bab i
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menjamurnya praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini
kehidupan di Indonesia sangat ironis dengan banyaknya strategi yang telah
dirumuskan oleh berbagai lembaga pemerintahan seperti BPK, BPKP,
Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM seperti MTI dan ICW.
Seluruh strategi yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan
korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi
yang sudah menggejala. Menurut ICW (Indonesia Corruption Watch)
terdapat kasus korupsi kompleks yang belum tuntas, antara lain : (1) kasus
korupsi boikot Bank Century; (2) suap cek pelawat pemilihan deputi BI;
(3) Kasus Nazaruddin mengenai wisma atlet dan hambalang; (4) Kasus
mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia
yang lain; (5) Rekening gendut jenderal Polri.
Pendekatan akuntansi forensik akan sangat membantu dalam
menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya yang
berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang
telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para pelakunya.
Dihadapkan pada korupsi yang melibatkan praktik-praktik sistemik
dan melembaga membuat upaya dan strategi pemberantasan korupsi
2
menjadi semakin rumit. Strategi dalam pemberantasan korupsi setidaknya
harus memuat dua persyaratan yaitu adanya komitmen politik nasional
untuk memberantas korupsi dan adanya sejumlah aktivitas yang dapat
dilihat oleh masyarakat luas sebagai entry-point atau pintu masuk
pemberantasan korupsi.
Berbagai peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah
memuat komitmen politik secara resmi. Demikian pula komitmen politik
rakyat secara konkrit telah dibuktikan dalam banyak kegiatan unjuk rasa,
demonstrasi, diskusi, pernyataan pendapat, analisis dan saransaran yang
dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat yang menyatakan agar segera
dihapuskannya praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk
membuat makalah dengan judul “Peran Akuntansi Forensik dan
Pengungkapan Kasus Korupsi Wisma Atlet”.
1.2 Identifikasi Masalah
Bertitik tolak dari pokok permasalahan tersebut, maka penulis
mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
a. Apa itu peran akuntansi forensic?
b. Bagaimana peran akuntansi forensik dalam menganalisis kasus
korupsi Wisma Atlet?
3
1.3 Tujuan Pengkajian
Tujuan dari membuat karya tulis ini terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Tujuan objektif
1. Mengetahui peran akuntansi forensik dalam menganalisis
kasus korupsi Wisma Atlet
2. Mengetahui pengungkapan akuntansi forensik dalam
menganalisis kasus korupsi Wisma Atlet
b. Tujuan subjektif
Memenuhi tugas mata kuliah Audit Forensik di Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Bandung
1.4 Ruang Lingkup Kajian
Banyak aturan dan upaya pencegahan yang dilakukan oleh
pemerintan dan lembaga swadaya untuk membasmi/ memberantas korupsi,
tetapi tampaknya upaya tersebut ibarat menembus tembok yang sangat
tebal, hasilnya tidak maksimal, Kalaupun pelakunya tertangkap, tetapi
uang yang dikorupsinya tidak dikembalikan. Berkaitan dengan upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga yang komit
terhadap pemberantasan korupsi ada baiknya pemerintah dan lembaga
terkait dapat memaksimalkan tenaga profesional di bidang akuntansi
forensik dan audit forensik dalam upaya membantu memutuskan mata
rantai pelaku korupsi tersebut.
4
1.5 Cara Memperoleh Data
Penulis memperoleh data dengan cara pengkajian kepustakaan.
Sumber-sumber pustaka yang digunakan adalah literature yang berkaitan
dengan topik makalah ini. Literature yang dimaksud meliputi artikel-
artikel dari internet diantaranya :
http://www.google.co.id/
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam membuat Karya Tulis Ilmiah, penulis menyusun kerangka
menjadi empat bab. Tiap-tiap bab menjelaskan topik-topik yang harus
dibahas dalam bab yang telah ditentukan.
Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
ruang lingkup masalah, identifikasi masalah, tujuan pengkajian, ruang
lingkup pengkajian, postulat dan hipotesis, cara memperoleh data, dan
sistematika penulisan.
Bab II adalah landasan teori yang didalamnya terdapat bahasan
tentang teori-teori dari masalah yang dipilih oleh penulis.
Bab III berisi komentar, pendapat, serta analisis penulis mengenai
tuntutan rakyat kepada walikota.
Bab IV membahas tentang kesimpulan dari keseluruhan teori dan
pembahasan dari bab-bab sebelumnya yang telah ditulis.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Peran
Pengertian Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan
pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara
formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi
(ketentuan) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-
individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi
harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut
peran-peran tersebut. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam
suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam
maupun dari luar dan bersifat stabil (Fadli dalam Kozier Barbara, 2008).
2.2 Akuntansi Forensik
Hopwood, Leiner, & Young (2008) mendefinisikan Akuntansi
Forensik adalah aplikasi keterampilan investigasi dan analitik yang
bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah keuangan melalui cara-
cara yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan atau
hukum. Dengan demikian investigasi dan analisis yang dilakukan harus
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan atau hukum yang
6
memiliki yurisdiksi yang kuat. Hopwood, Leiner, & Young (2008),
menyatakan bahwa Akuntan Forensik adalah Akuntan yang menjalankan
kegiatan evaluasi dan penyelidikan, dari hasil tersebut dapat digunakan di
dalam pengadilan hukum. Meskipun demikian Akuntan forensik juga
mempraktekkan keahlian khusus dalam bidang akuntansi, auditing,
keuangan, metode-metode kuantitatif, bidang-bidang tertentu dalam
hukum, penelitian, dan keterampilan investigatif dalam mengumpulkan
bukti, menganalisis, dan mengevaluasi materi bukti dan menginterpretasi
serta mengkomunikasikan hasil dari temuan tersebut.
2.3 Pengungkapan
Secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dari
pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah
akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk
seperangkat penuh statemen keuangan. Evans (2003) dalam Suwardjono
(2008) juga menyatakan bahwa pernyataan manajemen dalam surat kabar
atau media masa lain serta informasi di luar ruang lingkup pelaporan
keuangan tidak termasuk dalam pengertian pengungkapan. Di sisi lain,
pengungkapan sering juga memaknai sebagai penyediaan informasi lebih
dari apa yang dapat disampaikan dalam bentuk statemen keuangan formal.
Selanjutnya, Evans (2003) dalam Suwardjono (2008) membatasi
7
pengertian pengungkapan hanya pada hal-hal yang menyangkut pelaporan
keuangan.
2.4 Korupsi
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan
merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968)
adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam
rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas
dengan berbagai macam modus.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat
dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari
seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan
yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
8
2.5 Wisma Atlet
Pengertian wisma atlet merupakan gabungan dari pengertian dari
atlet dan wisma, jadi wisma atlet merupakan tempat tinggal atau kompleks
perumahan yang diperuntukan bagi olahragawan yang akan mengikuti
pertandingan. Wisma atlet memiliki beberapa fasilitas, diantaranya adalah
hunian atlet, hunian pelatih, kantor pengelola, ruang makan, hall of fame,
lapagan pemanasan, ruang fisik, ruang rekreasi, fasilitas pendukung, ruang
servis.
9
BAB III
PERAN AKUNTAN FORENSIK DAN PENGUNGKAPAN KASUS
KORUPSI WISMA ATLET
3.1 Pengungkapan Kasus Korupsi Wisma Atlet
Kasus korupsi suap wisma atlet sangat menyita perhatian publik
(masyarakat). Hal ini dikarenakan para pelakunya adalah petinggi di
jajaran instansi pemerintahan dan anggota DPR. Pengusutan Kasus wisma
atlet ini berawal dari kasus proyek pembangunan jalan tol tengah di
Surabaya, Jawa Timur. Dari perkara itulah dari hasil pelacakan ditemukan
adanya persengkongkolan dalam proyek pembangunan wisma atlet di
Palembang. Awal mula Tim KPK melakukan penyelidikan proyek
pembangunan wisma atlet tersebut, atas usulan deputi penindakan KPK
berdasarkan pengembangan dari proyek yang berada di Surabaya.
Sesungguhnya pengusutan Kasus Proyek Wisma Atlet itu berawal
dari ketidak sengajaan. Pada bulan Maret 2011 terkait kasus Jalan Tol di
Surabaya. Pada bulan itu di Surabaya memang tengah ramai kasus Proyek
Tol Tengah. Pada Proyek tersebut terjadi perseteruan antara DPRD Kota
Surabaya yang setuju pembangunan tol dan Walikota yang menolak
Pembangunan. Pada akhirnya perseteruan itu dimenangkan oleh DPRD
Kota Surabaya, proyek pembangunan jalan Tol tengah tersebut hampir
mencapai 5 Trilliun, dan bakal dibiayai perusahaan konsorsium. Dengan
10
tetap menggunakan nama PT.MJT, saham perusahaan dibagi menjadi:
PT.Jasa Marga 55 %, PT.DGI 20 %, PT.PP 20 % dan PT.Elnusa 5 %. PT
DGI yang ikut dalam proyek ini adalah perusahaan yang kini bermasalah
dalam kasus pembangunan wisma Atlet.
3.2 Peran Akuntan Forensik
Akuntansi forensik menjadi perbincangan hangat di Indonesia
beberapa tahun belakang ini. Awal mulanya adalah pada bulan Oktober
1997, Indonesia telah menjajagi kemungkinan untuk meminjam dana dari
IMF dan World Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin
parah. Sebagai prasyarat pemberian bantuan, IMF dan World Bank
mengharuskan adanya proses Agreed Upon Due Dilligence (ADDP) yang
dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa akuntan Indonesia.
Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank Besar di
Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset
sebesar 28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%.
Temuan ini segera membuat panik pasar dan pemerintah yang berujung
pada likuidasi 16 bank swasta. Likuidasi tersebut kemudian diingat
menjadi langkah yang buruk karena menyebabkan adanya penarikan
besar-besaran dana (Rush) tabungan dan deposito di bank-bank swasta
karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan. ADPP
tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit
investigatif.
11
Menurut D. Larry Crumbley, akuntansi forensik adalah akuntansi
yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat
bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam
proses peninjauan atau administratif”.
Menurut Merriam Webster’s Collegiate Dictionary (edisi ke 10)
dapat diartikan ”berkenaan dengan pengadialan” atau ”berkenaan dengan
penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum”. Oleh karena itu
akuntasi forensik dapat diartikan penggunaaan ilmu akuntansi untuk
kepentingan hukum.
Jadi jelas bahwa akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian di
bidang audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif
untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud
yang pada akhirnya akan diputuskan oleh pengadilan/ arbitrase/ tempat
penyelesaian perkara lainnya. Kasus korupsi, sebagai contoh, pada
dasarnya adalah sengketa keuangan antara Negara melawan warganya
yang secara resmi telah ditunjuk untuk mengelola pemerintahan.
Persengketaan itu harus diselidiki kebenarannya oleh Lembaga Negara
(misalnya oleh KPK) dan diputuskan oleh hakim di pengadilan. Jadi
investigasi yang dilakukan oleh para Akuntan di BPKP, BPK, KPK dan
instansi penegak hukum lainnya pada hakikatnya adalah sebagian tugas-
tugas akuntan forensik.
12
Akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam
pengadilan (litigation). Disamping itu, ada juga peran akuntan forensik
dalam bidang hukum diluar pengadilan (non itigation) misalnya dalam
membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa,
perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak
pemutusan / pelanggaran kontrak.
Akuntansi forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan
dan jasa litigasi. Jasa Penyelidikan mengarahkan pemeriksa penipuan atau
auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang
akuntansi mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, dan
misinterpretasi. Jasa litigasi merepresentasikan kesaksian dari seorang
pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan
untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus
perceraian. Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu
tentang pentingnya prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit dan
kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan
masalah.
Akuntansi forensik mulai digunakan di Indonesia setelah terjadi
krisis keuangan pada tahun 1997, hingga saat ini pendekatan akuntansi
forensik banyak digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Bank Dunia,
dan Kantor-kantor Akuntan Publik di Indonesia
13
Perkembangan akuntansi forensik di Indonesia cukup maju, namun
jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain maka Indonesia masih
dibilang tertinggal. Australia saat ini sedang menyusun Standar Akuntansi
Forensik, sementara Kanada dan Amerika Serikat sudah memiliki standar
yang baku, sedangkan Indonesia sama sekali belum memiliki standar yang
memadai. Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang terkuak
berkat kemampuan akuntan forensik, namun akuntansi forensik
merupakan suatu pengembangan disiplin ilmu akuntansi yang masih
tergolong muda dan memiliki prospek yang sangat bagus dalam
pemecahan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Menurut Widiana Winawati, seorang akuntan forensik harus
memiliki multitalenta. Seorang pemeriksa kecurangan (fraud) dapat
diumpamakan sebagai gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog,
dan detektif, tandasnya. Selain itu, seorang akuntan forensik harus
memiliki sejumlah sifat dasar. Antara lain, hati-hati, mampu menjaga
rahasia pekerjaannya, kreatif, pantang menyerah, punya rasa ingin tahu
yang besar, percaya diri, serta yang paling penting adalah jujur. Dibanding
akuntan lainnya, seorang akuntan forensik memiliki tugas yang paling
berat.
14
3.3 Peran Akuntan Forensik Mengungkapan Kasus Wisma Atlet
Peran audit forensik dalam mengungkapkan dan memberatasan
kasus korupsi di Indonesia sangatlah penting khususnya dalam menangani
pengungkapan kasus korupsi wisma atlet karena audit forensik biasanya
fokus pada area-area tertentu, terjadi tindak kecurangan baik dari laporan
pihak dalam atau orang ketiga atau petunjuk terjadinya kecurangan yang
biasa disebut dengan red flag, ataupun petunjuk lainnya. Data
menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena
laporan pihak dalam dan ketidaksengajaan.
Seperti kasus wisma atlet diduga ada permainan tender, maka
sampailah sebuah informasi ke KPK terkait permasalahan pembangunan
proyek tersebut. Diduga kuat ada praktik tidak sehat untuk melancarkan
proyek tersebut dan dalam proses tender. Kebetulan salah satu pejabat
KPK yakni Deputi Penindakan Ade Raharja mendapat informasi tersebut,
apalagi beliau sebelumnya bertugas di kepolisian di Surabaya. Tidak aneh
jika Nazaruddin, dalam pernyataannya menuduh Ade Raharja sengaja
merekayasa kasus dirinya. KPK mendapat informasi dari masyarakat
bahwa ada dugaan main mata antara anggota DPRD dengan sejumlah
perusahaan yang ikut dalam tender proyek tersebut. Berawal dari
informasi tersebut, dimulailah pemantauan terhadap beberapa politisi di
DPRD, demikian juga dengan para perusahaan yang terlibat, dan salah
satunya PT DGI (Duta Graha Indah). Selama jalannya pemantauan, KPK
tidak cukup menemukan bukti yang jelas terkait kasus jalan tol tengah
15
Surabaya. Yang ada malah secara tidak sengaja, KPK menemukan bahan
lain, yakni terkait PT DGI yang menjadi pemenang tender proyek Wisma
Atlet Palembang. Ketika diselidiki, ternyata ada dugaan proses yang tidak
sehat, dan terdapat deal-dealan dengan pihak tertentu untuk dapat
meloloskan perusahaan PT DGI sebagai pemenang tender. Dari situlah
KPK mulai fokus dan secara intensif mengawasi para Pejabat PT DGI,
salah satunya Manajer Marketing M. EL Idris. Dan diketahui El Idris
melakukan beberapa kontak dengan sejumlah penyelenggara Negara.
Setelah intensif melakukan monitoring dan pengawasan terkait
dugaan suap yang merugikan Negara dan menjalarnya penyakit
masyarakat yakni korupsi dan penggelembungan dana akhirnya
membuahkan hasil. Setelah beberapa kali terkecoh terkait transksi suap
karena batal dilakukan, akhirnya sampailah pada transaksi oleh PT DGI
(El Idris dan Rosa) dengan Sesmenpora Wafid Muharam. Tanggal 20
April KPK mencatat ada komunikasi intens antar 2 pihak tersebut.
KPK pun mulai bergerak, dan kedua pihak tertangkap basah
sedang bertransaksi. Saat penangkapan tidak terjadi insiden yang besar,
Wafid panik dan kemudian menyebar uang dimana-mana. Bahkan cek dan
beberapa uang sampai diberikan ke sopir dan ajudannya. adapula uang
yang berserakan dilantai. Dari peristiwa penggerebekan transaksi
tersebutlah cerita tentang keterlibatan M. Nazaruddin muncul.
Kasus Wima Atlit menjadi hangat dibicarakan karena melibatkan
Nazaruddin, yang merupakan bendahara umum Partai Demokrat, sehingga
16
memunculkan dugaan, bahwa korupsi tersebut berkaitan dengan
pemenangan pemilu legislative dan pemilu presiden 2009. Dalam
melakukan korupsi yang merugikan keuanagan negara tersebut, tentunya
Nazarudin tidak bekerja sendiri. Menurut penulis ada suatu piranti atau
tool of crime yang digunakan Nazarudin untuk mencuri uang negara,
yaitu: Pertama, ada proyek yang digunakan untuk pengucuran keuangan
negara. Kedua, ada organisasi yang digunakan untuk managemen korupsi.
Ketiga, adanya dukungan birokrasi yang berupa aturan atau kebijakan, dan
Keempat, ada korporasi yang digunakan untuk pengerjaan proyek tersebut.
Sehingga korupsi yang dilakukan Nazaruddin terlihat terstruktur dan
termasuk dalam kategori grand korupsi. Namun yang perlu digaris bawahi,
hingga saat ini penegak hukum belum menindak korporasi jahat yang
terlibat dalam pidana itu, sehingga dikawatirkan bisa merusak kewibawaan
negara, sebab negara dianggap tidak berdaya melawan korporasi.
Dalam kajian teoritis, Koruptor bukan saja harus dihukum tetapi juga
harus dibongkar modus operandi dan sindikasinya sehingga dari situ dapat
ditemukan formula yang tepat untuk mencegah korupsi, serta penegakan
hukum yang telah dilakukan nantinya akan lebih adil dan memberi
manfaat bagi rakyat. Sepintas, kasus korupsi Wisma Atlit tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena dilakukan korporasi.
Clinard dalam Koesparmono mengatakan, bahwa kejahatan korporasi
adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang dapat
dihukum oleh negara, tanpa mengindahkan apakah dihukum berdasarkan
17
hukum administratif, hukum perdata, atau hukum pidana. Selain memiliki
perluasan sanksi, kejahatan korporasi juga unik karena dilakukan oleh
orang kaya, terpelajar atau corporate executive yang oleh Koesparmono
dikatakan melampaui hukum pidana. Oleh karena itu kiranya kajian
kejahatan korporasi dalam kasus korupsi Wisma Atlit menjadi bahasan
yang menarik.
Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan
oleh tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan diketahui
kronologis kasus sebagai berikut: Nazaruddin selaku anggota DPR RI
telah mengupayakan agar PT Duta Graha Indah Tbk menjadi pemenang
yang mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet dengan mendapat
jatah uang sebesar Rp4,34 miliar dengan nilai kontrak senilai Rp
191.672.000.000. jatah Nazarudin diberikan dalam bentuk empat lembar
cek dari PT DGI yang diberikan oleh Idris. Idris yang mempunyai tugas
mencari pekerjaan (proyek) untuk PT DGI, bersama-sama dengan Dudung
Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri lalu bertemu
dengan Sesmenpora Wafid Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya
Rosa. Dalam pertemuan yang terjadi sekitar Agustus 2010 di sebuah
rumah makan di belakang Hotel Century Senayan itu, Nazaruddin
meminta Wafid untuk dapat mengikutsertakan PT DGI dalam proyek yang
ada di Kemenpora. Singkat cerita, setelah mengawal PT DGI Tbk untuk
dapat ikut serta dalam proyek pembangunan Wisma Atlet, Rosa dan Idris
lalu sepakat bertemu beberapa kali lagi untuk membahas rencana
18
pemberian success fee kepada pihak-pihak yang terkait dengan pekerjaan
pembangunan Wisma Atlet. Pada Desember 2010, PT DGI Tbk pun
akhirnya diumumkan sebagai pemenang lelang oleh panitia pengadaan
proyek pembangunan Wisma Atlet. Kemudian dalam persidangan di
Pengadilan Tipikor, Mindo Rosalina Manulang, eks direktur marketing
Permai Group, perusahaan Nazaruddin mengatakan bahwa Angelina
Shondak dan I Wayan Koster juga menerima uang suap senilai Rp 5 miliar
karena juga termasuk pihak-pihak terkait dalam pemenangan tender.
Korupsi Wisma Atilt merupakan kejahatan white-colar crime
dimana pelaku – pelakunya merupakan orang cerdik pandai dan bukan
orang miskin. Istilah white-colar crime pertama kali dikemukakan oleh
Sutherland, yang merujuk pada pelaku kelahatan dengan tipe pelaku
berasal dari orang – orang sosial ekonomi tinggi yang melakukan
pelanggaran – pelanggaran terhadap hukum. Pengertian kreteria pelaku
kejahatan, dalam kasus korupsi Wisma Atilt nampaknya sama dengan
pengertian pelaku kejahatan white-colar crime dari Sutherland yaitu
dilakukan oleh kelompok eksekutif. Konsep kejahatan korporasi atau
white-colar crime berbeda dengan kejahatan konvensional. Dalam konsep
kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat adalah orang
yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan
dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran.
Walaupun sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh
karena itu, tidak gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut,
19
mengingat korupsi tersebut dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan
melibatkan birokrasi. Selain itu hukum pidana kita juga terbiasa hanya
menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-orang di belakang yang
mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek
illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan
melakukan penyuapan kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan
lelang, Mark up nilai proyek, pengurangan kwalitas produk dan
sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit diketahui oleh masyarakat
karena memang kejahatan yang terselubung dan dibungkus dengan aturan
– aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut baru bisa
dikekahui bila ada orang dalam atau seseorang yang membocorkannya
kepada public. Kemudian penegak hukum melakukan penyelidikan dengan
melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahtan tersebut menjadi terang.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wisma Atlet
dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan
penyelenggara negara. Namun dengan menggunakan 9 keahlian audit
forensic seperti:
1. Analisis deduktif: kemampuan untuk menganalisis kejanggalan
yang terjadi dalam laporan keuangan, yakni kejadian yang tidak sesuai
dengan kondisi yang wajar.
2. Pemikiran yang kritis : kemampuan untuk membedakan antara opini
dan fakta
20
3. Pemecahan masalah yang tidak terstruktur: kemampuan untuk
melakukan pendekatan terhadap masing-masing situasi (khususnya
situasi yang tidak wajar) melalui pendekatan yang tidak terstruktur.
4. Fleksibilitas penyidikan: kemampuan untuk melakukan audit di luar
ketentuan/prosedur yang berlaku.
5. Keahlian analitik: kemampuan untuk memeriksa apa yang
seharusnya ada (yang seharusnya tersedia) bukan apa yang telah ada
(yang telah tersedia).
6. Komunikasi lisan: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
secara lisan melalui kesaksian ahli dan penjelasan umum tentang dasar-
dasar opini.
7. Komunikasi tertulis: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif
dengan tulisan melalui laporan, bagan, gambar, dan jadwal tentang
dasar-dasar opini.
8. Pengetahuan tentang hukum: kemampuan untuk memahami proses-
proses hokum dasar dan isu-isu hukum termasuk ketentuan bukti (rules
of evidence).
9. Composure: kemampuan untuk menjaga sikap untuk tetap tenang
meskipun dalam situasi tertekan.
audit forensik dapat lebih fokus dalam mengerjakan pekerjaannya
karena mereka bekerja lebih mendetail terhadap tindakan-tindakan yang
21
menurut mereka terjadi kecurangan seperti yang terjadi dalam kasus
wisma atket ini. Selain itu dengan menggunakan bukti-bukti dan temuan
audit, audit forensik juga sangat membantu tugas KPK dalam
memberantas kasus korupsi wisma atlet dengan cara menyelidiki kasus-
kasus atau hal-hal yang sudah mencurigakan atau dicurigai melakukan
korupsi atau telah ada petunjuk terjadinya kecurangan, sehingga terungkap
siapa saja yang melakukan kecurangan dalam kasus wisma atlet ini.
22
BAB IV
KESIMPULAN
Akuntansi forensik sesungguhnya bisa mempunyai peran yang efektif
dalam menegakkan hukum di Indonesia. Namun, perannya belum maksimal
banyak kasus korupsi yang diputus bersalah di tingkat pengadilan negeri atau
pengadilan tinggi tiba-tiba bebas di tingkat asasi Mahkamah Agung dengan
berbagai alasan.
Secara jelas dapat diketahui bahwa tindakan korupsi dalam suatu kegiatan
ekonomi dapat diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan
sebagai auditor keuangan. Kasus korupsi terungkap dimulai laporan atau
rekomendasi dari akuntan akan adanya penyimpangan dari laporan keuangan yang
diindikasikan adanya kerugian Negara.
Penanganan kasus-kasus korupsi selama ini dinilai kurang efektif dan
kurang memberikan efek jera, walaupun sejumlah koruptor bisa ditangkap.
Pemerintah juga dinilai tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi. salah satu
upaya efektif dalam penanganan kasus korupsi adalah dengan menggunakan
instrumen audit forensik. Audit forensik dapat diartikan penggunaan ilmu
akuntansi untuk kepentingan hukum. Hasil audit forensik tersebut akan dapat
bertahan menjadi barang bukti selama proses pengadilan.
23
Peran audit forensik harus terus ditingkatkan terutama untuk membentuk
individu dari para auditor yang anti fraud, hukuman untuk para pelaku fraud juga
harus ditegakkan. Memperbanyak pelatihan serta pendidikan untuk para
auditorguna mengembangkan keahlian auditor tersebut, terutama di bidang
investigasi.
24
DAFTAR PUSTAKA
http://dailyrudy.wordpress.com/2009/12/21/akuntansi-forensik-dan-pengungkapan-kasus-korupsi-di-indonesia/
http://milamashuri.wordpress.com/akuntansi-forensik-di-indonesia/
http://ndrafebri.blogspot.com/2012/05/kasus-suap-wisma-atlet-scandal.html
http://imagama.feb.ugm.ac.id/home/akuntansi-forensik/
http://lib.unri.ac.id/