bab i

45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit karena cacing (helminthiasis) banyak tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat sosio-ekonomi masyarakat. Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrata tertentu sebagai host, misalnya ikan, siput, crustacea atau serangga, dalam siklus atau lingkaran dalam hidupnya. Di daerah tropis host- host ini juga banyak berhubungan dengan manusia, karena tidak adanya pengendalian dari masyarakat setempat. Dalam hal ini, salah satu cacing yang bersifat parasit pada manusia adalah golongan cacing bulat (Nemathelmintes) (dr. Indan Entjang, 2003). Pada phylum Nemathelmintes, cacing dewasa merupakan kelompok cacing dengan bentuk bulat memanjang seperti benang. Tanda-tanda lainnya yaitu kulit luar tidak bersegmen, kutipula licin, kadang-kadang bergaris, memiliki rongga badan serta jenis kelamin terpisah. Dari phylum ini yang 1

Upload: hanifa-kusumadina-millati

Post on 13-Aug-2015

31 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit karena cacing (helminthiasis) banyak tersebar di seluruh

dunia terutama di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan

tingkat sosio-ekonomi masyarakat.

Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrata tertentu

sebagai host, misalnya ikan, siput, crustacea atau serangga, dalam siklus

atau lingkaran dalam hidupnya. Di daerah tropis host-host ini juga banyak

berhubungan dengan manusia, karena tidak adanya pengendalian dari

masyarakat setempat. Dalam hal ini, salah satu cacing yang bersifat parasit

pada manusia adalah golongan cacing bulat (Nemathelmintes) (dr. Indan

Entjang, 2003).

Pada phylum Nemathelmintes, cacing dewasa merupakan

kelompok cacing dengan bentuk bulat memanjang seperti benang. Tanda-

tanda lainnya yaitu kulit luar tidak bersegmen, kutipula licin, kadang-

kadang bergaris, memiliki rongga badan serta jenis kelamin terpisah. Dari

phylum ini yang bersifat parasit bagi hewan dan manusia termasuk dalam

kelas Nematoda (Djaenudin, 2009).

Nematoda (cacing bulat) mempunyai bentuk panjang dan tidak

bersegmen. Mempunyai jenis kelamin jantan dan betina. Cacing jantan

lebih kecil daripada cacing betina dan melengkung ke arah ventral.

Ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter (misalnya Trychinella

spiralis) sampai 35 cm (misalnya Ascaris lumbricoides) bahkan ada yang

mendekati 1 meter (misalnya Dracunculus medinensis). Bentuk telurnya

bermacam-macam tergantung jenis cacingnya (dr. Indan Entjang, 2003).

B. Tujuan

a. Mengetahui tentang klasifikasi pada Nematoda parasit usus.

1

Page 2: BAB I

b. Mengetahui tentang epidemiologi, distribusi geografik dan kondisi

penyakit terkini pada Nematoda parasit usus.

c. Mengetahui tentang morfologi pada Nematoda parasit usus.

d. Mengetahui tentang siklus hidup pada Nematoda parasit usus.

e. Mengetahui patologi pada pada Nematoda parasit usus.

f. Mengetahui pencegahan dan pengendalian pada pada Nematoda parasit

usus.

2

Page 3: BAB I

BAB II

ISI

Cacing merupakan salah satu parasit yang sering menyerang usus masusia,

salah satunya adalah dari kelas Nematoda, karena yang diserangnya adalah usus

maka cacing ini biasa juga di sebut Nematoda Usus. spesies cacing yang terbasuk

ini diantaranya adalah Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis (Cacing

Kremi), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus, Ancylostoma

branziliense dan Ancylostoma caninum, Trichinella spiralis, Toxocara canis dan

Toxocara cati, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis

1. Ascaris lumbricoides

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes

Sub Phylum : Ascaridoidea

Kelas : Nematoda

Sub Kelas : Secernantea

Ordo : Ascaridida

Family : Ascaridae

Genus : Ascaris

Species : Ascaris lumbricoides

b. Epidemiologi

Telur A.lumbricoides berkembangbiak pada tanah liat yang

mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30 oC pada kondisi ini,

telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-

3 minggu (Entjang, 2011).

Parasit ini ditemukan kosmopolitik. Survei yang dilakukan dibeberapa

tempat di indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih

cukup tinggi, sekitar 60-90%.

3

Page 4: BAB I

c. Morfologi

Cacing betina panjangnya 20 – 35 cm, sedangkan cacing jantan 15-30

cm. Cacing dewasanya hidup di usus halus. Pada cacing jantan ujung

posteriornya melengkung ke arah ventral, dan dua buah spekulen

berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya

membulat dan lurus, dan ½ pada anterior tubuhnya terdapat cincin

kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan.

Telur mempunyai empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak

dibuahi (afertillized), matang,dan dekortikasi. Telur yang dibuahi besarnya

60x45 mikron, dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri

dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Telur yang

tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang dari pada tipe yang

dibuahi, besarnya 90x40 mikron,dan dinding luarnya lebih tipis. Telur

matang berisi larva (embrio). Telur yang dekortikasi tidak dibuahi tetapi

lapisan luarnya (albuminoid) sudah hilang (Entjang, 2011).

d. Patologi

Pada infeksi ringan, terjadi kerusakan kecil karena penetrasi melalui

dinding mukosa usus oleh larva yang baru menetas (L2). Terjadi respon

peradangan (inflamatory respons) pada saat larva bermigrasi yaitu pada

organ limpa, hati, kelenjar limfe dan otak. Hal tersebut juga terjadi pada

saat larva bergerak dari kapiler paru ke sistem respirasi sehingga

menyebabkan perdarahan kecil (foci haemoragik).

Sedangkan pada infeksi berat, terjadi bila sejumlah besar larva

penetrasi melalui dinding usus sehingga menimbulkan perdarahan pada

dinding usus dan pada waktu bermigrasi ke paru akan menimbulkan

pneumonia pada area yang luas sehingga dapat menyebabkan kematian

(Ascaris pneumonitis). Bilamana sejumlah cacing dewasa ada dalam usus,

dapat menimbulkan gejala sakit perut, asthma, insomnia dan sakit pada

mata. Disamping itu akan menimbulkan respon alergi bilamana cacing

mengeluarkan bahan ekskresi maupun sekresi. Sejumlah cacing dewasa

4

Page 5: BAB I

dalam usus akan menyumbat saluran usus yang mengakibatkan cacing

dewasa menembus dinding usus atau apendiks usus. Hal tersebut

menyebabkan peritonitis yang mengakibatkan kematian pada penderita.

Bila cacing masuk ke dalam apendiks dapat menimbulkan perdarahan

local (Entjang, 2011).

e. Siklus Hidup

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

Cacing dewasa hidup dalam usus halus (usus kecil), memakan sari

makan dalam usus (diduga menembus mukosa usus untuk menghisap

darah). Kopulasi (kawin) terjadi dalam usus. Cacing betina dapat

memproduksi telur sampai 27 juta butir/ekor, dengan ukuran telur 60-70

m X 40-50 m. Kulit telur transparan dengan diselaputi lendir albumin

yang berwarna kecoklatan.

Telur yang dibuahi membentuk zigot dan keluar bersama feses. Zigot

berkembang pada suhu optimun (15,5-30oC), mati pada suhu 38oC. Pada

kondisi alamiah telur berkembang dalam tanah aerobic dan membentuk

larva didalam telur selama 10-14 hari (pada fase ini bila tertelan tidak

menyebabkan infeksi). Tetapi bila bentul L1 berkembang dan membentuk

L2dalam telur, maka telur tersebut menjadi telur infektif.

Bilamana telur infektif tertelan maka L2 menetas dan secara aktif

menembus dinding mukosa usus dan terbawa kehati melalui saluran limfe

usus atau venula usus. Dari hati larva terbawa ke bilik kanan jantung dan

5

Page 6: BAB I

kemudian ke paru-paru melalui arteri paru-paru. Larva biasanya tinggal

dalam paru selama beberapa hari dan tumbuh bergerak melewati kapiler

masuk ke dalam alveoli. Kemudian bergerak ke bronchioli, bronchi,

trachea menuju glottis. Penderita terbatuk dan larva tertelan dan masuk ke

dalam saluran pencernaan menuju usus halus kemudian menjadi dewasa.

Selama proses migrasi tersebut larva tumbuh dari ukuran 200 m

sampai 300 m. Ecdysis terjadi dalam usus halus dalamselang waktu 25-

29 hari setelah larva tertelan. Hanya larva yang mencapai moulting yang

ke 4 yang dapat hidup menjadi dewasa (Onggowaluyo, 2000).

f. Pencegahan & Pengendalian

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:

1. Hendaknya pembuangan tinja (feses) pada W.C. yang baik.

2. Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan.

3. Penerangan atau penyuluhan melalui sekolah, organisasi

kemasyarakatan oleh guru-guru dan pekerja-pekerja kesehatan.

4. Hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali sudah

dicampur dengan zat kimia tertentu.

Upaya pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan memutus

siklus hidup Ascaris lumbricoides. Pemakaian jamban keluarga dapat

memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kurang disadarinya

pemakaian jamban keluarga oleh masyarakat dapat menimbulkan

pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, di bawah pohon

dan di tempat-tempat pembuangan sampah. Upaya pengendalian juga

dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti yang diberikan

secara perorangan maupun massal. Obat lama yang pernah digunakan

adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkimol, dan hetrazam (Entjang,

2011).

2. Enterobius vermicularis (Cacing Kremi)

6

Page 7: BAB I

Hospes definitif Enterobius vermicularis hanya pada manusia. Enterobius

vermicularis dewasa hidup di sekum dan dekat apendiks. Nama penyakitnya

Enterobiasis/oksiuriasis.

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Sub kelas : Spiruria

Ordo : Oxyurida

Famili : Oxyuridae

Genus : Enterobius

Species : Enterobius vermicularis

b. Epidemiologi

Penyebaran Enterobius vermicularis lebih luas daripada cacing lain.

Penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup pada satu

lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing ini dapat

diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi

sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan

beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing

dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus

(toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitan

menunjukkan angka prevalensi pada golongan manusia 3%-80%.

Penelitian di daerah jakarta timur melaporkan bahwa kelompok usia

terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok uisa 5-9 tahun

yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.

Parasit ini cosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin

daripada didaerah panas. Hal itu mungkin disebabkan pada umumnya

orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam.

Penyebaran cacing ini juga di tunjang oleh eratnya hubungan manusia satu

dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai.

7

Page 8: BAB I

c. Morfologi

Enterobius vermicularis betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada

ujung anteriorada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae.

Bulbus esogfagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing

yang grafid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5mm,

juga memiliki sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti

tanda tanya (?).

d. Siklus hidup

8

Page 9: BAB I

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan usus

halus. Makanannya adalah isi usus. Cacing betina yang gravid

mengandung 11.000 – 15000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal

untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur jarang

dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur akan

menjadi matang dalam waktu 6jam setelah dikeluarkan. Telur resistan

terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat

hidup sampai 13 hari.

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing

jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur. Waktu

yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur sampai

menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,

barlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya

berlangsung 1 bulan karena telur cacing dapat ditemukan kembali pada

anus paling cepat 5 minggu setelah pengobatan.

Infeksi pada cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila

tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir.

e. Patologi

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang

berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabakan iritasi disekitar anus,

perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah

9

Page 10: BAB I

anus dan vagina sehingga mengakibatkan pruritus lokal. Karena cacing

bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita

menggaruk disekitar anus sehingga timbul luka garuk disekitar anus.

Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari sehingga penderita

terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang – kadang cacing dewasa

muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung,

esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut.

Cacing betina gravid menggembara dan dapat bersarang di Vagina dan di

Tuba Fallopii sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Cacing

sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.

Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu

makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah gigi

menggeretak, insomnia dan mastrbasi, tetapi kadang sulit untuk

membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.

f. Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan terjadinya penyakit cacing kremi dapat dilakukan dengan

menjaga diri dan selalu berperilaku hidup bersih. Sangat penting untuk

menjaga kebersihan pribadi, dengan menitikberatkan kepada mencuci

tangan setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan. Pakaian

dalam dan seprei penderita sebaiknya dicuci sesering mungkin dan

dijemur di bawah sinar matahari secara langsung.

Sedangkan untuk mengendalikan tersebar luasnya infeksi cacing kremi ini

dapat dilakukan langkah-langkah umum meliputi;

1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar

2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku

3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu

4. Mencuci jamban setiap hari

5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari

tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya

6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut.

10

Page 11: BAB I

3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

a. Klasifikasi Ilmiah

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secementea

Ordo : Strongilodae

Famili : Ancylostomatidae

Genus : Necator/Ancylostoma

Spesies : Necator amirecanus

Ancylostoma duodenale

b. Epidemiologi

Infeksi ini menyebar secara kosmopolit, terutama di area tropis dan

subtropis. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitatnya (larva

rabditiform dan filariform), yaitu daerah dengan suhu dan kelembapan

tinggi (perkebunan dan pertambangan). Insidennya cukup tinggi di

Indonesia dan banyak ditemukan di pedesaan (pekerja perkebunan dan

pertambangan yang kontak langsung dengan tanah). Habitat yang cocok

untuk pertumbuhan larva ialah kondisi tanah yang gembur (humus dan

pasir). Suhu optimum untuk perkembangan larva N.americanus berkisar

28-32C, sedangkan untuk A.duodenale berkisar 23-25C(Muslim, 2009).

Penyebaran cacing ini di seluruh daerah katulistiwa dan di tempat lain

dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan

perkebunan. Prevalensi di indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan

sekitar 40%.

c. Morfologi

Telur Necator Americanus dan Ancylostoma duodenale sulit

dibedakan, keduanya memiliki morfologi ujung membulat tumpul, selapis

kulit hialin tipis transparan. Kedua spesies berbeda dalam hal ukuran.

Ukuran A.duodenale betina antara 10-30mm diameter 0,60mm dan

11

Page 12: BAB I

ukuran jantan antara 8-11mm dengan diameter 0,45mm. Ukuran

N.americanus betina yaitu antara 9-11mm dengan diameter 0,35mm dan

ukuran jantan antara 5-9mm dengan diameter 0,30mm.

Bentuk dari N.americanus seperti huruf S, memiliki gigi 3 pasang

dengan ujung ekor jantan yang bursa kapularitek dan ujung ekor

betinanya lancip. Bentuk A.duodenale seperti huruf C, memiliki gigi 2

pasang, ujung ekor jantannya bursa kapularitek dan ujung ekor betinanya

lancip (Muslim, 2009).

d. Siklus hidup

Cacing betina hidup di usus manusia menghasilkan telur, dan keluar

bersama feces menjadi larva rabditiform, selama 1-2 hari berganti kulit

menjadi larva filariform yang siap menginfeksi dan masuk menembus

pori-pori kulit. Selanjutnya mengikuti aliran darah menuju jantung, paru-

paru, trakea, kerongkongan, dan masuk ke lambung. Perkembangan

menjadi dewasa di usus halus(Muslim, 2009).

12

Page 13: BAB I

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

e. Patologi

Infeksi cacing tambang pada hakikatnya adalah infeksi menahun

sehingga sering tidak menunjukkkan gejala akut. Kerusakan jaringan dan

gejala penyakit dapat disebabkan baik oleh larva maupun oleh cacing

dewasa. Larva menembus kulit membentuk maculopapula dan critem,

sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch.

Waktu larva berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada

orang yang sensitif dapat menimbulkan bronchitis bahkan pneumonitis.

Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan

perasaan tidak enak di perut, mual, diare. Seekor cacing dewasa mengisap

darah 0,2-0,3ml sehari sehingga dapat menimbulkan anemi yang

13

Page 14: BAB I

progresif, hipokromi, mikrositer, tipe defisiensi besi. Infeksi Ancylostoma

duodenale lebih berat dari N.americanus (Djaenudin,2009).

f. Pencegahan dan Pengendalian

Untuk menghindari infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan

menggunakan alas kaki (sepatu/sendal) dan pencegahan penularan infeksi

cacng tambang dilakukan dengan menghindari defekasi di sembarang

tempat. Untuk pengendalian infeksi akibat cacing tambang dapat

dilakukan dengan mengadakan sosialisasi mengenai pola hidup bersih dan

sehat.

4. Ancylostoma branziliense dan Ancylostoma caninum

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secementea

Ordo : Strongilodae

Famili : Ancylostomatidae

Genus : Ancylostoma

Spesies : Ancylostoma branziliense

Ancylostoma caninum

b. Epidemiologi

Kucing dan anjing merupakan hospes definitif A.braziliense dan

A.caninum. Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik,

juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa

pada sejumlah kucing ditemukan 72% A.braziliense, sedangkan pada

sejumlah anjing terdapat 18% A.braziliense dan 68% A.caninum (Muslim,

2009).

14

Page 15: BAB I

Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan sub tropik; juga di

temukan di indonesia. Permeriksaan di jakarta menunjukkan bahwa pada

sejumlah kucing ditemukan 72% a. Branziliense, sedangkan pada sejumlah

anjing terdapat 18% A.branziliense dan 68% A.caninum.

c. Morfologi

A.braziliense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya.

Cacing jantan panjangnya antara 4,7-6,3 mm, yang betina 6,1-8,4 mm.

A.caninum mempunyai tiga pasang gigi: cacing jantan panjangnya kira-

kira 10 mm dan cacing betina kira-kira 14 mm (Muslim, 2009).

d. Siklus Hidup

Telur keluar bersama feses dan beberapa ada yang sudah menjadi

larva yang keluar melalui air susu dari hospes. Telur dalam tanah dengan

suhu dan kelembaban yang sesuai akan berkembang menjadi larva. Larva

yang terinjak atau menempel pada kulit hospes akan menginfeksi hospes.

Larva berkembang menjadi cacing dewasa dalam otot dan kemudian

menetap di usus sebagai parasit yang menghisap darah dan melakukan

reproduksi (Muslim, 2009).

e. Patologi

15

Page 16: BAB I

Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan

kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease atau cutaneous

larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan

gambaran khas berupa kelaianan intrakutan serpiginosa, yang antara lain

disebabkan Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Pada

tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel keras, merah dan

gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang

tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah

panjang menurut gerakan larva didalam kulit. Sepanjang garis yang

berkelok-kelok terdapat vesikel-vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi

sekunder karena kulit di garuk (Djaenudin,2009).

f. Pencegahan dan Pengendalian

Penularan bisa dicegah dengan menghindari  kontak dengan tanah

yang tercemar oleh tinja anjing dan kucing. Pengendalian dapat dilakukan

dengan menjaga kebersihan lingkungan serta menjaga kebersihan tubuh

(Djaenudin, 2009).

5. Trichinella spiralis

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda

Subclass : Adenophorea

Ordo : Enoplida

Famili : Trichinelloidea

Genus : Trichinella

Species : Trichinella spiralis

16

Page 17: BAB I

b. Epidemiologi

Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan

Australia. Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva

dan kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak

ditemukan di negara yang penduduknya gemar memakan daging babi. Di

daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Infeksi pada

manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari

babi.

Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi

di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang

mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah

dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi

yang mengandung larva infektif.

Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di

penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Frekuensi

trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi

yang diberi makanan dari sisa penjagalan. Infeksi T. spiralis pada manusia

tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa

penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan

daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Home made

sausage dapat lebih berbahaya. Hendaknya dilakukan pula pendidikan

pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva

mati pada suhu kira-kira 60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku.

Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap.

(Entjang, 2011)

Cacing ini kosmopili, tetapi di negeri beragama islam parasit ini jarang

ditemukan pada manusia. Di eropa dan amerika serikat parasit ini banyak

di temukan karena penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging babi

yang dimasak kurang matang.

17

Page 18: BAB I

c. Patologi

Kelainan patologis pada trikinosis mulai terjadi akibat adanya

invasicacingdewasa  yang berasal dari perkembangan larva kedalam

mukosa usus. Gejala dan keluhan penderita terjadi dua hari sesudah

tertelan nyakista larva yang infektif.

Penyakit trikinosisiniterbagi dalam 3 stadium klinis sesuai dengan

periode dalam siklus hidupnya yaitu :

Invasi usus oleh cacing dewasa

Timbul gejala intestinal dini 1-2 hari setelah memakan daging babi

yang kurang matang, berupa tidak enak perut serta diare.

Migrasi larva

Timbul 7-28 hari setelah memakan daging babi yang kurang

matang. Gejala yang timbul berupa oedema terutama sekitar mata,

myalgia (nyeri otot), sakit sendi, cefalgia (nyeri kepala), demam yg

menetap selama perjalanan penyakit menyerupai demam pada typhus

abdominalis.Pada perode ini mungkin disertai gejala gangguan paru-

paru berupa pneumonia atau gangguan cerebral atau kardiak. Pada

infeksi berat kematian terjadi pada minggu ke 2-3, tetapi pada kasus

biasa, kematian pada minggu ke 4-8. Kematian terjadi karena serangan

pada alat vital. Sebelum gejala pada periode (2) ini timbul, didahului

oleh eosinofil yg mulai timbul pada minggu ke 2, sampai mencapai

puncaknya minggu ke 3-4, kemudian turun untuk mencapai normal

kembali pada bulan ke enam.

Proses pembentukan kista dan penyembuhan.

Dimulai pada bulan ke 3 sejak larva tertelan hospes. Pada periode

ini timbul kelemahan umum (malaise). Kadang-kadang orang yang

sembuh dari penyakit ini, dalam beberapa tahun masih merasakan

gejala-gejala sisa berupa sakit sendi, kelemahan, kaku, kehilangan

kelincahan (Entjang, 2011).

d. Siklus Hidup

18

Page 19: BAB I

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

Awal infeksi pada manusia terjadi dengan memakan daging karnivora

dan omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna. Daging

tersebut mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah

mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi

ekskistasi (larva keluar). Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian

masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh

tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang,

leher, bisep dan lain lain.

Kurang lebih awal minggu ke 4 larva yang telah tumbuh hanya

menjadi kista dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva

dalam kista dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat

hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran

dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang

mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan.

Di usus halus  bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam

waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk  ke mukosa

kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Onggowaluyo, 2000).

19

Page 20: BAB I

e. Pencegahan & Pengendalian

Selalu melakukan pemeriksaan daging babi yang dijual, serta

memasak daging babi dengan sempurna sebelum dimakan dapat

mengurangi penyebaran trikinosis. Pembekuan daging babi dan daging

lainnya hingga -35°C dapat membunuh kista cacing. Selain itu

mengupayakan agar babi yg diternakkan selalu diberimakanan yg dipanasi

lebih dahulu, dan menjauhkan tikus dari lingkungan peternakan

babi. Pencegahan dapat juga dilakukan dengan memusnahkan sisa

potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,

tidak  memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan, memasak

daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan

daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk

menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot (Entjang, 2011).

6. Toxocara canis dan Toxocara cati

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda

Subclass : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Famili : Ascarididae

Genus : Toxocara

Species : Toxocara canis

Klasifikasi Toxocara cati

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda

Subclass : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Famili : Ascarididae

20

Page 21: BAB I

Genus : Toxocara

Species : Toxocara cati

b. Epidemiologi

Toxocara canis dan Toxocara cati  tersebar secara kosmopolit dan

ditemukan juga di Indonesia. Di Jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan

pada kucing 26,0%. Prevalensi toxocariasis pada anjing dan kucing pernah

dilaporkan di Jakarta masing-masing mencapai 38,3 % dan 26,0 %.

c. Morfologi

Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan

yang betina 5,7-10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8

cm, sedangkan yang betina berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya

menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis  terdapat

sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangakan pada Toxocara

cati  bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular

kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya

berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform),

yang betina ekornya bulat meruncing.

d. Siklus Hidup

21

Page 22: BAB I

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

Gambar siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati

Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan

berkembang menjadi telur infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif

dapat tertular baik dengan menelan telur infektif atau dengan memakan

hospes paratenik yang tinggal di tanah seperti cacing tanah dan semut.

Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara

transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu dari

induk kucing yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes paratenik)

kemudian larva menembus usus dan ikut dalam peredaran darah menuju

organ tubuh (hati, jantung, paru, otak, dan mata). Di dalam orang larva

tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.

e. Patologi

Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara

di alat-alat dalam. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa

perdarahan, nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil.

Larva dapat terbungkus dalam granuloma kemudian dihancurkan atau

tetap hidup selama bertahun-tahun. Kematian larva menstimulasi respon

imun immediate-type hipersisentivity yang menimbulkan penyakit visceral

larva migrans (VLM), dengan gejala demam, perbesaran hati, dan limfa,

gejala saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme. Kelainan pada otak

menyebabkan kejang, gejala neuro psikitrik/ensefalopati. Berat ringannya

gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah larva dan umur penderita. Umumnya

penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun karena mereka banyak

bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah (geofagia atau pica) yang

terkontaminasi tinja anjing atau kucing.

f. Pencegahan dan Pengendalian

22

Page 23: BAB I

Pencegahan dan pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah

pembuangan tinja anjing atau kucing peliharaan secara sembarangan

terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun sayuran. Pada manusia,

pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang

mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi

seperti, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging

yang kurang matang dan membersihkan secara seksama sayur lalapan.

7. Trichuris trichiura

a. Klasifikasi Trichuris trichiura

Phylum :Nemathelminthes

Class :Nematoda

Subclass :Adenophorea

Ordo :Enoplida

Famili :Trichinelloidea

Genus :Trichuris

Species :Trichuris trichiura

b. Epidemiologi

Manusia adalah hospes utama Trichuris trichiura, akan tetapi

cacing tersebutjuga pernah dilaporkan di dalam kera dan babi. Frekuensi

infeksi dengan cacing cambuk adalah tinggi, tetapi biasanya ringan.

Frekuensi yang ditemukan di daerah-daerah dengan hujan lebat, iklim

subtropik, dan tanah dengan kontaminasi banyak tinja (Brown, 1979).

Kerusakan mekanikdi mukosa usus oleh cacing dewasa dan respons alergi

disebabkan oleh jumlah cacing yang banyak, lama infeksi, usia, dan status

umum hospes. Infeksi berat dan menahun terutama terjadi pada anak-anak

(Muslim, 2009).

Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan didaerah panas dan

lembab seperti di indonesia.

23

Page 24: BAB I

c. Morfologi

Bagian anterior seperti cambuk dan meruncing, tigaperlima daripada

seluruhnya dilalui oleh oesophagus yang sempit sempit yang

menyerupai rantai merjan

Bagian posterior yang lebih tebal, duaperlima dari seluruhnya berisi

usus dan seperangkat alat reproduksi

Panjang cacing jantan 30-45 mm dan yang betina 35-50 mm

Bagian posterior betina membulat tumpul dan bagian posterior cacing

jantan melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil

Telur , dengan ukuran 50-54 x 23µ berbentuk seperti tempayan

(gentong) dengan semacam tutup yang jernih dan menonjol pada

kedua kutub.

(Brown, 1979)

d. Siklus hidup

Telur yang keluar bersama tinja, dalam keadaan belum matang (belum

membelah), tidak infektif.telur demikian ini perlu pematangan pada tanah

selama 3-5 minggu sampai berbentuk telur infektifyang berisi embrio

didalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur yang infektif tertelan.

Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva,

menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus

besar dan menetap dalam beberapa tahun. Waktu yang diperlukan waktu

yang dibutuhkan sejak telur yang infektif tertelan sampai cacing betina

menghasilkan telur adalah 30-90 hari (Djaenudin dan Ridad, 2009).

24

Page 25: BAB I

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

e. Patologi

Infeksi oleh cacing ini disebut Trichiuriasis, trichosephaliasis, atau infeksi

cacing cambuk. Cacaing ini paling sering menyerang anak usia 1-5 tahun.

Infeksi ringan biasanya tanpa gejala, ditemukan secara kebetulan saat

pemeriksaan tinja rutin. Infeksi oleh Trichuris trichiura kadang-kadang

terjadi bersama infeksi parasit usus lain. Parasit lain yang menyertainya

adalah Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Entamoeba histolystica

(Djaenudin dan Ridad, 2009).

Trichiuris terutama hidup di coecum manusia, akan tetapi dapat

ditemukan juga di dalam appendix dan ileum bagian distal. Pada orang

dengan infeksi berat, cacing ini tersebar diseluruh colon dan rektum, dan

kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus

yang merupakan akibat mengejan pada waktu defekasi yang sering.

Meskipun Trichiuris tersebar luas dan frekuensinya tinggi di banyak

daerah, infeksi itu biasanya ringan (Brown, 1979).

25

Page 26: BAB I

f. Pecegahan dan pengendalian

1. Pencegahan

a) Individu

Mencuci tangan sebelum & sesudah makan;

Mencuci sayuran yang dimakan mentah;

Memasak sayuran di air mendidih;

b) Lingkungan

Menggunakan jamban ketika buang air besar;

Tidak menyiram jalanan dengan air got;

Tidak jajan di sembarang tempat, pastikan bahwa penjual makanan

memperhatikan aspek kebersihan dalam mengolah makanan

2. Penanganan atau Pengobatan

a) Mebendazol

Bentuk sediaan :

tablet, sirup 100 mg/ 5ml (botol 30 ml)

Cara kerja obat :

memiliki khasiat sebagai obat kecacingan yang mempunyai

jangkauan luas terhadap cacing-cacing parasit.

Aturan pemakaian

100 mg, 2 kali sehari selama3 hari

Efek yang tidak diinginkan : kadang-kadang terjadi nyeri perut,

diare, sakit kepala, demam, gatal-gatal, ruam kulit

Tidak boleh digunakan pada anak-anak balita dan wanita

hamil.

b) Albendazol; dosis tunggal 400 mg

c) Oksantel pirantel pamoat; dosis tunggal 10-15 mg/kgBB

26

Page 27: BAB I

8. Strongyloides stercoralis

a. Klasifikasi

Phylum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Ordo : Strongylida

Family : Strongyloididae

Genus : Strongyloides

Species : Strongyloides stercoralis

b. Epidemiologi

Daerah yang  panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat

menguntungkan cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang

tidak langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah

gembur, berpasir dan humus. Nematoda ini terutama terdapat di daerah

tropik dan subtropik sedangkan d daerah yang beriklim dingin jarang

ditemukan.

c. Morfologi

Cacing betina kecil, langsing seperti benang dan ukurannya kira-kira 2mm,

dengan kedua ujungnya runcing. Cacing jantan lebih besar. Saluran

pencernaan terdiri dari kapsul bukal kecil, esofagus panjang memanjang

melalui pertigaan anterior tubuh, dan usus yang tipis. Larva rabditiform

berukuran 225x16 mikron, sedangkan larva filariform ramping dan

berukuran 630x16 mikron. Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan

berukuran 50-58x30-34 mikron (Muslim, 2009)

d. Daur hidup

27

Page 28: BAB I

Sumber: http://www.dpd.odc.gov

Ditemukan tiga macam siklus hidup, yaitu (1) siklus langsung; (2) siklus

tidak langsung (siklus bebas); dan (3) hiperinfeksi dan auto infeksi. Pada

siklus langsung sama seperti sikus hidup cacing tambang, sesudah 2-3 hari

larva yang berada dalam tanah, berubah menjadi larva filariform yang

infektif. Jika menyentuh kulit manusia, menembus kulit tersebut, masuk ke

kapiler dara dan terbawa aliran darah. Perjalanan yang selanjutnya sama

dengan perjalanan cacing tambang, yang akhirnya tertelan sampai ke usus

halus.waktu yang dibutuhkan larva filariform menembus kulit hospes

sampai didapatkan larva rabditiform dalam tinja + 2-3 minggu.

Pada sikus tidah langsung/ siklus bebas, larfa rhabditiform yang keluar

bersama tinja, ditanah berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina.

Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina bertelur, diikuti menetasnya

telur tersebut dengan mengeluarkan larva rabditiform, selanjutnya akan

terjadi perkembangan dibawah ini. Sebagian akan mengulang siklus bebas

cacing jantan dan betina diatas. Sebagian lagi, larva rhabditiform berubah

menjadi larva filariform. Larva ini menembus kulit hospes, masuk

kedalam siklus langsung seperti uraian sebelumnya.

Hiperinfeksi dan autoinfeksi. Larva rhabditiform yang berada dalam lumen

usus, menuju anus, berubah menjadi larva filariform yang dapat masuk

kembali ke dalam tubuh hospes setelah menembus mukosa kolon.

28

Page 29: BAB I

Hiperinfeksi atau auto infeksi internal terjadi jika larva filariform

menembus mukosa colon sebelum sampai di anus, sedangkan auto infeksi

atau autoifeksi eksternal terjadi jika larva filariform melewati anus dan

menembus kulit perianal. Baik hiperinfeksi maupun auto infeksi, keduanya

akan sampai pada kapiler darah, kemudian masuk siklus langsung sehinga

infeksi cacing ini dapat berlangsung terus menerus seumur hidupnya

hospes (Djaenudin dan Ridad, 2009).

e. Patologi

Penyakit akibat cacing ini dikenal dengan strongyloidiasis,

strongyloidosis, diare chocin Cina. Pada gejala infeksi ringan biasanya

tidak ditemukan gejala sehingga tidak diketahui hospes, sedangkan pada

infeksi sedang , cacing dewasa betina ditemukan bersarang di mokosa

duodenum, menyebabkan perasaan terbakar, seperti ditusuk-tusuk di

daerah epigastrium, disertai rasa mual, muntah, diare yang bergantian

dengan konstipasi. Akhirnya pada infeksi berat dan kronis, mengakibatkan

berkurangnya berat badan, anemi, disentri menahun, serta demam ringan

yang diakibatkan infeksi bakteri sekunder ke dalam lesi usus. infeksi berat

yang disertai infeksi sekunder dapat menyebabkan kematian, disebabkan

cacaing betina bersarang hampir di seluruh epitel usus, meliputi lambung

sampai colon bagian distal (Djaenudin dan Ridad, 2009).

f. Pencegahan dan penanganan

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi akibat cacing ini

diantaranya adalah : menghindari kontak dengan tanah, tinja atau

genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan

pencegahannya dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi

cacing tambang pada umumnya seperti memakai alat-alat yang

menyehatkan untuk pembuangan kotoran manusia dan memakai sepatu

atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya pencegahan juga dapat

dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat

29

Page 30: BAB I

mengenai cara penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban sehat

(Shintawati, - )

Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif

terinfeksi, orang itu harus segera diobati. Pengobatan dilakukan dengan

menggunakan obat mebendazol, pirantel pamoat dan levamisol walaupun

hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang banyak dipakai adalah

tiabendazol.

30

Page 31: BAB I

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Nematoda usus merupakan cacing yang kosmopolit yang juga merupakan

jenis cacing parasit yang dapat mengganggu kesehatan hospesnya. Hospes dari

cacing ini umumnya manusia, tapi ada juga yang menyerang hewan seperti

anjing dan kucing. Spesies cacing yang termasuk Nematoda usus diantaranya

Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis (Cacing Kremi), Ancylostoma

duodenale dan Necator americanus, Ancylostoma branziliense dan

Ancylostoma caninum, Trichinella spiralis, Toxocara canis dan Toxocara

cati, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis

Cacing parasit ini masih banyak terdapat di Indonesia. Hal ini disebabkan

Indonesia memiliki iklim tropis yang cendelung merupakan kondisi dimana

cacing ini dapat bertahan hidup, selain itu di Indonesia juga masih terdapat

masyarakat yang memiliki sanitasi pembuangan tinja yang kurang baik,

pendidikan yang rendah, sarana jamban sehat yang minim, serta kesadaran

masyarakat untuk menerapkan PHBS yang rendah.

B. Saran

Agar tidak terinfeksi parasit nematoda usus ini dapat di cegah dengan

menerapkan PHBS, terutama menggunakan jamban sehat. Selain menjaga

kesehatan perorangan, menjaga sanitasi lingkungan dan juga hewan (ternak)

juga sangat penting untuk menghindari infeksi cacing ini.

31

Page 32: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Trichuris trichiura.

http://pintarsains.blogspot.com/2011/09/klasifikasi-trichuris-trichiura-

cacing.html diakses pada 8 Maret 2013

Entjang, Indan. 2011. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti

Muslim, 2009, parasitologi untuk keperawatan, Jakarta: EGC

Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi kedokteran. Jakarta: EGC

Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2000. Parasitologi Medik 1. Jakarta: EGC

Shintawati, Rita. -. Nematoda Usus http://file.upi.edu/ diakses pada 8 Maret 2013

Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Parasitologi Kedokteran.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

32