bab i

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi minyak bumi di Indonesia saat ini cenderung menurun sejalan dengan menurunnya kemampuan produksi sumur-sumur minyak yang umumnya telah beroperasi cukup lama. Kecenderungan makin meningkatnya kebutuhan minyak bumi dunia mendorong dibutuhkannya cara untuk meningkatkan perolehan minyak bumi. Salah satunya adalah dengan surfactant flooding yang merupakan salah satu metode dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR). Surfaktan merupakan bahan aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan permukaan (surface aktive agent) antara dua fasa yang berbeda yaitu minyak dan air sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan deterjen dan untuk proses pengurasan minyak bumi/EOR. Jenis surfaktan anionik yang banyak digunakan saat ini untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah surfaktan yang berbasis petroleum. Kelemahan surfaktan berbasis petroleum adalah menggunakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui, tidak tahan pada kesadahan yang tinggi dan sulit didegradasi. Sumber surfaktan baru dari sumber alami yang dapat diperbaharui, menjanjikan proses ‘oil recovery’ lebih lanjut. Ester Metil Sulfonat (EMS) merupakan salah satu surfaktan yang dapat 1

Upload: ardago

Post on 04-Aug-2015

38 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB  I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produksi minyak bumi di Indonesia saat ini cenderung menurun sejalan

dengan menurunnya kemampuan produksi sumur-sumur minyak yang umumnya

telah beroperasi cukup lama. Kecenderungan makin meningkatnya kebutuhan

minyak bumi dunia mendorong dibutuhkannya cara untuk meningkatkan

perolehan minyak bumi. Salah satunya adalah dengan surfactant flooding yang

merupakan salah satu metode dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR).

Surfaktan merupakan bahan aktif permukaan yang dapat menurunkan

tegangan permukaan (surface aktive agent) antara dua fasa yang berbeda yaitu

minyak dan air sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan deterjen

dan untuk proses pengurasan minyak bumi/EOR. Jenis surfaktan anionik yang

banyak digunakan saat ini untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah surfaktan

yang berbasis petroleum. Kelemahan surfaktan berbasis petroleum adalah

menggunakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui, tidak tahan pada

kesadahan yang tinggi dan sulit didegradasi. Sumber surfaktan baru dari sumber

alami yang dapat diperbaharui, menjanjikan proses ‘oil recovery’ lebih lanjut.

Ester Metil Sulfonat (EMS) merupakan salah satu surfaktan yang dapat digunakan

sebagai surfactant flooding dan dapat diproduksi dari bahan baku yang dapat

diperbarui, seperti minyak-minyak nabati.

Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan EMS menunjukkan beberapa

kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi EMS yang lebih rendah daya

deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas

enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium,

kandungan garam (disalt) lebih rendah dan lebih ramah lingkungan. EMS dibuat

melalui proses sulfonasi yang menggunakan pereaksi kimia yang mengandung

gugus sulfat atau sulfit (Bernardini, 1983; Watkins, 2001; Foster, 1996).

Ester Metil Sulfonat (EMS) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu

surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif

1

Page 2: BAB  I

permukaan (surface-active). Ester Metil Sulfonat (EMS) berfungsi untuk

menurunkan tegangan antarmuka/interfacial tension (IFT) minyak dan air

sehingga dapat bercampur dengan homogen.EMS dibuat melalui proses sulfonasi

ester metil yang terbuat dari minyak sawit mentah (CPO) yang merupakan salah

satu minyak nabati yang banyak terdapat di Indonesia.

Indonesia menduduki posisi sebagai produsen sawit terbesar dunia. Luas

areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 6,6 juta ha,

dengan total produksi CPO mencapai sekitar 17 juta ton. Dari total produksi CPO

nasional tersebut, sekitar 38,2% dikonsumsi untuk kebutuhan domestik dan

sisanya sebesar 61,8% diekspor dalam bentuk CPO. Karena ekspor produk sawit

Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk CPO menyebabkan nilai tambah

yang diperoleh Indonesia dari sawit masih rendah. Maka dari itu, pendirian pabrik

produksi surfaktan EMS sangat dibutuhkan untuk meningkatan nilai tambah

minyak sawit Indonesia dengan pengembangan produk hilirnya.

Tabel 1.1 Kinerja Ekspor CPO Indonesia

Kinerja Ekspor CPO dan Produk Turunannya Asal IndonesiaMenurut Negara Tujuan Ekspor (2004-2009)

TahunIndia China Uni Eropa Negara Lainnya Total

VolumeVolume % Volume % Volume % Volume %

20042,76

31,881,08

12,511,47

16,973,35

38,638,66

20052,56

24,661,35

13,061,89

18,244,57

44,0510,38

20062,48

20,511,76

14,532,01

16,645,85

48,3112,10

20073,31

27,841,44

12,141,83

15,385,30

44,6511,88

20084,79

33,521,77

12,362,58

18,075,15

36,0514,29

20095,50

32,662,65

15,723,14

18,635,55

32,9916,83

Ket: Volume dalam Juta Ton.Sumber: Greenomics Indonesia (Mei 2010), berdasarkan data Kementerian Perdagangan

Pendirian pabrik ini juga didasarkan pada hal-hal berikut :

Meningkatkan hasil penambangan minyak bumi di Indonesia dengan

proses EOR yang membutuhkan bahan surfaktan EMS.

Terciptanya lapangan pekerjaan.

2

Page 3: BAB  I

Meningkatkan pertumbuhan industri-industri baru berbasis surfaktan dari

bahan nabati.

Menurunkan ketergantungan impor.

Peningkatan pendapatan negara dari sektor industri.

Meningkatkan sumber daya manusia melalui proses alih teknologi.

1.2 Prospek dan Pemasaran

Pengembangan surfaktan Ester Metil Sulfonat ini merupakan suatu industri

yang sangat prosfektif, dimana di Indonesia belum ada pabrik penghasil EMS

untuk minyak bumi belum ada. Selain itu, hanya ada 3 industri di dunia yang

memproduksi EMS, seperti Lion di Jepang dengan produksi 40000 ton/tahun,

Stepan di Amerika Serikat yang memproduksi 50000 ton/tahun, dan Huish

Detergents di Amerika Serikat yang mencapai produksi 80000 ton/tahun

(Chemithon.com). Disamping itu, kebutuhan Indonesia akan surfaktan sangat

besar namun masih saja mengimpor kekurangannya. Kebutuhan surfaktan

Indonesia mencapai angka 95.000 ton/tahun dan harus diimpor sekitar 45.000 ton

(Lipi.com, 2010). Dari data tersebut dengan dibangunnya pabrik surfaktan di

Dumai, berarti dapat mengurangi impor surfaktan Indonesia. Produksi surfaktan

ester metil sulfonat ini sangat dibutuhkan untuk Enhanced Oil Recovery (EOR).

1.3 Pemilihan Lokasi

Lokasi pendirian pabrik surfaktan Ester Metil sulfonat (EMS) harus dilihat

berdasarkan kebutuhan dan sumber bahan baku utamanya, yaitu ester metil dari

CPO. Dilihat dari daerah penghasil CPO yang dominan, maka lokasi pendirian

pabrik surfaktan EMS ini direncanakan pada kawasan industri Dumai, Provinsi

Riau dengan pertimbangan-pertimbangan berikut :

1. Bahan Baku

Berdasarkan data Kementerian Perkebunan RI 2010, jumlah area

perkebunan kelapa sawit di Riau sudah mencapai sekitar 2 juta ha,  baik

milik perusahaan besar maupun masyarakat. Dari jumlah tersebut, Riau

mampu menghasilkan 6 juta ton CPO atau 26 persen dari produksi CPO

3

Page 4: BAB  I

nasional (Riau Bisnis.com ,2010). Dumai merupakan salah satu kawasan

Industri yang mampu menghasilkan CPO dengan jumlah yang mencukupi

sebagai bahan baku pabrik surfaktan Ester Metil Sulfonat. Ditambah lagi

peranan dari pemerintah Dumai dalam penyediaan lokasi pengembangan

industri hilir CPO dengan luas kawasan mencapai 5000 hektare

(industri.kontan.co.id , 2009).

2. Pemasaran

Penggunaan Surfaktan EMS sangat diharapkan terutama untuk

proses Enhanced Oil Recovery (EOR). Melihat prospek Dumai yang juga

merupakan Kawasan Penambangan Minyak Mentah sehingga untuk

daerah pemasaran sudah mendapatkan objek pemasaran yang tepat.

Ditinjau lagi di Provinsi Riau terdapat daerah-daerah penambangan

minyak bumi yang terbesar sehingga pendirian pabrik Surfaktan EMS

sangat potensial untuk dikembangkan di daerah ini.

3. Utilitas

Kebutuhan air baik untuk proses maupun untuk rumah tangga

diperoleh dengan mengolah air sungai dan air laut yang berdekatan dengan

lokasi pabrik yang akan didirikan, kebutuhan akan listrik didapat dari

generator sendiri, sedangkan kebutuhan bahan bakar dan minyak pelumas

datar diperoleh dari Pertamina.

4. Transportasi

Kawasan dumai telah memiliki sarana dan prosarana transportasi

yang sangat memadai. Hal ini dapat dilihat dari ditunjuknya Dumai

sebagai salah satu Kawasan Industri di Indonesia. Berikut bentuk sarana

transportasi yang tersedia di Dumai.

a. Darat

Kota Dumai yang berjarak 250 km dari Kota Pekanbaru

didukung oleh transporasi darat yang memadai. Infrastruktur jalan di

daerah ini sudah mencapai ke berbagai daerah dengan total panjang

mencapai 944.624 km. Dimana Dumai terletak di jalur Timur Trans

Sumatera yang memainkan peran sebagai penghubung untuk daerah

4

Page 5: BAB  I

Riau Daratan, termasuk untuk Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera

Barat.

b. Laut

Dumai merupakan daerah pintu gerbang daerah Timur

Sumatera. Selain pelabuhan umum yang dikelola PT Pelabuhan

Indonesia I (Pelindo) Dumai, Dumai juga memiliki pelabuhan khusus

PT Cevron Pasific Indonesia (PT CPI), PT Pertamina, dan Pelabuhan

Khusus PT Kawasan Industri Dumai (PT. KID).

c. Udara

Kota Dumai memiliki Bandar Udara (Bandara) Pinang Kampai,

yang saat ini sedang ditingkatkan dari bandara khusus menjadi bandara

umum. Bandara yang memiliki panjang lintasan 1800 m dan lebar 30

m ini dapat menampung pesawat dari Fokker 28, Fokker 50, dan

Fokker 100.

(www.dumaizone.com , 2009)

5. Sumber Daya Manusia

Kehadiran Universitas Negeri dan Swasta, akademi-akademi serta

sekolah-sekolah kejuruan di Provinsi Riau dan sekitarnya akan menunjang

ketersediaan tenaga kerja ahli dan terdidik untuk ditempatkan secara

proporsional. Hal ini dapat mengurangi tingkat pengangguran.

1.4 Kapasitas Produksi

Pendirian industri penghasil Ester Metil Sulfonat (EMS) belum ada

sebelumnya di Indonesia. Saat ini untuk memenuhi kebutuhan surfaktan dalam

negeri sebagian besar mengandalkan impor dari luar dalam bentuk Linear

Alkylbenzene Sulfonate (LAS). LAS merupakan surfaktan hasil sintesis dari

turunan minyak bumi. Dapat dilihat pada tabel dibawah data impor LAS di

Indonesia semakin meningkat dari tahun 1999-2006.

5

Page 6: BAB  I

Tabel 1.2 Kebutuhan Impor LAS Indonesia

Untuk memenuhi kebutuhan surfaktan di Indonesia, penggantian penggunaan

LAS menjadi surfaktan anionik EMS yang lebih ramah lingkungan dan memiliki

sifat deterjensi tinggi sangat diperlukan.

Berdasarkan rancangan pabrik sejenis tahun 2003 diketahui 30%

kebutuhan Surfaktan di Indonesia sebanyak 16.000 ton per tahun (Dina Yuliana,

2003). Asumsi bahwa peningkatan kebutuhan LAS sama dengan peningkatan

kebutuhan EMS setiap tahunnya. Pendirian pabrik Surfaktan Ester Metil Sulfonat

(EMS) direncanakan pada tahun 2012 dan memenuhi 25 persen dari peluang pasar

yang ada, yaitu dengan kapasitas 41.000 ton per tahun dan produksi tahun pertama

sebanyak 80 persen dari total kapasitas.

6

Page 7: BAB  I

BAB II

DESKRIPSI PROSES

2.1 Teknologi Proses

Dalam pembuatan Ester Metil Sulfonat, ada tiga teknologi proses yang di gunakan

yaitu :

1. Sulfamic Acid Sulfation

Gambar 2.1 mengilustrasikan peralatan yang digunakan untuk Sulfamic

Acid Sulfation. Proses batch dijalankan dalam stainless steel atau gelas

berjajar, kedap udara, reaktor tangki berpengaduk. Reaktor memiliki coils

pemanas dan pendingin dan memiliki ketentuan untuk berat di reaktan

organik dan sulfamic acid.  Sebelum reaksi dimulai, udara dibersihkan dari

reaktor dengan nitrogen kering dan reaksi ini berjalan di bawah blanket of

nitrogen. Berat organik ditimbang ke reaktor dan kelebihan molar 5%

sulfamic acid kemudian ditambahkan.  Reaktor yang digunakan

dibersihkan dan diselimuti dengan nitrogen kering untuk menghilangkan

oksigen. Reaktan dipanaskan sampai 110-160 ° C dan diadakan di suhu ini

selama kurang lebih 90 menit. Produk ini kemudian didinginkan sampai

70 ° C dan air atau alkohol ditambahkan untuk mencairkan produk. Seperti

disebutkan sebelumnya, garam amonium adalah produk reaksi langsung

sehingga tidak ada langkah netralisasi diperlukan.

Gambar 2.1 S (Tano, 2003)

Gambar 2.1 Proses Sulfamic Acid Sulfation (Norman, 1997)

7

Page 8: BAB  I

2. Chlorosulfonic Acid Sulfation

Chlorosulfonic Acid Sulfation dapat digunakan untuk sulfonat dalam baik

batch atau proses kontinu. Untuk proses batch, diilustrasikan pada Gambar

2.2, peralatannya adalah glass lined, pengaduk, reaktor dengan jaket

pemanasan dan pendinginan. Reaktor harus dilengkapi dengan glass lined

penyerap untuk menghilangkan gas HCl yang terbentuk dalam

reaksi. Sebuah vakum biasanya digunakan pada reaction vessel untuk

meningkatkan penghilangan HCl. Gas HCl yang dibebaskan diserap

ke dalam air untuk membuat larutan HCl. Dalam operasi, alkohol alkohol

atau etoksi bahan baku dibebankan ke reaktor dan chlorosulfonic acid

secara bertahap ditambahkan.  Sistem pendingin diperlukan untuk

menghilangkan panas karena reaksi adalah eksotermik. The reaksi massa

harus dijaga pada sekitar 25 ° C untuk menghindari reaksi samping dan

warna tubuh formasi dan untuk meminimalkan berbusa. Tingkat

penambahan chlorosulfonic acid disesuaikan untuk memastikan bahwa

suhu ini tidak terlampaui. netralisasi segera adalah

diperlukan setelah reaksi selesai.

Gambar 2.2 Proses Batch Chlorosulfonic Acid Sulfation (Norman, 1997)

8

Page 9: BAB  I

Chlorosulfation juga bisa berkesinambungan. Gambar 2.2 menunjukkan

tipe aliran untuk proses acid chlorosulfonic sulfation. Dalam hal ini

alkohol dan asam chlorosulfuonic ditambahkan ke dalam zona

pencampuran, digabungkan dan dikirim ke sebuah degasser. Vakum

digunakan pada degasser untuk membantu pemisahan HCl dari reaksi

produk. Asam sulfonat terlepas dikirim melalui penukar panas untuk

menghapus panas reaksi dan daur ulang kembali ke mixer untuk proses

pendinginan. Sebagian dari campuran reaksi dikirim ke degasser kedua

dimana pemisahan HCl selesai. HCl terus diserap ke dalam air dan

campuran asam terus dinetralkan. Beberapa perusahaan menggunakan

teknologi menggunakan Henkel chlorosulfation terus menerus untuk

membuat deterjen aktiv. 

3. Oleum and Sulfuric Acid

Oleum dan asam sulfat dapat digunakan untuk sulfonat aromatik dan

alkohol dalam batch baik atau kontinu peralatan. Untuk alkylates deterjen,

peralatan batch ini sangat mirip dengan proses lainnya. Seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.3, peralatan yang dibutuhkan adalah sebuah

diaduk, disegel, kaca dilapis atau stainless steel ketel dengan ketentuan

untuk pemanasan dan pendinginan.

Gambar 2.3 Proses Continues Alcohol Sulfation with Chlorosulfonic Acid

(Norman, 1997)

9

Page 10: BAB  I

Alkylate deterjen pertama ditambahkan ke reaction vessel kemudian 

oleum ditambahkan secara perlahan selama beberapa jam. Reaksi sangat 

eksotermik dan tingkat penambahan oleum ditentukan oleh kemampuan

untuk menghilangkan panas  reaksi. Suhu harus dijaga dibawah 35 ° C

untuk produk yang optimum kualitas. Sering panas reaksi akan dihapus

oleh memompa campuran reaksi melalui penukar panas eksternal. Karena

itu adalah reaksi kesetimbangan, kecuali untuk  khusus kasus sulfonasi

azeotrop hydrotropes dengan asam sulfat, surplus besar  asam sulfat

terbentuk. Ketika reaksi sulfonasi selesai, asam sulfat dapat  dipisahkan

dari deterjen Alkylate tersulfonasi dengan menambahkan air. Penambahan

air  (Biasanya sekitar 10% dari berat campuran reaksi) menyebabkan

pemisahan fase untuk  terjadi antara asam sulfonat dan asam sulfat. 

Gambar 2.4 Proses bath Oleum of Detergent Alkylate (Norman, 1997)

Pemisahan biasanya  berlangsung dalam gelas, terpisah berjajar kapal dan

terjadi selama jangka waktu sekitar 10 jam. Bahan konstruksi ini penting

karena proses pengenceran membuat  asam sulfat yang dalam suhu yang

sangat korosif dan rentang konsentrasi. Setelah  pemisahan, asam sulfonat

dapat dinetralkan dengan sodium hidroksida berair, biasanya 

netralisasi dalam wadah terpisah. Termasuk netralisasi, waktu batch total

15 sampai 20  jam. Produk ini mengandung sekitar 15% natrium sulfat

10

Page 11: BAB  I

setelah netralisasi jika asam adalah  terpisah, dan sekitar 60% natrium

sulfat jika tidak. 

2.2 Spesifikasi Bahan Baku

1. Sifat Fisik Kimia Produk

Surfaktan Ester metil sulfonat termasuk golongan surfaktan anionik,

yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau

bagian aktif permukaan. Struktur kimianya dapat terlihat pada gambar

berikut,

Gambar 2.4 Struktur Kimia EMS

Menurut Hui (1996), surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan

yang bagian hidrifobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif).

Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan

anionik. Oleh karena itu, Metil Ester Sulfona lebih baik terhadap

keberadaan kalsium dan kandungan garam alkali lebih rendah.

11

Page 12: BAB  I

Tabel 2.1 Komposisi Produk Ester Metil Sulfonat

(www.chemiton.com)

2.3 Uraian Proses

Berikut merupakan blok diagram produksi Ester metil Sulfonat,

Gambar 2.5 Blok Diagram Pabrik EMS

12

Page 13: BAB  I

Ester Metil Sulfonat (EMS) diproduksi melalui proses sulfonasi metil

ester dengan campuran SO3/udara. Reaksi pengontakkan SO3 dan bahan

organik terjadi di dalam suatu falling film reactor. Gas dan organik

mengalir di dalam tube secara co-current dari bagian atas reaktor pada

temperatur 45oC dan keluar reaktor pada temperatur sekitar 30oC. Proses

pendinginan dilakukan dengan air pendingin yang berasal dari cooling

tower. Air pendingin ini mengalir pada bagian shell dari reaktor. Hal ini

bertujuan untuk menjaga kestabilan temperatur reaksi akibat reaksi

eksoterm yang berlangsung di dalam reaktor.

Agar campuran MESA mencapai waktu yang tepat dalam reaksi

sulfonasi yang sempurna, MESA harus dilewatkan kedalam digester yang

memilki temperature konstan (~80oC) selama kurang lebih satu jam. Efek

samping dari MESA digestion adalah penggelapan warna campuran asam

sulfonat secara signifikan. Sementara itu, gas-gas yang meninggalkan

reaktor menuju sistem pembersihan gas buangan (waste gas cleaning

system).

Untuk mengurangi warna sampai sesuai dengan spesifikasi, digested

MESA harus diukur didalam sistem kontinu acid bleaching, dimana

dicampurkan dengan laju alir metanol yang terkontrol dan hidrogen

peroksida sesudahnya. Reaksi bleaching lalu dilanjutkan dengan metanol

reflux dan pengontrolan temperatur yang presisi.

Acid ester yang terbentuk dalam proses sulfonasi bersifat tidak stabil

dan mudah terhidrolisis. Oleh karena itu, pencampuran yang sempurna

antara asam sulfonat dan aliran basa dibutuhkan dalam proses netralisasi

untuk mencegah lokalisasi kenaikan pH dan temperatur yang dapat

mengakibatkan reaksi hidrolisis yang berlebih. Neutralizer beroperasi

secara kontinu, mempertahankan komposisi dan pH dari pasta secara

otomatis.

Selanjutnya, pasta netral MES dilewatkan ke dalam sistem TurboTube

Dryer dimana metanol dan air proses yang berlebih dipisahkan untuk

menghasilkan pasta terkonsentrasi atau produk granula kering MES,

13

Page 14: BAB  I

dimana produk ini tergantung pada berat molekul MES dan target aplikasi

produk. Langkah akhir adalah merumuskan dan menyiapkan produk MES

dalam komposisi akhir, baik itu dalam bentuk cair, batangan semi-padat

atau granula padat, dengan menggunakan teknologi yang tepat.

Uraian reaksi yang terjadi sebagai berikut :

(www.chemiton.com)

+

14

Page 15: BAB  I

BAB III

NERACA MASSA DAN NERACA ENERGI

3.1 Data yang Digunakan

a. Burner

Data : Temperatur proses 1000 0C (Oscar, 2004)

Suhu Feed Sulfur 115 0C (MSDS Sulfur)

Temperatur Udara sebagai umpan (Norman, 2009)

b. Reaktor Falling Film

Data : Perbandingan bahan baku metil ester : SO3 = 1:1,5 (Hovda, 1996)

Suhu proses 40 0C (Hovda, 1996)

Konversi reaksi 75 % (Hovda, 1996)

Gas SO3 dengan konsentrasi 7% (Norman, 2009)

c. Digester

Data : Temperatur operasi 80 0C (Martin, 1998)

d. Bleacher

Data : Temperatur operasi 90 0C (Hovda, 1996)

e. Netralizer

Data : Temperatur operasi 60 0C (Hovda, 1996)

f. CSTR

Data : Temperatur operasi 300 0C

g. Drying

Data : Temperatur operasi 148 0C

15

Page 16: BAB  I

16