bab 4 analisis kebijakan fix
TRANSCRIPT
BAB 4
ANALISIS KEBIJAKAN INVESTASI
4.1 Tinjauan Kebijakan Investasi
4.1.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-
2014
Visi Indonesia 2014 yaitu terwujudnya Indonesia Sejahtera, Demokratis dan
Berkeadilan, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan tantangan lingkungan
global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya. Misi
pemerintah dalam periode 2010-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia
yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan fondasi yang lebih kuat
bagi Indonesia yang adil dan demokratis. Usaha-usaha Perwujudan visi
Indonesia 2014 akan dijabarkan dalam misi pemerintah tahun 2010-2014
sebagai berikut.
Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera
Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi
Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang
Dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional 2009-2014, ditetapkan
lima agenda utama pembangunan nasional tahun 2009-2014, yaitu:
Agenda I : Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Agenda II : Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan
Agenda III : Penegakan Pilar Demokrasi
Agenda IV : Penegakkan Hukum Dan Pemberantasan Korupsi
Agenda V : Pembangunan Yang Inklusif Dan Berkeadilan
Mengacu pada permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa dan negara
Indonesia baik dewasa ini maupun dalam lima tahun mendatang, maka arah
kebijakan umum pembangunan nasional 2010-2014 adalah sebagai berikut:
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 1
2010
Laporan Akhir
1. Arah kebijakan umum untuk melanjutkan pembangunan mencapai Indonesia
yang sejahtera. Indonesia yang sejahtera tercermin dari peningkatan tingkat
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dalam bentuk percepatan
pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi, pengurangan kemiskinan, pengurangan tingkat pengangguran
yang diwujudkan dengan bertumpu pada program perbaikan kualitas sumber
daya manusia, perbaikan infrastruktur dasar, serta terjaganya dan
terpeliharanya lingkungan hidup secara berkelanjutan.
2. Arah kebijakan umum untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi dengan
penguatan yang bersifat kelembagaan dan mengarah pada tegaknya
ketertiban umum, penghapusan segala macam diskriminasi, pengakuan dan
penerapan hak asasi manusia serta kebebasan yang bertanggung jawab.
3. Arah kebijakan umum untuk memperkuat dimensi keadilan dalam semua
bidang termasuk pengurangan kesenjangan pendapatan, pengurangan
kesenjangan pembangunan antar daerah (termasuk desa-kota), dan
kesenjangan jender. Keadilan juga `hanya dapat diwujudkan bila sistem
hukum berfungsi secara kredibel, bersih, adil dan tidak pandang bulu.
Demikian pula kebijakan pemberantasan korupsi secara konsisten
diperlukan agar tercapai rasa keadilan dan pemerintahan yang bersih.
Sebagian besar sumber daya dan kebijakan akan diprioritaskan untuk menjamin
implementasi dari 11 prioritas nasional yaitu: (1) reformasi birokrasi dan tata
kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5)
ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha; (8) energi; (9)
lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
paskakonflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.
Pembangunan di bidang ekonomi ditujukan untuk menjawab berbagai
permasalahan dan tantangan dengan tujuan akhir adalah meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat
memerlukan terciptanya kondisikondisi dasar yaitu:
(1) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;
(2) penciptaan sektor ekonomi yang kokoh serta;
(3) pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 2
2010
Laporan Akhir
Peningkatan daya tarik investasi akan dipengaruhi oleh upaya perbaikan iklim
investasi. Belum optimalnya kinerja investasi saat ini selain disebabkan oleh
penurunan kegiatan ekonomi global juga karena masih adanya permasalahan
iklim investasi yang masih terjadi, dari proses perizinan investasi sampai dengan
pelaksanaan realisasi investasi. Hal ini telah menyebabkan menurunnya minat
untuk melakukan investasi, baik untuk perluasan usaha yang telah ada maupun
untuk investasi baru termasuk persebaran investasi. Untuk itu, upaya
peningkatan daya tarik investasi menjadi penting.
Program prioritas perbaikan terhadap iklim investasi dan iklim usaha
dilaksanakan melalui perbaikan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur,
perbaikan sistem informasi, dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK). Oleh karena itu, substansi inti program aksi bidang iklim investasi dan
iklim usaha adalah sebagai berikut:
1. Kepastian hukum: Reformasi regulasi secara bertahap di tingkat nasional
dan daerah sehingga terjadi harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang tidak menimbulkan ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam
implementasinya;
2. Penyederhanaan prosedur: Penerapan sistem pelayanan informasi dan
perizinan investasi secara elektronik (SPSIE) pada Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) di beberapa kota yang dimulai di Batam, pembatalan perda
bermasalah dan pengurangan biaya untuk memulai usaha seperti Tanda
Daftar Perusahaan (TDP) dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP);
3. Logistik nasional: Pengembangan dan penetapan Sistem Logistik Nasional
yang menjamin kelancaran arus barang dan mengurangi biaya
transaksi/ekonomi biaya tinggi;
4. Sistem informasi: Beroperasinya secara penuh National Single Window
(NSW) untuk impor (sebelum Januari 2010) dan ekspor. Percepatan realisasi
proses penyelesaian bea cukai di luar pelabuhan dengan implementasi
tahap pertama Custom Advanced Trade System (CATS) di dry port
Cikarang;
5. Kawasan Ekonomi Khusus: Pengembangan KEK di 5 (lima) lokasi melalui
skema Public-Private Partnership sebelum 2012;
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 3
2010
Laporan Akhir
6. Kebijakan ketenagakerjaan: Sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan
iklim usaha dalam rangka memperluas penciptaan lapangan kerja.
Mengingat Tantangan dalam meningkatkan daya tarik investasi ke depan
semakin berat, maka pembangunan investasi dalam periode tahun 2010-2014
diarahkan untuk hal-hal sebagai berikut:
1. mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara
berkelanjutan dan berkualitas dengan mewujudkan iklim investasi yang
menarik;
2. mendorong penanaman modal asing bagi peningkatan daya saing
perekonomian nasional; serta meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan
pendukung yang memadai, investasi yang dikembangkan dalam rangka
penyelenggaraan demokrasi ekonomi akan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk pencapaian kemakmuran bagi rakyat;
3. menciptakan iklim investasi yang berdaya saing dan meningkatnya realisasi
investasi di seluruh wilayah Indonesia.
Strategi pembangunan investasi dalam lima tahun ke depan adalah sebagai
berikut
(1) mendorong berkembangnya investasi di berbagai sektor terutama pangan,
energi dan infrastruktur dalam rangka meningkatkan persebaran investasi;
(2) mendorong berkembangnya investasi berbasis keunggulan daerah, antara
lain sektor perkebunan, perikanan dan peternakan dalam rangka penciptaan
kesempatan kerja;
(3) meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan investasi melalui
harmonisasi dan simplifikasi berbagai perangkat peraturan, baik di pusat
maupun di daerah; dan
(4) mendorong percepatan ketersediaan infrastruktur dalam arti luas melalui
peningkatan efektivitas pelaksanaan kemitraan pemerintah dan dunia usaha
dalam rangka meningkatkan daya tarik investasi; serta
(5) mendorong pengembangan kawasan ekonomi khusus untuk produk yang
bernilai tambah antara lain, industri barang dari kulit dan alas kaki, sektor
transportasi, sektor jasa-jasa lainnya, industri berbasis petrokimia, industri
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 4
2010
Laporan Akhir
permesinan, mesin listrik dan peralatan listrik, dan industri tekstil dan produk
tekstil (TPT).
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan di atas, fokus prioritas
investasi dalam RPJMN 2010-2014 adalah sebagai berikut:
1. Fokus Prioritas Peningkatan Harmonisasi Kebijakan dan Penyederhanaan
Perizinan Investasi yang didukung oleh kegiatan prioritas sebagai berikut:
a. peningkatan Deregulasi Kebijakan Penanaman Modal;
b. pengembangan Potensi Penanaman Modal Daerah;
c. pemberdayaan Usaha Nasional;
d. peningkatan Kualitas Pelayanan Persetujuan Penanaman Modal;
e. peningkatan Kualitas Pelayanan Perizinan Penanaman Modal;
f. peningkatan Kualitas Pelayanan Fasilitas Penanaman Modal;
g. koordinasi peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (PEPI).
2. Fokus Prioritas Peningkatan Fasilitasi Investasi yang didukung oleh kegiatan
prioritas sebagai berikut:
a. Pengembangan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik (SPIPISE);
b. Pengembangan Sumber Daya Manusia;
c. Peningkatan Pelayanan Hukum Penanaman Modal;
d. Pembangunan/Pengadaan/Peningkatan Sarana dan Prasarana;
e. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Penanaman
Modal;
f. Pengembangan Penanaman Modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);
g. Koordinasi Pengembangan Urusan Penataan Ruang dan
Pengembangan Wilayah (termasuk KEK, KAPET, dan kawasan
lainnya);
h. Perencanaan Pengembangan Penanaman Modal Sektor Industri
Agribisnis dan Sumber Daya Alam Lainnya;
i. Perencanaan Pengembangan Penanaman Modal Sektor Industri
Manufaktur;
j. Perencanaan Pengembangan Penanaman Modal di Bidang Sarana,
Prasarana, Jasa dan Kawasan;
k. Peningkatan Kualitas Strategi Promosi Bidang Penanaman Modal;
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 5
2010
Laporan Akhir
l. Promosi Penanaman Modal Sektoral Terpadu dan Terintegrasi di Dalam
dan Luar Negeri;
m. Fasilitasi Daerah dalam Rangka Kegiatan Promosi Penanaman Modal;
n. Penyelenggaraan Pameran dan Penyediaan Sarana Promosi
Penanaman Modal untuk Kegiatan di Dalam dan di Luar Negeri;
o. Kerjasama Bilateral dan Multilateral di Bidang Penanaman Modal;
p. Kerjasama Regional di Bidang Penanaman Modal;
q. Kerjasama dengan Dunia Usaha Asing di Dalam dan di Luar Negeri di
Bidang Penanaman Modal;
r. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah I;
s. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah II;
t. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah III;
u. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah IV;
v. Koordinasi pengembangan urusan penataan ruang dan pengembangan
wilayah (termasuk KEK, KAPET, dan kawasan lainnya).
4.1.2 Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebagaimana terkandung dalam Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,
yang merupakan terobosan politik paling signifikan yang dihasilkan oleh Bangsa
Indonesia untuk mengakomodir aspirasi rakyat di Provinsi Papua dalam rangka
menjamin hak masa depan yang lebih adil, damai dan sejahtera, telah
diimplementasikan sejak tahun 2001.
Untuk itu dalam rangka mempercepat pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat, dan sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Otsus
tersebut di atas, Presiden Republik Indonesia melalui Inpres No. 5 tahun 2007
tentang Percepatan Pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah
menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri
Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kehutanan, Menteri
Pendidikan Nasional; Menteri Kesehatan; Menteri Keuangan, Menteri Negara
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 6
2010
Laporan Akhir
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Gubernur Provinsi
Papua, Gubernur Provinsi Papua Barat dan para Bupati/Walikota di Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat, untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan sesuai kapasitasnya. Slogan “The new deal policy for Papua” dalam
Inpres ini, menitikberatkan pada :
a) Memantapkan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan;
b) Peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan;
c) Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan;
d) Peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di
wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara; dan
e) Affirmative action bagi pengembangan sumber daya manusia putra-putri
asli Papua.
The new policy for Papua lebih spesifik diarahkan pada pembangunan
infrastruktur transportasi dan sektor produktif lainnya, penyusunan rencana tata
Ruang wilayah ke dua provinsi;, pembangunan infrastruktur dasar wilayah (jalan,
jembatan, sentra-sentra produksi, pemukiman penduduk); membuka isolasi
daerah dan pengembangan potensi daerah perbatasan, jaringan irigasi dan
ketahanan pangan, prasaranan air bersih, sanitasi dan drainase; pencegahan
terhadap illegal logging, illegal trading dan illegal fishing; meningkatkan kualitas
dan daya saing pendidikan; dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Untuk itu prioritas utama yang telah digariskan Presiden melalui Inpres No. 5
tahun 2007 ini adalan rencana aksi pembangunan infrastruktur transportasi
dalam rangka percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang
dimulai dari tahun 2007 hingga 2009. Pembangunan infrastruktur ini merupakan
sektor prioritas karena luas dan jangkuan daerah kedua provinsi ini 421.981 km2,
dengan kondisi topografi yang berupa pegunungan dibagian tengah dan daerah
dataran yang luas berupa rawa di wilayah pantai, dengan jumlah penduduk
berjumlah 2.576.822 jiwa (dengan kepadatan rata-rata 6 orang/Km2) dan 70%
bermukim di daerah kampung dan pegunungan terpencil yang masih terbatas
pelayanan infrastruktur transportasi dan aspek lainnya. Sementara potensi alam
yang dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian daerah dan nasional
cukup menjanjikan. Disamping itu daerah ini berbatasan dengan 4 negara:
bagian utara berbatasan dengan Negara Palau dan Negara Guam, sebelah timur
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 7
2010
Laporan Akhir
berbatasan dengan Negara Papua Nugini dan sebelah selatan berbatasan
dengan Negara Australia, daerah perbatasan ini merupakan teras depan negara
yang perlu diakses sarana dan prasaranan transportasi yang berpotensi sebagai
pintu dagang antar negara.
4.1.3 Pembagian Kewenangan Penanaman Modal dan Investasi
A. Dasar Penentuan Urusan dan Kewenangan Pemerintah (PP 38/2007)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengamanatkan pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan
terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar
tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi,
dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar
tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan
pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan
Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat
konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota.
Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan
yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 8
2010
Laporan Akhir
dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas
dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat
pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling
berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut.
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas
Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala
ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib
mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam
menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut,
semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan
akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi
dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.
Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan
juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas
dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi
sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi
norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan
urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
B. Pembagian Urusan Pemerintah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang menjadi kewenangan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 9
2010
Laporan Akhir
daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib
adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan
daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,
kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan
adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah
untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi
unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan
pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang
bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang
bersangkutan. Urusan wajib pemerintah baik pusat, Propinsi, maupun Kabupaten
Kota meliputi (pp 38, 2007, Pasal 7(2)):
Pendidikan
Kesehatan
Lingkungan hidup
Pekerjaan umum
Penataan ruang;
Perencanaan pembangunan
Perumahan
Kepemudaan dan olahraga
Penanaman modal
Koperasi dan usaha kecil dan menengah
Kependudukan dan catatan sipil
Ketenagakerjaan
Ketahanan pangan
Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
Keluarga berencana dan keluarga sejahtera
Perhubungan
Komunikasi dan informatika
Pertanahan
Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 10
2010
Laporan Akhir
Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian
pemberdayaan masyarakat dan desa
sosial
Kebudayaan
Statistik
Kearsipan
Perpustakaan
Sedangakan urusan pilihan berdasarkan PP No 38 Tahun 2007 Pasl 7 (4)
meliputi:
Kelautan dan perikanan
Pertanian
Kehutanan
Energi dan sumber daya mineral
Pariwisata
Industri
Perdagangan
Ketransmigrasian
Berdasarkan uraian tersebut, maka, Penanaman Modal merupakan urusan wajib
bagi pemerintahan provinsi, termasuk pemerinah Provinsi Papua Barat. Untuk
lebih jelasnya pembagian urusan pemerintahan bidang penanaman modal pada
masing masing kewenangan (pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota)
dapat dilihat pada tabel berikut.
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 11
2010
Laporan Akhir
Tabel 4-1 Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal
SUB BIDANGSUB SUB BIDANG
PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
1. Kebijakan Penanaman Modal
1. Kebijakan Penanaman Modal
1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.
2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal
3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:
(1) Bidang usaha yang tertutup.(2) Bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan.(3) Bidang usaha yang menjadi prioritas
tinggi dalam skala nasional.(4) Penyusunan peta investasi Indonesia,
potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
(5) Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.
4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang penanaman modal
1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah.
2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah.
3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:(1) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu
dipertimbangkan tertutup.(2) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang
perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
(3) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.
(4) Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.
(5) Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan provinsi.
4. Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada
1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi:
(1) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
(2) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
(3) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota.
(4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
(5) Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 12
2010
Laporan Akhir
SUB BIDANGSUB SUB BIDANG
PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
nasional yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
4. Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal
1. Kerjasama Penanaman Modal
1. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal.
2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.
1. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.
2. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.
1. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
2. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
2. Promosi Penanaman Modal
1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.
2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.
2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.
3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
3. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.
3. Pelayanan Penanaman Modal
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 13
2010
Laporan Akhir
SUB BIDANGSUB SUB BIDANG
PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
2. Melayani dan memfasilitasi:a. Penanaman modal terkait dengan
sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
b. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
d. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;
e. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.
3. Pemberian izin usaha kegiatan
penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi
kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. —
3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. —
3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 14
2010
Laporan Akhir
SUB BIDANGSUB SUB BIDANG
PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
kewenangan Pemerintah.
5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.
5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.
kabupaten/kota.
5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional.
2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi.
2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah kabupaten/kota.
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota.
2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan pemerintah provinsi.
5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional.
2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional.
4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.
1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi.
2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota.
3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi.
4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota.
2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi.
3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota.
4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
6. Penyebar-luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman
1. Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
1. Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas
1. Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal.
2. Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 15
2010
Laporan Akhir
SUB BIDANGSUB SUB BIDANG
PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
Modal 2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;
3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.
kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.
3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.
negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.
3. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota.
Sumber: Lampiran Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 16
2010
Laporan Akhir
4.1.4 Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan UU Penanaman Modal
No.25/2007
Pemerintah Indonesia telah banyak berupaya meningkatkan investasi riil di
Indonesia, yaitu dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi 2008-2009
yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program
Ekonomi 2008-2009. Paket ini memuat berbagai kebijakan ekonomi yang dapat
dikelompokkan ke dalam 8 bidang, yakni kebijakan perbaikan iklim investasi,
kebijakan ekonomi makro dan keuangan, kebijakan ketahanan energi, dan
kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian.
Sebelumnya, pada akhir Februari 2006, pemerintah mengeluarkan paket
kebijakan investasi dalam bentuk Inpres No. 3 Tahun 2006. Paket kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi itu mencakup lima aspek yaitu:
1. Bidang umum termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi,
sinkronisasi peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan
mengenai kewajiban amdal;
2. Bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus barang,
pengembangan peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan,
dan debirokratisasi di bidang cukai;
3. Perpajakan termasuk insentif perpajakan untuk investasi, melaksanakan
system “melakukan pengkajian sendiri” secara konsisten,revisi pajak
pertambahan nilai untuk mempromosikan ekspor, melindungi hak wajib
pajak, dan mempromosikan transparansi dan “disclosure”;
4. Ketenagakerjaan yang mencakup penciptaan iklim hubungan industrial
yang mendukung perluasan lapangan tenaga kerja, perlindungan dan
penempatan TKI di luar negeri., penyelesaian berbagai perselisihan
hubungan industrial secara cepat, murah, dan berkeadilan, mempercepat
proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan, penciptaan pasar tenaga
kerja fleksibel dan produktif, dan terobosan paradigma pembangunan
transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan
5. Bidang usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 17
2010
Laporan Akhir
Dari program-program yang terdapat dalam paket kebijakan investasi tersebut,
salah satu yang menjadi fokus program adalah pembentukan perusahaan dan
izin usaha. Masalah pelayanan perizinan, selama beberapa tahun belakangan
ini, memang sering dikeluhkan oleh pengusaha karena pelayanan perizinan di
Indonesia sebelum dan sesudah otonomi daerah membawa implikasi pada
pungutan yang lebih besar dan biaya resmi. Biaya pungutan dan mekanisme
prosedur perizinan ini merupakan biaya traksaksi. Karena biaya transaksi terlalu
tinggi, dampaknya menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Untuk menggairahkan
kegiatan investasi dan pelayanan investasi, pemerintah menawarkan konsep
pelayanan satu atap. Kegiatan investasi pelayanan satu atap ini lahir dengan
keluarnya Keppres No. 29 Tahun 2003. Lahirnya Keppres tersebut
dilatarbelakangi suasana euforia UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Desentralisasi disemangati secara berlebih, sehingga daerah dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) mengeluarkan berbagai perda
pajak dan retribusi daerah, yang pada akhirnya memberatkan dunia usaha dan
investasi.
Mungkin upaya pemerintah meningkatkan investasi riil di dalam negeri mencapai
klimaksnya pada saat UU Penanaman Modal No.25, 2007 diterbitkan. Dalam
Pasal 4-nya, pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
1. Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman
modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
2. Mempercepat peningkatan penanaman modal.
Dalam menetapkan kebijakan dasar tersebut, pemerintah memberi perlakuan
yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; menjamin kepastian hukum,
kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses
pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan membuka
kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 18
2010
Laporan Akhir
UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek
penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban
investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor)
yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan
kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek
tersebut yang selama ini merupakan dua masalah serius yang dihadapi
pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap
kegiatan penanaman modal di Indonesia jika dilaksanakan denga baik sesuai
ketentuannya di UU PM tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan
terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan
nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang
dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan
nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan
sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan
investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah,
dan cepat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah,
karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara
lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman
modal (Tambunan, 2007).
Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi
faktor-faktor lain (seperti kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel,
kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim perdagangan yang kondusif dan
ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam negeri
akan mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin
berinvestasi di sebuah wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap
melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan waktu lama untuk
memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan
biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi
akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin
usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap.
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 19
2010
Laporan Akhir
Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal:
menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha
bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak
berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah satu penghambat
investasi, khusunya PMA, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh
LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi
pengusaha dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan
birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta
perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul
secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia.
Terakhir, Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman
modal di Indonesia, ada tiga hal yang perlu dipahami. Hal pertama, ijin investasi
tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu
paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha.
4.1.5 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 Tentang Pemberian
Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal di Daerah
Dalam PP No. 45 Tahun 2008 dijelaskan mengenai Pemberian Insentif dan
Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Peraturan ini menjelaskan mengenai
Pemberian Insentif dan Kemudahan bagi investor di daerah, prinsip-prinsip
pelaksanaannya, bentuk-bentuk insentif dan kemudahan yang diberikan, kriteria
pemberian insentif dan kemudahan, serta penjelasana bagaimana peranan
Perda dalam menunjang kebijakan-kebijakan yang termuat dalam PP tersebut.
Seperti tercantum dalam Pasal 3 PP No. 45 Tahun 2008 bahwa pemberian
insentif dapat berupa (a) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak
daerah; (b) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (c)
pemberian dana stimulan; dan/atau (d) pemberian bantuan modal. Sedangkan
untuk pemberian kemudahan dapat berupa (a) penyediaan data dan informasi
peluang penanaman modal; (b) penyediaan sarana dan prasarana; (c)
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 20
2010
Laporan Akhir
penyediaan lahan atau lokasi; (d) pemberian bantuan teknis; dan/atau (e)
percepatan pemberian perizinan.
Pemberian insentif dan pemberian kemudahan diberikan kepada penanam
modal yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
a. Memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat;
b. menyerap banyak tenaga kerja lokal;
c. Menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal;
d. Memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
e. Memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto;
f. Berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
g. Termasuk skala prioritas tinggi;
h. Termasuk pembangunan infrastruktur;
i. Melakukan alih teknologi;
j. Melakukan industri pionir
k. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan;
l. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
m. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; atau
n. Industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang
diproduksi di dalam negeri.
Selain itu dalam pasal 7 PP No. 45 Tahun 2008, peranan Perda pun turut
dijelaskan bahwa pemberian insentif dan pemberian kemudahan penanam modal
harus sekurang-kurangnya berisi tentang (a) tata cara pemberian insentif dan
pemberian kemudahan; (b) kriteria pemberiarl insentif dan pemberian
kemudahan; (c) dasar penilaian pemberian insentif dan pemberian kemudahan;
(d) jenis usaha atau kegiatan penanaman modal yang diprioritaskan memperoleh
insentif dan kemudahan: (e) bentuk insentif dan kemudahan yang dapat
diberikan; dan (f) pengaturan pembinaan dan pengawasan.
Dalam pelaksanaannya, penerapan PP No. 45 Tahun 2008 dan Perda yang
mendukungnya harus benar-benar diawasi dan dievaluasi seperti yang tercantum
dalam PP No. 45 Tahun 2008 tersebut. Laporan harus diberikan paling sedikit
satu tahun sekali kepada Kepala Daerah dan Kepala Daerah pun melakukan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 21
2010
Laporan Akhir
evaluasi terhadap pemberian insentif dan kemudahan tersebut paling sedikit satu
tahun sekali.
4.1.6 Peraturan Presiden No.13 Tahun 2010 tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
Kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur saat
ini lebih dikenal dengan konsep Public Private Partnership. Menurut William J.
Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPP adalah ”an
agreement or contract, between a public entity and a private party, under which :
(a) private party undertakes government function for specified period of time, (b)
the private party receives compensation for performing the function, directly or
indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the
function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred
or made available to the private party.”
Di Indonesia, jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan
Usaha mencakup:
a. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan,
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana
perkeretaapian;
b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;
d. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku,
jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum;
e. infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan
pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi
pengangkut dan tempat pembuangan;
f. infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi
dan infrastruktur e-government;
g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk
pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau
distribusi tenaga listrik;
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 22
2010
Laporan Akhir
h. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi
minyak dan gas bumi.
Gambar 4.1 Proses Public Private Partnership
Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan PPP dilakukan
diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing
(competition). Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparency
and competition, manfaat yang dapat diraih adalah :
Terjaminnya mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market
prices);
Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;
Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan
pembiayaan tanpa sovereign guarantees;
Mengurangi risiko kegagalan proyek;
Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan
berkualitas tinggi;
Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 23
2010
Laporan Akhir
Dalam Perpres yang sama juga dijelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PPP
adalah untuk:
mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui
pengerahan dana swasta;
meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat;
meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur serta
mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang
diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
4.1.7 Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal
Pemberian kemudahan penanaman modal dalam bentuk percepatan pemberian
perizinan diselenggarakan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP).
Pelayanan Terpadu Satu Pintu merupakan pelaksanaan Permendagri 24 tahun
2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP); Sistem
pelayanan ini dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi, sesuai Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006
tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.
Tingginya tingkat kesulitan masyarakat dalam mengurus/memperoleh dokumen
perijinan maupun non perijinan dari pemerintah, disinyalir terkait dengan
panjangnya rantai birokrasi dan banyaknya instansi yang bertanggung jawab
terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, peningkatan iklim investasi diusahakan
melalui pemangkasan rantai birokrasi pelayanan publik, yang juga diaplikasikan
pada pelayanan dokumen non perijinan.
Bentuk pelayanan terpadu satu pintu (penyederhanaan pelayanan) yang
diarahkan oleh Pemerintah untuk dilaksanakan di daerah adalah pembentukan
Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yang
memiliki:
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 24
2010
Laporan Akhir
i. Loket/ruang pengajuan permohonan dan informasi;
ii. Tempat/ruang pemrosesan berkas;
iii. Tempat/ruang pembayaran;
iv. Tempat/ruang penyerahan dokumen; dan
v. Tempat/ruang penanganan pengaduan, sebagai sarana dan
vi. Prasarana pendukung mekanisme pelayanan.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bidang penanaman modal merupakan
kebijakan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP
dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan
pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.
Dalam Undang-Undang tersebut, PTSP diartikan sebagai kegiatan
penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat
pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan yang proses
pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya
dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Pengertian ini berbeda dengan
pengertian ”pelayanan terpadu satu atap”.
Dalam Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pengertian
”pelayanan terpadu satu atap” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan
dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai
keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan ”pelayanan
satu pintu” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang
meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani
melalui satu pintu.
PTSP di tingkat pusat dilakukan oleh lembaga yang berwenang di bidang
penanaman modal yang mendapat pendelegasian dari lembaga yang memiliki
kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat, provinsi atau
kabupaten/kota. Lembaga yang dimaksud disini adalah Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
(BKPMD).
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 25
2010
Laporan Akhir
Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar
instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar
instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, maupun antar Pemerintah
Daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan
oleh BKPM.
Dalam melaksanakan PTSP, BKPM harus melibatkan perwakilan secara
langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai
kompetensi dan kewenangan. Dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 di atas, pada tingkat nasional telah terdapat
“payung” bagi pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu. Hal yang berkaitan
dengan apa itu pelayanan terpadu satu pintu, tujuan pembentukannya,
kelembagaannya, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah
diatur lebih tegas. Ketegasan ini dapat menciptakan kepastian bagi aparat
pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan tugasnya, kepastian bagi
penanam modal, dan kepastian bagi masyarakat umum.
4.1.8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2008
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007
Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu, Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu dapat memperoleh fasilitas
Pajak Penghasilan. Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 dibentuk
sebagai bentuk penyesuaian terhadap cakupan bidang usaha dan daerah
tertentu yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu Dalam rangka lebih meningkatkan
kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi,
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 26
2010
Laporan Akhir
pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan untuk bidang usaha
tertentu dan/atau daerah tertentu yang sudah dilakukan oleh Wajib Pajak.
4.1.9 Daftar Negatif (DN)
Dalam Pasal 12 dari UU PM No.25/2007, disebutkan bahwa: (1) semua bidang
usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang
usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan; (2) bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
(a) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan (b) bidang
usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang; (3)
pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang
tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan
berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup,
pertahanan ,dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya; (4)
kriteria dan persyaratan bidang usaha. yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan masing-masing akan diatur dengan PP; dan (5) pemerintah
menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan
kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam,
perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi
modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk
pemerintah.
Berkaitan dengan butir (1) tersebut di atas, persyaratan untuk menentukan
bidang-bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka bagi kegiatan penanaman
modal ditentukan oleh persyaratan berdasarkan PP No. 76 Tahun 2007 dan
No.77 Tahun 2007. Berdasarkan dua PP tesebut, maka terdapat 25 bidang-
bidang usaha yang tertutup untuk penanam modal termasuk penanaman modal
asing, 43 bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk mikro, kecil, menengah
dan koperasi, 36 bidang usaha yang harus bermitra, 120 bidang usaha yang
diatur besarnya nilai modal asing, 19 bidang usaha yang diatur lokasinya, 25
bidang usaha yang harus memiliki izin khusus, 48 bidang usaha yang modal
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 27
2010
Laporan Akhir
dalam negeri 100% dan 22 bidang usaha yang diatur pemilik modal dan
lokasinya.
4.1.10 Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Konteks Perdagangan dan
Investasi
Masalah lingkungan hidup tidak hanya masalah pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup saja, akan tetapi sudah merupakan bagian integral dari
masalah pembangunan. Masalah lingkungan hidup menjadi sesuatu yang lintas
sektoral, multi displin, dan melibatkan semua lapisan masyarakat, serta sangat
terkait dengan masalah-masalah global lainnya termasuk liberalisasi
perdagangan dunia.
PBB mengadakan konferensi mengenai lingkungan hidup untuk pertama kalinya,
yang kemudian dikenal dengan The United Nations Conference on the Human
Environment pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia dan merupakan sejarah
penting dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup global. Dalam konferensi
tersebut dihasilkan kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep
pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup
diidentikkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan yang
masih rendah dan pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi
penyebab utama kerusakan lingkungan hidup didunia. Sedangkan dalam
dokumen konfrensi Stockholm tersebut, The Control of Industrial Pollution and
International Trade secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali
kebijakannya (Fithriani, 2004?). Tahun 1992 dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro,
menjadikan persoalan lingkungan hidup ini semakin jelas dengan adanya
hubungan antara ekonomi perdagangan dan lingkungan hidup dengan adanya
pembahasan tentang kesepakatan hambatan non-tariff dalam perdagangan
sebagai kontrol terhadap produk ekspor yang menyebabkan kerusakan
lingkungan hidup.(Hernandez, 2000).
Seperti yang dijelaskan oleh Soemarno (2004) di dalam makalahnya, keterkaitan
antara dunia usaha, termasuk perdagangan internasional dan investasi, dan
lingkungan telah disadari sejak dilaksanakannya konferensi Stockholm tersebut,
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 28
2010
Laporan Akhir
yang dilanjutkan di Nairobi pada tahun 1982. Konperensi tersebut melahirkan
pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan
mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti
dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World
Commission on Environment and Development (WCED). Sebagai upaya
pencegahan pencemaran secara sistematik, pada bulan Mei 1989 UNEP
memperkenalkan program “produksi bersih”, yang diajukan secara resmi pada
bulan September 1990 pada seminar mengenai the Promotion of Cleaner
Production" di Cantebury, lnggris.33
Selain itu, untuk pertama kalinya, istilah ”pembangunan berkelanjutan”
diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 yang mencakup
pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem
pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya
diselenggarakan United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED)" di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Menindaklanjuti gagasan
tersebut, lnggris mengeluarkan standar pengelolaan lingkungan yang pertama
kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Komisi Uni
Eropa (UE) mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme (EMAS)
pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali
ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai
mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan.34
Khusus untuk bidang kehutanan, dalam pertemuan ke delapan ITTO
(International Tropical Timber Organization) di Bali pada tahun 1990, telah dibuat
suatu komitmen bagi terlaksananya hutan yang lestari yang harus tercapai paling
lambat tahun 2000. Selanjutnya, mulai tahun 2000 dilakukan pemberian label
atau sertifikat bagi produk yang terbuat dari kayu tropis (Adi, 2007).
Di tingkat internasional, atas dorongan kalangan usaha, International
Standardization Organization (ISO) dan International Electrotechnical
Commission (IEC) membentuk Strategic Advisory Group on the Environment
(SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan
perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 29
2010
Laporan Akhir
mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku
secara internasional.
Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas
mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri
14000.35Standar yang dikembangkan mencakup rangkaian enam aspek, yaitu:
(1) sistem manajemen lingkungan; (2) pemeriksaan lingkungan; (3) pemberian
label lingkungan terhadap produk, (4) evaluasi kinerja linkungan; (5) analisis
tentang daur hidup produk dari bahan mentah; dan (6) terminology dan definisi
(TD).36
Keterkaitan antara perdagangan internasional dan perlindungan lingkungan di
bahas dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannerburg, Afrika Selatan
pada tanggal 26 Agt – 4 Sept 2002. Di dalam pertemuan tersebut, dikatakan
bahwa NSB (termasuk Indonesia) belum siap mengadopsi standar lingkungan
yang diterapkan oleh negara-negara maju NM. Ketidaksiapan dikarenakan
keterbatasan finansial, SDM dan prioritas pada pembangunan menyebabkan
penerapan standar yang berbeda tidak dapat dihindarkan
Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat kegiatan ekonomi,
termasuk perdagangan dan investasi, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan.
Pertama, pendekatan regulasi yakni perintah dan pengawasan oleh pemerintah.
Ini merupakan perangkat yang diterapkan oleh pemerintah melalui baku mutu
lingkungan dan program lain. Kedua, pendekatan masyarakat (termasuk dunia
usaha), yakni melaksanakan peraturan sendiri. Ini merupakan tindakan proaktif
dalam pencegahan pencemaran oleh perusahaan yang membawa keuntungan
adanya kelenturan pada perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang
sesuai dengan kondisi perusahaannya. Ketiga, pendekatan ekonomi yang dapat
dilakukan melalui pemberian insentif, disinsentif, dan izin memperdagangkan
emisi. Untuk yang terakhir ini, industri diberi hak menggunakan jasa lingkungan
untuk membuang limbah; hak ini dapat diperjual-belikan. Fungsi utama perangkat
ekonomi di sini adalah untuk menciptakan sebuah perubahan perilaku dengan
cara menghukum atau memberi penghargaan secara moneter.
Berhubungan dengan beberapa pasal dalam kesepakatan GATT/WTO mengenai
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 30
2010
Laporan Akhir
liberalisasi perdagangan dunia., pelaksanaan ketentuan-ketentuan untuk
melindungi lingkungan hidup bisa menimbulkan persoalan Misalnya, Indonesia
sebagai salah satu negara anggota WTO mengeluarkan suatu kebijakan untuk
melindungi lingkungan hidup di dalam negeri, yang tidak hanya mempengaruhi
daya saing produk domestik relatif terhadap produk impor, tetapi bisa juga
menjadi suatu hambatan non-tarif (NTB) terhadap barang-barang impor, dan hal
ini bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip GATT/WTO. Bisa bertentangan
apabila, misalnya, Indonesia mengenakan tarif diskriminatif terhadap produk-
produk impor yang tidak memenuhi persyaratan lingkungan hidup yang
diterapkan Indonesia. Padahal dalam Pasal I, WTO, mengenai most favored
nation (non-diskriminasi terhadap produk sesama negara anggota WTO)
dinyatakan bahwa apabila negara melakukan penurunan tarif/memberikan
fasilitas/ kemudahan untuk komoditi impor tertentu dari suatu negara, maka
secara otomatis berlaku juga kepada negara-negara lain yang memenuhi syarat
untuk mendapatkan perlakuan yang menguntungkan. Juga masalah bisa muncul
jika kebijakan lingkungan hidup dikaitkan dengan Pasal III mengenai national
treatment (non diskriminasi antar produk serupa dari luar negeri) yang isinya
adalah: apabila suatu produk impor telah memasuki suatu wilayah negara karena
diimpor, maka produk impor ini harus mendapat perlakuan yang sama, seperti
halnya perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang serupa/produk
lokal. Namun, Pasal XX (General Exception) memberikan keterkecualian
terhadap Pasal I dan Pasal III tersebut untuk tujuan kesehatan dan konservasi.
Juga, Pasal XI mendukung kebijakan lingkungan hidup mengenai pelarangan
atau pembatasan kuantitatif atas ekspor dan impor, misalnya untuk barang-
barang berbahaya atau ekspor kayu jati yang sudah hampir punah di dunia atau
ekspor binatang-binatang langkah.
CITES mengatur soal pembatasan atau pelarangan ekspor spesies yang
terancam punah untuk dijual komersial melalui penetapan kuota atau pajak
ekspor atau dengan cara lain. Konvensi Basel mengatur pembatasan atau
pelarangan perdagangan limbah. Perdagangan antar negara atau regional
memungkinkan mengimpor jasa lingkungan, termasuk pengolah limbah dari
manapun. Akibatnya perdagangan bebas dapat mengakibatkan kerusakan,
karena setiap negara dapat memperluas kemampuan kapasitas regenerasi dan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 31
2010
Laporan Akhir
absorbsinya dengan mengimpor kapasitas dari negara lain. lni berarti bahwa
suatu negara dapat memutuskan menghindari skala ekologis melalui
perdagangan dan dapat bergantung pada negara lain yang berkemampuan
untuk mengadopsikan skala di mana negara pengimpor mencoba
menghindarkannya. Oleh karena itu, perdagangan limbah yang tidak sesuai
dengan aturan dan kesepakatan pada Konvensi Basel, apabila dianggap dapat
merusak dan merugikan kepentingan Indonesia seyogianya ditolak. Sedangkan,
Protokol Montreal (PM) mengatur pengurangan konsumsi dan produksi Ozone
Depletion Substance (ODS) secara bertahap dan diterapkan secara berbeda. PM
ini berisih sejumlah pengawasan terhadap perdagangan antar negara/wilayah,
yang mempunyai dua motivasi: (1) untuk menarik banyak negara untuk
bergabung, dan (2) jika banyak negara tetap di luar (tidak bergabung),
pengawasan-pengawasan tersebut akan meminimalkan kebocoran, perpindahan
dari produk-produk yang dilarang ke negara-negara yang tidak ikut bergabung
(Brack, 1996).
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina tentang perlindungan
lapisan ozone, Montreal Protocol serta amandemen Wina melalui Keppres No 23
tanggal 13 Mei 1992. Tujuan dari konvensi Wina tersebut adalah untuk
melindungi lapisan ozone dari kerusakan akibat kegiatan manusia. Montreal
Protocol membuat jadwal untuk penghapusan produksi dan membatasi konsumsi
global CFC dan Halon dari 5 macam CFC dan 3 kelompok Halon.
Upaya lainnya yang telah/sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
kaitannya dengan lingkungan hidup terkait dengan kegiatan ekonomi adalah
kebijakan standardisasi produk Indonesia. Ada sejumlah langkah yang dilakukan
pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk nasional
melalui konsep standardisasi, dua diantaranya adalah Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan Ekolabel (Adi, 2007). Landasan hukum dari SNI adalah: (1)
PP No.102/2000 tentang standardisasi nasional; (2) ISO/IEC Guide 2/1996
tentang standardisasi dan kegiatan-kegiatan terkait (general vocabulary); (3)
ISO/IEC Guide 7/1996 tentang Guidelines for Drafting of Standards Suitable for
Use for Conformity Assessment; (4) ISO/IEC Guide 5/1996 tentang aspek-aspek
keselamatan (Guidelines for Their Inclusion in Standards); (5) PSN tentang
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 32
2010
Laporan Akhir
Panitia Teknis Perumusan SNI; (6) PSN tentang adopsi standar internasional
menjadi SNI; dan (7) PSN tentang penulisan SNI.
Seperti yang dijelaskan di Adi (2007), pada dasarnya SNI dimaksudkan agar
dalam lingkup nasional produk-produk yang sejenis mempunyai standar yang
sama sehingga mudah dalam pemakainnya. Adapun tujuan dari Program
Nasional Pengembangan SNI (PNPS) adalah untuk melindungi keselamatan
manusia, kesehatan masyarakat, keamanan, kelestarian fungsi lingkungan hidup,
kelancaran perdagangan serta keperluan lainnya.
Penerapan ekolabel di Indonesia hingga saat ini belum meluas, baru di sektor
kehutanan. Ekolabel adalah label lingkungan (atau sertifikasi dalam kaitannya
dengan masalah lingkungan) pada suatu produk yang merepesentasikan bahwa
produk tersebut dapat didaur ulang, ramah lingkungan, hemat energi dan
terdapat kandungan bahan-bahan daur ulang (Fitria, 2007). Menurut Adi (2007),
salah satu pertimbangannya adalah karena kerusakan hutan yang sudah sangat
parah sebagai akibat dari pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Pada tahun
1993 dibentuk kelompok kerja ekolabel Indonesia untuk membahas, mencari dan
memantapkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari. Pada
Februari 1998 dibentuk secara resmi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang
bersifat independen dan nirlaba. Tujuannya adalah dalam rangka
memperjuangkan terselenggaranya pengelolaan SDA dan lingkungan hidup
secara adil dan lestari melalui penerapan sistem sertifikasi/ekolabel yang
kredibel. Terdapat lima kegiatan/misi dari LEI: (1) mengembangkan sistem
sertifikasi pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang berkelanjutan (sebut
SDA-LH); (2) mengembangkan sistem akreditasi yang mengawasi
penyelenggaraan sistem sertifikasi pengelolaan SDA-LH; (3) mengembangkan
kapasitas SDM dan kelembagaan sistem sertifikasi pengelolaan SDA-LH; (4)
memastikan pelaksanaan sistem sertifikasi/ekolabel yang kredibe;dan (4)
mendorong terciptanya kebijakan pengelolaan SDA-LH yang berkelanjutan (Adi,
2007).
Purwanto (2007) mengidentifikasi berbagai kebijakan penerapan ekolabel yang
sudah ada di Indonesia hingga saat ini. Diantaranya: UU No.23/1997 tentang
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 33
2010
Laporan Akhir
pengelolaan lingkungan hidup Pasal 10 huruf e; UU No.8/1999 tentang
perlindungan consumen; stándar ISO 14020 tentang prinsip umum ekolabel dan
deklarasi lingkungan; dan ISO 14024 tentang panduan ekolabel tipe 1.
Menurutnya, ekolabel dalam implementasinya banyak menggunakan tipe 1 ini
yang masih bersifat sukarela dan proses sertifikasinya banyak melibatkan pihak-
pihak yang berkepentingan yang dilakukan secara transparan dan obyektif
melalui proses pengujian yang komprehensif dengan memperhatikan daur hidup
produk.40
Belum meluasnya penerapan ekolabel di Indonesia disebabkan oleh banyak
faktor. Menurut Firdausy (2007), penggunaan tipe 1 seperti yang dimaksud di
atas (sukarela) sebagai salah satu penyebabnya. Selain itu, baik menurut
Firdausy maupun suatu laporan dari Bank Dunia (2007), penyebab lainnya
adalah: (1) belum ada sertifikasi yang sesuai model pengelolaan hutan rotan
hingga saat ini, (2) sistem hukum di Indonesia belum mampu mendukung
pengelolaan hutan lestari. Hal ini, menurutnya, antara lain karena penetapan
hukum ini sangat berkaitan dengan masalah tanah pemilikan adat, (3) sistem
resolusi konflik belum berjalan secara efektif, (4) biaya sertifikasi yang sangat
mal, dan (5) belum adanya apresiasi masyarakat terhadap produk dalam negeri
yang bersertifikasi ekolabel.
Sedangkan menurut Sarjono (2005), ada sejumlah alasan. Pertama, tim skema
ekolabel baru berhasil menyusun kriteria ekolabel hanya untuk 5 jenis produk
manufaktur: serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga, tekstil dan
produk tekstil (TPT), yertas cetak, produk kulit jadi dan sepatu casual. Kedua,
masih ada keraguan dalam memilih sistem sertifikasi ekolabel stándar ketat
(biayanya tinggi) atau stándar tidak ketat (biayanya rendah). Ketiga, proses
penetapan produk ekolabel berbiaya tinggi yang bisa mengakibatkan daya saing
dari produk tersebut menurun.
Dalam bidang kehutanan, pemerintah mempunyai beberapa kebijakan. Pertama,
peraturan tentang tebang pilihan, disebut Tebangan Pilihan Indonesia (TPI).
Dengan TPI ini, tebangan pon didasarkan atas daur 35 tahun, di mana beberapa
bagian dari konsesi hutan ditebang menurut urutan berbagai blok di konsesi
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 34
2010
Laporan Akhir
tersebut, dan di mana pon-pohon di bawah ukuran tertentu tidak boleh ditebang
sampai mereka mencapai ukuran pon dewasa (Harjono, 1994; Thee Kian Wie,
2007). Kedua, kebijakan hutan tanaman industri (HTI) yang diintrodusir pada
tahun 1987. Tujuannya untuk mendorong pembukuan perkebunan kayu dengan
menyediakan kredit murah yang diperoleh dari dana reboisasi (Ascher, 1993).
Ketiga, kebijakan royalti dan pajak. Selama ini karena pajak atas rente SDA yang
demikian rendah, maka para pemegang konsesi hutan cenderung untuk
melakukan ekspoitasi hutan yang berlebihan. Diharapkan dengan membayar
pajak yang lebih tinggi atas rente SDA, mereka tidak akan menebang pohon
berlebihan jika tidak perlu (Thee Kian Wie, 2007). Keempat, kebijakan subsidi
reboisasi yang diperkenalkan pada tahun 1980. Subsidi ini dibiayai dari
pembayaran sumbangan wajib atau uang muka kepada Departemen Kehutanan
oleh para pemegang konsesi hutan atas jumlah kayu yang ditebang. Tujuannya
agar para pemegang konsesi tersebut menanam kembali pohon-pohon yang
telah ditebang untuk mendapat kembali sumbangan wajib mereka (Thee Kian
Wie, 2007).41Relima, dalam upaya memberikan landasan hukum untuk
memberantas penebangan kayu secara ilegal, pada tahun 2005 telah
dikeluarkan Inores No.4/2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara
ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia. Inores
ini memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, 15
pejabat setingkat menteri serta semua gubernur dan bupati/walikota untuk
memberantas pembalakan liar (Thee Kian Wie, 2007).
Sudah ada sejumlah penelitian yang dilakukan selama ini yang salah satunya
memfokus pada efek dari semua kebijakan kehutanan terhadap kelestarian
kehutanan di Indonesia. Semua studi tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan
kehutanan di Indonesia pada umumnya justru mendorong kerusakan
hutan.42Menurut Sambodo (2006), misalnya, kelemahan kelembagaan adalah
suatu faktor pokok yang telah menyebabkan bahwa pengelolaan kawasan hutan
yang lestari tidak berjalan atau kurang efektif. Sedangkan menurut Thee Kian
Wie (2007), berdasarkan berita di Kompas (5/7/2007), pelaksanaan Inores
No.4/2005 yang dibahas tersebut di atas hingga saat ini belum membawa hasil
yang diharapkan. Salah satu sebab adalah bahwa banyak dokumen Surat
Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) palsu telah dikeluarkan oleh aparat
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 35
2010
Laporan Akhir
kehutanan daerah yang korup. Selain itu, ada dugaan kuat tentang manipulasi
data oleh perusahaan.
Sementara, Fitria (2007) melakukan suatu evaluasi mengenai penerapan prinsip-
prinsip ekolabel pada perkebunan kelapa sawit, dengan fokus telaahnya dari
pelaku usaha. Pertanyaan penelitiannya ada dua: (1) apakah perangkat
ketentuan ISO 14001 yang selama ini dijadikan rujukan oleh pengusahan
perkebunan sudah dilaksanakan sebaik-baiknya? (2) apakah prinsip-prinsip
RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil), yang merupakan kriteria lingkungan
dalam aspek bisnis kelapa sawit, yang dikeluarkan pada tahun 2003, juga sudah
diterapkan sebaik-baiknya? 43Dari hasil wawancaranya dengan sejumlah
perusahaan kelapa sawit, diketahui bahwa banyak perusahaan yang memang
selama ini sudah menerapkan prinsip dan kriteria RSPO tersebut dimulai saat
praktik pembersihan alang-alang untuk penyiapan lahan kelapa sawit dan
peremajaan.
Di sektor perikanan, ekspor ikan Indonesia menghadapi tantangan yang sangat
berat, khususnya dari Eropa (UE), yang berkaitan dengan berbagai tuntutan
untuk menjamin mutu, keamanan pangan, dan ketertelusuran setiap produk
bahan makanan, serta isu lingkungan dan keharusan equivalensi sistem mutu
yang didasarkan pada konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).
Hal ini mendorong Departemen Pertanian (deptan) menerapkan Program
Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMTHP) pada tahun 1992/93,
yang sejak tahun 1998 berubah nama menjadi Sistem Manajemen Mutu Terpadu
Hasil Perikanan (SMMTHP) melalu SK Mentan No.41/Kpts/IK.210/2/98 tentang
SMMTHP. SK ini diperbaharui dengan SK Menter Kelautan dan Perikanan No.
Kep.01/MEN/2002 tentang SMMTHP, yang mengatur bahwa sistem mutu hasil
perikanan dituangkan dalam bentuk sertifikasi. Keputusan ini kemudian ditambah
dengan ketentuan baru lewat UU No.31/2004 tentang perikanan yang memberi
peran lebih besar kepada bidang pengawasan mutu untuk meningkatkan kualitas
produk ekspor perikanan Indonesia di pasar global (Tjitroresmi, 2007).
Seperti yang dijelaskan oleh Tjitroresmi (2007), dalam sistem tersebut,
pengawasan mutu dilakukan sejak awal hingga akhir produk, seperti setiap
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 36
2010
Laporan Akhir
produk perikanan harus memiliki bahan baku yang bagus, diangkut dengan
peralatan yang memenuhi standar keamanan pangan, diolah di pabrik yang
memenuhi persyaratan sanitasi teknik pengolahan ikan yang telah ditentukan
dalam sertifikasi kelayakan pengolahan, dan dikerjakan oleh orang yang sehat.
Oleh karena itu, ada 3 syarat yang harus terpenuhi: (1) sistem jaminan
manajemen mutu, (2) sistem jaminan keamanan pangan, dan (3) ketertelusuran
seluruh proses produksi secara terpadu. Hal ini dilakukan untuk merespon
ketentuan baru UE yang dikeluarkan pada tahun 2004, dan tertuang dalam
Council Directive No.91/493/EEC yang wajib diikuti oleh semua negara eksportir,
dan mulai resmi diberlakukan per 1 Januari 2006.
4.2 Analisis Kebijakan Penaman Modal untuk Provinsi Papua Barat
Permasalahan umum yang terjadi dalam hal kebijakan investasi di Provinsi
Papua Barat dijelaskan sebagai berikut:
a. Prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal.
Berdasarkan studi Bank Dunia pada tahun 2004, bila dibandingkan dengan
negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu
usaha dari berbagai instansi baik pusat maupun daerah di Indonesia
membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui
dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya
yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar US$
1.163). Sementara itu untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9
prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang
diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945).
Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya membutuhkan
waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-
masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160)
dari per capita income. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang
usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan
perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk
penciptaan lapangan kerja. Demikian juga yang terjadi di Provinsi Papua
Barat, belum adanya Dinas Penanaman Modal (saat ini masih berupa Biro
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 37
2010
Laporan Akhir
Perekonomian dan Penanaman Modal) menjadi faktor utama yang
menambah lama pengurusan penanaman modal di Provinsi Papua Barat.
b. Rendahnya kepastian hukum.
Rendahnya kepastian hukum tercermin dari banyaknya tumpang tindih
kebijakan antar pusat dan daerah dan antar sektor. Belum mantapnya
pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi.
Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi
antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan
investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi.
Suatu studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002
pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan
peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk
menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan
pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa
penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan
lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (proporsinya: 38,1 persen
distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan 14,2 persen menunjang).
Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan
untuk biaya “tambahan atau pungutan liar” telah mencapai 11 persen dari
biaya produksi.
c. Lemahnya insentif investasi.
Pemerintah daerah dinilai relatif tertinggal dalam menyusun insentif
investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di
Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif
sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang
memberi kelonggaran-kelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong
investasi.
d. Kualitas SDM rendah dan terbatasnya infrastruktur.
Kurang bergairahnya iklim investasi di Provinsi Papua Barat juga disebabkan
oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side) dan kapasitas dari
sistem dan jaringan infrastruktur karena sebagian besar dalam keadaan
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 38
2010
Laporan Akhir
rusak. Pengembangan manufaktur yang belum berbasis pada kemampuan
penguasaan teknologi dan masih relatif rendahnya kemampuan SDM tenaga
kerjanya memiliki implikasi yang tidak ringan. Sementara itu, keterbatasan
kapasitas infrastruktur berpengaruh pada peningkatan biaya distribusi yang
pada gilirannya justru memperburuk daya saing produk-produknya. Di
samping jaringan transportasi darat, satu contoh lain yang juga merupakan
masalah kunci adalah bottleneck di pelabuhan-pelabuhan karena
ketidakefisiensian pengelolaan pelabuhan dan urusan-urusan kepabeanan.
Dalam kaitannya dengan kebijakan investasi yang seperti yang telah dibahas
sebelumnya, maka terdapat beberapa temuan dari hasil penelaahan terhadap
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan investasi di Provinsi Papua Barat,
diantaranya:
a. Dalam hal kewenangan yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah No 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,
pada saat ini terdapat beberapa kendala dalam hal menindaklanjuti
kebijakan tersebut, diantaranya:
Dari sisi kelembagaan, belum terbentuknya Dinas penanaman Modal di
Provinsi Papua barat, pada saat ini unsur lembaga penanaman modal
masih tergabung dalam kesekretariatan daerah dalam Biro
Perekonomian dan Investasi, Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat.
Dengan belum berdirinya dinas/kantor tersendiri tentunya mempunyai
hambatan dalam hal penyusunan program-program yang terkait dengan
investasi, sementara berdasarkan PP No 38 Tahun 2007 tersebut
merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk mengurus urusan
penanaman modal di wilayah Provinsi Papua Barat.
Aspek lain yang belum terpenuhi adalah aspek kebijakan penanaman
modal pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam mengatur
penanaman modal di Provinsi Papua Barat. Berdasarkan hasil survey
dan observasi masih belum ada tindak lanjut dari kebijakan nasional
yang diterapkan di Provinsi Papua Barat, misalnya untuk kebijakan satu
atap dan kebijakan satu pintu, masih belum bisa terealisasi di Provinsi
Papua Barat, hal ini juga berkaitan dengan faktor kelembagaan eksisting
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 39
2010
Laporan Akhir
baik di lingkungan provinsi maupun di lingkungan kabupaten/kota
Dalam hal pelaksanaan kebijakan penanaman modal, hal ini juga belum
berjalan dengan baik., hal ini merupakan dampak dari belum jelasnya
kebijakan provinsi dalam penanaman modal. Dalam hal kerjasama
penanaman modal dalam tingkat provinsi masih belum efektif dalam
memfasilitasi kerjasama dunia usaha dibidang penananman modal, baik
yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional. Masih kurangnya
promosi dalam hal penanaman modal juga menjadi kendala dalam
menarik investasi dari luar untuk menginvestasikan modalnya di Provinsi
Papua Barat, hal ini dikabiatkan beberpa persoalan lain yang terkait,
misalnya infrastruktur yang kurang memadai, penerimaan masyarakat
adat, dan masalah sosial ekonomi lainnya.
Dalam hal pelayanan penanaman modal, masih dirasakan sangat
kurang dengan belum tersedianya layanan satu atap dan satu pintu di
Provinsi Papua Barat, selain itu juga belum adanya kajian, rumusan ,
dan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayananan terpadu satu
pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota
berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu
satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah
menjadi kendala dalam pemenuhan kabutuhan investor akan pelayanan
yang cepat, tepat dan murah.
Pengendalian pelaksanaan penanaman modal juga masih belum baik
dilaksanakan, hal ini dapat dilihat dari masih maraknya illegal logging
dan belum ada lembaga khusus dalam hal pengendalian pelaksanaan
penanaman modal.
Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal masih
sangat kurang, hal ini terasa apabila mencari data tentang investasi
yang masih belum terupdate atau masih menggunakan data lama,
pengelolaan data juga belum terpusat sehingga terkadang ada
penafsiran yang berbeda mengenai data antara satu instansi dengan
instansi lainnya.
Permasalahan lain yang menjadi mandat dalam PP No 38 Tahun 2007
adalah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui penndidikan dan pelatihan dalam
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 40
2010
Laporan Akhir
bidang penanaman modal, sedangkan di provinsi papua barat selain
sulit untuk menaikkan kualitas sumber daya manusia, juga mempunyai
masalah dalam hal kuantitas sumber daya manusianya.
b. Kebijakan lain yang menunjang kegiatan investasi juga perlu diperhatikan,
terutama masalah infrastruktur yang mu tidak mau harus diakui masih
sangat kurang memadai di Provinsi Papua Barat. Meskipun terdapat Inpres
No 5 tahun 2007 Percepatan Pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat masih belum dapat diimplementasikan dengan baik pada dua
provinsi tersebut, khususnya di Provinsi Papua Barat. Meskipun sudah
menunjukkan hasil, Inpres tersebut masih terkesan lamban dan
membingungkan di daerah. Pasalnya dari aturan tersebut optimalisasi
kebijakannya masih terdapat pada sektor-sektor tertentu yang kurang
mengakomodasikan kebijakan affirmative action dalam rangka mendukung
tujuan dan sasaran Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 41