bab i

5
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir. Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009). Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009). Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia. Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran, stress, atau depresi. Sisanya adalah gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu

Upload: eddy-qoernia

Post on 24-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar

penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita

merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk

menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan

pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir.

Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh

Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009).

Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan

performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan

konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga

menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat

adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009).

Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia.

Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran,

stress, atau depresi. Sisanya adalah gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus

seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu

yang mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia (Listiani,

2007).

Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang kesehatan tidur, nikotin

dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat stimulan. Stimulan merupakan zat

yang memberikan efek menyegarkan seperti halnya kafein dan coklat. Namun

demikian, ada juga sebagian efek dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok

dapat merasa tenang dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009).

Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini dibuktikan dengan

penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada

pola tidur seseorang. Perokok ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur

dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009). Pada

penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-

kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin

akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu

Page 2: BAB I

seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009).

Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka

juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok setelah tidur kira-kira 2 jam.

Setelah merokok mereka akan sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari

nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok

(Prasadja,2009).

Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan kualitas tidur

yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin. Dari perekaman gelombang

otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa perokok lebih banyak tidur ringan

dibandingkan tidur dalam; terutama pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari

penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau

masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan

orang yang tidak merokok (Prasadja,2009). Menurut Departemen Kesehatan melalui

pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi.

Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3

terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 225

miliar batang rokok (Nusantaraku,2009). Berdasatkan hasil riset yang dilakukan

Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok

aktif di provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas

Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa

Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai

50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).

Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya perokok di

usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9 persen, lebih banyak

dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1 persen atau 5,8 persen untuk

kelompok usia di atas 30 tahun (Profil Kesehatan Indonesia,2008).

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan  kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola

tidur (insomnia). Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola tidur

(insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan  jumlah rata-rata

rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat, perokok sedang dan perokok

ringan.

Page 3: BAB I

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi

masalah penelitian adalah: Tingginya angka perokok aktif pada siswa. Tingginya

angka perokok aktif ini dapat meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia)

pada siswa di sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat

menyebabkan kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya

ingat, hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara

kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan jumlah rata-rata rokok

yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur (insomnia).

III. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja

usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia)

b. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada  remaja usia 15-

19 tahun.

Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada

remaja usia 15-19 tahun.

Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan

pola tidur (insomnia) pada  remaja usia 15-19 tahun.

Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan

pola tidur (insomnia) pada  remaja usia 15-19 tahun setelah dikontrol

oleh variabel stress sebagai perancu.

IV. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan

menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan

gangguan pola tidur (insomnia).

2. Bagi Sekolah dan Siswa

Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan siswa

pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk menghindari

gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi tidur itu sendiri.