bab i

33
BAB I PENDAHULUAN Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara-negara Asia Tenggara dan kawasan Pasifik Barat. Dalam beberapa tahun terakhir angka kejadian DHF di Indonesia makin meningkat dengan angka kematian yang berbeda-beda antara satu kota dengan kota lainnya. (1) Infeksi virus dengue pada manusia suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit ringan mild undifferentiated febrile illness , demam dengue (dengue fever, claasical dengue), demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever DHF) dan demam berdarah dengue yang disertai renjatan (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es (iceberg phenomenon) yaitu DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150 sampai 200 kasus dengue ringan. (2,3,4) Di Indonesia, DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 , namun konfirmasi virologik baru diperoleh 1

Upload: disti-hartikasari-ruslan

Post on 11-Dec-2014

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang penting di negara-negara Asia Tenggara dan kawasan Pasifik Barat. Dalam beberapa

tahun terakhir angka kejadian DHF di Indonesia makin meningkat dengan angka kematian

yang berbeda-beda antara satu kota dengan kota lainnya. (1)

Infeksi virus dengue pada manusia suatu spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi antara penyakit ringan mild undifferentiated febrile illness, demam dengue

(dengue fever, claasical dengue), demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever

DHF) dan demam berdarah dengue yang disertai renjatan (dengue shock syndrome = DSS).

Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung

es (iceberg phenomenon) yaitu DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah

sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan

kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar

gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah

terjadi 150 sampai 200 kasus dengue ringan. (2,3,4)

Di Indonesia, DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 , namun

konfirmasi virologik baru diperoleh pada tahun 1970. Dalam waktu relatif singkat DHF

telah menyebar ke seluruh Indonesia dan sampai dengan tahun 1980(3). Angka kematian

penderita DHF secara nasional menurun dari 41,4 % pada tahun 1968 menjadi 4,0 % pada

tahun 1980. Namun angka kematian DSS yang disertai perdarahan hebat atau disertai

gejala ensefalopati masih tetap tinggi, berkisar antara 22,5 % dan 61,5 % (1,5).

1

Page 2: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan

oleh virus dengue yang secara klinis ditandai dengan adanya manifestasi perdarahan. (6)

Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan keadaan kegawat daruratan. Dengue

Shock Syndrome menggambarkan pasien Dengue Hemorrhagic Fever disertai

renjatan/shock dimana cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang berguna

untuk memperbaiki kekurangan volume plasma (7).

II.2 ETIOLOGI

Virus Dengue

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4. Virus tersebut termasuk dalam genus flavivirus (grup Arbovirus B), famili

Flaviviridae, berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter

dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 ºC. 3,8

Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 telah diisolasi dari darah

penderita. Dari hasil surveilans virologis pada DBD di Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya pada

tahun 1995-1996, virus dengue tipe 3 berhasil diisolasi (48,6%), disusul oleh berturut-turut

virus dengue tipe 2 (28,6%), virus dengue tipe 1 (20%) dan virus dengue tipe 4 (2,9%). 8

Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap

serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.Viremia berakhir

4-5 hari setelah timbulnya panas 8,9

Vektor DBD

Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes sebagai vektor utama dengue yaitu 11,12 :

1. Aedes aegypti

Paling sering ditemukan

Adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di

dalam rumah yaitu di tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air

disekitar rumah.

2

Page 3: BAB I

Nyamuk bewarna hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya

terutama pada kakinya.

Biasanya nyamuk dewasa betina menisap darah pada pagi hari (8.00 – 10.00) dan

sore hari (15.00-17.00).

Jarak terbang 100 meter

1. Aedes albopictus

Tempat habitatnya di tempat air jernih. Biasanya disekitar rumah atau pohon-pohon,

dimana tertampung air hujan yang besih yaitu pohon pisang, pandan, kaleng bekas,

dll.

Menggigit pada waktu siang hari

Jarak terbang 50 meter

II.3 EPIDEMIOLOGI

Epidemi dengue dilaporkan pertama kali di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779.

Penyakit ini disebut penyakit demam 5 hari yang dikenal dengan knee trouble atau knokkel

koortz. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871-1873 di Zanzibar kemudian di pantai

Arab dan terus menyebar ke Samudera Hindia. 1,5,6

Quintoss dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus DBD di Manila pada anak-anak,

kemudian disusul negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam

puluhan penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, antara lain:

Singapura, Malaysia, Srilanka dan Indonesia. Penyakit DBD hingga saat ini terus menyebar

luas di negara-negara tropis dan subtropis.1,5,6

Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk terinfeksi virus

dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan demam dengue

atau demam berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah

sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. Letusan/wabah penyakit ini

mempunyai dampak kerugian bidang sosial – ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya

devisa dari sektor pariwisata. 6

Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dengan

jumlah kematian sebanyak 24 orang pada tahun 1968. Tahun-tahun selanjutnya kasus DBD

3

Page 4: BAB I

berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat. Demikian juga wilayah yang

terjangkit bertambah luas. 1,6

Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah

penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun,

pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan usia dewasa muda

meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak anak berumur 5-11 tahun. Proporsi

penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun 1984 meningkat. 6

Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita DBD tetapi

penyebab kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. 6

Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, tetapi secara garis besar

dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai

Februari yang mencapai puncaknya di bulan Januari. Di daerah urban berpenduduk padat

puncak penderita ialah bulan Juni/Juli bertepatan dengan awal musim kemarau. 10

Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/

kematian oleh suatu penyakit menular tertentu yang bermakna secara epidemiologis, pada

suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Khusus pada DBD, kriteria KLB-DBD bila terjadi

peningkatan dua kali atau lebih jumlah kasus DBD dalam suatu wilayah, dalam kurun waktu

1 minggu/1 bulan yang sama pada tahun yang lalu. 11

KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per

100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%,

namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66

(tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). 10,11

II.4 MANIFESTASI KLINIS

Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari

asimptomatik, penyakit ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue,

demam berdarah dengue sampai dengue shock sindrome. Biasanya ditandai dengan demam

tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada anak besar dan

dewasa dikenal sindrom trias dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota

badan (kepala, bola mata, punggung dan sendi) dan timbul ruam makulopurulen. Tanda

lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah dan nyeri kepala (4,8). Sedangkan

pada dengue shock sindrome kondisi pasien yang berkembang ke arah shock tiba-tiba

4

Page 5: BAB I

menyimpang setelah demam selama 2-7 hari. Penyimpangan ini terjadi pada waktu, atau

segera setelah penurunan suhu antara hari ketiga dan ketujuh sakit. Terdapat tanda khas

dari gagal sirkulasi; kulit menjadi dingin, bintul-bintul dan kongesti : sianosis sirkumoral

sering terjadi; nadi menjadi cepat. Pasien pada awal dapat mengalami letargi, kemudian

menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki tahap kritis dari shock. Nyeri abdominal akut

adalah keluhan sering segera sebelum awitan shock.

DSS biasanya ditandai dengan nadi cepat, lemah dengan penyempitan tekanan nadi

(< 20 mmHg [2,7 kPa], tanpa memperhatikan tingkat tekanan, misalnya : 100/90 mmHg

(13,3/12,0 kPa) atau hipotensi dengan kulit dingin dan lembab dan gelisah. Pasien shock

dalam bahaya kematian bila pengobatan yang tepat tidak segera diberikan. Pasien dapat

melewati tahap shock berat, dengan tekanan darah atau nadi menjadi tidak terbaca. Namun,

kebanyakan pasien tetap sadar hampir pada tahap terminal. Durasi shock adalah pendek;

secara khas pasien meninggal dalam 12-24 jam, atau sembuh dengan cepat setelah terapi

penggantian volume yang tepat. Efusi pleural dan asites dapat terdeteksi melalui

pemeriksaan fisik atau radiografi. Shock yang tak teratasi dapat menimbulkan perjalanan

penyakit terkomplikasi, dengan terjadinya asidosis metabolik, perdarahan hebat dari

saluran gastrointestinal dan organ lain, dan prognosisnya buruk. Pasien dengan hemoragi

intrakranial dapat mengalami konvulsi dan koma. Ensefalopati, yang dilaporkan kadang,

dapat terjadi dalam hubungannya dengan gangguan metabolik dan elektrolit atau

perdarahan intrakranial 13

Manifestasi klinis renjatan/shock pada anak terdiri dari :

1. Kulit pucat dingin dan lembab terutama pada ujung kaki, tangan dan hidung

sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang

menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks;

2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun

menjadi apati, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral;

3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut

sampai tidak dapat diraba oleh karena kolaps sirkulasi;

4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang;

5. Tekanan sistole pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang dan;

6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis 8

5

Page 6: BAB I

II.5 PATOGENESIS

Patogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversi. Dua teori yang

umum dipakai dalam menjelaskan patogenesis pada DBD dan DSS, yaitu hipotesis infeksi

sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.

Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue

pertama kali, mendapat re-infeksi virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan

suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen

antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi. 1,6

Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue secara genetik dapat berubah sebagai

akibat dari tekanan pada seleksi sewaktu virus melakukan replikasi pada tubuh manusia

maupun nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat

menyebabkan peningkatan replikasi dan viremia, virulensi, dan potensi terjadi wabah. 6

Terdapatnya kompleks virus – antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal-hal

sebagai berikut : 1,3,6

1. Aktivitas sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin C3a dan C5a yang

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari

ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular (plasma leakage).

2. Agregasi trombosit sehingga jumlah trombosit menurun, apabila kejadian terus berlanjut

akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi sel trombosit

muda dari sumsum tulang

3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang/mengaktivasi faktor

pembekuan.

Ketiga faktor tersebut diatas dapat menyebabkan :

Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan plasma,

hipovolemia, dan syok.

Kelainan homeostatis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan

koagulopati, sehingga mengakibatkan perdarahan hebat.

II.6 PATOFISIOLOGI

6

Page 7: BAB I

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala

karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia

di tenggorok, timbul ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial

seperti pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan membedakan DD

dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena penglepasan zat

anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang mengakibatkan

ekstravasasi cairan intravaskular. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume plasma

sehingga terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma

merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai

puncaknya pada saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat

menurun sampai lebih dari 30%. Renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan

plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan

kematian.

Penyebab kematian lainnya adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah

renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi. Perdarahan pada DBD dihubungkan dengan

trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.

II.7 KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis DHF/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis World Health

Organization (WHO) tahun 1995 yaitu diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria

laboratoris. 10

1. Kriteria Klinis

a. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.

b. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji torniquet positif dan salah

satu bentuk lainnya (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,

hematomesis dan melena).

c. Pembesaran hati.

Positif pada 90 % kasus anak-anak di Thailand dan 60 % dari kasus dewasa, tetapi

hanya 20-30 % kasus di Indonesia.

7

Page 8: BAB I

d. Renjatan/shock yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi

menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan

lembab terutama gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut.

2. Hasil Laboratorium

a. Trombositopenia (100.000 per mm3 atau kurang).

b. Hemokonsentrasi dengan kenaikan hematokrit 20 % atau lebih.

Adanya dua atau tiga kriteria klinis, disertai dengan trombositopenia dan

hemokonsentrasi, sudah dapat menegakkan diagnosa klinis DHF. Bila terjadi shock dengan

angka hematokrit yang tinggi (kecuali pada penderita dengan perdarahan hebat) yang

diikuti trombositopenia berat, maka kemungkinan paling besar adalah DHF/DSS.

Di Indonesia, menurut Dep. Kes. RI. kriteria uji tourniquet positif / RL (+) jika

terdapat lebih dari 10 petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inci persegi) di lengan bawah

bagian depan (volar). Uji tourniquet (+) / RL (+) akan banyak kegunaannya apabila secara

klinis diduga DHF. Oleh karena pada awal perjalanan penyakit 70,2 % kasus DHF

mempunyai hasil tourniquet (+). Tetapi hal ini perlu diingat karena uji tourniquet (+) dapat

juga dijumpai pada penyakit virus lain misalnya campak, demam chikungnya dan infeksi

bakteri (tifus abdominal). 5

Untuk trombosit, penurunan jumlah menjadi 150.000/UL atau kurang dari 1-2 trombosit /

lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata dilakukan pada 10 lpb, pada umumnya

trombositopenia terjadi sebelum peningkatan trombosit dan terjadi sebelum suhu turun.

Jumlah trombosit 150.000/UL biasanya ditemukan antara hari ke-3 sampai ke-7.

Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas

normal atau menurun. Pemeriksaan pertama dilakukan saat masih diduga menderita DHF,

bila normal maka diulang pada hari ke-3, tetapi bila perlu diulang setiap hari sampai suhu

turun.

II.8 DERAJAT DHF

Menurut WHO tahun 1997 DHF / DSS diklasifikasikan dalam 4 derajat 10 :

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

ialah uji torniquet positif.

Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.

8

Page 9: BAB I

Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan

nadi menurun (kurang dari 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang

dingin, lembab dan penderita tampak gelisah.

Derajat IV : Renjatan besar dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang

tidak dapat diukur.

II.9 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Darah 8,10

Pada DBD dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Masa pembekuan dalam batas

normal, tetapi masa perdarahan biasanya memanjang. Pada analisa kuantitatif ditemukan

penurunan faktor II, V, VII, IX dan X. Pada pemeriksaan kimia darah tampak

hipoproteinemia, hiponatremia, serta hipokloremia, SGOT/SGPT, ureum dan pH darah

mungkin meningkat reserve alkali merendah.

2. Sumsum tulang13

Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke-5

dengan gangguan maturasi sedangkan hari ke-10 biasanya sudah kembali normal untuk

semua sistem.

3. Serologi 5,6,7,14

Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase

konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih). Ada 6

pemeriksaan serologi yang dianggap sebagai dasar yaitu :

Uji HI ( hemagglutination Inhibition Test = HI test)14

Uji ini merupakan uji yang paling sering dipakai secara rutin dan dipakai sebagai

baku emas pada pemeriksaan serologis. Antibodi HI akan lama berada di dalam darah

(>48 tahun), maka uji ini dipergunakan pada studi epidemiologi.

Antibodi HI biasanya akan timbul pada kadar yang dapat terdeteksi yaitu titer 10

pada hari ke 5/6 dari perjalanan penyakit, sedang antibodi konvalesen biasanya akan

mencapai titer 640 atau dibawahnya pada infeksi primer. Pada infeksi sekunder atau

tertier akan terjadi reaksi anamnestik yang cepat dan titer antibodi konvalesen akan

naik tinggi pada hari pertama dari jalannya penyakit mencapai 5210 sampai 10240

9

Page 10: BAB I

atau bahkan lebih. Adanya titer yang tinggi, 1280 atau lebih pada spesimen akut,

menunjukkan adanya dugaan infeksi baru (recent infection) dan dianggap sebagai

diduga keras infeksi dengue baru. Titer HI yang tinggi biasanya berlangsung selama

2-3 bulan pada beberapa pasien, tetapi secara umum titer HI akan mulai menurun

pada hari ke 30-40.

Keuntungan : sederhana, mudah, murah, sensitif ,dan ideal untuk

seroepidemiologi

Kerugian : memerlukan spesimen akut dan konvalesen sehingga

menunggu waktu yang lama, tidak spesifik dalam

menentukan serotipe virus.

Tabel 2.1 Interprestasi Uji Inhibisi Hemaglutinasi 10,14

Respon Interval Titer Interprestasi

antibodi S1-S2* konvalesen

- Naik 4 X lipat ≥ hari ke 7 ≤1:1280 Infeksi flavivirus akut,

primer

- Naik 4 X lipat Sembarang ≥1:2560 Infeksi flavivirus akut,

spesimen sekunder

- Naik 4 X lipat < hari 7 ≤1:1280 Infeksi flavivirus akut,

baik primer atau sekunder

- Tidak ada Sembarang >1:2560 Infeksi flavivirus

terakhir, perubahan

spesimen sekunder

- Tidak ada ≥ hari ke 7 ≤1:1280 Bukan dengue

perubahan

- Tidak ada < hari ke 7 ≤1:1280 Tak dapat

perubahan diinterprestasikan

- Tak ada Spesimen ≤1:1280 Tak dapat

perubahan tunggal diinterprestasikan

10

Page 11: BAB I

*S1 = Serum akut S2 = Serum konvalesen

Uji Pengikatan Komplemen (Complement Fixation test = CF test)14

Uji ini jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin.. Antibodi Pengikat

Komplemen (CF antibodi) biasanya timbul setelah antibodi HI timbul dan sifatnya

lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya cepat menghilang dari darah (2-3

tahun).

Keuntungan : lebih spesifik dan dapat memastikan infeksi dengue pada

pasien dengan spesimen yang diambil pada akhir infeksi.

Kerugian : paling kurang sensitif, cara pemeriksaan agak rumit

prosedurnya dan memerlukan tenaga pemeriksa yang

berpengalaman.

Uji Neutralisasi (Neutralization test = NT)14

Uji ini memakai cara yang disebut plaque reduction neutralization test (PRNT) yaitu

berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Umumnya antibodi netralisasi

timbul bersamaan atau sedikit lebih lambat dari antibodi HI tetapi lebih cepat dari

timbulnya antibodi pengikatan komplemen. Antibodi netralisasi juga akan bertahan

lama di dalam darah (>48 tahun).

Keuntungan : uji paling sensitif dan spesifik dibanding uji serologi lain.

Kerugian : mahal, cara pemeriksaan rumit dan memerlukan waktu yang

lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

Uji IgG Elisa

Uji ini sebanding dengan uji HI namun sedikit lebih sensitif.

Keuntungan : sederhana, mudah dilakukan dan sangat mudah untuk

memeriksa sampel dalam jumlah banyak

Kerugian : sangat tidak spesifik, banyak reaksi silang dengan flavivirus

yang lain, tidak dapat menentukan serotipe

Uji ELISA (IgM captured ELISA = Mac.ELISA)

11

Page 12: BAB I

Uji berdasarkan atas adanya antibodi IgM pada serum penderita yang ditangkap oleh

goat anti human IgM pada suatu permukaan kasar. Antibodi anti-dengue IgM akan

timbul lebih dulu daripada antibodi anti-dengue IgG, dan biasanya sudah terdeteksi

pada hari ke 5. Pada infeksi primer, titer IgM dapat juga lebih tinggi dibandingkan

pada infeksi sekunder. Pada beberapa infeksi primer IgM dapat bertahan didalam

darah sampai 90 hari setelah infeksi, tetapi biasanya IgM sudah menurun dan hilang

pada hari ke 60.

Keuntungan : sederhana, tidak memerlukan alat canggih, kurang sensitif

dibanding HI tetapi hanya menggunakan spesimen akut saja.

Kerugian : waktu pengambilan spesimen harus tepat, tidak selalu dapat

menentukan secara pasti adanya infeksi baru.

Tabel 2.2 Interprestasi Uji MAC-ELISA 14

IgM Interval Rasio IgM Interprestasi

Spesimen I-II terhadap IgG

- Fraksi 2-14 hari tinggi Infeksi flavivirus akut,

Molar meningkat primer

rendah Infeksi flavivirus akut,

sekunder

- Fraksi molar 2-14 hari tinggi Infeksi flavivirus baru,

meningkat, tetap primer

atau menurun rendah Infeksi flavivirus baru,

sekunder

- Meningkat spesimen tunggal tinggi Infeksi flavivirus baru,

primer

rendah Infeksi flavivirus baru,

kemungkinan sekunder

Uji cepat dalam bentuk kit 10,14

12

Page 13: BAB I

Saat ini beredar uji cepat dalam bentuk kit untuk mendeteksi antibodi IgM/IgG.

Contoh : Dengue rapid dari Panbio, Australia.

Keuntungan : sangat sederhana, tidak membutuhkan peralatan dan

keahlian, serta dapat dibaca dalam beberapa menit.

Kerugian : ketelitian uji ini masih belum banyak diketahui dan perlu

standarisasi.

Tabel 2.3. Imunokromatografi cepat/panBio 14

IgM IgG Interprestasi

+ - Infeksi primer

+ + Infeksi sekunder

- + Kemungkinan DBD atau infeksi

sekunder

5. Isolasi virus

Bahan pemeriksaan adalah spesimen darah/serum, plasma atau cairan buffy coat, dari fase

akut jaringan-jaringan baik dari pasien hidup (melalui biopsi), maupun fase akut jaringan

autopsi dari kasus yang meninggal terutama dari hati, limpa, timus, dan nyamuk yang

dikumpulkan di alam.

II.10 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi

apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.

Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan.

Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG 14.

II.11 DIAGNOSIS BANDING

1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri maupun

virus, seperti demam tifoid, malaria dan sebagainya. Pemeriksaan LED dapat

dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Adanya

13

Page 14: BAB I

trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD

dengan penyakit lain.

2. Idiophatic thrombpcytopenic purpurae (ITP)14

Pada ITP sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam

disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan

dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai

hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat

kembali normal dari ITP.

3. Demam chikugunya14

Pada penyakit ini biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya

mirip influenza. Demam cikungunya mempunyai serangan demam mendadak, masa

demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,

injeksi konjuntiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji torniquet positif,

petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada demam cikungunya tidak

ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.

II.12 KOMPLIKASI

Ensefalopati dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan

karena perdarahan, tetapi dapat pula terjadi pada DBD tanpa disertai syok. Gangguan

metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab

terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka

kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara

sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Pada ensefalopati dengue,

kesadaran pasien menurun menjadi apati dan somnolen, dapat disertai atau tanpa

kejang. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar

transaminase (SGOT/SGPT), PT dan APTT memanjang, kadar gula darah turun,

alkalosis pada analisa gas darah, dan hiponatremia (bila mungkin periksa amoniak

darah).5,6,8

Kelainan ginjal

14

Page 15: BAB I

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok

yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun

jarang. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk

mengetahui apakah syok telah teratasi. Pada keadaan syok berat sering dijumpai acute

tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan

kreatinin.6,8

II.13 PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi perembesan cairan

plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan. Penatalaksanaan

DBD tanpa penyulit adalah :

A. Nonfarmakologis

1. Tirah baring

2. Makanan lunak dan bila belum nafsu makan diberi minum 1,5-2 liter/24 jam (susu,

air dengan gula, sirop) atau air tawar ditambah garam.

B. Farmakologis

1. Medikamantosa yang bersifat simtomatis

Obat antipiretik atau kompres di kepala, ketiak, dan inguinal dapat diberikan bila

diperlukan. Untuk menurunkan suhu < 39°C, dianjurkan pemberian antipiretik

golongan asetaminofen, eukinin, atau dipiron. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan

(indikasi kontra) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau asidosis.

2. Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder

3. Cairan intravena (rekomendasi WHO) : 10,14

a. Kristaloid

Kristaloid diberikan 500 cc (1 kolf) tiap 4-6 jam. Jenis kristaloid :

- Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat

(D5/RL)

- Larutan ringer asetat ( RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat

(D5/RA)

- Larutan NaCl 0,9 % (Garam Faali= GF) atau dekstrosa 5 % dalam larutan

Faali (D5/GF)

b. Koloid

15

Page 16: BAB I

Koloid diberikan pada DBD derajat III dan IV bila diperlukan. Dosis

10-20ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Jenis

koloid :

- Dekstran 40

- Plasma

Indikasi tranfusi darah dilakukan pada :11,14

Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena)

Pasien DSS yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan penurunan kadar Hb dan

Ht

Indikasi transfusi trombosit : 11,14

Perdarahan dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai DIC.

Perdarahan dengan jumlah trombosit <50.000/mm3 tanpa disertai DIC.

Tanpa adanya perdarahan, profilaksis transfusi trombosit diindikasikan jika jumlah

trombosit 10.000 – 20.000/mm3 (10-20ml/kg dari trombosit atau 0,4u/m2).

Indikasi rawat pasien DBD : 11,12

Adanya tanda-tanda syok

Sangat lemah sehingga asupan oral tidak dapat mencukupi

Perdarahan

Hitung trombosit ≤ dengan 100.000/mm3 dan atau peningkatan Ht 10-20%

Perburukan ketika penurunan suhu

Nyeri abdominal akut hebat

Tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit pada fase kritis (berlangsung 24-48 jam)

sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5 perjalanan penyakit. Umumnya fase ini

pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena anoreksia atau muntah

Pasien DBD perlu diobservasi terhadap penemuan dini tanda renjatan : 11

Keadaan umum memburuk

Hati makin membesar

16

Page 17: BAB I

Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia

Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala

Pada pasien dengan renjatan dilakukan : 12,14

1. Pemasangan infus dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan diatasi.

2. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan tiap jam, serta

Hb dan Ht tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.

Pada pasien DSS diberikan cairan intravena yang diberikan dengan diguyur,

seperti NaCl, ringer laktat yang dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan teratasi.

Bila tak tampak perbaikan dapat diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran

atau preparat hemasel sejumlah 15-29 ml/kgBB dan dipertahankan selama 12-48 jam

setelah renjatan teratasi. Bila pada pemeriksaan didapatkan penurunan Hb dan Ht maka

diberikan tranfusi darah. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada

semua pasien syok. 11,12

Kriteria untuk memulangkan pasien : 3,6,7,8

Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi antipiretik

Nafsu makan membaik

Tampak perbaikan secara klinis

Hematokrit stabil

Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok

Tidak ada distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)

Jumlah trombosit ≥ 50.000/mm³

II.14 PROGNOSIS 1

Mortalitas pada penyakit DBD cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di

Surabaya, Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit

umumnya lebih ringan daripada anak-anak.

II.15 PENCEGAHAN

17

Page 18: BAB I

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat menangkal virus dengue dengan

berbagai serotipe. Satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue adalah dengan

memerangi nyamuk Aedes aegypti yang berperan sebagai vektor penularan virus dengue.

Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode

yang tepat yaitu 11:

1. Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat,

modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan

manusia, dan perbaikan desain rumah. Pencegahan dapat dilakukan dengan

langkah 3 M yaitu:

Menguras bak air sekurang-kurangnya sekali seminggu

Menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk

Mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air

2. Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik

(ikan adu/ ikan cupang), dan bakteri ( Bt.H-14)

3. Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan :

Pengasapan/ fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk

mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti:

gentong air, vas bunga kolam dan lain-lain.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara diatas, yang disebut “3 M Plus”, yaitu menutup, menguras,

menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan

jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa,

menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,

memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai kondisi setempat.

18

Page 19: BAB I

BAB III

KESIMPULAN

1. Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut disertai manifestasi perdarahan,

trombositopenia, dan hemokonsentrasi yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

19

Page 20: BAB I

2. Penyebab penyakit demam berdarah dengue di Indonesia adalah virus dengue tipe DEN-

1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue tipe DEN-3 merupakan penyebab demam

berdarah dengue terbanyak di Indonesia.

3. Penyakit demam berdarah dengue dapat menyerang semua orang dan dapat

mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan kejadian luar

biasa atau wabah.

4. Dalam menegakkan diagnosis serta tatalaksana demam berdarah tidaklah mudah, oleh

karena itu perlu dipahami perjalanan penyakit agar dapat tercapai pengobatan yang tepat

dalam rangka mengurangi angka kematian.

5. Pengobatan demam berdarah dengue umumnya bersifat suportif yaitu : Nonfarmakologis;

tirah baring dan diet lunak. Farmakologis : medikamentosa yang bersifat simtomatis,

terapi cairan intravena, dan tranfusi darah jika diperlukan.

6. Cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD adalah Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) dengan “3 M plus” yang melibatkan seluruh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul L, Rusepno H , Sumarmo . Beberapa Penyulit dalam Pengobatan Dengue Shock Syndrome Berat, dalam Buku Demam Berdarah Dengue (Sepuluh Tahun Penelitian pada Anak di Jakarta). FK UI, Jakarta, 1985 : 219-225.

2. Poorwosoedarmo S. Dengue Shock Syndrome, dalam Buku Demam Berdarah Dengue (Sepuluh Tahun Penelitian pada Anak di Jakarta). FK UI, Jakarta, 1985 : 249-257.

20

Page 21: BAB I

3. Poorwosoedarmo S. Demam Berdarah Dengue. Medika, Jakarta, 1995 : 798-808.

4. Staf Pengajar IKA FK UI, Ilmu Kesehatan Anak, Buku ke-2, Jakarta, 1985 : 607-621.

5. Sumarmo, Demam Berdarah Dengue, Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta, 1995 : 39-43.

6. Pasaribu S, Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue, Cermin Dunia Kedokteran, 1992 : 39-43.

7. Sumarmo, Marliane S , Martoatmojo K . Clinical Observation on Dengue Shock Syndrome (an Evaluation of steroid Treatment), dalam Buku Demam Berdarah Dengue (Sepuluh Tahun Penelitian pada Anak di Jakarta):FK UI, Jakarta, 1985 : 45-53.

8. Mansjoer, A, dkk . Kapita Selekta Kedokteran, Demam Berdarah Dengue, Jilid ke-2, Edisi 3, Penerbit Media Aesculapius, FK UI, Jakarta, 2000.

9. Halstead, S.B, Demam Berdarah Dengue / Syndrom Shock Dengue, dalam Nelson : Ilmu Kesehatan Anak, Behrman, RE, Vaughan, V.C, (ed) alih bahasa : Moelia Radja Siregar dan Maulang, Bagian 2, ed. 12, EGC, Jakarta, 1992 : 296-298.

10. Anonim. http://www.searo.who.int/en/Section10/Section332/Section554_2566.htm. di akses: 23 April 2010.

11. Direktorat Jenderal P2M PLP, Dep. Kes. RI, Tatalaksana Demam Dengue / Demam Berdarah Dengue, 1999.

12. Samsi, T.K, Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras, Cermin Dunia Kedokteran, 2000 : 5-13.

13. Suratte, V., Dengue Hemorrhagic Fever : Hematological Abnormalities and pathogenesis. Di dalam buku : New Development in Pediatrics Research, editor : Ghai O.P, Vol. I, Indian Academy of Pediatrics, New Delhi 1971 : 447-453.Available at :http.www.mdconsult.com/article ; cited :23 April 2010.

14. Anonym.http://emedicine.medscape.com/article. Di akses : 23 April 2010.

21