bab i

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Diabetes Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropati (Sukandar dkk, 2008). Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2005). Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah kadar glukosa puasa > 126 mg/dL atau pada 2 jam setelah makan > 140 mg/dL atau HbA1c > 8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan > 140 mg/dL lebih kecil dari 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi lemah (Sukandar dkk, 2008). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini:

Upload: lita-astriani

Post on 11-Dec-2014

10 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Diabetes

Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropati (Sukandar dkk, 2008). Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2005).

Kriteria diagnosis diabetes melitus adalah kadar glukosa puasa > 126 mg/dL atau pada 2 jam setelah makan > 140 mg/dL atau HbA1c > 8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan > 140 mg/dL lebih kecil dari 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi lemah (Sukandar dkk, 2008). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1 Kriteria Penegakan Diagnosis (Depkes RI,2005)

1.2. Klasifikasi dan Penyebab Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan

Page 2: BAB I

untuk mengklasifikasikannya. Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics.

Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul. Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya (Depkes RI, 2005).

1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita

Page 3: BAB I

diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).

2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia. Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan (Depkes RI, 2005)..

Diabetes melitus tipe 2 terjadi pada 90 % dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relative. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipopilis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skeletal. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan karena gaya hidup penderita diabetes (kelebihan kalori, kurangnya olahraga, dan obesitas) dibandingkan pengaruh genetik (Sukandar dkk, 2008).

Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 2. Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-anak. Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2

Page 4: BAB I

biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Langkah yang berikutnya, jika perlu, perawatan dengan lisan antidiabetik drugs (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok: a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal

b.Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)

c.Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140mg/dl)

d.Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140mg/dl) .

(Depkes RI, 2005).3.Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut (Depkes RI, 2005).

1.3 Gejala Diabetes melitus

Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh. Kadang-kadang ada pasien yang sama sekali tidak merasakan adanya keluhan. Mereka mengetahui adanya diabetes hanya karena pada saat check-up ditemukan kadar glukosa darahnya tinggi. Pasien dapat terkena komplikasi pada mata hingga buta atau komplikasi lain seperti kaki busuk (gangren), komplikasi pada ginjal, jantung, dan lain-lain. Beberapa faktor yang dapat menunjang timbulnya Diabetes

Page 5: BAB I

mellitus yaitu obesitas dan keturunan, sedangkan gejala yang dapat diamati adalah polidipsia, poliuria, dan polipfagia. Gejala-gejala ini perlu mendapat tanggapan di dalam penyusunan diet penderita Diabetes melitus (Depkes RI, 2005).

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes RI, 2005).

Gejala Klinik

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal

Page 6: BAB I

yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).

Page 7: BAB I

Gambar 1Alogaritma kontrol glycemic untuk DM tipe 2 pada anak dan dewasa

(Pharmacotherapy Handbook 7th edition, 2009)

Page 8: BAB I

BAB IIDiabetes Melitus (DM) Tipe 2 Pada Ibu Menyusui

2.1 Prevalensi Terjadinya DM Tipe 2 Pada Ibu Menyusui

Sekitar 7% wanita hamil mengalami diabetes gestasional dengan

prevalensi berkisar dari 1% sampai 14% tergantung pada populasi penelitian

dan tes yang digunakan untuk diagnosis. Menurut The American Diabetic

Association, wanita yang memiliki resiko untuk menderita diabetes mellitus

gestasional adalah wanita dengan obesitas, memiliki riwayat diabetes mellitus,

glikosuria atau riwayat dari keluarga diabetes. Wanita dengan factor resiko

harus menjalani pengujian diabetes mellitus gestasional antara minggu ke-24

dan 28 kehamilan (Dipiro, 2005). Pada penelitian yang dilakukan di Qatar

diketahui bahwa prevalensi gestational diabetes melitus sebesar 16 % dan

secara signifikan dialami oleh wanita dengan umur 35-45 tahun

2.2 Komplikasi DM Tipe 2 Pada Ibu Menyusui

Secara umum, perawatan pasien yang mengalami diabetes mellitus

yang buruk dapat meningkatkan resiko serangan jantung, stroke, kebutaan,

gagal ginjal, amputasi pada kaki serta kematian. Sehingga perlu diberaknnya

penanganan khusus terhadap pengontrolan sistem metabolik pada pasien

tersebut. (Rafique, 2006). Laktogenesis dapat mempengaruhi profil

kardiometabolik darah, termasuk pada penurunan profil atheronergic lipid

serta penurunan jumlah gula darah dan konsentrasi insulin. Hal tersebut terjadi

akibat penerimaan noninsulin yang dimediasi oleh sel dari produksi glukosa

untuk air susu.

Pada ibu menyusui tidak ditemukan masalah serius terkait komplikasi

pada diabetes mellitus tipe 2 terhadap kondisi penyakit pada wanita yang

sedang menyusui. Pada beberapa studi ditemukan bahwa terjadi peningkatan

sensitifitas insulin. Hubungan antara diabetes tipe 2 dan ibu menyusui terjadi

secara kompleks, dimana pada beberapa studi pada wanita beresiko tinggi dan

rendah menunjukkan laktasi atau menyusui menurunkan resiko

berkembangnya penyakit diabetes tipe 2. Dimana pada studi menunjukkan

Page 9: BAB I

wanita dengan proses menyusui selama 3 bulan dengan riwayat gestational

diabetes mengalami peningkatan fungsi sel B-pankreas tanpa mengalami

perbedaan jumlah jaringan adipose. Pada ibu menyusui terjadi peningkatan

sekresi insulin dan peningkatan sensifitas insulin dari peningkatan jumlah

Index Disposisi. Indeks Disposisi merupakan hubungan antara sensitifitas

insulin dan respon insulin akut terhadap glukosa. Dengan meningkatnya

Indeks Disposisi menunjukkan wanita tersebut mampu meningkatkan

perawatan fungsi sel B pancreas dari derajat sensitifitasnya. Mekanisme

terjadinya peristiwa berpengaruhnya laktasi pada fungsi sel B pankreas

tersebut akibat peningkatan laju metabolism yang berpengaruh terhadap

sensitifitas insulin dan sel B pancreas. . (Ruth, 2001)

Dari studi hubungan antara intensitas laktasi terhadap toleransi glukosa

pada wanita setelah melahirkan dan resistensi insulin pada wanita dengan

gestational diabetes mellitus menunjukkan bersamaan dengan meningkatnya

intensitas menyusui akan meningkatkan kadar glukosa puasa dan penurunan

tingkat insulin pada 6-9 minggu setelah melahirkan. Proses menyusui

kemungkinan menimbulkan efek terhadap metabolism glukosa dan sensitifitas

insulin yang mengurangi resiko diabetes setelah gestational diabetes mellitus

selama kehamilan ( Erica. et al, 2012)

2.3 Rekomendasi Terapi DM Tipe 2 Pada Ibu Menyusui

Dengan meningkatnya insiden diabetes tipe 2 pada wanita reproduktif,

maka kejadian wanita dengan diabetes tipe 2 pada kehamilan meningkat.  Para

wanita kebanyakan diterapi dengan oral antidiabetic agents (OAAs) sebelum

kehamilan, dan beralih sementara ke insulin pada saat kehamilan karena

insulin tidak memiliki efek teratogenik pada janin (Feig, et al, 2007). Setelah

bayi lahir, tubuh mulai pulih dari kerja keras kehamilan dan

persalinan. Beberapa ibu memiliki kontrol glukosa darah yang lebih baik

dalam beberapa minggu pertama setelah melahirkan. Cara terbaik adalah

memeriksa kadar glukosa darah untuk menghindari kadar glukosa darah tinggi

atau rendah. Jika mengidap diabetes tipe 2, biasanya pasien dapat kembali ke

Page 10: BAB I

obat yang sama sebelum kehamilan, selama obat tersebut mengendalikan

diabetes dengan baik sebelumnya dan tidak memberikan efek yang tidak

diinginkan pada bayi melalui air susu (American Diabetic Association, tt).

Begitu kehamilan dikonfirmasi, insulin adalah satu-satunya terapi

farmakologis yang diterima selama kehamilan untuk wanita dengan DM di

Amerika Serikat. Di Eropa, metformin dan glyburide kadang-kadang

digunakan dalam kehamilan untuk DM tipe 2, tetapi penggunaannya masih

kontroversial. Mengenai penggunaan postnatal, metformin tampaknya aman

pada ibu menyusui karena muncul dalam susu dalam jumlah signifikan dan

tidak terdeteksi dalam sirkulasi bayi yang disusui (Dipiro, et al, 2005).

The American Academy of Pediatrics telah mengeluarkan daftar obat

yang biasanya bisa diberikan pada ibu menyusui, salah satunya adalah insulin.

Tetapi ketika kehamilan terkadang harus dilakukan peralihan dari OAAs ke

insulin. Pasca melahirkan, kebanyakan pasien ragu untuk melanjutkan

penggunaan insulin karena ketidaknyamanan atas rasa sakit yang ditimbulkan

akibat penggunaan insulin. Pemaparan sulfonilurea generasi kedua (glipizide,

glyburide) melalui air susu terlihat minimal didasarkan pada data yang

tersedia. Wanita dengan diabetes tipe 2 sebaiknya tidak dijauhkan dari

menyusui karena keuntungan menyusui lebih besar jika dibandingkan dengan

resiko akibat pengobatan sang ibu dengan OAAs (Glatstein, et al, 2009).

Dari data yang tersedia, disimpulkan bahwa konsentrasi glyburid and glipizid dalam air susu dapat diabaikan dan tidak dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada bayi yang disusui. Tetapi bayi seharusnya juga dimonitoring terhadap tanda-tanda

hipoglikemi ketika ibu menyusui menerima terapi dengan obat ini. Terapi

dengan metformin selama laktasi tidak akan menyebabkan toksisitas pada bayi

yang disusui. Jika dibandingkan dengan sulfonilurea, maka dipertimbangkan

metformin sebagai lini pertama pengobatan diabetes secara oral selama

laktasi. Tetapi sulfonilurea generasi kedua juga aman digunakan selama

laktasi (Glatstein, et al, 2009).

Page 11: BAB I

2.4 Obat Antidiabetes DM Tipe 2

2.4.1 Obat yang aman pada saat menyusui

1. Insulin

2.Metformin

Metformin diekskresikan ke dalam ASI pada tingkat yang sangat rendah.

Dua puluh dua perempuan diberi metformin saat menyusui. Terdapat studi

yang mengamati efek jangka panjang dari bayi yang disusui oleh ibu yang

mengkonsumsi metformin sebagai OAA. Dari 61 bayi menyusui dari ibu

yang megkonsumsi metformin selama kehamilan dan menyusui, tidak ada

perbedaan yang signifikan dalam berat badan, tinggi, atau pengembangan

motor-sosial pada 3 dan 6 bulan jika dibandingkan dengan 50 bayi yang

diberi susu formula bayi (Feig, et al, 2007).

2.4.2 Obat dengan perhatian khusus saat menyusui

1. Sulfonilurea

- Dalam studi baru-baru ini, diamati penggunaan sulfonilurea generasi

kedua, glyburide dan glipizide pada ibu menyusui dengan DM.  Kedua

obat tampaknya kompatibel dengan menyusui. Wanita baik diberi dosis

tunggal glyburide (5 atau 10 mg, n = 8) atau dosis harian glyburide atau

glipizide (5 mg / hari, n = 5). Tidak ada glyburide yang ditemukan pada

sampel susu (Feig, et al, 2007). Hal ini mungkin disebabkan ikatan

glyburid dan glipizide yang kuat pada protein plasma sehingga diamati

lemahnya transfer kedua obat ini pada air susu (Glatstein, et al, 2009).

2.4.3 Obat yang kontra indikasi saat menyusui

1.Sulfonilurea

Generasi pertama sulfonilurea yaitu tolbutamid dan klorpropamid, telah ditemukan dapat mencapai air susu ibu. Tolbutamid diekskresikan pada air susu ibu dalam jumlah kecil (kurang dari 0,5% dari dosis yang sesuai

Page 12: BAB I

dengan berat badan ibu). Tolbutamid sebanyak 500 mg dua kali sehari menghasilkan level 3 dan 18 μg/mL pada air susu dari 2 pasien. Sedangkan klorpropamid ditemukan pada air susu dengan konsentrasi 5 μg/mL (kira-kira 10% dari dosis yang sesuai dengan berat badan ibu) setelah pemberian 500 mg dosis oral pada ibu. Tidak ada efek klinis pada bayi yang dilaporkan setelah pemaparan dengan kedua agen ini (Glatstein, et al, 2009).

2. Thiazolidinediones

Tidak ada laporan studi yang mengevaluasi perjalanan thiazolidinediones ke

dalam ASI (Feig, et al, 2007).

Jadi dapat disimpulkan :

Terapi farmakologis DM tipe 2 pada ibu menyusui

Aman Perhatian khusus (perlu monitoring tanda-

tanda hipoglikemi pada bayi)

KI

- Insulin

-Metformin

- Glyburid

- Glipizid

- Tolbutamid

- Klorpropamid

BAB III

PEMBAHASAN STUDI KASUS

Kasus: Seorang wanita yang mengalami dibetes melitus tipe 2 meminta penjelasan mengenai obat dibetes yang aman untuk digunakan pada saat ia menyusui

Obat apa yang diberikan?

Bagaimana seorang apoteker memberikan KIE mengenai resep yang diberikan?

Saran mengenai nutrisi yang diperlukan untuk menjaga kesehatan selama menyususi?

Kesuksesan pengobatan diabetes juga dipengaruhi oleh perubahan gaya

hidup pasien seperti nutrisi yang sesuai, monitoring gula darah dan urin (untuk

Page 13: BAB I

deteksi ketosis), serta ketaatan dalam meminum obat yang telah diresepkan

(Dipiro, et al, 2005). Menyusui baik untuk wanita dengan diabetes, tetapi dapat

membuat kadar gula darah lebih sulit diprediksi. Untuk membantu mencegah

kadar glukosa darah yang rendah selama menyusui, disarankan :

1. Rencanakan untuk makan sebelum atau selama menyusui

2. Minum cairan yang cukup (rencana untuk minum segelas air atau

minuman bebas kafein ketika menyusui)

(American Diabetic Association, tt).

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetic Association. tt. Living with Diabetes : Complications,

Pregnant Woman, After Delivery. Available at:

http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/complications/pregnant-

women/after-delivery.html. cited on : 14 April 2013

DiPiro, J.T., R.L.Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells., L.M. Posey. 2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. USA : McGraw-Hill.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.

Page 14: BAB I

Feig, D.S., Gerald G.B., Gideon K. 2007. Oral Antidiabetic Agents in Pregnancy

and Lactation: A Paradigm Shift?. Ann Pharmacother 41(7) : 1174-1180.

Glatstein, M.M., Nada D., Facundo G-B., Yaron F., Gideon K. 2009. Motherisk

Update : Use of hypoglycemic drugs during lactation. Canadian Family

Physician Vol 55: 371-373.

Sukandar, E. Y., dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT.ISFI Penerbitan.

Wells, Barbara G.,et all. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. USA : McGraw-Hill Companies, Inc.