bab i

46
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2-3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek (HTA, 2004). Ikterus neonatorum diamati selama usia minggu pertama kelahiran pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan (Nelson, 2000). Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Dokter harus secara tepat membedakan antara hiperbilirubinemia fisiologik, yaitu peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dan diperkirakan jinak, dan hiperbilirubinemia patologis, dengan bilirubin tak terkonjugasi mencapai kadar yang sangat tinggi atau juga terjadi peningkatan fraksi terkonjugasi (Rudolph, 2007). 1

Upload: r-achep-sumantri-j

Post on 28-Sep-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab 1

TRANSCRIPT

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2-3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek (HTA, 2004).

Ikterus neonatorum diamati selama usia minggu pertama kelahiran pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan (Nelson, 2000). Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Dokter harus secara tepat membedakan antara hiperbilirubinemia fisiologik, yaitu peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dan diperkirakan jinak, dan hiperbilirubinemia patologis, dengan bilirubin tak terkonjugasi mencapai kadar yang sangat tinggi atau juga terjadi peningkatan fraksi terkonjugasi (Rudolph, 2007).Bilirubin dapat tertimbun hingga mencapai kadar toksik apabila terjadi pembentukan berlebihan pigmen akibat hemolisis yang menyebabkan jenuhnya mekanisme konjugasi bilirubin yang masih imatur pada neonatus, atau (pada keadaan yang jarang) adanya defisiensi konjugasi bilirubin herediter. Ensefalopati bilirubin (kernikterus) dan kerusakan otak irreversible merupakan penyulit serius hemolisis akibat inkompatibilitas ABO feto-maternal dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase eritrosit, dan bilirubin UDP glukuronil transferase (sindrom Crigler-Najjar) (Rudolph, 2007). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (HTA, 2004).B. Permasalahan

Dokter umum sebagai ujung tombak Sistem Kesehatan Nasional harus bisa menegakkan diagnosis ikterus neonatorum yang selanjutnya menentukannya fisiologis ataukah patologis dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada untuk kemudian mengambil langkah penanganan yang tepat (rujukan). Dalam menjalankan fungsi tersebut, mutlak diperlukan dasar pengetahuan tentang metabolisme bilirubin, patofisiologi, penegakan diagnosis, follow-up dan manajemen. C. Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk menerangkan metabolisme bilirubin dan patofisiologinya, cara-cara penegakan diagnosis ikterus neonatorum dari yang sederhana sampai laboratorium, bagaimana penatalaksanaannya, dan kapan pasien boleh dipulangkan.

D. Manfaat

Diharapkan setelah membaca tulisan ini, dapat meningkatkan pengetahuan dokter dalam masalah ikterus neonatorum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

IKTERUS NEONATUS

A. Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL (HTA, 2004).

Neonatus adalah bayi baru lahir umur 0 hari sampai dengan 28 hari. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah > 13 mg/dL Kernikterus adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap pertama (1-2 hari pertama): refleks menghisap lemah, hipotonia, kejang; tahap kedua (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap ketiga (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial (HTA, 2004).B. Epidemiologi

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin diatas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kelahiran. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin diatas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari ke 0, 3 dan 5, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia (HTA, 2004).C. Sintesis, Transpor, dan Metabolisme Bilirubin

Dalam keadaan fisiologik, 1-2 x 108 eritrosit dihancurkan setiap jamnya. Ketika hemoglobin dihancurkan didalam tubuh, menghasilkan heme dan globin. Globin diuraikan menjadi asam amino pembentuknya yang kemudian akan digunakan kembali. Katabolisme heme dari semua protein heme dilaksanakan dalam fraksi mikrosom sel retikuloendeotel oleh sebuah sistem enzim yang kompleks yang dinamakan heme oksigenase. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin (Murray, 2003). Sekitar 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan sel darah merah tua setalah berusia 120 hari. Sekitar 15% bilirubin berasal dari destruksi sel eritosit belum matang dalam sumsum tulang (eritropoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain seperti sitokrom P-450 dalam sel hepar (Price & Wilson, 1995).(Gambar 1) Bilirubin didalam plasma diikat lemah oleh albumin. Satu gram albumin dapat mengikat 8,3 mg bilirubin, pasien dengan kadar albumin 3,5 g/dL dapat mengikat 29 mg/dL. Bilirubin direk (terkonjugasi) juga dapat terikat oleh albumin tetapi kurang dari 1%nya saja. Rendahnya kadar albumin dan kelainan konfigurasi albumin dapat mengurangi kapasitas angkut albumin terhadap bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (Nathan & Oski, 2003).

Gambar 1. Sintesis Bilirubin dari protein heme dalam sel retikuloendotel hepar, limpa, pleksus koroid, sel epitel tubulus ginjal dan sumsum tulang (Nathan & Oski, 2000).

Metabolisme bilirubin lebih lanjut terjadi di hati. Peristiwa metabolisme ini dapat dibagi menjadi tiga proses: (1) Ambilan bilirubin oleh hepatosit, (2) Konjugasi bilirubin dalam reticulum endoplasma halus, dan (3) sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu (Murray, 2003).

Gambar 2. Metabolisme bilirubin dalam sel hepar. P, protein pengikat intraseluler; UDPGA, uridine diphosphoglucuronic acid; UDP, uridine diphosphate (Ganong, 2005).

Bilirubin masuk ke dalam sel hati diperdebatkan antara dua cara; pertama berdifusi secara pasif dan berikatan dengan protein intraseluler; atau kedua, difasilitasi oleh protein transport pada membran sel hepar. Ikatan protein dalam sitoplasma hepar dengan bilirubin bertujuan untuk mencegah terjadinya refluks bilirubin kembali ke plasma darah. Protein tersebut disebut dengan ligandin atau protein Y dan protein Z. protein Y lebih banyak mengikat bilirubin daripada protein Z, tetapi protein Z lebih berperan mengikat senyawa asam (Nathan & Oski, 2003).Glukoronil transferase mengkatalisis reaksi ester antara bilirubin dengan asam glukuronat menjadi bilirubin monoglukuronat (BMG) dan bilirubin diglukuronat (BDG). Sedangkan -glukuronidase adalah enzim dalam reticulum endoplasma yang berfungsi sebaliknya yaitu mereduksi BMG dan BDG menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Aktifitas enzim glukuronil transferase dapat diinduksi oleh sejumlah obat, misalnya fenobarbital. Ekskresi BDG dalam hepar melibatkan dua tahapan; pertama pemindahan BDG dari reticulum endoplasma halus ke membrane kanalikuler; kedua, translokasi melewati membran menuju kanalikuler empedu. Proses pertama dilakukan oleh system mikrotubulus sel hepar, sedangkan proses translokasi membrane difasilitasi oleh proses aktif yang diaktifkan oleh ATP. Proses pertama dapat ditekan oleh xenobiotik. Sedangkan defek genetic pada proses translokasi membrane disebut dengan sindrom dubin johnson (Nathan & Oski, 2003).Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke dalam empedu berada dalam bentuk terkonjugasi (BDG). Apabila bilirubin terkonjugasi terdapat secara abnormal dalam darah (ikterus obstruktif), bentuk bilirubin yang dominant adalah bilirubin monoglukuronida (BMG). Setelah fototerapi, dapat ditemukan bilirubin tak terkonjugasi dengan jumlah yang bermakna di dalam empedu (Murray, 2003).

Gambar 3. Sirkulasi enterohepatik. -glukuronidase berasal dari mukosa usus bayi, ASI, dan bakteri usus. Proses reduksi hidroksilasi bilirubin menjadi urobilinoid diperantarai oleh bakteri usus besar seperti clostridium perfringens dan Escherichia coli. Bilirubin terkonjugasi adalah ester yang tak stabil dan dapat terhidrolisis menjadi bilirubin tak terkonjugasi dalam lumen usus. Hidrolisis non enzimatik ini dapat terjadi dalam suasana alkali seperti pada usus bagian atas neonatus. -glukuronidase adalah enzim yang bertanggungjawab pada proses dekonjugasi enzimatik BDG menjadi BMG dan Bilirubin tak terkonjugasi. -glukuronidase banyak terdapat pada sel mukosa usus janin dan neonatus, sedangkan -glukuronidase bakteri semakin meningkat jumlahnya seiring dengan pertumbuhan mikroflora intestinal. Apabila BDG terhidrolisis menjadi bilirubin tak terkonjugasi, maka bilirubin tersebut akan direabsorbsi oleh usus secara pasif ke sirkulasi portal dan masuk kembali ke hati (Nathan & Oski, 2003).Bilirubin tak terkonjugasi yang mencapai usus besar akan diubah menjadi urobilinoid oleh proses reduksi hidroksilasi bakteri usus, khususnya Clostridium perfringens dan Escherichia coli. Yang termasuk urobilinoid adalah urobilin, urobilinogen, stercobilinogen, dan stercobilin. Urobilinoid yang terbentuk direabsorpsi sebagian masuk sirkulasi enterohepatik dan sebagian kecil lainnya masuk ke ginjal dan ekskresikan melalui urin. Adanya obstruksi empedu menyebabkan urobilinoid tidak terbentuk dalam usus, sehingga tidak ada urobilinoid yang direabsorpsi usus dan diekskresikan melalui urin. Tetapi test tersebut tidak reliable pada neonatus karena pertumbuhan mikroflora usus pada neonatus belum banyak (Nathan & Oski, 2003).D. Patofisiologi

Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi:1. Produksi bilirubin yang berlebihan.

2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati3. Gangguan konjugasi bilirubin

4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat factor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi (Price & Wilson, 1995). Nelson, 2000, menjelaskan bahwa hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap faktor yang (1) menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik, waktu hidup sel darah merah lebih pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi enterohepatik, infeksi); (2) dapat mencederai atau mengurangi aktivitas enzim glukuronil transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid); (3) dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim transferase (obat-obat dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi); atau (4) menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat genetic, prematuritas). KernikterusKetika bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/dL, terjadi suatu keadaan yang disebut kernikterus (Price & Wilson, 1995). Patofisiologi terjadinya kernikterus belum jelas, secara patologi anatomi kernikterus terjadi apabila terjadi penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada ganglia basalis, korteks hipokampus, serebelum, dan nuclei subtalamus. Secara klinis, kernikterus ditandai oleh letragi, kekakuan otot, opistotonus, tangisan lengkingan tinggi, demam, dan kejang. Ada dua factor utama yang berperan dalam perlindungan otak dari bilirubin, yaitu, jumlah dan afinitas albumin terhadap bilirubin dan sawar darah-otak. Setelah bilirubin masuk kedalam sel neuron, bilirubin dapat mempengaruhi fosforilasi oksidatif, respirasi sel, sintesis protein, transport membrane, dan metabolisme glukosa. Pada tikus, bilirubin dapat memicu proses apoptosis sel otak. Bilirubin juga dapat mengganggu ambilan dan pelepasan neurotransmitter, khususnya glutamate (Nathan & Oski, 2003). E. Etiologi 1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

a. Kelainan hemolisis dan peningkatan produksi bilirubin

i. Hemolisis inkompatibilitas Rh (Erythroblastosis Fetalis)

System Rh merupakan system yang kompleks, dan baik dasar genetic maupun sifat biokimia produk gen sampai saat ini masih belum dipahami dengan jelas. Ketiga gen yang berhubungan erat tampak terlibat dan terletak pada kromosom 1. Dalam salah satu tatanama, produk alel ini diberi symbol C atau c, E atau e, D atau d; produk yang berhubungan dengan d sampai saat ini belum ada yang teridentifikasi. Antigen D (Rho) merupakan antigen utama yang memiliki makna penting dan juga disebut factor Rh. Antigen tersebut tampaknya merupakan protein integral mebran sel darah merah dengan masa molekul sekitar 30 kDa; interaksi dengan fosfolipid membrane mungkin menjadi unsure penting dalam antigenitasnya. Kurang lebih 15% dari populasi kaukasian tidak memiliki antigen ini dan diberi symbol Rh-negatif. Jika individu dengan Rh-negatif ini mendapat transfuse darah Rh-positif sekalipun hanya satu kali, maka individu tersebut akan membentuk antibody terhadap antigen D (Rho). Jika individu tersebut seorang wanita hamil yang mendapat transfuse darah Rh-positif, maka didalam darahnya akan mengandung antibody anti-D (Rho). Jika bayi yang dikandungnya Rh-positif, antibody ini dapat menyebabkan lisis sel darah merah dan menimbulkan penyakit hemolitik neonatus (Murray, 2003).Kelainan ini sering menyebabkan hiperbilirubinemia berat yang muncul dalam beberapa jam setelah lahir. Kadar puncak bilirubin serumnya dapat diprediksi dari kadar hemoglobin, bilirubin, retikulosit, dan angka sel darah merat berinti. Bayi dengan hiperbilirubinemia berat akibat inkompatibilitas Rh memiliki resiko besar menderita ensefalopati bilirubin (kernikterus). Fototerapi dan transfuse tukar adalah terapi utama dalam penanganan hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas Rh (Nathan & Oski, 2003).ii. Hemolisis inkompatibilitas ABO (ABO Erythroblastosis)

Inkompatibilitas ABO antara ibu dan janin mengakibatkan penyakit yang lebih ringan daripada akibat inkompatibilitas Rh. Ibu bergolongan darah A akan membentuk antibody terhadap B, dan ibu bergolongan B akan membentuk antibody terhadap A. Namun biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A atau B. walaupun inkompatibiltas ABO terjadi pada 20-25% kehamilan, penyakit hemolitik hanya berkembang pada 10% dari bayi-bayi ini, dan biasanya bayinya adalah golongan A1, yang sifatnya lebih antigenic daripada A2. Antigenisitas factor ABO yang rendah pada janin dan bayi baru lahir dapat menyebabkan insidensi penyakit hemolitik ABO berat yang relative rendah dibandingkan insidensi inkompatibilitas antara golongan darah ibu dan anak. Walaupun antibody terhadap factor A dan B terjadi tanpa inisiasi sebelumnya (antibody alamiah), factor-faktor ini biasanya terdapat pada fraksi 19S (IgM) gama globulin, dan tidak melewati plasenta; namun, antibody terhadap antigen A univalent inkomplit (albumin aktif) yang terdapat pada fraksi 7S (IgG) dapat melewati plasenta, sehingga penyakit hemolitik isoimun A-O dapat ditemukan pada bayi pertama yang dilahirkan. Ibu yang telah menjadi imun terhadap factor A atau B dari kehamilan inkompatibel sebelumnya juga menunjukkan antibody dalam fraksi gama globulin 7S. antibody imun ini terutama merupakan mediator penyakit isoimun ABO (Nelson, 2000).iii. Hemolisis lainnya

Defisiensi enzim Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dari eritrosit adalah defisiensi yang lazim dijumpai pada keadaan hiperbilirubinemia. Mutasi gen G6PD menyebabkan penurunan aktivitas G6PD dalam eritrosit. Fungsi G6PD adalah menghasilkan NADPH (Nikotinamid Adenosine DiPhosphat Hidrogen) melalui lintasan pentosa fosfat. NADPH berfungsi memberikan ion Hidrogen untuk mereduksi glutation teroksidasi menjadi glutation tereduksi, selanjutnya glutation tereduksi mengeluarkan H2O2 keluar dari eritrosit untuk mencegah terjadinya penumpukan H2O2 dalam eritrosit. Penumpukan H2O2 dalam eritrosit dapat memendekkan umur eritrosit (hemolisis) dan meningkatkan kecepatan hemoglobin menjadi methemoglobin (Mayes, 2003).Kelainan struktur eritrosit seperti sferositosis, eliptositosis, dan piknosis, adalah penyebab yang jarang menyebabkan hiper-bilirubinemia neonatus dan hiperbilirubinemia kronik (Nathan & Oski, 2003).

Infeksi dapat meningkatkan angka destruksi eritrosit dan jaundice. Sifilis congenital, rubella, dan toxoplasmosis adalah infeksi yang berhubungan dengan meningkatnya angka hemolisis dan hiperbilirubinemia (Nathan & Oski, 2003).

b. Kelainan herediter metabolisme bilirubin dalam hati

i. Sindrom Gilbert

Sindrom gilbert adalah defek genetic kecil enzim glukuronil transferase yang menyebabkan aktivitas enzim glukuronil transferase tersebut menurun. Sindrom gilbert menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan-sedang dan pada neonatus dicurigai apabila hiperbilirubinemia ringan akibat ASI ataupun ikterus fisiologis memanjang selama beberapa minggu. Aktivitasnya masih dapat dipicu dengan pemberian fenobarbital (Nathan & Oski, 2003).ii. Sindrom Crigler-Najjar

Sindrom Crigler-Najjar tipe 1

Sindrom ini ditandai oleh hiperbilirubinemia berat yang menetap yang muncul sejak minggu pertama kelahiran. Bilirubin tak terkonjugasi dapat mencapai angka kurang dari 20 mg/dL. Penyakit ini disebabkan oleh defek genetic yang diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan bayi tidak memiliki enzim glukuronil transferase sama sekali. Angka kehidupan bayi dengan penyakit ini jarang yang melewati 15 bulan pertama (Nathan & Oski, 2003). Sindrom Crigler-Najjar tipe 2

Sindrom ini ditandai oleh hiperbilirubinemia berat yang menetap yang muncul sejak minggu pertama kelahiran. Bilirubin tak terkonjugasi dapat mencapai angka lebih dari 20 mg/dL, tetapi setelah menjadi anak dan dewasa kadar bilirubin berkisar antara 6-20 mg/dL. Sindrom ini berespon terhadap pemberian fenobarbital, dan memiliki hasil konjugasi bilirubin monoglukuronida dalam empedunya, tetapi tidak adan bilirubin diglukuronida sama sekali (Nathan & Oski, 2003). c. Kelainan yang didapat

i. Jaundice ASI

ASI mengandung 5--pregnane-3, 20--diol atau asam lemak rantai panjang nonesterifikasi yang secara kompetitif menghambat aktifitas konjugasi glukuronil transferase di hati (Nelson, 2000). Selain itu ASI juga mengandung enzim -glukuronidase yang dapat menghidrolisis BDG menjadi BMG dan BMG menjadi bilirubin didalam lumen usus bayi yang diberi minum ASI (Gourley et al, 2005). Selanjutnya bilirubin yang terbentuk direabsorpsi usus untuk menjalani sirkulasi enterohepatik. Selain ASI, mukosa usus juga mempunyai enzim -glukuronidase seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ikterus ASI ini umumnya muncul mulai hari ke-4 samapi dengan hari ke-7, mencapai kadar maksimal setinggi 10-30 mg/dL selama minggu ke-2 sampai ke-3. Jika ASI terus diberikan, hiperbilirubinemia secara bertahap menurun dan kemudian menetap selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah (Nelson, 2000).ii. Kelainan Usus Neonatus

Sekitar 50% bayi dengan stenosis pylorus mengalami hiperbilirubinemia dan sekitar 10%nya menjadi ikterus. Stenosis pylorus juga merupakan tanda adanya aktifitas glukuronil transferase yang menurun seperti pada mutasi gen (Sindrom Gilbert). Obstruksi usus juga kadang dihubunkan dengan hiperbilirubinemia seperti pada hirschprungs disease (Nathan & Oski, 2003).iii. Obat-obatan

Xenobiotic memiliki efek yang luas pada metabolisme bilirubin dan transport. Novobiocin adalah antibiotic yang dapat menghambat glukuronil transferase.iv. Kelainan endokrin

Hipotiroid congenital berhubungan dengan10% bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang berkepanjangan. Ini karena hipotiroid menekan semua metabolisme dan memperlambat maturasi hepar. Pada bayi dari ibu yang diabetes mellitus juga menunjukkan peningkatan angka prolonged hiperbilirubinemia karena bayi tidak memiliki cukup UDPGA untuk diikatkan dengan bilirubin (Nathan & Oski, 2003).2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi

a. Herediter

i. Sindrom Dubin-Johnson

Sindrom ini disebabkan oleh adanya defek mekanisme transport kanalikuler beberapa anion organic hepar termasuk bilirubin terkonjugasi, yang disebabkan oleh mutasi genetik. Kadar bilirubin serum berkisar antara 1,5 6 mg/dL, 50% lebihnya adalah bilirubin terkonjugasi (direk). Tes fungsi hati normal, termasuk kadar garam empedu serum. Sindrom dubin Johnson ditandai dengan ekskresi >80% koproporfirin I di dalam urine sementara ekskresi koproporfirin urin total tetap normal, sedangkan pada individu normal jenis koproporfirin terbanyak dalam urin adalah koproporfirin III. Sel hepar secara histologis menunjukkan pengendapan pigmen hitam mirip melanin di lisosom hati. Defek ini dapat dikenali dengan memberikan kontras melalui mulut oral cholecystography yang tidak diekskresikan secara normal, sehingga visualisasi radiologik kantong empedu tidak jelas (Nathan & Oski, 2003).ii. Sindrom Rotor

Sindrom rotor adalah kelainan genetic autosomal resesif diturunkan yang melibatkan kapasitas penyimpanan dan gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi. Tes fungsi hati normal, histologis jaringan hepar tak tampak penumpukan pigmen seperti pada sindrom dubin-johnson. Ekskresi koproporfirin I dan koproporfirin total dalam urine meningkat. Pada pemberian kontras oral cholecystography menunjukkan ekskresi kontras ke dalam kantong empedu normal sehingga visualisasi kantong empedu baik. Kedua kelainan diatas tidak diperlukan pengobatan apapun. Kedua sindrom muncul pada masa kanak-kanak lanjut jarang pada neonatus (Nathan & Oski, 2003).b. Didapat (Cholestasis)

Kolestasis adalah gangguan aliran empedu (bilirubin direk dan garam empedu) akibat obstruksi (ekstrahepatik) atau hepatoseluler (intrahepatik). Kolestasis obstruktif disebabkan obstruksi anatomic atau fungsional system duktus bilier (misalnya, atresia biliaris, kolelitiasis, kolangitis). Kolestasis hepatoseluler menyebabkan gangguan pembentukan empedu akibat gangguan system kanalikulus hepar (Misalnya, akibat hepatitis/infeksi, induksi obat-obatan: halotan, kontrasepsi oral, isoniazid, dan klorpromazine). Kelainan ini jarang sekali muncul pada neonatus(Nathan & Oski, 2003).F. Faktor Resiko

Secara garis besar factor resiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:1. Faktor maternal

Ras tertentu (Asia, dan Indian)

Komplikasi kehamilan (DM, Inkompatibilitas ABO, Rh)

Penggunaan infuse oksitosin dalam larutan hipotonik.

ASI

2. Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus

Faktor genetic

Prematuritas

Polisitemia

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan gizi

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

G. Ikterus Fisiologis Vs Ikterus Patologis

Pada lingkungan normal, kadar bilirubin dalam serum talipusat yang bereaksi-indirek adalah 1-3 mg/dL dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24 jam; dengan demikian, ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai ke-3, biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan menurun sampai dibawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7 (Gambar 5). Ikterus yang disertai dengan perubahan-perubahan ini disebut fisiologis dan diduga akibat kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan eritrosit janin dikombinasi dengan belum matangnya fungsi hepar (enzim konjugasi glukuronil transferase). Penyebab ikterus harus dicari jika (1) ikterus muncul pada usia 24 jam pertama; (2) bilirubin serum naik dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam; (3) bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dL pada bayi cukup bulan (terutama bila tidak ada factor resiko) atau 10-14 mg/dL/24 jam pada bayi preterm; (4) ikterus menetap setelah usia 2 minggu; atau (5) bilirubin yang bereaksi direk lebih besar dari 1 mg/dL pada setiap saat. Selain itu juga apabila didapatkan factor resiko tersebut diatas (Nelson, 2000).

Gambar 5. Menentukan ikterus patologis. Bayi dengan total bilirubin diatas kurva adalah patologis sesuai dengan usianya. Tanda panah menunjukkan 3 titik yang membutuhkan perhatian khusus. Panah kiri menunjukkan awal ikterus: bayi yang terlihat ikterik (visible) (memiliki kadar bilirubin 7 mg/dL) sebelum 36 jam perlu diperiksa adanya hemolisis atau peningkatan produksi bilirubin. Panah tengah menunjukkan puncak hiperbilirubinemia fisiologis: bilirubin serum diatas 12 mg/dL memerlukan diagnosis penyebab dan monitoring yang baik untuk mencegah kadar toksik bilirubin lebih dari 15 mg/dL pada bayi premature dan 20 mg/dL pada bayi aterm. Pada kondisi ini mungkin disebabkan peningkatan produksi bilirubin, gangguan metabolisme, atau meningkatnya sirkulasi enterohepatik (Ikterus ASI). Panah ketiga/kanan mengindikasikan prolonged jaundice: bayi yang ikterik lebih dari 1 minggu mungkin disebabkan gangguan metabolisme (hipotiroid, herediter hiperbilirubinemia) atau meningkatnya sirkulasi enterohepatik (ASI). Adanya kenaikan bilirubin direk/terkonjugasi lebih dari 1 mg/dL atau lebih dari 10% dari bilirubin total mengindikasikan adanya disfungsi hati (Nathan & Oski, 2007).H. DiagnosisBerdasarkan Manajemen Terpadu Balita Sakit dijelaskan cara sederhana penegakan diagnosis ikterus meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis:

1. Apakah bayi kuning? Jika YA, pada umur berapa timbul kuning?

2. Apakah bayi lahir kurang bulan?

3. Apakah warna tinja bayi pucat?

Pemeriksaan Fisik

WHO menerangkan cara menentukan ikterus secara visual sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (disiang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bilia dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

Menentukan derajat ikterus menurut Kramer:

Tabel 1. Pemeriksaan KramerDerajatKeterangan

Kramer 1

Kuning pada daerah kepala dan leher

Kramer 2

Kuning sampai dengan badan bagian atas (dari pusar ke atas)

Kramer 3

Kuning sampai badan bagian bawah hingga lutut atau siku.

Kramer 4Kuning sampai pergelangan tangan dan kaki

Kramer 5Kuning sampai daerah tangan dan kaki

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2003)Menurut Prosedur Tetap Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bantul tahun 2001 estimasi kadar bilirubin berdasarkan Kramer adalah:

Tabel 2. Estimasi Kadar Bilirubin Secara KramerKramerCukup BulanKurang Bulan

Range kadar BilirubinMean + SDRange kadar BilirubinMean + SD

14,3 7,85,9 + 1,74,1 7,5-

25,4 12,28,9 + 1,75,6 12,19,4 + 1,9

38,1 16,511,8 + 1,87,1 14,811,4 + 2,3

411,1 18,315,8 + 1,79,3 18,413,3 + 2,1

5>15->10,5-

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ikterus dikelompokkan menjadi ikterus fisiologis atau patologis:Tabel 3. Klasifikasi IkterusTanya dan LihatGejala dan TandaKlasifikasi

Mulai kapan ikterik?

Bayi kurang bulan?

Apa warna tinjanya?Daerah mana yang ikterus? Ikterik pada 2 hari pertama setelah lahir, atau Ikterik umur 14 hari atau lebih, atau Ikterik pada bayi kurang bulan, atau Tinja warna pucat, atau Ikterik sampai lutut/siku atau lebihIKTERUS PATOLOGIK

Ikterik umur 3 - < 14 hari dan tidak ada tanda-tanda ikterus patologisIKTERUS FISIOLOGIS

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2003)Secara sederhana tingkat keparahan ikterus berdasarkan WHO tahun 2003:Tabel 4. Tingkat keparahan IkterusUsiaIkterus terlihat pada:Klasifikasi

Hari 1Bagian tubuh manapunIkterus berat a

Hari 2Lengan dan tungkai

Hari 3 dstTangan dan kaki

a Segera lakukan terapi sinar, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum (Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89)

Pemeriksaan Laboratorium1. Pengukuran Kadar Bilirubin

a. Bilirubin Serum Total (TSB)Bilirubin serum adalah baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum. Tindakan invasive ini dapat meningkatkan morbiditas neonatorum. Sample yang diambil sebaiknya terlindungi dari cahaya.

b. Bilirubin Transkutaneus (TcB)

Bilirubin transkutaneus adalah pemeriksaan bilirubin melalui pemindaian cahaya melalui kulit. Pemeriksaan ini tidak dapat menggantikan TSB, tetapi hanya berfungsi untuk skrining saja. TcB sangat diperngaruhi oleh pigmen kulit terutama setelah penyinaran, dimana kulit bayi akan lebih hitam. TcB berbeda sedikitnya 2-3 mg/dL dari TSB untuk kadar bilirubin 25 mg/dL

setiap 3-4 jam, bila TSB 20-25 mg/dL

setiap 4-6 jam, bila TSB < 20 mg/dL

setiap 8-12 jam, bila TSB terus menurun

Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun dibawah 13 14 mg/dL (239 mol/L) Bila kadar bilirubin serum mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar, bila memungkinkan segera rujuk ke Rumah Sakit Rujukan atau dengan fasilitas pelayanan spesialis untuk dilakukan tranfusi tukar. Lakukan persiapan untuk merujuk dan kirim juga sample darah ibu dan bayi.

Bila bilirubin serum tidak dapat diperiksa:

Bila bayi kecil (berat lahir