bab i

45
BAB I STUDI KASUS PERTAMBANGAN EMAS 1.1 PT Freeport Indonesia Operasi pertambangan PTFI didasarkan pada Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1991 dengan wilayah Kontrak Karya (Gabungan daerah Kontrak Karya A dan daerah Proyek Kontrak Karya) yang memanjang dari punggung pegunungan Jayawijaya di bagian utara (dekat dengan Puncak Jaya dan Carstenz Glacier) sampai ke laut Arafura di bagian selatan. Wilayah Kontrak Karya tersebut terletak berdekatan dengan Taman Nasional Lorentz di bagian timurnya yang terdaftar di UNESCO sebagai salah satu warisan dunia. Luas wilayah kontrak karya adalah sekitar 292.900 hektar yang di dalamnya juga mencakup kota Timika (ibukota Kabupaten Mimika), dan beberapa pemukiman dan desa baik di dataran tinggi maupundataran rendah. Kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan sejak ditandatanganinya kontrak karya pertama tahun 1967 telah menemukan cadangan tembaga yang juga mengandung emas dan perak yang potensial untuk ditambang. Produksi bijih dimulai pada tahun 1972 dengan kapasitas produksi sebesar 7.500 ton/hari. Biji hasil penambangan diolah sehingga

Upload: lia-medy-tandy

Post on 24-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

STUDI KASUS PERTAMBANGAN EMAS

1.1PT Freeport Indonesia

Operasi pertambangan PTFI didasarkan pada Kontrak Karya dengan Pemerintah

Indonesia pada tahun 1991 dengan wilayah Kontrak Karya (Gabungan daerah

Kontrak Karya A dan daerah Proyek Kontrak Karya) yang memanjang dari

punggung pegunungan Jayawijaya di bagian utara (dekat dengan Puncak Jaya dan

Carstenz Glacier) sampai ke laut Arafura di bagian selatan. Wilayah Kontrak Karya

tersebut terletak berdekatan dengan Taman Nasional Lorentz di bagian timurnya

yang terdaftar di UNESCO sebagai salah satu warisan dunia. Luas wilayah kontrak

karya adalah sekitar 292.900 hektar yang di dalamnya juga mencakup kota Timika

(ibukota Kabupaten Mimika), dan beberapa pemukiman dan desa baik di dataran

tinggi maupundataran rendah.

Kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan sejak ditandatanganinya kontrak karya

pertama tahun 1967 telah menemukan cadangan tembaga yang juga mengandung

emas dan perak yang potensial untuk ditambang. Produksi bijih dimulai pada tahun

1972 dengan kapasitas produksi sebesar 7.500 ton/hari. Biji hasil penambangan

diolah sehingga menghasilkan konsentrat yang selanjutnya dialirkan melalui

jaringan pipa ke areal pelabuhan sejauh kurang lebih 115 km ke arah pantai selatan.

Metode penambangan yang diterapkan adalah metode tambang terbuka dan

tambang bawah tanah. Pada tahun 1988 ditemukan badan bijih Grasberg yang

merupakan salah satu badan bijih tembaga, emas dan perak terbesar di dunia.

Tambang terbuka Grasberg mulai berproduksi pada tahun 1990 dan akan

beroperasi sampai tahun 2015. Tambang bawah tanah yang sedang beroperasi saat

ini adalah tambang DOZ (Deep Ore Zone) dan Big Gossan. Beberapa tambang bawah

tanah, seperti Deep MLZ, Grasberg Block Cave dan Kucing Liar sedang dalam tahap

Page 2: BAB I

pengembangan dan nantinya akan menjadi pusat produksi bijih utama PTFI di masa

depan.Kegiatan eksplorasi terus berlanjut dengan tujuan untuk terus memperluas

cadangan.

Untuk menunjang kegiatan pertambangan yang berskala dunia, PTFI telah

membangun berbagai sarana dan prasarana, baik yang langsung maupun tidak

langsung menunjang operasi pertambangan.

Penambangan

Hingga tahun 1987, jumlah bijih yang diproduksi dan diolah di pabrik pengolahan

rata-rata adalah 16.400 ton per hari dengan jumlah cadangan bijih sebesar 100 juta

ton. Pada tahun 1988 cebakan tembaga, emas dan perak Grasberg,yang merupakan

salah satu badan bijih tembaga, emas dan perak terbesar di dunia,ditemukan. Saat

ini jumlah produksi bijih rata-rata mencapai 230.000 ton per hari dengan jumlah

cadangan bijih terbukti (proven) dan terkira (probable) mencapai sekitar 2,6 milyar

ton.

Sesuai dengan kondisi cebakan tembaga emas, sistem penambangan yang

diterapkan saat ini adalah tambang terbuka (open pit) di Grasberg dan tambang

bawah tanah di DOZ dan Big Gossan. Metode penambangan di DOZ, yang juga telah

diterapkan di tambang GBT dan IOZ serta akan diterapkan di Grasberg Block Cave,

Deep MLZ dan Kucing Liar adalah metode block cave. Sementara cebakan di Big

Gossan ditambang dengan metode stope & fill mengingat bentuk dari cebakan serta

keberadaan pabrik pengolahan di permukaan.

Sejak tahun 1988 produksi bijih yang diolah dari waktu ke waktu meningkat secara

tajam. Pada tahun 2010 produksi bijih dari tambang Grasberg rata-rata mencapai

145.529 ton/hari dan dari tambang DOZ rata-rata mencapai 80.367 ton/hari,

sehingga produksi bijih total rata-rata mencapai 225.896 ton/hari. Pada tahun 2011

direncanakan jumlah bijih rata-rata yang akan ditambang di tambang terbuka

Page 3: BAB I

Grasberg mencapai 154.070 ton/hari dan di tambang bawah tanah sebesar 81.485

ton/hari sehingga total mencapai rata-rata 235.555 ton/hari. Kapasitas pengolahan

bijih maksimum yang telah mendapat ijin dari pemerintah adalah sebesar 300.000

ton/ hari.

Secara keseluruhan pada tahun 2011 operasi tambang terbuka Grasberg akan

memproduksi 54,37 juta ton bijih dan 181,74 juta ton batuan penutup (waste

rock)atau nisbah batuan penutup dan bijih (waste/ore atau strip ratio) sebesar 3,34

Direncanakan operasi penambangan di tambang terbuka Grasberg akan berakhir

pada tahun 2016 dan selanjutnya produksi bijih akan sepenuhnya dihasilkan dari

tambang bawah tanah.

Saat ini operasi penambangan bawah tanah dilakukan di tambang DOZ (Deep Ore

Zone). Berbagai fasilitas untuk menunjang peningkatan produksi dari tambang

bawah tanah (Common Infrastructure – CIP) telah dan sedang dibangun. Proyek

pengembangan tambang bawah tanah yang sedang dilakukan adalah:

Tambang Big Gossan yang sudah mulai berproduksi pada tahun 2011 dan

akan mencapai kapasitas produksi puncak pada tahun 2012

Tambang Deep Mill Level Zone (Deep MLZ) yang akan mencapai puncak

produksi pada tahun 2021

Tambang Grasberg Block Cave yang akan mencapai puncak produksi pada

tahun 2022

Gambaran strategi rencana jangka panjang produksi bijih PTFI dapat dilihat pada

Gambar 7.1.

Page 4: BAB I

Gambar 7.1. Strategi rencana jangka panjang produksi bijih PTFI

Baik tambang terbuka Grasberg maupun tambang bawah tanah DOZ dilengkapi

dengan fasilitas peremukan bijih (crusher) dan pengangkutan bijih hasil peremukan

ke stockpile di pabrik pengolahan (mill). Stockpile Amole menampungbijih yang

berasal dari tambang Grasberg sementara stockpile MLA menampungbijih dari

tambang bawah tanah (DOZ).

Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing

Proses pemisahan konsentrat dan tailing dilakukan di pabrik pengolahan melalui

metode flotasi yang merupakan proses pemisahan yang didasarkan pada sifat fisik

yaitu sifat permukaan mineral. Terdapat 4 (empat) concentrator, yaitu concentrator

#1, #2, #3 dan #4 yang dibangun secara bertahap untuk menunjang kapasitas

penambangan dan cadangan. Aliran proses di pabrik pengolahan (concentrator)

secara skematik dapat dilihat pada Gambar 7.2.

Page 5: BAB I

Gambar 7.2 Aliran Proses Pengolahan Secara Umum

Bijih yang telah mengalami peremukan yang ditampung pada stockpile diumpankan

ke Semi-Autogenous Grinding (SAG) mills dan ball mills untuk digerus hingga

mencapai suatu ukuran fraksi yang memungkinkan proses pemisahan mineral

perak, emas dan tembaga.

Setelah proses penggerusan, bijih dalam bentuk lumpur (slurry) dialirkan ke

serangkaian sel flotasi. Pada sel flotasi dilakukan penambahan reagen (collectors

dan frothers) yang antara lain berfungsi untuk menstabilkan gelembung udara

sehingga terjadi proses penempelan mineral berharga yang mengandung tembaga,

emas dan perak sehingga terapung.

Perolehan emas meningkat dengan penggunaan metode pemisahan gravitasi.

Partikel batu yang tersisa akan mengendap membentuk tailing.

Konsentrat yang diperoleh dari sel flotasi kemudian dialirkan kedalam thickener

hingga mencapai kandungan padatan sekitar 65% dan dimasukkan ke dalam

Page 6: BAB I

temporary concentrate tanks. Selanjutnya konsentrat dipompa menuju ke lokasi

pelabuhan sejauh kurang lebih 115 km melalui 3 jaringan pipa yang terdiri atas satu

jaringan pipa berdiameter 5 inci dan dua jaringan pipa berdiameter 6 inci.

Kapasitas pengangkutan konsentrat adalah sebesar 9600 ton/hari. Di lokasi

pelabuhan, konsentrat dikeringkan atau dikurangi kadar airnya hingga tinggal 9%

pada instalasi pengeringan (dewatering plant) yang sesuai untuk dikapalkan menuju

pabrik peleburan (smelter) di Indonesia dan berbagai penjuru dunia. Tabel 2.1.

menunjukkan data produksi bijih dan konsentrat per tahun selama kurun waktu

tahun 2006 sampai tahun 2010.

Tabel 2.1 Data Produksi Bijih dan Konsentrat Per Tahun 2006-2010

Tailing dialirkan ke thickener untuk memperoleh kembali air yang akan digunakan

dalam pabrik pengolahan. Sekitar 50% air yang digunakan untuk proses pengolahan

berasal dari air daur ulang tersebut.

Underflow dari thickener dialirkan ke daerah pengendapan tailing melalui aliran

sungai yang hulunya berasal dari lokasi pabrik pengolahan.

Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) yang mencakup areal seluas 230 km2

adalah daerah pengelolaan tailing di daratan yang menerima aliran tailing dari

Page 7: BAB I

dataran tinggi melalui sungai Aghawagon dan Otomona. Batas bagian utara dari

ModADA adalah jembatan Otomona sementara batas di bagian selatan adalah

Kelapa Lima dan Pandan Lima.

Pada tahun 2005 aliran sungai Ajkwa yang tadinya bergabung dengan aliran tailing

dipisahkan dengan membangun tanggul barat baru. Saat ini daerah pengendapan

tailing dibatasi oleh dua tanggul, yaitu tanggul barat baru dan tanggul timur. Dengan

semakin banyaknya tailing yang mengendap, maka tinggi tanggul harus

ditingkatkan untuk memenuhi kriteria freeboard atau tinggi minimal permukaan

endapan tailing dengan permukaan tanggul. Oleh karena itu peningkatan tinggi

tanggul secara terus menerus dilakukan menggunakan material galian (kerikil dan

pasir) dari kuari yang berlokasi di bagian timur ModADA. Total jumlah material

yang telah digunakan untuk konstruksi tanggul sampai tahun 2010 adalah 45,8 juta

m3 terdiri atas 25,4 juta m3 pada tanggul barat, 19,5 juta m3pada tanggul timur,

0,79 juta m3untuk gabion groundsill di MA117 serta 2,70 juta m3 untuk pekerjaan

lain (termasuk perbaikan jalan, dan keperluan pengembangan dan perawatan

kuari).

Fasilitas Penunjang

Berbagai fasilitas penunjang penting antara lain:

Sarana transportasi berupa jalan dari areal pelabuhan sampai ke tambang

Grasberg, termasuk beberapa terowongan

Fasilitas perumahan dan akomodasi bagi para pekerja, yang tersebar di

Kuala Kencana, Tembagapura, Hidden Valley, Ridge camp

Sarana pembangkit listrik yang terdiri atas satu Pembangkit Listrik Tenaga

Uap (PLTU) menggunakan batubara dan beberapa Pembangkit/Generator

Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan jaringan transmisi listrik

Sarana pergudangan dan fasilitas penyimpanan bahan bakar

Page 8: BAB I

Fasilitas perkantoran

Fasilitas perbengkelan

Rumah sakit, klinik pengobatan dan sekolah

Laboratorium lingkungan yang lengkap dan terakreditasi

Bandar udara (airport)

Fasilitas bongkar muat kargo di laut lepas, penunjang logistik, dan pelayanan

distribusi dan pergudangan kargo

Fasilitas perbaikan dan perawatan di laut lepas

Fasilitas penanganan limbah berbahaya dan tidak berbahaya

Ketika awal dimulainya kegiatan pertambangan PTFI di Papua (sebelumnya Irian

Jaya) pada 1972, tingkat produksi bijih adalah 7.500 ton/hari dan populasi pekerja

di Tembagapura kurang dari 1.000 orang. Pada awalnya tidak terdapat pemukiman

asli dekat dengan daerah Timika. Saat ini, PTFI dan kontraktornya memiliki

populasi pekerja mencapai 21.000 orang yang bermukim di Tembagapura, Kuala

Kencana dan sekitarnya. Jumlah penduduk diTimika dan sekitarnya dilaporkan

mencapai sekitar 150.000 orang. Perkembangan skala operasi pertambangan yang

signifikan terutama sejak dikembangkannya tambang terbuka Grasberg

mengakibatkan semakin rumitnya persoalan manajemen di berbagai aspek.Pada

tahun 1993 manajemen PTFI membuat keputusan strategis untuk lebih fokus pada

inti bisnisnya yaitupenambangan dan pengolahan bijih dan mengurangi beban

pengelolaan berbagai kegiatan penunjang. Selanjutnya PTFI melakukan divestasi

berbagai aset dari berbagai pelayanan penunjang seperti penerbangan, operasi

pembangkit listrik, logistik, kelautan, operasi peralatan konstruksi, kesehatan,

perumahan dan katering. Fasilitas-fasilitas tersebut saat ini berada dibawah

kepemilikan dan pengelolaan dari perusahaan swasta yang terpisah dari PTFI.

Semua perusahaan swastatersebut terikat kontrak dengan PTFI dan memiliki

Page 9: BAB I

kewajiban untuk mematuhi semua kebijakan lingkungan PTFI dan tentu juga

peraturan perundangundangan dan hukum Indonesia.

Pengelolaan Air Asam Batuan

Acid rock drainage (ARD) merupakan masalah lingkungan yang penting untuk

penambangan bijih yang mengandung sulfida seperti Grasberg. Baik overburden

maupun tailing dikelola untuk mencegah atau mengumpulkan dan mengolahARD.

Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang di tambang Grasberg dilakukan

dengan mengidentifikasi berbagai tipe batuan berdasarkan karakteristik

geokimianya.

Karakterisasi batuan didasarkan pada kemampuan batuan untuk membangkitkan

asam atau untuk menetralkan asam berdasarkan uji statik seperti Net Acid

Generation (NAG), Maximum Potential of Acidity (MPA) dan Acid Neutralizing

Capacity (ANC).

Terdapat 7 (tujuh) tipe batuan pada batuan penutup (overburden) di tambang

Grasberg, yaitu :

Tipe 1 (hijau) : Batuan yang dapat menetralkan asam (limestone dan

dolomite)

Tipe 2 (hijau) : Batuan bukan pembentuk asam

Tipe 3 (biru) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas rendah

Tipe 4 (biru) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas menengah

Tipe 5 (merah) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas cukup

tinggi

Tipe 6 (merah) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas tinggi

Tipe 7 (hitam) : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas sangat

tinggi

Page 10: BAB I

Pada dasarnya proses pengolahan bijih dengan cara flotasi dilakukan pada kondisi

basa. Untuk mendapatkan kondisi tersebut ditambahkan kapur pada saat awal dari

proses pengolahan.

Pengendalian potensi pembentukan air asam tambang pada tailing dilakukan

dengan memonitor rasio antara ANC dan MPA pada aliran tailing, baik pada saat

keluar dari pabrik pengolahan maupun pada saat memasuki tempat pengendapan

ModADA.

ANC/MPA minimal yang dijadikan acuan yang dapat mencegah pembentukan air

asam tambang adalah 1,5 (kapasitas netralisasi 50% lebih besar dari kapasitas

pembentukan asam). Data pengelolaan air asam tambang maupun geokimia tailing

dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 7.2.

Tabel 2.2 Pengelolaan Air Asam Tambang Tahun 2008-2010

Page 11: BAB I

Pengelolaan Limbah

Sebagian besar sarana-prasarana yang digunakan dalam pengelolaan limbah di PTFI

adalah berinduk pada group Water, Sewage & Waste (WSW) di bawah Facilities

Management (FM) Department. Gambar 2.3 dan Gambar 2.4 menggambarkan

pembagian limbah yang dihasilkan di PTFI.

Grup WSW mengoperasikan 3 buah landfill, 1 buah leachate treatmen plant (LTP),

10 buah sewage treatment plants (STP), 2 pallet shredder, dan area penyimpanan

(storage) limbah B3, serta 10 unit water supply plants (WSP).

Kualitas Air

Pemantauan kualitas air di wilayah kerja PTFI dillakukan pada areal yang luas, yang

mencakup dataran tinggi maupun dataran rendah. Secara umum persebaran titik-

titik pemantauan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.5. Pemantauan

kandungan logam terlarut dan parameter standar lainnya seperti pH dan TSS (Total

Suspended Solid) dilakukan di semua lokasi pemantauan air sungai di dataran tinggi

dan dataran rendah. Pemantauan di daerah muara dilakukan pada titik pemantauan

EM270 (daerah muara Ajkwa yang dipengaruhi tailing secara langsung) dan titik

pemantauan EM430 (daerah Muara Minajerwi yang tidak dipengaruhi oleh tailing

sejak awal 1997).

Page 12: BAB I

Tabel 2.3 Persebaran Titik-Titik Pemantauan Pada Tahun 2010

Page 13: BAB I

BAB IV

DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN EMAS

Kegiatan penambangan emas memiliki dampak negatif yang tidak sedikit terhadap

lingkungan. Secara umum, kegiatan penambangan emas ini dapat dibagi menjadi

dua jenis berdasarkan skala kegiatannya, yaitu skala besar dan skala kecil

4.1Pembuangan Tailing Melalui Sungai

PT Freeport Indonesia (PT-FI) adalah perusahaan tambang tembaga-emas yang

melakukan kegiatan penambangannya di Papua Barat. Tambang PT-FI

menghasilkan dan membuang 200.000 ton tailing per hari (lebih dari 80 juta ton

per tahun) (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).

Tambang ini diperkirakan akan menghasilkan tailing lebih dari 3 milyar ton

sebelum tambang ditutup. Tailing tersebut mengandung tembaga, arsen, kadmium,

dan selenium dalam konsentrasi tinggi (Earthworks and MiningWatch Canada,

2012). Namun demikian, PT-FI tidak menggunakan sianida maupun merkuri pada

proses pengolahannya.

Reagen flotasi yang digunakan dalam proses flotasi untuk memisahkan konsentrat

dari bijih mengalami penguapan dengan cepat dan tidak dapat dideteksi bahkan

pada jarak dekat dari pabrik pengolahan. PT-FI memanfaatkan sebuah daerah aliran

sungai untuk mengalirkan tailing menuju daerah peruntukan dikawasan dataran

rendah dan pesisir yang dinamakan Daerah Pengendapan Modifikasi.

Daerah pengendapan tersebut adalah bagian dari bantaran banjir sungai yang saat

ini mencakup luas sekitar 235 km2, yang merupakan sistem yang direkayasa dan

dikelola bagi pengendapan dan pengendalian tailing. Akan tetapi, tailing tersebut

telah mengubur 166 km2 hutan produktif dan wetland, dan beberapa jenis ikan telah

punah (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Tailing ini juga

Page 14: BAB I

mengontaminasi estuari dan Laut Arafura dan kemungkinan juga Taman Nasional

Lorentz, yang merupakan area warisan dunia (World Heritage site).

Gambar 4.1 Lokasi Tambang PT Freeport Indonesia (Sumber: Earthworks and MiningWatch

Canada, 2012)

Sistem yang berlaku saat ini yang memanfaatkan aliran sungai untuk mengalirkan

tailing dari daerah pegunungan yang tinggi menuju lokasi pengendapan di daerah

dataran rendah juga memungkinkan aliran air permukaan dengan kandungan alami

alkali yang tinggi untuk bercampur dengan tailing pada aliran sungai, sehingga

terjadi meningkatkan daya penyangga (buffering) dan mengurangi potensi

pembentukan asam, yang menjadi pertimbangan lingkungan yang cukup berarti.

Akan tetapi tumpukan batuan limbah (waste rock dumps) masih ada yang

menimbulkan air asam batuan (acid rock drainage) yang berpotensi merusak danau

dan hutan (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).

Gambar 4.2 Aliran Sungai Ajkwa (sumber: PT Freeport Indonesia, 2006)

Page 15: BAB I

4.2Pembuangan Tailing melalui laut dalam

Sejak tahun 2000, tambang tembaga-emas Batu Hijau di Pulau Sumbawa telah

membuang tailing ke Teluk Senunu (Samudra Hindia) melalui jalur pipa sepanjang

3.4 km offshore ke kedalaman 120 meter (Earthworks and MiningWatch Canada,

2012). Tambang ini dioperasikan oleh US Newmont Mining Corp (PT Newmont

Nusa Tenggara). Dampak yang ditimbulkan akibat pembuangan tailing ke laut,

antara lain:

1. Penumpukan tailing di area terumbu karang apabila terjadi kerusakan pipa (setelah

13 bulan beroperasi, terdapat jalur pipa yang rusak);

2. Penurunan populasi ikan karena pencemaran air antara tahun 2006 – 2010 akibat

dari pembuangan lebih dari 40 juta ton tailing ke laut setiap tahun oleh PT

Newmont Nusa Tenggara (WALHI dalam Earthworks and MiningWatch Canada,

2012).

Karena adanya kepedulian akan kemungkinan terjadinya kontaminasi, beberapa

kelompok masyarakat melakukan protes ke perusahaan tersebut dan meminta

kompensasi pencemaran dan pemerintah daerah telah meletakkan peraturan yang

lebih ketat mengenai dumping. Pada bulan Mei 2011, pemerintah lokal Sumbawa

Barat meminta kepada pemerintah Indonesia untuk tidak memperbarui izin

pembuangan tailing ke laut tersebut. Akan tetapi, pemerintah Indonesia telah

menyetujui izin dengan beberapa kondisi, dimana sekarang telah banyak menuai

banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat.

Gambar 4.3 Lokasi Tambang PT Newmont Nusa Tenggara (Sumber:

Earthworks and MiningWatch Canada, 2012)

Page 16: BAB I

Tambang ini juga dikritik karena adanya tumpahan tailing dari pipa di tanah,

merusak hutan hujan khususnya area pelestarian burung, mencari izin untuk

memperluas tambang dan tumpukan batuan limbah (waste rock pile) lebih dari 70

hektar ke dalam hutan lindung dan area kunci keanekaragaman hayati, serta dinilai

telah gagal melaporkan kesalahan pit dan biaya pembersihan untuk pemilik saham,

dan adanya eksplorasi dan rencana ekspansi ke Elang/Dodo Rinti (Sumber:

Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).

4.3Kegiatan Penambangan Emas Skala Kecil

Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan dua kali lipat dari

jumlah hotspot ASGM (Artisanal Small-scale Gold Mining) atau sektor pertambangan

rakyat. Area pertambangan emas yang ada umumnya terletak di tanah milik pribadi

yang dikelola oleh sebuah kelompok penambang, maupun masyarakat umum. Di

tahun 2010, terdapat sekitar 900 hotspot, yang mencakup sekitar 250.000

penambang, termasuk di dalam jumlah tersebut adalah para perempuan dan anak-

anak kecil di bawah umur (Bali Fokus, 2012). Sekitar 1.000.000 populasi

menggantungkan keberlangsungan kehidupan mereka dari perputaran ekonomi

bisnis tambang emas yang eksploitatif ini (Ismawati, 2010). Dari berbagai literatur

diperkirakan tiap petambang dalam sehari dapat menghasilkan sekitar 10 gram

emas (Bali Fokus, 2012).

Menurut laporan dari Bali Fokus (2012), penambang, pekerja gelundung/tromol

dan masyarakat di sekitar dan di hilir kegiatan pemrosesan emas adalah kelompok

yang paling dirugikan. Penambang dan pekerja emas hanya mendapat upah harian

dan tidak dapat jaminan kesehatan. Kalau sakit atau melemah akibat keracunan

merkuri, atau meninggal akibat runtuhan dan longsor saat menggali, mereka

dikembalikan langsung ke kampungnya. Anak-anak dan perempuan usia produktif

merupakan kelompok yang rawan. Pencemaran merkuri melalui udara, tanah dan

Page 17: BAB I

air menutup akses dan hak-hak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang sehat

dan berkelanjutan. Banyak lahan pertanian, hutan dan perikanan yang terlantar dan

tercemar akibat kegiatan penambangan emas skala kecil yang meraja lela.

Gambar 4.4 Penambangan Emas Skala Kecil (Sumber: Squidoo, 2012)

Proses penggilingan yang dilakukan bersamaan dengan proses amalgamasi

menyebabkan proses pencucian merkuri dalam ampas terbawa masuk sungai. Di

dalam air, merkuri dapat berubah menjadi senyawa organik metil merkuri atau fenil

merkuri akibat proses dekomposisi oleh bakteri. Selanjutnya senyawa organik

tersebut akan terserap oleh jasad renik dan masuk dalam rantai makanan sehingga

terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam tubuh hewan air seperti ikan dan

kerang pada akhirnya berpotensi memasuki tubuh manusia melalui makanan yang

dikonsumsi.

Di sisi lain, pembeli dan pedagang emas serta pedagang merkuri diuntungkan oleh

tingginya harga emas di pasar. Pertemuan negosiasi merkuri keempat yang baru

usai di Uruguay, menghasilkan kesepakatan yang akan melegitimasi pencemaran

merkuri di tambang emas skala kecil. UNEP, negara-negara Amerika Latin, beberapa

negara Afrika dan para pedagang emas dan merkuri berdalih bahwa kegiatan

tambang emas skala kecil merupakan contoh nyata Green Economy yang harus

didukung termasuk melalui pasokan merkuri. Kebijakan ini dinilai merupakan

Page 18: BAB I

kebijakan yang salah kaprah karena merkuri adalah logam berat yang sangat

berbahaya, terutama apabila sudah memasuki rantai makanan dan memapari

makhluk hidup sehingga terjadi bioakumulasi. Penyakit Minamata di Jepang

merupakan salah satu contoh pengalaman buruk akibat tidak terkelolanya merkuri

dengan baik. Para pendukung merkuri harus bertanggung jawab atas pembersihan

lahan yang terkontaminasi dan memberi jaminan kesehatan jangka panjang pada

penambang dan masyarakat.

Dalam setiap gram emas yang dihasilkan, terdapat sekitar 1-3 gram merkuri yang

terlepas ke lingkungan dari proses amalgamasi konsentrat (Telmer, 2007). Namun

demikian praktek yang familiar dilakukan adalah Whole Ore Amalgamation (WOA)

yang melepaskan merkuri lebih banyak ke udara, sampai mencapai 20-50 gram

merkuri per gram emas (Telmer, 2007). Pengenalan penggunaan retort dan fume

hood di sektor pertambangan emas rakyat telah dilakukan oleh beberapa organisasi.

Namun demikian, intervensi teknis ini harus digabungkan dengan insentif ekonomi

dan kerangka peraturan yang komprehensif agar dapat berjalan lebih efektif.

Beberapa penelitian yang dilakukan di Jambi pada 1977, Kalimantan Barat (2000),

Sulawesi Utara (2002), Jawa Barat (2003) dan Palu, Sulawesi Tengah (2008, 2010)

mengungkapkan konsentrasi merkuri yang cukup tinggi di sungai, tanah dan ikan,

menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat dan khususnya

para penambang (Bali Fokus, 2012).

Di Sulawesi Utara, diestimasikan sebanyak 200 ton merkuri digunakan setiap tahun

untuk mendapatkan emas dari pertambangan illegal (Kambey dkk, 2001). Dalam

penambangan emas rakyat dilakukan di Sulawesi Utara, emas dipisahkan dari bijih

dengan menggunakan merkuri, yang membentuk amalgam dengan emas. Semua

proses dilakukan dengan tingkat pengetahuan teknis dan keterampilan yang

rendah, tidak ada regulasi, dan dengan mengabaikan keselamatan, kesehatan

manusia dan lingkungan. Menurut penelitian Kambeydkk (2001), ikan yang berasal

Page 19: BAB I

dari lokasi pertambangan illegal mengandung 30 kali lipat lebih banyak kandungan

merkuri daripada ikan yang berada di lokasi control. Kandungan merkuri dalam

jaringan ikan mengandung tingkat merkuri 4 kali lebih tinggi daripada yang

direkomendasikan oleh WHO (World Health Organization) untuk pembatasan

konsumsi, dan seringkali 2 kali lipat lebih tinggi untuk total pembatasan pada

konsumsi ikan.

Metil merkuri yang merupakan salah satu bentuk merkuri organik yang berbahaya

karena dapat memapari manusia secara langsung. Apabila ikan yang memiliki

kandungan metil-merkuri yang tinggi dikonsumsi, kandungan merkuri tersebut

dapat terakumulasi dalam ASI (Air Susu Ibu) dan merupakan sumber paparan

terhadap balita dan anak. Berdasarkan penelitian Bose-O’Reilly dkk (2008), 14 dari

46 sampel ASI mengandung merkuri melebihi 4 g/l dimana US-EPA (United Statesμ

– Environmental Protection Agency) merekomendasikan “dosis referensi” sebesar

0.3 g inorganik merkuri/kg berat badan/hari [United States Environmentalμ

Protection Agency, 1997. Volume V: Health Effects of Mercury and Mercury

Compounds. Study Report EPA-452/R-97-007: US EPA]. Dua puluh dua dari 46 anak

yang tinggal di daerah pertambangan memiliki serapan total merkuri terhitung

lebih tinggi, yaitu paling tinggi adalah 127 g lebih besar dari nilai yangμ

direkomendasikan dari maksimum serapan (uptake) merkuri inorganik (Bose-

O’Reilly dkk, 2008).

Penelitian lain di Tatelu (Sulawesi Utara) dan Galangan (Katingan, Kalimantan

Tengah) juga menunjukkan adanya konsentrasi merkuri yang tinggi di dalam ikan

(Castilhos dkk, 2006). Di Tatelu, 154 spesimen ikan dari 10 spesies air tawar dan 5

spesies ikan laut dianalisis. Konsentrasi rata-rata merkuri total dalam otot ikan air

tawar dari daerah ini adalah 0,58 ± 0,44 g / g, dengan lebih dari 45% ikanμ

memiliki tingkat Hg di atas pedoman WHO untuk konsumsi manusia dari 0,5 g / g.μ

Di Galangan, di mana 263 spesimen ikan dari 25 spesies dikumpulkan, merkuri total

Page 20: BAB I

dalam otot rata-rata 0,25 ± 0,69 g / g, kurang dari 10% ikan dari Galanganμ

melebihi pedoman WHO. Dengan menggunakan model single-kompartemen untuk

memperkirakan tingkat merkuri dalam darah dan rambut dari dosis asupan harian,

sebuah sub-wilayah di Galangan menunjukkan tingkat tertinggi, lebih tinggi dari

batas atas pedoman untuk wanita hamil, tapi masih lebih rendah dari ambang batas

yang berhubungan dengan efek klinis yang diamati (Castilhos dkk, 2006).

Berdasarkan penelitian lain di sekitar daerah yang sama, yaitu Galangan,

Kalimantan Tengah, dan Talawaan, Sulawesi Utara, paparan merkuri dari seluruh

masyarakat tercermin dalam tingkat merkuri yang meningkat dalam urin, dan gejala

kerusakan otak seperti gangguan ataksia, tremor dan gerakan. Di Sulawesi 55% dan

di Kalimantan 62% dari amalgam-smeltertelah didiagnosis keracunan merkuri

(sesuai dengan definisi UNIDO (Veiga dan Baker, 2004)) serta pengolah mineral dan

masyarakat umum di daerah pertambangan juga teracuni untuk persentase yang

tinggi (Bose-O'Reilly dkk, 2010).

Sedimen laut dangkal dan terumbu karang karang dari Buyat-Ratototok distrik

Sulawesi Utara, Indonesia, yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing bawah laut

dari industri pertambangan emas dan pertambangan skala kecil yang menggunakan

merkuri amalgamasi. Kerangka terumbu menunjukkan konsentrasi silikon, mangan,

besi, tembaga, kromium, kobalt, antimon, dan talium berbeda sesuai dengan

kedekatan dengan sumber, tetapi konsentrasi arsenik di karang tidak berbeda nyata

antara situs (Edinger dkk, 2008).

Selain paparan merkuri terhadap manusia dari makanan, pencemaran merkuri juga

dapat disebabkan oleh merkuri yang terdispersi di udara (atmosfer). Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Kono dkk (2012), level merkuri di atmosfer

diestimasi dengan menggunakan pakis epifit asli (native epiphytic fern) Asplenium

nidus complex (A. nidus) sebagai biomonitor, yang mengestimasi persebaran

merkuri di atmosfer yang dilepaskan selama penambangan. Berdasarkan penelitian

Page 21: BAB I

ini, konsentrasi merkuri di A. nidus lebih tinggi di desa yang dekat dengan

penambangan (5.4 × 103 ± 1,6 × 103 ng g-1) dibandingkan di lokasi kontrol (70 ± 30

ng g-1). Distribusi merkuri di A. nidus mirip dengan yang di atmosfer, sebuah

hubungan yang signifikan diamati antara konsentrasi merkuri di udara dan di A.

nidus (r = 0,895, P <0,001, n = 14).

Penelitian terakhir yang dilakukan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, dan

sekitarnya, mengungkapkan tingginya kandungan merkuri di udara, antara 20

ng/m3 sampai dengan 40.000 ng/m3 menimbulkan ancaman serius terhadap

kesehatan penduduk yang bertempat tinggal di wilayah hilir (Serikawa, 2011).

Kandungan merkuri dalam perairan dan sedimen di beberapa wilayah

pertambangan emas rakyat dilaporkan berkisar antara 0,6 ppm sampai dengan 4

ppm, lebih tinggi 600-3000 dari standar WHO (0,001 ppm) (Mappiratu, 2010 dalam

Bali Fokus, 2012).

4.4Degradasi Kualitas Tanah

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahyani (2011) di Bombana, Sulawesi Tenggara

menunjukkan tingkat kerusakan tanah di lokasi penambangan emas mengalami

tingkat kerusakan berat dan menimbulkan dampak fisik lingkungan seperti

degradasi tanah. Hilangnya unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan

tanaman, berkurangnya debit air permukaan, tingginya lalu lintas kendaraan

membuat mudah rusaknya jalan, polusi udara, dan dampak sosial ekonomi. Dampak

sosial ekonomi, banyaknya masyarakat beralih profesi dari petani menjadi

penambang emas,dan banyaknya pendatang yang ikut menambang sehingga dapat

menimbulkan konflik, adanya ketakutan sebagian masyarakat karena penambangan

emas yang berpotensi terjadinya erosi.

Page 22: BAB I

4.5Pencemaran Sianida dari Tailing pertambangan Emas

Bahan beracun lainnya timbul dari proses ekstraksi (penyulingan), seperti yang

dilakukan untuk memisahkan emas dari bijih. Untuk dapat melakukan itu,

digunakan teknik Cyanida Heap Leaching atau penyucian gundukan. Bijih yang

mengandung emas di hancurkan, ditimbun, dan disiram dengan larutan sianida, dan

menghasilkan tetesan yang mengandung emas.

Hasil yang didapat berupa larutan emas sianida yang terkumpul didasar tumpukan,

dan dipompa menuju kilang. Di kilang tersebut, emas dan sianida terpisah secara

kimiawi, kemudian sianida disimpan kembali di bak penampungan.

Setiap kali mendapatkan gundukan bijih emas yang baru, dilakukan penyucian

selama berbulan-bulan. Dengan masa kontrak dan skala aktivitas pertambangan

yang biasanya mencapai beberapa dekade, maka pencemaran sianida di sekitar

lokasi pertambangan sudah pasti terjadi.Sianida sebesar satu butir beras saja dapat

berakibat buruk bagi manusia, sedangkan 1 mikro gram konsentrat sianida per liter

air, dapat berakibat buruk bagi ikan.

Tindakan-tindakan yang terkait dengan rehabilitasi lahan, pembersihan lahan yang

terkontaminasi dan biomonitoring di kawasan pertambangan emas rakyat tidak

terlalu banyak diketahui dan tidak mendapat perhatian para pemangku

kepentingan. Namun realita di lapangan, dengan berbagai alasan dan kemudahan

menggunakan merkuri, penambang skala kecil sering melakukan praktik risiko

tinggi, yaitu amalgamasi terbuka, pembuangan tailing sembarang dan pencampuran

sianida-merkuri, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

Pada Global Mercury Project yang dimulai pada 2002, keputusan menempuh jalur

instrumen berkekuatan hukum pada 2009, serta Kemitraan ASGM (ASGM

Partnership) UNEP yang bertujuan mengurangi 50% merkuri di ASGM pada tahun

2017. Kemitraan diharapkan membantu negara berkembang menghadapi realita

tentang merkuri di ASGM: tersebar, tak terorganisir dan pendekatan peraturan

Page 23: BAB I

kurang efektif karena sebagian besar aktivitas adalah ilegal. Beberapa upaya yang

dapat dilakukan antara lain pembatasan cadangan, formalisasi penambang kecil,

pengembangan model transisi yang sukses, serta dukungan teknis maupun finansial

untuk alih teknologi, dan replikasi.

4.6Metode Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Emas

1.1.1 Pengelolaan Air Asam Batuan

Acid rock drainage (ARD) merupakan masalah yang penting dalam penambangan

bijih yang mengandung sulfide, dalam hal ini pertambangan emas. Baik overburden

maupun tailing yang dihasilkan harus dikelola untuk mencegah / mengumpulkan

atau mengolah ARD. Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang ini adalah

dengan melakukan identifikasi berbagai tipe batuan berdasarkan karakteristik

geokimia batuannya. Karakteristik batuan ini didasarkan pada kemampuan batua

untuk membangkitkan asana tau untuk menetralkan asam yang diperoleh dari hasil

uji statik diantaranya Net Acid Generating (NAG), Maximum Potential Acid (MPA,

nilai teoritis yang didapat dari perhitungan total sulfur) dan Acid Neutralizing

Capacity (ANC)

1.1.2 Pengelolaan Limbah

Pertambangan merupakan salah satu usaha yang cukup menghasilkan banyak

limbah. Limbah merupakan semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia

dan hewan yang berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas yang dibuang

karena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak

berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan tersebut kadang-kadang masih dapat

dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku.

Page 24: BAB I

Limbah dapat digolongkan menjadi beberapa kategori berdasarkan sifat bahayanya

yaitu :

1.1.2.1 Limbah Non B3 dan Domestik

Limbah domestik merupakan limbah yang dihasilkan dari aktifitas primer sehari-

hari. Limbah ini dapat ditemukan dalam bentuk cair maupun padat. Limbah

domestic cair dapat berasal dari kegiatan rumah tangga sehari-hari seperti kegiatan

mencuci pakaian dan makanan, mandi, kakus dan kegiatan rumah tangga lain yang

menggunakan air. Sedangkan limbah domestik padat dapat ditemukan dalam

bentuk sampah domestik. Untuk menangani limbah domestik yang bersifat cair

maka diperlukan pusat pengolah air buangan ( waste water ). Pengolahan limbah

cair yang biasa digunakan dalam pengolahan limbah cair ini seperti activated sludge

process, oxidation ditch, tricking filter serta wetland. Selain pengolahan limbah cair,

perlu dilakukan monitoring secara rutin untuk infuen-effluent secara konsisten

sehingga memenuhi baku mutu pada titik-titik compliance.

Dalam pengolahan limbah domestik padat, hendaknya dilakukan reduksi sampah

dengan menggalakkan program 3R, untuk pengolahan limbah padat ini dikirim ke

landfill yang dilengkapi dengan sumur-sumur pantau sehingga dapat dipantau

tingkat pencemaran landfill terhadap air tanah area landfill.

1.1.2.2 Limbah B3

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999, B3

didefinisikan sebagai Bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan

dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan

hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.

Limbah B3 merupakan sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan

berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau

Page 25: BAB I

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan

dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan

hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.

Berdasarkan karakteristiknya limbah B3 diidentifikasikan sebagai bahan yang

mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, infeksius, korosif, dan

bersifat toksik.

Limbah B3 dapat ditangani dengan melakukan penanganan onsite dan off site. On

Site treatment merupakan Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur

B-3 dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri. Teknologi pengolahan setempat

(on-site) dilaksanakan dengan menggunakan salah satu atau beberapa jenis

teknologi berikut:

Limbah lumpur B-3: perlakuan lumpur & chemical conditioning

Incineration (metode thermal)

solidification (stabilisasi)

Penanganan limbah padat atau lumpur B-3

Disposal (land fill dan injection well)

Untuk melaksanakan pengolahan limbah B3 secara on site maka perlu diketahui

Jenis dan karakteristik limbah padat yang akan diolah harus diketahui secara pasti,

agar dapat ditentukan teknologi pengolahannya yang tepat dan antisipasi terhadap

jenis limbah di masa mendatang. Selain itu perlu diketahui jumlah limbah yang

dihasilkan sehingga dapat diketahui biaya yang akan dikeluarkan jika dilakukan

pengelolaan dalam waktu mendatang.

Sedangkan Off-site treatment merupakan penanganan atau pengolahan limbah

padat atau lumpur B-3 dilaksanakan oleh pihak ketiga di pusat pengolahan limbah

industri.

Page 26: BAB I

Pengolahan oleh pihak ketiga (off-site) dilaksanakan dengan menggunakan

sekaligus beberapa teknologi-teknologi seperti pada on-site treatment.

Adapun beberapa ketentuan yang harus dipenuhi bagi penghasil limbah B3 :

1) Wajib mengolah limbah B3 atau menyerahkannya kepada Pengolah.

2) Tenpat penyimpanan sesuai dengan persyaratan.

3) Melaporkan kegiatan yang dilakukan.

4) Dapat menjadi pengumpul, pengangkut, pemanfaat atau pengolah bila

memenuhi persyaratan.

5) Mengisi dokumen limbah B3.

6) Memiliki sistem tanggap darurat.

Limbah B3 pertambangan berasal dari kegiatan penunjang pertambangan seperti

bengkel perawatan, stasion pengisian bahan bakar, aktivitas lubricating, dan lain-

lain. Semua limbah B3 pertambangan disalurkan ke penampung limbah B3 yang

berlisensi.

1.1.3 Kualitas Air

Dalam kegiatan pertambangan, salah satu aspek yang dapat terganggu adalah

kualitas air. Air yang terperngaruh/ impacted dapat mengandung logam terlarut,

solid yang tersuspensi, dll.

Agar kualitas air lingkungan sekitar pertambangan tidak terganggu, maka perlu

dilakukan usaha pengolahan air tambang sehingga effluent yang keluar dari

tambang masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh lembaga yang

bersangkutan.

Pemantauan kandungan logam terlarut, pH dan TSS (Total Suspended Solis) di

lakukan pada lokasi pemantauan yang telah ditentukan dan sering kali disebut

Page 27: BAB I

sebagai titik penaatan (compliance point). Titik penaatan ini diletakan pada outlet-

outlet air tambang ke lingkungan, selain itu kualitas air sungai juga tetap dipantau

pada beberapa titik pantau.

1.1.4 Kualitas Udara

Kegiatan pertambangan termasuk kegiatan yang menjadi salah satu sumber

pencemar udara yaitu setiap kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke

udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas

senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambient normal,

sehingga menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan, vegetasi, maupun

benda lainnya.

Pencemar udara terdiri dari :

1) Pencemar primer

Merupakan pencemar yang datang langsung dari sumber. Contoh : partikulat,

NOx, CO, SO2, dll.

2) Pencemar sekunder

Merupakan pencemar yang terbentuk oleh interaksi kimiawi antara pencemar

primer dan senyawa-senyawa penyusun atmosfer alamiah. Contoh : NO2, Ozon-

O3, Asam sulfat dan Asam Nitrat.

Pertambangan sebagai kegiatan yang menjadi salah satu sumber pencemaran udara

dari sumber antropogenik tentunya memiliki tanggung jawab dalam memelihara

kualitas udara.

Page 28: BAB I

Akibat yang dapat terjadi jika pencemaran udara tetap dibiarkan dan kualitas udara

diabaikan adalah sebagai berikut :

1) Long distance transport

2) Hujan Asam

3) Smog Fotokimia

4) Penipisan lapisan Ozon

5) Urban Heat

Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan dengan menggunakan alat

pengendali pencemaran udara yang dipasang pada sumber-sumber pencemaran

udara, contoh : pabrik pengeringan konsentrat, pabrik pengolahan, dll. Biasanya alat

yang digunakan adalah electrostatic presipitator. Pemantauan kualitas udara juga

harus dilakukan di seluruh areal tambang dengan jangka waktu yang berkala.

1.1.5 Reklamasi

Reklamasi menggambarkan suatu proses dimana permukaan lahan dikembalikan

kepada beberapa bentuk yang menguntungkan dan mengikuti kaidah-kaidah

ekologis yang memacu terjadinya recovery.

Tujuan utama reklamasi adalah menstabilkan permukaan lahan, menjamin

keamanan publiki, perbaikan estetika, dan biasanya mengembalikan lahan, dalam

konteks regional, kepada tujuan-tujuan yang bermanfaat.

Page 29: BAB I

Menurut Kleinman (1996) kegiatan reklamasi lahan pasca tambang yang paling

penting adalah :

1. Penanaman makanan ternak, yang ditujuan untuk habitat ternak atau hewan

liar yang sebelumnya telah ada

2. Pengendalian erosi tanah

Penanaman tanaman makanan ternak, seperti rumput-rumputan dan leguminosa,

dapat berfungsi untuk mengendalikan erosi maupun stabilisasi tanah buangan.

Lahan terbuka dapat menyebabkan meningkatnya aliran permukaan (run off) yang

dapat menurunkan kualitas permukaan air tanah, dan nilai estetika.

Pada kondisi ini biasanya diikuti dengan menurunnya kesuburan tanah, rendahnya

kelembaban tanah serta tingginya suhu permukaan tanah. oleh karena itu, langkah

awal yang harus dilakukan pada reklamasi adalah dengan menanam tanaman

penutup (cover crop) oleh tanaman makanan ternak.

Sebelum lahan pasca tambang siap ditanami, terdapat suatu proses penutupan

lubang bekas penambangan agar tidak terbentuk air asam tambang.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan potensi pembentukan air

asam tambang adalah dengan menempatkan material-material pembentuk asam

secara selektif dan pembebasan sulfida overburden dari oksigen, sehingga

menghambat oksidasi pirit.

Efektifnya pengendalian air asam tambang ini merupakan dasar bagi program-

program reklamasi selanjutnya, baik untuk tujuan pertanian, peternakan,

kehutanan maupun rekreasi.

Revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan tambang. Dalam

pelaksanaannya revegetasi lahan tambang sering kali mengalami kesulitan akibat

sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya tanak pucuk merupakan

gambaran yang umum terjadi pada lahan tambang. Kondisi tersebut diperburuk

Page 30: BAB I

oleh lapisan permukaan lahan yang berbatu sehingga mempersulit perkembangan

vegetasi akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi air.

Dalam proses revegetasi di lahan pasca penambangan, jenis tanaman yang sesuai

dan didukung oleh beberapa variabel ekologis, seperti :

1) kapasitasnya dalam menstabilkan tanah,

2) meningkatkan bahan organik tanah, dan

3) penyediaan hara tanah.

Pada tahap awal revegetasi, tanaman makanan ternak merupakan jenis tanaman

yang disarankan untuk ditanam, tanaman ini diharapkan dapat memperbaiki hara

dan kandungan bahan organik.

Jenis tanaman yang dipilih adalah rumput-rumputan yang dapat menghasilkan

biomassa tanaman dalam jumlah yang besar, adaptif terhadap pertumbuhan awal

maupun pertumbuhan kembali (regrowth) setelah mengalami pemotongan atau

penggembalaan.

Rumput-rumputan mampu mengendalikan erosi, sementara yang tergolong dalam

famili leguminosae dapat memberikan kontribusi nitrogen melalui fiksasi nitrogen

dari udara.

Teknik yang dapat dilakukan dalam mempercepat proses penutupan lahan tambang

oleh tanaman makanan ternak yaitu melalui :

1. Drill seeding

Drill seeding serupakan metode menanam benih tanaman makanan ternak

dengan kedalamam tanam sesuai dengan anjuran.

Page 31: BAB I

Gambar 4.5 Proses Drill Seeding

2. Hydroseeding

Hydroseeding merupakan metode penanaman benih tanaman makanan

ternak di atas permukaan tanah dalam suatu campuran air dan slurry,metode

ini banyak digunakan pada lahan pertambangan.

Gambar 4.6 Hydroseeding di Lokasi Tambang

3. Broadcast seeding

Broadcast seeding merupakan metode penebaran benih dengan sistem

siklom seeder, bisa dengan tangan atau dengan alat seed dribbles, atau dengan

pesawat terbang.

Page 32: BAB I

Gambar 4.7 Broadcast seeding Dengan Tangan

Cara yang efektif untuk memadukan antara kondisi tanah, spesies, dan pemanfaatan

lahan pasca penambangan adalah dengan memilih dan menempatkan lapisan

permukaan tanah yang dapat membuat tanah yang cocok dengan vegetasi sesuai

peruntukanya. Jika kondisi tersebut telah tercipta maka lahan pasca tambang

dengan kualitas tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produktivitas

spesies tanaman yang pada gilirannya akan memperbaiki sifat-sifat tanah pasca

penambangan.