bab i

Upload: tanim-arief

Post on 18-Jul-2015

328 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Trauma maksilifasial merupakan masalah kesehatan dan sosioekonomi yang penting yang terus meningkat pada akhir dekade ini.(1) Suatu study menyatakan insiden perlukaan maksilofasial yang berat (fraktur dan laserasi) pada tabrakan kendaraan bermesin adalah 0,04-0,09%. Rasio pada laki-laki dan waanita adalah 3:1, sedangkan rasio fraktur mandibula: zygoma: maxila adalah 6:2:1(2) Trauma maksilofasial dapat di sebabkan oleh banyak faktor dan dapat menimbulkan kelainan, berupa sumbatan jalan nafas, shock karena perdarahan, gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak. Penanganan khusus pada trauma maksilofasial tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena trauma. Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakan, tidak ada ada tindakan khusus untuk fraktur kecuali mempertahankan jalan nafas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh.3

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI Tengkorak adalah kerangka kepala. Tulang-tulang tengkorak membentuk cranium dan kerangka wajah. Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale dan kedua os zygomaticium, kedua orbita, daerah hidung, maxilla dan mandibula. Os frontale membentuk kerangka dahi yang ke inferor berhubungan dengan os nasale dan os zygomaticum. Rahang atas dibentuk oleh kedua maxilla yang bersatu. Aspek lateral tengkorak terdiri dari tulangtulang cranium dan tulang-tulang wajah. Arcus zygomaticus dibentuk melalui persatuan processus temporalis ossis zygomatii dan prosessus zygomaticus os temporalis.(4)

Gambar 1

Gambar 2

Regio maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian(3): 1. The upper face ; tulang frontal dan sinus frontal 2. The midface ; tulang hidung, etmoid, zygomaticum dan maksila 3. The lower face ; mandibula Konsep buttresses (penyangga)menggambarkan area yang relatif lebih kuat dari tulang midfacia yang menyangga vertically oriented force. Terdapat pula penyangga horisontal untuk menyokong vertical buttresses. Penyangga vertikal muka terdiri dari

zygonmatikomaksola (lateral), nasomaksola (media), dan pterigomaksila (posterior). Penyangga horizontal adalah alveolus, dasar orbita dan rim orbita dan supraorbita.(5)2

B. FRAKTUR MAKSILOFASIAL I. Definisi Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak yang menutupi jaringan keras. Sedangkan jaringan yang keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, dan tulang alveolus.5,6 2. Etiologi Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat tindakan kekerasan2,7. Fraktur muka ini dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu; (a) fraktur tulang hidung (b) fraktur tulang zygoma dan arcus zygoma (c) Fraktur tulang maksilla (d) fraktur tulang orbita (e) Fraktur tulang mandibula. (5) a. Fraktur Maksilla Klasifikasi fraktur maksila menurut Mathog dibagi dalam 3 kategori yaitu(5): 1. Le Fort I (fraktur guerin) Meliputi fraktur horisontal bagian bawah antara maksila dan palatum/arcus alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi.(Gambar 3&4)

Gambar 3

Gambar 4

3

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian.(5) 2. Le Fort II (fraktur piramid) Fraktur ini berjalan malalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra orbita yang menyeberang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampao ke fossa prerigopalatina.(Gambar 5&6)

Gambar 5

Gambar 6

3. Le Fort II (cranial disjunction) Adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang etmiod junction melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding orbita, sutura zygomatico frontal, dan sutura temporozygomatik. Fraktur Le Fort III biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface.(Gambar 7&8)

Gambar 7

Gambar 8

4

b. Fraktur tulang zygoma Gejala fraktur zygoma abtara lain adalah; pipi menjadi lebih rata, diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata, edema periorbita dan ekimosis, perdarahan subconjungtiva, enoftalmus, ptosis, hipestesi/anestesi, gerak mandibula terbatas, emfisema subcutis, epistaksis(5) c. Fraktur orbita Fraktur maksila sangat berhubungan erat dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki sepeda motor. Fraktur orbita ini memberikan gejala; enoftalmus, eksoptalmus, diplopia, asimertri pada muka, gangguan syaraf sensoris5. 3. Diagnosis a. Anamnesis Yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah bagaimana mekanisme injuri, apakah ada kehilangan kesadaran, apakah ada gangguan penglihatan termasuk gangguan gerakan mata, apakah ada masalah dengan pendengaran, apakah ada discharge yang keluar dari hidung atau telinga, apakah ada gangguan bernafas melalui hidung, apakah kemampuan menggigit dan mengunyah, adakah luka atau perubahan warna pada wajah.(2) b. Pemeriksaan Fisik.(3) -. Lihat adakah asimetri wajah -. Inspeksi apakah ada memar, bengkak, laserasi, jaringan yang lepas, benda asing dan perdarahan. -. Palpasi tulang dan evaluasi krepitus secara sistematik. -. Inspeksi mata. Periksa gerakan mata. Nilai keadaan pupil -. Periksa adakah benda asing dan laserasi di sekitar mata. -. Inspeksi hidung,dicari adakah dislokasi dan telekantus. Palpasi untuk mengetahui adakah nyeri dan krepitasi. -. Inspeksi telinga, dilihat adakah laserasu dan CSF dalam canal. -. Inspeksi lidah dan mulut -. Palpasi mandibula dan sendi temoromandibula untuk mencari adakah ketidakstabilan dan5

krepitasi -. Nilai fraktur Le Fort. -. Assesment gigi. Dilihat adakah gigi yang avulsi dan adakah maloklusi

c. Pemeriksaan Penunjang Foto Rontgen dan scanning merupakan pemeriksaan yang dapat diandalkan untuk investigasi. Pemeriksaan rontgen spesifik diperlikan tetrgantung dari kecurigaan fraktur yang terjadi.(2) 4. Penatalaksanaan Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus pada fraktur muka. Penatalaksanaan periode akut meliputi (A) Airway, (B)Breathing dan Ventilasi, C(Sirkulasi), (D) Disability. Penderita dengan trauma yang mengakibatkan kerusakan jaringan lunak pada muka harus dibersihkan dari kotoran dan benda asing yang menempel pada kotoran kulit. Laserasi atau luka sayat pada muka jika memungkin harus dijahit secepatnya bila mungkin dalam 6-8jam.(5) Prinsip managemen fraktur meliputi rekonstruksi segera, fiksasi maksilomandibuler, pendekatan akses secara luas, dan stabilisasi fiksasi internal.(1)

6

BAB III LAPORAN KASUS A. Anamnesa Identitas pasien : Nama Usia : Tn. W : 31 th

Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat Pekerjaan Tanggal : Cilacap : Buruh : 1 September 2010

Keluhan utama : Nyeri pada bagian wajah Riwayat penyakit sekarang : Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan nyeri pada wajah setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien terjatuh sendiri dari motor terpelanting kedepan terbentur aspal. Pasien tidak bisa mengingat kejadian secara detail karena pasien mengalami pingsan dan keluar darah dari hidung dan mulut, lalu pasien dibawa ke RSUD Banyumas dirawat selama 2 hari kemudian dirujuk ke RSUP sardjito. Saat ini pasien mengeluh hidung bengkak dan tersumbat, sakit kepala serta mengeluh sulit untuk menggigit dan mengunyah. Gangguan penglihatan (-). Gangguan pendengaran (-). keluhan tenggorok (-) sesak nafas (-). Riwayat penyakit dahulu Riwayat pingsan (+) Riwayat penyakit yang sama (-) Riwayat darah tinggi , DM disangkal.

7

B.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum pasien : CM, kesan gizi cukup Tanda Vital Tekana darah Nadi RR Suhu Pemeriksaan fisik Pemeriksaan wajah : Odema di dahi (+), mata kanan (+), Kedua pipi(+), nyeri (+), Laserasi (+) Pemeriksaan telinga : dalam batas normal : 110/70 mmHg : 84x/menit : 20x/mnt : 36,5C

Pemeriksaan hidung : Rhinoskopi anterior : stosel (+), discharge(-) Rhinoskopi posterior : Sulit dievaluasi Pemeriksaan mulut : Hematom palatum (+), gigi atas 2 patah dan 4 gigi bawah patah Pemeriksaan Penunjang Foto SPN (Banyumas) Kesan : Perselubungan di kedua sinus maxillaris susp perdarahan Fraktur os nasale dan maxilla Foto CT-Scan Kepala tanggal 3 September 2010 Kesan : Fraktur os frontalis bilateral, os nasal bilateral, maxilla bilateral Intraantral hematoma di sinus ethmoidalis bilateral dan sinus maxillaris bilateral.

8

C.

Diagnosis Fraktur maksilofasial

D.

Penatalaksanaan RL 20 tpm Inj Ceftriaxon 2x1g Inj Asam traneksamat 2x1Amp Inj Ranitidi 2x1 Amp Inj Ketorolak 3x1 amp Dressing luka tiap hari Ruber Neurologi : Inj Manitol 4x125 mg, Inj citikolin 2x500mg, Rekonstruksi fraktur maksilofasial

E.

Masalah Masalah dalam kasus ini adalah Prognosis

F.

Planing Kontrol Poliklinik THT RSUP Sardjito setelah perawatan rekonstruksi.

9

BAB IV DISKUSI

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial dapat terjadi akibat trauma tumpul maupun trauma tajam. Trauma tumpul lebih sering terjadi termasuk kecelakaan lalu lintas, trauma olahraga, trauma dalam pekerjaan. Yang termasuk trauma tajam misalnya luka tembak, luka iris dan ledakan. Pada pasien ini didiagnosis dengan fraktur maksilofasial berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisisk dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkankan adanya nyeri wajah, nyeri saat mengunyah, dan adanya riwayat kecelakaan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya odema dahi, mata kiri, kedua pipi. Dari CT scan ditunjukkan adanya fraktur os frontalis bilateral, os nasal bilateral, dan maxilla bilateral. Intraantal hematomadi sinus ethmoidalis bilateral dan sinus maxillaris bilateral. Prinsip penatalaksanan fraktur maksilofasial pada periode akut adalah

mempertahankan jalan nafas yaitu Airway, Breathing, Sirkulasi, Disability. Pemberian antibiotik dilakukan pada luka yang terkontaminasi untuk mencegah infeksi (Curren, 2007). Pemberian analgetik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada penderita. Pada pasien ini dilakukan terapi konservatif disamping akan dilakukan tindakan operatif rekonstruksi fraktur maksilofasial.

10

BAB V KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus pasien laki-laki usia 31 tahun dengan diagnosis fraktur maksilofasial yang telah dilakukakan tindakan konservatif dan tindakan operatif rekonstruksi fraktur maksilofasial.

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolaryngology Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins 2006 2. Fracture face, http://www.emedicine.medscape,com. 3. Maxillofacial injuries, http://www.emedicine.medscape,com. 4. Moore KJ, Agur AMR. Kepala. Dalam Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates 2002; 342-407 5. Munir M, Widiarni D, Trimartani. Trauma Mukan dan leher. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Lepala & Leher. Fakultas Kedokteran UI. 2007; 197-207. 6. Ballenger JJ, Koreksi Bedah Kerusakan Wajah. Dalam Hidung dan Siniu Paranasal. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher, jilid 1, Edisi 13, 1994;29-98. 7. Lalwani A, Current Diagnosis and Treatment: Otolaryngology Head and Neck Disease. Second Edition. Mc Graw Hill. New York. 2008;518-521.

12

Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa: (1) Fiksasi intermaksiler menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi (2) Fiksasi intermaksiler menggunakan kombinasi dan reduksi terbuka dan pemasangan kawat baja atau miniplate (3) Fiksasi dengan pin.(5)

Bila terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan jalan nafas serta kemungkinan terjadinya infeksi. Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah menutup. Dilakukan fiksasi intermaksiler sehingga oklusi gigi menjadi sempurna.(5)

13