bab i

Upload: irfan-abd-gafar

Post on 10-Jul-2015

430 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Derasnya arus globalisasi, sebagai salah satu bentuk perubahan yang terjadi saat ini, bukan hanya memberikan pengaruh terhadap persoalan bisnis semata melainkan juga berdampak bagi kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Mantja (2002) menyatakan globalisasi itu dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya berdampak juga bagi pelaksanaan pembangunan di masa yang akan datang. Perubahan global mengakibatkan dunia seakan-akan tanpa batas (borderless world) telah melahirkan gaya hidup baru (a new way oflife) dengan ciri kehidupan yang dilandasi penuh persaingan sehingga menuntut masyarakat dan organisasi membenahi diri mengikuti perubahan-perubahan cepat tersebut (Tilaar, 1998, 2002). Apabila suatu organisasi, termasuk organisasi sekolah, tetap mempertahankan status quo atau menolak suatu perubahan, maka institusi itu akan tertinggal dari arus perubahan. Sebab, tanpa disadari perubahan itu akan terus berubah (Zamroni, 2000). Berkenaan dengan perubahan dan tantangan masa depan itu, Yudohusodo (2004) mengemukakan beberapa pandangan para ahli sebagai berikut. Pertama, Gibson (1977) menyatakan; (a) masa depan kita nanti akan berbeda dengan masa lalu,

10

kebijakan tersebut belum diimplementasikan secara maksimal sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis, dari segi substansi manajemen, ada tiga bentuk kendala yang seringkah dijumpai dalam implementasi kebijakan pendidikan (Baedhowi, 2004). Kendala tersebut berkaitan dengan hal; (a) mengelola manusia {managingpeople), (b) mengelola organisasi (managing organization, dan (c) mengelola perubahan dan transisi (managing change and tramition). Kendala dalam hal mengelola manusia misalnya berkaitan dengan resistensi orang-orang terhadap perubahan yang dilakukan dalam pengembangan organisasi. Kendala mengelola organisasi antara lain bersumber dari kurangnya kemampuan pengelola untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan secara efektif. Kemudian, permasalahan pokok berkaitan dengan upaya mengelola perubahan dan transisi tersebut dinyatakan Baedhowi (2004) bahwa ketika perubahan yang diinginkan itu terjadi jarang sekali dipikirkan bagaimana mengelola perubahan (managing change) itu agar tetap terjaga dan selalu meningkat secara dinamis. Akibatnya, kita seringkah dihadapkan pada perubahan yang hanya sekejap dan setelah itu hilang, dalam arti kembali lagi seperti sebelumnya. Sebagai contoh, perubahan yang hanya muncul sekejap itu dapat dilihat dan bcr bagai kegiatan, antara lain pelatihan (training) yang diharapkan dapat memberikan suatu perubahan, baik dalam pola pikir maupun dalam melaksanakan I/P(rioton cA^on,Kori T Intul' tYialz-csi/H yonrr cotno QiiKal^ir Anr\ Qonon /OHO 1 \ tWglUUAil JV11U11 ll.C4.lt. VJUIU1V 111U1VJUU JUUgJ JU111U, Jui/uivn UU1I uupui 1 ^iV/V 1 f

11

mengemukakan bahwa sudah menjadi tradisi bahwa perubahan dan inovasi pendidikan sering tampak berhasil ketika diujicobakan dan kemudian sirna begitu saja ketika ujicoba telah berakhir. Hal di atas menunjukkan perubahan yang dilakukan dalam pengembangan organisasi tidak terencana (unplanned change) sehingga implementasi kebijakan tidak berjalan secara berkelanjutan (unsustainably). Hal itu juga terjadi karena tidak ada komitmen yang kuat baik secara individu maupun kelembagaan untuk melaksanakan program pengembangan organisasi yang sudah ditetapkan. Keadaan yang digambarkan tersebut, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Harvey (dalam Suharyadi, 2004:1) yaitu: People think that ifthe Japanese have problems, they are quick t o take decision. Actually they are not, infact they are extremely slow to take dec isian, bui once a decision is take n, everyone is so committed t o do it, and know exactly what they have to do, so they can move at about three times the pace that we do. They spend the time to get the commitment, and the commitment is got by masses of mteraction. Paparan pendapat Harvey tersebut menunjukkan betapa tingginya komitmen orang-orang Jepang untuk melaksanakan suatu keputusan yang sudah diambil. Hal tersebut merupakan faktor penting dalam pengembangan organisasi dengan / pendekatan Manamejen Berbasis Sekolah sehingga perubahan yang berkelanjutan (sustamable change) dan peningkatan mutu (quality improvement) dapat terwujud. Penelitian-penelitian tentang pengembangan organisasi agak jarang dilakukan apalagi pada jenjang sekolah dasar. Bahkan, kecenderungan penelitian selama ini lebih banyak mengkaji proses dan substansi manajemen

12

pendidikan, misalnya, dan variabel-variabel kepemimpinan, supervisi, budaya organisasi, keefektifan organisasi, iklim sekolah, motivasi, semangat kerja, kinerja guru, kurikulum dan pembelajaran, dan prestasi belajar. Dengan kata lain, persoalan pengembangan organisasi agak kurang mendapat perhatian para peneliti. Pada hal, dilihat dari kerangka kebijakan pendidikan pengembangan organisasi merupakan persoalan strategis yang harus dilakukan terutama pada tataran implementasi suatu kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah pada SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri di Kota Cendekia. Berdasarkan wawancara dan hasil observasi pada saat studi pendahuluan, ketiga latar penelitian ini telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah sejak tahun 2003. Lebih rinci dapat dikemukakan hal- hal sebagai berikut: Pertama, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah mengacu pada tiga pilar, yaitu: manajemen sekolah dan transparansi, pembaruan metode pembelajaran, dan peranserta masyarakat (Hasil wawancara dengan guru tanggal 6 Mei 2005). Pengembangan organisasi ditujukan untuk membentuk budaya sekolah yang kuat sehingga menghasilkan pendidikan yang bermutu. Pengembangan ketiga pilar di atas dilakukan dengan cara melakukan berbagai perubahan. Misalnya, perubahan struktur di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri bukan hanya tampak dan pembentukan Dewan

13

Sekolah, melainkan juga sudah dibentuk paguyuban pada masing-masing kelas (di SD Negeri Mandiri organisasi wali murid pada tingkat kelas ini disebut dengan Forum Kelas). Perubahan tugas-tugas, sebagai konsekuensi dari perubahan struktur dan pola manajemen sekolah, tampak dan bertambahnya bobot dan intensitas tugas baik yang berkaitan dengan tugas-tugas manajemen sekolah maupun tugas personel sekolah. Sebagai implikasi dan penerapan Manajamen Berbasis Sekolah, manajemen sekolah dilakukan secara demokratis sesuai kewenangan terbatas yang diberikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Saat ini, sekolah mulai berupaya melakukan perubahan- perubahan atas dasar kemauan sendiri. Program sekolah disusun berdasarkan analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan serta keputusan diambil bersama dengan melibatkan personel sekolah, orang tua dan masyarakat. Perubahan teknologi tampak dan penerapan metode pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Pajangan kelas yang dibuat dan hasil karya murid sebagai salah satu ciri PAKEM terlihat lebih menonjol di SD Negeri Cerdas dan SD Negeri Mandiri. Selain intervensi terhadap struktur, tugas, dan metode pembelajaran, pengembangan organisasi di ketiga latar penelitian ini juga memberikan perlakuan terhadap guru melalui pelatihan dan studi banding guna meningkatkan kemampuan guru untuk mengimplementasikan program pembaruan yang dikembangkan. Terkait dengan hal ini, SD Negeri Mandiri lebih cenderung melakukan upaya "menjemput bola" yang tampak dari inisiatif melakukan sendiri kegiatan seminar dan lokakarya pada saat libur.

14

Kedua, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah tidak mudah diwujudkan karena muncul sikap resistensi terhadap perubahan yang dilakukan. Menurut kepala sekolah, pada awal pengembangan organisasi tampak adanya keengganan dan muncul resistensi dan kalangan guru (Wawancara tanggal 5 April 2005). Di bagian latar belakang masalah sudah dikemukakan, bahwa kecenderungan orang akan menolak perubahan (resistance to change). Hal ini disebabkan karena terjadi proses transisi manajemen sekolah dan paradigma lama ke yang baru. Resistensi guru terhadap pengembangan organisasi pada ketiga situs penelitian ini tampak dari alasan-alasan yang disampaikan, seperti tugas-tugas banyak, terlalu sibuk dan program yang lalu masih belum selesai sementara yang baru datang lagi. Ketiga, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah mulai menunjukkan suatu kemajuan. Hal ini, tampak dari upaya-upaya peningkatan mutu yang dilakukan sekolah, transparansi manajemen sekolah, penciptaan proses pembelajaran yang efektif, dan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam mendukung program sekolah. Berkenaan dengan hal tersebut wali murid menyatakan bahwa saat ini sudah tampak kemajuan di sekolah, manajemen sekolah lebih transparan dan partisipasi masyarakat lebih aktif (Wawancara tanggal 28 April 2005). Kemajuan awal yang dicapai tidak terlepas dari kemauan berkembang atas keinginan sendiri yang dimiliki oleh personel sekolah dan dukungan wali murid masyarakat. Indikasi ini pulalah yang mendorong

15

sekolah-sekolah atau instansi lain, baik yang berasal dari wilayah Kota Cendekia maupun sekolah-sekolah dari propinsi lain di Indonesia, berkunjung ke tiga sekolah tempat penelitian ini dilaksanakan guna mempelajari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah.. Terakhir, adanya resistensi terhadap pengembangan organisasi telah dipahami oleh kepala sekolah terutama menyangkut alasan-asalan mengapa terjadi resistensi. Menurut kepala sekolah, munculnya resistensi karena para guru sudah terbiasa dengan pola lama (Wawancara tanggal 5 April 2005). Hasil pemahaman tersebut dijadikan dasar untuk mencari solusi bagaimana cara menghadapi resistensi itu (overcoming resitance to change). Alasannya adalah, pengembangan organisasi dengan melakukan berbagai perubahan adalah penting bagi peningkatan keefektifan organisasi itu, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana memperlakukan orang-orang dalam organisasi atas dasar pemahaman ilmu perilaku (behavioral science) yang benar sehingga resistensi terhadap perubahan dapat diatasi. Ini berarti, keberhasilan pengembangan organisasi dicapai dengan tidak mengorbankan kepentingan dan kepuasan anggota organisasi. B Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah pada tiga SD Negeri di Kota Cendekia. Fokus tersebut dirinci menjadi sub-sub fokus sebagai berikut:

16

1. Gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri, yang meliputi; (a) manajemen sekolah dan transparansinya, (b) metode pembelajaran, (c) peranserta masyarakat, dan (d) budaya sekolah.2. Resistensi terhadap pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen

Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.3. Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.4. Faktor pendorong dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:1. Gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri, yang meliputi; (a) manajemen sekolah dan transparansinya, (b) metode pembelajaran, (c) peranserta masyarakat, dan (d) budaya sekolah.

17

2. Resistensi terhadap pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen

Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.3. Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan organisasi dengan

pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.4. Faktor pendorong dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah di SD Negeri Cerdas, SD Negeri Cermat, dan SD Negeri Mandiri.D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan teori mengenai pengembangan organisasi sekolah dan mendorong peneliti lain untuk mengkajinya lebih lanjut sehingga dapat memperkaya teori pengembangan organisasi yang sudah ada.2. Memperluas pemahaman tentang pengembangan organisasi dengan pendekatan

Manajemen Berbasis Sekolah. Hasil pemahaman ini dapat dipakai sebagai sumber informasi bagi kepala sekolah dalam mengelola pengembangan organisasi3. Bahan masukan bagi guru dalam mengimplementasikan program

pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah,

18

khususnya penerapan pembelajaran aktif, efektif, kreatif, dan menyenangkan (PAKEM) di sekolah dasar.4. Hasil penelitian ini berguna pula bagi pengambil kebijakan, seperti; pengawas

sekolah, dan kepala dinas pendidikan kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi sebagai bahan masukan dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah khususnya di sekolah dasar.5. Bahan masukan bagi pengurus Dewan Sekolah, Paguyuban/Forum Kelas, dan

orang tua murid untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. E. Definisi Operasional 1. Pengembangan organisasi adalah usaha jangka panjang yang dilakukan secara terencana untuk meningkatkan keefektifan sekolah. Konsep pengembangan organisasi dalam penelitian ini mengacu pada makna kualitas, yaitu peningkatan keefektifan sekolah dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah yang mengacu pada tiga pilar, yaitu (a) manajemen sekolah dan transparansinya, (b) metode Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), dan (c) peranserta masyarakat. Pengembangan ketiga pilar tersebut diarahkan untuk membentuk budaya sekolah yang menunjang pencapaian tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Pengembangan pilar manajemen sekolah dan transparansinya serta peranserta masyarakat dilakukan dengan cara perbaikan struktur organisasi

19

sebagai salah satu fokus perubahan dalam pengembangan organisasi. Kemudian, pengembangan metode PAKEM merupakan wujud dan perubahan teknologi dalam pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi terwujud bilamana resistensi yang muncul dipahami dan diatasi dengan baik. Hal ini merupakan fokus lain dari pengembangan organisasi, yaitu intervensi terhadap aspek individu/manusia. Di samping itu, dalam penelitian ini juga dipelajari faktor pendorong implementasi program pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. 2. Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan keefektifan sekolah. 3 Resistensi adalah respons guru terhadap program yang diimplementasikan dalam pengembangan organisasi yang dapat berupa keengganan atau penolakan. Hal ini muncul karena kekhawatiran guru terhadap berbagai konsekuensi dari program pembaruan yang dikembangkan.4. Otonomi sekolah adalah kebebasan terbatas yang dimiliki sekolah untuk

mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan hak, wewenang, dan kewajiban dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian otonomi sekolah bukanlah merupakan independensi yang terlepas dari ketentuan yang berlaku.

20

5. Dewan Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat

pada tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Nama organisasi ini jelas berbeda dengan apa yang disebut School Board Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat 3, seharusnya organisasi ini disebut Komite Sekolah (,School Committee) Namun, dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 pada bagian A poin 2 diatur tentang Acuan Pembentukan Komite Sekolah bahwa nama Komite Sekolah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, antara lain dinamakan Dewan Sekolah. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, maka di wilayah Kota Cendekia organisasi yang mewadahi peranserta masyarakat di tingkat sekolah disebut dengan Dewan Sekolah. dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu, (b) dengan adanya tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi/institusi yang berbeda {new time cal! for new organizations) dengan ciri efisiensi yang tinggi, dan kecepatan bergerak, (c) dengan berbagai perubahan yang terjadi setiap organisasi atau institusi perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju (where do we go next). Kedua, Senge (1994) juga mengatakan bahwa ke depan teijadi perubahan dari kompleksitas detail menjadi kompleksitas dinamik yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan tidak menentu. Ketiga, Kanter

3

(1994) menyatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran kosmopolitan dan setiap pelakunya (di berbagai bidang) termasuk bidang pendidikan dituntut memiliki konsep, kompetensi, relasi, dan kepercayaan diri. Perubahan dan tantangan masa depan yang digambarkan di atas mengisyaratkan organisasi untuk selalu melakukan penyesuaian dalam berbagai aspek, dalam hal ini disebut pengembangan organisasi (organizational development). Organisasi yang mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan dan mengisi peluang yang ada akan mampu bertahan hidup (survive) dan berkembang ke arah yang lebih baik (Gitosudarmo & Sudita, 2000). Bahkan lebih dari itu, Stoner (1982:379) menyatakan "managing such change effectively is not on/y a necessity for organizational surviva/ hut also a challengeIni berarti, kelangsungan hidup dan kemajuan suatu organisasi tergantung kepada kemampuan organisasi itu untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah merupakan ciri utama organisasi yang berhasil (Steers, 1977; Bennis dalam

BAB n KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan secara berurutan kajian teoretis tentang (1) pengembangan organisasi, mencakup (a) pengertian, dan (b) fokus perubahan dalam pengembangan organisasi, (2) Manajemen Berbasis Sekolah, terdiri dan (a) dasar pemikiran, (b) pengertian, dan (c) hasil kajian tentang implementasi Manajemen Berbasis Sekolah, (3) pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah, yang meliputi (a) pilar pengembangan organisasi, (b) resistensi terhadap pengembangan organisasi, (c) cara mengatasi resistensi, dan (d) faktor pendorong dalam pengembangan organisasi. A. Pengembangan Organisasi 1. Pengertian Sebagai bagian dan sistem yang lebih besar, sekolah sebagai suatu organisasi tidak bisa melepaskan diri dan pengaruh sistem-sistem lainnya itu yang secara terus menerus berubah. Hal ini berarti, organisasi berada dalam lingkungan yang selalu berubah (Stoner, 1982). Keadaan ini menuntut organisasi sekolah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan itu. Upaya penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan organisasi (organizationcil development). Sebelum membahas lebih lanjut mengenai konsep pengembangan organisasi, terlebih dahulu dikemukakan pengertian pengembangan organisasi menurut pendapat para ahli. Fullan, Miles dan Taylor (dalam Owens, 1991:223), setelah melakukan studi yang komprehensif terhadap pengembangan organisasi di sekolah-sekolah Amerika dan Canada, mengemukakan definisi tentang pengembangan organisasi sebagai berikut:

20

Organization development in school districts is a coherent, systematically-planned, sustained effort at system self-study and improvement, focusing explicitly on change in formal and informal procedures, processes, norms or structures, using behavioral science concepts. The goals o f O D mclude bot h the quality o f life of individuals as well as improving organizational functiomng and performance. Konsep pokok yang terkandung dalam pengertian di atas adalah; pengembangan organisasi di sekolah merupakan upaya perbaikan secara sistematik, terencana, dan berkelanjutan yang difokuskan pada perubahan prosedur formal dan informal, proses, norma atau struktur. Tujuan pengembangan organisasi di sekolah bukan hanya untuk meningkatkan fungsi dan kinerja organisasi, melainkan juga peningkatan kualitas kehidupan individu-individu yang menjadi anggota organisasi. Cummings dan Worley (2001:2) mengemukakan pula beberapa definisi pengembangan organisasi dengan mengutip pendapat para ahli, yaitu: 1. Organization development is a planned process of change in organization 's culture through the utilization of behavioral science technology, research, and theory.(Warner Burke).2. Organization development refers to a long-range effort to improve an

organization 's problem-solving capabilities and its ability to cope with changes in its external environment with the help of external or internal behavioral-scientist consultants, or change agents, as they are sometimes c#//ec/.(Wendell French).3. Organization development is an effort (1) planned, (2) organization-wide,

and (3) managedfrom the top, to (4) increase organization effectiveness and health through (5) planned mterventions in the organization 's "processes " using behavioral science ttow/ec/ge.(Richard Beckhard). Selain tiga definisi pengembangan organisasi yang sudah dikemukakan di atas, Cummings dan Worley juga mengutip definisi keempat dari ahli lain sebagai berikut: 4. Organization development is a systemwide process ofdata collection, diagnosis, action planning, intervention, and eva/uation aimed at (1) enhancing congruence among organizational structure, process, strategy, people, and culture; (2) developing

new and creative organizational solutions; and (3) developing the organization 's self-renewing capacity. 11 occurs through the collaboration of organizational members working with a change agent using behavioral science theory, research, and technology.{M\c\Ya.Q\ Beer). Masing-masing definisi di atas memberikan penekanan yang berbeda. Misalnya, definisi Burke (dalam Cummings & Worley, 2001) memfokuskan perhatian pada kultur sebagai target perubahan; definisi French (dalam Cummings & Worley, 2001) dikaitkan dengan usaha jangka panjang perbaikan organisasi dan penggunaan konsultan; dan definisi Beckhard dan Beer (dalam Cummings & Worley, 2001) ditujukan pada proses pengembangan organisasi. Di samping terdapat perbedaan sudut pandang, ada pula kesamaan dan definisi pengembangan organisasi itu yakni melakukan perubahan secara berencana untuk memperbaiki kineija organisasi. Bila disimak lebih teliti lagi, dalam berbagai definisi pengembangan organisasi terdapat beberapa konsep pokok, yaitu; (1) pengembangan organisasi didasarkan pada pengetahuan dan praktek ilmu perilaku (behavioral science), (2) pengembangan organisasi berkaitan dengan mengelola perubahan terencana (managingplannedchange), (3) fokus perubahan dalam pengembangan organisasi ditujukan pada strategi, struktur, tugas, teknologi, dan manusia terutama penlaku individu yang membangun kultur organisasi (organizational culture), (4) pengembangan organisasi memerlukan intervensi baik internal maupun eksternal, dan (5) pengembangan organisasi berorientasi pada peningkatan keefektifan organisasi {organization effectiveness) (Lippit, 1982; Stoner, 1982; Indrawijaya, 1983; Hanson, 1991; Owens, 1991; Robbins, 1996; Siagian, 2000; Cummings & Worley, 2001;

23

Sutarto, 2002; Thoha, 2002; Jones, 2004; http://www.toolpack.com/ services.html, diakses tanggal 9 Februari 2005; Wibowo, 2006). Berangkat dari beberapa definisi pengembangan organisasi yang sudah dikemukakan, maka konsep pengembangan organisasi dalam penelitian ini adalah usaha terencana untuk peningkatan keefektifan organisasi dengan mengadopsi pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah sehingga menghasilkan budaya sekolah yang menunjang terhadap pencapaian tujuan. Pengembangan organisasi mengacu pada tiga pilar, yaitu (1) manajemen sekolah dan transparansinya, (2) PAKEM, dan (3) peranserta masyarakat. Pengembangan ketiga pilar tersebut dilakukan melalui perbaikan struktur organisasi/tugas, perbaikan metode (teknologi), dan intervensi terhadap individu/manusia yang tercakup dalam cara mengatasi resistensi terhadap pengembangan organisasi sebagai wujud penggunaan ilmu perilaku (behavioral science theory). Selanjutnya, ada tiga istilah pokok yang perlu dijelaskan, yaitu pengembangan, perubahan dan pembaruan (inovasi). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002) dijelaskan bahwa pengembangan adalah upaya peningkatan yang menjurus kepada sasaran yang dikehendaki, perubahan adalah hal (keadaan) berubah atau peralihan dan suatu keadaan, dan pembaruan inovasi) adalah pengenalan atau penemuan sesuatu yang baru atau berbeda dan eadaan sebelumnya. Dalam konsep pengembangan tercakup makna perubahan dan pembaruan, sedangkan dalam konsep perubahan dan pembaruan belum tentu atau bahkan tidak tercakup makna

pengembangan. Namun demikian, pengembangan dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan dan/atau pembaruan. Kajian tentang pengembangan organisasi tidak bisa terlepas dan perubahan. Bahkan, hampir semua ahli berpendapat bahwa pengembangan organisasi bertujuan melakukan perubahan (Indrawijaya, 1983; Thoha, 2002). Pengembangan organisasi merupakan suatu respons terhadap perubahan (Bennis dalam Luthans, 1981; Buchanan & Huczynski, 2004). Dalam kaitan itu pula, Brown dan Harvey (2006:4) menyatakan "OD is a planned strategy to bring about organizational change." Sementara itu, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1995) menyatakan pengembangan organisasi sebagai teknik manajenal untuk mengimplementasikan perubahan penting dalam organisasi. Berdasarkan hal tersebut, maka uraian mengenai perubahan dalam penelitian ini hanya berada dalam kerangka pikir pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi lebih banyak menekankan pada perubahan secara menyeluruh dan mendasar bukan hanya perubahan cara keija, melainkan proses dan sikap memahami persoalan, membuat keputusan, dan perlakuan terhadap orang-orang dalam organisasi. Dengan kata lain, pengembangan organisasi bukan hanya mengadakan perubahan (change) dalam struktur dan prosedur organisasi saja, melainkan juga termasuk kultur organisasi (Owens, 1991; Cummings & Worley, 2 31. Thoha, 2002). Bahkan secara tegas dikemukakan, jika perubahan hanya terjadi ;j.am susunan dan prosedur organisasi saja sedangkan kultur organisasi tetap sama, maka itu bukan merupakan perubahan dalam kerangka pengembangan organisasi. -:am prakteknya, pengembangan organisasi mencakup sepuluh konsep yang bercirikan; (a)

25

tujuan pengembangan organisasi, (b) pembaruan sistem, (c) suatu pendekatan sistem, (d) berfokus pada manusia, (e) suatu strategi pendidikan, (f) belajar melalui perilaku yang dialami, (g) berkaitan dengan masalah nyata, (h) suatu strategi terencana, (i) agen perubahan, dan (j) melibatkan pimpinan tingkat atas (Owens, 1991). Tujuan utama pengembangan organisasi adalah untuk perbaikan fungsi organisasi itu sendiri. Peningkatan produktivitas dan keefektifan organisasi memberikan implikasi terhadap kapabilitas organisasi dalam membuat keputusan- keputusan berkualitas dengan melakukan perubahan terhadap struktur, tugas-tugas, teknologi, dan sumber daya manusia. Pendekatan utama terhadap hal ini adalah mengembangkan budaya organisasi yang dapat memaksimalkan keterlibatan orang- orang dalam organisasi dalam membuat keputusan yang lebih efektif. Usaha-usaha pengembangan organisasi pada umumnya diarahkan pada dua tujuan akhir (Robbins, 1984), yaitu; (1) peningkatan keefektifan organisasi, dan (2) peningkatan kepuasan anggota-anggotanya. Lebih lanjut, ia merinci tujuan pengembangan organisasi sebagai berikut: (a) meningkatkan tingkat kepercayaan dan dukungan di antara anggota-anggota organisasi, (b) meningkatkan timbulnya konfrontasi terhadap masalah-masalah organisasi, baik dalam kelompok maupun antara kelompok, kebalikan dari to sweepingproblems under the rug, (c) menciptakan lingkungan dimana otoritas peran yang ditetapkan ditingkatkan dengan otoritas berdasarkan pada pengetahuan dan keterampilan, (d) meningkatkan keterbukaan komunikasi secara horizontal, vertikal, dan diagonal, (e) meningkatkan tingkat antusiasme dan kepuasan personel dalam organisasi, (f) menemukan solusi yang

26

sinergis terhadap masalah, dan (g) meningkatkan tingkat responsibilitas diri dan kelompok dalam perencanaan dan implementasi. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah yang menjadi fokus penelitian ini adalah (1) meningkatkan kepercayaan dan peranserta dari stakeholders baik internal maupun eksternal dalam menunjang keberhasilan sekolah, (2) menciptakan iklim sekolah yang demokratis dengan menyelenggarakan manajemen sekolah secara transparan dan akuntabel, (3) meningkatkan tingkat antusiasme dan kepuasan personel dalam organisasi, (4) meningkatkan tingkat responsibilitas diri dan kelompok dalam perencanaan dan implementasi program pengembangan organisasi, (5) menciptakan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi peningkatan mutu lulusan, dan (6) menciptakan budaya sekolah yang kuat dengan ciri antara lain, memiliki komitmen yang tinggi untuk mewujudkan prestasi terbaik. Bertitik tolak dari beberapa pendapat di atas, ada beberapa aspek pokok yang perlu dicatat berkaitan dengan pengembangan organisasi. Pertama, pengembangan organisasi merupakan suatu proses bukan kejadian yang datang secara tiba-tiba. Artinya, pengengembangan organisasi dilakukan secara sengaja, terencana dan menempuh langkah-langkah yang sistematis. Kedua, dalam pengembangan organisasi terjadi proses transisi, yaitu pergerakan dari keadaan sekarang menuju keadaan baru yang diinginkan. Ketiga, sebagai proses transisi pengembangan organisasi menghadapi suatu keadaan yang tetap menginginkan status quo, sehingga perubahan terhadap

27

kondisi ini menimbulkan resistensi dari orang-orang yang terlibat dalam organisasi itu. Keempat, pengembangan organisasi mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan pengembangan organisasi secara umum adalah untuk mencapai tujuan organisasi itu sendiri. Di samping itu, tujuan pengembangan organisasi adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu (quality improvement), keefektifan, dan akuntabilitas organisasi terhadap stakeholders-nya. Ini berarti bahwa pengembangan organisasi yang dilakukan tidak dapat terlepas dari upaya untuk meningkatkan atau memperbaiki kineija organisasi. Pengembangan organisasi sekolah dapat dilakukan dengan cara mengadopsi ide-ide, model, cara, atau metode baru guna meningkatkan keefektifan organisasi (Owens, 1991). Ide-ide, model, metode atau cara baru yang diadopasi bisa saja berasal dari hasil analisis organisasi itu sendiri atau menerapkan suatu pendekatan yang telah dikembangkan oleh pihak lain. Hal ini tentu saja didasarkan atas pertimbangan bahwa pengadopsian tersebut dapat meningkatkan kualitas keluaran organisasi menjadi lebih baik. Pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan pengadopsian model manajemen sekolah yang pernah diterapkan di beberapa negara. Analisis implementasi pendekatan ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang bekeija sama dengan Bank Dunia. Berdasarkan hasil analisis itu, muncullah Kegiatan Rintisan Keija Sama segi tiga Pemerintah Republik Indonesia-UNESCO-UNICEF dalam program "Menuju Masyarakat Peduli Pendidikan Anak Menciptakan Mutu Pendidikan Dasar Melalui Manajemen Berbasis Sekolah dan Peranserta Masyarakat." Untuk merealisasikan program ini, sejak tahun 1999 telah

28

dilakukan pilot proyek di empat propinsi, yaitu; Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Dalam prakteknya, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah tetap didasarkan atas kemampuan sekolah masing-masing. 2. Fokus Perubahan dalam Pengembangan Organisasi Pengembangan organisasi didasarkan atas pandangan bahwa organisasi sebagai sistem. Oleh karena itu, fokus perubahan dalam pengembangan organisasi ditujukan pada elemen-elemen penting yang terdapat dalam organisasi itu. Menurut Leavitt (dalam Stoner, 1982; Owens, 1991), elemen-elemen dimaksud adalah; (a) struktur, teknologi, tugas, dan orang-orang. Saling ketergantungan antara elemen- elemen tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Elemen-elemen organisasi (diadaptasi dari Stoner, 1982.389)

29

Berdasarkan gambar 2.1, suatu perubahan dalam satu elemen organisasi akan mempengaruhi elemen-elemen lainnya. Dengan demikian, suatu perubahan yang efektif menyadari adanya interaksi elemen-elemen organisasi tersebut. Program perubahan yang berfokus hanya pada satu dan elemen-elemen organisasi itu memiliki kesempatan yang kecil untuk berhasil (Stoner, 1982). Terdapat berbagai pendapat ahli mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisasi dan masing-masing ahli melihat dari sudut pandang yang berbeda. Robbins (1996) melihat lingkup perubahan dalam pengembangan organisasi dan sisi apa yang dapat diubah oleh agen perubahan, Hanson (1991) melihat dan segi fokus perubahan, Steers (1977) meninjau dan aspek pendekatan yang digunakan dalam perubahan organisasi, Stoner (1982) memandang dari sudut variabel perubahan organisasi, dan Griffin dan Moorhead (1986) menguraikan dari sisi metode perubahan organisasi. Walaupun para ahli memandang fokus perubahan organisasi dan sisi yang berbeda, namun semua ahli tersebut sebenarnya ingin menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang dapat diubah dalam melakukan pengembangan organisasi sehingga kineija organisasi menjadi lebih baik. Berbagai pendapat para ahli mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisisasi dirangkum dalam tabel 2.1. Tabel 2.1. Rangkuman Pendapat Ahli tentang Fokus Perubahan dalam Pengembangan Organisasi

30

Steers (1977)

Stoner(1982)

1. Struktur dan Sistem

1. Struktur 2. Tugas 3. Teknologi

Griffin dan Moorhead (1986) 1. Struktural 2. Tugas dan teknologi 3. Kelompok dan individu

Hanson (1991) Robbins (1996)

1. Struktur 2. Tugas 3. Teknologi 4. Manusia

1. Struktur

2. Teknolog i i 3. Manusia

2.Pribadi individu 3. Iklim organisasi dan gaya pribadi individu

4. Manusia

4. Setting fisik

3

Schein, 1980; Tyson & Jackson, 1992; Gibson, Ivancevich & Donnely, 1996; Scheerens, 2000). Oleh karena itu, organisasi harus berubah (Morgan, 1993; Kotter, 1996). Kebutuhan untuk berubah sudah jelas, hal yang mungkin tidak begitu jelas adalah apa sebenarnya perubahan itu dan bagaimana caranya melakukan perubahan tersebut (Morgan, 1993). Apabila ketidakjelasan tersebut juga teijadi dalam dunia pendidikan, maka perubahan yang dilakukan tidak memberikan kontribusi terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Atas dasar itu, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Fungsi pendidikan tersebut diemban oleh setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan termasuk Sekolah Dasar sebagai bagian dari pendidikan dasar. Pendidikan dasar yang termasuk hak dari semua warga negara merupakan fondasi dari suatu masyarakat yang demokratis. Oleh sebab itu, pendidikan dasar yang bebas ifree basic education) harus dijadikan prioritas utama di dalam membangun suatu masyarakat Indonesia baru yaitu suatu masyarakat demokratis (Tilaar, 2002). Namun, dalam kenyataannya pendidikan masih menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu masalah pokok yang masih dihadapi dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan. Gambaran umum sebagai indikasi rendahnya mutu pendidikan Indonesia terlihat dan Human Development Index tahun 2004 yang menempatkan Indonesia berada di posisi 111 di bawah Malaysia (058), Thailand

30

Melihat perbandingan pendapat para ahli mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisasi sebagaimana tampak pada tabel 2.1, dapat dijelaskan bahwa secara umum terdapat kesamaan pandangan mengenai fokus perubahan dalam pengembangan organisasi. Perbedaan pandangan terlihat pada pendapat Robbins (1996) yang memasukkan unsur setting fisik dalam perubahan organisasi. Sebenarnya, perubahan setting fisik merupakan bagian dari perubahan struktur dan tugas, artinya perubahan struktur organisasi dan tugas-tugas yang sudah dilakukan diikuti dengan perubahan setting fisik tempat orang-orang atau anggota organisasi itu bekerja. Hal yang tidak jauh berbeda juga tampak pada pendapat yang dikemukakan Steers (1977). Walaupun Steers tidak menyatakan aspek perubahan yang berkaitan dengan tugas secara eksplisit, namun perubahan sistem yang dimaksudkan oleh Steers berkaitan dengan tugas-tugas, prosedur keija dan kebijakan guna mendukung perubahan struktur organisasi. Sementara itu, perubahan individu dan iklim organisasi termasuk ke dalam aspek perubahan yang ditujukan kepada manusia atau anggota- anggota organisasi, Griffin dan Moorhead (1986) menyebut hal ini dengan istilah perubahan individu dan kelompok. Menurut Steers (1977), perubahan organisasi dapat ditujukan terhadap aspek ndividu, kelompok, dan aspek organisasi. Aspek individu berhubungan dengan .nggota organisasi sebagai pribadi sehingga memerlukan strategi yang bersifat r' badi pula. Sementara itu, aspek kelompok menyangkut hubungan antar pribadi ^ng harus dibangun untuk mendukung proses perubahan. Terakhir, aspek organisasi - . -r.ubungan dengan unsur-unsur organisasional yang akan berpengaruh dalam proses perubahan.

31

Berdasarkan hal tersebut, ada tiga pendekatan umum yang dipakai untuk melakukan perubahan secara berencana, yaitu perubahan yang terutama ditujukan pada: (1) pribadi individu, (2) struktur dan sistem organisasi, dan (3) iklim organisasi dan gaya hubungan antar pribadi (Steers, 1977). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2. Leavitt (dalam Stoner, 1982) menyatakan bahwa pengembangan organisasi dapat dilakukan dengan cara mengubah strukturnya, teknologinya, dan atau manusianya. Perubahan struktur mencakup penyusunan kembali sistem internalnya, seperti garis komunikasinya, alur kerja, atau hirarki manajerial. Perubahan teknologi berarti mengubah peralatan, teknik memproses, atau metode produksi. Perubahan terhadap orang-orang dalam organisasi mencakup perubahan seleksi, pelatihan, hubungan, sikap, atau peran anggota organisasi. Perubahan terhadap orang-orang dalam organisasi bukan merupakan hal yang mudah dibandingkan dengan perubahan struktur, tugas, atau teknologi. '7/7 any change, it is usually easier t o change the structures and system than to change the culture. " (Tee, 2003:38). Walaupun ada beberapa fokus perubahan yang dilakukan dalam rangka pengembangan organisasi, namun perlu diingat bahwa "The premise of organizational development is: Orgamzations are social systems m which people are strongly influenced hy the rgamzationa/ culture. Therefore, the most potent tool for improvemen/ is cultural . hange(http://www.toolpack.com/services.html, diakses tanggal 9 Februari 2005). Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan budaya merupakan hal ^ngesensial dalam pengembangan organisasi. Dengan demikian,

32

pendekatan -engembangan organisasi hendaknya memberikan penekanan pada perubahan budaya Tabel 2.2. Rancangan Perubahan dalam Pengembangan Organisasi Aspek Teknik Intervensi Hasil Langsung Asumsi Mengenai Perubahan yang Dituju Penyebab Utama Perilaku dalam Organisasi Pribadi Individu Edukasi, pendidik Perbaikan tingkat Perilaku dalam an/latihan, sosiali keterampilan sikap organisasi sasi, perubahan dan motivasi terutama sikap manusia ditentukan oleh karakteristik setiap anggota organisasi Struktur dan Modifikasi prak Menciptakan kon Perilaku dalam sistem organisasi tek, prosedur dan disi yang menim organisasi kebijakan yang bulkan dan mem terutama berlaku, yang berikan imbalan ditentukan oleh mempengaruhi apa pada prestasi ang karakteristik yang dikerjakan gota yang mem situasi organisasi orang dalam tugas perlancar tercapai tempat orang nya tujuan bekerja organisasi Iklim organisasi Teknik eksperimen Menciptakan iklim Perilaku dalam dan gaya yang ditujukan un keseluruhan organisasi hubungan antar tuk meningkatkan organisasi yang terutama pribadi kesadaran anggota bercirikan tingkat ditentukan oleh akan faktor kepercayaan antar proses emosi dan penentu sosial dari pribadi dan sosial yang perilaku mereka keterbukaan yang mencirikan dan membantu tinggi, mem hubungan antara mereka perkecil para anggota mempelajari cara konsekuensi organisasi baru untuk disfungsi dan kon bereaksi dan flik sosial dan per berhubungan satu saingan yang amat sama lain dalam ketat konteks organisasi

33

organisasi (organizational culture) yang mempengaruhi cara orang-orang bekerja. Alasannya adalah karena keefektifan organisasi dapat diwujudkan apabila didukung oleh budaya organisasi yang kuat.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka fokus perubahan dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dikaji dari sisi perbaikan struktur organisasi sekolah, yaitu dengan membentuk Dewan Sekolah dan Paguyuban/Forum Kelas. Pengkajian fokus perubahan tersebut berada dalam kerangka perbaikan manajemen sekolah dan transparansinya serta peningkatan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, fokus perubahan teknologi dilihat dari pembaruan metode pembelajaran dengan penerapan metode PAKEM, dan fokus perubahan individu/manusia dipelajari dan cara-cara yang digunakan kepala sekolah untuk mengatasi resistensi terhadap pengembangan organisasi. B. Manajemen Berbasis Sekolah 1. Dasar pemikiran Dasar pemikiran dari SBM diartikulasikan oleh Carnegie Foundation (Hanson, 1991), yaitu; (1) sentralisasi yang terlalu berlebihan, pengawasan secara birokratik terhadap sekolah-sekolah mesti diakhiri, (2) kepemimpinan lokal yang efektif adalah sangat penting, dan (3) tiap sekolah harus diberi kebebasan dan persyaratan yang fleksibel untuk merespons secara kreatif tujuan pendidikannya secara menyeluruh guna memenuhi kebutuhan para siswa. Gerakan Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pengalihan otontas pengambilan keputusan atau mengurangi cara-cara pengambilan keputusan secara terpusat yang sudah menjadi kebiasaan di masa lalu. Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah erat kaitannya dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Desentralisasi merupakan sa'ah

35

satu isu yang amat populer pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia sebagai dampak reformasi di segala bidang termasuk pendidikan (Mantja, 2002). Pada satu desentralisasi pengelolaan pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang e-gandung ekspektasi, namun di sisi lain desentralisasi belum tentu dapat menjamin .-a;-a peningkatan mutu pendidikan. Penyebabnya adalah karena implementasi desentralisasi masih menimbulkan berbagai kekhawatiran, seperti konsentrasi ek jasaan pada beberapa orang atau golongan seperti pada sistem sentralistik, . ^-iN-adilan dan ketidak-jujuran jangan-jangan malah lebih sentralisasi (Hamidjojo, I Oleh karena itu, menurut Nurhadi (2004), pergeseran wewenang yang begitu r^i: sebagai dampak dari desentralisasi pemerintahan seharusnya diikuti dengan -_eseran paradigma dalam seluruh aspek manajemen pendidikan tingkat -r--e-;olahan di daerah yang semula dikelola secara lebih sentralistik sekarang harus e r h didesentralisasikan. Di samping itu, ada kemungkinan desentralisasi pendidikan -5tru dapat menimbulkan jurang yang makin lebar antara si kaya dan si miskin aar, 2000). Melihat berbagai fenomena desentralisasi tersebut, maka . entralization is necessary bui not sufficient t o improve the quahty of education. " ~ aar. 2000:88). Ada berbagai alasan yang mendorong perlunya desentralisasi pendidikan, a Nur (2001) menyimpulkan rasional desentralisasi ke dalam tiga aspek, yaitu; (a) _:istratif, (b) politik, serta (c) ideologi dan filsafat. Inti dan pendapat tersebut : .ukakan sebagai benkut. Pertama, pertimbangan administratif menitikberatkan - -atian pada efisiensi

pencapaian tujuan pendidikan dan berupaya menghilangkan a.banan dalam praktek manajemen pendidikan. Sentralisasi telah menimbulkan sikap patuh yang pasif (passive comformity), yaitu adanya keterikatan secara kaku terhadap aturan dalam melaksanakan tugas sehingga berkurang sikap inovatif. Kedua, secara politis perkembangan zaman menuntut adanya keikutsertaan dan wewenang daerah dalam pengambilan keputusan, yang jika dipertahankan sistem lama dapat berdampak munculnya kekacauan. Terakhir, secara ideologi dan filsafat munculnya desentralisasi didasarkan atas keyakinan pemberian otonomi yang lebih besar mendorong tercapainya tujuan yang diinginkan baik oleh individu maupun masyarakat. Di samping faktor-faktor di atas, menurut Soetopo (2004a) terdapat sejumlah faktor yang mendorong desentralisasi di bidang pendidikan di Indonesia, yaitu; (1) terjadinya tuntutan reformasi di segala bidang, termasuk bidang manajemen pendidikan, (2) kurangnya persaingan antar daerah dalam memajukan pendidikan karena tuntutan nasional yang seragam, (3) tuntutan masyarakat untuk mandiri sesuai dengan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan dan memajukan bidang pendidikan, (4) ketidaksesuaian tuntutan nasional dengan potensi sumber daya di daerah, (5) adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat atas pendanaan, kurikulum, fasilitas, sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pendidikan, (6) kurangnya kreativitas daerah, sekolah, dan apalagi dari personel penyelenggara dan pelaksana pendidikan, akibat rasa takut melanggar aturan dari pihak atasan, dan (7) kurangnya kemandirian lembaga pengelola dan pelaksana pendidikan karena besarnya ketergantungan kepada pemerintah pusat.

37

Menurut Hamidjojo (2000), agar desentralisasi pendidikan dapat diterapkan dengan baik diperlukan sejumlah persyaratan krusial yang perlu dipenuhi, yaitu: 1. Pola dan asas keija harus demokratis berlandaskan nilai-nilai dasar desentralisasi. Dalam menerapkan desentralisasi harus mampu menghapus segala bentuk diskriminasi politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, SARA dan ekses anarcho-ethnocentrism. 2. Pemberdayaan rakyat dalam pendidikan harus menjadi tujuan utama, bukan semata-mata kewibawaan atau kekuasaan pemerintah daerah. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, karena itu yang diperlukan adalah usaha empowerment. Manajemen desentralisasi bukan hanya memperhatikan stakeholders tetapi justru berfokus pada peranserta seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun mekanisme hubungan kerja antarkomponen strategis di daerah dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas.3

Pelayanan harus lebih cepat dan efisien. Kualitas pelayanan yang diberikan mestinya dapat menghapus persepsi negatif dari penerapan sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan selama ini.

4

Keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihidupkan sebagai akar yang kokoh demi tegaknya sistem pendidikan nasional dan negara kesatuan.

2. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah Terdapat berbagai istilah yang dipakai berkaitan dengan Manajemen Berbasis Sekolah {School BasedManagement). Dalam berbagai literatur, istilah-istilah yang digunakan dalam membahas School-Based Management adalah; Shared Decision

Makmg, Si t e-Based Management, School-based Decision Making, Self-Managmg X hool, School Empowerment, Shared Governance, School-based Governance, Decentralized Authority, School-site Autonomy, Responsible Autonomy, dan Administrative Decentralization (Lindquist & Mauriel, 1989; Hanson, 1991; Caldwell & Spinks, 2003; Ceperley, Cistone, Fernandez & Tornillo, Johnston & Germinario, Lewis, dalam Cotton, 1992; Mohrman, Wohlstetter & Associates, 1994; Cromwell, 2000). Manajemen Berbasis Sekolah pada hakikatnya adalah pemberian kewenangan dan tanggung jawab pengambilan keputusan kepada kepala sekolah dengan melibatkan partisipasi individual, baik personel sekolah maupun anggota masyarakat. Dengan demikian, penerapan Manajemen Berbasis Sekolah akan membawa perubahan terhadap pola manajemen pendidikan dan sistem sentralisasi ke desentalisasi. Artinya, fungsi-fungsi manajemen sekolah yang semula dikerjakan oleh pemerintah pusat/dinas pendidikan propinsi/dinas pendidikan kota/kabupaten, sebagian dari fungsi itu dapat dilakukan oleh sekolah secara profesional (Depdiknas, 2002a). Lebih lanjut dikemukakan, dampak perubahan pola manajemen tersebut terhadap sekolah adalah; (1) sekolah bersifat otonom dan berkedudukan sebagai unit utama (selama ini sekolah ditempatkan sebagai subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah bersifat marginal), (2) personel sekolah dan anggota masyarakat dapat meninggalkan perilaku rutinitas dengan menunjukkan perilaku mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif, integratif, sinkronistis, kooperatif, luwes, dan profesional, dan (3) peran sekolah yang

39

selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh birokrasi) disesuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-din tinggi (self-motlvator). Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tentang Manajemen Berbasis Sekolah yang dikemukakan oleh para ahli. Malen, Ogawa dan Kranz (dalam Ogawa & White, 1994:56) mengemukakan definisi Manajemen Berbasis Sekolah sebagai berikut: School-based management can be viewed conceptual/y as a formal alteration of governance structures, as a form ofdecentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision-making authority as the primary means through which improvements might be stimulated and sustained. Some formal authority t o make decision in the domains of budget, personnel and program is delegated to and often distributed among site-level actors. Some formal structure (council, committee, team, board) often composed of principals, teachers, parents, and at times, student and community residents is created so that site participants can be directly involved in school-wide decision making. Menurut Office of Educational Research and Improvement (OERI) dari the US Departemen of Education (dalam Sutjipto, 2001:7), pengertian Manajemen Berbasis Sekolah adalah sebagai berikut: A strategy to improve education by transferring significant decision- making authority from state and district offices to individual school, provide principals, teachers, students, parents greater control over the education process by giving them responsibility for decision about the budget, personnel, and the curriculum. Hal pokok yang terkandung dalam pendapat di atas adalah, bahwa sekolah merupakan unit utama dalam peningkatan mutu pendidikan dan oleh karena itu ekolah harus diberi otoritas dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, Marburger dalam Lindquist dan Maunel, 1989:404) menyatakan pula batasan mengenai ''.majemen Berbasis Sekolah dari sisi pendelegasian kekuasaan dan keputusan,

:engan pernyataan sebagai berikut: SBM is defined as a decentralized organizational structure in which the power and decisions formerly made by the superintendent and school board are delegated to the teachers, prmcipal, parents, community members, and students of the local school. Konsep yang terkandung dalam definisi yang dikemukakan Malen, Ogawa dan Kranz (dalam Ogawa & White, 1994) tentang SBM sekolah dipandang sebagai unit utama peningkatan mutu. SBM menurut OERI (dalam Sutjipto, 2001) merupakan strategi peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberikan otoritas pembuatan keputusan kepada sekolah. Sementara itu, SBM menurut Marburger (dalam Lindquist dan Mauriel, 1989) merupakan desentralisasi struktur organisasi. Pada hakikatnya, konsep SBM berdasarkan ketiga pendapat tersebut adalah pendelegasian otoritas pengambilan keputusan kepada sekolah. Untuk mendukung peran dan posisi tersebut dilakukan pembagian otoritas pengambilan keputusan. Beberapa otoritas formal pembuatan keputusan yang dimiliki sekolah menyangkut anggaran, personel dan program yang didelegasikan dan didistribusikan kepada aktor-aktor di tingkat sekolah. Selain itu, untuk meningkatkan partisipasi personel sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dibentuk dewan atau komite sekolah yang beranggotakan kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat. Dengan demikian, personel sekolah, orang tua dan masyarakat, di samping mempunyai tanggung jawab yang besar dapat melakukan kontrol yang lebih luas terhadap proses pendidikan di sekolah. Terdapat beberapa prinsip yang melekat dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan dengan dewan sekolah yang melibatkan konstituen sekolah akan menumbuhkan rasa memiliki bagi konstituen itu,

(2) otoritas didelegasikan from the school board to central administration to the school building to the site council, dan (3) implementasi sistem pembuatan keputusan terdesentralisasi akan mendatangkan sumber-sumber (076) bahkan Filipina (083), (Jawa Pos, 2004). Keadaan khusus pada jenjang pendidikan dasar, terlihat dari hasil studi yang dilakukan oleh lembaga International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan kemampuan membaca murid Sekolah Dasar Indonesia berada pada urutan ke-38 dan 39 negara yang diteliti (Hadiyanto, 2004). Penyelesaian permasalahan di atas menuntut adanya perhatian serius dari pemenntah dengan mengkaji secara sistemik berbagai faktor strategis penyebab rendahnya mutu pendidikan. Permasalahan mutu pendidikan yang masih rendah bukan hanya muncul saat ini saja, melainkan sudah merupakan masalah yang berlangsung cukup lama. Menurut Sutjipto (2004), secara kasatmata dapat dilihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia mengalami krisis yang dalam, telah berlangsung dalam kurun waktu lama dan terus menerus yang antara lain disebabkan oleh mismanagement. Mantja (2002) melihat persoalan di atas terkait dengan dua pertanyaan mendasar, yaitu; (a) apakah aktualisasi kegiatan pendidikan berpijak pada landasan yuridis dan kebijakan pelaksanaannya?, dan (b) apakah kegiatan pendidikan dikerjakan atas dasar manajenal dan oleh personel yang memiliki keterampilan manajemen pula?. Lebih khusus lagi, Bafadal (2003) menyatakan peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar hanya akan terjadi secara efektif bilamana dikelola melalui manajemen yang tepat. Selanjutnya ia memandang bahwa selama ini peningkatan mutu pendidikan cenderung melalui manajemen yang sentralistik.

6

Selanjutnya, berdasarkan berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara pembiayaan secara signifikan (Lindquist & Mauriel, 1989). Otonomi dan kewenangan sekolah yang memadai dapat meningkatkan efektivitas sekolah serta memberikan beberapa keuntungan, seperti; (a) kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua siswa, dan guru, (b) pemanfaatan sumber daya lokal menjadi lebih optimal dalam penyelenggaraan sekolah, (c) keefektifan melakukan pembinaan peserta didik, seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah, dan (d) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, mengelola sekolah, merancang ulang sekolah, dan melakukan perubahan terencana (Sagala, 2004). Implementasi SBM di sekolah mempunyai konsekuensi terhadap perubahan pola manajemen sekolah dan pola lama ke pola baru (Depdiknas, 2002a). Perubahan aspek-aspek manajemen sekolah tersebut digambarkan dalam tabel 2.3. Dilihat dari sisi proses kebijakan, implementasi merupakan transisi dan keadaan sosial, politik, dan ekonomi sebelum kebijakan dianut kepada konfigurasi baru yang berbeda (Sutjipto, 1987). Sebagai proses transisi, pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dihadapkan pada keadaan vang menginginkan status quo dan faktor lain yang menghendaki perubahan. Mohrman, Wohlstetter dan Associates (1994:50) menyatakan: The transition itself a substancial commitment of time, and money for staff development, mnovation, and the development of the organizational infrastructure to support this

new way of functioning. Oleh karena itu, pengembangan organisasi dengan rendekatan Manajemen Berbasis Sekolah harus dilakukan secara berencana.

41

Tabel 2.3. Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan Subordinasi Pengambilan keputusan terpusat --------- Otonomi partisipatif Ruang gerak kaku Pendekatan birokratik Sentralistik Diatur Overregulasi Mengontrol Mengarahkan Menghindari resiko : Gunakan uang semuanya ------------ ------------ w Pendekatan profesional Desentralistik ------------ Motivasi diri Deregulasi Mempengaruhi ------------ Memfasilitasi -----------Mengelola resiko Gunakan uang seefisien mungkin Individual yang cerdas Informasi terpribadi Pendelegasian ! Organisasi hirarkis Teamwork yang cerdas Informasi terbagi Pemberdayaan Organisasi datar Ruang gerak luwes

------------ Pengambilan keputusan

, rubahan berencana terjadi melalui tiga tahap, yaitu; (1) unfreezing the system rpreparing it for change, (2) imtiating the change, dan (3) refreeztng, or stabihzmg :. svstem after the change is unplemented (Duncan & Kurt Lewin dalam Sutarto, 2001 191). "Unfreezing" adalah merubah atau membongkar kebiasaan, dan tradisi lama -Daya mereka siap untuk menerima alternatif-alternatif baru. "Unfreezing" terjadi

42

.pabila kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan ditingkatkan atau kekuatankekuatan yang melawan perubahan dikurangi. Pada suatu ketika akan terjadi situasi individu telah cocok untuk berubah sehingga mereka siap untuk menerima pola-pola perilaku baru. Proses "changmg" sebagian besar timbul karena adanya "identification" yang timbul apabila suatu model diterapkan dalam lingkungan organisasi. "Internalization" timbul apabila individu ditempatkan dalam situasi perilaku baru dan mereka dituntut untuk berhasil melakukan tugas itu. "Refreezing" merupakan proses dimana perilaku yang baru diperoleh telah berintegrasi dengan pola perilaku dan kepribadian individu. 3. Hasil kajian tentang implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam hal anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian (Tim Penulis Direktorat TK/SD, Pusat Kurikulum, UNESCO & UNICEF, 2003). Selanjutnya, studi yang dilakukan di El Salvador, Meksiko, Nepal dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Namun, contoh lain yang ada di Indonesia adalah hasil analisis Program Ujicoba Pemberdayaan Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan Sekolah Dasar di DKI Jakarta, yang dilakukan atas keqa sama Lembaga Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun anggaran 1998/1999 menunjukkan bahwa "pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah masih sangat sulit, perlu waktu dan keberanian untuk berubah, mengingat

43

selama puluhan tahun manajemen sekolah bersifat sentralistis." (Tilaar, 2002:43). Berdasarkan keadaan tersebut, hal utama yang direkomendasikan oleh Tim Ujicoba untuk diubah adalah manajemen tingkat pejabat atau birokrat, karena seluruh manajer sekolah hingga saat ini masih "sangat patuh" dengan pimpinan, sehingga jika ada hal-hal yang bersifat inovatif mereka sangat takut untuk mengubahnya, karena dipandang tidak sesuai dengan standar baku yang ditetapkan. Di luar negeri, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengembangan organisasi telah banyak dilakukan. Mort (dalam Kimbrough dan Burkett, 1990) telah melakukan penelitian tentang proses perubahan terencana di awal tahun 1950-an. Hall dan Hord (1987) meneliti perilaku kepala sekolah dan peningkatan sekolah yang berhasil pada the Reseacrh and Development Center for Teacher Education at the uversity ofTexas, Austin. Fokus penelitiannya diarahkan pada Change Facilitator Sty le. Firestone dan Corbett (dalam Cotton, 1992) meneliti "Planned Organizational hange " dengan fokus how the change process should be managed so as to lead to r sitive results. Menurut Cotton (1992), Mutchler juga telah melakukan penelitian tentang "Eight Barriers to Changing Traditional Behavior" Prestin dan Bowen 1993) memfokuskan penelitiannya pada asesmen perubahan di empat sekolah dalam usaha restrukturisasi pendidikan. Hasil penelitian Lewin, Coch, French, Benne dan Chin (dalam Schein, 1980) menunjukkan bukti bahwa salah satu cara terbaik untuk membantu melaksanakan perubahan ialah dengan melibatkan sistem yang terkena angsung ke dalam proses pengambilan keputusan. Semakin banyak sistem itu berpartisipasi dalam menentukan bagaimana mengelola suatu perubahan, semakin

44

urang kemungkinannya untuk menentang perubahan itu, dan semakin mantaplah perubahan itu teijadi. Hasil penelitian klasik tentang how resistance to change may be managed\ dikemukakan Robbins (1984:184), yaitu: "There is a strong beliefheld by those people actively engaged in OD that changes are more likely to be accepted by individuals who have been given a voice in determining the content and process of the change". Selanjutnya, Goodlad (dalam Owens, 1991) melakukan penelitian tentang problem of personal and institutional renewal m education. Demikian pula penelitian Fullan, Miles dan Taylor tentang penilaian usaha-usaha OD, seperti dilaporkan Owens (1991). Hasilnya menunjukkan proyek OD bersifat parsial, tidak tuntas, aktivitas berlangsung jangka pendek karena kurangnya perencanaan dan diperlukan usaha berkelanjutan untuk sukses. Di samping itu, penelitian-penelitian yang mengkaji tentang implementasi kebijakan School Based Management juga telah banyak dilakukan di luar negeri. Lindquist dan Mauriel (1989) melakukan penelitian dengan judul School Based Management: doomed to failure?. Data penelitiannya membuktikan, terdapat tiga masalah yang umumnya muncul sebagai hambatan pengembangan SBM, yaitu; (1) kekeliruan konseptual dalam pengembangan SBM, (2) kurangnya motivasi untuk mendelegasikan otoritas ke sekolah-sekolah, dan (3) persyaratan yang berat tentang waktu dan keterampilan yang dituntut dalam implementasi SBM. Temuan lainnya, berdasarkan data ia mengakui bahwa (a) SBM memerlukan suatu perubahan dalam gaya manajemen sekolah, dan (b) tidak adanya dukungan yang kuat oleh pengawas merupakan bukti council's conflict dengan dewan. Selanjutnya, Cotton (1992) telah

45

mereview 42 buah penelitian tentang implementasi SBM. Misalnya, Site-Based ' fanagement: Its Potential for Enhancmg Learner Outcomes yang dilakukan Arterbury dan Hord (1991), School Based Management: Are We Ready? oleh Caldwell dan Wood (1988), dan School BasedManagement/Shared Decision Making in Dade County (Miami) oleh Cistone, Fernandez dan Tornillo (1989). Penelitianpenelitian tersebut lebih memfokuskan pada hakikat dan hasil Manajemen Berbasis Sekolah. Berdasarkan kepustakaan yang teijangkau, di Indonesia terdapat pula beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengembangan organisasi. Penelitian terkait, antara lain, dilakukan oleh Bafadal (1994). Ia meneliti proses perubahan di sekolah dasar yang difokuskan pada; (1) proses implementasi inovasi pendidikan ditinjau dari pengubahan latar struktural dan tingkah laku, (2) faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi inovasi, dan (3) peran agen perubahan dalam proses implementasi inovasi. Aswandi (2001) meneliti Perubahan Organisasi Perguruan Tinggi Swasta dari Manajemen Keormasan ke Manajemen Profesional, dengan fokus; proses perubahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Lengkong (2004) meneliti Strategi Perbaikan Sekolah Berdasarkan Perspektif Guru pada tiga SLTP di Minahasa dengan fokus proses perbaikan internal individual guru dan dampak dan proses perbaikan internal guru terhadap perbaikan kineija sekolah. C. Pengembangan Organisasi dengan Pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah Uraian berikut ini mencoba mengelaborasi konsep pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah berdasarkan kajian teoretis yang

46

sudah dikemukakan sebelumnya. Hal ini sekaligus merupakan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan. Ada pertanyaan pokok yang perlu dijawab, yaitu apa yang dikembangkan elakukan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasisv

r ah Bafadal (2003:93) menyebutkan aspek yang dikembangkan dalam --_;emen

Berbasis Sekolah ini dengan "empat pilar keberhasilan MPMBS a-a/emen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah), yaitu (1) peningkatan mutu, (2) . .andinan, (3) partisipasi, dan transparansi". Supriadi (2004:19) menyatakan bahwa ''BS pada dasarnya adalah MBS yang secara khusus diarahkan pada upaya r*r- ngkatan mutu pendidikan (quality-improvement orientedSBM)". Kemudian mencermati apa yang sudah diterapkan pada sekolah-sekolah yang dijadikan fra* ujicoba MBS, maka ada tiga pilar yang dikembangkan yaitu (a) manajemen : - h. i b) metode pembelajaran dengan menerapkan metode PAKEM, dan (c) -. -erta masyarakat (Subakir & Sapan, 2001). Berdasarkan pada pendapat- r-;- _i?at tersebut, maka kajian pengembangan organisasi dengan pendekatan - - emen Berbasis Sekolah dalam penelitian ini mengacu pada tiga pilar berikut i i manajemen sekolah dan transparansi, (2) metode pembelajaran, dan (3) . - ^rta masyarakat. Setelah pembahasan ketiga pilar tersebut, selanjutnya . . - an mengenai budaya sekolah sebagai sasaran pengembangan organisasi.

47

Manajemen sekolah dan transparansi Ada beberapa argumen perlunya perbaikan atau peningkatan manajemen ah dan transparansi. Hal ini sesuai dengan ide dasar yang melandasi lahirnya - _ emen Berbasis Sekolah, bahwa selama ini secara institusional sekolah kurang _ --ca;. akan dalam penyelenggaraan pendidikan, memiliki kewenangan yang sangat . - - kurang melibatkan personel sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan kurang transparan dalam pengelolaan keuangan (Marburger, dalam Lindquist & Mauriel, 1989; Hanson, 1991; Mohrman, Wohlstetter & Associates, 1994; Subakir & Sapan, 2001; Depdiknas, 2002a; Mulyasa, 2005). Pengembangan manajemen sekolah dititikberatkan pada aspek kemandirian sekolah dengan ciri utama pada keterbukaan atau transparansi (Subakir & Sapari, 2001; Bafadal, 2003; Supriadi, 2004). Kemandirian sekolah dipengaruhi antara lain oleh sampai sejauh mana kevvenangan yang diberikan dinas pendidikan kepada -ekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Alasannya adalah karena salah satu konsep pokok Manajemen Berbasis Sekolah adalah pelimpahan kewenangan kepada -ekolah dalam pengambilan keputusan (Marburger dalam Lindquist & Mauriel, 1989; L ndquist & Mauriel, 1989; Hanson, 1991; Sutjipto, 2001; Depdiknas, 2002a). Kewenangan terbatas yang dimiliki sekolah harus dimanfaatkan secara efektif efisien. Oleh karena itu, kepala sekolah perlu melibatkan personel sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah, maka pola pengambilan keputusan ditekankan pada partisipasi personel sekolah dan masyarakat (Malen, Ogawa & Kranz dalam Ogawa &

48

White, 1994; Depdiknas, 2002a; Nurkolis, 2003; Sagala, 2004). Pelibatan personel r -;olah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dimulai dari penyusunan encana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), pelaksanaan, dan . .iluasi program sekolah. Untuk mewujudkan hal di atas, maka pengembangan manajemen sekolah : akukan dengan cara merubah struktur organisasi, tugas-tugas, dan prosedur atau - ' anisme keija. Kesemuanya itu diawali dengan perubahan struktur organisasi Komite Sekolah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pembentukan struktur tersebut diikuti dengan perubahan tugas-tugas dan mekanisme keija antara sekolah dan Komite Sekolah. Penyelenggaraan manajemen sekolah yang memiliki ciri keterbukaan atau transparansi merupakan salah satu ciri dari sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (Subakir & Sapan, 2001; Depdiknas, 2002a; Direktorat TK/SD, Puskur, UNESCO & UNICEF, 2003; Bafadal, 2003; Supriadi, 2004). Transparansi manajemen sekolah dilakukan dengan cara menyampaikan program yang akan dilaksanakan sekolah dan melaporkan hasil pelaksanaan/evaluasinya, termasuk masalah keuangan. Berkenaan dengan hal ini, Subakir dan Sapari (2001) menyatakan: Kepala sekolah sebagai pemimpin puncak di sekolah bahkan tidak tanggung-tanggung dalam menerapkan transparansi manajemen keuangan. RAPBS disusun bersama guru, pengurus BP3, dan masyarakat. Hasilnya dipajang di tempat terbuka dan dengan mudah dibaca oleh siapapun. Bahkan banyak SD yang memberikan kepercayaan sepenuhnya masalah keuangan BP3 kepada bendahara BP3 yang berasal dari 'orang luar' (baca: bukan guru).

49

Pendapat di atas mempunyai arti bahwa dalam pengembangan organisasi dengan Manajemen Berbasis sekolah, sekolah telah melakukan perubahan dengan mewujudkan transparansi manajemen sekolah terutama menyangkut keuangan -ekolah. Hal ini sekaligus merupakan bentuk akuntabilitas sekolah kepada masyarakat. Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah diharapkan dapat berlangsung secara efektif dan efisien. 2. Pembaruan metode pembelajaran Salah satu fokus perubahan dalam pengembangan organisasi berkaitan dengan teknologi. Istilah teknologi mempunyai banyak arti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teknologi dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut: Metode bersistem untuk merencanakan, menggunakan dan menilai seluruh kegiatan pengajaran dan pembelajaran dengan memperhatikan, baik sumber teknis maupun manusia dan interaksi keduanya sehingga mendapatkan bentuk pendidikan yang lebih efektif. Perubahan teknologi dalam kerangka pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah dilakukan dengan cara penerapan metode pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Pembaruan metode rembelajaran menjadi bagian dari pembaruan sistem yang merupakan salah satu ciri rengembangan organisasi (Owens, 1991). Hal tersebut sesuai pula dengan ;rakteristik Manajemen Berbasis Sekolah pada aspek proses belajar mengajar, yaitu _danya usaha sekolah untuk meningkatkan kualitas belajar siswa (Depdiknas, 2002a). karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan proses belajar mengajar (Mulyasa, 2005). Berdasarkan

50

uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembaruan metode pembelajaran dengan penerapan metode PAKEM merupakan bagian dari kerangkan pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Selanjutnya, dikemukakan bahwa pengenalan, pengembangan, dan penerapan PAKEM dimaksudkan untuk memperbaiki proses pembelajaran dengan asumsi semuanya itu akan dapat memperbaiki mutu/hasil lulusan (Direktorat TK/SD, Puskur, UNESCO & UNICEF, 2003). Pembaruan metode pembelajaran tersebut mempunyai konsekuensi terhadap perubahan tugas-tugas guru dalam mengelola pembelajaran mulai dan

5

merata (Depdiknas, 2002a; Tim Penulis Direktorat TK & SD, Pusat Kurikulum, UNESCO & UNICEF, 2003). Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana pendidikan telah dilakukan, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terwujud. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik. Dampak dari manajemen yang sentralistik tersebut dikemukakan Bafadal (2003:37) sebagai berikut: Peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar tetap tidak banyak mengalami keberhasilan, karena selain tidak sesuai dengan kondisi sekolah, juga tidak dibarengi oleh upaya-upaya dari sekolah yang bersangkutan. Peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar akan terjadi bilamana ada kemauan dan prakarsa dari bawah, di mana kepala sekolah, guru kelas, orang tua siswa, komite sekolah berkemauan dan bekerja keras berupaya mengembangkan programprogram peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Ketiga, peranserta warga sekolah, khususnya guru, dan peranserta masyarakat, khususnya orangtua siswa, dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan, antara lain, pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi dan akuntabilitas. Sampai saat ini, upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan kelihatan masih terfokus pada faktor pertama (menggunakan pendekatan education production function). Sementara itu, upaya-upaya untuk mengatasi faktor penyebab kedua dan ketiga tampaknya kurang mendapat perhatian pemerintah selama ini.

50

merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasinya. Implikasi dari semua itu adalah diperlukan kesiapan guru menerima pembaruan dan kesiapan pengetahuan serta kemampuan untuk mengimplementasikan program pembaruan itu dalam bentuk tindakan nyata di kelas. Menurut Direktorat TK/SD, Puskur, UNESCO & UNICEF (2003) ada tujuh kemampuan guru yang diperlukan untuk mendukung penerapan PAKEM, yaitu kemampuan; (a) merancang dan mengelola kegiatan belajar mengajar yang mendorong beragam siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran, (b) menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan, (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan, (e) menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa, (f) mengaitkan kegiatan belajar mengajar dengan pengalaman-pengalamannya sendiri, dan (g) menilai kegiatan belajar mengajar dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus. 3. Peningkatan peranserta masyarakat Pendidikan bukan hanya kewajiban pemerintah, sekolah dan guru, tetapi juga ~enjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat (Direktorat TK/SD, Puskur, ^ESCO & UNICEF, 2003). "Peranserta masyarakat merupakan salah satu aspek >_ -;: ig dalam Manajemen Berbasis Sekolah" (Subakir & Sapari, 2001:13; Mulyasa, 1 28) Selama ini, peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan . iang masih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Diknas RI (dalam > _r hclis, 2003) menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian guru tingkat partisipasi orang tua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih rendah (rata-rata

51

57,1%) dan sangat rendah dalam hal menentukan kebijakan program sekolah dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan iklim sekolah. Partisipasi orang tua siswa yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iyuran BPS per bulan dan sumbangan uang gedung untuk siswa baru. Oleh karena itu, peranserta masyarakat merupakan salah satu pilar dalam pengembangan organisasi dengan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah. Pada satu sisi, peranserta masyarakat adalah penting, namun di sisi lain esarnva partisipasi masyarakat dalam pengelolaan tersebut, mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua, dan masyarakat M -Kasa, 2003). Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu merumuskan secara jelas ,-genai bentuk partisipasi dan tugas oprasional organisasi yang mewadahi ->. >erta masyarakat tersebut. Sebagai acuan yang dirujuk untuk peningkatan r. -anserta masyarakat adalah pasal 54 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, yang . . askan bahwa peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peranserta . -angan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi k - -i'akatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan : : an.Selanjutnya, dalam pasal 56 dinyatakan bahwa masyarakat berperan _ - r-eringkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, . - asan, dan evaluasi program pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan < ~ e vekolah/Madrasah. ~:uk meningkatkan peranserta masyarakat dilakukan perubahan organisasi yang mewadahinya. Perubahan tersebut dilakukan dengan cara membubarkan

52

organisasi BP3 dan membentuk organisasi baru yang disebut Komite Sekolah. Dalam pasal 56 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.ini berarti, perubahan struktur organisasi yang mewadahi peranserta masyarakat telah diikuti dengan perubahan tugas-tugas yang akan dijalankan oleh Komite Sekolah. Persoalannya adalah apakah perubahan struktur dan tugas-tugas tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. 4. Budaya sekolah sebagai sasaran pengembangan organisasi Robbins (1984:171) berpendapat "organizationa/ culture is a perception, bui :f exis(s m the organization, not m the individual. Berdasarkan hal tersebut, individundividu dengan latar belakang yang berbeda atau tingkatan yang berbeda dalam rganisasi cenderung menjelaskan budaya organisasi dalam istilah-istilah yang sama. Pembicaraan mengenai budaya berkaitan dengan "the behavioral norms, .. ang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Bogdan dan Biklen (1998), bahwa analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan penyusunan transkrip wawancara, catatan lapangan, dan materi lainnya yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman sehingga memungkinkan seseorang menyajikan apa-apa yang telah ditemukannya. Selanjurnya menurut Muhadjir (1996), analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara mduktif konseptual, yaitu melalui kegiatan menelaah data, mendata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensistesis, mencari pola dan menemukan apa yang bermakna untuk selanjurnya disusun menjadi suatu teori

82

substansi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif dengan menempuh tiga langkah, yaitu; (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Hubennan, 1994). Reduksi data merupakan bentuk analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak diperlukan, dan mengorganisasikannya sehingga kesimpulan akhir dapat dirumuskan. Menseleksi data secara ketat, membuat ringkasan data dan rangkuman inti, merupakan kegiatan-kegiatan mereduksi data. Langkah selanjurnya adalah menyusun rangkuman inti ke dalam satuan-satuan untuk kemudian dikategorikan dengan cara membuat kode. Proses analisis data sebagai suatu siklus interaktif dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif, diadaptasi dan Miles & Hubennan (1994:12).

83

Pengkodean dibuat berdasarkan fokus penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, informan, dan situs penelitian. Pengkodean yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel 3.2. Tabel 3.2. Sistem Pengkodean Analisis Data No Aspek Pengkodean Kode . 1 Fokus Penelitian: Resistensi terhadap pengembangan organisasi RES CAR Cara mengatasi resistensi dalam pengembangan

2

3

4

organisasi Faktor Pendorong dalam pengembangan organisasi Gambaran sekolah setelah pengembangan organisasi Teknik Pengumpulan Data. Wawancara Observasi Dokumentasi Sumber Data: Kepala Sekolah Dewan Sekolah Pengawas Sekolah Kepala Dinas Pendidikan Guru Murid Wali Murid Penjaga Sekolah Pegawai Tatausaha Situs Penelitian SD Negeri Cerdas SD Negeri Cermat SD Negeri Mandiri

FAK BAR

W 0 D KS DS PS DP GM WM PJG TU

1 11 III

Pengkodean tersebut digunakan dalam kegiatan analisis data. Kode fokus penelitian digunakan untuk mengelompokkan data hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Kemudian, pada bagian akhir

84

catatan lapangan/transkrip wawancara dicantumkan; kode situs penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, tanggal, bulan dan tahun. Contoh penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, tanggal, bulan dan tahun. Contoh penerapan kode dan cara membacanya adalah sebagai berikut: I. W KS 04-04-05 SD Negen Cerdas Wawancara Kepala Sekolah ---------------- ^ -------------------------------------------------------------

Tanggal, bulan dan tahun --------------------------------------------------2 Analisis data lintas situs Analisis data lintas situs bertujuan untuk membandingkan dan memadukan temuan yang diperoleh dari masing-masing situs penelitian. Secara umum, proses analisis data lintas situs mencakup kegiatan sebagai benkut; (a) merumuskan proposisi berdasarkan temuan situs pertama dan kemudian dilanjutkan dengan situs kedua sampai situs ketiga, (b) membandingkan dan memadukan temuan teoretik sementara dari ketiga situs penelitian, dan (c) merumuskan kesimpulan teoretik berdasarkan analisis lintas situs sebagai temuan akhir dari ketiga situs penelitian. Kegiatan analisis data lintas situs dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.2. F Pemeriksaan Keabsahan Data Pemeriksaan keabsahan data dilakukan untuk memenuhi kritena yang dianjurkan Lincoln dan Guba (1985), yaitu; (1) kredibilitas (validitas internal), (2) transferabihtas (validitas eksternal), (3) dependabilitas (reliabilitas), dan (4)

85

Gambar 3.2. Kegiatan Analisis Data Lintas Situs

konfirmabilitas (objektivitas). Pemenuhan masing-masing kriteria keabsahan data tersebut diuraikan satu per satu sebagai berikut. Kredibilitas

86

Kredibilitas (validitas internal) dalam penelitian ini dipenuhi melalui c >?rapa kegiatan. Pertama, aktivitas yang dilakukan untuk membuat temuan dan- erpretasi yang akan dihasilkan lebih terpercaya yang terdiri dari; (a)

e- perpanjang masa observasi, (b) melakukan pengamatan yang terus menerus, dan melakukan triangulasi. Perpanjangan masa observasi dilakukan dengan maksud elen ekapi kekurangan-kekurangan data yang masih diperlukan untuk menyusun . ~ -an penelitian yang terpercaya. Tujuan lain, menurut Lincoln dan Guba -35 301). adalah: "Pro/ongedengagement is the invesment of sufficient time to iv certam purposes; leaming the culture, testing f or mi smformaUon mtroduced-