bab i

Upload: rian-oktariansyah

Post on 19-Jul-2015

328 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tingkat kematian (mortalitas) merupakan salah satu indikator utama dari derajat kesehatan masyarakat disutu negara. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas disuatu daerah tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan penduduk, tetapi bisa dijadikan sebagai barometer dari tinggi rendahnya tingkat kesehatan di daerah tersebut. Indikator kematian berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun lokal dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat (Budi Utomo, 1985). Salah satu ukuran kematian yang cukup menjadi perhatian adalah Angka kematian ibu (AKI) dan Angka kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan SDKI 2007 Indonesia telah berhasil menurunkan Angka Kematian Ibu dari 390/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992 menjadi 334/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997. Selanjutnya turun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Sedangkan Angka Kematian Bayi di Indonesia berdasarkan data SDKI, AKB 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1992 dan 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1995 serta 34 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007. Di provinsi Sumatra Selatan sendiri Angka Kematian Ibu di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009 adalah 150,93 per 100.000 kelahiran hidup (143 kematian), sedangkan pada tahun 2008 adalah 79,31 per 100.000 kelahiran hidup (124 kematian) (Profil Kesehatan Sumsel, 2010).

Berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 1990, estimasi angka kematian bayi di Sumatera Selatan diperkirakan 71 per 1000 kelahiran, sedangkan berdasarkan SP 2000, angka kematian bayi di Sumatera Selatan turun drastis menjadi 53 per 1000 kelahiran, atau turun 25 persen selama 10 tahun atau rata-rata turun 2,5 persen per tahun. AKB Sumsel lebih tinggi dibandingkan Angka Nasional yaitu 42 per 1000 kelahiran hidup (SUSENAS 2007). Kematian bayi di Sumatera Selatan tahun 2009 adalah 4 per 1000 kelahiran hidup. Persentase kematian bayi tertinggi terjadi di kabupaten Ogan Komering Ilir (1.31%) dan Lahat (0.82%), persentase terendah di kabupaten Muara Enim (0.14%) dan Empat Lawang (0.13%). Angka kematian bayi di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009 adalah 0,8 (79 kematian bayi), sedangkan pada tahun 2008 adalah 3,4 (537 kematian bayi) (Profil Kesehatan Sumsel, 2010). Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu

meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus ( Kementrian PP dan PA, 20** ). Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor resiko keterlambatan (Tiga Terlambat), di antaranya terlambat dalam pemeriksaan kehamilan (terlambat mengambil keputusan), terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam

keadaan emergensi. Salah satu upaya pencegahannya adalah melakukan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, sesuai dengan Standar Pelayanan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Dengan demikian dalam penyelenggaran Jaminan Persalinan semua atribut program seperti Buku KIA, partograf dan kohort menjadi kewajiban untuk dilaksanakan meskipun harus dibedakan dengan syarat kelengkapan lain ( Kemenkes RI, 2011). Menurut hasil Riskesdas 2010, persalinan oleh tenaga kesehatan pada kelompok sasaran miskin (Quintile 1) baru mencapai sekitar 69,3%. Sedangkan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4%. Salah satu kendala penting untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah keterbatasan dan ketidak-tersediaan biaya sehingga diperlukan kebijakan terobosan untuk meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan melalui kebijakan yang disebut Jaminan Persalinan. Jaminan Persalinan dimaksudkan untuk

menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan jaminan persalinan, yang didalamnya termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir ( Kemenkes RI, 2011). Jampersal merupakan salah satu terobosan yang ditempuh pemerintah dalam usaha menurunkan AKI (Angka Kematian Ibu) dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada 2007 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Terobosan ini penting mengingat masih banyaknya ibu hamil yang belum memiliki jaminan pembiayaan untuk persalinannya. Dengan demikan kendala penting yang dihadapi masyarakat untuk mengakses persalinan oleh tenaga

kesehatan di fasilitas kesehatan dapat diatasi dengan program Jampersal. Tidak hanya AKI yang hendak diturunkan dengan Jampersal, juga AKB (Angka Kematian Bayi), sehingga target MDG`s tahun 2015 diharapkan dapat tercapai (Kemenkes RI, 2011). 4 sasaran subyek dalam pelaksanaan Jampersal, yakni ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas yang belum memiliki jaminan pembiayaan persalinan (pasca melahirkan sampai 42 hari) serta bayi baru lahir (0-28 hari). Mereka ini bisa memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan rujukan tingkat lanjutan (RS) di kelas III yang sudah memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Jampersal mulai berlaku sejak 1 Januari 2011. Sedangkan untuk klaim, dapat diajukan sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam Permenkes No 631 Tahun 2011 tentang Juknis (Petunjuk Teknis) Jampersal yang meliputi dokumen klaim yang lengkap, pelayanan diberikan di fasilitas kesehatan yang telah ditentukan, klien tidak dijamin oleh pihak/asuransi lain, dan telah diverifikasi oleh Tim Pengelola Kabupaten/Kota (Kemenkes RI, 2011). Pelaksanaan Jampersal sendiri di Kabupaten Ogan Ilir sendiri baru dilaksanakan pada .........2011. dan mengingat bahwa Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu Kabupaten/Kota kematian bayi yg cukup tinggi serta msh rendahnya bumil risti/komplikasi yang ditangani oleh tenagan kesehatan pada tahun2011 berkisar pada 51,6%. Untuk itu penulis tertarik untuk mengetahui pelaksanaan program Jampersal di Kabupaten Ogan Ilir.

1.2 Rumusan Masalah Jampersal merupakan kebijakan pemerintah Untuk menjamin terpenuhinya hak hidup sehat bagi seluruh penduduk termasuk penduduk miskin dan tidak mampu, pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Jampersal sendiri merupakan kebijakan terbaru dalam bidang kesehatan maka kendala-kendala yang ada mungkin saja terjadi, maka rumusan masalah penetilian adalah bagaimana pelaksanaan progran Jaminan Persalinan (Jampersal) di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2011.