bab i

Upload: novarina-ratna

Post on 10-Jul-2015

161 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ASESMEN KERENTANAN DAN KAPASITAS DESA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI KABUPATEN MAGELANG

Oleh : Mudmainah Vitasari K5407003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

HALAMAN PENGESAHAN

Proposal skripsi ini telah disetujui dan disahkan oleh dosen pembimbing skripsi Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sebelas Maret pada : Hari Tanggal : :

Persetujuan Pembimbing, Pembimbing I Pembimbing II

Dr. M. Gamal Rindarjono, M.Si 19640803 199512 1 001

Pipit Wijayanti, S.Si, M.Sc 19761106 200501 2 001

BAB I PENDAHULUAN1.1.

Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) tempat pertemuan silang antara dua lempeng Samudera (Pasifik dan Hindia/Indonesia) dan dua lempeng benua (Asian dan Australia) secara geologi, geofisika dan oceanografi serta posisi tengah yang dilintasi oleh poros utama bumi yakni khatulistiwa (equator) selain memiliki potensi sumber daya alam mineral, minyak, gas bumi, biota laut dan darat juga terkandung ancaman bencana alam, gempa bumi, gunung berapi, tsunami dan gerakan tanah lainnya. Potensi ancaman bencana alam juga menjadi lebih besar akibat posisi geografis khatulistiwa yang dipengaruhi oleh karakteristik dan fenomena iklim subtropis belahan bumi utara dan belahan bumi selatan yang membentuk pola iklim tropis di Indonesia. Secara sederhana Indonesia memiliki dua iklim ekstrim yakni musim kemarau dan musim penghujan serta iklim pancaroba atau peralihan (Sjarief dan Sigarlaki, 2005 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2006 : 1). Bencana muncul karena faktor alam (grand design takdir/Tuhan) dan faktor nonalam, yakni faktor manusia penghuninya. Faktor alam antara lain karena Indonesia berada pada lintasan Pasific Ring of Fire (Deretan Gunung Berapi Fisik), yang bentuknya melengkung dari utara Pulau Sumatra-Jawa-Nusa Tenggara hingga Sulawesi Utara. Indonesia juga terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yang dipengaruhi oleh tiga gerakan, yakni Gerakan Sistem Sunda (Sundas Movement System), Gerakan Sistem Pinggiran Asia Timur (Border East Asian Movement System) dan Gerakan Sirkum Australia (Australian Sircum Movement) (Sukatno, 2007 : 206). Akibat tumbukan antara lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan Maluku, dan sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan itu maka terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung, dan sebaran sumber gempa bumi. Lempeng

Australia lambat laun berubah dengan naik ke dalam jalan kecil lempeng Pasifik, yang bergerak ke selatan, dan antara garis-garis ini terbentanglah pulau-pulau Indonesia yang menyebabkan Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia. Indonesia sering disebut sebagai cincin api atau ring of fire dimana terdapat banyak pegunungan yang berada di wilayah kepulauan Indonesia yang menyebabkan 129 gunungapi aktif dan 500 gunungapi yang sudah tidak aktif lagi (Nugroho, 2008 : xii). Kondisi ini disadari atau tidak, menjadikan 83% wilyah Indonesia berada di daerah rawan bencana satu (Sukatno, 2007 : 206). Gunungapi aktif yang ada di wilayah Indonesia ini Gunung Merapi termasuk yang paling aktif. Keunikan dan aktivitasnya yang tidak pernah diam menjadikan Gunung Merapi dinobatkan menjadi the decade volcano of te World oleh International Natural Disaster Reduction (Wirasanti, 2009). Dinamika erupsi Merapi umumnya didahului pertumbuhan kubah lava diikuti guguran awanpanas, guguran lava pijar dan jatuhan piroklastik. Bahaya utama yang mengancam sekitar 40.000 jiwa yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana adalah aliran awan panas di samping bahaya sekunder lahar yang dapat terjadi pada musim hujan. (http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-merapi &subpage=aktivitas-gunung-merapi). Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) tahun 2010, sejak tahun1672-2010 tercatat lebih dari 80 letusan dengan selang waktu istirahat

antara 1-18 tahun atau rata-rata4 tahun (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011). Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa Timur (http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi). Pada erupsi terjadi tahun 1930 menewaskan sekitar 1.369 jiwa di 13 lereng Merapi. Ribuan ternak tewas terpanggang dan beberapa desa di lereng barat hingga barat daya Merapi di Magelang dan Boyolali hilang terkena awan panas. Setelah itu terjadi beberapa kali letusan diantaranya tahun 1954, 1961 dan 1969. Arah luncuran awan panas juga ke barat sehingga beberapa dusun seperti

Keningar dan Sisir lama hilang terkena awan panas dan hujan abu pekat. Sebagian penduduk di beberapa desa di Kecamatan Dukun dan Srumbung di transmigrasikan ke Sumatera (http://pfijogja.com/?p=6). Pada era tahun 1990-an tercatat, Merapi kembali meluncurkan awan panas. Kali ini tidak ke arah barat namun ke arah selatan. Erupsi pada tanggal 22 November 1994 telah memakan korban sekitar 63 warga dan puluhan ternak di Dusun Turgo Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem Sleman yang berada di dekat aliran Kali Boyong (http://pfijogja.com/?p=6). Pada tahun 1998 dan bulan Februari 2001, arah luncuran awan panas menuju ke barat masuk ke hulu Sungai Senowo, Putih dan beberapa anak sungai lainnya. Debu awan panas yang meluncur ke arah barat pada pagi hari itu terbawa angin hingga sebagian wilayah Surakarta terkena hujan abu. Erupsi Merapi yang terakhir kali terjadi pada pertengahan tahun 2006 yang mengarah ke selatan. Luncuran awan panas yang masuk ke hulu Kali Gendol dan Woro itu telah menghancurkan Gegerboyo yang merupakan dinding Merapi bagian selatan. Pasca runtuhnya Gegerboyo, dikawasan puncak di hulu Kali Gendol tampak seperti garis sungai yang sangat lebar dan dalam. (http://pfijogja.com/?p=6). Bencana erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada 14 Juni 2006 yang lalu telah menimbulkan kerusakan sumber air dan jaringan irigasi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sedikitnya kerugian yang diderita sekitar Rp 4 milyar. Sedang untuk kawasan wisata Kaliadem, bunker dan berbagai fasilitasnya kerugian mencapai Rp 2,5 miliar, beberapa area di lereng gunung merapi yakni 230 ha area perkebunan menderita kerugian Rp 2,3 miliar dan 350 ha hutan lindung dengan kerugian Rp 2,2 miliar (http://news.okezone.com/read/2010 / 07/24/339/356153/kerugian-akibat-erupsi-merapi-rp11m). Selain itu awan panas dan lava menerjang wilayah sekitar Kali Gendol sepanjang 7 kilometer, akibatnya hutan seluas 10 hektare di sekitar Kaliadem berubah menjadi hamparan debu putih dan hitam, semua pohon di sana telah hangus, bumi perkemahan di kawasan ini pun penuh pasir dan batu panas. Erupsi kali ini juga menewaskan dua orang yang terjebak dalam bunker (TEMPO : 2006 : 33).

Erupsi Gunung Merapi belum lama ini terjadi pada 26 Oktober 2010 pukul 17.02 WIB. Erupsi Merapi kali ini tergolong besar, lebih dahsyat dibandingkan erupsi tahun 2006 yang lalu. Volume yang dikeluarkan selama proses erupsi mencapai 130 juta m3 ( Sayudi, Nurhaning, Juliani, Muzani, 2011). Sebaran awan panas dan material telah melampaui batas yang merenggut 148 orang, bakan juru kunci Merapi Mbah Maridjan juga turut menadi korban keganasan erupsi Merapi kali ini. Tidak kurang 100.000 pengungsi di perbatasan Yogyakarta, Magelang, Klaten dan Boyolali mengungsi di radius 20 km dari puncak Merapi, 4 dusun di Cangkringan, Sleman musnah tanpa tersisa, Desa Balerante rusak parah dan ribuan hektar kebun salak di Srumbung juga rusak dan terancam gagal panen. Erupsi Merapi tidak hanya memusnahkan rumah dan harta benda warga lereng Merapi, tetapi juga melumpuhkan perekonomian warga sekitar lereng Merapi. Jalur penerbangan ke Kota Yogyakarta juga sempat dihentikan beberapa waktu karena abu vulkanik mengganggu pandangan dan juga dapat merusak mesin pesawat (Humas PMI dalam BAKTI, 2011 : 4). Secara umum terdapat peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun atau beberapa tahun seperti erupsi Gunung Merapi yang bersifat fluktuatif in sehingga bencana dianggap sebagai sesuatu hal yang memang harus terjadi padahal semua itu merupakan fenomena alamiah yang melekat pada bumi. Fenomena alamiah inilah yang tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat dimana saja dan kapan saja, disamping menimbulkan kerugian material dan immaterial bagi kehidupan masyarakat juga akan menjadi ancaman bagi daerah setempat. Jika dilihat dari tiap kejadian erupsi Gunung Merapi, selalu ada risiko yang ditimbulkan yaitu berupa kerugian-kerugian baik harta, korban jiwa maupun penurunan mental. Hal ini merupakan suatu ancaman bagi masyarakat sekitar Gunung Merapi. Kerugian yang ditimbulkan dari tahun ke tahun kejadian erupsi Gunung Merapi memang sudah menunjukan peningkatan pengurangan risiko bencana namun angka kerugian tersebut masih tergolong tinggi. Manusia tidak bisa menghindari bencana dan secara otomatis juga tidak bisa menghindari risiko yang akan ditimbulkan oleh bencana. Namun demikian, manusia sebagai makhluk

berpikir memiliki kemampuan untuk mengamati, mengenal dan mengantisipasi fenomena yang memungkinkan terjadinya risiko bencana dari erupsi Gunung Merapi tersebut. Masyarakat daerah setempat perlu mulai dan meningkatkan pengenalan serta pemahaman terhadap potensi bencana di wilayahnya masingmasing. Pengenalan terhadap situasi bencana ini sangat penting, dapat membedakan perlakuan dan penyikapan masyarakat terhadap bencana. Dalam situasi bencana, perbedaan ini akan tampak sangat kontras berupa banyak atau sedikitnya korban jiwa dan harta. Pengenalan terhadap situasi bencana itu sendiri merupakan salah satu wujud awal kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan berdampak pada pengurangan risiko bencana. Secara umum keseluruhan bangsa Indonesia belum siap menghadapi bencana. Hal ini cenderung dikarenakan adanya perbedaan kondisi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Banyak faktor yang menentukan kesiapan tersebut antara lain pemahaman yang salah terhadap bencana alam dan kondisi geografis yang bervariasi. Kebanyakan dari masyarakat menganggap bahwa fenomena alam tersebut merupakan sesuatu yang buruk, bukan merupakan aktivitas normal dari bumi serta tingkat penerimaan dan pengetahuan masyarakat tentang kearifan lokal (local knowledge) semakin menurun, dimana kearifan lokal tersebut memberikan pemahaman dan panduan dalam lingkup tradisi bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk pengetahuan ciri-ciri bencana dan larangan melakukan kegiatan yang merusak lingkungan atau keseimbangan ekosistem faktor lain adalah adanya anggapan bahwa penanggulangan bencana adalah wujud fungsi pemerintah dalam perlindungan rakyat. Akibatnya, rakyat mengharapkan penanggulangan bencana sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah (Staf Ahli Menteri Bidang Dampak Sosial Departemen Sosial, 2008). Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pengetahuan memadai akan kebencanaan sehingga menjadi sangat rentan ketika menghadapi bencana dan tidak mempunyai kemampuan adaptasi untuk pulih kembali pada saat pasca bencana. Kesiapan masyarakat merupakan cerminan dukungan masyarakat terhadap tindakan pengurangan risiko bencana.

Semakin besarnya perhatian pada upaya pengurangan risiko bencana ini dipengaruhi oleh terus meningkatnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana, Menurut Bank Dunia, kerugian akibat bencana yang diderita negara-negara berkembang, jika dihitung sebagai persentase dari produk domestik bruto, dapat mencapai 20 kali lebih besar daripada kerugian yang dialami oleh negara-negara industri, sementara lebih dari 95 persen kematian yang diakibatkan oleh bencana terjadi di negara berkembang (World Bank, 2006 dalam Benson dan Twigg, 2007 : 8). Masyarakat dunia pun telah banyak memberikan perhatian dan dukungan terhadap bencana seperti adanya Konferensi Dunia tentang Pengurangan Bencana Alam Yokohama 1994 yang memuat strategi dan rencana untuk pengurangan risiko bencana, PBB membentuk Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (International Strategy for Disaster Reduction/ISDR) (Bastian, 2007 : 17), The Hyogo Framework for Action yang mengidentifikasi pengurangan substansial kerugian bencana dalam kehidupan dan aset-aset sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat dan negara selain itu juga, negara-negara ASEAN meratifikasi the ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (Somantrie, 2009) dan yang mengagumkan adalah diprakarsainya Piagam Kemanusiaan dan Standar-standar Minimum dalam Respons Bencana dari Proyek Sphere yang bertujuan untuk memperbaiki efektivitas dan akuntabilitas bantuan kemanusiaan (Proyek Sphere, 2006 : 342). Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat di Indonesia, pemerintah mengambil peran sebagai penggerak dengan mengeluarkan rekomendasi kebijakan tentang peran masyarakat dalam penanggulangan bencana yaitu UU No. 24 Tahun 2007, khususnya Bab V Pasal 26 dan 27 terkait dengan Hak dan Kewajiban Masyarakat (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Serta PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penaggulangan Bencana khususnya pada Paragraf 5 Pasal 87 point (1) Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dalam rangka membantu penataan daerah rawan bencana kearah lebih baik dan rasa kepedulian daerah rawan bencana dan lingkup partisipasi masyarakat

sebagaimana pada Paragraf 5 Pasal 87 PP No. 21 Tahun 2008 bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dalam rangka membantu penataan dan rasa kepedulian pada daerah rawan bencana. Secara khusus, partisipasi yang dimaksud tidak menjelaskan hal-hal yang menjadi kewajiban masyarakat seperti kegiatan kampanye, meningkatkan rasa kepedulian dan kesetiakawanan serta penggalangan dana (PP RI Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Hal ini menumbuhkan perubahan pada masyarakat Indonesia dengan dibentuknya Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia/MPBI dan adanya forum kerjasama yang diberi nama Forum Merapi. Partisipasi masyarakat terhadap pengenalan dan penanggulangan bencana ini mencerminkan kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana untuk pengurangan risiko bencana. Langkah awal partisipasi masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana adalah mampu mengenali kondisi masyarakat itu sendiri, maka diperlukan adanya suatu pemetaan ruang lingkup fisik, sosial budaya mengenai kondisi masyarakat di wilayah bencana, sebelum dan pasca bencana. Pemetaan tersebut meliputi kondisi fisik, sosial, praktik ekonomi, dan karakter budaya masyarakat setempat serta institusi (lembaga) yang menjadi agensi sosial di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Dengan kemampuan mengenali kondisi mereka sendiri maka masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat sesuai yang dibutuhkan untuk daerah mereka sendiri. Semakin kita mengenali dan memahami fenomena bahaya itu dengan baik, maka kita semakin dapat menyikapinya dengan lebih baik. Sikap dan tanggap yang didasarkan atas pengenalan dan pemahaman yang baik akan dapat memperkecil risiko bencana. Jika kapasitas dan ketahanan masyarakat sudah tinggi berarti Indonesia siap menghadapi bencana alam. Berdasarkan pengamatan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta 2010 (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011). KRB Merapi tahun 2010 dominan mengarah ke daerah selatan sampai barat Gunung Merapi (Kabupaten Klaten, Sleman dan Magelang) dan Kabupaten Magelang merupakan daerah yang mempunyai tingkat ancaman

bencana pasca erupsi tinggi dengan ancaman berupa lahar dingin yang paling parah yang menyebabkan ditutupnya akses utama Yogyakarta-Semarang. Ancaman lahar dingin di sekitar aliran sungai ini pada peta masuk dalam KRB I yang berarti Kabupaten Magelang adalah daerah yang mempunnyai heterogenitas Kawasan Rawan Bencana yang berarti mempunyai heterogenitas kerentanan terhadap bencana sehingga mempunyai penyikapan yang heterogen pula dalam menghadapi bencana. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : ASESMEN KERENTANAN DAN KAPASITAS DESA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA DI KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI KABUPATEN MAGELANG. 1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas dapat diidentifikasi permasalahan yang timbul sebagai berikut :1. Dalam skala nasional, wilayah rawan bencana di Indonesia cukup luas, tidak

hanya ancaman banjir dan tanah longsor, negara ini mempunyai daerah potensi bencana yang terletak di sepanjang jalur gunung berapi yang melintang di Pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. 2. Faktor yang menentukan kesiapan masarakat diantaranya adalah pemahaman yang salah terhadap bencana alam dan kondisi geografis yang bervariasi.3. Intensitas meletusnya Gunung Merapi yang tinggi tidak menurunkan aktivitas

masyarakat daerah sekitar lereng. 4. Masyarakat perlu mengenali dan memahami potensi bencana di wilayahnya masing-masing. 5. Semua Kawasan Rawan Bencana dianggap sama kebutuhan upaya pengurangan risikonya.

1.3.

Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi penyimpangan dari persoalan pokok dan untuk mendukung hasil yang baik, penulis membatasi hal-hal sebagai berikut :1. Kerentanan Kawasan Rawan Bencana dapat memperbesar ancaman terhadap

daerah tersebut. 2. Permasalahan yang berdampak besar untuk masyarakat perlu diberi perhatian lebih.3. Kapasitas Kawasan Rawan Bencana Kabupaten Magelang berbeda-beda

antara satu daerah dengan daerah lainnya.4. Tindakan/aksi pengurangan risiko bencana kepada Kawasan Rawan Bencana

seringkali kurang tepat dan tidak disesuaikan dengan kondisi daerahnya.5. Tindakan/aksi pengurangan risiko bencana kepada Kawasan Rawan Bencana

seringkali tidak sesuai yang dibutuhkan pada daerah tersebut. 1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang dan pembatasan masalah maka dapat dirumuskan sebagai berikut:1. Bagaimana kerentanan Kawasan Rawan Bencana terhadap erupsi Gunung

Merapi di Kabupaten Magelang?2. Bagaimana prioritas kerentanan Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Magelang?3. Bagaimana kapasitas Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten

Magelang?4. Bagaimana tindakan/aksi pengurangan risiko bencana yang akan dilakukan

masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang?5. Bagaimana prioritas tindakan/aksi pengurangan risiko bencana Kawasan

Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang?

1.5.

Tujuan Penelitian dan Sasaran Penelitian

Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui tujuan dari penelitian sebagai berikut:1. Mengetahui kerentanan Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Magelang2. Mengetahui prioritas kerentanan Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Magelang3. Mengetahui kapasitas Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Magelang4. Mengidentifikasi tindakan/aksi pengurangan risiko bencana yang akan

dilakukan masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang5. Mengetahui prioritas tindakan/aksi pengurangan risiko bencana yang akan

dilakukan masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang 1.6. 1.6.1. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan tentang kajian ilmu geografi. b. Penelitian ini merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teori-teori yang telah diperoleh di bangku kuliah dalam penerapannya di lapangan. c. Bagi referensi peneliti yang lain di masa yang akan datang. 1.6.2. Manfaat Praktis

a. Sebagai salah satu informasi kerentanan dan kapasitas Kawasan Rawan

Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang.b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat terhadap bencana.

c. Sebagai

masukan

bagi

pemerintah

untuk

perencanaan

Program

Kesiapsiagaan Berbasis Masyarakat dan Program Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat.