bab i pendahuluan 1.2 maksud dan tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas akhir...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Platform Musi terletak di Sub-Sub Cekungan Palembang Selatan, merupakan
bagian dari Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan Sumatra Selatan diketahui sebagai
salah satu cekungan yang kaya akan hidrokarbon di kawasan barat Indonesia. Daerah ini
telah dieksplorasi sejak akhir abad ke-19 dan telah memproduksi hidrokarbon lebih dari
1,5 milyar barel minyak dan sejumlah besar gas bumi.
Namun demikian, nyatanya hingga saat ini penemuan-penemuan baru
hidrokarbon masih terus terjadi, terutama melalui pemahaman yang lebih baik mengenai
Endapan Paleogen. Begitu pula yang terjadi dengan lapangan-lapangan tua yang
ditemukan dan telah diproduksikan sejak jaman Kolonial Belanda. Misalnya Lapangan
Minyak Talangakar, yang memproduksikan hidrokarbon dari Batupasir Formasi
Talangakar bagian bawah. Lapangan ini telah diproduksikan melebihi kapasitas
perhitungan cadangannya dan terus berproduksi hingga saat ini.
Penelitian mengenai sejarah sedimentasi dan pembentukan cekungan merupakan
hal yang perlu dilakukan dalam eksplorasi hidrokarbon. Salah satu cara yang dapat
dipakai dalam mempelajari sejarah sedimentasi dan pembentukan cekungan sedimen
adalah dengan analisis burial geohistory. Metode ini dikembangkan sekitar 1970-an yang
merupakan respons dan berkembangnya penarikan unit stratigrafi dan perkiraan
paleobatimetri, terutama dengan menggunakan data mikropaleontologi. Hasil dari analisis
ini berupa kurva yang menggambarkan hubungan antara waktu dan kedalaman
pemendaman sedimen atau paleostratigrafi.
Berdasarkan permasalahan tersebut, muncul suatu gagasan pemikiran untuk
mencoba melakukan penelitian pemodelan burial geohistory di daerah Sub-Sub
Cekungan Palembang Selatan.
2
1.2 Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelesaikan Tugas Akhir Program Sarjana
Strata Satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Penelitian ini merupakan penelitian Tugas Akhir B (GL-4098) dan bertujuan
untuk mengetahui sejarah pemendaman. Pendekatannya dilakukan dengan pemodelan
komputasi geologi, menggunakan kajian metode rekonstruksi evolusi penampang pada
waktu-waktu tertentu (backstripping).
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan penelitian tugas akhir dengan
judul: “Analisis Burial Geohistory Platform Musi, Cekungan Sumatra Selatan”.
1.3 Lokasi Penelitian
Daerah penelitian secara administratif terletak di Provinsi Sumatra Selatan.
(Gambar 1.1. kotak hitam).
Gambar 1.1. Lokasi Daerah Penelitian
Sumber : Encarta 2007
3
Lokasi sumur di daerah penelitian, ditunjukkan pada gambar di bawah ini
(gambar 1.2). Terdapat tiga sumur di daerah penelitian yang tersebar meliputi
Platform Musi. ARAS-1
BUNGUR-1
RENO-1
312000 314000 316000 318000 320000
9612000
9614000
9616000
9618000
9620000
9622000
9624000
9626000
9628000
9630000
0 2000 4000 6000 8000
312000 314000 316000 318000 320000
9612000
9614000
9616000
9618000
9620000
9622000
9624000
9626000
9628000
9630000
Gambar 1.2. Peta Kedalaman Batuan Dasar Sekarang menunjukkan lokasi sumur daerah penelitian.
4
1.4 Metode Penelitian
1.4.1 Pengertian Burial Geohistory
Dalam pemodelan burial geohistory, stratigrafi dari waktu ke waktu
penting untuk diketahui, berupa ketebalan dan kedalaman masing-masing lapisan
(gambar 1.3). Ketebalan masing-masing lapisan merupakan fungsi porositas (van
Hinte, 1978, gambar 1.4).
Bila suatu lapisan sedimen dibagi dalam dua bagian yaitu partikel sedimen
dan pori-pori antar partikel (gambar 1.4 dan 1.5) dan bila pada lapisan tersebut
diberikan tekanan (dalam hal ini penekanan akibat pembebanan sedimen
diatasnya), maka partikel-partikel sedimen tersebut akan saling mendekatkan diri.
Akibatnya ruang pori antar partikel menjadi kecil, suatu saat bila tekanan
yang diberikan telah maksimum maka tidak akan terjadi penciutan ruang antar pori
lagi (berkisar pada porositas = 3%, Koesoemadinata 1997, komunikasi personal).
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin kecil porositas
suatu lapisan semakin tipis lapisan tersebut.
Sedangkan porositas adalah fungsi dari kedalaman pemendaman lapisan
tersebut, akibatnya semakin dalam terpendam semakin kecil porositasnya (gambar
1.4).
Penciutan porositas ini mengikuti suatu model kurva tertentu. Untuk
memudahkan melihat efek penciutan porositas akibat pemendaman digunakan
litologi serpih, karena pada serpih penciutan porositas akibat efek-efek selain
pemendaman kecil akibatnya.
Banyak peneliti yang melakukan penelitian model kurva kompaksi serpih
ini, yang paling umum digunakan adalah, model kurva kompaksi serpih
eksponensial Sclater dan Christie, 1980 (op.cit. Platte River, 1994) dan model
kurva kompaksi serpih eksponensial Falvey dan Middleton, 1981 (op.cit. Platte
River, 1994).
Akan tetapi terdapat beberapa peneliti yang tidak setuju dengan kedua
peneliti diatas, antara lain:
1. Issler (1992) mengusulkan model kurva kompaksi serpih linear (gambar 1.6).
5
Gambar 1.3. Konsep Suksesif dekompaksi Gambar 1.4. Proses Dekompaksi
(Allen dan Allen, 1990) (van Hinte, 1978)
Gambar 1.5. Kelakuan Partikel-Partikel Sedimen Terhadap Penekanan
6
2. Baldwin dan Butler (1985) mengusulkan model kurva kompaksi serpih
powerlaw (gambar 1.7)
3. Liu dan Roaldset (1985; dimodifikasi oleh Qivayanti, 1997, komunikasi
personal) mengusulkan model kurva kompaksi serpih parabola (gambar 1.8).
4. Koesoemadinata (1997; komunikasi personal) mengusulkan model kurva
kompaksi serpih hiperbola (gambar 1.9).
Dalam perangkat lunak pemodelan burial geohistory yang dikembangkan,
digunakan lima buah model kurva kompaksi yaitu :
1. Model kurva kompaksi eksponensial dari Sclater dan Christie, 1980
2. Model kurva kompaksi linear dari Issler,1992.
3. Model kurva kompaksi powerlaw dari Baldwin dan Butler, 1985.
4. Model kurva kompaksi parabola dari Liu dan Roaldset, 1985.
5. Model kurva kompaksi serpih hiperbola dari Koesoemadinata, 1997.
Issler (1992) menyatakan bahwa terjadi perubahan kemiringan kurva pada
kedalaman 500 meter. Dari hasil penelitian Qivayanti (1996, dan 1997, komunikasi
personal) didapatkan bahwa model kurva kompaksi untuk cekungan di Indonesia,
di bawah kedalaman 500 meter mengikuti pola linear, akan tetapi diatas kedalaman
500 meter mengikuti pola “curved”, dengan model kurva yang paling mendekati
adalah kurva power law.
Titik 500 meter menjadi suatu titik kritis perubahan bentuk kurva
kompaksi, titik ini dinamakan DIT (depth inflection point theoriticaly). Titik ini
memiliki porositas sekitar 40% (gambar 1.10 dan 1.11), dengan partikel sedimen
sudah saling bersentuhan sehingga penambahan beban sedimen di atasnya tidak
lagi memperkecil secara cepat akan tetapi mengikuti suatu pola linear.
Selain hal di atas untuk cekungan di Indonesia pola kurva kompaksi satu
sumur pada umumnya mengalami segmentasi, akibat dari perubahan kemiringan
kurva, erosi dan “non compaction” (gambar 1.10 dan 1.11). Dalam hal ini
porositas pada titik DIT menjadi penting, mengingat bila pada suatu sumur
ternyata kedalaman titik dengan porositas 38% tidak sama dengan 500 meter (titik
ini dinamakan DIO (depth inflection point observe), maka pada sumur tersebut
7
Gambar 1.6. Kurva Kompaksi Gambar 1.7. Kompilasi Kurva-Kurva
(Issler,1992) Kompaksi atau Solidity
(Baldwin dan Butler, 1985)
Gambar 1.8. Kurva dengan Garis Gambar 1.9. Kurva Kompaksi
Tegas adalah Kurva Kompaksi Parabola (Koesoemadinata, 1997, komunikasi personal)
(Liu dan Roaldset, 1994)
8
Gambar 1.10. Segmentasi Kurva Kompaksi, Akibat Erosi atau Non Compaction Section
(Koesoemadinata, 1997, komunikasi personal)
Gambar 1.11. Segmentasi Kurva Kompaksi, Akibat Perbedaan Kemiringan Kurva dan
Non Compaction (Koesoemadinata, 1997, komunikasi personal)
9
pernah terjadi erosi atau non compaction. Bila DIO lebih kecil dari 500 m maka
pernah terjadi erosi, sedangkan bila DIO lebih besar dari 500 m maka pernah
terjadi non compaction pada sejarah geologi sumur tersebut.
Untuk menempatkan posisi masing-masing lapisan pada posisi yang benar
dari waktu ke waktu (paleostratigrafi) posisi kedalaman masing-masing lapisan
perlu dikoreksi dengan paleobatimetri (gambar 1.12) dan perubahan muka air laut
purba (gambar 1.13). Untuk paleobatimetri didapatkan dari data biostratigrafi
berupa kurva paleobatimetri terhadap kedalaman (gambar 1.14), sedangkan untuk
perubahan muka air laut purba digunakan kurva Haq et.al., 1987. Dengan
mendapatkan ketebalan untuk masing-masing lapisan dalam suatu waktu maka
ketebalan total yang didapat dari suatu waktu tertentu dinamakan total subsidence.
Selain paleostratigrafi, tectonic subsidence juga termasuk ke dalam
geohistori “burial”. Metode yang digunakan untuk mendapatkan “tectonic
subsidence” dari “total subsidence” yang telah didapatkan diatas adalah dengan
menerapkan konsep isostasi lokal pada “sediment loading” (Watts dan Ryan, 1976,
Steckler dan Watts, 1978, dan Watts, 1981, semuanya op.cit. Wu dan Taib, 1995).
Metode ini dinamakan metode “Backstripping”. Metode “Backstripping” pada
dasarnya adalah menggantikan ketebalan total sedimen dalam suatu waktu dengan
kolom air yang telah terkoreksi oleh paleobatimetri dan perubahan muka laut purba
1.4.2 Data Masukan (input) yang dibutuhkan
Data masukan yang dibutuhkan untuk pemodelan burial geohistory antara
lain:
1. Data umum sumur didapat dari kepala log sumur, atau dari laporan sumur.
2. Data stratigrafi dan litologi didapat dari log completion atau final log.
3. Data umur absolut (kurva umur absolut terhadap kedalaman), data ini
didapatkan dari hasil analisis fosil foraminifera plankton atau nannoplankton
dari faunal chart (gambar 1.15), yang kemudian didigitasi untuk mendapatkan
kurva umur absolut terhadap kedalaman, atau data umur absolut per formasi
atau satuan batuan.
10
Gambar 1.12. Koreksi Paleobatimetri Gambar 1.13. Koreksi Paleo Sea Level
Terhadap Pemendaman dan Paleobatimetri Terhadap
Kedalaman Pemendaman
Gambar 1.14. Contoh Kurva Paleobatimetri Terhadap Kedalaman
11
4. Data paleobatimetri absolut (kurva paleobatimetri absolut terhadap kedalaman)
data ini didapatkan dari hasil analisis fosil foraminifera bentos dari faunal chart
(gambar 1.14), yang kemudian didigitasi untuk mendapatkan kurva
paleobatimetri absolut terhadap kedalaman, atau data paleobatimetri absolut per
formasi atau satuan batuan.
5. Jenis kurva kompaksi dan konstanta persamaan kurva kompaksi per segmen
kedalaman per litologi, hasil dari analisis log sonic (gambar 1.16), untuk
mendapatkan model kurva kompaksi masing-masing litologi, pada masing-
masing segmen).
6. Data ketebalan tererosi dan waktu erosi, hasil dari analisis kurva kompaksi, atau
dari data lainnya, serta tafsiran litologinya.
1.4.3 Proses yang Terjadi pada Pemodelan Burial Geohistory
Secara umum proses yang terjadi dalam pemodelan burial geohistory
dibagi dalam tiga bagian, pertama mendapatkan ketebalan, dan kedalaman serta
porositas setiap lapisan dari waktu ke waktu, perhitungan tectonic subsidence dan
ketiga koreksi yang dilakukan pada kedua perhitungan di atas.
a. Model Matematika dan Solusi Numerik Kompaksi
Untuk suatu lapisan, ketebalan setiap saat adalah fungsi dari porositas van
Hinte (1978), mengikuti persamaan deterministik:
(1.1)
dengan Фn adalah porositas saat ini, Фo adalah porositas waktu yang lalu, Z
adalah kedalaman, Dn adalah kedalaman sekarang, Tn adalah ketebalan
sekarang, Do adalah kedalaman waktu yang lalu, dan To adalah ketebalan waktu
yang lalu.
Suatu segmen kompaksi akan mengikuti suatu model kompaksi. Dalam
penelitian ini menggunakan persamaan deterministik:
Power Law
12
(1.2)
dengan Фz adalah porositas pada kedalaman Z, Z adalah kedalaman, A, b1, dan
b2 adalah konstanta.
Dari persamaan 1.2 dapat diturunkan solusi analitik dari persamaan 1.1
sebagai berikut:
(1.3)
Agar dapat dipergunakan, persamaan diatas perlu diturunkan solusi
numerik untuk mendapatkan ketebalan awalnya (To).
Persamaan tersebut menjadi:
(1.4)
b. Koreksi Paleobatimetri dan Koreksi Perubahan Muka Laut
Paleostratigrafi setiap datum harus dikoreksi dengan paleobatimetri
(gambar 1.12) dan perubahan muka laut purba relatif terhadap muka laut
sekarang (gambar 1.13) dengan menggunakan persamaan:
Doc = Do + Pb - SLC (1.5)
dengan Doc adalah muka laut yang sudah terkoreksi, Do adalah muka laut awal,
Pb adalah paleobatimetri, dan SLC adalah kenaikan muka air laut.
c. Model Matematika dan Solusi Numerik Tectonic Subsidence
Perhitungan tektonik subsidence dengan metode backstripping (Allen dan
Allen 1990, gambar 1.17) mengikuti persamaan:
(1.6)
13
dengan dan (1.7)
(1.8)
Dari persamaan 1.6, 1.7 dan 1.8, ketebalan yang diperhitungkan adalah
ketebalan total (total subsidence) pada suatu umur tertentu, dengan densitas
lapisan rata-rata untuk seluruh lapisan.
Untuk mendapatkan tektonik subsidence dengan memperhitungkan
densitas per lapisan maka persamaan 1.7 dan 1.8 harus dimodifikasi menjadi:
(1.9)
dengan (1.10)
1.4.4 Asumsi dan Batasan
Dalam melakukan suatu pemodelan perlu ditetapkan asumsi-asumsi untuk
membatasi kompleksnya masalah-masalah yang timbul dalam keadaan sebenarnya
di alam. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pemodelan burial geohistory
antara lain:
a. Proses kompaksi:
- Proses kompaksi semata-mata hanya diakibatkan oleh proses pembebanan
sedimen di atasnya saja, tanpa memperhitungkan proses-proses lainnya.
- Bila terjadi pengangkatan maka porositas masing-masing lapisan tidak akan
berubah (tidak terjadi elastic rebound).
- Model kurva kompaksi mengikuti Model Kurva Kompaksi Power Law dari
Baldwin dan Butler (1985).
b. Umur absolut dan paleobatimetri:
- Masing-masing lapisan memiliki umur absolut, dan paleobatimetri, paling
tidak untuk setiap formasi atau satuan stratigrafinya.
14
Gambar 1.15. Kurva Umur Terhadap Kedalaman Gambar 1.16. Kurva Porositas Terhadap Kedalaman
Gambar 1.17. Perhitungan Total Subsidence dan Tectonic Subsidence
15
c. Perhitungan tectonic subsidence:
- Perhitungan tectonic subsidence tidak memperhitungkan adanya thermal
subsidence, dan terjadi mengikuti prinsip isostasi lokal.
Sebagai akibat dari asumsi-asumsi yang digunakan, akan timbul suatu
batasan dalam penggunaan perangkat lunak pemodelan burial geohistory ini antara
lain:
a. Sumur yang akan dianalisis tidak memiliki struktur, terutama struktur sesar.
Bila terdapat struktur sesar, harus dikoreksi dahulu sehingga memiliki data
stratigrafi dan litologi yang lengkap.
b. Bila terdapat erosi, maka ketebalan yang hilang akibat erosi harus ditentukan.
Umur awal erosi harus ditentukan (sebagai acuan dapat digunakan setengah
dari umur yang hilang), dan terdiri dari hanya satu litologi tertentu.
c. Data litologi per kedalaman harus lengkap, bila ada yang tidak lengkap, harus
ditafsirkan, bila dibiarkan “blank” secara otomatis ditafsirkan sebagai serpih.
d. Setiap lapisan hanya terdiri dari satu litologi saja.
1.4.5 Parameter dan Konstanta
Dalam pemodelan burial geohistory diperlukan beberapa konstanta yang
pada umumnya diambil dari literatur, antara lain:
a. Densitas air = 1000 g cm-3
b. Densitas astenosfer = 3400 g cm-3
c. Densitas matriks untuk batupasir = 2,65 kg m-3, batuserpih = 2,72 kg m-3, dan
batugamping = 2,71 kg m-3.
1.4.6 Luaran (output)
Dari pemodelan burial geohistory ini akan dihasilkan output berupa
penampilan data dalam bentuk kurva:
a. Data stratigrafi dari waktu ke waktu dengan ketebalan, kedalaman dan
porositasnya masing-masing lapisan, yang kemudian dapat ditampilkan dalam
bentuk burial geohistory per perlapisan atau per satuan stratigrafi.
16
b. Data total subsidence dan tectonic subsidence dari waktu ke waktu dapat
ditampilkan berupa kurva subsidence.
c. Data ketebalan per satuan stratigrafi dari waktu ke waktu.
1.5 Diagram Alir Penelitian
Berikut ini adalah diagram alir penelitian yang digunakan untuk pembuatan tugas akhir
(Gambar 1.18) :
Gambar 1.18. Diagram Alir Penelitian
Data Sumur
Data Log
Gamma Ray Sonic Porosity
Kurva Umur‐Kedalaman
Biostratigrafi
Kurva Paleobatimetri
Studi Literatur
Kurva Eustasi Global
Litologi Kurva Porositas ‐Kedalaman
Erosi,PersamaanKompaksi
Model Burial Geohistory
Analisis Burial Geohistory