bab i

Upload: dewi-apriyanti

Post on 12-Oct-2015

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Trauma maksilofasial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial (68,40%).1 Sebuah studi retrospektif di Inha University Hospital Korea Selatan, mendapatkan insiden tertinggi trauma wajah terjadi pada dekade ketiga kehidupan yaitu kelompok usia 21-30 tahun, diikuti oleh usia 11-20 tahun, dan 31-41 tahun. Hal ini dikarenakan usia dekade ketiga kehidupan merupakan masa aktif dan individu lebih energik dalam menggunakan transportasi dengan kecepatan tinggi. kecelakaan lebih banyak terjadi pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1.2,3 Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus dirawat di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Penyebab yang paling sering pada orang dewasa adalah kecelakaan lalu lintas (40-45%), sedang yang lainnya adalah penganiayaan atau berkelahi (10-15%), olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (5-10%). Pada anak-anak penyebab paling sering adalah olahraga seperti naik sepeda (50-65%), sedang yang lainnya adalah kecelakaan lalu lintas (10-15%), penganiayaan atau berkelahi (5-10%) dan jatuh ( 5-10 %).1,.2,3

Fraktur muka dibagi menjadi beberapa, yaitu fraktur tulang hidung, fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma, fraktur tulang maksila, fraktur tulang orbita dan fraktur tulang mandibula. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak ketimbang tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%. Fraktur zygoma dapat menimbulkan komplikasi meskipun jarang yaitu pada mata dapat tetjadi abrasi korne, perdarahan retrobulbar, sindrom fisura orbitalis superior, hifema tarumatic, dan dapat menyebabkan defisiensi neurosensoris, enoftalmus, malunion dan asimetris. Penanganan khusus pada trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya (delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena trauma. Pada periode akut setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan fiksasi definitif bukan tindakan life-saving.1,2,3

BAB IIANATOMI WAJAH

Kerangka wajah berfungsi untuk melindungi otak, melindungi organ penghidu, penglihatan, dan rasa, dan menyediakan kerangka di mana jaringan lunak wajah dapat bertindak untuk memfasilitasi makan, ekspresi wajah, bernapas, dan berbicara. Tulang-tulang wajah utama adalah rahang, rahang bawah, tulang frontal, tulang hidung, dan zigoma.

Gambar 1. tulang wajah

Tulang MandibulaMandibula adalah tulang berbentuk U. Ini adalah satu-satunya tulang yang mobile dan dikarenakan tempat gigi bawah, gerakannya sangat penting untuk pengunyahan. Hal ini dibentuk oleh osifikasi intramembranous. Di permukaan lateral, daerah garis tengah anterior inferior dari tubuh hemimandibula adalah segitiga penebalan tulang disebut protuberansia mental. Tepi inferior menebal dari tonjolan mental memanjang lateral dari garis tengah dan bentuk 2 tonjolan bulat disebut tuberkel mental. Terletak lateral garis tengah pada permukaan eksternal foramina mental yang mengirimkan mental dan pembuluh saraf. Mereka biasanya terletak di bawah puncak gigi seri kedua 6-10 mm dan variasi dalam dimensi anteroposterior. Tepi tulang lateral posterior meluas tuberkulum mental dan naik miring sebagai garis miring untuk bergabung dengan tepi anterior dari proses koronoideus. Tepi inferior tubuh posterior dan lateral di mana melekat otot masseter.

Gambar 2. tulang mandibula

Tulang maksila Rahang atas memiliki beberapa peran. Tulang ini tempat gigi atas, membentuk atap rongga mulut, membentuk lantai dan memberikan kontribusi ke dinding lateral dan atap rongga hidung, membentuk sinus maksilaris, dan memberikan kontribusi ke dinding inferior dan dasar dari orbital. Dua tulang maksilaris yang bergabung di garis tengah membentuk sepertiga tengah wajah.

Gambar 3. tulang maksila

Tulang Zigoma Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang maksila. Bagian-bagian tulang yang membentuk zigoma ini membentuk tonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral. Tulang zigoma membentuk bagian lateral dinding inferior orbital, serta dinding lateral orbital.

Gambar 4. tulang zigoma (dari anterior)

Gambar 5. tulang zigoma (dari lateral)

Tulang Frontal Tulang frontal membentuk bagian anterior tempurung kepala, membentuk sinus frontal, dan membentuk atap sinus etmoid, hidung, dan orbital. Selain itu, ia juga membentuk lengkungan zigomatic anterior, dimana otot masseter dipegang. Otot masseter bertindak untuk menutup rahang bawah untuk pengunyahan dan berbicara. Di permukaan lateral, tulang zigomatic memiliki 3 prosesus. Di bagian inferior kearah medial untuk berartikulasi dengan prosesus zygomatic maksila, membentuk bagian lateral tepi infraorbital. Bagian ini mencekung kearah superior untuk membentuk prosesus frontalis yang berartikulasi dengan tulang frontal. Di bagian posterior, prosesus temporalis berartikulasi dengan prosesus zigoma tulang temporal untuk membentuk arkus zigomatik. Pada permukaan medial zigoma adalah plat orbital halus yang membentuk dinding lateral orbit.

Gambar 6 .tulang frontal dari bagian posterior

Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus. Sesudah lahir sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya dibagi secara sagital oleh septum eksentrik.

Tulang Hidung Tulang-tulang hidung yang berpasangan membentuk tulang atap anterosuperior dari rongga hidung. Tulang ini berartikulasi dengan prosesus nasal superior tulang frontal, prosesus depan tulang maksilaris lateral, dan dengan satu sama lain di bagian medial. Permukaan eksternal cembung kecuali bagian paling superior, di mana bentuk cekung berubah untuk berartikulasi dengan tulang frontal. Pada permukaan internal merupakan alur vertikal untuk arteri nasal eksterna.

BAB IIIFRAKTUR ZYGOMA

1. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang, baik tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa atau trauma. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yng meliputi tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3 bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol pada daerah sekitarnya.

Fraktur tulang wajah sendiri termasuk dalam trauma langsung yaitu trauma atau benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat tersebut. Fraktur zygoma yang membentuk dinding lateral orbita sering mengalami fraktur akibat trauma langsung, sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata yang menyebabkan diplopia. Fraktur ini sering terbatas pada arkus dan pinggir orbita sehingga tidak disrtai dengan hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi didaerah arkus zygomatikus.

2. Anatomi Tulang ZygomaTulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang spenoid, dan tulang maksila. Bagian-bagian bawah tulang yang membentuk zigoma ini membentuk tonjolan pada pipi di bawah mata sedikit kearah lateral. Tulang zigoma membentuk bagian lateral dinding inferior orbital, serta dinding lateral orbital. Salah satu bagian tulang zigoma yakni arkus zigomatikus. Tulang arkus zigomatikus merupakan penyatuan antara prosesus temporal dan zigomatik. Kedua prosesus tersebut bersatu pada sutura zigomatikotemporal. Arkus zigomatikus merupakan salah satu bagian wajah yang disebut sebagai Zygomatico Maxillary Complex (ZMC). ZMC merupakan sisi penyatuan tulang terhadap tulang tengkorak yang terdiri dari empat bagian yakni sutura zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, zigomatikomaksilaris, dan zigomatikospenoid. Di sekitar arkus zigomatikus terdapat otot temporalis, masseter dan prosesus koronoid mandibula.Tulang zigoma berbatasan dengan tulang frontal, spenoid, temporal, dan maksila. Tulang zigoma berperan signifikan dalam kekekuatan dan kestabilan tengah wajah.

Gambar 7. Zygomatico Maxillary Complex dan otot-otot yang melekat pada tulang zigoma.

Gambar 8. Arkus zigomatikus.Saraf sensori yang berhubungan dengan zygoma adalah divisi kedua nervus trigeminal. Cabang-cabang zygomatik, fasial, dan temporal keluar dari foraminta pada tubuh zygoma dan memberikan sensasi pada pipi dan daerah temporal anterior. Nervus infraorbital melewati dasar orbital dan keluar pada foramen infraorbital. Hal ini memberikan sensasi pada pipi anterior, hidung lateral, bibir atas, dan geligi anterior maksila. Otot-otot ekspresi wajah yang berasal dari zygoma termasuk zygomaticus mayor dan labii superioris. Mereka diinervasi oleh nervus kranialis VII. Otot masseter menginsersi sepanjang permukaan temporal zygoma dan arcus dan diinervasi oleh sebuah cabang dari nervus mandibularis.

Fascia temporalis berlekatan ke prosesus frontal dari zygoma dan arcus zygomatik. Fascia ini menghasilkan resistensi pergeseran inferior dari sebuah fragmen fraktur oleh penarikan kebawah dari otot masseter.

Posisi bola mata dalam hubungan dengan aksis dipertahankan oleh ligamen suspensori Lockwood. Perlekatan ini lebih kearah medial hingga aspek posterior dari tulang lakrimal dan lateral terhadap tuberkel orbital (Whitnall) (yang adalah 1 cm dibawah sutura zygomaticofrontal pada aspek medial dari prosesus frontal dari zygoma). Bentuk dan lokasi dari canthi medial dan lateral kelopak mata dipertahankan oleh tendon canthal. Tendon canthal lateral berlekatan dengan tuberkel Whitnall. Tendon canthal medial berlekatan dengan krista lakrimal anterior dan posterior. Fraktur kompleks zygomatik seringkali dibarengi dengan sebuah antimongoloid (kearah bawah) dari daerah canthal lateral yang disebabkan oleh pergeseran zygoma.

3. Etiologi Penyebab fraktur zygoma bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama fraktur zygoma, sehingga menyebabkan benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau tonjolan pada tulang pipi. Sebuah statistik WHO melaporkan bahwa setiap tahun satu juta orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas dan antara 15-20 orang terluka. Sebuah analisis fraktur midface menunjukan bahwa fraktur zygoma merupakan fraktur yang paling sering terjadi.

4. Manifestasi klinisTulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Gejala klinis fraktur zigoma yang paling sering ditemui adalah keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada bola mata, perdarahan subkonjungtiva, proptosis (eksopthalmus), mungkin terjadi diplopia (penglihatan ganda) karena fraktur lantai dasar orbita dengan pergeseran bola mata dan luka atau terjepitnya otot ekstraokuler inferior, mati rasa pada kulit yang diinervasi oleh nervus infraorbitalis.

Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi.

5. DiagnosisEvaluasi awal dari pasien dengan fraktur zygomatik termasuk pencatatan cedera tulang dan status jaringan lunak yang mengelilinginya (kelopak mata, apparatus lakrimalis, tendon canthal, dan bola mata) dan nervus kranialis II hingga VI. Ketajaman visual dan status bola mata dan retina harus dibuat; seorang ophthalmologis harus dikonsultasikan untuk kemungkinan atau keraguan cedera mata.

Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari tahu dari pasien dan saksi-saksi yang ada. Sebuah hantaman lateral langsung, seperti pada sebuah penyerangan, seringkali menghasilkan arcus zygomatik yang terisolasi atau sebuah fraktur kompleks zygomatik yang tergeser kearah inferomedial. Sebuah cedera frontal seringkali menghasilkan fraktur yang bergeser kearah posterior dan inferior.Pasien dengan fraktur zygomatik mengeluh nyeri, odema periorbital, dan ekimosis. Mungkin ada paresthesia atau anesthesia diatas pipi, hidung lateral, bibir atas, dan gigi anterior maksila yang dihasilkan dari cedera zygomaticotemporal atau nervus infraorbital. Hal ini terjadi pada 18-83% dari seluruh pasien dengan trauma zygomatik. Ketika arcus bergeser kearah medial, pasien mungkin mengeluh trismus. Epistaksis dan diplopia mungkin dapat terjadi.

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur zigoma dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan CT scan.

Gambar 9.Tampak tanda khas fraktur zygoma:Edema periorbital, ekimosis, perdarahan Subkonjungtiva

Pada fraktur arcus zygomatik yang terisolais, sebuah penurunan terlihat dan terpalpasi di anterior dari tragus.Nyeri dan penurunan pergerakan mandibula seringkali terlihat pada cedera-cedera ini, sementara tanda-tanda orbital biasanya tidak ada.Evaluasi mata termasuk pencatatan ketajaman visual, respon pupil terhadap cahaya, pemeriksaan funduskopi, pergerakan okuler, dan posisi bola mata. Keterbatasan pergerakan otot-otot ekstraokuler, diplopia, dan enophthalmos dapat terlihat jika fraktur signifikan pada dasar orbita atau dinding medial atau lateral terlihat. Kurangnya respon pupil dan ptosis terlihat jika nervus kranial III cedera. Cedera pada nervus optik, hyphema, cedera pada bola mata, hemoragi retro-orbita, lepasnya retina, dan gangguan duktus lakrimalis dapat terjadi.Pemeriksaan neurologis termasuk pemeriksaan secara hati-hati pada seluruh nervus kranialis, dengan perhatian khusus yang diarahkan pada nervus kranial II, III, IV, V, dan VI.

6. Pemeriksaan RadiologisBanyak teknik radiografi yang tersedia untuk pemeriksaan fraktur zygoma. Foto polos dan CT Scan dapat digunakan untuk menentukan jenis, lokasi, besarnya dan arah perubahan posisi dari fraktur zygoma. Pentingnya pemeriksaan radiografi dari zygoma dapat disimpulkan oleh sejumlah sistem klasifikasi dari fraktur zygoma yang didasarkan pada pemeriksaan radiografik tersebut. Pada kenyataanya, hampir setiap sistem klasifikasi untuk setiap fraktur zygoma didasarkan pada temuan radilogik.

Penggunaan CT Scan untuk diagnosis fraktur zygoma menjadi sangat umum pada beberapa tahun terakhir. Fuji dan Yamashiro serta Finkle dkk. Menunjukan keunggulan dan kegunaan CT Scan untuk tujuan ini. Informasi yang diperoleh dari CT Scan lebih besar dari pada satu atau dua foto polos. CT Scan terutama berguna bila dasar orbita terlihat remuk, dimana bagiuan posterior dari fraktur didalam orbita tidak jelas terlihat, dimana terdapat cedera jaringan lunak orbita dan atau enoftalmus yang nyata, atau bila terdapat cedera cranifasial. Untuk cedera ini, akan optimal bila dilakukan high resolution scan baik aksial maupun koronal. Scan aksial sangat berguna untuk mengevaluasi dinding orbita medial dan lateral, sementara scan koronal baik untuk melihat cedera dasar orbita.

Gambaran radiografik standar untuk foto polos yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya fraktur zygoma adalah gambaran posteroanterior oblique dan vertex submental. Meskipun foto polos lain, seperti misalnya gambaran orbita, gambaran skull posteroanterior (caldwells view) dan skull lateral sama baiknya dengan tomogram panoramic, kadang-kadang berguna sehingga dapat dipertimbangkan secara opsional untuk mendiagnosis fraktur zygoma.

Posisi anteroposterior oblique yang dimodifikasi dari posisi anteroposterior kepala yang spesifik untuk struktur sepertiga tengah dari wajah, dikenal juga sebagai posisi wouters, mental occipital dan posisi sinus paranasal. Hal ini dapat dikerjakan dengan posisi pasien tegak lurus atau supine (posis anteroposterior oblique atau reverse wouters). Kualitas diagnostik dari film yang diambil dari posisi supine kurang bisa memberikan gambaran pembesaran dan distorsi dari struktur wajah. Namun posisi supine sangat berguna bagi pasien yang tidak dapat berdiri atau menelungkupkan wajah karena berbagai alasan (misalnya dicurigai adanya cedera pada vertebra servikalis). Posisi ini memberikan gambaran yang sangat bagus baik untuk sinus maksillaris maupun dindingnya, zygoma dfan prosesusnya dan tepi anterior dari orbita. Arkus zygomatikus, meskipun terlihat lebih pendek juga dapat dinilai. Kadang-kadang posisi ini berguna untuk manghasilkan baik posisi normal maupun proyeksi oblique atau posisi wouters yang exaggerated, masing-masing posisi memperlihatkan aspek berbeda dari anatominya. Fraktur zygoma biasanya akan tampak pada posisi anteroposterior oblique sebagai daerah yang terpisah dari sutura frontozygomaticus, terpisah sepanjang tepi infraorbita, patahan pada kurvatura daerah tonjolan zygomaticomaksilaris yang secara normal tampak halus dan mungkin terdapat lekukan atau terpisahnya arkus zygomatikus. Harus diketahui garis radiolusen yang normal pada daerah sutura frontozygomaticus dan zygomatikomaksilaris yang bisa dikacaukan dengan garis fraktur. Membandingkan bentuk tepi anterior dari orbita yang satu denga yang lain seringkali bisa memberikan bukti adanya dan keparahan fraktur zygoma. Paling umum terjadi adalah orbita yang terkena akan tampak lebih besar yang memperlihatkan penurunan dan pergeseran dari posisi zygoma. Sinus maksilaris yang terkena akan tampak lebih kecil dari pada sisi kontralateral bila terjadi depresi pada zygoma. Perdarahan pada sinus maksilaris yang seringkali berhubungan dengan fraktur zygoma akan tampak gambaran perselubungan radioopaque dari antrum. Perbandingan densitas antral dari kedua sisi adalah sangat berguna. Karena pecahnya dasar orbita yang menyertai cedera zygoma, akan terlihat herniasi isi orbita kedalam sinus maksilaris yang terkena bila sinus tersebut belum penuh terisi darah.

Posisi Submental vertex dikenal juga sebagai skull axial, jug handle, atau posisi skull inferosuperior. Posisi ini dapat dilakukan dengan sedikit variasi teknik pada pasien yang kepalanya tidak dapat dorsofleksi secara adekuat, meskipun harus diabaikan pada pasien denga kemungkinan cedera tulang servikal. Posisi ini sangat bagus untuk memperlihatkan bentuk tubuh zygoma bilateral, termasuk gambaran sinus maksilaris. Arkus zygomatikus bisa dibandingkan dengan pada posisi ini, khususnya bila dosis radiasi dikurangi, karena arkusnya mungkin terbakar bila menggunakan dosis penuh.

Radiografi zygoma tangensial intraoral. Radiografi sederhana yang bisa diambil diruangan dengan peralatan radiografik gigi adalah radiografi tangensial intraoral. Posisi ini tidak rumit dan sangat berguna untuk fraktur arkus zygoma yang bisa dirawat diruang praktek. Tekniknyta meliputi film radiograf oklusal antara gigi maksila dan mandibula. Dengan sumbu panjangnya dari depan ke belakang, diposisikan sejauh mungkin secara lateral dan posterior dari pipi. Mesinya diposisikan sedemikian sehingga pusat sinar mengarah kebawah dan agak maju sepanjang sisi dari kranium dan menuju fossa temporalis. Sudut kearah bidang midsagital untuk memproyeksikan arkus zygoma pada film antara 5 dan 10 derajat. Dengan teknik ini, arkus zygoma dan prosesus koronoid dengan mudah dapat diproyeksikan pada film.

7. Penatalaksanaan Pada fraktur zigoma, keputusan untuk penanganan tidak perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah. 5

Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.4,6

Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukan kelainan. Trauma dari depan langsung merusak pipi (tulang zigoma) menyebabkan perubahan tempat dari tulang zigoma tersebut ke arah posterior, ke arah medial, atau ke arah lateral. Fiksasi fraktur zigoma ini dengan kawat baja atau mini plate. Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite) melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayat kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukan di belakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang zigoma yang fraktur dikembalikan kepada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang baik.

Sedang untuk reduksi terbuka dari tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zigoma dapat dipakai sebagai tanda untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dikerjakan hati-hati karena dapat merusak bola mata.

Pada fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat dari arkus dapat ditanggulangi dengan melakukan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zigoma di preaurikuler. Tindakan reduksi di daerah ini dapat merusak cabang frontal dari nervus fasialis, sehingga harus dilakukan tindakan proteksi.

a. Close reduction Close reduction dari fraktur zygomatikomaksilaris komplek dapat dilaksanakan dengan pendekatan intraoral atau ekstraoral. Secara intraoral, irisan sedalam 1 cm pada sulkus dibuat berlawanan dengan molar pertama dan kedua.sebuah elevator ditujukan secara posterior dan superior dibawah zygoma dan gaya diterapkan pada arah naik dan keluar untuk merudiksi fraktur, secara ekstraoral, metode gillies digunakan untuk closed reduction dari fraktur zygomatikomaksilaris komlek dengan cara serupa seperti didiskripsikan untuk perawatan pada fraktur arkus zygoma.

Poswillo menjabarkan penggunaan kait tenaga tarik ekstraoral. Irisan berupa tusukan dibuat kurang lebih dibawah kantus lateral dari mata. Melalui irisan, titik dari kait malar dimasukkan hingga terpasang pada tulang displaced. Fraktur direduksi oleh tarikan keatas dan keluar. Cukup tidaknya reduksi ditentukan oleh palpasi. Daripada menggunakan tenaga tarik, ada juga yang menganjurkan penggunaan sekrup carrol-girard. Instrumen ini dimasukan melalui irisan yang serupa, disekrurupkan ke zygoma, kemusian digunakan untuk mereduksi fraktur.

Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi : 1) Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal, 2) Mengidentifikasi fasia temporalis,3) Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek dalamyakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.

Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen fragmen harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

Gambar 10. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator

Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki mukosa yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut masih dapat dilestarikan. Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut diperbaiki jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut bertujuan untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint komposit atau splin ortodonsi selama 4 - 6 minggu.

Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang berada diatas daerah tulang yang telah rata.

Gambar 11. Penanganan fraktur dentoalveolar. A, Gambaran intraoral dari pasien yang mengalami fraktur dentoalveolar pada bagian anterior mandibula. B, Arch bar yang dipasangkan untuk menstabilisasikan segmen tersebut. C, Oklusi yang diperoleh setelah arch bar dibuka (Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB. Facial traumaII : dentoalveolar injuries and mandibular fractures. In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and maxillofacial surgery. USA: Elsevier Science, 2004 : 446).

b. Open ReductionJalan masuk dan pembukaan untuk open reduction fraktur zygomatikomaksilaris komplek didapat melalui irisan pada alis atau kelopak mata secara lateral (sutura frontozygomatikus) irisan pada kelopak mata bawah atau infraorbita (tepi infraorbita dan dasar orbita) dan irisan pada vestibular intraoral (tonjolan zygoma). Sutura frontozygomatikus di palpasi dan kemudian dibuat irirsan sepanjang 2,5 cm sampai berbatas alis lateral parallel ke tepi orbita lateral superior. Pemotongan tajam dilanjutkan ketempat fraktur. Irisan pada alis secara lateral merupakan pendekatan yang paling sering untuk mengakses sutura frontozygomatikus. Chuong dan kaban telah menjabarkan penggunaan irirsan kelopak mata atas. Irirsan ditempatkan sampai aspek lateral dari penutup supratarsal. Irisan 1,5 cm biasanya cukup dan jarang diperpanjang sampai crowsfoot. Deseksi tumpul secara parallel dari serat muskulus orbikularis okuli yang emmisahkan dan membuka sutura frontozygomatikus. Pemotongan dilanjutkan dari permukaan ke sekat orbita dan turun ke periosteum diatas tepi orbita lateral. Irirsan ini memberikan akses langsung ke sutura frontozygomatikus dan menghasilkan bekas luka yang tidak terlalu jelas. Untuk membuka tepi infraorbita, sebuah irisan subsiliaris dibuat 1-2 mm dibawah dan paralel dari tepi bulu mata sebelah bawah. Irisan ini diperpanjang mulai dari lateral kepunktum dan kemusian kearah inferior pada lipatan kulit yang alami. Flap kulit dipotong sampai pada tepi infraorbita. Serat muskulus orbikularis okuli kemudian dipisah untuk membuka tepinya. Periosteum diiris dan dipotong lepas dari tepi agar dapat dilakukan eksplorasi dasar orbita. Pendekatan berlapis pada dasar orbita ini penting. Kegagalan untuk melakukan pemotongan dengan cara ini mungkin menyebabkan bertambahnya resiko resiko terjadinya ektropion. Sebagai tambahan, irisan dibawah tarsus mungkin lebih sedikit menyebabkan pemendekan vertikal dari kelopak mata. Tessier menjabarkan irirsan konjungtival. Kelopak mata bawah ditarik kembali dan sebuah irisan dibuat dibawah batas yang lebih rendah dari tarsus. Pemotongan diperpanjang secara inferior dan sebuah irisan preseptal (dari permukaan ke sekat orbita) digunakan untuk membuka tulang.

Sebagai ringkasan, daerah frontozygomatikus seharusnya dibuka dengan irisan lateral pada alis mata atau irisan pada kelopak mata atas. Pilihan irisan untuk tepi infraorbita dan dasar orbita adalah irisan subsiliaris. Pemotongan seharusnya dikerjakan dengan cara berlapis untuk menghindari ekstropion. Irisan vestibulum intraoral mungkin digunakan untuk membuka tonjolan pipi.

8. KomplikasiMeskipun tidak umum ditemukan adanya komplikasi pada fraktur arkus zygoma dan zygomatikomaksilaris kompleks, harus dikenali tanda dan gejalanya secara dini untuk persiapan perawatanya. Komplikasi yang paling serius meliputi mata dan struktur sekitarnya:

Mata: komplikasi pada mata meliputi abrasi kornea, perdarahan retrobular, sindrom fisura orbitalis superior, hifema traumatic, dan lain-lain.

Defisiensi neurosensoris. Insidensi gangguan sensoris (berkurangnya sensasi atau hiperestesia) dari nervus infraorbitalis yang timbul karena trauma zygoma bervariasi antara 18% sampai 56%. Tanpa peerhatian khusus pada saraf tersebut, teknik open reduction tidak lebih banyak memberikan restorasi dari fungsi saraf tersebut dibandingkan dengan teknik tertutup. Laporan perubahan sensoris pada saraf setelah dilakukan open reduction bervariasi dari 22%-65% dibandingkan dengan 20%-40% pada closed reduction. Meskipun bukti-bukti yang ada masih kurang, tetapi tampaknya terjepitnya saraf atau fibrosis perineural memegang peranan terjadinya defisit yang persisten. Anastesi total biasanya lebih toleransi dari pada hiperestesia atau disestesia, yang mungkin terasa sangat tidak nyaman.

Enoftalmus. Mungkin merupakan konsekuensi yang tampak nyata pada fraktur zygoma yang insidenya antara 5%-26%. Perawatan untuk komplikasi ini sulit, dan hasilnya kurang baik. Sebanyak 80% yang dirawat tetap menderita enoftalmus. Tampaknya hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan reduksi awal dari dasar orbita dan jaringan lunak pada saat dilakukan reduksi zygomatikomaksilaris kompleks.

Malunion dan Asimetris. Fraktur malunion dari zygoma terjadi dalam beberapa tingkat keparahan. Meskipun pada sebagian besar kasus terdapat defisit kosmetik, malposisi dari tulang dapat menyebabkan penururnan fungsi mandibula. Insiden terjadinya asimetris bervariasi antara 3,6%-27% pada seluruh fraktur zygomatikomaksilaris kompleks, namun angka ini hanya berdasarkan penilaian klinis. Sebagian besar fraktur malunion dari zygoma didapatkan karena kekeliruan untuk mengetahui keparahan dari cedera atau reduksi yang tidak stabil. Malunion yang diketahui samapi 6 minggu setetlah cedera masih bisa dikoreksi, malalui teknik reduksi zygoma rutin. Teknik koreksi yang terlambat meliputi autograf maupun homograf (krista iliaka, kosta, kalvaria, kartilago atau lemak kulit) atau bahan-bahan aloplastik dan ostektomi zygoma. Meskipun bahan aloplastik telah dianjurkan, kontur yang dihasilkan mungkin irreguler dan potensial terjadinya migrasi dan ekstrusi dari implant tersebut sepanjang waktu. Untuk deformitas minor, kartilago telah terbukti lebih efektif. Bagaimanapun defek yang lebih besar memerlukan reposisi kraniofasial atau penempatan tulang.

Trismus. Berkurangnya gerakan mandibula mungkin merupakan komplikasi yang merugikan dari fraktur zygoma. Penyebab yang paling umum terjadi adalah terkenanya tubuh zygoma pada proses kronoid dari mandibula. Trismus juga dapat terjadi secara sekunder akibat ankilosis fibrosis atau fibrooseus pada arkus zygoma. Terkenanya zygoma atau arkus zygoma atau koronoidektomi mungkin diperlukan untuk memulihkan gerakan normal dari mandibula.19