bab i

Upload: lindra-sabana-hidayat

Post on 16-Jul-2015

191 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mahasiswa merupakan generasi muda yang berkesempatan mengenyam pendidikan forrmal di perguruan tinggi.1 Mahasiswa memilki peran dan tanggung jawab ideologis sebagai pewaris utama perjuangan bangsa maupun tanggung jawab profesional yang dipersiapkan menjadi ahli dalam bidang-bidang tertentu agar berperan aktif dalam proses pembangunan. Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 mengidentifikasi bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan sosial dan pembangunan. Tidak terkecuali organisasi mahasiswa yang menjadi sarana penempaan individu dalam memberikan sumbangsihnya terhadap kemampuan pergerakan di

Indonesia. Sebagai generasi pembawa perubahan, mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan dan mengefektifkan organisasi mahasiswa sebagai sarana penyalur kapabilitas, dimana salah satu caranya yaitu dengan berpartisipasi aktif dalam organisasi mahasiswa melalui kegiatan-kegiatan didalamnya untuk menjadi organisatoris handal yang mampu membawa perubahan baik untuk diri sendiri, organisasi, lingkungan maupun bangsa dan negaranya. Sebagian dari masyarakat ilmiah dan integral warga negara, mahasiswa perlu memahami peran kehidupannya. Amanat besar yang ada pada pundak mahasiswa adalah sebagai kekuatan moral dan sebagai kekuatan intelektual yang selanjutnya berkedudukan sebagai agent of change. Hal tersebut tidak akan1

Artikata.com. Diaskes tanggal 27 Oktober 2011, pukul 13.00 WIB

1

tercapai apabila proses pemberdayaan mahasiswa terhadap kedua amanat tidak dijalankan secara seimbang. Perlu ada wadah yang menampung segenap potensi dan kreatifitas mahasiswa yang mampu memainkan peranan itu, sehingga dengan sendirinya akan mengarahkan mahasiswa mencapai dua peran dan tanggung jawab yang dipikulnya. Oleh karena itu diperlukan keaktifan dari calon pembawa perubahan ini untuk lebih membuka wawasan dan kemampuannya tidak hanya melalui pembelajaran kuliah di kampus semata, melainkan melalui kegiatan dan keaktifan di organisasi mahasiswa. Hal tersebut sebagai proses pembelajaran politik mahasiswa sehingga dari pembelajaran tersebut mahasiswa diharapkan mampu memiliki pengetahuan dan pemahaman politik yang baik. Wawasan dan pembelajaran politik yang diberikan organisasi mahasiswa menyebabkan mahasiswa aktif dan tidak mudah dimobilisasi untuk kepentingan pribadi/jabatan dari para elite politik. Lebih dari itu, mahasiswa juga bisa ikut mempengaruhi secara signifikan dalam proses-proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masyarakat. Seperti yang telah terjadi pada penghujung kekuasaan presiden Soekarno didalam sistem politik Demokrasi Terpimpin. Secara utuh mahasiswa bergerak dibawah naungan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk pada tanggal 25 Oktober 19652. Contoh diatas adalah wujud keberhasilan organisasi mahasiswa

memberikan pendidikan politik yang baik. Dimana dengan keikutsertaan mahasiswa dalam organisasi mahasiswa akan memperoleh pengetahuan dan2

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), p. 87.

2

wawasannya mengenai masalah-masalah politik baik dengan mengikuti kegiatankegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi itu sendiri ataupun mengamati fenomena politik yang terjadi di masyarakat. Selain itu, hal itu juga merupakan proses pendidikan politik bagi mahasiswa untuk membangun kemampuannya lebih mawas terhadap situasi secara kritis, menentukan sikap yang benar, dan melatih Maka pendidikan politik itu merupakan proses mempengaruhi individu agar dia memperoleh informasi, wawasan, dan keterampilan politik yang lebih tinggi sehingga dia bisa bersikap kritis dan lebih terarah hidupnya. Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai-nilai yang etis normatif, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut serta dalam pembangunan bangsa dan negara. Pendidikan politik dalam mensosialisasikan nilai-nilai politik yang dikandung sistem politik yang ideal dapat diinternalisasikan melalui organisasi mahasiswa, sehingga mahasiswa mempunyai standar penilaian terhadap sebuah sistem politik yang ideal. Contohnya adalah gerakan reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rezim orde baru, merupakan tanggapan serta reaksi mahasiswa terhadap gejala politik yang dianggap diktator. Hal ini menunjukan betapa strategisnya posisi organisasi mahasiswa dalam memberikan pendidikan politik.

3

Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) adalah salah satu organisasi mahasiswa di Indonesia yang berkiprah dalam memberikan pendidikan politik terhadap mahasiswa yang menjadi anggotanya. Selain itu, Himpunan Mahasiswa Islam adalah salah satu organisasi mahasiswa yang tertua dan organisasi mahasiswa islam pertama di Indonesia. HMI berdiri tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H yang bertepatan dengan 5 Februari 1947 M, kemudian disusul oleh PMII pada tanggal 17 April 1960. Sejak awal berdirinya HMI mempunyai komitmen asasi yang disebut dengan dua komitmen asasi, yaitu : 1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia, yang dikenal dengan komitmen kebangsaan. 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam, yang dikenal dengan wawasan keislaman/keumatan. Kesatuan dari kedua wawasan ini disebut dengan wawasan integralistik, yakni cara pandang yang utuh melihat bangsa Indonesia terhadap tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan sebagai warga negara dan umat Islam Indonesia. Penerjemahan komitmen HMI ini disesuaikan dengan konteks jaman, sehingga HMI selalu aktual dan mampu tampil di garda terdepan dalam setiap even. Komitmen keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat dalam gerakan HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam

4

rumusan tujuan HMI (hasil Kongres XXVII HMI di Depok tahun 20103) sampai sekarang, Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI. Rumusan tujuan HMI dipandang semacam ayat suci bagi setiap kader HMI. Siapa saja yang merasa sebagai kader HMI, baik yang masih anggota HMI maupun yang telah alumni, tujuan HMI telah menjadi semacam cita-cita perjuangan mereka yang intrinsik ke dalam semangat membangun diri, masyarakat, ummat, bangsa dan negaranya. Komitmen asasi yang menjadikan tujuan HMI sekaligus cita-cita perjuangannya sejalan dengan tujuan pendidikan politik bagi generasi muda di Indonesia, yaitu: 1. Membangun generasi muda Indonesia yang sadar politik, sadar akan hak dan kewajiban politiknya selaku warganegara, disamping sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang terus-menerus membangun. 2. Membangun orang muda menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yang perwujudannya tercermin dalam seluruh sifat watak/ karakteristik kepribadian Indonesia (tidak lupa jatidirinya, dan tidak mengalami proses alienasi).4

3

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Hasil-Hasil KongresHMI XXVII; Tema: Sinergi HMI untuk Indonesia Bermartabat, 2010, p. 59. 4 Kartini Kartono, Pendidikan Politik Sebagai Bagian Dari Pendidikan Orang Dewasa (Bandung: Mandar Maju, 2009), p. 68.

5

Maka diperlukan pendidikan politik yang baik dan sistematis untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan HMI. Pendidikan Politik itu diberikan pada proses perkaderan di HMI. Proses perkaderan yang dilakukan HMI berangkat dari semangat perjuangan yang berat untuk mewujudkan dan mempertahankan komitmen asasi serta tujuannya tersebut. Oleh karena itu harus ada generasi-generasi penerus untuk dapat melanjutkan estafet perjuangan dan mempertahankannya. Berdasarkan urgensi kader sebagai estafet perjuangan di dalam HMI, maka HMI menegaskan fungsi dari organisasi ini adalah sebagai organisasi perkaderan. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) HMI (hasil Kongres XXVII HMI di Depok tahun 2010) pasal 8 tentang fungsi yang berbunyi HMI berfungsi sebagai organisasi kader. 5 HMI sebagai organisasi kader berbeda dengan organisasi massa yang memokuskan geraknya pada proses perekrutan massa sebanyak-banyaknya tanpa kejelasan, keterukuran. Maka organisai kader berorientasi terhadap jenjang pendidikan dan kualitas kader, bukan pada banyaknya kuantitas massa. Karena itu, HMI sebagai organisasi kader melakukan proses perkaderan. HMI yang berfungsi sebagai organisasi perkaderan harus menjalankan perkaderan secara terus-menerus, sistematis, terencana yang diatur dalam pedoman perkaderan, serta harus kreatif dalam membuat program-program perkaderan. Oleh karena itu seluruh aktivitas harus memberi kesempatan

5

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Hasil-Hasil KongresHMI XXVII; Tema: Sinergi HMI untuk Indonesia Bermartabat, 2010, p. 60

6

berkembang bagi kualitas-kualitas pribadi anggota-anggota yang relevan dengan tujuan HMI. Tujuan HMI ini telah memberi tuntunan kemana perkaderan HMI diarahkan, anggota HMI yang merupakan human material yang dihadapi HMI untuk dibina dan dikembangkan menjadi kader HMI adalah mereka yang memiliki kualitas-kualitas sebagai: a). Mahasiswa, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana dan potensi menjadi intelegensia, b). Kader yaitu mereka yang memiliki kesedian untuk berlatih dan mengembangkan kualitas-kualitas pribadinya guna menyongsong tugas masa depan umat dan bangsa indonesia, c). Perjuangan yaitu mereka yang ikhlas, bersedia dan berkorban guna mencapai cita-cita umat islam dan bangsa indonesia pada waktu sekarang dan yang akan datang. Inilah yang menjadi landasan, bagaimana pendidikan kader di lingkungan HMI dilaksanakan dan diarahkan. Hakekat tugas pokok HMI adalah tugas perkaderan semua kegiatan HMI hendaknya mengambarkan fungsi kekaderan yang artinya strategis bagi pembinaan kader HMI adalah memberikan wawasan kepemimpinan bagi kader-kader HMI sesuai dengan fungsi dan perannya guna melaksanakan fungsinnya kekaderan HMI. maka diperlukan media sebagai instansi perkaderan yang dapat dikelompokan dalam dua macam yaitu training dan aktivitas. Adapun proses perkaderan di HMI dilakukan secara sistematis. Kesistematisannya terlihat dalam jenjang pendidikan kader HMI. Pendidikan kader di HMI disebut dengan Latihan Kader mulai dari Latihan Kader I (basic

7

training), latihan kader II (intermedite training) dan Latihan Kader III (advent training). Pelatihan berjenjang ini bersifat formal. Pendidikan kader HMI juga ditunjang dengan berbagai training yang bersifat non formal seperti senior course (SC), up grading NDP, pelatihan menjadi instruktur. Adapun aktivitas kader dalam organisasi, kelompok maupun individu merupakan bagian dari proses perkaderan juga dalam upaya pengembangan kualitas kader. Berarti kegiatan HMI merupakan pendidikan kader dengan

menitikberatkan pada segi-segi tertentu yang meliputi dalam hal :

1. Watak dan kepribadiannya, yaitu dengan membei kesadaran beragama, akhlak dan watak itu berarti harus menjelma seorang individu yang beriman, berakhlak luhur, memiliki watak yang autentik serta memiliki pengabdian dalam arti yang paling hakiki. 2. Kemampuan ilmiyah, yaitu dengan membina seorang individu hingga memiliki pengetahuan (knowledge) kecerdasan (intelectuality) dan kebijaksanaan (wisdom). Diharapkan kader HMI memiliki kesadaran untuk berpihak pada masyarakat kecil. 3. Aspek keterampilan dalam menjalankan tujuan dan misi organisasi.6

Dengan tercapai tiga sasaran tersebut maka terbinalah insan cita HMI yang beriman, berilmu dan beramal.

Insan cita HMI yang merupakan deskripsi dari tujuan HMI dirumuskan menjadi lima yang disebut lima kualitas insan cita, yakni kualitas insan akademis,6

Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan (Jakarta: PT Prestasi Pustaka Publisher, 2006), p. 91.

8

kualitas insan pencipta, kualitas insan pengabdi, kualitas insan bernafaskan Islam, dan kualitas insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Kualitas insan cita HMI merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 4 AD HMI) adalah sebagai berikut : 1. Kualitas Insan Akademis a. Berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis. b. Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran. c. Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan. 2. Kualitas Insan Pencipta : Insan Akademis, Pencipta a. Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentukbentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.

9

b. Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah. c. Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran islam. 3. Kualitas Insan Pengabdi : Insan Akdemis, Pencipta, Pengabdi a. Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat. b. Sadar membawa tugas insan pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik. c. Insan akdemis, pencipta dan mengabdi adalah yang bersungguhsungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya. 4. Kualitas Insan yang bernafaskan islam : Insan Akademis, pencipta dan pengabdi yang ber nafaskan Islam a. Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola fikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menajdi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian Islam telah menapasi dan menjiwai karyanya. b. Ajaran Islam telah berhasil membentuk unity personality dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warga Negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah

mengintegrasikan masalah suksesnya dalam pembangunan nasional

10

bangsa kedalam suksesnya perjuangan umat islam Indonesia dan sebaliknya. 5. Kualitas Insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT a. Insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. b. Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral. c. Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis. d. Rasa tanggung jawab, takwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam me wujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. e. Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. f. Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai khallifah fil ard yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.7

Untuk terbinanya insan cita HMI yang berkualitas lima ins tersebut sebagai arah perkaderan HMI, maka kegiatan HMI dapat di kelompokan dalam dua macam kegiatan yaitu : a) kegiatan kampus perguruan tinggi, b). Kegiatan7

Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pengelola Latihan Pengurus Besar HMI, Panduan Pelaksanaan Latihan Kader I Himpunan Mahasiswa Islam, 2004, p. 61.

11

non kampus perguruan tinggi. Peranan HMI untuk selalu berpartisipasi dan selalu membina dan menjadikan suatu perguruan tinggi yang benar-benar mampu menciptakan manusia akademis yang qualified. Aktivitas perguruan tinggi diusahakan untuk mampu menopang tercapainya tujuan HMI oleh karena itu penguasa kampus dalam arti positif dan konstruktif adalah termasuk perjuangan HMI.

Hubungan antara HMI dan perguruan tinggi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan secara ideal adalah sebagimana usaha HMI agar perguruan tinggi menjadi sekolah HMI, dalam arti mampu mencetak insan yang dicitacitakan HMI Selama perguruan tinggi yang ideal yang dimaksudkan belum tercapai maka kegiatan training sekolah HMI adalah tugas/ kegiatan yang paling pokok untuk mencapai tujuan HMI seperti tersebut dan dirumuskan dalam pasal 5 anggaran dasar tentang usaha, yaitu: a. Membina pribadi muslim untuk mencapai akhlaqul karimah. b. Mengembangkan potensi kreatif, keilmuan, sosial dan budaya. c. Mempolopori pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan umat manusia. d. Memajukan kehidupan umat dalam mengamalkan Dienul Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. e. Memperkuat Ukhuwah Islamiyah sesama umat islam sedunia. f. Berperan aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi, dan kepemudaan untuk menopang pembangunan nasional.

12

g. Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan huruf (a) sd (e) dan sesuai dengan azas, fungsi, dan peran organisasi seerta berguna untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam catatan sejarah dan perkembangan politik modern, Himpunan Mahasiswa Islam juga merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan yang banyak melahirkan kader-kader politik bangsa. 8 Mereka tersebar dalam berbagai lembaga suprastruktur dan infrastruktur politik di Indonesia. Disamping itu kader HMI juga banyak berkiprah dalam pelbagai partai politik baik yang bercorak Islam maupun nasionalis.9 Bahkan Cak Nur mengklaim HMI sebagai lembaga perkaderan yang salah satunya perkaderan politik, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan potensi generasi bangsa untuk menjadi insan-insan pemimpin dengan etika dan moral yang kuat dan dengan kemampuan tinggi. Proses perkaderan demikian merupakan konsekuensi dari posisi strategis HMI sebagai organisasi pemuda elit yang memiliki kemampuan sangat baik sebagai individu maupun secara kolektif-organisatoris.10 Sehingga realitas perkaderan HMI saat ini, selalu bersentuhan dengan dinamika dan pertarungan politik kekuasaan, sehingga membawa konsekuensi bagi kader HMI pada mainstream misi HMI kepada perkaderan politik. Dengan demikian orientasi pada politik kekuasaan (power politics) sudah merupakan bagian sangat penting dalam setiap wacana dan perilaku-perilaku kader. Sebagai contoh pada konferensi cabang (konfercab) Pekanbaru ke-45, kekuatan-kekuatan8

9

Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan (Jakarta: PT Prestasi Pustaka Publisher, 2006), p. 1. Sidratahta Mukhtar, Ketika HMI Menjadi Beban Bangsa (Media Indonesia, 19 Juni 2002). 10 Nurcholish Madjid, Mempertegas Visi Perjuangan HMI, dalam HMI dan KAHMI: Menyongsong Perubahan dan Pergantian Zaman (Jakarta: Majelis Nasional KAHMI, 1997), p. 99-104.

13

politik mulai dibangun untuk memenangkan jagoannya masing-masing. Tendensi yang dibawahnya pun berbeda-beda mulai dari perkaderan, pergerakan dan modernisasi organisasi di tubuh HMI Cabang Pekanbaru. Prilaku kader yang berorientasi pada politik kekuasaan inilah yang menghambat eksistensi HMI. Dinamika dalam perebutan kekuasaan dan konflik yang berkepanjangan dalam internal maupun eksternal HMI menjadikan peran HMI semakin tumpul, tidak mampu mengakomodir kebutuhan mahasiswa (student need), dan tidak mampu menjawab apa yang menjadi persoalan mahasiswa (student matter). Sehingga HMI tidak mempunyai daya tarik dan added value di mata mahasiswa hari ini. Apalagi dengan adanya pandangan miris terhadap keislaman kader HMI yang tidak mengamalkan nilai-nilai islam dalam beraktivitasnya membuat HMI semakin ditinggalkan oleh mahasiswa. Khususnya bagi kebanyakan mahasiswa yang sekarang ini menjadi aktivis Masjid kampus atau kelompok studi agama enggan bergabung dengan HMI, meskipun mereka memiliki tujuan perjuangan yang sama. Persoalan lain yang timbul adalah degradasi intelektualitas kader dan kondisi mahasiswa kekinian. Hal ini dikarenakan kondisi perkaderan HMI dan perguruan tinggi yang pragmatis dan materialistis, sehingga mengabaikan substansi fungsi dan peran mahasiswa. Implikasinya adalah hedonisme yang

semakin menguat dan apatisme yang semakin merajalela. Kompleksitas persoalan perkaderan membuat HMI pada hari ini semakin lemah dalam memberikan gerakan-gerakan pembaharuan pemikiran yang sesuai

14

dengan mission dan tujuan HMI seiring dengan bergesernya fungsi dan peran strategis HMI. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul: Pendidikan Politik Dalam Pola Perkaderan Di Himpunan Mahasiswa Islam.

1.2. Perumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

15

1. Bagaimana pendidikan politik yang dilaksanakan HMI dalam pola perkaderannya? 2. Apakah tujuan dari pendidikan politik yang dilaksanakan HMI terhadap kader-kadernya? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menggambarkan dan menganalisis pendidikan politik yang dilaksanakan HMI pada pola perkaderannya. 2. Mengetahui tujuan dari pendidikan politik yang dilaksanakan HMI pada kader-kadernya. 1.4. Manfaat Penelitian Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini sekurangkurangnya diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yakni: a. Manfaat Akademik 1. Sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya yang membahas pada persoalan yang sama. 2. Sebagai bahan informasi ilmiah bagi peneliti-peneliti yang membahas pendidikan politik. b. Manfaat Fragmatis 1. Sebagai pedoman bagi pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan politik serta hal-hal yang berkenaan secara praktis dengan penelitian ini.

16

2. Sebagai input bagi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan politik dalam proses perkaderan. 1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Pendidikan Politik 1.5.1.1. Pengertian Pendidikan Politik Istilah pendidikan politik adalah gabungan dari dua kata, yakni pendidikan dan politik. Menurut Astrid S. Susanto bahwa: inti kegiatan pendidikan sebenarnya, selain menyangkut proses proses belajar, juga menyangkut conditioning dan reinforcement terhadap masyarakat. Sehingga dengan demikian pendidikan ialah merupakan proses belajar seseorang tentang sesuatu serta mempersiapkan kondisi dan situasi lingkungan yang dapat menghasilkan rangsangan yang akan menghasilkan reaksi atau respon tertentu.11 Apabila dihadapkan pada konsep pendidikan politik, maka belajar tentang sesuatu diatas diartikan belajar tentang politik. Konsep pendidikan politik dan sosialisasi politik, memiliki arti yang berdekatan atau hampir sama sehingga dapat digunakan secara bergantian. Merujuk pada pengertian pendidikan politik, Rush dan Althoff menganggap bahwa sosialisasi politik ialah sebagai suatu proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya

11

Astrid S. Susanto, Komunikasi Massa (Bandung: Penerbit Bina Cipta, 1982), p. 19.

17

terhadap gejalagejala politik.12 Sosialisasi politik tergantung dari lingkungan tempat individu tinggal maupun kepribadian dari individu tersebut seperti yang diungkapkan oleh Rush dan Althoff yaitu sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dimana individu-individu berada; selain itu juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya.13 Sosialisasi politik sebagai suatu proses belajar tentang politik. Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut, persoalan pokok sosialisasi politik adalah bagaimana seseorang menjadi paham akan politik. Dalam proses belajar politik (political learning) terdapat sumber atau agen atau saran-sarana sosialisasi politik. Almond menyebutkan adanya beberapa agen sosialisasi politik, seperti keluarga, sekolah, kelompok, pergaulan, pekerjaan, media massa, dan kontak politik langsung. Pentingnya agen-agen atau sarana-sarana sosialisasi sosialisasi politik, sangat bergantung pada intensitas interaksi individu dengan agen-agen atau sarana-sarana, proses komunikasi, ketekunan, dan usia seseorang. Dengan berdasarkan pada pendapat Allen Beck yang dikemukakan oleh Haryanto: Besar tidaknya peranan saran-sarana tersebut bergantung pada tingkat intensitas interaksi individu dan sarana yang ada, proses komunikasi yang berlangsung antara individu dengan sarana tadi, tingkat atau derajat penekunan individu yang mengalami proses sosialisasi politik, dan umur individu yang bersangkutan.14 Mengenai pengertian dari pendidikan politik (dalam arti kata yang lebih ketat) Alfian mengatakan : dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk

12

Michael Rush dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), p. 22. 13 Ibid, p.27. 14 Haryanto, dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-Teori Politik (Depok, 2005), p. 34.

18

megubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak di bangun.15 Hal serupa juga dinyatakan oleh Kartini Kartono bahwa : pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam mencapai tujuan-tujuan politik.16 Rusadi Kartaprawira memandang bahwa pendidikan politik yaitu sebagai upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya, sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi.17 Dalam kaitan pendidikan politik ini, A. Kosasih Djahiri menyatakan bahwa: Pendidikan politik adalah pendidikan atau bimbingan, pembinaan warga negara suatu negara untuk memahami mencintai dan memiliki rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap bangsa negara dan seluruh perangkat sistem maupun kelembagaan yang ada.18 Memahami dan memiliki rasa keterikatan diri yang tinggi terhadap bangsa negara dan seluruh perangkat sistem maupun kelembagaan yang ada, ialah merupakan ciri sudah atau mulai tertanamnya kesadaran politik. Dengan demikian pendidikan politik berupaya merubah warga negara agar dapat memiliki kesadaran politik. Memiliki kesadaran politik berarti memiliki keterpaduan aspek kognitif, afektif dan prikomotorik dari individu dalam berpolitik. Sehingga dalam Inpres No:12 tahun 1982 tentang pendidikan politik generasi muda dijelaskan bahwa:

Ibid, p. 235. Kartini Kartono, Pendidikan Politik: Sebagai Bagian Dari Pendidikan Orang Dewasa (Bandung: CV Mandar Maju, 2009), p. 64. 17 Rusadi Kartaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru Algesindo,1988), p. 54. 18 A. Kosasih Djahiri, Kapita selekta Politik Kenegaraan (Bandung: LKPH, 1996), p. 18.16

15

19

pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses pembaharuan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif dan efesien.19 Dihubungkan dengan tujuan pendidikan politik untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran politik sehingga terjadi pembaharuan kehidupan politik dalam rangka menciptakan suatu sistem politik yang demokratis, Sherman melihat sosialisasi politik dalam tiga perspektif, yakni perspektif konsensus, perspektif kontruksi sosial tentang realitas dan prespektif humanisme.20 1.5.1.2. Fungsi Pendidikan Politik Sesuai dengan pengertian pendidikan politik itu sendiri maka pendidikan politik mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama dalam merubah atau membentuk tata laku pribadi atau individu dan yang kedua lebih luas lagi yaitu membentuk suatu tatanan masyarakat yang diinginkan sesuai dengan tuntutan politik. Menurut Kartini Kartono bahwa pendidikan politik dapat memberikan sumbangan besar bagi : y Proses demokrasi yang semakin maju dari semua individu (rakyat) dan masyarakat/struktur kemasyarakatannya, y Dengan prinsip-prinsip realistik, lebih manusiawi, dan berlandaskan hukum formal dalam menggalang komunikasi politik yang modern.21

19

Soeharto, Instruksi Presiden RI no.12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Generasi Muda (Jakarta: Genap Jaya Baru, 1982), p. 2 20 Idrus Affandi, Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik (Bandung: Disertasi Pasca Sarjana UPI, 1996), p. 26. 21 Kartini Kartono, op. cit., p. 57.

20

Fungsi pendidikan diatas lebih menekankan fungsinya dalam merubah tatanan masyarakat agar lebih baik dari sebelumnya yang ditandai dengan adanya perubahan sikap dari individu-individu dalam masyarakat tersebut, yang lebih mendukung proses demokrasi. Sedangkan fungsi pendidikan bagi individu sendiri, menurut Kartini Kartono ialah: y Peningkatan kemampuan individual supaya setiap orang mampu berpacu dalam lalu lintas kemasyarakatan yang menjadi semakin padat penuhsesak dan terpolusi oleh dampak bermacam-macam penyakit sosial dan kedurjanaan, y Di samping mengenai kekuasaan, memahami mekanismenya, ikut mengendalikan dan mengontrol pelaksanaan kekuasaan di tengah masyarakat.22 Fungsi pendidikan politik bagi individu diatas intinya ialah bahwa pendidikan politik berusaha merubah aspek kognitif, afektif dan psikomotor dari individu. Rusadi Kantaprawira memandang pendidikan politik sebagai salah satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya.23 Dalam kaitan itu Idrus Affandi mengatakan bahwa pendidikan politik merupakan metode untuk melibatkan rakyat dalam sistem politik melalui partisipasinya dalam menyalurkan tuntutan dan dukungan.24 1.5.1.3. Bentuk Pendidikan Politik

22 23

Ibid, p. 59. Rusadi Kartaprawira, op. cit., p. 54. 24 Idrus Affandi, op cit., p. 27.

21

Pendidikan politik tidak akan terlaksana tanpa adanya penyelenggaraan yang dilakukan secara nyata di lapangan atau di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan politik tentunya akan berkaitan erat dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat tersebut. Dengan demikian, bentuk pendidikan politik mana yang akan diterapkan dalam mendukung terlaksanannya pendidikan politik merupakan hal yang sangat penting bagi pemerintahan suatu negara, pada umumnya pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di dalam sebuah negara. Bentuk pendidikan politik itu sendiri menurut Kuntowijoyo mengatakan sebagai berikut : Pendidikan politik formal, yaitu pendidikan politik yang diselenggarakan melalui indoktrinasi. Berikutnya adalah pendidikan politik yang diselenggarakan tidak melalui pendidikan formal, seperti pertukaran pemikiran melalui mimbar bebas. sedangkan pendidikan politik yang baik adalah pendidikan politik yang memobilisasi simbol-simbol nasional, seperti sejarah, seni sastra, dan bahasa.25 Apabila dihubungkan dengan macam bentuk pendidikan politik di atas, bentuk pendidikan politik yang diemban media massa dalam hal ini, yaitu surat kabar dan partai politik ialah bukan merupakan bentuk pendidikan politik formal. Semua bentuk pendidikan politik sebenarnya tidak jadi persoalan, artinya semuanya baik asalkan mampu memobilisasi simbol-simbol nasional sehingga pendidikan politik tersebut dapat merubah individu yamg memiliki kecintaan terhadap bangsanya atau memiliki rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap bangsa negara.

25

Kuntowijoyo, Demokrasi Dan Budaya Birokrasi ( Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), p. 58

22

Rusadi Kantaprawira memandang pendidikan politik sebagai salah satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya.26 Dalam hubungan itu, pola pendidikan politik rakyat yang akan kita selenggarakan di masa depan harus bisa mengantarkan kita untuk mewujudkan suatu masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mamapu berkreasi secara maksimal dan menyerap nilai-nilai Demokrasi Indonesia secara konstuktif sehingga dari waktu ke waktu dapat memilki suatu sistem yang makin demokratis. Bukan sebaliknya makin otoritarian, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Menurut Djohermansyah Djohan, pola pendidikan politik yang hendak dirancang paling tidak mencakup empat dimensi strategis, yaitu : dimensi ideologis, dimensi struktural, dimensi prosedural, dimensi behavioral. 1. Dimensi ideologis terpusat pada satu aspek yang sangat mendasar, yaitu pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal bagi partai politik.

Konsekwensinya, partai politik dapat memiliki asas atau ciri apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Dengan begitu keragaman ideologi yang pada masa lalu sering menimbulkan konflik ideologis akan membayangi perjalanan politik kita di masa mendatang. 2. Dimensi struktural mengacu pada penyertaan masyarakat dalam lembagalembaga resmi, pembentukan lembaga independen sebagai penyelenggara pemilu, pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat, penguatan lembaga MPR, pengurangan peranan TNI, dan peniadaan restriksi jumlah partai. Semua perubahan itu memerlukan pendidikan yang mampu memberikan26

Rusadi Kartaprawira, op. cit., p. 54.

23

enrichment dan enlightenment pada seluruh warga masyarakat, serta menghindarkan mereka terperosok ke dalam jurang demokrasi. 3. Dimensi prosedural, meliputi penetapan proses, prosedur, dan tata cara kehidupan politik yang lebih menjamin tegaknya kedaulatan rakyat. 4. Dimensi behavioral, yang tercermin dari pengaturan tingkah laku politik warga negara yang membuka ruang bagi kebebasan, kompetisi, partisipasi, dan kedamaian dalam menunaikan hak-hak politik serta menjalankan kegiatan politik sehari-hari.27 Secara formalnya maksud diadakannya pendidikan politik menurut Inpres No:12 tahun 1982 tentang pendidikan politik generasi muda ialah: memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. 28 Dalam hal ini, pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam mencapai tujuantujuan politik. 1.5.1.4. Tujuan Pendidikan politik Secara formal, maksud diadakannya pendidikan politik menurut Inpres No:12 tahun 1982 tentang pendidikan politik generasi muda ialah: Memberikan pedoman kepada generasi muda indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan27 28

Soeharto, op. cit., p. 5.

24

tujuan pendidikan politik ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.29 Adapun tujuan dari pendidikan politik (Amril, 2004:104) yaitu: 1. Melatih orang muda dan orang dewasa menjadi warga negara yang baik; khususnya dalam fungsi sosial dan fungsi politik, seperti bisa mengembangkan sikap gotong royong/kooperatif, mau bermusyaawarah dan kerja sama; bersikap toleran, solider, loyal terhadap bangsa dan Negara, bersikap sportif dan seterusnya demi kesejahteraan hidup bersama. 2. Membangkitkan dan mengembangkan hati nurani politik, rasa etika politik dan tanggung jawab politik, agar orang menjadi insan politik terpuji (bukan memupuk egoisme dan menjadi bintang politik). 3. Agar orang memiliki wawasan kritis mengenai relasi-relasi politik yang ada di sekitarnya. Memiliki kesadaran bahwa urusan-urusan manusia dan struktur sosial yang ada di tengah masyarakat itu tidak permanen, tidak massif atau immanen sifatnya, tetapi selalu bisa berubah dan daaaaapat diubah melalui perjuangan politik. 4. kemudian mampu mengadakan analisis mengenai konflik-konflik politik yang aktual, lalu berusaha ikut memecahkan; jadi terdapat partisipasi politik. Sebab, urusan politik itu jelas membawa dampak kebaikan atau keburukan kepada rakyat banyak. Karena rakyat juga sangat berkepentingan dengan urusan politik yang menyangkut mati hidupnya diri sendiri dan keselamatan rakyat pada umumnya.

29

Ibid, p. 5.

25

5. selanjutnya berpartisipasi politik dengan jalan memberikan pertimbangan yang konstruktif mengenai masyarakat dan kejadian politik itu merupakan hak-hak demokratis yang asasi. Hal yang perlu bukan hanya melancarkan prosesproses politik dari warga negara dan pertanggungjawabannya untuk mengatur masyarakat dan negara mengarah pada kehidupan yang sejahtera.30 Sedangkan Kartini Kartono menjelaskan bahwa tujuan pendidikan politik ialah: 1. Membuat rakyat (individu, kelompok, klien, anak didik, warga masyarakat, rakyat, dan seterusnya) : y y Mampu memahami situasi sosial politik penuh konflik. Berani bersikap tegas memberikan kritik membangun terhadap kondisi masyarakat yang tidak mantap. y Aktivitasnya diarahkan pada proses demokratisasi individu atau perorangan, dan demokratisasi semua lembaga kemasyarakatan serta lembaga negara. y Sanggup memperjuangkan kepentingan dan ideologi tertentu,

khususnya yang berkolerasi dengan keamanan dan kesejahtraan hidup bersama. 2. Memperhatikan dan mengupayakan : y Peranan insani dari setiap individu sebagai warga negara (melaksanakan realisasi diri/ aktualisasi diri dari dimensi sosialnya). y Mengembangkan semua bakat dan kemampuannya (aspek kognitif, wawasan, kritis, sikap positif, keterampilan politik).30

Nasrullah Nazsir dan Amril Ghaffar Sunny, Partai Politik, Partisipasi Politik dan Pendidikan Politik (Bandung, 2004), p. 104

26

y Agar orang bisa aktif berapartisipasi dalam proses politik, demi pembangunan diri, masyarakat sekitar, bangsa dan negara.31 Antara fungsi pendidikan politik dan tujuan dari pendidikan politik mempunyai kedekatan tersendiri yang tak dapat dipisahkan dan keberhasilan pencapaian fungsi dan tujuan dari pendidikan politik merupakan keberhasilan dari pelaksanaan pendidikan politik itu sendiri. Menurut Alfian untuk menganalisis keberhasilan pendidikan politik dilihat dari dua dimensi, dimensi pertama berupa gambaran jelas tentang sistem politik ideal yang diinginkan, dimensi kedua ialah realitas atau keadaan sebenarnya dari masyarakat itu sendiri yang langsung diperbandingkan dengan tuntutan-tuntutan sistem politik tadi.32 Dihubungkan dengan dimensi yang kedua dalam melakukan analisis keberhasilan pendidikan politik yang pada intinya melakukan kaji banding antara tuntutan sistem politik ideal dengan realitas politik yang sesungguhnya menurut Idrus Affandi mutlak diperlukan adanya struktur baku sistem politik yang dicitacitakan, yakni sistem politik yang mencerminkan nilai dan norma yang merupakan landasan dan motivasi masyarakat sekaligus dasar untuk membina dan mengembangkan diri untuk melibatkan di dalamnya.33 1.5.2. Perkaderan Menurut AS Hornby dikatakan bahwa cadre is a small group of highly trained soldiers, workers, managers, ect., atau cadre is a member of such a group. 34 Jadi pengertian kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih31 32

Kartini Kartono, op. cit., p. 68. Alfian, op. cit,. p. 236. 33 Idrus Affandi, op. cit,. p. 28. 34 AS Hornby, Oxford Advanved Learners Of Current English Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1995), p. 157.

27

besar. Hal ini dapat dijelaskan, pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan permainan organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan konsisten dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. Keempat, seorang kader memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan melakukan social engineering.35 Kader adalah jantung dari suatu organisasi dan inti dari suatu gerakan. Mereka adalah orang orang terpilih untuk tugas tugas yang dipercayakannya secara profesional. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata kader merupakan serapan dari bahasa Perancis cadre yang berarti inti tetap dari suatu resimen, kaum elite terpilih dan terbaik. 36 Mengingat bahwa yang dinamakan kader adalah seorang/kelompok yang terpilih dan berfungsi sebagai jantung organisasi dan keberadaan mereka sebagai yang memiliki kemampuan dan faktor lebih tentu tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui suatu proses dan penjenjangan yang secara khusus dinamakan pendidikan kader. Adapun yang dimaksud dengan pengkaderan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh organisasi dimana terjadi proses penanaman ideologi organisasi tersebut terhadap calon kader yang mengikuti proses pengkaderan. Organisasi

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, hasil-hasil Kongres XXVII HMI (Depok, 2010), p. 308-309. 36 W.J.S. Poerwodarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).

35

28

apapun tentu memiliki kader yang tentu memiliki sistem dan tata cara untuk merekrut calon-calon kadernya. 1.6. Definisi Konsep Berikut beberapa konsep beserta definisinya yang digunakan didalam penelitian ini yang berfungsi untuk memberikan batasan yang tepat terkait dengan fenomena yang akan diteliti: 1.6.1. Pendidikan Politik Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Dalam hal ini pendidikan politik yang diteliti, dicermati, dan dipelajari adalah pendidikan politik oleh organisasi mahasiswa yaitu HMI.

1.6.2. Pola Perkaderan Pola perkaderan adalah suatu sistem atau cara kerja dalam proses penanaman sifat, nilai, dan ideologi yang sifatnya lebih khusus atau spesifik terhadap calon kader. Dalam hal ini yang menjadi pusat perhatian dan penelitian adalah pola perkaderan yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa yaitu HMI kepada calon-calonnya. 1.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian

29

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati. Penelitian deksriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang di teliti dan berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang diteliti dan menjadi pokok permasalahan. 1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu pengumpulan Data sekunder semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan ( Library Research) dan pencatatan dokumen antara lain dengan mengumpulkan data dari buku buku, literature, jurnal, majalah, Koran, Laporan-laporan Organisasi dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

1.6.3. Teknik Analisa Data Sesuai dengan metode penelitian, dalam menganalisa data, data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Metode kualitatif dapat didefeniskan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa ucapan, tulisan dan perilaku yang diamati.

30

DAFTAR PUSTAKAAgussalim Sitompul. 2008. 44 Indikator Kemunduran HMI: Suatu Kritik Dan Koreksi Untuk Kebangkitan Kembali HMI (50 Tahun Pertama HMI 19471997. CV Misaka Galiza: Jakarta. A. Kosasih Djahiri, 1996. Kapita selekta Politik Kenegaraan. LKPH: Bandung. Arbi Sanit, 2003. Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan Pembangunan. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

31

AS Hornby, 1995. Oxford Advanved Learners Of Current English Dictionary. Oxford University Press: Oxford. Astrid S. Susanto, 1982. Komunikasi Massa. Penerbit Bina Cipta: Bandung. Haryanto dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, 2005. Mengenal Teori-Teori Politik. Depok. Hashbi ash-Shiddieqy, 1969. Asas-Asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam. Matahari Masa: Yogyakarta. Idrus Affandi, 1996. Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi Pasca Sarjana UPI: Bandung. Kartini Kartono, 2009. Pendidikan Politik: Sebagai Bagian Dari Pendidikan Orang Dewasa. CV Mandar Maju: Bandung. Kuntowijoyo, 1994. Demokrasi Dan Budaya Birokrasi. Yayasan Bentang Budaya: Yogyakarta. Michael Rush dan Philip Althoff, 2002. Pengantar Sosiologi Politik. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Nasrullah Nazsir dan Amril Ghaffar Sunny. 2004. Partai Politik, Partisipasi Politik dan Pendidikan Politik. Bandung. Nurcholish Madjid, 1997. Mempertegas Visi Perjuangan HMI, dalam HMI dan KAHMI: Menyongsong Perubahan dan Pergantian Zaman. Majelis Nasional KAHMI: Jakarta. Rusadi Kartaprawira, 1988. Sistem Politik DiIndonesia. Sinar Baru Algesindo: Bandung.

32

Sidratahta Mukhtar, 2006. HMI dan Kekuasaan. PT Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta. Sidratahta Mukhtar, 2002. Ketika HMI Menjadi Beban Bangsa. Media Indonesia: Jakarta. Soeharto, 1982. Instruksi Presiden RI no.12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Generasi Muda. Penerbit Genap Jaya Baru: Jakarta. Solichin, 2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. Penerbit Sinergi Persadatama Foundation: Jakarta. W.J.S. Poerwodarminto, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta. Widodo, 2005. Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi Dilengkapi Contoh. Yayasan Kelopak-Magna Script: Jakarta. Sumber Lain: Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 310 http//artikata.com, diaskes tanggal 27 Oktober 2011, pukul 13.00 WIB Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, hasil-hasil Kongres XXVII HMI (Depok, 2010)

33