bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di negara-negara Asia Tenggara dan kawasan Pasifik Barat. Dalam beberapa
tahun terakhir angka kejadian DHF di Indonesia makin meningkat dengan angka kematian
yang berbeda-beda antara satu kota dengan kota lainnya. (1)
Infeksi virus dengue pada manusia suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit ringan mild undifferentiated febrile illness, demam dengue
(dengue fever, claasical dengue), demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever
DHF) dan demam berdarah dengue yang disertai renjatan (dengue shock syndrome = DSS).
Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung
es (iceberg phenomenon) yaitu DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah
sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan
kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar
gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah
terjadi 150 sampai 200 kasus dengue ringan. (2,3,4)
Di Indonesia, DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 , namun
konfirmasi virologik baru diperoleh pada tahun 1970. Dalam waktu relatif singkat DHF
telah menyebar ke seluruh Indonesia dan sampai dengan tahun 1980(3). Angka kematian
penderita DHF secara nasional menurun dari 41,4 % pada tahun 1968 menjadi 4,0 % pada
tahun 1980. Namun angka kematian DSS yang disertai perdarahan hebat atau disertai
gejala ensefalopati masih tetap tinggi, berkisar antara 22,5 % dan 61,5 % (1,5).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan
oleh virus dengue yang secara klinis ditandai dengan adanya manifestasi perdarahan. (6)
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan keadaan kegawat daruratan. Dengue
Shock Syndrome menggambarkan pasien Dengue Hemorrhagic Fever disertai
renjatan/shock dimana cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang berguna
untuk memperbaiki kekurangan volume plasma (7).
II.2 ETIOLOGI
Virus Dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Virus tersebut termasuk dalam genus flavivirus (grup Arbovirus B), famili
Flaviviridae, berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter
dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 ºC. 3,8
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 telah diisolasi dari darah
penderita. Dari hasil surveilans virologis pada DBD di Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya pada
tahun 1995-1996, virus dengue tipe 3 berhasil diisolasi (48,6%), disusul oleh berturut-turut
virus dengue tipe 2 (28,6%), virus dengue tipe 1 (20%) dan virus dengue tipe 4 (2,9%). 8
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap
serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.Viremia berakhir
4-5 hari setelah timbulnya panas 8,9
Vektor DBD
Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes sebagai vektor utama dengue yaitu 11,12 :
1. Aedes aegypti
Paling sering ditemukan
Adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah yaitu di tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air
disekitar rumah.
2
Nyamuk bewarna hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya
terutama pada kakinya.
Biasanya nyamuk dewasa betina menisap darah pada pagi hari (8.00 – 10.00) dan
sore hari (15.00-17.00).
Jarak terbang 100 meter
1. Aedes albopictus
Tempat habitatnya di tempat air jernih. Biasanya disekitar rumah atau pohon-pohon,
dimana tertampung air hujan yang besih yaitu pohon pisang, pandan, kaleng bekas,
dll.
Menggigit pada waktu siang hari
Jarak terbang 50 meter
II.3 EPIDEMIOLOGI
Epidemi dengue dilaporkan pertama kali di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779.
Penyakit ini disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel
koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871-1873 di Zanzibar kemudian di pantai
Arab dan terus menyebar ke Samudera Hindia. 1,5,6
Quintoss dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus DBD di Manila pada anak-anak,
kemudian disusul negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam
puluhan penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, antara lain:
Singapura, Malaysia, Srilanka dan Indonesia. Penyakit DBD hingga saat ini terus menyebar
luas di negara-negara tropis dan subtropis.1,5,6
Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk terinfeksi virus
dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan demam dengue
atau demam berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah
sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. Letusan/wabah penyakit ini
mempunyai dampak kerugian bidang sosial – ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya
devisa dari sektor pariwisata. 6
Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dengan
jumlah kematian sebanyak 24 orang pada tahun 1968. Tahun-tahun selanjutnya kasus DBD
3
berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat. Demikian juga wilayah yang
terjangkit bertambah luas. 1,6
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah
penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun,
pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan usia dewasa muda
meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak anak berumur 5-11 tahun. Proporsi
penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun 1984 meningkat. 6
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita DBD tetapi
penyebab kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. 6
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, tetapi secara garis besar
dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai
Februari yang mencapai puncaknya di bulan Januari. Di daerah urban berpenduduk padat
puncak penderita ialah bulan Juni/Juli bertepatan dengan awal musim kemarau. 10
Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/
kematian oleh suatu penyakit menular tertentu yang bermakna secara epidemiologis, pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Khusus pada DBD, kriteria KLB-DBD bila terjadi
peningkatan dua kali atau lebih jumlah kasus DBD dalam suatu wilayah, dalam kurun waktu
1 minggu/1 bulan yang sama pada tahun yang lalu. 11
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%,
namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66
(tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). 10,11
II.4 MANIFESTASI KLINIS
Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari
asimptomatik, penyakit ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue,
demam berdarah dengue sampai dengue shock sindrome. Biasanya ditandai dengan demam
tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada anak besar dan
dewasa dikenal sindrom trias dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota
badan (kepala, bola mata, punggung dan sendi) dan timbul ruam makulopurulen. Tanda
lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah dan nyeri kepala (4,8). Sedangkan
pada dengue shock sindrome kondisi pasien yang berkembang ke arah shock tiba-tiba
4
menyimpang setelah demam selama 2-7 hari. Penyimpangan ini terjadi pada waktu, atau
segera setelah penurunan suhu antara hari ketiga dan ketujuh sakit. Terdapat tanda khas
dari gagal sirkulasi; kulit menjadi dingin, bintul-bintul dan kongesti : sianosis sirkumoral
sering terjadi; nadi menjadi cepat. Pasien pada awal dapat mengalami letargi, kemudian
menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki tahap kritis dari shock. Nyeri abdominal akut
adalah keluhan sering segera sebelum awitan shock.
DSS biasanya ditandai dengan nadi cepat, lemah dengan penyempitan tekanan nadi
(< 20 mmHg [2,7 kPa], tanpa memperhatikan tingkat tekanan, misalnya : 100/90 mmHg
(13,3/12,0 kPa) atau hipotensi dengan kulit dingin dan lembab dan gelisah. Pasien shock
dalam bahaya kematian bila pengobatan yang tepat tidak segera diberikan. Pasien dapat
melewati tahap shock berat, dengan tekanan darah atau nadi menjadi tidak terbaca. Namun,
kebanyakan pasien tetap sadar hampir pada tahap terminal. Durasi shock adalah pendek;
secara khas pasien meninggal dalam 12-24 jam, atau sembuh dengan cepat setelah terapi
penggantian volume yang tepat. Efusi pleural dan asites dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan fisik atau radiografi. Shock yang tak teratasi dapat menimbulkan perjalanan
penyakit terkomplikasi, dengan terjadinya asidosis metabolik, perdarahan hebat dari
saluran gastrointestinal dan organ lain, dan prognosisnya buruk. Pasien dengan hemoragi
intrakranial dapat mengalami konvulsi dan koma. Ensefalopati, yang dilaporkan kadang,
dapat terjadi dalam hubungannya dengan gangguan metabolik dan elektrolit atau
perdarahan intrakranial 13
Manifestasi klinis renjatan/shock pada anak terdiri dari :
1. Kulit pucat dingin dan lembab terutama pada ujung kaki, tangan dan hidung
sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang
menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks;
2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun
menjadi apati, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral;
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut
sampai tidak dapat diraba oleh karena kolaps sirkulasi;
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang;
5. Tekanan sistole pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang dan;
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis 8
5
II.5 PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversi. Dua teori yang
umum dipakai dalam menjelaskan patogenesis pada DBD dan DSS, yaitu hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue
pertama kali, mendapat re-infeksi virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan
suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen
antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi. 1,6
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue secara genetik dapat berubah sebagai
akibat dari tekanan pada seleksi sewaktu virus melakukan replikasi pada tubuh manusia
maupun nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi dan viremia, virulensi, dan potensi terjadi wabah. 6
Terdapatnya kompleks virus – antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal-hal
sebagai berikut : 1,3,6
1. Aktivitas sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin C3a dan C5a yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular (plasma leakage).
2. Agregasi trombosit sehingga jumlah trombosit menurun, apabila kejadian terus berlanjut
akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi sel trombosit
muda dari sumsum tulang
3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang/mengaktivasi faktor
pembekuan.
Ketiga faktor tersebut diatas dapat menyebabkan :
Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan plasma,
hipovolemia, dan syok.
Kelainan homeostatis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan
koagulopati, sehingga mengakibatkan perdarahan hebat.
II.6 PATOFISIOLOGI
6
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia
di tenggorok, timbul ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial
seperti pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan membedakan DD
dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena penglepasan zat
anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang mengakibatkan
ekstravasasi cairan intravaskular. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume plasma
sehingga terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai
puncaknya pada saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat
menurun sampai lebih dari 30%. Renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan
plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian.
Penyebab kematian lainnya adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah
renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi. Perdarahan pada DBD dihubungkan dengan
trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.
II.7 KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis DHF/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis World Health
Organization (WHO) tahun 1995 yaitu diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria
laboratoris. 10
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
b. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji torniquet positif dan salah
satu bentuk lainnya (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematomesis dan melena).
c. Pembesaran hati.
Positif pada 90 % kasus anak-anak di Thailand dan 60 % dari kasus dewasa, tetapi
hanya 20-30 % kasus di Indonesia.
7
d. Renjatan/shock yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi
menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.
2. Hasil Laboratorium
a. Trombositopenia (100.000 per mm3 atau kurang).
b. Hemokonsentrasi dengan kenaikan hematokrit 20 % atau lebih.
Adanya dua atau tiga kriteria klinis, disertai dengan trombositopenia dan
hemokonsentrasi, sudah dapat menegakkan diagnosa klinis DHF. Bila terjadi shock dengan
angka hematokrit yang tinggi (kecuali pada penderita dengan perdarahan hebat) yang
diikuti trombositopenia berat, maka kemungkinan paling besar adalah DHF/DSS.
Di Indonesia, menurut Dep. Kes. RI. kriteria uji tourniquet positif / RL (+) jika
terdapat lebih dari 10 petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inci persegi) di lengan bawah
bagian depan (volar). Uji tourniquet (+) / RL (+) akan banyak kegunaannya apabila secara
klinis diduga DHF. Oleh karena pada awal perjalanan penyakit 70,2 % kasus DHF
mempunyai hasil tourniquet (+). Tetapi hal ini perlu diingat karena uji tourniquet (+) dapat
juga dijumpai pada penyakit virus lain misalnya campak, demam chikungnya dan infeksi
bakteri (tifus abdominal). 5
Untuk trombosit, penurunan jumlah menjadi 150.000/UL atau kurang dari 1-2 trombosit /
lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata dilakukan pada 10 lpb, pada umumnya
trombositopenia terjadi sebelum peningkatan trombosit dan terjadi sebelum suhu turun.
Jumlah trombosit 150.000/UL biasanya ditemukan antara hari ke-3 sampai ke-7.
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas
normal atau menurun. Pemeriksaan pertama dilakukan saat masih diduga menderita DHF,
bila normal maka diulang pada hari ke-3, tetapi bila perlu diulang setiap hari sampai suhu
turun.
II.8 DERAJAT DHF
Menurut WHO tahun 1997 DHF / DSS diklasifikasikan dalam 4 derajat 10 :
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
ialah uji torniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
8
Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan
nadi menurun (kurang dari 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang
dingin, lembab dan penderita tampak gelisah.
Derajat IV : Renjatan besar dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang
tidak dapat diukur.
II.9 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah 8,10
Pada DBD dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Masa pembekuan dalam batas
normal, tetapi masa perdarahan biasanya memanjang. Pada analisa kuantitatif ditemukan
penurunan faktor II, V, VII, IX dan X. Pada pemeriksaan kimia darah tampak
hipoproteinemia, hiponatremia, serta hipokloremia, SGOT/SGPT, ureum dan pH darah
mungkin meningkat reserve alkali merendah.
2. Sumsum tulang13
Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke-5
dengan gangguan maturasi sedangkan hari ke-10 biasanya sudah kembali normal untuk
semua sistem.
3. Serologi 5,6,7,14
Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase
konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih). Ada 6
pemeriksaan serologi yang dianggap sebagai dasar yaitu :
Uji HI ( hemagglutination Inhibition Test = HI test)14
Uji ini merupakan uji yang paling sering dipakai secara rutin dan dipakai sebagai
baku emas pada pemeriksaan serologis. Antibodi HI akan lama berada di dalam darah
(>48 tahun), maka uji ini dipergunakan pada studi epidemiologi.
Antibodi HI biasanya akan timbul pada kadar yang dapat terdeteksi yaitu titer 10
pada hari ke 5/6 dari perjalanan penyakit, sedang antibodi konvalesen biasanya akan
mencapai titer 640 atau dibawahnya pada infeksi primer. Pada infeksi sekunder atau
tertier akan terjadi reaksi anamnestik yang cepat dan titer antibodi konvalesen akan
naik tinggi pada hari pertama dari jalannya penyakit mencapai 5210 sampai 10240
9
atau bahkan lebih. Adanya titer yang tinggi, 1280 atau lebih pada spesimen akut,
menunjukkan adanya dugaan infeksi baru (recent infection) dan dianggap sebagai
diduga keras infeksi dengue baru. Titer HI yang tinggi biasanya berlangsung selama
2-3 bulan pada beberapa pasien, tetapi secara umum titer HI akan mulai menurun
pada hari ke 30-40.
Keuntungan : sederhana, mudah, murah, sensitif ,dan ideal untuk
seroepidemiologi
Kerugian : memerlukan spesimen akut dan konvalesen sehingga
menunggu waktu yang lama, tidak spesifik dalam
menentukan serotipe virus.
Tabel 2.1 Interprestasi Uji Inhibisi Hemaglutinasi 10,14
Respon Interval Titer Interprestasi
antibodi S1-S2* konvalesen
- Naik 4 X lipat ≥ hari ke 7 ≤1:1280 Infeksi flavivirus akut,
primer
- Naik 4 X lipat Sembarang ≥1:2560 Infeksi flavivirus akut,
spesimen sekunder
- Naik 4 X lipat < hari 7 ≤1:1280 Infeksi flavivirus akut,
baik primer atau sekunder
- Tidak ada Sembarang >1:2560 Infeksi flavivirus
terakhir, perubahan
spesimen sekunder
- Tidak ada ≥ hari ke 7 ≤1:1280 Bukan dengue
perubahan
- Tidak ada < hari ke 7 ≤1:1280 Tak dapat
perubahan diinterprestasikan
- Tak ada Spesimen ≤1:1280 Tak dapat
perubahan tunggal diinterprestasikan
10
*S1 = Serum akut S2 = Serum konvalesen
Uji Pengikatan Komplemen (Complement Fixation test = CF test)14
Uji ini jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin.. Antibodi Pengikat
Komplemen (CF antibodi) biasanya timbul setelah antibodi HI timbul dan sifatnya
lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya cepat menghilang dari darah (2-3
tahun).
Keuntungan : lebih spesifik dan dapat memastikan infeksi dengue pada
pasien dengan spesimen yang diambil pada akhir infeksi.
Kerugian : paling kurang sensitif, cara pemeriksaan agak rumit
prosedurnya dan memerlukan tenaga pemeriksa yang
berpengalaman.
Uji Neutralisasi (Neutralization test = NT)14
Uji ini memakai cara yang disebut plaque reduction neutralization test (PRNT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Umumnya antibodi netralisasi
timbul bersamaan atau sedikit lebih lambat dari antibodi HI tetapi lebih cepat dari
timbulnya antibodi pengikatan komplemen. Antibodi netralisasi juga akan bertahan
lama di dalam darah (>48 tahun).
Keuntungan : uji paling sensitif dan spesifik dibanding uji serologi lain.
Kerugian : mahal, cara pemeriksaan rumit dan memerlukan waktu yang
lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
Uji IgG Elisa
Uji ini sebanding dengan uji HI namun sedikit lebih sensitif.
Keuntungan : sederhana, mudah dilakukan dan sangat mudah untuk
memeriksa sampel dalam jumlah banyak
Kerugian : sangat tidak spesifik, banyak reaksi silang dengan flavivirus
yang lain, tidak dapat menentukan serotipe
Uji ELISA (IgM captured ELISA = Mac.ELISA)
11
Uji berdasarkan atas adanya antibodi IgM pada serum penderita yang ditangkap oleh
goat anti human IgM pada suatu permukaan kasar. Antibodi anti-dengue IgM akan
timbul lebih dulu daripada antibodi anti-dengue IgG, dan biasanya sudah terdeteksi
pada hari ke 5. Pada infeksi primer, titer IgM dapat juga lebih tinggi dibandingkan
pada infeksi sekunder. Pada beberapa infeksi primer IgM dapat bertahan didalam
darah sampai 90 hari setelah infeksi, tetapi biasanya IgM sudah menurun dan hilang
pada hari ke 60.
Keuntungan : sederhana, tidak memerlukan alat canggih, kurang sensitif
dibanding HI tetapi hanya menggunakan spesimen akut saja.
Kerugian : waktu pengambilan spesimen harus tepat, tidak selalu dapat
menentukan secara pasti adanya infeksi baru.
Tabel 2.2 Interprestasi Uji MAC-ELISA 14
IgM Interval Rasio IgM Interprestasi
Spesimen I-II terhadap IgG
- Fraksi 2-14 hari tinggi Infeksi flavivirus akut,
Molar meningkat primer
rendah Infeksi flavivirus akut,
sekunder
- Fraksi molar 2-14 hari tinggi Infeksi flavivirus baru,
meningkat, tetap primer
atau menurun rendah Infeksi flavivirus baru,
sekunder
- Meningkat spesimen tunggal tinggi Infeksi flavivirus baru,
primer
rendah Infeksi flavivirus baru,
kemungkinan sekunder
Uji cepat dalam bentuk kit 10,14
12
Saat ini beredar uji cepat dalam bentuk kit untuk mendeteksi antibodi IgM/IgG.
Contoh : Dengue rapid dari Panbio, Australia.
Keuntungan : sangat sederhana, tidak membutuhkan peralatan dan
keahlian, serta dapat dibaca dalam beberapa menit.
Kerugian : ketelitian uji ini masih belum banyak diketahui dan perlu
standarisasi.
Tabel 2.3. Imunokromatografi cepat/panBio 14
IgM IgG Interprestasi
+ - Infeksi primer
+ + Infeksi sekunder
- + Kemungkinan DBD atau infeksi
sekunder
5. Isolasi virus
Bahan pemeriksaan adalah spesimen darah/serum, plasma atau cairan buffy coat, dari fase
akut jaringan-jaringan baik dari pasien hidup (melalui biopsi), maupun fase akut jaringan
autopsi dari kasus yang meninggal terutama dari hati, limpa, timus, dan nyamuk yang
dikumpulkan di alam.
II.10 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG 14.
II.11 DIAGNOSIS BANDING
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri maupun
virus, seperti demam tifoid, malaria dan sebagainya. Pemeriksaan LED dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Adanya
13
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD
dengan penyakit lain.
2. Idiophatic thrombpcytopenic purpurae (ITP)14
Pada ITP sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam
disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan
dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal dari ITP.
3. Demam chikugunya14
Pada penyakit ini biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip influenza. Demam cikungunya mempunyai serangan demam mendadak, masa
demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjuntiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji torniquet positif,
petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada demam cikungunya tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
II.12 KOMPLIKASI
Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
karena perdarahan, tetapi dapat pula terjadi pada DBD tanpa disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Pada ensefalopati dengue,
kesadaran pasien menurun menjadi apati dan somnolen, dapat disertai atau tanpa
kejang. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan APTT memanjang, kadar gula darah turun,
alkalosis pada analisa gas darah, dan hiponatremia (bila mungkin periksa amoniak
darah).5,6,8
Kelainan ginjal
14
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Pada keadaan syok berat sering dijumpai acute
tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin.6,8
II.13 PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi perembesan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan. Penatalaksanaan
DBD tanpa penyulit adalah :
A. Nonfarmakologis
1. Tirah baring
2. Makanan lunak dan bila belum nafsu makan diberi minum 1,5-2 liter/24 jam (susu,
air dengan gula, sirop) atau air tawar ditambah garam.
B. Farmakologis
1. Medikamantosa yang bersifat simtomatis
Obat antipiretik atau kompres di kepala, ketiak, dan inguinal dapat diberikan bila
diperlukan. Untuk menurunkan suhu < 39°C, dianjurkan pemberian antipiretik
golongan asetaminofen, eukinin, atau dipiron. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan
(indikasi kontra) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau asidosis.
2. Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder
3. Cairan intravena (rekomendasi WHO) : 10,14
a. Kristaloid
Kristaloid diberikan 500 cc (1 kolf) tiap 4-6 jam. Jenis kristaloid :
- Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL)
- Larutan ringer asetat ( RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat
(D5/RA)
- Larutan NaCl 0,9 % (Garam Faali= GF) atau dekstrosa 5 % dalam larutan
Faali (D5/GF)
b. Koloid
15
Koloid diberikan pada DBD derajat III dan IV bila diperlukan. Dosis
10-20ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Jenis
koloid :
- Dekstran 40
- Plasma
Indikasi tranfusi darah dilakukan pada :11,14
Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena)
Pasien DSS yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan penurunan kadar Hb dan
Ht
Indikasi transfusi trombosit : 11,14
Perdarahan dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai DIC.
Perdarahan dengan jumlah trombosit <50.000/mm3 tanpa disertai DIC.
Tanpa adanya perdarahan, profilaksis transfusi trombosit diindikasikan jika jumlah
trombosit 10.000 – 20.000/mm3 (10-20ml/kg dari trombosit atau 0,4u/m2).
Indikasi rawat pasien DBD : 11,12
Adanya tanda-tanda syok
Sangat lemah sehingga asupan oral tidak dapat mencukupi
Perdarahan
Hitung trombosit ≤ dengan 100.000/mm3 dan atau peningkatan Ht 10-20%
Perburukan ketika penurunan suhu
Nyeri abdominal akut hebat
Tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit pada fase kritis (berlangsung 24-48 jam)
sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5 perjalanan penyakit. Umumnya fase ini
pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena anoreksia atau muntah
Pasien DBD perlu diobservasi terhadap penemuan dini tanda renjatan : 11
Keadaan umum memburuk
Hati makin membesar
16
Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia
Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala
Pada pasien dengan renjatan dilakukan : 12,14
1. Pemasangan infus dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan diatasi.
2. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan tiap jam, serta
Hb dan Ht tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Pada pasien DSS diberikan cairan intravena yang diberikan dengan diguyur,
seperti NaCl, ringer laktat yang dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan teratasi.
Bila tak tampak perbaikan dapat diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran
atau preparat hemasel sejumlah 15-29 ml/kgBB dan dipertahankan selama 12-48 jam
setelah renjatan teratasi. Bila pada pemeriksaan didapatkan penurunan Hb dan Ht maka
diberikan tranfusi darah. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. 11,12
Kriteria untuk memulangkan pasien : 3,6,7,8
Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Hematokrit stabil
Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok
Tidak ada distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)
Jumlah trombosit ≥ 50.000/mm³
II.14 PROGNOSIS 1
Mortalitas pada penyakit DBD cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit
umumnya lebih ringan daripada anak-anak.
II.15 PENCEGAHAN
17
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat menangkal virus dengue dengan
berbagai serotipe. Satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue adalah dengan
memerangi nyamuk Aedes aegypti yang berperan sebagai vektor penularan virus dengue.
Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode
yang tepat yaitu 11:
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat,
modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah. Pencegahan dapat dilakukan dengan
langkah 3 M yaitu:
Menguras bak air sekurang-kurangnya sekali seminggu
Menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk
Mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan adu/ ikan cupang), dan bakteri ( Bt.H-14)
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan :
Pengasapan/ fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk
mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti:
gentong air, vas bunga kolam dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara diatas, yang disebut “3 M Plus”, yaitu menutup, menguras,
menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan
jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa,
menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,
memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai kondisi setempat.
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut disertai manifestasi perdarahan,
trombositopenia, dan hemokonsentrasi yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
19
2. Penyebab penyakit demam berdarah dengue di Indonesia adalah virus dengue tipe DEN-
1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue tipe DEN-3 merupakan penyebab demam
berdarah dengue terbanyak di Indonesia.
3. Penyakit demam berdarah dengue dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar
biasa atau wabah.
4. Dalam menegakkan diagnosis serta tatalaksana demam berdarah tidaklah mudah, oleh
karena itu perlu dipahami perjalanan penyakit agar dapat tercapai pengobatan yang tepat
dalam rangka mengurangi angka kematian.
5. Pengobatan demam berdarah dengue umumnya bersifat suportif yaitu : Nonfarmakologis;
tirah baring dan diet lunak. Farmakologis : medikamentosa yang bersifat simtomatis,
terapi cairan intravena, dan tranfusi darah jika diperlukan.
6. Cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD adalah Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan “3 M plus” yang melibatkan seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul L, Rusepno H , Sumarmo . Beberapa Penyulit dalam Pengobatan Dengue Shock Syndrome Berat, dalam Buku Demam Berdarah Dengue (Sepuluh Tahun Penelitian pada Anak di Jakarta). FK UI, Jakarta, 1985 : 219-225.
2. Poorwosoedarmo S. Dengue Shock Syndrome, dalam Buku Demam Berdarah Dengue (Sepuluh Tahun Penelitian pada Anak di Jakarta). FK UI, Jakarta, 1985 : 249-257.
20
3. Poorwosoedarmo S. Demam Berdarah Dengue. Medika, Jakarta, 1995 : 798-808.
4. Staf Pengajar IKA FK UI, Ilmu Kesehatan Anak, Buku ke-2, Jakarta, 1985 : 607-621.
5. Sumarmo, Demam Berdarah Dengue, Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta, 1995 : 39-43.
6. Pasaribu S, Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue, Cermin Dunia Kedokteran, 1992 : 39-43.
7. Sumarmo, Marliane S , Martoatmojo K . Clinical Observation on Dengue Shock Syndrome (an Evaluation of steroid Treatment), dalam Buku Demam Berdarah Dengue (Sepuluh Tahun Penelitian pada Anak di Jakarta):FK UI, Jakarta, 1985 : 45-53.
8. Mansjoer, A, dkk . Kapita Selekta Kedokteran, Demam Berdarah Dengue, Jilid ke-2, Edisi 3, Penerbit Media Aesculapius, FK UI, Jakarta, 2000.
9. Halstead, S.B, Demam Berdarah Dengue / Syndrom Shock Dengue, dalam Nelson : Ilmu Kesehatan Anak, Behrman, RE, Vaughan, V.C, (ed) alih bahasa : Moelia Radja Siregar dan Maulang, Bagian 2, ed. 12, EGC, Jakarta, 1992 : 296-298.
10. Anonim. http://www.searo.who.int/en/Section10/Section332/Section554_2566.htm. di akses: 23 April 2010.
11. Direktorat Jenderal P2M PLP, Dep. Kes. RI, Tatalaksana Demam Dengue / Demam Berdarah Dengue, 1999.
12. Samsi, T.K, Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras, Cermin Dunia Kedokteran, 2000 : 5-13.
13. Suratte, V., Dengue Hemorrhagic Fever : Hematological Abnormalities and pathogenesis. Di dalam buku : New Development in Pediatrics Research, editor : Ghai O.P, Vol. I, Indian Academy of Pediatrics, New Delhi 1971 : 447-453.Available at :http.www.mdconsult.com/article ; cited :23 April 2010.
14. Anonym.http://emedicine.medscape.com/article. Di akses : 23 April 2010.
21