bab i

46
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cedera kepala atau trauma kapitis merupakan proses terjadinya trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala atau wajah yang berakibat disfungsi serebral sementara. 1 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan gangguan fisik maupun mental yang utama terjadi pada kelompok usia produktif, dewasa maupun anak-anak dan sebagian besar disebabkan karena kecelakaan lalu lintas. 2 Gangguan yang ditimbulkan dari cedera kepala dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena cedera kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak. 3 Di Amerika serikat insidensi cedera kepala diperkirakan sekitar 1,6 juta orang pertahunnya dan lebih dari 550.000 orang dirawat di rumah sakit karena cedera fatal. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 sampai 90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen. 2,4 Di indonesia walaupun belum tersedia data secara nasional, cedera kepala juga merupakan kasus yang sangat sering

Upload: tresnanda-bellawana

Post on 31-Oct-2014

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Cedera kepala atau trauma kapitis merupakan proses terjadinya trauma

langsung atau deselerasi terhadap kepala atau wajah yang berakibat disfungsi

serebral sementara.1 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian

dan gangguan fisik maupun mental yang utama terjadi pada kelompok usia

produktif, dewasa maupun anak-anak dan sebagian besar disebabkan karena

kecelakaan lalu lintas.2 Gangguan yang ditimbulkan dari cedera kepala dapat

bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual,

serta gangguan fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena cedera

kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar

hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.3

Di Amerika serikat insidensi cedera kepala diperkirakan sekitar 1,6 juta

orang pertahunnya dan lebih dari 550.000 orang dirawat di rumah sakit karena

cedera fatal. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 sampai

90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen.2,4 Di indonesia walaupun

belum tersedia data secara nasional, cedera kepala juga merupakan kasus yang

sangat sering dijumpai disetiap rumah sakit. Pada tahun 2005 di RSCM

terdapat 434 pasien cedera kepala ringan, 315 cedera kepala sedang, dan 28

pasien cedera kepala berat. 3

Penderita cedera kepala memerlukan pemeriksaan dan resusitasi yang

sangat cepat. Salah satu jenis pemeriksaannya dengan menggunakan Glasglow

Coma Scale (GCS) dan Revised Trauma Score (RTS) untuk menentukan

tingkat keparahan cedera kepala.3 Tingginya angka kematian pada kasus

cedera kepala menunjukan bahwa kasus tersebut sangat serius dan perlu

tindakan yang cepat dan tepat.3 Oleh karena itu, sangatlah penting bagi

seorang klinisi untuk mengerti menegenai cedera kepala, mengingat

konsenkuensi yang ditimbulkan sangat fatal. Hal yang lebih mendalam

mengenai cedera kepala akan dibahas dalam bab selanjutnya.

Page 2: BAB I

2

I.2 Tujuan dan Manfaat

I.2.1 Tujuan Umum

Syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Blok.

I.2.2 Tujuan Khusus

Mengetahui mengenai cedera kepala, anatomi kepala, aspek fisiologis,

patofisiologi, klasifikasi serta penatalaksanaan pada cedera kepala.

I.2.3 Manfaat

a. Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah pengetahuan

serta wawasan penulis mengenai cedera kepala.

b. Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang cedera kepala serta

penanganannya.

c. Dapat menambah bahan bahan pustaka institusi.

Page 3: BAB I

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI CEDERA KEPALA

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik

secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat

pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang

dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury

Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada

kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan

oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik.5

II.2 ANATOMI KEPALA

a. Kulit

Kulit kepala menutupicranium dan meluasdari line nuchalis superior

pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala

terdiri dari lima lapis jaringan :

Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak

kelenjar keringat serta folikel rambut.

Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan ,

memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.

Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat

yang kuat dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis

dan muskulus frontalis.

Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.

Pericranium

Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang

garis sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu,

subperiosteal hematom terbentuk pada tulang tengkorak.

Page 4: BAB I

4

Gambar 2.1 Lapisan Kepala

b. Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.

Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini

dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga

dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi

dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa

anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa

posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.6

c. Meninges

Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3

lapisan yaitu:

1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu

lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan

selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat

erat pada permukaan dalam cranium. Karena tidak melekat pada

selaput aracnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial

(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan aracnoid, dimana

sering dijumpai perdarahan subdural.5

Pada cedera otak pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada

Page 5: BAB I

5

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau

disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan

perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah

vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus –

sinus tersebut dapat menimbulkan perdarahan hebat.5

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam

dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala

dapat menyebabkan laserasi pada arteri – arteri tersebut dan

menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami

cedera arteri meningea media yang terletak di fossa temporalis (fossa

media).5

2) Selaput arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan selaput yang tipis dan tembus

pandang. Selaput arakhnoid terletaak antara piamater sebelah dalam

dan diramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini

dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium

subdural dan dari piamater oleh spatium sub arakhnoid yang terisi

liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya

disebabkan oleh cedera kepala.7

3) Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater

adalah membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak,

meliputi gyrus danb masuk kedalam sulcus yang paling dalam.

Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan

epineuriumya. Arteri – arteri yang masuk kedalam subtansi otak juga

diliputi oleh piamater. 5

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan baerat pada orang dewasa

14 kg. Otak terdiri daribeberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)

terdiri dari serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari

thalamus dan hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon

(midbrain) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla

Page 6: BAB I

6

oblongata dan serebelum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus

parietal berhubungan dengan sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal

mengatur funsi memori tertentu, lobus oksipital bertanggung jawab dalam

proses pengelihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem

aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada

medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum bertanggung

jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.7

Gambar 2.2. Otak beserta area fungsinya

e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20ml/jam. Cairan serebrospinal mengalir dari

ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari

aquaductus sylvius menuju ventrikel IV. Cairan serebrospinal akan

direabsorpsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid (villi

aracnoidea) yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah

dalam cairan serebrospinal dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga

mengganggu penyerapan cairan serebrospinaldan menyebabkan kenaikan

tekanan intrakranial. Angka rata – rata pada kelompok populasi dewasa

Page 7: BAB I

7

volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.8

f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang

supratentorial (terdiri dari fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan

ruangan infratentorial (berisi fossa cranii posterior).5

g. Vaskularisasi

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan

membentuk sirkulus Willisi. Vena – vena otak tidak mempunyai jaringan

otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.

Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke sinus venosus cranialis.5

II.3 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA

a. Tekanan intrakranial

Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi

yang selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak

buruk terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat

menimbulkan konsekuensi yang menggangu fungsi otak. Tekanan

intracranial normal kira – kira 10 mmHg, Tekanan intracranial lebih tinggi

dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Semakin tinggi tekanan intracranial

setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.7

b. Hukum Monroe – Kellie

Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat

dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intracranial (Vic)

adalah sama dengan jumlah total voleme komponen – komponennya yaitu

volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan

volume darah (V bl).

Vic = V br + V csf + V bl.

Volume tekanan intracranial pada dewasa 1500 mL, karena volume

intracranial tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapi

tindakan kompensasi terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial.4

c. Tekanan Perfusi otak

Page 8: BAB I

8

Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata – rata

(mean arteral pressure) dengan tekanan intracranial. Pada otak manusia

normal tekanan perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 – 150 mmHg, hal

ini dipengaruhi karena autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak

kurang dari 50 mmHg atau lebih besar dari 150 mmHg akan memberikan

prognosa yang buruk bagi penderita.4

d. Aliran darah otak

Aliran darah otak normal kira – kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit.

Bila aliran darah otak menurun sampai 20 – 25 ml/100 gr/menit EEG

(sebagai alat pemantau fungi otak melalui sinyal yang dipancarkan) akan

menghilang. Apabila aliran darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit maka sel –

sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.4

II.4 PATOFISOLOGI CEDERA KEPALA

Kerusakan otak pada penderita cedera kepala dapat terjadi dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera

otak sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras.

Gambar 2.3 Cedera kepala

Mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup.

Page 9: BAB I

9

Cedera primer yang diakibatkan aleh adanya benturan pada tulang tengkorak

pada daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan

dengan tempat benturan akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi

terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat

terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tualng tengkorak (substansi solid)

dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat

dari muatan intracranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari

benturan (countercoup).5

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses

patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,

berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,

peningkatan tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.4

II.5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis

dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera

kepala, dan morfologinya.

a. Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanisme cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul

dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan

dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda

tumpul. Sedangkan untuk cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru

atau tusukan.9

b. Beratnya cedera kepala

Beratnya cedera kepala pada penderita dan untuk mengukur tingkat

kesadaran umum, dapat diklasifikasikan berdasarkan Glasgow Coma

Scale (GCS).4 Derajat kesadaran terbagi menjadi 2 yaitu secara kuantitif

dan secara kualitatif. Derajat kesadaran kualitatif meliputi :

1) Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh

asupan panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara

optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari dalam

Page 10: BAB I

10

(arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan

waspada.

2) Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness,

berarti mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat

dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan

walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi

terhadap sekitarnya menurun. Stupor atau sopor lebih rendah

daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau

suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata.

Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.

3) Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun

dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti,

motorik hanya berupa gerakan primitif.

4) Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah.

Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik

dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.9

Derajat kesadaran secara kualitatif bukan merupakan sebuah patokan

bagi penderita cedera kepala, karena dapat saja pasien dengan keadaan

komposmentis namun dari segi kuntitatifnya terdapat penurunan nilai

motorik pada pemeriksaan GCS. Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat

di ukur dengan metode GCS. Glasgow Coma Scale merupakan salah satu

komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar

pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien serta memiliki peranan

penting untuk memprediksi resiko kematian diawal trauma.3 Glasgow

Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon membuka

mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah skor

di masing – masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor

minimum 3, adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Penilaian Glasgow coma scale (GCS)

Kategori Instruksi

Page 11: BAB I

11

Respon membuka mata (E)

Respon motorik (M)

Respon verbal (V)

4 = Spontan

3 = Dengan perintah verbal

2 = Dengan nyeri

1 = Tidak ada respons

6 = Menurut perintah

5 = Dapat melokalisasi nyeri

4 = Fleksi terhadap nyeri

3 = Fleksi abnormal

2 = Ekstensi

1 = Tidak ada respon

5 = Orientasi baik dan berbicara

4 = Disorientasi (bingung) dan berbicara

3 = Kata – kata yang tidak tepat atau menangis

2 = Suara yang tidak jelas

1 = Tidak ada respon

1. Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.

(Koma – somnolen)

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9 – 13. (Somnolen)

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15. (Composmentis)

c. Morfologi cedera

Secara morfologis cedera kepal dapat dibagi atas fraktur cranium dan

Page 12: BAB I

12

lesi intrakranial.

II.5.1 Fraktur tulang tengkorak

Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau

dasar tengkorak (basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau

bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Tulang tengkorak

terdiri dari 3 lapisan yaitu:

Tabula eksterna.

Diploe.

Tabula interna.

Luas dan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal:

Besarnya energi yang membentur kepala ( energi kinetik

objek)

Arah benturan

Bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur.

Lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi.

Klasifikasi fraktur tengkorak dapat dilakukan berdasarkan:

1. Gambaran fraktur dibedakan atas:

a. Linear

b. Distase

c. Comminuted

d. Depresed

2. Lokasi anatomis, dibedakan atas:

a. Konveksitas (kubah tengkorak)

b. Basis Cranii (dasar tengkorak)

3. Keadaan luka, dibedakan atas:

a. Terbuka

b. Tertutup

Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi ketiga

klasifikasi di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal

yaitu:

1. Besarnya energi benturan

Page 13: BAB I

13

2. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan,

semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung

menyebabkan fraktur depresed.

3. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak.

II.5.1.1 Fraktur Linier

Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak

yang meliputi selkuruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan

radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.5

II.5.1.2 Fraktur Distase

Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan

sutura kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3 tahun.5

II.5.1.3 Fraktur Comminuted

Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur. Ketiga fraktur

di atas tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika disertai

lesi intrakranial seperti epidural hematoma, subdural hematoma,

dll. Jika disertai dengan laserasi SCALP, maka perlu dilakukan

debrimen yang baik dan luka dapat segera ditutup dengan

penjahitan.5

II.5.1.4 Fraktur Depressed

Diartikan sebagai fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih

tepi fraktur terletak dibawah level anatomiknormal dari tabula

interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur

ini terjadi jika energi benturan relatif besar terhadap area yang

relatif kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk tindakan operasi

terhadap fraktur depressed, antara lain:

Perubahan bentuk secara kosmetik

Laserasi SCALP yang menyebabkan fraktur terbuka.

Konstutio atau laserasi jaringan otak di bawahnya.

Lokasi fraktur, misalnya diatas sinus paranasal atau sinus

vena (sinus trombosis).

Page 14: BAB I

14

Adanya lesi intrakranial lain yang menyertai misalnya EDH

(Epidural hematoma), SDH (Subdural hematoma), ICH

(Intraserebral hematoma).5

II.5.1.5 Fraktur Konveksitas

Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang yang membentuk

koveksitas (kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os.

Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.

II.5.1.6 Fraktur Basis Cranii

Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar

tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu:

1. Fossa anterior.

2. Fossa media.

3. Fossa posterior

Fraktur pada masing – masing fossa akan memberikan

manifestasi yang berbeda.

a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior

Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os.

Sphenoid, processus clinoidalis anterior dan jugum

sphenoidalis.

Manifestasi klinis:

Ecchymosis periorbita, bisa bilateral dan disebut ‘brill

hematoma’ atau ‘racoon eyes’.

Eccymosis ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan

ecchymosis yang timbul karena cedera langsung.5

b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media

Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior

sedangkan bagian posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os.

Temporalis, processus clinoidalis posterior dan dorsum sella.

Manifestasi klinis:

Ecchymosis pada mastoid (battle’s sign).

Otorrhea, pembuktiannya sama dengan rhinorahea.

Page 15: BAB I

15

Hemotympanum; jika membran tympani robek maka

dijumpai darah pada kanalis auricularis eksterna.

Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau nervus

vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis

frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus.

Jenis ini hanya 25 %, sedangkan sisanya longitudinal

terhadap aksis pyramida petrosus.

Carotid – Cavernosus Fistula (CCF) yang ditandai dengan

chymosis, sakit kepala, adanya bruit, exopthalmus yang

berdenyut mengikuti irama jantung, gangguan visus dan

gangguan gerakan bola mata.

c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior

Merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Adanya

fraktur pada daerah ini harus waspada terhadap kemungkinan

timbulnya hematoma. Sering tidaak disertai dengan gejala dan

tanda yang jelas, tetapi dapat segera menimbulkan kematian

karena penekanan terhadap batang otak. Fraktur ini kadang –

kadang juga menyebabkan memar pada mastoid (battle’s sign).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan

penanganan fraktur basis cranii antara lain:

1. Lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS,

biasanya membaik secara spontan.

2. Tidak perlu memberikan antibiotika profilaksis karena:

a. Biasanya antibiotika tidak efektif mencegah

terjadinya meningitis.

b. Akan menseleksi organisme yang resisten terhadap

antibiotika yang diberikan, jika terjadi meningitis atau

infeksi intrakranial lainnya, akan sulit diatasi.

3. Jika setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau

berkurang serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan

secara konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk

Page 16: BAB I

16

memperbaiki dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah

saraf.5

II.5.2 Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus,

walau kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan.

Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan

konstusi (hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera

otak difus menunjukan koma di kinis.10

a. Hematoma epidural

Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang kepala yang

dapat merobek pembuluh darah terutama arteri meningea media

yang masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan

jalan antara duramater dan tulang di permukaan os. Temporal.

Pada bayi hematom epidural ini dapat dilihat bila ubun – ubun

bayi mengembung setelah trauma terjadi.11 Robeknya arteri

meningea media menimbulkan hematom epidural dan desakan

oleh hematom memisahkan duramater dari tulang kepala

sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat menekan

batang otak hingga terjadi kematian.11 Penderita akan

mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan

penurunan kesadaran setelah trauma. Gejala neurologik yang

terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral

melebar, terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia.

Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,

pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai ahkirnya

kedua pupil tidak menunjukan reaksi terhadap cahaya.8

Ciri khas hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak

waktu antara saat terjadinya trauma dan munculnya tanda

hematom epidural. Jeda waktu yang terjadi selama beberapa

menit hingga jam. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta

pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen kepala. Adanya

Page 17: BAB I

17

garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi

fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar, garis

fraktur dapat menunjukan lokasi hematom.8

b. Hematom subdural (SDH)

Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi

diantara duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 % hematom

subdural terjadi pada kasus cedera kepala berat. Hematom

tesebut terjadi akibat robeknya vena penghubung (bridging

veins) antara korteks serebri dan sinus dura. Hematom tersebut

biasanya terjadi pada kasus cedera karena pukulan. Hematom

subdural terbagi menjadi kaut dan kronis.11

1). Hematom subdural akut

Hematom subdural akut biasanya berkaitan dengan riwayat

trauma yang jelas dan yang paling sering terjadi pada regio

frontoparietal.11

2). Hematom subdural kronis

Terjadi pada riwayat trauma yang tidak jelas, hematom

tersebut sering berkaitan dengan atrofi otak, yang pada

akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah

tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin

mudah robek.11

Gambar 2.4 Hematom subdural

Page 18: BAB I

18

c. Hematom intraserebral.

Hematom intraserebral adalah perdarahan yang terjadi dalam

jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya

laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan

pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak

tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan

temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan

(coup) atau pada sisi lainya (countercoup). Defisit neurologis

yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi

dan luas perdarahan.8

Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral

adalah penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering

terjadi pada ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum

dan korteks serebral. Hematom yang mengisi ruang

menyebabkan kenaikan intrakranial. Sebagian besar perdarahan

intraserebral yang terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari

ruptur pada arteriol kecil, terutama pada cabang lentikulostriata

dari arteri serebral media.12

Gambar 2.5 Perdarahan otak

Page 19: BAB I

19

Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya

kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural

akut. Sebagian besar kontusi terjadi pada lobus frontal dan

temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk

serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi dan

hematom intarserebral traumatika tidak jelas batasnya.

Bagaimana pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi dapat secara

lambat laun menjadi hematom intraserebral dalam beberapa

hari.

d. Kontusi

Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio

jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah

yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling

sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan

dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya

`(countercoup). Defisit neurologis yang didapatkan sangat

bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

e. Edema Serebral.

Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan gejala

patologis pada penderita cedera kepala dan terjadi akibat

pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan intrakranial.

Terdapat dua terminologi yaitu edema dan swelling yang sering

diartikan sama yaitu bengkak. Edema otak menadakan adanya

penambahan kandungan air didalam jariungan otak, sedangkan

brain swelling merupakan keadaan yang diakibatkan hiperemia

dan dilatasi sistem serebrovaskular.13

f. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI)

Cedera ini terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus

neuron akibat dari gerak putar otak di dalam tengkorak kepala.

Keadaan ini sering terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak

dan kontusio serebral. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir

keseluruhan cedera kepala fatal. Cedera aksonal difus terjadi

Page 20: BAB I

20

pada hampir keseluruhan cedera kepala fatal, dua komponen

penting yang ditemukan , yaitu

Lesi perdarahan kecil dalam korpus klosum dan kuadran

dorsolateral batang otak.

Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi

dengan pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola

retraksi aksonal.12

Gambar 2.6 CT Scan Lesi Intrakranial

II.6 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS CEDERA KEPALA

Page 21: BAB I

21

Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala memiliki beberapa

kegunaan antara lain:

1. Follow-up perkembangan keadaan penderita, jika terjadi perburukan

yang mengancam jiwa akan segera diketahui.

2. Dapat memperkirakan prognosis.

3. Merencanakan pengobatan dan tindakan bedah.

4. Memudahkan komunikasi, terutama dalam sistem informasi rujukan.

Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita

cedera kepala setelah resusitasi meliputi:

1. Tingkat kesadaran.

2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.

3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.

4. Reaksi motorik terbaik.

5. Pola pernapasan.

Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam

perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post

resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh

keadaan sistemik yang belum begitu stabil.

1. Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus

dilakukan secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita

membaik atau memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik

merupakan komponen yang paling objektif. Komponen yang menjadi

tolak ukur penilaian adalah reaksi (respons) terbaik. Tingkat kesadaran

tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer otak,

tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat,

atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang

otak.

2. Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.

Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom,

yaitu simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari hipotalamus ,

melalui batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke thorakal medula

Page 22: BAB I

22

spinalis pada bagian intermediolateral. Sedangkan aferen parasimpatis

berawal dari sel ganglion retina, mengikuti nervus dan traktus optikus

hingga mencapai pretektum. Bagian eferen akan mengikuti saraf

okulomotorius ke orbita. Dua alasan penting penilaian pupil pada cedera

kepala:

Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara

anatomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan

reaksi pupil.

Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap

gangguan metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya

merupakan tanda penting untuk membedakan koma metabolik dan

koma struktural.

Gambar 2.7

Gambaran pupil pada penderita koma (sumber: Plum F, Posner

JB: The Diagnosis of stupor and coma, FA Davis, Philadelphia,

3th Ed, 1982).

Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga penilaian

langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada mata yang

langsung diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak langsung pada mata

Page 23: BAB I

23

kontralateral dari mata yang diberi rangsang cahaya. Bandingkan antara yang

kanan dengan kiri isokor atau tidak.5

Gambar 2.7

Reaksi okulosefalik dan okulovestibuler. Atas: pada batang otak yang

masih baik. Tengah:pada kerusakan FLM (Fasikulus Longitudinalis

Medialis). Bawah: pada kerusakan batang otak bagian bawah. (sumber:

Plum F, Posner JB: The Diagnosis of stupor and coma, FA Davis,

Philadelphia, 3th Ed, 1982).

3. Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar

Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai

tingkat kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu

reaksi dari penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan

kesadaran. Pada tahap awal dapat dicoba dengan rangsangan suara pada

berbagai tingkat intensitas, jika tidak memberikan reaksi, dilanjutkan

dengan goncangan ringan (light shaking), kemudian dengan rangsang

nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang diberikan antara lain:

Page 24: BAB I

24

- Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang ‘refleks

hammer’, atau benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada

kuku bagian proksimal

- Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum

- Dengan melakukan penekanan tumpul pada ‘supraorbita ridge’

4. Reaksi motorik terbaik

Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri yang

bekerja sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal lainnya.

Penilaian reaksi motorik terbaik sangat penting, karena memiliki nilai

objektif yang tinggi. Tingkat reaksi motorik dibagi atas:

a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement)

b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)

c. Postur fleksor (dekortisasi)

d. Postur ekstensor (deserebrasi)

e. Diffuse musle flaccidity

Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon). Pemeriksaan nervus

trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes kapas pada kornea,

dilakukan dari samping.5

II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala

diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan

kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas

lebih dari 5 cm, luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepala (dari

inspeksi dan palpasi), nyeri kepal yang menetap, gejala fokal neurologis,

gangguan kesadaran.

b. CT – Scan

Indikasi CT Scan adalah :

Page 25: BAB I

25

1. Nyeri kepal menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat – obatan analgesia/antimuntah.

2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna

terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3. Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor – faktor

ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat

terjadi karena misal syok, febris, dll).

4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari

GCS.

c. MRI : digunakan sama seperti CT – Scan dengan atau tanpa kontas

radioaktif.

d. Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedem, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

f. X – Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan

struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

g. CSF, Lumbal pungsi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarakhnoid.14

II.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki

tujuan yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder

serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat

membantu penyembuhan sel – sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera

kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan,

sedang, berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei prumer hal – hal yang diprioristaskan antara

lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian

Page 26: BAB I

26

dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala berat survei

primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder. 14

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi

rawat antara lain:

a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).

c. Penurunan tingkat kesadaran.

d. Nyeri kepala sedang hingga berat.

e. Fraktur tengkorak.

f. Kebocoran CSS, rhinorrhea.

g. Cedera penyerta yang jelas.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal – hal yang

dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,

hiperventilasi, pemberian manitol, dan antikonvulsan.

a. Penggunaan Manitol pada cedera kepala.

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial.

Efek tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi

dan pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga

mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan

darah, memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral.

Manitol dapat menurunkan kandungan air pada jaringan otak yang

edema. Dosis manitol, sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dn

20 persen. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5/kgBB dalam 10-20 menit,

dilakukan setip 6 jam.

Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan

pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi transtentorial

atau adanya perburukan pada keadaan neurologis yang disebakan oleh

keadaan sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan utama untuk

resusitasi awal pasien cedera kepala yang disertai dengan hipotensi,

dikenal dengan ‘small volume resuscitation fluid’.5

Page 27: BAB I

27

Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan

operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis

pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Kraniotomi

digunakan pada pasien dengan hematom epidural dan hematon subdural

sangat penting, untuk menghindari prognosis yang buruk. Secara umum

digunakan panduan sebagai berikut:

a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah

supratentorial atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.

b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.

c. Tanda fokal neurologis semakin berat.

d. Terjadi sakit kepala, mual dan muntah yang semakin berat.

II.9 PROGNOSIS

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah

mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak – anak biasanya memiliki

daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai

kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Selain

itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat

mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

Page 28: BAB I

28

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

1. Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan

penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan

kendaraan. Jenis dan beratnya kelainan akibat cedera kepala tergantung

pada lokasi dan beratnya kerusakan otak. Terjadinya cedera kepala,

kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cdera primer yang

merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera sekunder yang

terjadi akibat proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari

kerusakan otak.

2. Aspek – aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi

beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala,

beratnya cedera kepala dan morfologinya. Kerusakan otak seringkali

menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi

tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas

(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang

ditimbulakan juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,

berbicara, pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang

difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa

menyebabkan kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat

keparahan pada penderita cedera kepala digunakan pemeriksaan

kesadaran dengan menggunakan skala koma glasgow (GCS). Dengan

jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15 yang meliputi respon

verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin kecil poin

GCS maka semakin berat cedera yang diderita.

Page 29: BAB I

29

III.2 Saran

Dalam menangani paseien penderita cedera kepala akibat trauma. Hal yang

paling penting yaitu melakukan pemeriksaan skala koma glasgow (GCS) yang

meliputi 3 kategori pemeriksaan yaitu, rspon verbal, respon motorik dan

respon membuka mata. Pemeriksaan tersebut digunakan untuk menentukan

derajat keparahan pada penderita cedera kepala untuk ditangani apakah perlu

dirawat atau tidak. Namun setelah dilakukan perawatan kita harus tetap

memantau perkembangan pasien cedera kepala dengan cara yang sama yaitu

pemeriksaan skala koma glasgow, untuk memantau apakah perkembangan

yang terjadi pada pasien membaik atau memburuk.

Page 30: BAB I

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Grace, Pierce A. Neil R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta . Erlangga. 2008

2. Graham, DI, Malntosh TK. Neuropathology of Brain Injury. In: Evan RW, editor. Neurology and Trauma. Philadelphia WB. Saunders Company; 1996

3. Dewanto, Georgius. Dewi et al. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revisid Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 60 Nomor 10. Oktober 2010.

4. Crippen, David W. 2011. Head Injury. Medscape Reference. (http://emedicine.medscape.com/article/433855-overview). Diunduh pada 26 Desember 2011

5. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer. 2004

6. Moore, Keith L. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Hipokrates. 20027. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Suport. United

States of America: Firs Impression. 19978. Syamsuhidajat and Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.

Jakatara. EGC. 20119. Bernhardt, David. 2011. Concussion. Medscape Reference.

(http://emedicine.medscape.com/article/92095-overview). Diunduh pada 28 Desember 2011

10. Harsono. Koma dalam Buku ajar Neurologi. Gajah Mada University. Yogyakarta. 2005

11. Kumar, Vinay and Denis K Burns. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta. EGC. 2007

12. Underwood, J.C.E. Patologi Umum dan Sistemik volume 2 edisi 2. Jakarta. EGC. 2000

13. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010

14. Ariwibowo, Haryo et al. Art Theraphy: Sub ilmu Bedah. Yogyakarta Pustaka Cendikia Pres of Yogyakarta. 2008