bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit karena cacing (helminthiasis) banyak tersebar di seluruh
dunia terutama di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan
tingkat sosio-ekonomi masyarakat.
Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrata tertentu
sebagai host, misalnya ikan, siput, crustacea atau serangga, dalam siklus
atau lingkaran dalam hidupnya. Di daerah tropis host-host ini juga banyak
berhubungan dengan manusia, karena tidak adanya pengendalian dari
masyarakat setempat. Dalam hal ini, salah satu cacing yang bersifat parasit
pada manusia adalah golongan cacing bulat (Nemathelmintes) (dr. Indan
Entjang, 2003).
Pada phylum Nemathelmintes, cacing dewasa merupakan
kelompok cacing dengan bentuk bulat memanjang seperti benang. Tanda-
tanda lainnya yaitu kulit luar tidak bersegmen, kutipula licin, kadang-
kadang bergaris, memiliki rongga badan serta jenis kelamin terpisah. Dari
phylum ini yang bersifat parasit bagi hewan dan manusia termasuk dalam
kelas Nematoda (Djaenudin, 2009).
Nematoda (cacing bulat) mempunyai bentuk panjang dan tidak
bersegmen. Mempunyai jenis kelamin jantan dan betina. Cacing jantan
lebih kecil daripada cacing betina dan melengkung ke arah ventral.
Ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter (misalnya Trychinella
spiralis) sampai 35 cm (misalnya Ascaris lumbricoides) bahkan ada yang
mendekati 1 meter (misalnya Dracunculus medinensis). Bentuk telurnya
bermacam-macam tergantung jenis cacingnya (dr. Indan Entjang, 2003).
B. Tujuan
a. Mengetahui tentang klasifikasi pada Nematoda parasit usus.
1
b. Mengetahui tentang epidemiologi, distribusi geografik dan kondisi
penyakit terkini pada Nematoda parasit usus.
c. Mengetahui tentang morfologi pada Nematoda parasit usus.
d. Mengetahui tentang siklus hidup pada Nematoda parasit usus.
e. Mengetahui patologi pada pada Nematoda parasit usus.
f. Mengetahui pencegahan dan pengendalian pada pada Nematoda parasit
usus.
2
BAB II
ISI
Cacing merupakan salah satu parasit yang sering menyerang usus masusia,
salah satunya adalah dari kelas Nematoda, karena yang diserangnya adalah usus
maka cacing ini biasa juga di sebut Nematoda Usus. spesies cacing yang terbasuk
ini diantaranya adalah Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis (Cacing
Kremi), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus, Ancylostoma
branziliense dan Ancylostoma caninum, Trichinella spiralis, Toxocara canis dan
Toxocara cati, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis
1. Ascaris lumbricoides
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Sub Phylum : Ascaridoidea
Kelas : Nematoda
Sub Kelas : Secernantea
Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
b. Epidemiologi
Telur A.lumbricoides berkembangbiak pada tanah liat yang
mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30 oC pada kondisi ini,
telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-
3 minggu (Entjang, 2011).
Parasit ini ditemukan kosmopolitik. Survei yang dilakukan dibeberapa
tempat di indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih
cukup tinggi, sekitar 60-90%.
3
c. Morfologi
Cacing betina panjangnya 20 – 35 cm, sedangkan cacing jantan 15-30
cm. Cacing dewasanya hidup di usus halus. Pada cacing jantan ujung
posteriornya melengkung ke arah ventral, dan dua buah spekulen
berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya
membulat dan lurus, dan ½ pada anterior tubuhnya terdapat cincin
kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan.
Telur mempunyai empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak
dibuahi (afertillized), matang,dan dekortikasi. Telur yang dibuahi besarnya
60x45 mikron, dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri
dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Telur yang
tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang dari pada tipe yang
dibuahi, besarnya 90x40 mikron,dan dinding luarnya lebih tipis. Telur
matang berisi larva (embrio). Telur yang dekortikasi tidak dibuahi tetapi
lapisan luarnya (albuminoid) sudah hilang (Entjang, 2011).
d. Patologi
Pada infeksi ringan, terjadi kerusakan kecil karena penetrasi melalui
dinding mukosa usus oleh larva yang baru menetas (L2). Terjadi respon
peradangan (inflamatory respons) pada saat larva bermigrasi yaitu pada
organ limpa, hati, kelenjar limfe dan otak. Hal tersebut juga terjadi pada
saat larva bergerak dari kapiler paru ke sistem respirasi sehingga
menyebabkan perdarahan kecil (foci haemoragik).
Sedangkan pada infeksi berat, terjadi bila sejumlah besar larva
penetrasi melalui dinding usus sehingga menimbulkan perdarahan pada
dinding usus dan pada waktu bermigrasi ke paru akan menimbulkan
pneumonia pada area yang luas sehingga dapat menyebabkan kematian
(Ascaris pneumonitis). Bilamana sejumlah cacing dewasa ada dalam usus,
dapat menimbulkan gejala sakit perut, asthma, insomnia dan sakit pada
mata. Disamping itu akan menimbulkan respon alergi bilamana cacing
mengeluarkan bahan ekskresi maupun sekresi. Sejumlah cacing dewasa
4
dalam usus akan menyumbat saluran usus yang mengakibatkan cacing
dewasa menembus dinding usus atau apendiks usus. Hal tersebut
menyebabkan peritonitis yang mengakibatkan kematian pada penderita.
Bila cacing masuk ke dalam apendiks dapat menimbulkan perdarahan
local (Entjang, 2011).
e. Siklus Hidup
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
Cacing dewasa hidup dalam usus halus (usus kecil), memakan sari
makan dalam usus (diduga menembus mukosa usus untuk menghisap
darah). Kopulasi (kawin) terjadi dalam usus. Cacing betina dapat
memproduksi telur sampai 27 juta butir/ekor, dengan ukuran telur 60-70
m X 40-50 m. Kulit telur transparan dengan diselaputi lendir albumin
yang berwarna kecoklatan.
Telur yang dibuahi membentuk zigot dan keluar bersama feses. Zigot
berkembang pada suhu optimun (15,5-30oC), mati pada suhu 38oC. Pada
kondisi alamiah telur berkembang dalam tanah aerobic dan membentuk
larva didalam telur selama 10-14 hari (pada fase ini bila tertelan tidak
menyebabkan infeksi). Tetapi bila bentul L1 berkembang dan membentuk
L2dalam telur, maka telur tersebut menjadi telur infektif.
Bilamana telur infektif tertelan maka L2 menetas dan secara aktif
menembus dinding mukosa usus dan terbawa kehati melalui saluran limfe
usus atau venula usus. Dari hati larva terbawa ke bilik kanan jantung dan
5
kemudian ke paru-paru melalui arteri paru-paru. Larva biasanya tinggal
dalam paru selama beberapa hari dan tumbuh bergerak melewati kapiler
masuk ke dalam alveoli. Kemudian bergerak ke bronchioli, bronchi,
trachea menuju glottis. Penderita terbatuk dan larva tertelan dan masuk ke
dalam saluran pencernaan menuju usus halus kemudian menjadi dewasa.
Selama proses migrasi tersebut larva tumbuh dari ukuran 200 m
sampai 300 m. Ecdysis terjadi dalam usus halus dalamselang waktu 25-
29 hari setelah larva tertelan. Hanya larva yang mencapai moulting yang
ke 4 yang dapat hidup menjadi dewasa (Onggowaluyo, 2000).
f. Pencegahan & Pengendalian
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Hendaknya pembuangan tinja (feses) pada W.C. yang baik.
2. Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan.
3. Penerangan atau penyuluhan melalui sekolah, organisasi
kemasyarakatan oleh guru-guru dan pekerja-pekerja kesehatan.
4. Hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali sudah
dicampur dengan zat kimia tertentu.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan memutus
siklus hidup Ascaris lumbricoides. Pemakaian jamban keluarga dapat
memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kurang disadarinya
pemakaian jamban keluarga oleh masyarakat dapat menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, di bawah pohon
dan di tempat-tempat pembuangan sampah. Upaya pengendalian juga
dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti yang diberikan
secara perorangan maupun massal. Obat lama yang pernah digunakan
adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkimol, dan hetrazam (Entjang,
2011).
2. Enterobius vermicularis (Cacing Kremi)
6
Hospes definitif Enterobius vermicularis hanya pada manusia. Enterobius
vermicularis dewasa hidup di sekum dan dekat apendiks. Nama penyakitnya
Enterobiasis/oksiuriasis.
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Sub kelas : Spiruria
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuridae
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
b. Epidemiologi
Penyebaran Enterobius vermicularis lebih luas daripada cacing lain.
Penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup pada satu
lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing ini dapat
diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi
sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan
beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing
dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus
(toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitan
menunjukkan angka prevalensi pada golongan manusia 3%-80%.
Penelitian di daerah jakarta timur melaporkan bahwa kelompok usia
terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok uisa 5-9 tahun
yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Parasit ini cosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin
daripada didaerah panas. Hal itu mungkin disebabkan pada umumnya
orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam.
Penyebaran cacing ini juga di tunjang oleh eratnya hubungan manusia satu
dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai.
7
c. Morfologi
Enterobius vermicularis betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada
ujung anteriorada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae.
Bulbus esogfagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing
yang grafid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5mm,
juga memiliki sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti
tanda tanya (?).
d. Siklus hidup
8
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan usus
halus. Makanannya adalah isi usus. Cacing betina yang gravid
mengandung 11.000 – 15000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal
untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur jarang
dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur akan
menjadi matang dalam waktu 6jam setelah dikeluarkan. Telur resistan
terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat
hidup sampai 13 hari.
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing
jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur. Waktu
yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,
barlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya
berlangsung 1 bulan karena telur cacing dapat ditemukan kembali pada
anus paling cepat 5 minggu setelah pengobatan.
Infeksi pada cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila
tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir.
e. Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang
berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabakan iritasi disekitar anus,
perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah
9
anus dan vagina sehingga mengakibatkan pruritus lokal. Karena cacing
bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita
menggaruk disekitar anus sehingga timbul luka garuk disekitar anus.
Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari sehingga penderita
terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang – kadang cacing dewasa
muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung,
esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut.
Cacing betina gravid menggembara dan dapat bersarang di Vagina dan di
Tuba Fallopii sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Cacing
sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu
makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah gigi
menggeretak, insomnia dan mastrbasi, tetapi kadang sulit untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.
f. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan terjadinya penyakit cacing kremi dapat dilakukan dengan
menjaga diri dan selalu berperilaku hidup bersih. Sangat penting untuk
menjaga kebersihan pribadi, dengan menitikberatkan kepada mencuci
tangan setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan. Pakaian
dalam dan seprei penderita sebaiknya dicuci sesering mungkin dan
dijemur di bawah sinar matahari secara langsung.
Sedangkan untuk mengendalikan tersebar luasnya infeksi cacing kremi ini
dapat dilakukan langkah-langkah umum meliputi;
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
4. Mencuci jamban setiap hari
5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari
tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya
6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut.
10
3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
a. Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secementea
Ordo : Strongilodae
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Necator/Ancylostoma
Spesies : Necator amirecanus
Ancylostoma duodenale
b. Epidemiologi
Infeksi ini menyebar secara kosmopolit, terutama di area tropis dan
subtropis. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitatnya (larva
rabditiform dan filariform), yaitu daerah dengan suhu dan kelembapan
tinggi (perkebunan dan pertambangan). Insidennya cukup tinggi di
Indonesia dan banyak ditemukan di pedesaan (pekerja perkebunan dan
pertambangan yang kontak langsung dengan tanah). Habitat yang cocok
untuk pertumbuhan larva ialah kondisi tanah yang gembur (humus dan
pasir). Suhu optimum untuk perkembangan larva N.americanus berkisar
28-32C, sedangkan untuk A.duodenale berkisar 23-25C(Muslim, 2009).
Penyebaran cacing ini di seluruh daerah katulistiwa dan di tempat lain
dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan
perkebunan. Prevalensi di indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan
sekitar 40%.
c. Morfologi
Telur Necator Americanus dan Ancylostoma duodenale sulit
dibedakan, keduanya memiliki morfologi ujung membulat tumpul, selapis
kulit hialin tipis transparan. Kedua spesies berbeda dalam hal ukuran.
Ukuran A.duodenale betina antara 10-30mm diameter 0,60mm dan
11
ukuran jantan antara 8-11mm dengan diameter 0,45mm. Ukuran
N.americanus betina yaitu antara 9-11mm dengan diameter 0,35mm dan
ukuran jantan antara 5-9mm dengan diameter 0,30mm.
Bentuk dari N.americanus seperti huruf S, memiliki gigi 3 pasang
dengan ujung ekor jantan yang bursa kapularitek dan ujung ekor
betinanya lancip. Bentuk A.duodenale seperti huruf C, memiliki gigi 2
pasang, ujung ekor jantannya bursa kapularitek dan ujung ekor betinanya
lancip (Muslim, 2009).
d. Siklus hidup
Cacing betina hidup di usus manusia menghasilkan telur, dan keluar
bersama feces menjadi larva rabditiform, selama 1-2 hari berganti kulit
menjadi larva filariform yang siap menginfeksi dan masuk menembus
pori-pori kulit. Selanjutnya mengikuti aliran darah menuju jantung, paru-
paru, trakea, kerongkongan, dan masuk ke lambung. Perkembangan
menjadi dewasa di usus halus(Muslim, 2009).
12
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
e. Patologi
Infeksi cacing tambang pada hakikatnya adalah infeksi menahun
sehingga sering tidak menunjukkkan gejala akut. Kerusakan jaringan dan
gejala penyakit dapat disebabkan baik oleh larva maupun oleh cacing
dewasa. Larva menembus kulit membentuk maculopapula dan critem,
sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch.
Waktu larva berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada
orang yang sensitif dapat menimbulkan bronchitis bahkan pneumonitis.
Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan
perasaan tidak enak di perut, mual, diare. Seekor cacing dewasa mengisap
darah 0,2-0,3ml sehari sehingga dapat menimbulkan anemi yang
13
progresif, hipokromi, mikrositer, tipe defisiensi besi. Infeksi Ancylostoma
duodenale lebih berat dari N.americanus (Djaenudin,2009).
f. Pencegahan dan Pengendalian
Untuk menghindari infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan
menggunakan alas kaki (sepatu/sendal) dan pencegahan penularan infeksi
cacng tambang dilakukan dengan menghindari defekasi di sembarang
tempat. Untuk pengendalian infeksi akibat cacing tambang dapat
dilakukan dengan mengadakan sosialisasi mengenai pola hidup bersih dan
sehat.
4. Ancylostoma branziliense dan Ancylostoma caninum
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secementea
Ordo : Strongilodae
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma branziliense
Ancylostoma caninum
b. Epidemiologi
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif A.braziliense dan
A.caninum. Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik,
juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa
pada sejumlah kucing ditemukan 72% A.braziliense, sedangkan pada
sejumlah anjing terdapat 18% A.braziliense dan 68% A.caninum (Muslim,
2009).
14
Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan sub tropik; juga di
temukan di indonesia. Permeriksaan di jakarta menunjukkan bahwa pada
sejumlah kucing ditemukan 72% a. Branziliense, sedangkan pada sejumlah
anjing terdapat 18% A.branziliense dan 68% A.caninum.
c. Morfologi
A.braziliense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya.
Cacing jantan panjangnya antara 4,7-6,3 mm, yang betina 6,1-8,4 mm.
A.caninum mempunyai tiga pasang gigi: cacing jantan panjangnya kira-
kira 10 mm dan cacing betina kira-kira 14 mm (Muslim, 2009).
d. Siklus Hidup
Telur keluar bersama feses dan beberapa ada yang sudah menjadi
larva yang keluar melalui air susu dari hospes. Telur dalam tanah dengan
suhu dan kelembaban yang sesuai akan berkembang menjadi larva. Larva
yang terinjak atau menempel pada kulit hospes akan menginfeksi hospes.
Larva berkembang menjadi cacing dewasa dalam otot dan kemudian
menetap di usus sebagai parasit yang menghisap darah dan melakukan
reproduksi (Muslim, 2009).
e. Patologi
15
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan
kulit yang disebut creeping eruption, creeping disease atau cutaneous
larva migrans. Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan
gambaran khas berupa kelaianan intrakutan serpiginosa, yang antara lain
disebabkan Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Pada
tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel keras, merah dan
gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang
tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah
panjang menurut gerakan larva didalam kulit. Sepanjang garis yang
berkelok-kelok terdapat vesikel-vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi
sekunder karena kulit di garuk (Djaenudin,2009).
f. Pencegahan dan Pengendalian
Penularan bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah
yang tercemar oleh tinja anjing dan kucing. Pengendalian dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan lingkungan serta menjaga kebersihan tubuh
(Djaenudin, 2009).
5. Trichinella spiralis
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
16
b. Epidemiologi
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan
Australia. Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva
dan kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak
ditemukan di negara yang penduduknya gemar memakan daging babi. Di
daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Infeksi pada
manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari
babi.
Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi
di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang
mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah
dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi
yang mengandung larva infektif.
Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di
penjagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Frekuensi
trikonosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi
yang diberi makanan dari sisa penjagalan. Infeksi T. spiralis pada manusia
tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa
penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah. Pengolahan
daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Home made
sausage dapat lebih berbahaya. Hendaknya dilakukan pula pendidikan
pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva
mati pada suhu kira-kira 60o C atau pada suhu jauh dibawah titik beku.
Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap.
(Entjang, 2011)
Cacing ini kosmopili, tetapi di negeri beragama islam parasit ini jarang
ditemukan pada manusia. Di eropa dan amerika serikat parasit ini banyak
di temukan karena penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging babi
yang dimasak kurang matang.
17
c. Patologi
Kelainan patologis pada trikinosis mulai terjadi akibat adanya
invasicacingdewasa yang berasal dari perkembangan larva kedalam
mukosa usus. Gejala dan keluhan penderita terjadi dua hari sesudah
tertelan nyakista larva yang infektif.
Penyakit trikinosisiniterbagi dalam 3 stadium klinis sesuai dengan
periode dalam siklus hidupnya yaitu :
Invasi usus oleh cacing dewasa
Timbul gejala intestinal dini 1-2 hari setelah memakan daging babi
yang kurang matang, berupa tidak enak perut serta diare.
Migrasi larva
Timbul 7-28 hari setelah memakan daging babi yang kurang
matang. Gejala yang timbul berupa oedema terutama sekitar mata,
myalgia (nyeri otot), sakit sendi, cefalgia (nyeri kepala), demam yg
menetap selama perjalanan penyakit menyerupai demam pada typhus
abdominalis.Pada perode ini mungkin disertai gejala gangguan paru-
paru berupa pneumonia atau gangguan cerebral atau kardiak. Pada
infeksi berat kematian terjadi pada minggu ke 2-3, tetapi pada kasus
biasa, kematian pada minggu ke 4-8. Kematian terjadi karena serangan
pada alat vital. Sebelum gejala pada periode (2) ini timbul, didahului
oleh eosinofil yg mulai timbul pada minggu ke 2, sampai mencapai
puncaknya minggu ke 3-4, kemudian turun untuk mencapai normal
kembali pada bulan ke enam.
Proses pembentukan kista dan penyembuhan.
Dimulai pada bulan ke 3 sejak larva tertelan hospes. Pada periode
ini timbul kelemahan umum (malaise). Kadang-kadang orang yang
sembuh dari penyakit ini, dalam beberapa tahun masih merasakan
gejala-gejala sisa berupa sakit sendi, kelemahan, kaku, kehilangan
kelincahan (Entjang, 2011).
d. Siklus Hidup
18
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
Awal infeksi pada manusia terjadi dengan memakan daging karnivora
dan omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna. Daging
tersebut mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah
mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi
ekskistasi (larva keluar). Larva masuk kedalam mukosa usus kemudian
masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh
tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang,
leher, bisep dan lain lain.
Kurang lebih awal minggu ke 4 larva yang telah tumbuh hanya
menjadi kista dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva
dalam kista dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat
hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran
dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang
mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan.
Di usus halus bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam
waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk ke mukosa
kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari (Onggowaluyo, 2000).
19
e. Pencegahan & Pengendalian
Selalu melakukan pemeriksaan daging babi yang dijual, serta
memasak daging babi dengan sempurna sebelum dimakan dapat
mengurangi penyebaran trikinosis. Pembekuan daging babi dan daging
lainnya hingga -35°C dapat membunuh kista cacing. Selain itu
mengupayakan agar babi yg diternakkan selalu diberimakanan yg dipanasi
lebih dahulu, dan menjauhkan tikus dari lingkungan peternakan
babi. Pencegahan dapat juga dilakukan dengan memusnahkan sisa
potongan-potongan daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,
tidak memberi makan babi dengan daging sisa penjagalan, memasak
daging babi dengan matang sempurna serta menghindari pengolahan
daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk
menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot (Entjang, 2011).
6. Toxocara canis dan Toxocara cati
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis
Klasifikasi Toxocara cati
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
20
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
b. Epidemiologi
Toxocara canis dan Toxocara cati tersebar secara kosmopolit dan
ditemukan juga di Indonesia. Di Jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan
pada kucing 26,0%. Prevalensi toxocariasis pada anjing dan kucing pernah
dilaporkan di Jakarta masing-masing mencapai 38,3 % dan 26,0 %.
c. Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan
yang betina 5,7-10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8
cm, sedangkan yang betina berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya
menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat
sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangakan pada Toxocara
cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular
kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya
berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform),
yang betina ekornya bulat meruncing.
d. Siklus Hidup
21
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
Gambar siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan
berkembang menjadi telur infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif
dapat tertular baik dengan menelan telur infektif atau dengan memakan
hospes paratenik yang tinggal di tanah seperti cacing tanah dan semut.
Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara
transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu dari
induk kucing yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes paratenik)
kemudian larva menembus usus dan ikut dalam peredaran darah menuju
organ tubuh (hati, jantung, paru, otak, dan mata). Di dalam orang larva
tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.
e. Patologi
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara
di alat-alat dalam. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa
perdarahan, nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil.
Larva dapat terbungkus dalam granuloma kemudian dihancurkan atau
tetap hidup selama bertahun-tahun. Kematian larva menstimulasi respon
imun immediate-type hipersisentivity yang menimbulkan penyakit visceral
larva migrans (VLM), dengan gejala demam, perbesaran hati, dan limfa,
gejala saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme. Kelainan pada otak
menyebabkan kejang, gejala neuro psikitrik/ensefalopati. Berat ringannya
gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah larva dan umur penderita. Umumnya
penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun karena mereka banyak
bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah (geofagia atau pica) yang
terkontaminasi tinja anjing atau kucing.
f. Pencegahan dan Pengendalian
22
Pencegahan dan pengendalian infeksi dilakukan dengan mencegah
pembuangan tinja anjing atau kucing peliharaan secara sembarangan
terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun sayuran. Pada manusia,
pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang
mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi
seperti, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging
yang kurang matang dan membersihkan secara seksama sayur lalapan.
7. Trichuris trichiura
a. Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Famili :Trichinelloidea
Genus :Trichuris
Species :Trichuris trichiura
b. Epidemiologi
Manusia adalah hospes utama Trichuris trichiura, akan tetapi
cacing tersebutjuga pernah dilaporkan di dalam kera dan babi. Frekuensi
infeksi dengan cacing cambuk adalah tinggi, tetapi biasanya ringan.
Frekuensi yang ditemukan di daerah-daerah dengan hujan lebat, iklim
subtropik, dan tanah dengan kontaminasi banyak tinja (Brown, 1979).
Kerusakan mekanikdi mukosa usus oleh cacing dewasa dan respons alergi
disebabkan oleh jumlah cacing yang banyak, lama infeksi, usia, dan status
umum hospes. Infeksi berat dan menahun terutama terjadi pada anak-anak
(Muslim, 2009).
Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan didaerah panas dan
lembab seperti di indonesia.
23
c. Morfologi
Bagian anterior seperti cambuk dan meruncing, tigaperlima daripada
seluruhnya dilalui oleh oesophagus yang sempit sempit yang
menyerupai rantai merjan
Bagian posterior yang lebih tebal, duaperlima dari seluruhnya berisi
usus dan seperangkat alat reproduksi
Panjang cacing jantan 30-45 mm dan yang betina 35-50 mm
Bagian posterior betina membulat tumpul dan bagian posterior cacing
jantan melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil
Telur , dengan ukuran 50-54 x 23µ berbentuk seperti tempayan
(gentong) dengan semacam tutup yang jernih dan menonjol pada
kedua kutub.
(Brown, 1979)
d. Siklus hidup
Telur yang keluar bersama tinja, dalam keadaan belum matang (belum
membelah), tidak infektif.telur demikian ini perlu pematangan pada tanah
selama 3-5 minggu sampai berbentuk telur infektifyang berisi embrio
didalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur yang infektif tertelan.
Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva,
menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus
besar dan menetap dalam beberapa tahun. Waktu yang diperlukan waktu
yang dibutuhkan sejak telur yang infektif tertelan sampai cacing betina
menghasilkan telur adalah 30-90 hari (Djaenudin dan Ridad, 2009).
24
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
e. Patologi
Infeksi oleh cacing ini disebut Trichiuriasis, trichosephaliasis, atau infeksi
cacing cambuk. Cacaing ini paling sering menyerang anak usia 1-5 tahun.
Infeksi ringan biasanya tanpa gejala, ditemukan secara kebetulan saat
pemeriksaan tinja rutin. Infeksi oleh Trichuris trichiura kadang-kadang
terjadi bersama infeksi parasit usus lain. Parasit lain yang menyertainya
adalah Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Entamoeba histolystica
(Djaenudin dan Ridad, 2009).
Trichiuris terutama hidup di coecum manusia, akan tetapi dapat
ditemukan juga di dalam appendix dan ileum bagian distal. Pada orang
dengan infeksi berat, cacing ini tersebar diseluruh colon dan rektum, dan
kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
yang merupakan akibat mengejan pada waktu defekasi yang sering.
Meskipun Trichiuris tersebar luas dan frekuensinya tinggi di banyak
daerah, infeksi itu biasanya ringan (Brown, 1979).
25
f. Pecegahan dan pengendalian
1. Pencegahan
a) Individu
Mencuci tangan sebelum & sesudah makan;
Mencuci sayuran yang dimakan mentah;
Memasak sayuran di air mendidih;
b) Lingkungan
Menggunakan jamban ketika buang air besar;
Tidak menyiram jalanan dengan air got;
Tidak jajan di sembarang tempat, pastikan bahwa penjual makanan
memperhatikan aspek kebersihan dalam mengolah makanan
2. Penanganan atau Pengobatan
a) Mebendazol
Bentuk sediaan :
tablet, sirup 100 mg/ 5ml (botol 30 ml)
Cara kerja obat :
memiliki khasiat sebagai obat kecacingan yang mempunyai
jangkauan luas terhadap cacing-cacing parasit.
Aturan pemakaian
100 mg, 2 kali sehari selama3 hari
Efek yang tidak diinginkan : kadang-kadang terjadi nyeri perut,
diare, sakit kepala, demam, gatal-gatal, ruam kulit
Tidak boleh digunakan pada anak-anak balita dan wanita
hamil.
b) Albendazol; dosis tunggal 400 mg
c) Oksantel pirantel pamoat; dosis tunggal 10-15 mg/kgBB
26
8. Strongyloides stercoralis
a. Klasifikasi
Phylum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Family : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
b. Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat
menguntungkan cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang
tidak langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah
gembur, berpasir dan humus. Nematoda ini terutama terdapat di daerah
tropik dan subtropik sedangkan d daerah yang beriklim dingin jarang
ditemukan.
c. Morfologi
Cacing betina kecil, langsing seperti benang dan ukurannya kira-kira 2mm,
dengan kedua ujungnya runcing. Cacing jantan lebih besar. Saluran
pencernaan terdiri dari kapsul bukal kecil, esofagus panjang memanjang
melalui pertigaan anterior tubuh, dan usus yang tipis. Larva rabditiform
berukuran 225x16 mikron, sedangkan larva filariform ramping dan
berukuran 630x16 mikron. Telur berbentuk lonjong, dinding tipis dan
berukuran 50-58x30-34 mikron (Muslim, 2009)
d. Daur hidup
27
Sumber: http://www.dpd.odc.gov
Ditemukan tiga macam siklus hidup, yaitu (1) siklus langsung; (2) siklus
tidak langsung (siklus bebas); dan (3) hiperinfeksi dan auto infeksi. Pada
siklus langsung sama seperti sikus hidup cacing tambang, sesudah 2-3 hari
larva yang berada dalam tanah, berubah menjadi larva filariform yang
infektif. Jika menyentuh kulit manusia, menembus kulit tersebut, masuk ke
kapiler dara dan terbawa aliran darah. Perjalanan yang selanjutnya sama
dengan perjalanan cacing tambang, yang akhirnya tertelan sampai ke usus
halus.waktu yang dibutuhkan larva filariform menembus kulit hospes
sampai didapatkan larva rabditiform dalam tinja + 2-3 minggu.
Pada sikus tidah langsung/ siklus bebas, larfa rhabditiform yang keluar
bersama tinja, ditanah berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina.
Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina bertelur, diikuti menetasnya
telur tersebut dengan mengeluarkan larva rabditiform, selanjutnya akan
terjadi perkembangan dibawah ini. Sebagian akan mengulang siklus bebas
cacing jantan dan betina diatas. Sebagian lagi, larva rhabditiform berubah
menjadi larva filariform. Larva ini menembus kulit hospes, masuk
kedalam siklus langsung seperti uraian sebelumnya.
Hiperinfeksi dan autoinfeksi. Larva rhabditiform yang berada dalam lumen
usus, menuju anus, berubah menjadi larva filariform yang dapat masuk
kembali ke dalam tubuh hospes setelah menembus mukosa kolon.
28
Hiperinfeksi atau auto infeksi internal terjadi jika larva filariform
menembus mukosa colon sebelum sampai di anus, sedangkan auto infeksi
atau autoifeksi eksternal terjadi jika larva filariform melewati anus dan
menembus kulit perianal. Baik hiperinfeksi maupun auto infeksi, keduanya
akan sampai pada kapiler darah, kemudian masuk siklus langsung sehinga
infeksi cacing ini dapat berlangsung terus menerus seumur hidupnya
hospes (Djaenudin dan Ridad, 2009).
e. Patologi
Penyakit akibat cacing ini dikenal dengan strongyloidiasis,
strongyloidosis, diare chocin Cina. Pada gejala infeksi ringan biasanya
tidak ditemukan gejala sehingga tidak diketahui hospes, sedangkan pada
infeksi sedang , cacing dewasa betina ditemukan bersarang di mokosa
duodenum, menyebabkan perasaan terbakar, seperti ditusuk-tusuk di
daerah epigastrium, disertai rasa mual, muntah, diare yang bergantian
dengan konstipasi. Akhirnya pada infeksi berat dan kronis, mengakibatkan
berkurangnya berat badan, anemi, disentri menahun, serta demam ringan
yang diakibatkan infeksi bakteri sekunder ke dalam lesi usus. infeksi berat
yang disertai infeksi sekunder dapat menyebabkan kematian, disebabkan
cacaing betina bersarang hampir di seluruh epitel usus, meliputi lambung
sampai colon bagian distal (Djaenudin dan Ridad, 2009).
f. Pencegahan dan penanganan
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi akibat cacing ini
diantaranya adalah : menghindari kontak dengan tanah, tinja atau
genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan
pencegahannya dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi
cacing tambang pada umumnya seperti memakai alat-alat yang
menyehatkan untuk pembuangan kotoran manusia dan memakai sepatu
atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya pencegahan juga dapat
dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat
29
mengenai cara penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban sehat
(Shintawati, - )
Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif
terinfeksi, orang itu harus segera diobati. Pengobatan dilakukan dengan
menggunakan obat mebendazol, pirantel pamoat dan levamisol walaupun
hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang banyak dipakai adalah
tiabendazol.
30
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Nematoda usus merupakan cacing yang kosmopolit yang juga merupakan
jenis cacing parasit yang dapat mengganggu kesehatan hospesnya. Hospes dari
cacing ini umumnya manusia, tapi ada juga yang menyerang hewan seperti
anjing dan kucing. Spesies cacing yang termasuk Nematoda usus diantaranya
Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis (Cacing Kremi), Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus, Ancylostoma branziliense dan
Ancylostoma caninum, Trichinella spiralis, Toxocara canis dan Toxocara
cati, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis
Cacing parasit ini masih banyak terdapat di Indonesia. Hal ini disebabkan
Indonesia memiliki iklim tropis yang cendelung merupakan kondisi dimana
cacing ini dapat bertahan hidup, selain itu di Indonesia juga masih terdapat
masyarakat yang memiliki sanitasi pembuangan tinja yang kurang baik,
pendidikan yang rendah, sarana jamban sehat yang minim, serta kesadaran
masyarakat untuk menerapkan PHBS yang rendah.
B. Saran
Agar tidak terinfeksi parasit nematoda usus ini dapat di cegah dengan
menerapkan PHBS, terutama menggunakan jamban sehat. Selain menjaga
kesehatan perorangan, menjaga sanitasi lingkungan dan juga hewan (ternak)
juga sangat penting untuk menghindari infeksi cacing ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Trichuris trichiura.
http://pintarsains.blogspot.com/2011/09/klasifikasi-trichuris-trichiura-
cacing.html diakses pada 8 Maret 2013
Entjang, Indan. 2011. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti
Muslim, 2009, parasitologi untuk keperawatan, Jakarta: EGC
Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi kedokteran. Jakarta: EGC
Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2000. Parasitologi Medik 1. Jakarta: EGC
Shintawati, Rita. -. Nematoda Usus http://file.upi.edu/ diakses pada 8 Maret 2013
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
32