bab 6 esistensi masyarakat di workwana€¦ · itulah yang memicu penduduk kampung arsokota dan...

37
207 BAB 6 RESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA Konflik berkaitan dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Distrik Arso meliputi Kampung Arsokota, Workwana, Wambes dan beberapa kampung lain di wilayah Distrik Arso. Konflik berkepanjangan ini berujung pada munculnya sikap resistensi penduduk. Konflik tersebut ternyata berlangsung terus hingga saat ini tanpa penyelesaian yang berarti sesuai dengan harapan penduduk setempat. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, bahan yang disajikan di sini diangkat berdasarkan informasi orang-orang Workwana, termasuk tokoh-tokoh adat dan masyarakat di wilayah Arso Kabupaten Keerom. Konflik tentang Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Dari berbagai informasi dan ceritera penduduk setempat yang dihimpun terkait perihal tanah ulayat yang menimbulkan masalah berujung pada konflik dan resistensi penduduk terhadap perusahaan PTPN II di Arsokota dan Workwana. Berikut akan dibahas latar belakang konflik dan dampaknya bagi kehidupan penduduk setempat. Menurut Hubertus Kwambre, salah satu tokoh adat masyarakat di Arsokota masalah tanah perkebunan kelapa sawit mulai mengemuka di daerah pada tahun 1985, karena ditemukan surat pelepasan tanah seluas 5.000 hektare, ternyata luas areal perkebunan diubah menjadi 50.000 hektare oleh pemerintah Kabupaten Jayapura dan perusahaan kelapa sawit pada tahun 1982. Ketika masyarakat adat Arso menemukan data bahwa surat pernyataan pelepasan lahan yang diberikan pemerintah kepada PTPN II luasnya mencapai 50.000

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

207

BAB 6

RESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA

Konflik berkaitan dengan pengembangan perkebunan kelapa

sawit di Distrik Arso meliputi Kampung Arsokota, Workwana,

Wambes dan beberapa kampung lain di wilayah Distrik Arso. Konflik

berkepanjangan ini berujung pada munculnya sikap resistensi

penduduk. Konflik tersebut ternyata berlangsung terus hingga saat ini

tanpa penyelesaian yang berarti sesuai dengan harapan penduduk

setempat. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, bahan yang disajikan

di sini diangkat berdasarkan informasi orang-orang Workwana,

termasuk tokoh-tokoh adat dan masyarakat di wilayah Arso Kabupaten

Keerom.

Konflik tentang Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Dari berbagai informasi dan ceritera penduduk setempat

yang dihimpun terkait perihal tanah ulayat yang menimbulkan

masalah berujung pada konflik dan resistensi penduduk terhadap

perusahaan PTPN II di Arsokota dan Workwana. Berikut akan

dibahas latar belakang konflik dan dampaknya bagi kehidupan

penduduk setempat.

Menurut Hubertus Kwambre, salah satu tokoh adat masyarakat

di Arsokota masalah tanah perkebunan kelapa sawit mulai mengemuka

di daerah pada tahun 1985, karena ditemukan surat pelepasan tanah

seluas 5.000 hektare, ternyata luas areal perkebunan diubah menjadi

50.000 hektare oleh pemerintah Kabupaten Jayapura dan perusahaan

kelapa sawit pada tahun 1982. Ketika masyarakat adat Arso

menemukan data bahwa surat pernyataan pelepasan lahan yang

diberikan pemerintah kepada PTPN II luasnya mencapai 50.000

Page 2: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

208

hektare, yang seharusnya hanya 5.000 hekare, sejak saat itu,

masyarakat mulai melakukan protes baik kepada pemerintah daerah

maupun kepada perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh rencana awal

perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya berada di Kampung

Arsokota sedangkan daerah transmigrasi direncanakan berada di

daerah Workwana sampai ke Kampung Wembi, seluas 7.500 hektare.

Kemudian Gubernur Irian Jaya waktu itu, memindahkan lokasi

perkebunan tersebut sehingga terjadi pergeseran dan perluasan lahan

kelapa sawit, mulai dari Arso sampai Workwana dan Wembi. Keadaan

itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana

serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar

membayar kembali luas tanah yang pada awal penyerahan oleh tokoh-

tokoh adat setempat, luasnya 5.000 hektare namun kemudian

dimanipulasi menjadi 50.000 hektare oleh pemerintah daerah. Dan

tanah seluas itu kemudian hanya dibayar sebesar Rp 54.000.000,- pada

tanggal 17 Mei 1997. Menurut Kwambre, penyerahan tanah di masa itu

disaksikan oleh almarhum Bapak Frans Dumatubun Camat Arso dan

Bapak P. Abdul Laitef Danramil 1701 Arso (Ansaka, dkk., 2009).

Seperti dicacat oleh Kristian Ansaka, dkk, urusan pelepasan tanah

perkebunan kelapa sawit di Arso, terjadi dalam situasi penuh tekanan

dan todongan senjata aparat, sehingga masyarakat melakukan

pelepasan tanah dalam keadaan terpaksa. Pengalaman yang dicacat

Ansaka, dkk., di atas senada dengan apa yang diungkapkan oleh

beberapa informan di Workwana. Ketika urusan tanah berlangsung,

orang-orang tua dan tokoh masyarakat menandatangani surat

pelepasan pada malam hari, bahkan sejumlah tokoh adat dan warga

masyarakat mendapat tawaran untuk makan bersama di Kota Jayapura,

namun ditolak masyarakat. Penolakan tersebut kemudian menyebab-

kan aparat keamanan mengambil langkah masuk ke rumah-rumah

warga di wilayah Arso, termasuk Workwana. Akhirnya surat dari

perusahaan ditandatangi di depan laras senjata dengan sejumlah janji

kepada masyarakat antara lain akan diberikan beras dan mie instan.

Pengalaman ini mengingatkan masyarakat Papua mengenai sebuah

kisah pengambilalihan tanah masyarakat di masa lalu di Jayapura, yang

mana dusun sagu ditukar dengan bir. Kisah ini berkaitan dengan

Page 3: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

209

penjualan dusun sagu milik orang Enggros di daerah pasar Abepura,

oleh seorang tokoh adat saat itu dengan satu karton bir, satu karung

beras dan uang tunai Rp 40.000,- (KDK. No. 1-2, Th I. April 1983, 26-

27). KDK dalam laporannya menjelaskan, permasalahan tanah yang

dijual begitu rendah harganya sangat disesalkan oleh penduduk

Enggros, khususnya kaum muda, sehingga mereka bersikeras

mempertahankan dusun sagunya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa

hak-hak masyarakat adat sangat tidak dihargai oleh pemerintah dan

pemilik modal, yang dapat dikatakan masih sering terjadi hingga saat

ini di seluruh Tanah Papua. Artinya ketidakadilan terus berlangsung

terhadap masyarakat lokal atas nama pembangunan dan kepentingan

negara. Ironisnya, bila keinginan pemerintah ditolak, stigma-stigma

diberlakukan kepada masyarakat tapi bila dijual, dibeli dengan harga di

bawah standar oleh pemodal, akibatnya masyarakat dirugikan dan

kehilangan hak atas tanah ulayatnya secara turun-temurun tanpa

imbalan yang setimpal.

Hubertus Kwambre menyatakan pada tahun 2010 sesungguh-

nya akan dilakukan peremajaan kelapa sawit di PIR I, II dan PIR III,

tetapi ternyata petani plasma di tempat ini tidak mempunyai bukti

pelepasan tanah adat dari masyarakat adat di Arso dan Workwana

sehingga rencana tersebut tidak dilaksanakan. Menurut Kwambre, bila

ingin melakukan peremajaan kelapa sawit harus dibicarakan kembali

dengan masyarakat adat tentang status tanah tersebut.

Fenomena di seputar pelepasan tanah dan hutan hak ulayat

penduduk serta konflik yang ditimbulkannya ternyata dilatarbelakangi

oleh hal-hal berikut. Berdasarkan informasi yang disampaikan

penduduk baik di Arsokota maupun di Workwana saat penelitian

dilakukan dan dari sumber informasi lain (Rosariyanto dkk., 2008 &

Ansaka dkk., 2009) yang dihimpun penulis tentang permasalahan

tanah di Distrik Arso, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pada

tanggal 9 Juli 1981 dikeluarkan surat pernyataan pelepasan hak atas

tanah adat seluas 18.000 hektare oleh tujuh orang yang mempunyai

hak atas tanah ulayat yang terletak di Desa Skanto, Desa Arsokota dan

Desa Workwana. Sesudah surat pelepasan tanah tersebut dibuat,

Page 4: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

210

muncullah Keputusan Panitia Pembebasan Tanah Pemerintah Daerah

Tingkat II Kabupaten Jayapura, No. 18/KPTS/Pan/1981. Kedua,

selanjutnya pada tanggal 17 September 1981, diterbitkan Surat

Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura No.

59/KPTS/BUP-JP/1981 tentang pelepasan dan penunjukan tanah untuk

keperluan proyek transmigrasi Arso di Kecamatan Arso dan Koya

Kecamatan Abepura Daerah Tingkat II Jayapura. Ketiga, pada tanggal

19 Oktober 1982 keluarlah surat pernyataan pelepasan hak atas tanah

adat seluas 50.000 hektare oleh 24 orang yang mempunyai hak atas

tanah ulayat, terletak di Desa Arsokota dan di Desa Workwana

(Rosariyatno, dkk., 2008, 38-39 & Ansaka dkk, 2009, 335-336).

Keempat, pada 23 Maret 1983, muncullah Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Irian Jaya No. 53/GIJ/1983 tentang Penetapan Lokasi

atau areal Transmigrasi di Kecamatan Arso Kabupaten Daerah Tingkat

II Jayapura. Kelima, pada tanggal 4 Mei 1983, keluarlah Keputusan

Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura No.31/KPTS/BUP-JP/1983

tentang perubahan lokasi pencadangan tanah untuk proyek

transmigrasi di Kecamatan Arso Daerah Tingkat II Jayapura. Dalam

surat keputusan bupati tersebut ditetapkan untuk pertama kali lahan

seluas 12.000 hektare di Workwana untuk proyek perkebunan kelapa

sawit dan karet. Maka sejak tahun 1983 masyarakat adat Arsokota dan

Workwana mulai bereaksi karena merasa ditipu oleh pemerintah

terkait dengan perubahan lokasi untuk transmigrasi berhubung karena

batas-batas tanah tidak sesuai lagi dengan surat pernyataan pelepasan

hak atas tanah yang dibuat tahun 1981. Keenam, pada 15 Maret 1986,

panitia pembebasan tanah mengeluarkan SK No 06/KPTS-PAN/III/86

yang isinya, penetapan pemberian rekognisi atas tanah seluas 7.500

hektare di Desa Arsokota dan Desa Kwimi sebesar Rp 90.000.000,-.

Dalam surat keputusan yang sama ditetapkan pemberian rekognisi

juga atas tanah seluas 3.600 hektare di Desa Arsokota sebesar Rp

10.000.000,-. Dan pada saat yang sama berlangsung pertemuan dengan

masyarakat di Arsokota untuk menerima ganti rugi di Arsokota.

Rekognisi diberikan kepada masyarakat diwujudkan dalam bentuk

barang. Pada saat itu pula masyarakat menolak pemindahan lahan

seluas 12.000 hektare dari Workwana ke Arsokota karena tidak

Page 5: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

211

didasarkan atas musyawarah. Karena itu rekognisi lahan seluas 12.000

hektare untuk masyarakat Arso dan Workwana disiapkan dalam

bentuk barang, yakni mobil truk 2 buah, mobil “Toyota Kijang” bak

terbuka 5 buah, mesin jahit 4 buah, Chain-saw 2 buah. Ketujuh, pada

12 Desember 1992, keluar lagi surat pernyataan pelepasan hak atas

tanah adat seluas 1.310 hektare untuk areal kebun inti kelapa sawit

PTPN II, yang ditandatangani oleh Kepala Kampung Workwana dan

Arsokota, Mikael Wabyager dan Yakobus Gusbager, disaksikan Camat

Ikram Baasalem, Danramil Kapten TNI Subandi R dan Kapolsek Arso

Letda Pol. Dwi Karyanto.

Dari berbagai urusan pelepasan tanah ulayat sebagaimana

dicacat di atas, muncul masalah bagi penduduk di Kampung Arsokota,

Workwana, Kwimi dan lain-lain ketika pada tanggal 19 Oktober 1982,

keluarlah surat pelepasan yang ditandatangi sejumlah orang sebagai

tokoh adat dan masyarakat, tanah seluas 50.000 hektare. Menurut

Ketua Dewan Adat Keerom Bapak Servo Tuamis, yang saat itu menjadi

saksi mata peristiwa penandatanganan surat dimaksud, terdapat

kejanggalan-kejanggalan dalam pembuatan surat tersebut. Penulis

menjumpainya tanggal 16 Januari 2017 di Arso, untuk melakukan

konfirmasi tentang beberapa hal terkait masalah kelapa sawit di Distrik

Arso, tepatnya di Gedung Dewan Adat Keerom. Servo Tuamis

menyampaikan hal-hal berikut. Ia sebagai saksi mata dan pelaku

penandatanganan surat tersebut menyaksikan bahwa surat yang

disodorkan untuk ditandatangani, tidak diketahui kepala surat dan

perihalnya karena yang disodorkan oleh petugas pemerintah setempat

saat itu ialah hanya bagian yang harus ditandatangani. Menurut Servo,

namanya berada di urutan ke tujuh, sedangkan sebagain besar nama

yang tercantum tidak berada di kampung karena masih berada di

daerah perbatasan, di PNG dan di tempat lain. Surat tersebut kemudian

ditandatangani lagi oleh 4 tokoh lainnya yang berada di kampung.

Sedangkan selebihnya tidak diketahui siapa sebagai pengganti yang

menandatangai surat tersebut mewakli tokoh adat dan masyarakat

yang tidak berada di tempat. Dengan demikian terlihat seolah-olah

bahwa 24 orang yang diharapkan sebagai pemilik hak ulayat semuanya

telah menandatangani surat tersebut. Menurut Servo kemarahan

Page 6: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

212

penduduk tidak hanya berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan tetapi

juga berkaitan dengan luas lahan yang dimanipulasi. Dikatakannya

semula ada perjanjian hanya 5.000 hektare yang diserahkan kepada

perusahaan akan tetapi kemudian dalam surat tersebut tertulis

penyerahan tanah-tanah di daerah tersebut seluas 50.000 hektare.

Menurut Servo, hal ini diketahui dari sebuah arsip surat yang didapat

oleh seorang staf kecamatan yang berasal dari Kampung Arsokota di

Kantor Kecamatan Arso pada waktu itu.

Menurut informasi lain yang disampaikan penduduk ketika

penelitian di Workwana ialah pelepasan tanah ulayat penduduk

dilakukan perusahaan dan pemerintah dengan kompensasi yang tidak

seimbang dengan luasnya lahan yang diserahkan masyarakat baik di

Workwana maupun di Arsokota, Kwimi dan lain-lain. Apalagi

pelepasan tanah-tanah tersebut dikatakan telah berdampak

menimbulkan korban nyawa penduduk setempat karena penyerahan

tanah-tanah warga masyarakat dilakukan di depan laras senjata aparat

keamanan.

Relasi-relasi yang berdampak pada konflik penduduk dengan

perusahaan juga dilatarbelakangi oleh adanya janji-janji perusahaan

kelapa sawit yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan para informan,

janji-janji yang dibuat adalah pembangunan rumah beton, pembuatan

jalan, pemberian mobil, penyediaan air bersih dan pemberian beasiswa

bagi anak-anak kampung dan lain-lain. Berikut, disampaikan data

tentang luas tanah-tanah yang telah dilepas penduduk kepada

perusahaan di Distrik Arso (Ansaka, dkk, 2009, 336).

Tabel 6.1

Jumlah Pelepasan Tanah Di Distrik Arso untuk Kelapa Sawit

No. Waktu pelepasan Luas (ha) Lokasi kampung

1. 2. 3. 4. 5. 6.

9 Juli 1981 19 Oktober 1982

4 Mei 1983 15 Maret 1986

s.d.a 12 Desember 1992

18.000. 50.000. 12.000. 7.500. 3.600. 1.310

Arsokota, Workwana, Skanto

Arsokota, Workwana Workwana

Arso, Kwimi Arso

Workwana

Sumber: Diolah dari Rosariyanto, dkk (2008) dan Ansaka, dkk (2009)

Page 7: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

213

Berdasarkan data Tabel 6.1 di atas dapat dikatakan tanah ulayat

yang telah dilepas penduduk untuk kepentingan perkebunan kepala

sawit baik untuk perkebunan inti, plasma dan pemukiman transmigrasi

PIR berjumlah 92.410 hektare. Menurut Servo, kampung-kampung

yang kehilangan tanah adat yang begitu luas di Distrik Arso karena

diserahkan kepada perusahaan, meliputi Arsokota, Workwana,

Wambes, Kmiwi, Bagia dan Sawyetami ada, termasuk Yeti dan Kriku

di Distrik Arso Timur. Menurutnya, hingga saat ini tidak diketahui

berapa luas tanah yang sudah dipakai dan berapa yang belum dipakai,

supaya dikembalikan kepada masyarakat.

Selain itu keluhan penduduk setempat muncul terkait dengan

pengaturan sistem kepemilikan lahan kebun kelapa sawit di PIR,

melalui sistem afdeling. Menurut pandangan salah tokoh adat

Masyarakat Arso ketika ditemui di rumahnya di kampung Arsokota,

pada 16 Januari 2007 dikatakan sistem afdeling dapat menimbulkan

masalah bagi masyarakat karena sistem tersebut dapat membuat

perpecahan antarmarga. Menurutnya dengan sistem afdeling, marga A

bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik marga B, demikian pula

sebaliknya. Hal seperti ini bisa memicu masalah antarmarga dan

antarwarga, karena sebelum ada sistem afdeling masing-masing warga

masyarakat setempat mencari nafkah di wilayah adatnya masing-

masing.

Dari informasi lain yang diberikan oleh Benny Montolalu,

sistem afdeling diatur demikian. Setiap afdeling terdiri dari 20

kelompok, dan 1 kelompok terdiri dari 20 sampai 25 KK. Hanya saja

warga masyarakat yang ada di dalam suatu afdeling dan kelompok pada

umumnya bukan berasal dari wilayah atau tempat kepemilikan tanah

adat yang sama tetapi terdiri dari warga yang berbeda wilayah adat

bahkan berbeda pula daerah asal.

Menurut Fauzi & Bachiardi [dalam Fauzi dan Nurjaya

(Penyunting), 2000, 127-160], sistem tenurial atau sistem penguasaan

sumber daya agraria dalam suatu masyarakat biasanya berlangsung

dari satu generasi ke generasi sedemikian rupa sebagai aturan yang

diketahui bersama. Demikian pula sistem tenurial penduduk setempat

Page 8: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

214

di wilayah Distrik Arso secara turun-temurun dihidupi warga

setempat. Menurut Gusbager (2001, 8) dan para informan di

Workwana sistem pengelompokkan dan pemanfaatan hutan serta

tanah diatur sebagai berikut. Na Numui atau dusun sagu, merupakan

tempat untuk menokok sagu sebagai makanan pokok masyarakat; Ma Disih, merupakan tempat untuk berburu hewan liar yang berada di

hutan; Ma Mandap, merupakan hutan tempat untuk berkebun atau

yang disebut juga kebun-hutan; Ubyagey, merupakan sungai atau

telaga, tempat untuk mencari dan menangkap ikan. Pengabaian sistem

tenurial setempat seperti terjadi di Workwana dan sekitarnya

berdampak menimbulkan konflik yang bermuara pada resistensi

masyarakat yang berkepanjangan terhadap perusahaan hingga saat ini.

Resistensi Penduduk Terhadap Perusahaan PTPN II

Pokok ini berbicara tentang latar belakang sikap resistensi

penduduk terhadap PTPN II berkaitan dengan pelepasan tanah adat

untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan berbagai dampak

yang ditimbulkan oleh hadirnya perkebunan kelapa sawit di daerah

ini. Kemudian juga akan dibahas bentuk-bentuk resistensi yang

dilakukan penduduk terhadap PTPN II.

Latar Belakang Resistensi Penduduk

Ketika penelitian berlangsung di Workwana, para informan

berkisah mengenai sikap mereka terhadap kehadiran kelapa sawit

setelah 25 tahun masa tanam di wilayah ini. Sikap-sikap tersebut

dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dilihat dari masa tanam kelapa

sawit. Menurut penduduk di Workwana kelapa sawit yang ada setelah

25 tahun ternyata mengalami penurunan produksi dari waktu ke

waktu. Sebagaimana diketahui bahwa kelapa sawit ditanam di daerah

Workwana pada tahun 1983/1984 sampai 1985/1986. Menurut

ungkapan warga dan buruh tani yang dijumpai di sekitar kebun kelapa

sawit di Workwana, tidak setiap pohon mempunyai buah atau TBS.

Sehingga perlu waktu berhari-hari untuk mencari, memetik dan

mengumpulkan TBS. Kedua, dari segi perkembangan pohon kelapa

Page 9: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

215

sawit. Kelapa sawit dari waktu ke waktu bertumbuh makin tinggi

sehingga menyulitkan penduduk untuk memetik atau mengegreknya.

Dikatakan oleh beberapa informan, untuk memetik kelapa sawit

dibutuhan fisik yang kuat dan sehat. Menurut warga, pengalaman di

sini menunjukkan bahwa banyak orang kampung sakit karena kerja

keras mengegrek buah sawit dari pohon yang semakin tinggi.

Dikatakan oleh sejumlah informan hal tersebut disebabkan karena

keadaan hidup sehari-hari penduduk tidak mendukung untuk

seseorang bisa kerja keras di kebun kelapa sawit, berhubungan dengan

masalah gizi dan keadaan kesehatan diri. Sehingga pengalaman

tersebut membuat orang kampung mengalami trauma memetik sawit.

Akibatnya penduduk perlahan-lahan tidak tertarik lagi untuk

merawat, dan memanen kelapa sawit. Ketiga, ongkos-ongkos yang

dikeluarkan untuk urusan kelapa sawit, ternyata besar. Dikatakan oleh

para informan, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa biaya

yang dikeluarkan untuk mengurus kelapa sawit tinggi. Dari

pengalaman penduduk dikatakan biaya-biaya yang dikeluarkan adalah

untuk membayar buruh yang memetik dan memikul buah kelapa

sawit. Biaya buruh tersebut tergantung pula dari jarak pikul. Selain itu

pemilik lahan harus memberi makan dan minum bagi buruh tani atau

kelompok yang bekerja membantu pemilik lahan ketika panen dan

pemeliharaan lahan dan kelapa sawit. Biaya lain pula dikatakan cukup

membebani petani ialah ongkos mobil truk dari lahan ke pabrik,

termasuk uang pelicin untuk mempercepat penimbangan kelapa sawit

di pabrik. Keempat, menurut sejumlah informan mengurusi kelapa

sawit bukan merupakan kebiasaan kerja penduduk di tempat ini.

Dikatakan bahwa sebagai petani kelapa sawit dirinya terikat, harus

secara teratur mengurus kelapa sawit sebagaimana seharusnya seorang

petani kelapa sawit bekerja di kebun sawit. Selain itu hasilnya pun

tidak segera diperoleh. Menurut beberapa informan, pekerjaan

pemeliharaan terdiri dari pembersihan lahan, perawatan pohon sawit,

pemupukan, memetik buah kelapa sawit dan sebagainya menghabiskan

banyak waktu. Kelima, dari segi harga sawit. Dikatakan oleh sejumlah

informan, harga sawit beberapa tahun terakhir ini tidak menentu.

Harga kelapa sawit di tempat ini pernah turun hingga mencapai Rp 500

Page 10: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

216

per kg. Fluktuasi harga sawit yang sedemikian, mengurungkan niat

penduduk untuk terus mengusahakan sawit sebagai mata

pencahariannya. Keenam, masih ada pandangan sejumlah warga

masyarakat bahwa di hutan masih tersedia sumber nafkah. Padahal

menurut beberapa warga Kampung Workwana, hutan milik penduduk

Workwana, sebagian besar sudah beralih fungsi dan kempemilikan

karena masuknya perkebunan kelapa sawit. Ketujuh, masuknya kelapa

sawit justru menimbulkan berbagai masalah bagi penduduk seperti,

hilangnya hutan tempat berburu binatang, hilang pula berbagai jenis

tumbuhan untuk sayur-sayuran, hilang pula berbagai jenis buah-hutan

yang biasa dipetik penduduk, hilangnya hutan sagu sebagai salah satu

makanan pokok penduduk. Dikatakan juga penduduk semakin sulit

mencari kayu untuk rumah dan keperluan rumah tangga yang lain.

Kedelapan, menurut penduduk, pemilik kebun sawit dibebani biaya-

biaya yang tidak seharusnya menjadi tanggung jawab petani. Mereka

menyatakan, seperti kredit yang diambil perusahaan,beberapa tahun

lamanya tidak seharusnya menjadi beban para petani. Tapi beban

kredit perusahaan untuk mengurus perkebunan sawit dipotong dari

hasil panen setelah ada pembayaran di pabrik. Dikatakan oleh

beberapa informan, kemudian pada tanggal 29 November 1997

dikeluarkan pemberitahuan oleh pemerintah setempat tentang rencana

pemotongan uang sebesar Rp 20.000,- per petani setiap kali panen

sampai berjumlah Rp 18.000.000 untuk kepentingan peremajaan

tanaman sawit. Surat ini dipandang menambah beban bagi masyarakat.

Sesudah itu pada tanggal 6 Januari 1998 dibuat surat kepada Bupati

Kepala Daerah Tk II Jayapura oleh Yuskwondor (Kepala adat) dan

Kepala Marga (Keret) yang salah satu isinya menolak keras dan tidak

mengakui SK Bupati No 31/KPTS/Bup-JP/1983, tertanggal 4 Mei 1983

tentang pelepasan tanah ulayat di Kampung Arsokota dan Workwana.

Kemudian pada tanggal 15 Februari 1998 dilakukan pertemuan dengan

Camat Arso di balai desa dan berselang beberapa tahun kemudian,

tepatnya pada tanggal 24 Mei 2008 berlangsung pertemuan di balai

desa PIR V oleh masyarakat adat yang isinya menolak surat pelepasan

tanah 1.310 hektare di areal kebun Inti PTPN II yang dibuat oleh

sejumlah orang pada tangal 12 Desember 1992. Ada dua alasan

Page 11: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

217

penolakan yang diangkat pada waktu pertemuan tersebut. Satu,

pelepasan tanah pada 12 Desember 1992 tersebut tidak melibatkan

pemilik tanah yang sesungguhnya. Dua, menolak edaran pemerintah

tentang pemotongan hasil kelapa sawit, yang dibuat pada 29 November

1997 (Rosariyanto, dkk., 2008 & Ansaka, dkk, 2009). Kesembilan,

terjadi manipulasi, alih fungsi, alih kepemilikan. Keadaan ini dinilai

penduduk menjadikan mereka terpinggirkan, termarjinalisasi dan

menimbulkan disorientasi dan dislokasi penduduk.

Bentuk-bentuk Resistensi Penduduk

Menurut penduduk setempat bentuk resistensi ini bukan

merupakan gerakan politik melawan pemerintah tetapi merupakan

gerakan moral sosial masyarakat menutut keadilan atas hak-hak hidup

mereka. Menurut para informan bentuk-bentuk resistensi masyarakat

adat setempat diwujudkan melalui tindakan-tindakan berikut.

Pertama, diwujudkan dalam bentuk protes melalui surat-

menyurat masyarakat adat kepada pemerintah. Resistensi masyarakat

dimulai dengan melakukan surat-menyurat kepada pemerintah daerah.

Pada tanggal 15 April 1988 tokoh-tokoh masyarakat adat membuat

surat kepada Gubernur Propinsi Irian Jaya, menuntut ganti rugi tanah

dan tanaman budidaya di atas tanah hak ulayat seluas 50.000 hektare

untuk pengembangan proyek PIR di Kecamatan Arso. Penolakan ini

merupakan kelanjutan dari reaksi-reaksi masyarakat terhadap

keputusan Bupati Kabupaten Jayapura tahun 1983 tentang penetapan

areal Transmigrasi. Kemudian pada tanggal 19 April 1997 masyarakat

Arso19 membuat surat kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Jayapura yang isinya sepakat untuk mengambil uang penghargaan dari

Pemerintah Daerah Tingkat II Jayapura dan pada tanggal 17 Mei 1997

uang sebesar Rp 54.000.000 diambil dari bendahara Setwilda Tingkat II

Jayapura. Uang tersebut dipakai untuk pembayaran biaya rekognisi 19Penggunaan istilah masyarakat Arso di kalangan masyarakat luas sesungguh nya tidak terbatas hanya pada penduduk Kampung Arsokota tetapi meliputi kampung-kampung di sekitar Distrik Arso, seperti Workwana, Kwimi, Ubiyau, Sawyatami, Sanggaria, Yuwanain, Asyaman, Yammua, Warbo, Yamta, Yaturaharja, Dukwia, Sawanawa, IfiaFia, Bagia. Hal ini disebabkan karena Arso merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perekonomian, pendidikan, keamanan dan lain-lain.

Page 12: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

218

kepada masyarakat adat Arso atas penyerahan tanah adat untuk lokasi

PIR20. Pada tanggal 24 Mei 1997 dikirim surat lagi kepada Bupati

Kepala Daerah Tingkat II Jayapura yang isinya masyarakat adat Arso

menolak penyerahan uang Rp 54.000.000 sebagai ganti rugi tanah PIR

Arso seluas 50.000 hektare. Dalam surat tersebut disertakan alasan-

alasan sebagai latar belakang penolakan transaksi antara pemerintah

dan masyarakat. Alasan-alasan tersebut adalah, satu, pemilik hak ulayat

belum mengakui pelepasan tanah seluas 50.000 hektare pada 19

Desember 1981; dua, uang sebasar Rp. 54.000.000,- tidak seimbang

dengan luas lahan yang digunakan PTPN II; tiga, uang Rp. 54.000.000,-

tidak sesuai dengan banyaknya nyawa yang melayang akibat urusan

tanah; empat, dengan menerima uang tersebut dikhawatirkan status

hak tanah akan hilang selamanya.

Kedua, penduduk menolak kompensasi ganti rugi tanah.

Berkaitan dengan urusan tanah di wilayah Workwana dan Arso ketika

perkebunan kelapa sawit dibuka, masyarakat adat melalui 52 tokoh

adat masyarakat Keerom menolak pemberian uang sebesar Rp 54.

000.000,- Ada beberapa alasan penolakan yang dibuat masyarakat,

antara lain karena menurut masyarakat adat, uang tersebut tidak sesuai

dengan banyaknya nyawa yang melayang akibat urusan tanah dengan

berbagai pihak dan dengan uang tersebut dikhawatirkan status hak atas

tanah akan hilang untuk selamanya (Ansaka, 2009). Kekhawatiran

masyarakat mengenai status tanah yang dikuasai oleh perusahaan

ternyata sesuai dengan ungkapan salah satu manajer PTPN II Kebun

Arso, Bapak J. Worengga. Dalam pertemuan dengan masyarakat pada

tanggal 24 Mei 2008 di Kampung PIR V Yamara,Worengga

mengungkapkan bahwa kontrak PTPN II Kebun Arso berlangsung

selama 60 tahun. Pernyataan ini menunjukkan bahwa hak masyarakat

terhadap tanah ulayatnya baru dapat dikembalikan oleh perusahaan

sekitar tahun 2042 (didasarkan pada waktu masuknya PTPN II di Arso

20Dalam dokumen salah satu tokoh adat Kampung Workwana, Bapak Herman Fatagur, yang penulis peroleh, terdapat sebuah kuitansi bukti pembayaran biaya rekognisi untuk Masyarakat Arso atas penyerahan tanah adat untuk lokasi PIR kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Jayapura, tanggal 17 Mei 1997. Uang sebesar Rp. 54.000.000,-diterima dan ditandatangani olehbapak Damian Borotian.

Page 13: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

219

tahun 1982). Memang dalam sebuah surat pernyataan pelepasan yang

dibuat di Arso, pada tanggal 8 Desember 1982 yang ditandatangani

oleh Administrator PTP II Proyek Arso, Ir .D Simandjuntak dan

Mikael Wabyager Ondoafi di Workwana Kecamanatn Arso berisikan

pernyataan, areal 1.310 hektare yang dipergunakan untuk Kebun

Kelapa Sawit Inti. Apabila areal 1.310 hektare tidak dimanfaatkan lagi

oleh PTP II maka kepada masyarakat akan diberikan hak atas tanah

tersebut. Surat pernyataan pelepasan tersebut ditandatangani dan

diketahui oleh USPIKA Kecamatan Arso, Camat Arso, Drs. Ikram

Baasalem, Kapolsek Arso dan Danramil Arso. Namun pemakaian tanah

oleh PTPN II Kebun Arso selama 60 tahun dapat mengakibatkan

dampak yang semakin berat dalam pelbagai aspek seperti lingkungan

hidup, ekonomi, sosial budaya, hak ulayat dan kondisi keamanan bagi

masyarakat bukan hanya 1.310 hektare tetapi seluas 92.410 hektare

yang dikuasai perusahaan. Dengan demikian harus dikatakan posisi

masyarakat adat sangat lemah ketika menghadapi permasalahan-

permasalahan hak ulayat terkait dengan pengelolaan sumber daya alam

yang dikelola baik oleh pemerintah maupun korporasi pemilik modal.

Ketiga, bentuk resistensi juga dinyatakan penduduk melalui

usaha advokasi dengan melibatkan berbagai pihak. Menurut Servo

Tuamis, para pihak yang dilibatkan sebagai usaha advokasi dalam

rangka menunjukkan resistensi terhadap PTPN II adalah Sekreatriat

Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKP KJ), Lembaga

Bantuan Hukum Universitas Cendrawasih Jayapura dan Komnas HAM

Papua. Advokasi tersebut tidak hanya dilakukan di Jayapura dengan

berunjuk rasa di DPRD Kabupaten Keerom dan DPRP Provinsi Papua

tetapi perjuangan tersebut diteruskan hingga ke Jakarta. Di Jakarta

masyarakat adat telah bertemu dengan DPR RI, Pertemuan dengan

Komisi II DPR RI dan Presiden ketika itu disponsori oleh Sekretariat

Keadilan Perdamaian Keuskupan-keuskupan se-Tanah Papua bekerja

sama dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Yang terlibat

dalam pertemuan tersebut adalah perwakilan masyarakat adat

Kalimantan dan masyarakat adat Arso Kabupaten Keerom Papua pada

tanggal 11 Oktober 2010. Sesudah itu audiensi dilanjutkan dengan

Presiden RI ketika itu, Soesilo Bambang Yudoyono di Istana Negara.

Page 14: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

220

Namun sampai saat ini belum ada titik terang penyelesaian sengketa

tersebut.

Gambar 6.1 di bawah ini memperlihatkan Bapak Herman

Fatagur salah satu perwakilan masyarakat adat Arso dari Kampung

Workwana menyalami Presiden SBY pada acara silahturahmi di Istani

Negara. Gambar ini diambil di rumah Bapak Herman Fatagur ketika

penulis menemuinya saat melakukan penelitian di Workwana.

Sumber: Dokumentasi Herman Fatagur

Gambar 6.1. Bapak Herman Fatagur Bersalaman dengan Presiden

Soesilo Bambang Yudoyono

Keempat, sikap resistensi masyarakat juga diwujudkan dengan

cara berhenti memanen. Ada berbagai alasan diungkapkan oleh para

informan terkait sikap berhenti panen sebagai bentuk reistensi

penduduk, ketika penelitian dilakukan di Workwana. Satu, petani asli

Workwana berhenti memanen karena lahan kelapa sawitnya dijual

kepada orang lain, sehingga terjadi alih kepemilikan lahan kebun

kelapa sawit. Dengan menjual lahan kelapa sawit petani asli setempat

melihat urusan sawit bukan urusannya lagi. Ia tidak ingin lagi

berurusan dengan usaha kelapa sawit dan beralih pada usaha atau

pekerjaan lain. Artinya, urusan kelapa sawit menjadi urusan pemilik

lahan yang baru. Dengan demikian urusan panen kelapa sawit

merupakan urusan pemilik lahan yang membeli dari pemilik

sebelumnya. Penjualan lahan kelapa sawit dilakukan karena

Page 15: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

221

masyarakat menilai usaha kelapa sawit tidak berdampak membawa

kesejahteraan hidup sebagaimana dijanjikan perusahaan dan

pemerintah serta diharapkan masyarakat itu sendiri. Dua, penduduk

asli Workwana sebagai pemilik lahan sawit juga tidak memanen sendiri

kelapa sawit karena lahannya dikontrakan kepada orang lain. Petani

asli di Workwana yang mengontrakan lahan sawitnya hanya

menunggu uang hasil kontrak lahan tersebut, melalui pembayaran

setiap bulan atau setiap tahun, tergantung pada sistem kontrak yang

disepakati. Dari berbagai kisah masyarakat khususnya di kampung

Workwana, penduduk asli sebagai pemilik lahan kebun plasma

berhenti memanen sendiri kelapa sawitnya sejak tahun 2000.

Sementara penduduk asli di Kampung Arsokota sudah berhenti panen

kelapa sawit beberapa tahun sebelumnya. Beberapa alasan yang

menyebabkan masyarakat berhenti memanen dapat disebut secara

garis besar sebagai berikut. Satu, ada yang beralasan setelah 25 tahun

lebih pohon kelapa sawit semakin tinggi sehingga sulit diegrek.

Sejumlah informan lain lagi mengatakan mereka tidak mampu

mengegrek sendiri kelapa sawit karena keterampilan terbatas dan

keadaan kesehatan yang tidak mendukung untuk bekerja keras di

kebun kelapa sawit. Keadaan kesehatan yang buruk ini diakibatkan

oleh kurang gizi, malaria, dan fisik lemah. Dikatakan, ada pengalaman

di masa lalu, ada warga kampung yang memaksa diri bekerja di lahan

sawit kemudian jatuh sakit bahkan ada yang meninggal karena

pekerjaan di kebun kelapa sawit cukup berat. Informan lain

menyatakan orang kampung juga melihat produksi kelapa sawit setelah

berusia lebih dari 25 tahun terus menurun. Dan ada pula anggapan

bahwa dengan mengontrakan lahan, si pemilik lahan sawit tidak perlu

bekerja keras, akan tetap memperoleh uang. Ada pula warga yang

menyatakan, aspek fluktuasi harga jual TBS ke pabrik yang tidak

menentu menyebabkan petani asli tidak termotivasi untuk

mengusahakan lagi kebun kelapa sawitnya. Selain itu ada pula warga

kampung setempat yang beranggapan dengan berubahnya status

daerah ini sebagai kabupaten, ada banyak uang yang disediakan

pemerintah daerah. Akibatnya orang mulai bergantung pada dana

pemerintah daripada mengusahakan kelapa sawit atau berkebun.

Page 16: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

222

Kelima, resistensi penduduk berikutnya diwujudkan dengan

melakukan pemalangan. Pemalangan pertama dilakukan di pabrik

pengolahan kelapa sawit di Arso 7 beberapa tahun silam. Sebagaimana

diceriterakan warga dan juga diberitakan oleh Aliansi Demokrasi

untuk Papua (AIDP) melalui jurnalnya bahwa masyarakat adat Arso

memalang Pabrik Kelapa Sawit PTPN II di Arso 7, terjadi pada pada 24

Mei 2012. Alasan pemalangan ialah karena permintaan masyarakat

untuk ganti rugi lahan yang digunakan perusahaan selama 30 tahun

tidak dipenuhi pemerintah. Menurut salah satu tokoh adat Arso Servo

Tuamis, seperti dikutip AIDP, menyatakan:

“benar, kami sudah palang pabriknya, aktivitas semua petani sawit kita hentikan. Karena selama 30 tahun kami menderita. Kayu palang akan dibuka kalau gubernur tiba di lokasi, tapi kalau gubernur tidak datang dan mendengar apa yang kami minta, palang tidak akan dibuka”.

Tuntutan ini dilakukan karena menurut warga setempat, telah

terjadi pelanggaran hak-hak azasi penduduk terkait dengan kehidupan

ekonomi, sosial-budaya dan tanah ulayat. Mereka merasa hak miliknya

atas tanah hilang. Karena itu masalah perkebunan harus diselesaikan

dalam waktu dua bulan, demikian tuntutan masyarakat. Dari sejumlah

informasi juga yang penulis peroleh dan sebagaimana dicatat AIDP,

Komnas HAM Papua, telah memfasilitasi masyarakat adat Arso dengan

mengirim surat bahkan membicarakan masalah ini dengan para pihak

seperti Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan DPRP. Bahkan Komisi

Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura bersama Konferensi

Wali Gereja Indonesia (KWI) juga telah memediasi pertemuan dengan

DPR RI dan Presiden SBY di Jakarta, namun hingga saat ini belum juga

terlihat ada tanda-tanda penyelesiannya. AIDP mencatat, berdasarkan

data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom, luas Kebun

Sawit di wilayah itu mencapai 11.921 hektare, dengan luas panen

10.195 hektare. Pada tahun 2006, PTPN II Arso memanen hingga 8.339

hektare. Luas areal panen tersebut berasal dari kebun plasma 3.600

hektare, kebun inti 1.871 hektare, KKPA 1.800 hektare dan Bumi Irian

Perkasa 1.068 hektare. Padahal bila kita mengurutkan data pelepasan

tanah di wilayah ini untuk keperluan perkebunan luas areal kelapa

Page 17: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

223

sawit dan lokasi pemukiman petani PIR luasnya jauh lebih besar dari

data yang disebutkan. Kemudian pemalangan kedua, dilakukan pada

tanggal 3 Mei 2016, di wilayah Kebun Inti milik perusahaan oleh

masyakarat adat di Kampung Mur Dua. Dalam aksi pemalangan

tersebut muncul pernyataan-pernyataan yang berbunyi:

Baliho 1: Kami Minta kembalikan Tanah kami! Dan Kami Tolak PTPN II. Selama 30 Tahun kami Anak2 Adat Tertipu Dengan Kasus Penipuan oleh PTPN II Arso.

Baliho 2: Solidaritas Masyarakat Adat Arso Kami Tidak Butuh Sawit Kami Hanya Butuh Hutan Save Hutan Papua Save Hutan Keerom Demi Anak Cucu

Sumber: Foto Harun Rumbarar (Wartawan SuaraPapua, 2016)

Gambar 6.2. Pemalangan Kebun Inti PTPN II oleh Masyarakat Adat Arso

Sebagaimana diberitakan oleh Harian Cendrawasih Pos,

Jayapura 26 Mei 2016, akibat pemalangan kebun inti PTPN II, pabrik

kelapa sawit tidak bisa beroperasi sehingga petani plasma lainnya,

melakukan demonstrasi, membawa sekitar 10 mobil truk berisi TBS ke

Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Keerom, menuntut dan

memprotes PTPN II. Protes tersebut juga dipicu oleh adanya surat

edaran perusahaan tentang tidak menerima TBS dari kebun petani

plasma, kecuali hanya TBS dari kebun Inti perusahaan berhubung

mesin pengolah TBS berada dalam keadaan yang rusak dan perlu

diperbaiki. Namun selama kurang lebih 2 hari tidak ada penyelesaian,

buah kelapa sawit tersebut dibawa kembali ke lokasi panen karena

pabrik perusahaan juga tidak beroperasi. Keadaan ini mengakibatkan

Page 18: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

224

buah-buah kelapa sawit yang ada membusuk dan petani atau buruh

tani tidak bisa memanen lagi kelapa sawit, mengakibatkan banyak

pihak merugi. Peristiwa ini terjadi sejak 3 Mei 2016 sampai 6 Juni 2016

saat informasi ini dihimpun.

Keenam, sikap resistensi masyarakat juga dilakukan dengan

berusaha mempertahankan daerah segitiga emas, yang tidak boleh

digunakan untuk kegiatan lain kecuali digunakan untuk pencarian

nafkah penduduk setempat. Wilayah ini dikatakan oleh para informan

sebagai wilayah hutan lindung bagi penduduk kampung Arsokota,

Workwana dan Wambes. Menurut beberapa informan di Workwana

daerah yang disebut segitiga emas sesungguhnya merupakan tanah adat

tempat masyarakat berburu, meramu, berkebun atau tempat mencari

makan. Segitiga emas merupakan hutan tanah adat yang tidak boleh

dimasuki oleh sembarang orang karena di dalam hutan ini terdapat

tempat keramat yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tua saja.

Tempat ini terletak di dekat Sungai Bewan dan berbatasan di antara

tanah orang Workwana, orang Arso dan orang Wambes. Hutan ini

disebut segitiga emas pertama-tama untuk melindungi hak-hak tanah

dan hutan masyarakat yang sebagian besar hilang karena digunakan

untuk perkebunan kelapa sawit. Selain itu secara ekonomi, tempat ini

merupakan tempat sumber daya alam yang menyediakan berbagai jenis

tumbuhan yang dapat dimakan, berbagai jenis pohon kayu yang dapat

digunakan untuk pembuatan rumah dan keperluan lain, berbagai jenis

binatang buruan sebagai sumber nafkah penduduk asli setempat.

Bahkan dikatakan juga oleh warga Kampung Workwana, segitiga emas

merupakan tempat kerja yang bisa membuat pemuda atau laki-laki

dewasa berusaha mencari bahan makanan. Dengan begitu mereka tidak

menganggur di kampung dan tidak terjebak dalam hal-hal politik

sebagai separatis atau terlibat dalam aktivitas yang tidak bermanfaat

bagi diri dan keluaga serta masyarakat seperti mabuk-mabukan dan

sebagainya. Segitiga emas mempunyai makna yang bersifat ekonomi,

sosial-budaya dan lingkungan hidup bagi masyarakat di wilayah Distrik

Arso, khususnya meliputi tiga kampung yang disebutkan di atas. Secara

sosial-budaya, tempat ini sesungguhnya merupakan tempat rahasia

yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang, karena daerah ini

Page 19: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

225

merupakan tempat pelaksanaan ritus-ritus inisiasi adat masyarakat

setempat. Menurut Gusbager (2001), proses pendidikan sosio-kultural

dan pendewasaan anggota masyarakat sebenarnya berlangsung melalui

ritus inisiasi, sosialisasi peran dan fungsi sebagai laki-laki dewasa mulai

diperkenalkan melalui inisiasi di tempat ini. Karena itu dikatakan juga,

tempat ini secara kultural mempunyai fungsi religius karena di

dalamnya berdiam roh-roh leluhur masyarakat setempat bersama

dengan Kwembo, tokoh yang dipuja sebagai Pencipta dan Penguasa

alam semesta, dalam kepercayaan masyarakat setempat. Dari sisi

lingkungan hidup, di sini terdapat jenis-jenis flora dan fauna yang

sewaktu-waktu masih dapat dinikmati penduduk sesuai kebutuhan dan

keperluannya. Misalnya, untuk keperluan pembuatan rumah, kayu dan

bahan-bahan lain masih dapat diperoleh di tempat ini. Demikian juga

binatang buruan masih bisa di dapat di sini walaupun dari segi jumlah

dan jenis dari waktu ke waktu terus berkurang.

Namun menurut sejumlah informan di Workwana, fungsi awal

segitiga emas tersebut saat ini mulai terancam hilang karena diabaikan

oleh masyarakat yang hanya ingin mengeksploitasi dan memanfaatkan

berbagai sumber daya alam yang ada di dalamnya demi kepentingan

ekonomi semata-mata. Senada dengan pernyataan di atas, Servo

Tuamis juga mengatakan segitiga emas sekarang terancam karena ada

warga yang mulai berusaha menjualnya kepada pengusaha kayu dan

perkebunan sawit. Menurut penilaian sejumlah tokoh muda

masyarakat di Workwana sesungguhnya kelompok masyarakat ini

dahulu hidup secara arif mengatur dan mengolah alam sesuai dengan

hak-hak, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Artinya

fenomena ini menunjukkan bahwa pusat mata pencaharian masyarakat

setempat perlaha-lahan hilang seiring dengan perkembangan wilayah

Keerom sebagai daerah otonomi baru, sekaligus sebagai salah satu

daerah penyangga ekonomi di bidang pertanian bagi Kota Jayapura,

Abepura dan sekitarnya. Padahal pemanfaatan segitiga emas

sesungguhnya mengandung makna yang penting berkaitan dengan

adanya kesadaran masyarakat melindungi aset-aset komunalnya yang

sedang digiring ke dalam proses penghancuran hak-hak masyarakat

adat setempat atau hak-hak teritorial dan sistem tenurial masyarakat

Page 20: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

226

adat. Dikatakan juga oleh salah seorang tokoh masyarakat adat di Arso,

keberadaan segitiga emas sekarang ini makin terancam juga karena

status hutan kampung Arsokota, Workwana, dan beberapa tempat lain

masuk dalam golongan Areal Penggunaan Lain (APL), yang mana izin

pemanfaatannya hanya dikeluarkan oleh bupati setempat. Artinya,

sewaktu-waktu bila pemerintah daerah membutuhkan, tanah-tanah

APL tersebut, bisa diambil dan digunakan oleh pemerintah atas nama

kepentingan pembangunan. Selain itu dikatakan juga oleh para

informan bahwa pengelolaan hutan yang lebih dikenal sebagai hak

penguasaan hutan (HPH) yang izinnya diatur dari pusat, kini diganti

dengan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat

(IPHHKMA).Tokoh masyarakat setempat menyatakan, pengelolaan

hutan melalui HPH ditetapkan dengan izin pemanfaatan kayu (IPK)

seluas 30 (tigapuluh) hektare per tahun, namun dalam setahun bisa

dikerjakan 60 (enampuluh) hektare hutan. Dengan demikian dapat

dikatakan pola pemanfaatan hutan memang diubah yakni dari

pemegang HPH ke masyarakat adat tapi sejatinya pengelolaannya tetap

sama, yaitu pemilik modal yang dikenal sebagai pemegang HPH.

Menurut tokoh masyarakat adat Arso trsebut, hal ini bisa terjadi

demikian karena adanya kelemahan masyarakat yakni masyarakat

tidak mempunyai modal yang diperlukan sedangkan yang mempunyai

modal adalah pengusaha-pengusaha besar. Tokoh masyarakat adat

tersebut,mengatakan, nama penggunaan hutan memang berubah tapi

sistemnya tetap sama dengan HPH. Dikatakannya, demikian pula

untuk IPHHKMA tidak ditentukan berapa besar luas hutan yang dapat

ditebang. Yang penting masing-masing orang mengambil dan

mengelola kayu di daerah yang menjadi hak ulayatnya.

Dari pengalaman di daerah segitiga emas ini muncul persoalan

antarmasyarakat adat pemilik hutan lindung tersebut. Dijelaskan

kembali oleh Pastor Ronny SVD beberapa waktu lalu di Arsokota

kepada penulis bahwa, ia pernah menginformasikan kepada Tim dari

Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) dan Aliansi Damai Papua (ALDP)

dalam sebuah pertemuan di Arsokota berkaitan dengan munculnya

masalah di daerah segitiga emas tersebut, pada tangga l 6 Mei 2014.

Kasus tersebut berawal dari adanya penebangan dan penggergajian

Page 21: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

227

kayu di daerah segitiga emas oleh sejumlah orang yang diminta oleh

salah seorang warga kampung tetangga. Karena diketahui oleh warga

Kampung Arsokota bahwa penebangan di hutan tersebut melanggar

kesepakatan bersama, maka masyarakat membakar dua sepeda motor

milik penebang kayu dan menghentikan kegiatan tersebut. Kemudian

masalah ini diteruskan pula oleh masyarakat Kampung Arsokota ke

pihak kepolisian tapi tidak diketahui hasilnya. Menurut informasi

Ronny SVD, rapat terkait masalah tersebut dihadiri tokoh-tokoh

masyarakat Arsokota, tokoh adat, tokoh perempuan dan pemudanya.

Dikatakannya masyarakat meminta dukungan yang serius dari berbagai

pihak untuk membantu mereka. Dijelaskan oleh Ronny SVD bahwa,

para tokoh adat yang hadir, sebagian besar adalah pemilik wilayah

Segitiga Emas yakni masyarakat adat di kampung Arsokota.

Menurutnya dalam rapat bersama tersebut masyarakat Kampung

Arsokota berkeberatan terhadap izin usaha perkebunan kelapa sawit

yang diberikan Bupati Keerom kepada PT Victory, karena dalam Surat

Perjanjian Pernyataan Pelepasan Hak Tanah Ulayat seluas 6.000

hektare di wilayah segitiga emas memang berada di tanah adat orang

Kampung Workwana, Wambes dan Arsokota. Namun ketika pelepasan

tanah itu terjadi, masyarakat Kampung Arsokota yang justru memiliki

bagian terluas dari tanah tersebut tidak dilibatkan. Ronny SVD

mengisahkan, yang paling mendasar diungkapkan masyarakat adat

Kampung Arsokota, mereka tidak mau melepaskan tanah itu karena

daerah tersebut merupakan sumber kehidupan mereka dan sekaligus

juga merupakan hutan lindung yang sarat dengan tempat-tempat

keramat masyarakat setempat. Lanjutnya, “Meskipun investasi masuk

Keerom, tapi masyarakat wilayah Arso tidak mendapatkan dampak

positifnya, mereka tetap pergi ke hutan, mencari kayu api, mencari

ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dikatakan

oleh Ronny SVD, masyarakat di daerah ini ternyata masih sangat

tergantung pada hutan yang disebut segitiga emas tersebut. Dalam

pertemuan itu dijelaskan oleh Frans Tafor salah satu tokoh adat

Kampung Arsokota bahwa tanah tersebut (segitiga emas) merupakan

hasil rampasan perang zaman dulu yang dikuasai oleh orang Arso. Ada

sembilan marga pemilik tempat tersebut yaitu marga Tuamis, Taigat,

Page 22: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

228

Borotian, Nouyagir, Kiayambe, Girbes, Giryar, Kyawot dan Tafor.

Kesembilan marga tersebut menyerahkan penanganan kasus mereka

kepada YTHP dan AlDP yang didukung oleh tim kerja dari masing-

masing marga.

Ketujuh, resistensi penduduk dilakukan dengan mengadakan

upacara adat di perkebunan kelapa sawit. Infromasi yang penulis

terima berkaitan dengan resistensi penduduk terjadi pada akhir tahun

2016. Pada saat diadakan upacara adat yang mana secara simbolis bibit

kelapa sawit diserahkan kembali kepada perusahaan dan segumpal

tanah diambil kembali penduduk. Menurut Servo Tuamis, uparaca

tersebut mengandung arti bahwa tanah masyarakat secara adat diambil

kembali dan kelapa sawit dikembalikan kepada perusahaan. Dikatakan

juga dalam upacara tersebut ada ancaman, tidak boleh ada lagi yang

memanen kelapa sawit di seluruh wilayah kebun Arso. Bila ada yang

melanggar kesepakatan tersebut, resiko ditanggung sendiri oleh pelaku

yang memanen kelapa sawit. Peristiwa ini kemudian disikapi oleh

anggota DPRD Keerom yang diwakili oleh Kondrat Gusbager anggota

Komisi B yang membidangi masalah kelapa sawit. Kondrat

mengusulkan membentuk tim khusus untuk menyelesaikan

permasalahan ini dengan menyatakan, Pemda Kabupaten Keerom dan

Pemda Provinsi Papua harus segera menyelesaikan persoalan

masyarakat adat ini karena sudah bertahun-tahun masalah kebun

kelapa sawit PPTPN II tidak diselesaikan (Cepos, 26 Mei 2016).

Kedelapan, Akumulasi pengalaman masyarakat yang dirasakan

merugikan dan mengandung ketidakadilan atas hak-hak tanah ulayat

kemudian secara resmi dirumuskan juga dalam surat Dewan Adat

Keerom, berisikan pernyataan sikap memberikan kuasa kepada

Komnas HAM RI Provinsi Papua tanggal 14 Maret 2011 untuk

memediasi tuntutan masyarakat yang ditandatangani oleh Kepala suku

Arsokota, Kepala suku Kaya, Kepala suku Manem dan para

Yuskwondor, Ketua Forum Perempuan dan Ketua Forum Pemuda

masyarakat Arso. Pernyataan sikap masyarakat tersebut turut

ditandatangi Dewan Adat Keerom yang terdiri dari Ketua Dewan Adat

Arso, Ketua Dewan Adat Skanto dan Ketua Dewan Adat Kabupaten

Page 23: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

229

Kerom. Sedangkan yang menjadi mediator Komnas HAM Papua ialah

M. Ridha Saleh dan Andriani Salman Walli anggota Komisioner

Perwakilan Papua Sub Komisi Mediasi. Pada tanggal 26 Oktober 2011,

Mediator Komnas HAM bersama Juru Runding Masyarakat Adat Arso,

Juru Runding PTPN II dan Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemda

Provinsi Papua menyepakti penundaan perundingan yang dituangkan

dalam Berita Acara Penundaan Perundingan Mengenai Sengketa Lahan

Antara Masyarakat Adat Arso Dengan PTPN II di Kabupaten Keerom

Provinsi Papua. Isi berita acara penundaan tersebut memuat beberapa

hal, antara lain pihak yang terlibat dalam proses mediasi sepakat

menunda sidang yang kelanjutannya akan ditetapkan kemudian;

Pemerintah Provinsi akan melakukan rapat koordinasi dengan

Pemerintah Kerom dan Pemerintah Kabupaten Jayapura serta pihak

PTPN II untuk mengklarifikasi serta mencari titik temu sengketa hak

dasar tanah ulayat masyarakat Arso; hasil rapat koordinasi tersebut

akan dikomunikasikan kepada Komnas HAM Papua untuk melakukan

mediasi lanjutan; dan selama menunggu proses mediasi lanjutan para

pihak sepakat menjaga kondisi damai dan menjalin komunikasi. Surat

penundaan mediasi dimaksud ditandatangi oleh Mediator M. Ridha

Saleh, Komisioner Perwakilan Papua Andriani Salman Walli,

Masyarakat Adat Arso Servo Tuamis, Longginus Fatagur, Fitalis

Yanofrom, Paulus Kyambe, Robby Borotian, Herman Fatagur dan

Mikael Fatagur, Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemerintah Daerah

Provinsi Papua Petrus Korowa dan perwakilan PTPN II Kebun Arso J.

Worengga, H. Manurung, Nofri Jekson, Hamdan Rosidi, Aramansyah

dan Fabianus Tafor. Urusan ini kemudian berlanjut pada tanggal 5

September 2012, dengan membuat kesepakatan bersama yang isinya

Dewan Adat menyetujui program revitalisasi perkebunan kelapa sawit

kebun plasma PTPN II Kebun Arso. Sedangkan permasalahan tanah

adat tetap harus diselesaikan oleh pemerintah dengan melalukan

pertemuan Dewan Adat Keerom, LMA Keerom dengan Bupati Keerom.

Kemudian meminta kerja sama kemitraan antara PT Victory

Cemerlang dengan Dewan Adat Keerom yang difasilitasi oleh Dinas

Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua. Surat kesepakatan ini

ditandatangi oleh Ir La Saharun M.Si dari Dinas Perkebunan dan

Page 24: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

230

Peternakan Provinsi Papua, Abdurrahman Abd. Karim SP dari Dinas

Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom, Gideon Fonataba B.Sc

dari Kantor Pertanahan Kabupaten Keerom, Ir. Robert Purba MBA dari

PTPN II Kebun Arso, J. Hutapea SH dari DPW Akpindo Provinsi

Papua, Serfinus Tuamis Ketua Pokja Adat Dewan Adat Keerom,

Sarifudin Ketua Koperasi Ngkawa Afdeling II, Nixon Sraum Ketua

Koperasi Aryatmi Afdeling I.

Hambatan dan Peluang Penyelesaian Sengketa Tanah

Hambatan Regulasi

Ada berbagai hambatan yang dialami masyarakat Kampung

Workwana dan Arsokota dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan

lahan dengan pemerintah dan perusahaan PTPN II, baik terkait dengan

saksi kunci pejabat pemerintah ketika itu, termasuk warga masyarakat

setempat yang terlibat dan regulasi-regulasi yang secara nasional

digunakan di bidang pertanahan, perkebunan dan lain-lain.

Dari sisi regulasi, menurut penulis, terdapat hambatan hukum

yang dapat dilihat ada pada sejumlah aturan hukum yang berlaku

berkaitan dengan pelepasan tanah adat atau tanah masyarakat yang

digunakan untuk kepentingan pembangunan yang tidak diketahui

masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Serge Marti (2008), dalam

tulisan berjudul, Hilangnya Tempat Berpijak, Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia,

beberapa regulasi yang ada nampaknya tidak pro rakyat tetapi pro

penguasa dan pemilik modal. Beberapa regulasi yang disebut Marti

ialah pertama, Undang-undang No.5/1999. Undang-undang ini masih

mempertahankan sikap diskriminasi terhadap masyarakat, yang isinya

masyarakat lokal tidak bisa mengklaim hak atas tanah yang telah diberi

izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada seseorang atau badan hukum

tertentu walau sebelumnya merupakan tanah komunal; kedua,

Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Dalam

regulasi ini izin diberikan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang

sampai 3 kali sehingga izin mencapai 120 tahun; ketiga, Peraturan

Page 25: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

231

Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005, tentang Pembebasan Lahan

Implementasi Pembangunan untuk Kepentingan Publik. Peraturan ini

dikatakan mengubah definsi kepentingan umum dengan memasukkan

pernyataan, proyek yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta maupun

transnasional untuk diklasifikasikan sebagai kepentingan umum serta

meningkatkan hak negara untuk mencabut kepemilikan lahan dan

mengabaikan hak-hak masyarakat untuk menolak proyek

pembangunan tertentu; keempat, Undang-undang Penanaman Modal

No. 25 Tahun 2007. Undang-undang ini menempatkan hak-hak

investor di atas hak-hak masyarakat. Misalnya, undang-undang ini

memperpanjang HGU awal 60 tahun dan dapat diperpanjang selama 35

tahun. Regulasi ini juga tidak menjelaskan mengenai proses

pembatalan HGU jika muncul permasalahan tertentu. Menurut Marti,

aturan ini berlaku untuk konsesi penambangan, perkebunan, industri

bubur kertas dan penebangan kayu.

Jadi menurut penulis, aturan-aturan atau regulasi seperti

disebutkan di atas membatasi akses masyarakat mencari keadilan

berkaitan dengan hak-hak dasarnya, karena regulasi-regulasi yang ada

sejatinya tidak pro rakyat dan lebih pro penguasa serta korporasi besar

swasta sebagai pemilik modal. Dengan demikian atas nama keadilan

dan hak-hak dasar masyarakat di bidang sosial-udaya dan ekonomi

seharusnya dikaji ulang atau diajukan proses judicial review terhadap

berbagai regulasi yang pro penguasa atau korporasi pemodal dan tidak

pro rakyat. Dalam situasi sosial politik dan pembangunan di Papua,

kekuatan Otonomi Khusus untuk Papua (UU 21/2001) seharusnya

memberikan perlindungan dan prioritas kepada masyarakat Asli Papua

melalui program-program afirmatif. Namun keberpihakan tersebut

belum terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat seperti yang

dialami masyarakat Arsokota dan Workwana selama ini dalam

perjuangannya berkaitan dengan tuntutan hak-hak dasar di aspek

pertanahan (Dale & Djonga, 2011).

Menurut hemat penulis, rumitnya permasalahan kasus tanah

adat seperti ini diakibatkan oleh dua hal. Pertama, sedang terjadi proses

kapitalisasi tanah adat sebagai bagian dari proses pembangunan yang

Page 26: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

232

dipengaruhi oleh pendekatan pembangunan yang berorientasi

pertumbuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan Sumitro

Djojohadikusomo (1994,1-57), bahwa pertumbuhan diartikan sebagai

aktivitas ekonomi. Artinya, pertumbuhan ekonomi merupakan proses

peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi

masyarakat, yang diukur dengan peningkatan hasi produksi dan

pendapatan. Dengan demikian menurut Malak Stepanus (2006, XI)

kapitalisasi tanah adat merupakan alih fungsi tanah adat yang semula

berfungsi sosial, berbasis pada kepentingan masyarakat setempat, ke

fungsi ekonomi yang berbasis pada kepentingan kaum pemodal.

Artinya tanah dilihat sebagai aset atau komoditi yang bila

dimanfaatkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dampaknya ialah alih fungsi tanah adat ini menimbulkan amarah

masyarakat bahkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah

karena masyarakat disingkirkan dan diabaikan. Kedua, Malak juga

menyebut beberapa kepentingan muncul dalam konflik tanah seperti

ini. Ia mengutip Gibb & Bromley (1989) yang membedakan tiga jenis

klaim terjadi atas tanah yakni, a) Klaim negara sebagai pemilik tanah.

Dicontohkannya, UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 1960. b) Klaim

pribadi, sebagai pemilik tanah. Seperti, UU No.11/1967 tentang

Pertambangan dan UU No 14/1998 tentang Pengolahan Hutan. c)

Klaim komunal sebagai pemilik tanah, misalnya masyarakat adat.

Permasalahan tuntutan ganti rugi tanah adat dan alih fungsi

lahan sebagai perkebunan kelapa sawit dan pemukiman tarsmigrasi

PIR di Arso dan Workwana, hingga saat ini terus terjadi. Hal ini

memperlihatkan adanya klaim masyarakat adat sebagai pemilik hak

ulayat yang merasakan dan mengalami transaksi-transaksi penyerahan

tanah sebagai proses transaksi yang curang, tidak adil dan merupakan

bentuk “penjarahan tanah” hak ulayat masyarakat adat sebagai pemilik

sah oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan sawit di satu pihak,

dan di pihak lain terdapat klaim negara atas tanah, air dan seluruh alam

semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan banyak orang dikuasai

oleh negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan peraturan

lainnya. Benturan atas klaim-klaim tersebut akan terus berlangsung

tanpa penyelesaian, hanya menunjukkan wajah negara yang tidak

Page 27: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

233

peduli dan mengabaikan kedaulatan rakyat hanya menunjukkan

kekuatan negara yang menindas dan memasung rakyat di era

demokrasi ini. Setelah melihat latar belakang dan motivasi sikap

penolakan masyarakat terhadap PTPN II Marowa, berikut diuraikan

hambatan-hambatan regulasi berkaitan dengan gugatan masyarakat

terhadap badan usaha milik negara tersebut dan pemerintah setempat.

Peluang-peluang Masyarakat Adat

Sesudah melihat hambatan-hambatan dari segi regulasi terkait

penyelesesaian sengketa hutan dan lahan, berikut ini penulis ingin

menjelaskan juga peluang yang dimiliki masyarakat adat sebagai

penduduk pemilik hak ulayat atas hutan dan tanah.

Dari segi aturan atau regulasi dapat dikatakan penduduk

setempat atau masyarakat adat mempunyai peluang untuk

menyelesaikan permasalahan hak ulayat mereka. Pertama, Keputusan

Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor 35/PUU-X/2012, Tanggal 16 Mei

2013, menyatakan,“Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam

wilayah masyarakat hukum adat”. Dengan demikian Kata “Negara”

dalam pasal 1 angka 6 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Kemudian, pasal 4 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak

dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak

masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Demikian beberapa

penjelasan dalam Putusan MK tersebut, yang pada dasarnya

memberikan peluang kepada masyarakat adat untuk memperoleh hak-

hak adatnya atas hutan yang dimiliknya. Kedua, Peraturan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor 52 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Artinya Peraturan Menteri Dalam Negeri ini mengakui dan

menghormati hak-hak masyarakat adat dan apa yang dimiliki

masyarakat adat. Dengan kedua regulasi ini dan regulasi lainnya

sesungguhnya terdapat peluang untuk Masyarakat Adat Arso

Page 28: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

234

menyelesaikan permasalahan hutan dan lahan yang selama ini dinilai

dikuasai secara tidak adil oleh negara melalui PTPN II untuk

perkebunan kelapa sawit. Ketiga, secara politik-pemerintahan Provinsi

Papua merupakan wilayah Otonmi Khusus, dengan sejumlah

kewenangan yang ada di daerah, dapat digunakan untuk

menyelesaikan permasalahan sengketa hutan dan lahan tersebut

sehingga masyarakat adat memperoleh pengakuan negara dan

kepastian hukum atas hak-haknya.

Workwana dan Otonomi Khusus Papua

Otonomi Khusus (OTSUS) untuk Tanah Papua yang meliputi

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mulai berlaku sejak

ditetapkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus untuk Papua. Salah satu dampak OTSUS bagi Papua ialah

adanya perubahan paradigma pembangunan, yaitu kampung sebagai

pusat pembangunan masyarakat dan daerah (Suebu, 2007). Bagian ini

sesungguhnya ingin mengungkapkan sikap pro-kontra masyarakat

terhadap kebijakan dan program-program pemerintah yang dialami di

tingkat kampung, khususnya di Workwana.

Sumber: Foto SKP KJ, 2008

Gambar 6.3 Rincian Kegiatan PNPM Mandiri Respek Tahun 2008/2009

di Kampung Workwana

Gambar 6.3 di atas merupakan salah satu bentuk publikasi program

pemerintah kepada masyarakat kampung tentang kegiatan

Page 29: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

235

pembangunan kampung melalui Program Nasional Pemberdayaan

Kampung (PNPM) Mandiri Respek Tahun 2008/2009. Orientasi awal

kegiatan Respek adalah untuk mengembangkan infrastruktur kampung

sebagaimana diuraikan pada gambar di atas. Pembangunan

infrastruktur terdiri dari kegiatan pengerasan jalan Rp 64.400.000,-,

pembuatan pagar jalan poros Rp 20. 600.000,- dan pembuatan kebun

gizi Rp 15.000.000,- Keseluruhan dana tersebut berjumlah Rp

100.000.000,-, yang diatur sesuai dengan kebijakan dan keputusan

Gubernur Provinsi Papua. Dari informasi yang diperoleh melalui

petugas lapangan pendamping PNPM Mandiri Respek, dana respek

sejak tahun 2007 sampai 2009 diterima semua kampung sebesar Rp

100.000.000,-. Tapi sejak tahun 2010 pemberian dana Respek ke

kampung-kampung jumlahnya bervariasi, sesuai dengan jumlah

penduduk kampung tersebut. Ada kampung yang memperoleh Rp

117.456,-, ada juga yang menerima Rp 119.000.000,- dan ada yang

menerima Rp 122.000.000,- dan sebagainya. Di Kabupaten Keerom

pada tahun 2011 dana Respek berjumlah Rp 30 miliar untuk 61

kampung dan tahun 2012 naik menjadi Rp 61 miliar. Namun tahun

2013, 6 kampung gagal menerima bantuan sebesar Rp 500.000.000,-. 6

kampung yang gagal menerima bantuan disebabkan karena tidak

menyerahkan laporan keuangan tahun sebelumnya. Dana Rp

500.0000.000,- ini hanya diterima oleh 55 kampung. Pada tahun 2014

dana pembangunan kampung naik menjadi Rp 1 miliar per kampung.

Pencairannya dilakukan 4 kali, setiap tahap pencairan sebesar Rp

250.000.000,- Dijelaskan oleh salah satu pendamping Respek sebagai

anggota Tim Monitoring BK3 di Workwana bahwa tahun anggaran

2014 tahap 1, direncanakan untuk, pekerjaan fisik dan belanja aparatur;

tahap 2 dan 3 untuk belanja aparatur sebesar Rp 150.000.000,- dan

bantuan tahap 4 untuk program fisik belum dicairkan saat penelitian

ini dilakukan. Sebagaimana dijelaskan, penggunaan dana belanja

aparatur dari anggaran Respek ini digunakan untuk honor aparatur

kampung, tokoh adat, tokoh agama, pemuda dan keperluan operasional

kantor kampung serta perjalanan dinas aparat kampung. Aparat

kampung terdiri dari Kepala Kampung, Sekretaris Kampung, Kepala

urusan (4 orang Kaur), Ketua Bamuskam, Wakil Ketua Bamuskam,

Page 30: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

236

Sekretaris Bamuskam, anggota Bamuskam (2 orang), termasuk tokoh

pemuda, tokoh perempuan, Ketua RT dan RW. Selain itu terdapat juga

insentif khusus untuk pengurus PKK dan Hansip. Sedangkan

pendamping BK3 dibayar langsung dari Sekretariat Daerah setiap 3

bulan, sebesar Rp 1.800.000,- per bulan. Selanjutnya informan tersebut

menyatakan dengan sistem ini kampung-kampung penduduk asli

sekarang menggantungkan hidup pada dana BK3 karena melalui BK3

dibentuk kelompok-kelompok kerja. Dari pengamatan seorang warga

kampung Workwana, dikatakan kehidupan orang muda semakin sulit

karena tidak ada lapangan kerja dan tidak mempunyai keterampilan.

Akibatnya banyak orang muda banyak mengkonsumsi miras, mabuk-

mabukan dan sering membuat keamanan terganggu di jalan raya.

Namun menurut Bapak Moses Fatagur, keadaan orang muda yang

demikian dapat ditekan dan agak berkurang karena orang muda selalu

diajak melakukan sesuatu yang berguna untuk banyak orang di

kampung. Pada tahun 2013, keluar SK Gubernur Provinsi Papua No. 63

Tahun 2013 tentang Penetapan Besaran Alokasi Dana RESPEK Tahun

Anggaran 2013 Distrik Arso untuk Kampung Arsokota dan Kampung

Wokrwana, masing-masing sebesar Rp 112.383.000,-. Dijelaskan oleh

Bapak Lukas Yonggom, berasal dari Boven Digoel, dan sejak tahun

1983 tinggal di Workwana bahwa memang ada bantuan pemerintah

untuk kampung. Ketika Bapak Lukas Yonggom yang bertugas sebagai

Kepala Urusan (Kaur) Kesejahteraan rakyat Kampung Workwana pada

waktu itu, dari dana Respek Otonomi Khusus Tahun 2103, dibeli

anakan babi dan membagi kepada setiap kepala keluarga di Kampung

Workwana. Dikatakannya juga selain usaha ternak babi, masyarakat

yang ingin membuat usaha kios, dibantu dengan dana bantuan usaha

kecil sebesar Rp 500.000 per KK. Hasilnya ada kios yang berjalan, ada

yang macet karena banyak warga berutang dan tidak membayar,

sebagaimana yang juga dikeluhkan Ibu Bernadeta Mousonggua, istri

Bapak Julius Fatagur dalam pertemuan di Susteran KSFL Workwana

pada 28 Oktober 2014.

Terdapat berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat di

Workwana sebagai hasil dana Otsus melalui program Respek

sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Moses Fatagur berikut ini. Beberapa

Page 31: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

237

kegiatan masyarakat kampung yang dibiayai oleh anggaran PNPM

Mandiri Respek21. Sejak tahun 2011 sudah dibangun 6 (enam) unit

rumah penduduk, yang dilakukan berdasarkan musyawarah kampung.

Di dalam Kampung Workwana terdapat beberapa kelompok kerja

(Pokja). Pokja perumahan, mengerjakan rumah dengan dana

Rp16.000.000,-. Dana ini dirinci untuk Pokja sebagai berikut: Ketua

Pokja mendapat Rp 2.000.000,- per tahap kegiatan; sekretaris mendapat

Rp 1.000.000,- dan anggota Pokja Rp 800.000,-. Satu unit rumah

ditargetkan selesai dikerjakan 2 (dua) minggu, 1 (satu) bulan

diharapkan 2 (dua) rumah selesai dikerjakan. Tenaga teknis yang

mengerjakan bangunan rumah tersebut semuanya berasal dari

Kampung Workwana (kepala tukang, 1 orang pembantu dan buruh

kasar). Pokja ini antara lain melakukan pekerjaan rehab rumah-rumah

bantuan Departemen Sosial tahun 1984/1985. Rumah-rumah bantuan

pemerintah tersebut pada umumnya berupa rumah papan, yang

sekarang tidak layak huni lagi. Salah satu rumah yang peresmiannya

dilakukan Menteri Sosial tahun 1985 ialah rumah yang ditempati oleh

Bapak Lamber Welip.

Ketika Kabupaten Kerom merayakan hari jadinya yang ke 11,

tanggal 12 April 2014, Bupati Keerom, Yusuf Wally menjelaskan

bahwa pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Keerom dilaksanakan

berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) sejak 2010-2015 melalui 7 (tujuh) program pokok

pembangunan yang meliputi, bidang pendidikan, kesehatan,

infrastruktur, ekonomi, pembinaan lembaga adat, program bantuan

keuangan kepada kampung (BK3) dan pembinaan kawasan perbatasan,

sudah berjalan selama 4 (empat) tahun. Jadi sistem pembangunan yang

dikembangkan ialah pembangunan 2 (dua) arah, pertama, pendekatan

dari atas melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan kedua,

pendekatan dari bawah melalui BK3. Tujuan pendekatan ini untuk

mempercepat pembangunan dan pemerataan pembangunan dari kota

21 Respek adalah Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Program pembangunan Kampung semasa Gubernur Barnabas Suebu). Kemudian muncul istilah lain, Prospek yaitu Program Strategi Pembangunan Ekonomi Kampung (masa pemerintahan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur KlemensTinal).

Page 32: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

238

sampai ke kampung-kampung (Cenderawasih Pos, Sabtu 12 April

2014).

Penjelasan serupa juga dibuat oleh Bupati Keerom Yusuf

Wally ketika melakukan dialog interaktif melalui Radio Republik

Indonesia (RRI) Jayapura Sabtu 5 September 2015. Sebagai narasumber

Bupati Keerom, Yusuf Waly menjelaskan beberapa hal terkait

pembangunan Kabupaten Keerom. Menurutnya, sejak tahun 2011

digulirkan dana pembangunan desa atau pemberdayaan kampung

sebesar Rp 1 miliar per kampung. Dana pemberdayaan kampung

diselenggarakan melalui BK3 Kabupaten Keerom. Dana pemberdayaan

kampung asli Orang Keerom didapat dari dana Otsus sedangkan dana

bagi kampung-kampung eks transmigrasi dikucurkan dari dana alokasi

umum (DAU) berjumlah Rp 1 miliar per kampung. Hal ini diatur

sedemikian untuk memberi rasa keadilan kepada seluruh masyarakat di

Keerom sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial di kalangan warga

masyarakat. Selain itu Yusuf Wally juga menjelaskan, sudah ada

kebijakan tentang pendampingan masyarakat kampung dalam

menggunakan anggaran pemberdayaan kampung. Dikatakannya bahwa

apatarur pengelola dana pemberdayaan kampung perlu didampingi

terus sehingga dapat menjadi aparat yang produktif dalam mengelola

dana Otsus dan dana DAU sebagaimana untuk pemberdayaan

kampung. Menurut Yusuf Wally, sistem ini mendorong masyarakat

belajar berpartisipasi membangun kampungnya. Berkaitan dengan

pendampingan aparat dan masyarakat kampung, sebenarnya sudah ada

Badan Pemberdayaan Kampung. Tugas badan ini adalah melakukan

monitoring dan evaluasi penggunaan dana kampung. Dana

pemberdayaan kampung digunakan untuk kepentingan pembangunan

7 (tujuh) program pokok pembangunan yang disalurkan langsung ke

rekening kampung. Jadi program ini sesungguhnya mempunyai nilai

edukasi bagi masyarakat karena pendekatan pemberdayaan kampung

merupakan proses pembelajaran bagi masyarakat dalam mengelola

dana pemberdayaan kampung dalam rangka masyarakat membangun

kampungnya sendiri.

Page 33: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

239

Sumber: Foto B. Renwarin 2014

Gambar 6.4 Salah Satu Rumah Proyek yang Diresmikan Menteri Sosial

Tahun 1985

Rumah ini terletak tepat di jalan masuk Kampung Workwana di

samping monumen peresmian proyek perumahan sosial yang

dilakukan Menteri Sosial RI tahun 1985. Menurut Sekretaris Kampung,

rumah-rumah panggung yang dibuat dari papan bantuan Menteri

Sosial tersebut semuanya sudah direncanakan akan direhab

menggunakan anggaran perumahan dari program pembangunan

kampung.

Dari dana Respek beberapa tahun silam dibangun jalan dalam

kampung, melakukan pembelian 250 buah tangki air berukuran 5.000

liter yang dapat dilihat di rumah-rumah penduduk. Dari dana Respek

dibangun pula 1 unit rumah Pustu dan Posyandu, kemudian dibangun

satu bangunan perpustakaan kampung. Program-program

pembangunan kampung dibuat berdasarkan usulan masyarakaat

kepada Bupati Kabupaten Keerom. Pada tahun 2012/2013, pemberian

dana tahap pertama sebesar Rp 250.000.000,- telah dicairkan. Dalam

Juknis Pemerintah Kabupaten Keerom tentang penggunaan dana,

diatur 70% dari dana tersebut atau Rp 175.000.000,- digunakan untuk

pembangunan kampung dan 30% untuk honor aparat kampung.

Dijelaskan bahwa pembangunan kampung meliputi bidang kesehatan,

pendidikan dan perumahan rakyat.

Page 34: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

240

Anggaran pembangunan kampung ternyata mengalami

kenaikan yang signifikan sejak tahun 2013. Bila dibandingkan dengan

tahun-tahun sebelumnya setiap kampung hanya mendapat kucuran

dana sebesar Rp 100.000.000,- dari pemerintah kabupaten dan dana

Respek Rp 100.000.000 dari pemerintah Provinsi Papua. Maka mulai

tahun 2013 setiap kampung mendapat dana sebesar Rp 1 miliar. Dana

sebesar itu digunakan untuk pembangunan kampung sebesar Rp

750.000.000,- dan Rp 250.000.000,- untuk honor aparat kampung.

Dengan dana Otsus yang besar turun ke kampung, menurut sejumlah

responden warga Kampung Workwana, dana tersebut hanya dinikmati

oleh aparat kampung sementara warga tidak mendapat apa-apa. Jadi

Otsus memang tidak mensejahterahkan rakyat tetapi

mensejahterahkan pejabat, demikian disuarakan para informan dari

Kampung Workwana. Beberapa warga kampung berpendapat bahwa

program-program pemerintah melalui Respek yang dikoordinir oleh

BK3 Kabupaten Keerom, baik bagi masyarakat tetapi tidak bisa

menjawab berbagai permasalahan masyarakat. Para informan tersebut

berharap ada pendekatan dan pola lain pelayanan masyarakat yang

dapat menjawab permasalahan-permasalahan di masyarakat. Dikatakan

oleh warga tersebut, dari segi jumlah terdengar angkanya besar tetapi

hasil yang berkualitas yang dinikmati masyarakat di kampung tidak

ada.

Sementara itu Bupati Keerom Yusuf Wally menyatakan

sebagaimana dikutip di Harian Cendrawasih Pos, Jayapura (Sabtu 12

April 2014) bahwa, pembangunan daerah Keerom dilakukan

berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Tahun 2010-2015 dengan 7 (tujuh) program pokok

pembangunan. Ke tujuh program tersebut ialah: pertama, peningkatan

dan percepatan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan gratis

dan berkualitas di setiap jenjang; kedua, mewujudkan sistem pelayanan

kesehatan yang tanggap, cepat, murah dan berkualitas; ketiga,

perbaikan dan percepatan pembangunan jaringan inftrastruktur baik

secara kualitas maupun kuantitas guna menunjang pembangunan yang

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai dengan fungsi

penataan ruang; keempat, peningkatan pertumbuhan sektor produksi

Page 35: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

241

bidang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan untuk

memperkuat perekonomian masyarakat maupun pendapatan asli

daerah (PAD); kelima, percepatan pertumbuhan iklim investasi di

daerah dengan memberikan kemudahan dan penyertaan modal

masyarakat; keenam, peningkatan kapasitas kelembagaan adat dan

kearifan lokal dalam rangka menjaga esksistensi orang Keerom dan

mitra pembangunan; ketujuh, penataan kembali tata kelola

pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa dalam rangka

optimalisasi pelayanan birokrasi dan pelayanan publik yang cepat dan

tepat kepada masyarakat. Bila dilihat dari sisi perencanaan dapat

dikatakan bidang perhatian pembangunan sudah meliputi berbagai

aspek yang diharapkan mendapat perhatian dan penanganan tercacat di

dalamnya. Namun bila dilihat dari sisi Otonomi Khusus Papua,

perencanaan ini belum menampakan kebijakan afirmatif yang

sungguh-sungguh berpihak pada Orang Asli Papua yang berasal dari

Kabupaten Keerom sebagai priortas perhatian pembangunan. Bahkan

kesan yang diperoleh di masyarakat menunjukkan bahwa program-

program pembangunan yang bersifat pemberdayaan masyarakat dalam

rangka meningkatkan kapabilitas dan serta kemampuan kehidupan

ekonomi masyarakat setempat jauh dari apa yang diharapkan. Di

bidang pendidikan misalnya, ditemukan ada sekolah dasar (SD) Inpres

yang selama tiga tahun tidak beroperasi di Kabupaten Keerom,

tepatnya di Kampung Kibai, tetapi dana bantuan opersional sekolah

tetap mengalir. Di Distrik Waris Kabupaten Keerom juga ditemukan

anak-anak yang tamat dari 5 (lima) SD di distrik ini belum mampu

membaca dan menulis (Jubi, 9 Oktober 2014). Pengalaman seperti ini

dapat dikatakan merupakan pengalaman yang umum bisa ditemukan di

berbagai daerah khususnya di daerah pedalaman Papua. Salah satu hal

yang menjadi penyebab ketertinggalan dalam bidang pendidikan di

kampung-kampung ialah terkonsentrasinya guru-guru di daerah

perkotaan dan terbatasnya sarana prasarana pendidikan dan kurangnya

motivasi sebagai pendidik yang siap mengabdi di daerah pedalaman

(Bdk. Dale & Djonga, 2011). Di bidang kesehatan pun juga

memperlihatkan keadaan masyarakat khususnya penduduk asli yang

memprihatinkan. Selain itu jika dilihat dari indikator pembangunan

Page 36: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

242

berkelanjutan (Friend 2000, dalam Rustiadi dkk, 2011, 158-162), yang

mempunyai tiga sisi pembangunan yaitu culture-ecology interface (sisi

ekologi-budaya), culture-economy interface (sisi ekonomi-budaya) dan

economy-ecology interface (sisi ekonomi-ekologi). Apa yang dilakukan

selama ini di daerah Keerom dapat dikatakan justru bertentangan

dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan karena aspek

ekologi, ekonomi dan budaya sebagai satu kesatuan integral

pembangunan berkelanjutan terabaikan dalam pelaksanaannya.

Tapi menurut Yusuf Walli ketika ia berada di Harvard University,

menyatakan peta pembangunan Indonesia yang diperlihatkan

menunjukkan bahwa Kabupaten Keerom merupakan salah satu daerah

yang berkembang luar biasa dengan tingkat kesehatan masuk kategori

menengah di Indonesia. Ironisnya, kenyataan di lapangan dalam

bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur, akses-akses

dan berbagai modal hidup yang diperlukan penduduk asli, jauh

berbeda dari apa yang digambarkan oleh Harvard University tersebut

(Cendrawasih Pos 12 April 2014).

Terlepas dari segala bentuk kebijakan dan pendekatan yang

digunakan dalam membangun Papua, Otonomi Khusus (OTSUS) Papua

dinilai tak berpengaruh. Alasannya ialah selama 12 (duabelas) tahun

dana triliunan dikelola, Papua tetap miskin. Hal ini disebabkan karena

Papua masih dijerat oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah.

Menurut salah seorang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

Rizal Djalil di Jayapura, IPM Papua tahun tahun 1996, sebesar 60,2 dan

pada tahun 1999 hanya sebesar 58,8. Sedangkan tahun 2012, berada di

kisaran 65, 86 sementara provinsi lain IPM naik menjadi 72, 29.

Nampaknya IPM tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan sumber

daya manusia yang dinilai rendah dan hal ini diakui pula oleh

Gubernur Papua Lukas Enembe. Unsur lain yang tidak kalah penting

sebagai penghambat pembangunan ialah korupsi masih dibiarkan

berlangsung di Papua dan belum ditangani secara serius, demikian

ulasan di harian Kompas. Anggota BPK tersebut juga mengatakan

selain dana OSTUS, selama 12 tahun ini pemerintah daerah Papua

masih menerima Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 165,9 triliun,

Page 37: BAB 6 ESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA€¦ · itulah yang memicu penduduk Kampung Arsokota dan Workwana serta beberapa kampung di sekitarnya menggugat pemerintah agar membayar kembali

Resistensi Masyarakat di Workwana

243

Dana Akolasi Khusus (DAK) Rp 21,6 triliun, Dana Bagi Hasil Pajak dan

Non Pajak Rp 34, 7 triliun. Total dana yang dikelola di Papua

berjumlah Rp 280 triliun (Kompas, 8 Maret 2014). Namun menurut

penulis, persoalan pembangunan di Papua selain diakibatkan oleh IPM

yang rendah dan korupsi, juga dipengaruhi kemauan politik (politic will) semua pihak yang mewarnai paradigma dan implementasi

pembangunan. Artinya, sejauh mana politic will pembangunan di

Papua berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan, meliputi

lingkungan hidup berkelanjutan, sumber daya manusia berkelanjutan

dan kesejahteraan manusia (kehidupan ekonomi) berkelanjutan.