 1-3 gram merkuri yang
terlepas ke lingkungan dari proses amalgamasi konsentrat (Telmer, 2007). Namun
demikian praktek yang familiar dilakukan adalah Whole Ore Amalgamation (WOA)
yang melepaskan merkuri lebih banyak ke udara, sampai mencapai 20-50 gram
merkuri per gram emas (Telmer, 2007). Pengenalan penggunaan retort dan fume
hood di sektor pertambangan emas rakyat telah dilakukan oleh beberapa organisasi.
Namun demikian, intervensi teknis ini harus digabungkan dengan insentif ekonomi
dan kerangka peraturan yang komprehensif agar dapat berjalan lebih efektif.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Jambi pada 1977, Kalimantan Barat (2000),
Sulawesi Utara (2002), Jawa Barat (2003) dan Palu, Sulawesi Tengah (2008, 2010)
mengungkapkan konsentrasi merkuri yang cukup tinggi di sungai, tanah dan ikan,
menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat dan khususnya
para penambang (Bali Fokus, 2012).
Di Sulawesi Utara, diestimasikan sebanyak 200 ton merkuri digunakan setiap tahun
untuk mendapatkan emas dari pertambangan illegal (Kambey dkk, 2001). Dalam
penambangan emas rakyat dilakukan di Sulawesi Utara, emas dipisahkan dari bijih
dengan menggunakan merkuri, yang membentuk amalgam dengan emas. Semua
proses dilakukan dengan tingkat pengetahuan teknis dan keterampilan yang
rendah, tidak ada regulasi, dan dengan mengabaikan keselamatan, kesehatan
manusia dan lingkungan. Menurut penelitian Kambeydkk (2001), ikan yang berasal
dari lokasi pertambangan illegal mengandung 30 kali lipat lebih banyak kandungan
merkuri daripada ikan yang berada di lokasi control. Kandungan merkuri dalam
jaringan ikan mengandung tingkat merkuri 4 kali lebih tinggi daripada yang
direkomendasikan oleh WHO (World Health Organization) untuk pembatasan
konsumsi, dan seringkali 2 kali lipat lebih tinggi untuk total pembatasan pada
konsumsi ikan.
Metil merkuri yang merupakan salah satu bentuk merkuri organik yang berbahaya
karena dapat memapari manusia secara langsung. Apabila ikan yang memiliki
kandungan metil-merkuri yang tinggi dikonsumsi, kandungan merkuri tersebut
dapat terakumulasi dalam ASI (Air Susu Ibu) dan merupakan sumber paparan
terhadap balita dan anak. Berdasarkan penelitian Bose-O’Reilly dkk (2008), 14 dari
46 sampel ASI mengandung merkuri melebihi 4 g/l dimana US-EPA (United Statesμ
– Environmental Protection Agency) merekomendasikan “dosis referensi” sebesar
0.3 g inorganik merkuri/kg berat badan/hari [United States Environmentalμ
Protection Agency, 1997. Volume V: Health Effects of Mercury and Mercury
Compounds. Study Report EPA-452/R-97-007: US EPA]. Dua puluh dua dari 46 anak
yang tinggal di daerah pertambangan memiliki serapan total merkuri terhitung
lebih tinggi, yaitu paling tinggi adalah 127 g lebih besar dari nilai yangμ
direkomendasikan dari maksimum serapan (uptake) merkuri inorganik (Bose-
O’Reilly dkk, 2008).
Penelitian lain di Tatelu (Sulawesi Utara) dan Galangan (Katingan, Kalimantan
Tengah) juga menunjukkan adanya konsentrasi merkuri yang tinggi di dalam ikan
(Castilhos dkk, 2006). Di Tatelu, 154 spesimen ikan dari 10 spesies air tawar dan 5
spesies ikan laut dianalisis. Konsentrasi rata-rata merkuri total dalam otot ikan air
tawar dari daerah ini adalah 0,58 ± 0,44 g / g, dengan lebih dari 45% ikanμ
memiliki tingkat Hg di atas pedoman WHO untuk konsumsi manusia dari 0,5 g / g.μ
Di Galangan, di mana 263 spesimen ikan dari 25 spesies dikumpulkan, merkuri total
dalam otot rata-rata 0,25 ± 0,69 g / g, kurang dari 10% ikan dari Galanganμ
melebihi pedoman WHO. Dengan menggunakan model single-kompartemen untuk
memperkirakan tingkat merkuri dalam darah dan rambut dari dosis asupan harian,
sebuah sub-wilayah di Galangan menunjukkan tingkat tertinggi, lebih tinggi dari
batas atas pedoman untuk wanita hamil, tapi masih lebih rendah dari ambang batas
yang berhubungan dengan efek klinis yang diamati (Castilhos dkk, 2006).
Berdasarkan penelitian lain di sekitar daerah yang sama, yaitu Galangan,
Kalimantan Tengah, dan Talawaan, Sulawesi Utara, paparan merkuri dari seluruh
masyarakat tercermin dalam tingkat merkuri yang meningkat dalam urin, dan gejala
kerusakan otak seperti gangguan ataksia, tremor dan gerakan. Di Sulawesi 55% dan
di Kalimantan 62% dari amalgam-smeltertelah didiagnosis keracunan merkuri
(sesuai dengan definisi UNIDO (Veiga dan Baker, 2004)) serta pengolah mineral dan
masyarakat umum di daerah pertambangan juga teracuni untuk persentase yang
tinggi (Bose-O'Reilly dkk, 2010).
Sedimen laut dangkal dan terumbu karang karang dari Buyat-Ratototok distrik
Sulawesi Utara, Indonesia, yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing bawah laut
dari industri pertambangan emas dan pertambangan skala kecil yang menggunakan
merkuri amalgamasi. Kerangka terumbu menunjukkan konsentrasi silikon, mangan,
besi, tembaga, kromium, kobalt, antimon, dan talium berbeda sesuai dengan
kedekatan dengan sumber, tetapi konsentrasi arsenik di karang tidak berbeda nyata
antara situs (Edinger dkk, 2008).
Selain paparan merkuri terhadap manusia dari makanan, pencemaran merkuri juga
dapat disebabkan oleh merkuri yang terdispersi di udara (atmosfer). Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Kono dkk (2012), level merkuri di atmosfer
diestimasi dengan menggunakan pakis epifit asli (native epiphytic fern) Asplenium
nidus complex (A. nidus) sebagai biomonitor, yang mengestimasi persebaran
merkuri di atmosfer yang dilepaskan selama penambangan. Berdasarkan penelitian
ini, konsentrasi merkuri di A. nidus lebih tinggi di desa yang dekat dengan
penambangan (5.4 × 103 ± 1,6 × 103 ng g-1) dibandingkan di lokasi kontrol (70 ± 30
ng g-1). Distribusi merkuri di A. nidus mirip dengan yang di atmosfer, sebuah
hubungan yang signifikan diamati antara konsentrasi merkuri di udara dan di A.
nidus (r = 0,895, P <0,001, n = 14).
Penelitian terakhir yang dilakukan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, dan
sekitarnya, mengungkapkan tingginya kandungan merkuri di udara, antara 20
ng/m3 sampai dengan 40.000 ng/m3 menimbulkan ancaman serius terhadap
kesehatan penduduk yang bertempat tinggal di wilayah hilir (Serikawa, 2011).
Kandungan merkuri dalam perairan dan sedimen di beberapa wilayah
pertambangan emas rakyat dilaporkan berkisar antara 0,6 ppm sampai dengan 4
ppm, lebih tinggi 600-3000 dari standar WHO (0,001 ppm) (Mappiratu, 2010 dalam
Bali Fokus, 2012).
4.4Degradasi Kualitas Tanah
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahyani (2011) di Bombana, Sulawesi Tenggara
menunjukkan tingkat kerusakan tanah di lokasi penambangan emas mengalami
tingkat kerusakan berat dan menimbulkan dampak fisik lingkungan seperti
degradasi tanah. Hilangnya unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan
tanaman, berkurangnya debit air permukaan, tingginya lalu lintas kendaraan
membuat mudah rusaknya jalan, polusi udara, dan dampak sosial ekonomi. Dampak
sosial ekonomi, banyaknya masyarakat beralih profesi dari petani menjadi
penambang emas,dan banyaknya pendatang yang ikut menambang sehingga dapat
menimbulkan konflik, adanya ketakutan sebagian masyarakat karena penambangan
emas yang berpotensi terjadinya erosi.
4.5Pencemaran Sianida dari Tailing pertambangan Emas
Bahan beracun lainnya timbul dari proses ekstraksi (penyulingan), seperti yang
dilakukan untuk memisahkan emas dari bijih. Untuk dapat melakukan itu,
digunakan teknik Cyanida Heap Leaching atau penyucian gundukan. Bijih yang
mengandung emas di hancurkan, ditimbun, dan disiram dengan larutan sianida, dan
menghasilkan tetesan yang mengandung emas.
Hasil yang didapat berupa larutan emas sianida yang terkumpul didasar tumpukan,
dan dipompa menuju kilang. Di kilang tersebut, emas dan sianida terpisah secara
kimiawi, kemudian sianida disimpan kembali di bak penampungan.
Setiap kali mendapatkan gundukan bijih emas yang baru, dilakukan penyucian
selama berbulan-bulan. Dengan masa kontrak dan skala aktivitas pertambangan
yang biasanya mencapai beberapa dekade, maka pencemaran sianida di sekitar
lokasi pertambangan sudah pasti terjadi.Sianida sebesar satu butir beras saja dapat
berakibat buruk bagi manusia, sedangkan 1 mikro gram konsentrat sianida per liter
air, dapat berakibat buruk bagi ikan.
Tindakan-tindakan yang terkait dengan rehabilitasi lahan, pembersihan lahan yang
terkontaminasi dan biomonitoring di kawasan pertambangan emas rakyat tidak
terlalu banyak diketahui dan tidak mendapat perhatian para pemangku
kepentingan. Namun realita di lapangan, dengan berbagai alasan dan kemudahan
menggunakan merkuri, penambang skala kecil sering melakukan praktik risiko
tinggi, yaitu amalgamasi terbuka, pembuangan tailing sembarang dan pencampuran
sianida-merkuri, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Pada Global Mercury Project yang dimulai pada 2002, keputusan menempuh jalur
instrumen berkekuatan hukum pada 2009, serta Kemitraan ASGM (ASGM
Partnership) UNEP yang bertujuan mengurangi 50% merkuri di ASGM pada tahun
2017. Kemitraan diharapkan membantu negara berkembang menghadapi realita
tentang merkuri di ASGM: tersebar, tak terorganisir dan pendekatan peraturan
kurang efektif karena sebagian besar aktivitas adalah ilegal. Beberapa upaya yang
dapat dilakukan antara lain pembatasan cadangan, formalisasi penambang kecil,
pengembangan model transisi yang sukses, serta dukungan teknis maupun finansial
untuk alih teknologi, dan replikasi.
4.6Metode Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Emas
1.1.1 Pengelolaan Air Asam Batuan
Acid rock drainage (ARD) merupakan masalah yang penting dalam penambangan
bijih yang mengandung sulfide, dalam hal ini pertambangan emas. Baik overburden
maupun tailing yang dihasilkan harus dikelola untuk mencegah / mengumpulkan
atau mengolah ARD. Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang ini adalah
dengan melakukan identifikasi berbagai tipe batuan berdasarkan karakteristik
geokimia batuannya. Karakteristik batuan ini didasarkan pada kemampuan batua
untuk membangkitkan asana tau untuk menetralkan asam yang diperoleh dari hasil
uji statik diantaranya Net Acid Generating (NAG), Maximum Potential Acid (MPA,
nilai teoritis yang didapat dari perhitungan total sulfur) dan Acid Neutralizing
Capacity (ANC)
1.1.2 Pengelolaan Limbah
Pertambangan merupakan salah satu usaha yang cukup menghasilkan banyak
limbah. Limbah merupakan semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia
dan hewan yang berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas yang dibuang
karena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak
berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan tersebut kadang-kadang masih dapat
dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku.
Limbah dapat digolongkan menjadi beberapa kategori berdasarkan sifat bahayanya
yaitu :
1.1.2.1 Limbah Non B3 dan Domestik
Limbah domestik merupakan limbah yang dihasilkan dari aktifitas primer sehari-
hari. Limbah ini dapat ditemukan dalam bentuk cair maupun padat. Limbah
domestic cair dapat berasal dari kegiatan rumah tangga sehari-hari seperti kegiatan
mencuci pakaian dan makanan, mandi, kakus dan kegiatan rumah tangga lain yang
menggunakan air. Sedangkan limbah domestik padat dapat ditemukan dalam
bentuk sampah domestik. Untuk menangani limbah domestik yang bersifat cair
maka diperlukan pusat pengolah air buangan ( waste water ). Pengolahan limbah
cair yang biasa digunakan dalam pengolahan limbah cair ini seperti activated sludge
process, oxidation ditch, tricking filter serta wetland. Selain pengolahan limbah cair,
perlu dilakukan monitoring secara rutin untuk infuen-effluent secara konsisten
sehingga memenuhi baku mutu pada titik-titik compliance.
Dalam pengolahan limbah domestik padat, hendaknya dilakukan reduksi sampah
dengan menggalakkan program 3R, untuk pengolahan limbah padat ini dikirim ke
landfill yang dilengkapi dengan sumur-sumur pantau sehingga dapat dipantau
tingkat pencemaran landfill terhadap air tanah area landfill.
1.1.2.2 Limbah B3
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999, B3
didefinisikan sebagai Bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan
dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Limbah B3 merupakan sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan
dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Berdasarkan karakteristiknya limbah B3 diidentifikasikan sebagai bahan yang
mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, infeksius, korosif, dan
bersifat toksik.
Limbah B3 dapat ditangani dengan melakukan penanganan onsite dan off site. On
Site treatment merupakan Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur
B-3 dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri. Teknologi pengolahan setempat
(on-site) dilaksanakan dengan menggunakan salah satu atau beberapa jenis
teknologi berikut:
Limbah lumpur B-3: perlakuan lumpur & chemical conditioning
Incineration (metode thermal)
solidification (stabilisasi)
Penanganan limbah padat atau lumpur B-3
Disposal (land fill dan injection well)
Untuk melaksanakan pengolahan limbah B3 secara on site maka perlu diketahui
Jenis dan karakteristik limbah padat yang akan diolah harus diketahui secara pasti,
agar dapat ditentukan teknologi pengolahannya yang tepat dan antisipasi terhadap
jenis limbah di masa mendatang. Selain itu perlu diketahui jumlah limbah yang
dihasilkan sehingga dapat diketahui biaya yang akan dikeluarkan jika dilakukan
pengelolaan dalam waktu mendatang.
Sedangkan Off-site treatment merupakan penanganan atau pengolahan limbah
padat atau lumpur B-3 dilaksanakan oleh pihak ketiga di pusat pengolahan limbah
industri.
Pengolahan oleh pihak ketiga (off-site) dilaksanakan dengan menggunakan
sekaligus beberapa teknologi-teknologi seperti pada on-site treatment.
Adapun beberapa ketentuan yang harus dipenuhi bagi penghasil limbah B3 :
1) Wajib mengolah limbah B3 atau menyerahkannya kepada Pengolah.
2) Tenpat penyimpanan sesuai dengan persyaratan.
3) Melaporkan kegiatan yang dilakukan.
4) Dapat menjadi pengumpul, pengangkut, pemanfaat atau pengolah bila
memenuhi persyaratan.
5) Mengisi dokumen limbah B3.
6) Memiliki sistem tanggap darurat.
Limbah B3 pertambangan berasal dari kegiatan penunjang pertambangan seperti
bengkel perawatan, stasion pengisian bahan bakar, aktivitas lubricating, dan lain-
lain. Semua limbah B3 pertambangan disalurkan ke penampung limbah B3 yang
berlisensi.
1.1.3 Kualitas Air
Dalam kegiatan pertambangan, salah satu aspek yang dapat terganggu adalah
kualitas air. Air yang terperngaruh/ impacted dapat mengandung logam terlarut,
solid yang tersuspensi, dll.
Agar kualitas air lingkungan sekitar pertambangan tidak terganggu, maka perlu
dilakukan usaha pengolahan air tambang sehingga effluent yang keluar dari
tambang masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh lembaga yang
bersangkutan.
Pemantauan kandungan logam terlarut, pH dan TSS (Total Suspended Solis) di
lakukan pada lokasi pemantauan yang telah ditentukan dan sering kali disebut
sebagai titik penaatan (compliance point). Titik penaatan ini diletakan pada outlet-
outlet air tambang ke lingkungan, selain itu kualitas air sungai juga tetap dipantau
pada beberapa titik pantau.
1.1.4 Kualitas Udara
Kegiatan pertambangan termasuk kegiatan yang menjadi salah satu sumber
pencemar udara yaitu setiap kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke
udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas
senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambient normal,
sehingga menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan, vegetasi, maupun
benda lainnya.
Pencemar udara terdiri dari :
1) Pencemar primer
Merupakan pencemar yang datang langsung dari sumber. Contoh : partikulat,
NOx, CO, SO2, dll.
2) Pencemar sekunder
Merupakan pencemar yang terbentuk oleh interaksi kimiawi antara pencemar
primer dan senyawa-senyawa penyusun atmosfer alamiah. Contoh : NO2, Ozon-
O3, Asam sulfat dan Asam Nitrat.
Pertambangan sebagai kegiatan yang menjadi salah satu sumber pencemaran udara
dari sumber antropogenik tentunya memiliki tanggung jawab dalam memelihara
kualitas udara.
Akibat yang dapat terjadi jika pencemaran udara tetap dibiarkan dan kualitas udara
diabaikan adalah sebagai berikut :
1) Long distance transport
2) Hujan Asam
3) Smog Fotokimia
4) Penipisan lapisan Ozon
5) Urban Heat
Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan dengan menggunakan alat
pengendali pencemaran udara yang dipasang pada sumber-sumber pencemaran
udara, contoh : pabrik pengeringan konsentrat, pabrik pengolahan, dll. Biasanya alat
yang digunakan adalah electrostatic presipitator. Pemantauan kualitas udara juga
harus dilakukan di seluruh areal tambang dengan jangka waktu yang berkala.
1.1.5 Reklamasi
Reklamasi menggambarkan suatu proses dimana permukaan lahan dikembalikan
kepada beberapa bentuk yang menguntungkan dan mengikuti kaidah-kaidah
ekologis yang memacu terjadinya recovery.
Tujuan utama reklamasi adalah menstabilkan permukaan lahan, menjamin
keamanan publiki, perbaikan estetika, dan biasanya mengembalikan lahan, dalam
konteks regional, kepada tujuan-tujuan yang bermanfaat.
Menurut Kleinman (1996) kegiatan reklamasi lahan pasca tambang yang paling
penting adalah :
1. Penanaman makanan ternak, yang ditujuan untuk habitat ternak atau hewan
liar yang sebelumnya telah ada
2. Pengendalian erosi tanah
Penanaman tanaman makanan ternak, seperti rumput-rumputan dan leguminosa,
dapat berfungsi untuk mengendalikan erosi maupun stabilisasi tanah buangan.
Lahan terbuka dapat menyebabkan meningkatnya aliran permukaan (run off) yang
dapat menurunkan kualitas permukaan air tanah, dan nilai estetika.
Pada kondisi ini biasanya diikuti dengan menurunnya kesuburan tanah, rendahnya
kelembaban tanah serta tingginya suhu permukaan tanah. oleh karena itu, langkah
awal yang harus dilakukan pada reklamasi adalah dengan menanam tanaman
penutup (cover crop) oleh tanaman makanan ternak.
Sebelum lahan pasca tambang siap ditanami, terdapat suatu proses penutupan
lubang bekas penambangan agar tidak terbentuk air asam tambang.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan potensi pembentukan air
asam tambang adalah dengan menempatkan material-material pembentuk asam
secara selektif dan pembebasan sulfida overburden dari oksigen, sehingga
menghambat oksidasi pirit.
Efektifnya pengendalian air asam tambang ini merupakan dasar bagi program-
program reklamasi selanjutnya, baik untuk tujuan pertanian, peternakan,
kehutanan maupun rekreasi.
Revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan tambang. Dalam
pelaksanaannya revegetasi lahan tambang sering kali mengalami kesulitan akibat
sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya tanak pucuk merupakan
gambaran yang umum terjadi pada lahan tambang. Kondisi tersebut diperburuk
oleh lapisan permukaan lahan yang berbatu sehingga mempersulit perkembangan
vegetasi akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi air.
Dalam proses revegetasi di lahan pasca penambangan, jenis tanaman yang sesuai
dan didukung oleh beberapa variabel ekologis, seperti :
1) kapasitasnya dalam menstabilkan tanah,
2) meningkatkan bahan organik tanah, dan
3) penyediaan hara tanah.
Pada tahap awal revegetasi, tanaman makanan ternak merupakan jenis tanaman
yang disarankan untuk ditanam, tanaman ini diharapkan dapat memperbaiki hara
dan kandungan bahan organik.
Jenis tanaman yang dipilih adalah rumput-rumputan yang dapat menghasilkan
biomassa tanaman dalam jumlah yang besar, adaptif terhadap pertumbuhan awal
maupun pertumbuhan kembali (regrowth) setelah mengalami pemotongan atau
penggembalaan.
Rumput-rumputan mampu mengendalikan erosi, sementara yang tergolong dalam
famili leguminosae dapat memberikan kontribusi nitrogen melalui fiksasi nitrogen
dari udara.
Teknik yang dapat dilakukan dalam mempercepat proses penutupan lahan tambang
oleh tanaman makanan ternak yaitu melalui :
1. Drill seeding
Drill seeding serupakan metode menanam benih tanaman makanan ternak
dengan kedalamam tanam sesuai dengan anjuran.
Gambar 4.5 Proses Drill Seeding
2. Hydroseeding
Hydroseeding merupakan metode penanaman benih tanaman makanan
ternak di atas permukaan tanah dalam suatu campuran air dan slurry,metode
ini banyak digunakan pada lahan pertambangan.
Gambar 4.6 Hydroseeding di Lokasi Tambang
3. Broadcast seeding
Broadcast seeding merupakan metode penebaran benih dengan sistem
siklom seeder, bisa dengan tangan atau dengan alat seed dribbles, atau dengan
pesawat terbang.
Gambar 4.7 Broadcast seeding Dengan Tangan
Cara yang efektif untuk memadukan antara kondisi tanah, spesies, dan pemanfaatan
lahan pasca penambangan adalah dengan memilih dan menempatkan lapisan
permukaan tanah yang dapat membuat tanah yang cocok dengan vegetasi sesuai
peruntukanya. Jika kondisi tersebut telah tercipta maka lahan pasca tambang
dengan kualitas tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produktivitas
spesies tanaman yang pada gilirannya akan memperbaiki sifat-sifat tanah pasca
penambangan.