bab 4 proses dan hasil pengembanganrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5112/5/t2_942011032_bab...

31
66 BAB 4 PROSES DAN HASIL PENGEMBANGAN 4.1. Profil Sekolah Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga merupakan salah satu sekolah berstatus negeri, yang beralamat di jalan Setiaki. No 15, Desa Dukuh, kecamatan sidomukti, Salatiga-Jawa Tengah. Sekolah ini di dirikan pada tahun 1986, dan pada saat ini memiliki, 1 orang kepala sekolah, 38 Orang guru mata pelajaran, dan 17 pegawai sekolah. Saat ini SMP Negeri 7 Salatiga dipimpin oleh Bapak. Edi. Waspodo, S.Pd, dengan status akreditasi A. 4.2. Prosedur Model Pengembangan Pembelajaran Inklusif “Slow Learner” di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga. Model pengembangan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu menggunakan model pengembangan Borg and Gall (1983). Kegiatan yang peneliti lakukan hanya terbatas pada tahap pengembangan saja.

Upload: builien

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

66

BAB 4

PROSES DAN HASIL PENGEMBANGAN

4.1. Profil Sekolah

Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga

merupakan salah satu sekolah berstatus negeri, yang

beralamat di jalan Setiaki. No 15, Desa Dukuh,

kecamatan sidomukti, Salatiga-Jawa Tengah. Sekolah

ini di dirikan pada tahun 1986, dan pada saat ini

memiliki, 1 orang kepala sekolah, 38 Orang guru mata

pelajaran, dan 17 pegawai sekolah. Saat ini SMP Negeri

7 Salatiga dipimpin oleh Bapak. Edi. Waspodo, S.Pd,

dengan status akreditasi A.

4.2. Prosedur Model Pengembangan Pembelajaran Inklusif “Slow Learner” di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga.

Model pengembangan yang dipakai dalam

penelitian ini yaitu menggunakan model pengembangan

Borg and Gall (1983). Kegiatan yang peneliti lakukan

hanya terbatas pada tahap pengembangan saja.

67

Gambar. 4.1. Alur Pengembangan Borg and Gall (1983)

Penjelasan alur pengembangan pembelajaran inklusif

Slow learner di SMP Negeri 7 salatiga :

1. Research and information collecting : Tahap ini

merupakan tahap studi pendahuluan. Peneliti

melakukan studi pendahuluan pada SMP Negeri

7 Salatiga, dengan teknik observasi dan

menyebarkan alat ukur/ angket berdasarkan

permendiknas no 70 tahun 2009, sebagai acuan

dalam membangun model pendidikan inklusif

yang telah diterapkan sekolah selama ini. Dalam

tahap studi pendahuluan yang merupakan

kegiatan research and information collecting

memiliki dua kegiatan utama, yaitu studi

literatur (pengkajian pustaka dan hasil penelitian

terdahulu) dan studi lapangan. Kajian pustaka

yang dipakai dalam penelitian ini yaitu peneliti

mengkaji latar belakang/sejarah pendidikan

inklusi, serta melihat hasil-hasil penelitian

terdahulu tentang pembelajaran inklusif, yang

nantinya akan dipakai dalam tahap

pengembangan model pembelajaran inklusif di

Sekolah Menengah Pertama Neger 7 Salatiga.

Research &

Information Collecting Planning Develop preliminary

form of prduct Preliminary

Field testing

Main Product

Revision

Main field Testing Operational Product Revision

Operational Field

testing

Final Product

Revision

Dissemination &

Implementation

68

Hasil dari kegiatan ini adalah peneliti

menemukan profil implementasi pendidikan

inklusif yang diterapkan oleh SMP Negeri 7

Salatiga dengan skor/prosentase 55% masih jauh

dari standar yakni permendiknas No 70.

2. Planning. Pada tahap ini peneliti menyusun

rencana serta strategi yang nantinya digunakan

dalam penyelesaian permasalahan. Tahap ini

peneliti merumuskan tujuan penelitian untuk

mengembangkan model pembelajaran inklusif

berdasarkan kebutuhan tahap pertama yaitu

implementasi yang belum memenuhi standar.

3. Develop preliminary form of product. Pada tahap

ini peneliti mengembangkan bentuk permulaan

dari produk. Produk yang dikembangkan

berdasarkan hasil FGD (Focus Group Discussion)

dihasilkan model awal pendidikan inklusif di SMP

Negeri 7 Salatiga. Hasil dari produk awal ini

ditemukan implementasi pendidikan inklusif SMP

Negeri 7 Salatiga belum sesuai dengan acuan

Permendiknas 70 Tahun 2009

4. Preliminary Field testing. Pada tahap ini yang

merupakan uji coba terbatas. Peneliti tidak

melakukan uji coba dalam kelas, karena

penelitian ini diarahkan untuk pengembangan

model pembelajaran di satuan pendidikan (SMP

Negeri 7 Salatiga). Model awal yang telah

terbentuk divalidasi oleh validator (dosen

pembimbing) dan direvisi.

69

5. Main product revision. Peneliti melakukan

perbaikan model awal, bersama validator yakni

dosen pembimbing, serta dalam FGD bersama

pihak sekolah, dengan menggunakan analisis

SWOT. Hasil dari tahap ini yaitu diperolehnya

product model pembelajaran inklusif.

6. Main Field Testing. Hasil dari tahap ini yaitu

diperolehnya model pembelajaran kooperatif

sebagai yang paling cocok digunakan dalam

pembelajaran inklusif.

7. Opperational product revision. Pada tahap ini

dilakukan revisi terhadap model pembelajaran.

Hasil dari tahap ini diperoleh model pembelajaran

kooperatif, tipe STAD, Jigsaw, Three Minute

Review, Tipe Group Investigazion, Think Pair

Share, sebagai model pembelajaran yang cocok

digunakan dalam pembelajaran inklusif di SMP

Negeri 7 Salatiga.

8. Operational field testing. Pada tahap ini peneliti

melakukan uji validasi bersama validator (dosen

pembimbing).

9. Final product revision. Peneliti melakukan

perbaikan akhir terhadap model pembelajaran

yang telah dikembangkan guna menghasilkan

produk akhir (final).

10. Dissemination and Implementation. Tahap ini

dilakukan FGD lagi bersama kepala sekolah,

wakil kepala sekolah, guru, tenaga pendidik/

kependidikan untuk memastikan keefektifan

model yang telah terbentuk, apakah dapat

70

menjawab kebutuhan sekolah. Hasil dari tahap

ini yaitu kesepakatan penggunaan model

pembelajaran kooperatif dengan tipe STAD,

jigsaw, Think Pair Share, Group Investigazion,

three minute review sebagai yang tepat

digunakan dalam pembelajaran inklusif di SMP

Negeri 7 Salatiga.

4.3. Analisis

Dalam bagian ini akan dilakukan analisis

terhadap data dari hasil penelitian tentang

pengembangan model pmbelajaran inklusif di Sekolah

Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga. Data hasil

penelitian diperoleh dari hasil observasi, wawancara,

dalam FGD (Focus Group Discussion) tentang proses

pembelajaran inklusif yang diterapkan di sekolah.

4.3.1. Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses,

Opportunities, Threats)

SWOT adalah singkatan dari Strenghts,

Weaknesses, Opportunities, Threats. Menurut Rangkuti

(2006) strenghts atau kekuatan adalah beberapa hal

yang merupakan kelebihan dari sekolah yang

bersangkutan, hal–hal yang memiliki potensi yang

positif jika dikembangkan dengan baik. Weaknesses

atau kelemahan adalah komponen-komponen yang

kurang menunjang keberhasilan penyelenggaraan

pendidikan yang ingin dicapai sekolah. Kelemahan

merupakan kondisi rill yang ada dan terjadi di sekolah.

Opportunities atau peluang merupakan kemungkinan-

kemungkinan yang dapat dicapai apabila potensi-

71

potensi yang ada di sekolah mampu dikembangkan

secara optimal oleh sekolah. Threats atau ancaman,

adalah kemungkin yang dapat terjadi atau berpengaruh

terhadap kesinambungan dan keberlanjutan kegiatan

penyelenggaraan sekolah. Secara sederhana dapat

dikatakan analisis SWOT adalah pengujian terhadap

kekuatan dan kelemahan internal sekolah serta

kesempatan dan ancaman lingkungan eksternalnya.

Komparasi dari hasil analisis lingkungan internal

dengan eksternal (SWOT) ini akan menghasilkan

alternatif-alternatif strategi yang sangat sesuai dengan

posisi yang dimiliki oleh lembaga. Lebih jelasnya dapat

dilihat pada gambar bagan dibawah ini :

Gambar 4.2. Bagan Analisis SWOT (Rangkuti, 2000)

Analisis SWOT memberikan informasi kepada

pengambil keputusan sebagai dasar pertimbangan

dalam mengambil keputusan dan tidakan. Analisis

2. Mendukung Strategi

Turn Around 1. Mendukung Strategi

Agresif

4. Mendukung Strategi

Diversifikasi 3. Mendukung Strategi

Defensif

Berbagai Peluang

Kekuatan Internal Kelemahan Internal

Berbagai Ancaman

72

SWOT dapat digunakan sebagai langkah awal untuk

proses pembuatan keputusan dan perencanaan

strategi. (Sagala, 2007). Pernyataan tersebut

memberikan gambaran bahwa analisis juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor

secara sistematis guna merumuskan strategi organisasi

atau lembaga. Analisis SWOT berhubungan erat dengan

lingkungan internal yang menghasilkan kekuatan yang

harus di gunakan secara optimal dan kelemahan yang

harus diminimalkan, sedangkan lingkungan eksternal

menghasilkan sejumlah peluang yang harus

dimanfaatkan dan ancaman yang harus dicegah atau

dihindari. Selanjutnya analisis SWOT digunakan

sebagai dasar untuk merumuskan atau dasar untuk

menyusun strategi dengan menggunkan kekuatan

untuk memanfaatkan peluang, mengatasi ancaman,

dan mengurangi atau meminimalkan kelemahan

internal.

Dalam menganalisis proses pembelajaran inklusif

“slow learner” di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7

Salatiga dilakukan dengan Focus Group Discussion

(FGD) bersama kepala sekolah, wakil kurikulum, dan

guru, guru Bimbingan Konseling (BK). Dalam FGD

diperoleh kesepakatan tentang proses pembelajaran

inklusif yang seharusnya dijalankan oleh sekolah.

Beberapa pertanyaan yang melandasi kesepakatan

tersebut, antara lain:

a. Apakah sekolah membuat kurikulum sesuai dengan

kebutuhan siswa inklusif “slow learner”?

73

b. Apakah sebelum menyusun kurikulum telah

dilakukan analisis kekuatan dan kelemahan sekolah

sehubungan dengan pembelajaran inklusif?

c. Apakah dalam penyusunan kurikulum dibentuk tim

penyusun kurikulum?

d. Apakah dilakukan revisi terhadap kurikulum yang

dibuat selama proses pembelajaran inklusif?

e. Apakah sekolah melibatkan pihak luar (SLB) dalam

proses pembelajaran?

Setelah disusun panduan pertanyaan kemudian

dilakukan Focus Group Discussion (FGD) tentang

pengembangan model pembelajaran inklusif “Slow

Learner” di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7

Salatiga, yang terdiri dari Kepala sekolah yang

memahami pendidikan inklusif, Wakil bidang

kurikulum, guru bimbingan konseling (BK). FGD

dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan,

kelemahan, peluang dan anacaman yang dimiliki

Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga dalam

mengembangkan model pembelajaran inklusif.

Dalam penelitian ini, peneliti akan men-

SWOTkan komponen-komponen yang mendukung

dalam proses pembelajaran tersebut guna menemukan

startegi-strategi yang cocok dalam proses

pengembangan model pembelajaran di Sekolah

Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga. Komponen-

komponen tersebut antara lain: Kurikulum, Guru,

Siswa, Fasilitas, dan biaya.

Dari hasil kajian diskusi, wawancara, dan kajian

lapangan diperoleh faktor kekuatan dan kelemahan

74

(IFAS), serta peluang dan ancaman (EFAS) sebagai

berikut :

A. Kurikulum

No IFAS

Kekuatan

1. Kurikulum disesuaikan dengan anak-anak ABK (Slow

learner).

2. Kurikulum yang dikembangkan mengacu pada KTSP.

Kelemahan

1. Sekolah belum mengadakan reviuw dan revisi berkala terhadap kurikulum yang diterapkan, semenjak menjadi

sekolah inklusif.

2. Dalam mengembangkan kurikulum sekolah belum

memaksimalkan keterlibatan berbagai pihak terkait dalam

membantu mengevaluasi serta mereviuw kurikulum yang dibuat.

3. Dalam penerapan kurikulum masih terdapat kelemahan-kelamahan sehingga sekolah mengambil langkah kelas

tambahan khusus bagi siswa inklusif serta remedial.

4. Sekolah belum mempunyai tim khusus untuk pembuatan

kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa inklusif.

EFAS

Peluang

1. Uji coba sekolah inklusif yang berkelanjutan sehingga ada kesempatan bagi sekolah untuk merevisi kurikulum dan

mengembangkan kurikulum pendidikan inklusif

2. Meningkatkan kendali mutu pelaksanaan kurikulum

sebagai upaya menjamin agar kualitas lulusan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.

3. Sekolah bekerjasama dengan Sekolah Luar Biasa.

Ancaman

1. Terbatasnya pemahaman konsep pendidikan inklusif.

2. Sekolah inklusif jenjang menengah bukan hanya Sekolah

Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga.

B. Guru

No IFAS

Kekuatan

1. Kualitas layanan terhadap siswa yang optimal.

75

2. Penerimaan terhadap siswa berkebutuhan khusus di SMP

Negeri 7 Salatiga (slow learner)

3. Tenaga pendidik yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap

pendidikan , sehingga dalam menjalankan tugas

mempunyai rasa tanggung jawab untuk mencerdaskan

anak didiknya.

Kelemahan

1. Terbatasnya pemahaman konsep pendidikan inklusif.

2. Tidak ada Guru Pendamping Khusus (GPK) untuk

mendampingi anak berkebutuhan khusus

3. Tidak ada pembinaan bagi guru tentang pendidikan

inklusif. Sehingga yang paling memahami pendidikan inklusif ini hanya sebatas kepala sekolah.

EFAS

Peluang

1. Kerjasama dengan orang tua dalam rangka pengembangan

pendidikan.

2. Pertemuan Rutin dengan orang tua siswa

Ancaman

1. Terbatasnya pemahaman tentang konsep pendidikan

inklusif.

2. Tidak ada Guru Pendamping khusus.

C. Siswa

No IFAS

Kekuatan

1. Penerimaan siswa non inklusif terhadap siswa inklusif.

2. Jumlah siswa inklusif yang relatif sedikit

3. Les tambahan bagi siswa inklusif (Juga remedial)

Kelemahan

1. siswa tidak memahami konsep pendidikan inklusif.

2. Kelalaian siswa inklusif dalam mengikuti kelas tambahan

EFAS

Peluang

1. Sekolah mendukung penyelenggaraan proses belajar yang

inklusif

2. Kesempatan bagi siswa slow untuk naik kelas (kenaikan

kelas otomatis)

Ancaman

76

1. Siswa belum memahami konsep pendidikan inklusif secara

baik, sehingga seringkali merasa terganggu dengan cara

pembelajarannya.

2. Kerjasama orang tua dan siswa yang kelihatannya kurang.

D. Fasilitas

No IFAS

Kekuatan

1. Buku-buku penunjang yang cukup memadai bagi anak

inklusif taraf slow learner

2. Ruang kelas yang nyaman bagi siswa inklusif maupun

reguler

Kelemahan

1. Sekolah belum mengetahui fasilitas apa saja yang

dibutuhkan siswa taraf slow learner

2. Fasilitas terbatas bagi siswa slow learner.

EFAS Peluang

1. Biaya dari Pemerintah Kota Salatiga untuk pendidikan

inklusif

2. Tenaga kependidikan yang terampil menjaga fasilitas

sekolah

Ancaman 1. Kebijakan pemerintah yang sewaktu-waktu bisa berubah.

2. Biaya dari pemerintah

E. Biaya

No IFAS

Kekuatan

1. Sekolah mendapat biaya dari pemerintah

2. Biaya khusus dari sekolah untuk pendidikan inklusi

Kelemahan

1. Penggunaan biaya pendidikan inklusif yang sepertinya kurang menyentuh kebutuhan siswa ABK.

2. Biaya dari sekolah yang relatif kecil untuk pendidikan inklusif

EFAS

Peluang

1. Pelaksanaan pendidikan inklusif yang berkelanjutan.

2. Biaya pendidikan relatif murah di sekolah inklusif.

77

Ancaman

1. Kebijakan pemerintah yang sewaktu-waktu bisa berubah.

2. Biaya dari pemerintah

4.4. Hasil Analisis SWOT Terhadap

Pengembangan Model Pembelajaran

Inklusif.

A. Kurikulum

IFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Kekuatan

1. Kurikulum disesuaikan dengan anak-anak ABK (Slow learner).

0,4 3 1,2

2. Kurikulum yang dikembangkan mengacu pada KTSP

0,6 4 2,4

Total Skor 1 3,6

Kelemahan

1. Sekolah belum mengadakan

reviuw dan revisi berkala

terhadap kurikulum yang

diterapkan, semenjak menjadi sekolah inklusif.

0,3 2 0,4

2. Dalam mengembangkan

kurikulum sekolah belum

memaksimalkan keterlibatan berbagai pihak terkait dalam

membantu mengevaluasi serta

mereviuw kurikulum yang

dibuat.

0,3 3 0,9

3. Dalam penerapan kurikulum masih terdapat kelemahan-

kelamahan sehingga sekolah

mengambil langkah kelas

tambahan khusus bagi siswa inklusif serta remedial.

0,2 2 0,2

4. Sekolah belum mempunyai tim

khusus untuk pembuatan

kurikulum yang sesuai dengan

kebutuhan siswa inklusif.

0,2 2 0,4

Total Skor 1 1,9

78

Total Skor Akhir

(Kekuatan-Kelemahan) 3,6 1,9 1,7

EFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total Skor Peluang

1. Uji coba sekolah inklusif

yang berkelanjutan sehingga ada kesempatan

bagi sekolah untuk merevisi

kurikulum.

0,4 3 1,2

2. Meningkatkan kendali mutu pelaksanaan kurikulum

sebagai upaya menjamin

agar kualitas lulusan sesuai

dengan kompetensi yang ditetapkan.

0,4 3 1,2

3. Sekolah bekerjasama

dengan Sekolah Luar Biasa. 0,2 2 0,4

Total Skor 1 2,8

Ancaman

1. Terbatasnya pemahaman

konsep pendidikan inklusif. 0,6 3 1,8

2. Sekolah inklusif jenjang

menengah bukan hanya

Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga.

0,4 2 0,8

Total Skor 1 2,6

Total Skor Akhir

Peluang-Ancaman 2,8 2,6 0,2

IFAS EFAS

KATEGORI SUB TOTAL KATEGORI SUB

TOTAL

Kekuatan (S) 3,6 Peluang (O) 2,8

Kelemahan (W) 1,9 Ancaman (T) 2,6

Total (S-W) 1,7 Total (O-T) 0,2

79

5

4

3

2

1 (1,7,0,2)

-1 -2 -3 -4 -5 1 2 3 4 5

-1

-2

-3

-4

-5

B. Guru

IFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Kekuatan

1. Kualitas layanan terhadap siswa

yang optimal. 0,3 5 1,5

2. Penerimaan guru terhadap

siswa slow learner 0,4 5 2,0

3. Tenaga pendidik yang

mempunyai dedikasi tinggi terhadap pendidikan , sehingga

dalam menjalankan tugas

mempunyai rasa tanggung jawab untuk mencerdaskan

anak didiknya.

0,3

5

1,5

1. Pembentukan tim khusus (Pendidikan Inklusif). Tim ini terdiri dari Kepala sekolah serta para guru yang telah mengikuti pelatihan pendidikan inklusif.

2. Menjalin kerjasama (Rutin/terjadwal) dengan Sekolah Luar Biasa, dan lembaga terkait.

3. Kehadiran GPK (Guru Pendamping Khusus).

4. Keterlibatan GPK dalam kurikulum.

KELEMAHAN KEKUATAN

PELUANG

ANCAMAN

80

Total Skor 1 4

Kelemahan .

1. Terbatasnya pemahaman

konsep pendidikan inklusif. 0,3 3 0,9

2. Tidak ada Guru Pendamping

Khusus (GPK) untuk mendampingi anak

berkebutuhan khusus

0,5 4 2

3. Tidak ada pembinaan bagi guru

di sekolah tentang pendidikan

inklusif. Sehingga yang paling memahami pendidikan inklusif

ini hanya sebatas kepala

sekolah (Juga yang mengikuti kegiatan dari Dinas).

0,2 3 0,6

Total Skor 1 3,5

Total Skor Akhir

(Kekuatan-Kelemahan) 4 3,5 0,5

EFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Peluang

1. Kerjasama dengan orang tua dalam rangka

pengembangan pendidikan.

0,5 4 2

2. Pertemuan Rutin dengan

orang tua murid 0,5 5 2,5

Total Skor 1 4,5

Ancaman

1. Terbatasnya pemahaman tentang konsep pendidikan

inklusif.

0,4 3 1, 2

2. Tidak ada Guru Pendamping

khusus. 0,6 2 1,2

Total Skor 1 2,4

Total Skor

(Peluang-Ancaman) 4,5 3 1,5

IFAS EFAS

KATEGORI SUB

TOTAL KATEGORI

SUB

TOTAL

Kekuatan (S) 4 Peluang (O) 4,5

81

Kelemahan (W) 3,5 Ancaman (T) 2,4

Total (S-W) 1,5 Total (O-T) 1,5

C. Siswa

IFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Kekuatan

1. Penerimaan siswa non inklusif terhadap siswa

inklusif

0,5 5 2,5

2. Jumlah siswa inklusif yang

relatif sedikit 0,3 4 1,2

5

4

3

2

(1,3.1,5)

1

-1 -2 -3 -4 -5 1 2 3 4 5

-1

-2

-3

-4

-5

1. Kehadiran serta

keterlibatan Guru Pendamping Khusus bagi

anak berkebutuhan

khusus.

2. Meningkatkan pemahaman

bagi guru mengenai konsep

pendidikan inklusif.

PELUANG

KELEMAHAN KEKUATAN

ANCAMAN

82

3. Les tambahan bagi siswa

inklusif (Juga remedial) 0,2 3 0,6

Total Skor 1 4,3

Kelemahan

1. siswa tidak memahami

konsep pendidikan inklusif. 0,6 3 1,8

2. Kelalaian siswa inklusif

dalam mengikuti kelas tambahan

0,4 3 1,2

Total Skor 1 3

Total Skor

(Kekuatan-Kelemahan) 4,3 3 1,3

EFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Peluang

1. Sekolah mendukung

penyelenggaraan proses

belajar yang inklusif.

0,7 4 2,8

2. Kesempatan bagi siswa slow untuk naik kelas (kenaikan kelas otomatis)

0,3 3 0,9

Total Skor 1 3,7

Ancaman

1. Siswa belum memahami

konsep pendidikan inklusif

secara baik, sehingga

seringkali merasa terganggu dengan cara

pembelajarannya.

0,5 3 1,5

2. Kerjasama orang tua dan

siswa yang kelihatannya kurang.

0,5 3 1,5

Total Skor 1 3

Total Skor (Peluang-Ancaman)

5 3 2

IFAS EFAS

KATEGORI SUB TOTAL KATEGORI SUB TOTAL Kekuatan (S) 4,3 Peluang (O) 3,7

Kelemahan (W) 3 Ancaman (T) 3

TOTAL (S-W) 1,3 TOTAL

(O-T) 0,7

83

5

4

3

2

1 (1,3.0.7)

-1 -2 -3 -4 -5 1 2 3 4 5

-1

-2

-3

-4

-5

D. Sarana Prasarana

IFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Kekuatan

1. Buku-buku penunjang yang

cukup memadai bagi anak

inklusif taraf slow learner 0,5 4 2

2. Ruang kelas yang nyaman

bagi siswa inklusif maupun reguler

0,5 4 2

Total Skor 1 4

Kelemahan

1. Sekolah belum mengetahui 0,6 2 1,2

PELUANG 1. Pemahaman konsep

pendidikan inklusif bagi

warga sekolah (siswa juga perlu dilibatkan).

2. Pembentukan kelompok

belajar yang terdiri dari

siswa inklusif dan non

inklusif.

KELEMAHAN KEKUATAN

ANCAMAN

84

fasilitas apa saja yang

dibutuhkan siswa taraf slow learner

2. Fasilitas terbatas bagi siswa

slow learner. 0,4 2 0,8

Total Skor 1 2

Total Skor

(Kekuatan-Kelemahan) 4 2 2

EFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total Skor Peluang

1. Biaya dari Pemerintah Untuk pendidikan inklusif

0,7 5 3,5

2. Sarana dan prasarana yang lengkap

0,3 4 1,2

Total Skor 1 4,7

Ancaman

1. Kebijakan pemerintah yang

sewaktu-waktu bisa

berubah.

0,6 2 2

2. Perawatan fasilitas sekolah 0,4 1 0,4

Total Skor 1 2,4

Total Skor (Peluang-Ancaman)

4,7 2,4 2,3

IFAS EFAS

KATEGORI SUB TOTAL KATEGORI

SUB

TOTAL

Kekuatan (S) 4 Peluang (O)

4,7

Kelemahan (W) 2 Ancaman (T)

2,4

TOTAL (S-W) 2

TOTAL

(O-T) 2,3

85

5

4

3

2 (2;2,3)

1

-1 -2 -3 -4 -5 1 2 3 4 5

-1

-2

-3

-4

-5

E. Biaya

IFAS

No Elemen SWOT

Bobot Skor Total

Skor Kekuatan

1. Sekolah mendapat biaya

dari pemerintah 0,7 5 5

2. Biaya khusus dari sekolah untuk pendidikan inklusi

0,3 3 0,9

Total Skor 1 5,9

Kelemahan

1. Penggunaan biaya

pendidikan inklusif dari pemerintah yang sepertinya

kurang menyentuh

kebutuhan siswa ABK.

0,6 2 1,2

KELEMAHAN KEKUATAN

ANCAMAN

PELUANG 1. Membeli buku-buku

pengetahuan tentang anak slow learner.

2. Membeli perlengkapan

penunjang bagi anak

slow learner. Misalnya: beberapa unit komputer.

86

2. Biaya dari sekolah yang

relatif kecil untuk

pendidikan inklusif

0,4 2 0,8

Total Skor 1 2

Total Skor

(Kekuatan-Kelemahan) 5,9 2 3,9

EFAS

No Elemen SWOT Bobot Skor

Total

Skor Peluang

1. Pelaksanaan pendidikan inklusif yang berkelanjutan

0,6 4 2,4

2. Biaya pendidikan relatif murah di sekolah inklusif

0,4 3 1,2

Total Skor 1 3,6

Ancaman

1. Kebijakan pemerintah yang

sewaktu-waktu bisa

berubah

0,5 2 1

2. Biaya dari pemerintah 0,5 2 1

Total Skor 1 2

Total Skor (Peluang-Ancaman)

4 2 2

IFAS EFAS

KATEGORI SUB TOTAL KATEGORI

SUB

TOTAL

Kekuatan (S) 5,9 Peluang (O)

4

Kelemahan (W) 2 Ancaman (T)

2

TOTAL (S-W) 3,9

TOTAL

(O-T) 2

87

5

4

3

2 (3,9;2)

1

-1 -2 -3 -4 -5 1 2 3 4 5

-1

-2

-3

-4

-5

4.4.1. Strategi Pengembangan Model Pembelajaran Inklusif

A. Kurikulum

Dari hasil analisis SWOT terhadap Kurikulum

berada pada strategi pengembangan SO (1,7 ; 0,2).

Strategi yang digunakan adalah Pembentukan tim

khusus (Pendidikan Inklusif). Tim ini terdiri dari Kepala

sekolah serta para guru yang telah mengikuti pelatihan

pendidikan inklusif. Fungsi dari tim ini adalah

mengontrol segala kegiatan sekolah termasuk proses

pembelajaran (pembuatan kurikulum sampai

KELEMAHAN KEKUATAN

ANCAMAN

PELUANG Pelaksanaan Pendidikan

inklusif yang

berkelanjutan dipakai untuk Memanfaatkan

biaya sesuai kebutuhan

siswa inklusif.

88

pembinaan siswa inklusif). Tim ini diharapkan mampu

mengayomi para guru dalam memahami konsep

pendidikan inklusif. Sehingga melalui tim ini sekolah

dapat mencapai apa yang diharapkan dalam

Permendiknas No 70 Tahun 2009. Strategi lainnya

yaitu menjalin kerjasama yang rutin dengan Sekolah

Luar Biasa. Hal ini perlu, karena sekolah ini

merupakan sekolah dengan label inklusif. Selain itu,

SLB maupun lembaga lainnya yang terkait juga dirasa

mampu dalam membimbing anak dalam kategori

berkebutuhan khusus. Guru Pendamping Khusus atau

GPK, seharusnya dimiliki sekolah dan dilibatkan dalam

proses pembuatan kurikulum.

B. Guru

Dari hasil analisis SWOT terhadap Guru berada

pada strategi pengembangan SO (1,5;1,5). Strategi yang

ditempuh dalam rangka pengembangan model

pembelajaran yaitu Kehadiran serta keterlibatan GPK

(Guru Pendamping Khusus) bagi anak berkebutuhan

khusus. Kehadiran GPK tidak dapat menyelesaikan

permasalahan ABK, namun GPK dapat membantu ABK

dalam proses pembelajarannya dikelas, dengan cara

mendampingi ABK. Di samping itu, meningkatkan

pemahaman bagi guru mengenai konsep pendidikan

inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang dipahami

oleh guru masih kurang. Guru hanya memahami

pendidikan inklusif sebagai pendidikan bagi anak

berkebutuhan khusus. Oleh karena itu peningkatan

pemahaman tentang pendidikan inklusif dirasa perlu

bagi guru. Sekolah dapat bekerjasama dengan GPK

89

(bila sudah ada), atau dengan SMPLB atau lembaga

lainnya yang paham tentang pendidikan inklusif ini.

C. Siswa

Dari hasil analisis SWOT terhadap Siswa berada

pada strategi pengembangan SO (1,3;0,7). Strategi yang

digunakan yaitu pemahaman konsep pendidikan

inklusif bagi seluruh warga sekolah termasuk siswa.

Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa siswa

inklusif belajar bersama dengan siswa reguler

lainnya. Sehingga pemahaman konsep inklusif perlu

dijelaskan bagi seluruh siswa, agar siswa secara

keseluruhan menerima, memahami, dan dalam proses

pembelajaranpun berjalan dengan baik. Selain itu

strategi lainnya yaitu, pembentukan kelompok belajar

dalam kelas, hal ini dirasa perlu sehingga siswa dapat

saling belajar.

D. Fasilitas

Dari hasil analisis SWOT terhadap fasilitas

berada pada strategi pengembangan SO (2;2,3). Strategi

yang digunakan yaitu Membeli buku-buku

pengetahuan tentang anak slow learner, biaya yang

digunakan dalam pembelian yaitu dengan

memanfaatkan biaya dari pemerintah. Strategi

berikutnya yaitu membeli perlengkapan penunjang bagi

anak slow learner. Misalnya: sekolah dapat membeli

beberapa unit komputer, yang dapat digunakan bukan

saja untuk anak slow melainkan juga anak reguler.

90

E. Biaya

Dari hasil analisis SWOT terhadap biaya berada

pada strategi pengembangan S0 (3,9;2). Strategi yang

digunakan yaitu pelaksanaan pendidikan inklusif yang

berkelanjutan dipakai untuk memanfaatkan biaya

sesuai kebutuhan siswa inklusif.

4.5. Pengembangan Model Pembelajaran

Inklusif

Hasil analisis SWOT yang dilakukan bersama

kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang

kurikulum, Guru, Guru BK, yang merupakan orang-

orang yang memahami pendidikan inklusif, dalam

Focus Group Discussion (FGD) dihasilkan kesepakatan

sebagai berikut :

Tabel. 4.1 Hasil FGD ( Focus Group Discussion)

HARAPAN STRATEGI YANG

DITEMPUH ACUAN MODEL

PENGEMBANGAN INDIKATOR

KEBERHASILAN SOAL

Tersusunnya model pembelajaran inklusif yang mengacu pada Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

1. Keterlibatan Guru Pendamping Khusus dalam Proses Pembelajaran

2. Pemahaman Konsep Pendidikan Inklusif bagi warga Sekolah.

3. Pembentukan Tim Khusus “Inklusif”.

4. Kerjasama dengan Sekolah Luar biasa, maupun lembaga terkait.

5. Pembentukan kelompok belajar yang terdiri dari siswa inklusif maupun non inklusif.

Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

1. Tersusunnya model pembelajaran inklusif yang mengacu pada Permend-iknas No 70 Tahun 2009.

2. Terwujudnya proses pembelajaran yang inklusif.

1. Penyusunan model pengembangan pembelajaran inklusif sesuai Permendiknas No 70 Tahun 2009

Sumber diolah dari hasil FGD (Agustus 2013)

91

GI

TPS

JIGSAW

CIRC

TMR

RT

Model STAD

MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 7 SALATIGA

Dasar Pendidikan Inklusif: 1. Deklarasi HAM (PBB,1948). 2. Konvensi Hak Anak (PBB,1989) 3. Pendidikan Untuk Semua

(UNESCO,1990) 4. Peraturan tentang Standar

Kesamaan Kesempatan bagi penyandang Cacat (PBB,1993)

5. Penyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO,1994)

Pendidikan Segregrasi-

Sekolah Luar Biasa

Permendiknas No 70 Tahun 2009

Pemerintah Kota Salatiga; Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Salatiga

(LINGKUNGAN)

S

A

S

A

R

A

N

A B K

SMP Negeri 7 Salatiga

P R O S E S

Kurikulum Pembentukan Tim Khusus

Pembuat Kurikulum Kurikulum disesuaikan

dengan ABK. Reviuw dan revisi

kurikulum.

Guru Kehadiran serta keterlibatan Guru Pendamping

Khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

Meningkatkan pemahaman bagi guru mengenai konsep pendidikan inklusif.

Kerjasama guru dan GPK (Guru Pendamping Khusus).

Model pembelajaran yang dipakai guru, harus bervariasi.

Siswa Pemahaman konsep

pendidikan inklusif bagi warga sekolah (siswa juga perlu dilibatkan).

Pembentukan kelompok belajar yang terdiri dari siswa inklusif dan non inklusif.

Sarpras Membeli buku-buku

pengetahuan tentang anak slow learner.

Membeli perlengkapan penunjang bagi anak slow learner. Misalnya : beberapa unit komputer.

Biaya Pelaksanaan Pendidikan inklusif yang berkelanjutan dipakai untuk Memanfaatkan biaya sesuai kebutuhan siswa inklusif.

MODEL PEMBELAJARAN

Individual

Mengembangkan pemahaman siswa tentang keahlian

Memberi siswa latihan untuk menggunakan

keterampilan

Membuat transisi dari pendidikan kelompok utuh ke kerja kelompok. Memberi siswa pengalaman bekrja sama dengan teman kelompok

dari kemampuan dan latar belakang berbeda. Dalam fase ini guru dapat membagi siswa reguler dan siswa inklusif dalam satu kelompok

kerja.

Memberikan latihan keterampilan

akademis yang dikerjakan secara individu

Mengakui prestasi Meningkatkan prestasi siswa untuk

belajar

Fase 1: Instruksi/PendidikanKeterampilan dijelaskan

dan dimodelkan di dalam lingkungan kelompok utuh

Fase 2: Belajar dalam tim. Siswa bepindah dari pendidikan kelompok utuh dan bersiap untuk studi tim. Siswa dipandu LKS untuk menuntaskan materi.

Fase 3: Kuis Tim-tim siswa berlatih melakukan

ketrampilan akademik

Fase 4: Penghargaan tim. Nilai perbaikan dan

penghargaan bagi tim

Penerapan dan Pelaksanaannya

Feed Back

Pembelajaran Kooperatif

92

Penjelasan Gambar:

1. Pendidikan Inklusif pada awalnya lahir dari

ketidakpuasan terhadap pendidikan segregatif, yang

menyebabkan anak-anak berkebutuhan khusus

mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam

kehidupan masyarakat normal. Alasan inilah yang

memicu lahirnya pendidikan inklusif.

2. Tuntutan akan pendidikan inklusif ini mengacu pada

instrumen internasional antara lain; Deklarasi HAM (PBB,

1948), Konvensi Hak Anak (PBB, 1989), Pendidikan Untuk

Semua (UNESCO, 1990), Peraturan tentang Standar

Kesamaan Kesempatan bagi penyandang Cacat (PBB,

1993), Penyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif

(UNESCO, 1994).

3. Peraturan Menteri Pendidikan No 70 Tahun 2009 Tentang

Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki

Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau

Bakat Istimewa, yang dibuat berdasarkan instrumen

internasional, dan kemudian diterapkan dalam sistem

pendidikan di Indonesia.

4. Salatiga sebagai salah satu Kota yang juga turut ambil

bagian dalam penerapan pendidikan inklusif. Sasaran

dalam pendidikan ini yakni siswa berkebutuhan khusus,

di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga.

Pelaksanaan pendidikan inklusif di SMP Negeri 7 Salatiga

telah berlangsung, yakni periode tahun 2012-2013.

5. Proses: dalam proses pembelajaran, terdiri dari

Kurikulum, Guru, Siswa, Fasilitas, dan biaya sebagai

penunjang proses pembelajaran.

6. Dalam pengembangan model pembelajaran, bagian

Kurikulum, sekolah perlu memperhatikan kebutuhan-

kebutuhan apa saja yang nantinya mendukung dalam

93

proses pembuatan kurikulum serta sesuai dengan acuan

pendidikan inklusif yakni Permendiknas No 70 Tahun

2009. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain

Pembentukan Tim Khusus Pembuat Kurikulum. Tim ini

melibatkan kepala sekolah, kurikulum, dan beberapa

guru yang dipandang sebagai sosok yang memahami

pendidikan inklusif. Agar dalam pembuatan kurikulum

dapat mengarah pada pendidikan serta pembelajaran

yang inklusif. Kurikulum yang disusun disesuaikan

dengan kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus, dengan

memperhatikan model-model pembelajaran apa saja yang

cocok untuk diterapkan baik bagi siswa reguler maupun

siswa inklusif. Untuk SMP Negeri 7, ABK bertaraf slow

learner karena itu, perlu memahami betul kebutuhan dari

siswa slow learner. Sekolah perlu bekerja sama dengan

Sekolah Luar Biasa, yang dianggap memahami kebutuhan

ABK. Setelah pembuatan kurikulum, kurikulum perlu

direviu serta direvisi, untuk mengetahui keefektifannya.

Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan, sebagai alat

ukur sejauh mana sekolah telah melaksanakan

pembelajaran yang inklusif.

7. Dalam pengembangan model pembelajaran, kehadiran

serta keterlibatan Guru Pendamping Khusus merupakan

hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan inklusif.

GPK merupakan salah satu pembeda antara pendidikan

reguler dan pendidikan inklusif. Oleh karena itu, dalam

penerapan pendidikan inklusif, sekolah diharapkan

memiliki GPK. GPK selain merupakan yang membedakan

antara pendidikan inklusif dan pendidikan reguler, juga

dapat membantu Guru dan sekolah dalam memahami

kebutuhan ABK, serta dapat membantu guru memahami

konsep pendidikan inklusif. Oleh karena itu, diharapkan

94

guru dapat menjalin kerjasama dengan GPK (Guru

Pendamping Khusus). Model pembelajaran yang

digunakan oleh guru dalam menghadapi siswa slow

learner haruslah bervariasi, Aktif Inovatif Kreatif dan

Menyenangkan (PAIKEM). Oleh karena itu, guru harus

kerja ekstra untuk mempelajari model-model

pembelajaran apa saja yang cocok dengan kebutuhan

siswa.

8. Pembelajaran yang inklusif akan dapat terselenggara

dengan baik, apabila warga sekolah memahami konsep

pendidikan inklusif dengan baik. Bukan saja, Guru dan

tenaga kependidikan, melainkan juga siswa sebagai

bagian dari warga sekolah. Pembentukan kelompok

belajar yang terdiri dari siswa inklusif dan siswa reguler

dianggap mampu menolong siswa inklusif. Walaupun

dirancang secara berkelompok, namun tetap dikelola

secara individual.

9. Sarana Prasarana. Sarpras dalam proses pembelajaran

merupakan hal yang penting dan perlu mendapat

perhatian. Sekolah perlu mengetahui kebutuhan-

kebutuhan dari siswa slow learner, sehingga sarpras yang

diberikan bagi siswa dalam taraf slow tepat sasaran.

Dalam melakukan SWOT kelemahan sekolah adalah

belum memahami kebutuhan siswa slow (fasilitas), oleh

karena itu sekolah perlu memiliki buku-buku

pengetahuan tentang ABK, terkhususnya untuk siswa

slow learner. Sekolah juga dapat membeli perlengkapan

penunjang bagi anak slow, misalnya beberapa unit

komputer yang bukan saja dipakai siswa slow, tapi juga

siswa reguler.

10. Model Pembelajaran. Model Pembelajaran yang dapat

dipakai yaitu cooperative learning. Pembelajaran kooperatif

95

dianggap cocok bagi siswa slow learner. Karena

pembelajaran kooperatif menekanan pada sikap atau

perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara

sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam

kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Dimana

pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa

berbagai tingkat kemampuan, melakukan berbagai

kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka

tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap

anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya

belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu

rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai

keberhasilan. Guru dapat menerapkan model

pembelajaran ini di kelas, namun penilaian tetap bersifat

individual. Jika pembelajaran kooperatif diterapkan

dikelas inklusif, maka guru tidak lagi menghabiskan

waktu untuk mengadakan kelas tambahan dan remedial

bagi siswa inklusif. Model pembelajaran kooperatif yang

dapat diterapkan yaitu: Model STAD (Student team

achievment division). Menurut Widyatini (2008) STAD

merupakan pembelajaran kooperatif yang paling

sederhana dan dapat memberikan pemahaman materi

yang sulit kepada siswa melalui lembar kerja yang telah

dipersiapkan guru. Dalam penerapan model ini guru

dapat mengikuti fase-fase yang ada sehingga

pembelajaran model STAD dapat berjalan sesuai dengan

fase yang ada. Pada fase 1: Instruksi/Pendidikan

Keterampilan dijelaskan dan dimodelkan di dalam

lingkungan kelompok utuh. Pada fase ini guru/pendidik

dapat mengembangkan keahlian siswa atau pendidik

tentang keahlian (pelajaran tertentu), serta memberi siswa

latihan tentang keterampilannya. Selanjutnya, pada fase 2

96

Belajar dalam tim. Pada fase ini siswa dikelompokkan dan

bersiap untuk studi tim atau bekerja dalam tim.

Tim/kelompok yang terbentuk terdiri dari beberapa orang

siswa reguler dan inklusif (Heterogen, bisa 4,5 orang

siswa). Siswa dipandu LKS untuk menuntaskan materi

pembelajaran. Pada fase ini siswa bekerja dalam

kelompok/tim. Pada fase 3, kuis. Guru dapat memberikan

latihan-latihan akademis yang dikerjakan siswa secara

individu. Pada tahap ini siswa kembali mengerjakan

materi yang telah dikerjakan dalam kelompok, dalam

bentuk pekerjaan pribadi/individual. Selanjutnya pada

fase 4 Penghargaan tim. Nilai perbaikan dan penghargaan

bagi tim. Pada fase ini guru dapat mengakui prestasi

siswa berdasarkan hasil atau skor nilai yang di dapat

siswa, serta memberikan penghargaan bagi setiap siswa,

baik berupa pujian ataupun lainnya, sehingga dapat

memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar. Di

samping itu, guru juga dapat menerapkan model

pembelajaran lain misalnya : model Jigsaw, Three Minute

Review (TMR), Group Investigazion (GI), Think Pair Share

(TPS), CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition),

dan Reciprocal Teaching (RT). Model pembelajaran dapat

di sesuaikan dengan mata pelajaran yang diajarkan.

Disamping itu, sekolah juga dapat menerapkan Program

pembelajaran individual yang juga dianggap juga cocok

bagi anak-anak slow learner. PPI ini dapat dirancang

secara berkelompok (dipadukan dengan pembelajaran

kooperatif) namun tetap dikelola secara individual.

11. Feed back berimplikasi langsung terhadap proses

pembelajaran yang dilakukan oleh SMP Negeri 7 Salatiga.