bab 4 analisis kebijakan fix

59
BAB 4 ANALISIS KEBIJAKAN INVESTASI 4.1 Tinjauan Kebijakan Investasi 4.1.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 Visi Indonesia 2014 yaitu terwujudnya Indonesia Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan tantangan lingkungan global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya. Misi pemerintah dalam periode 2010-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis. Usaha-usaha Perwujudan visi Indonesia 2014 akan dijabarkan dalam misi pemerintah tahun 2010-2014 sebagai berikut. Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 1

Upload: neneng-nurbaeti-amien

Post on 25-Oct-2015

61 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

BAB 4

ANALISIS KEBIJAKAN INVESTASI

4.1 Tinjauan Kebijakan Investasi

4.1.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-

2014

Visi Indonesia 2014 yaitu terwujudnya Indonesia Sejahtera, Demokratis dan

Berkeadilan, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan tantangan lingkungan

global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya. Misi

pemerintah dalam periode 2010-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia

yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan fondasi yang lebih kuat

bagi Indonesia yang adil dan demokratis. Usaha-usaha Perwujudan visi

Indonesia 2014 akan dijabarkan dalam misi pemerintah tahun 2010-2014

sebagai berikut.

Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera

Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi

Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang

Dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional 2009-2014, ditetapkan

lima agenda utama pembangunan nasional tahun 2009-2014, yaitu:

Agenda I : Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

Agenda II : Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan

Agenda III : Penegakan Pilar Demokrasi

Agenda IV : Penegakkan Hukum Dan Pemberantasan Korupsi

Agenda V : Pembangunan Yang Inklusif Dan Berkeadilan

Mengacu pada permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa dan negara

Indonesia baik dewasa ini maupun dalam lima tahun mendatang, maka arah

kebijakan umum pembangunan nasional 2010-2014 adalah sebagai berikut:

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 1

Page 2: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

1. Arah kebijakan umum untuk melanjutkan pembangunan mencapai Indonesia

yang sejahtera. Indonesia yang sejahtera tercermin dari peningkatan tingkat

kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dalam bentuk percepatan

pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi, pengurangan kemiskinan, pengurangan tingkat pengangguran

yang diwujudkan dengan bertumpu pada program perbaikan kualitas sumber

daya manusia, perbaikan infrastruktur dasar, serta terjaganya dan

terpeliharanya lingkungan hidup secara berkelanjutan.

2. Arah kebijakan umum untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi dengan

penguatan yang bersifat kelembagaan dan mengarah pada tegaknya

ketertiban umum, penghapusan segala macam diskriminasi, pengakuan dan

penerapan hak asasi manusia serta kebebasan yang bertanggung jawab.

3. Arah kebijakan umum untuk memperkuat dimensi keadilan dalam semua

bidang termasuk pengurangan kesenjangan pendapatan, pengurangan

kesenjangan pembangunan antar daerah (termasuk desa-kota), dan

kesenjangan jender. Keadilan juga `hanya dapat diwujudkan bila sistem

hukum berfungsi secara kredibel, bersih, adil dan tidak pandang bulu.

Demikian pula kebijakan pemberantasan korupsi secara konsisten

diperlukan agar tercapai rasa keadilan dan pemerintahan yang bersih.

Sebagian besar sumber daya dan kebijakan akan diprioritaskan untuk menjamin

implementasi dari 11 prioritas nasional yaitu: (1) reformasi birokrasi dan tata

kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5)

ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha; (8) energi; (9)

lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan

paskakonflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.

Pembangunan di bidang ekonomi ditujukan untuk menjawab berbagai

permasalahan dan tantangan dengan tujuan akhir adalah meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat

memerlukan terciptanya kondisikondisi dasar yaitu:

(1) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;

(2) penciptaan sektor ekonomi yang kokoh serta;

(3) pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 2

Page 3: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Peningkatan daya tarik investasi akan dipengaruhi oleh upaya perbaikan iklim

investasi. Belum optimalnya kinerja investasi saat ini selain disebabkan oleh

penurunan kegiatan ekonomi global juga karena masih adanya permasalahan

iklim investasi yang masih terjadi, dari proses perizinan investasi sampai dengan

pelaksanaan realisasi investasi. Hal ini telah menyebabkan menurunnya minat

untuk melakukan investasi, baik untuk perluasan usaha yang telah ada maupun

untuk investasi baru termasuk persebaran investasi. Untuk itu, upaya

peningkatan daya tarik investasi menjadi penting.

Program prioritas perbaikan terhadap iklim investasi dan iklim usaha

dilaksanakan melalui perbaikan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur,

perbaikan sistem informasi, dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus

(KEK). Oleh karena itu, substansi inti program aksi bidang iklim investasi dan

iklim usaha adalah sebagai berikut:

1. Kepastian hukum: Reformasi regulasi secara bertahap di tingkat nasional

dan daerah sehingga terjadi harmonisasi peraturan perundang-undangan

yang tidak menimbulkan ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam

implementasinya;

2. Penyederhanaan prosedur: Penerapan sistem pelayanan informasi dan

perizinan investasi secara elektronik (SPSIE) pada Pelayanan Terpadu Satu

Pintu (PTSP) di beberapa kota yang dimulai di Batam, pembatalan perda

bermasalah dan pengurangan biaya untuk memulai usaha seperti Tanda

Daftar Perusahaan (TDP) dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP);

3. Logistik nasional: Pengembangan dan penetapan Sistem Logistik Nasional

yang menjamin kelancaran arus barang dan mengurangi biaya

transaksi/ekonomi biaya tinggi;

4. Sistem informasi: Beroperasinya secara penuh National Single Window

(NSW) untuk impor (sebelum Januari 2010) dan ekspor. Percepatan realisasi

proses penyelesaian bea cukai di luar pelabuhan dengan implementasi

tahap pertama Custom Advanced Trade System (CATS) di dry port

Cikarang;

5. Kawasan Ekonomi Khusus: Pengembangan KEK di 5 (lima) lokasi melalui

skema Public-Private Partnership sebelum 2012;

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 3

Page 4: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

6. Kebijakan ketenagakerjaan: Sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan

iklim usaha dalam rangka memperluas penciptaan lapangan kerja.

Mengingat Tantangan dalam meningkatkan daya tarik investasi ke depan

semakin berat, maka pembangunan investasi dalam periode tahun 2010-2014

diarahkan untuk hal-hal sebagai berikut:

1. mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara

berkelanjutan dan berkualitas dengan mewujudkan iklim investasi yang

menarik;

2. mendorong penanaman modal asing bagi peningkatan daya saing

perekonomian nasional; serta meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan

pendukung yang memadai, investasi yang dikembangkan dalam rangka

penyelenggaraan demokrasi ekonomi akan dipergunakan sebesar-besarnya

untuk pencapaian kemakmuran bagi rakyat;

3. menciptakan iklim investasi yang berdaya saing dan meningkatnya realisasi

investasi di seluruh wilayah Indonesia.

Strategi pembangunan investasi dalam lima tahun ke depan adalah sebagai

berikut

(1) mendorong berkembangnya investasi di berbagai sektor terutama pangan,

energi dan infrastruktur dalam rangka meningkatkan persebaran investasi;

(2) mendorong berkembangnya investasi berbasis keunggulan daerah, antara

lain sektor perkebunan, perikanan dan peternakan dalam rangka penciptaan

kesempatan kerja;

(3) meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan investasi melalui

harmonisasi dan simplifikasi berbagai perangkat peraturan, baik di pusat

maupun di daerah; dan

(4) mendorong percepatan ketersediaan infrastruktur dalam arti luas melalui

peningkatan efektivitas pelaksanaan kemitraan pemerintah dan dunia usaha

dalam rangka meningkatkan daya tarik investasi; serta

(5) mendorong pengembangan kawasan ekonomi khusus untuk produk yang

bernilai tambah antara lain, industri barang dari kulit dan alas kaki, sektor

transportasi, sektor jasa-jasa lainnya, industri berbasis petrokimia, industri

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 4

Page 5: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

permesinan, mesin listrik dan peralatan listrik, dan industri tekstil dan produk

tekstil (TPT).

Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan di atas, fokus prioritas

investasi dalam RPJMN 2010-2014 adalah sebagai berikut:

1. Fokus Prioritas Peningkatan Harmonisasi Kebijakan dan Penyederhanaan

Perizinan Investasi yang didukung oleh kegiatan prioritas sebagai berikut:

a. peningkatan Deregulasi Kebijakan Penanaman Modal;

b. pengembangan Potensi Penanaman Modal Daerah;

c. pemberdayaan Usaha Nasional;

d. peningkatan Kualitas Pelayanan Persetujuan Penanaman Modal;

e. peningkatan Kualitas Pelayanan Perizinan Penanaman Modal;

f. peningkatan Kualitas Pelayanan Fasilitas Penanaman Modal;

g. koordinasi peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (PEPI).

2. Fokus Prioritas Peningkatan Fasilitasi Investasi yang didukung oleh kegiatan

prioritas sebagai berikut:

a. Pengembangan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi

Secara Elektronik (SPIPISE);

b. Pengembangan Sumber Daya Manusia;

c. Peningkatan Pelayanan Hukum Penanaman Modal;

d. Pembangunan/Pengadaan/Peningkatan Sarana dan Prasarana;

e. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Penanaman

Modal;

f. Pengembangan Penanaman Modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);

g. Koordinasi Pengembangan Urusan Penataan Ruang dan

Pengembangan Wilayah (termasuk KEK, KAPET, dan kawasan

lainnya);

h. Perencanaan Pengembangan Penanaman Modal Sektor Industri

Agribisnis dan Sumber Daya Alam Lainnya;

i. Perencanaan Pengembangan Penanaman Modal Sektor Industri

Manufaktur;

j. Perencanaan Pengembangan Penanaman Modal di Bidang Sarana,

Prasarana, Jasa dan Kawasan;

k. Peningkatan Kualitas Strategi Promosi Bidang Penanaman Modal;

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 5

Page 6: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

l. Promosi Penanaman Modal Sektoral Terpadu dan Terintegrasi di Dalam

dan Luar Negeri;

m. Fasilitasi Daerah dalam Rangka Kegiatan Promosi Penanaman Modal;

n. Penyelenggaraan Pameran dan Penyediaan Sarana Promosi

Penanaman Modal untuk Kegiatan di Dalam dan di Luar Negeri;

o. Kerjasama Bilateral dan Multilateral di Bidang Penanaman Modal;

p. Kerjasama Regional di Bidang Penanaman Modal;

q. Kerjasama dengan Dunia Usaha Asing di Dalam dan di Luar Negeri di

Bidang Penanaman Modal;

r. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah I;

s. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah II;

t. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah III;

u. Pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal Wilayah IV;

v. Koordinasi pengembangan urusan penataan ruang dan pengembangan

wilayah (termasuk KEK, KAPET, dan kawasan lainnya).

4.1.2 Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan

Pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebagaimana terkandung dalam Undang-

Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,

yang merupakan terobosan politik paling signifikan yang dihasilkan oleh Bangsa

Indonesia untuk mengakomodir aspirasi rakyat di Provinsi Papua dalam rangka

menjamin hak masa depan yang lebih adil, damai dan sejahtera, telah

diimplementasikan sejak tahun 2001.

Untuk itu dalam rangka mempercepat pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat, dan sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Otsus

tersebut di atas, Presiden Republik Indonesia melalui Inpres No. 5 tahun 2007

tentang Percepatan Pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah

menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri

Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan, Menteri Dalam Negeri, Menteri

Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kehutanan, Menteri

Pendidikan Nasional; Menteri Kesehatan; Menteri Keuangan, Menteri Negara

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 6

Page 7: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Gubernur Provinsi

Papua, Gubernur Provinsi Papua Barat dan para Bupati/Walikota di Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat, untuk mengambil langkah-langkah yang

diperlukan sesuai kapasitasnya. Slogan “The new deal policy for Papua” dalam

Inpres ini, menitikberatkan pada :

a) Memantapkan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan;

b) Peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan;

c) Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan;

d) Peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di

wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara; dan

e) Affirmative action bagi pengembangan sumber daya manusia putra-putri

asli Papua.

The new policy for Papua lebih spesifik diarahkan pada pembangunan

infrastruktur transportasi dan sektor produktif lainnya, penyusunan rencana tata

Ruang wilayah ke dua provinsi;, pembangunan infrastruktur dasar wilayah (jalan,

jembatan, sentra-sentra produksi, pemukiman penduduk); membuka isolasi

daerah dan pengembangan potensi daerah perbatasan, jaringan irigasi dan

ketahanan pangan, prasaranan air bersih, sanitasi dan drainase; pencegahan

terhadap illegal logging, illegal trading dan illegal fishing; meningkatkan kualitas

dan daya saing pendidikan; dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.

Untuk itu prioritas utama yang telah digariskan Presiden melalui Inpres No. 5

tahun 2007 ini adalan rencana aksi pembangunan infrastruktur transportasi

dalam rangka percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang

dimulai dari tahun 2007 hingga 2009. Pembangunan infrastruktur ini merupakan

sektor prioritas karena luas dan jangkuan daerah kedua provinsi ini 421.981 km2,

dengan kondisi topografi yang berupa pegunungan dibagian tengah dan daerah

dataran yang luas berupa rawa di wilayah pantai, dengan jumlah penduduk

berjumlah 2.576.822 jiwa (dengan kepadatan rata-rata 6 orang/Km2) dan 70%

bermukim di daerah kampung dan pegunungan terpencil yang masih terbatas

pelayanan infrastruktur transportasi dan aspek lainnya. Sementara potensi alam

yang dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian daerah dan nasional

cukup menjanjikan. Disamping itu daerah ini berbatasan dengan 4 negara:

bagian utara berbatasan dengan Negara Palau dan Negara Guam, sebelah timur

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 7

Page 8: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

berbatasan dengan Negara Papua Nugini dan sebelah selatan berbatasan

dengan Negara Australia, daerah perbatasan ini merupakan teras depan negara

yang perlu diakses sarana dan prasaranan transportasi yang berpotensi sebagai

pintu dagang antar negara.

4.1.3 Pembagian Kewenangan Penanaman Modal dan Investasi

A. Dasar Penentuan Urusan dan Kewenangan Pemerintah (PP 38/2007)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

mengamanatkan pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi

urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan

antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan

terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan

pemerintah pusat dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar

tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang

sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi,

dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar

tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan

pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan

Pemerintah.

Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat

konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan

pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah

kabupaten/kota.

Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan

yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 8

Page 9: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan

tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas

dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat

pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling

berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut.

Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas

Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa

penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala

ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib

mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam

menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut,

semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan

akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi

dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan

demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.

Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana

tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan

juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria

pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas

dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.

Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi

sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi

norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan

urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

B. Pembagian Urusan Pemerintah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang menjadi kewenangan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 9

Page 10: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib

adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan

daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,

seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,

kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan

adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah

untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi

unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan

pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh

pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang

bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang

bersangkutan. Urusan wajib pemerintah baik pusat, Propinsi, maupun Kabupaten

Kota meliputi (pp 38, 2007, Pasal 7(2)):

Pendidikan

Kesehatan

Lingkungan hidup

Pekerjaan umum

Penataan ruang;

Perencanaan pembangunan

Perumahan

Kepemudaan dan olahraga

Penanaman modal

Koperasi dan usaha kecil dan menengah

Kependudukan dan catatan sipil

Ketenagakerjaan

Ketahanan pangan

Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

Keluarga berencana dan keluarga sejahtera

Perhubungan

Komunikasi dan informatika

Pertanahan

Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 10

Page 11: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,

perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian

pemberdayaan masyarakat dan desa

sosial

Kebudayaan

Statistik

Kearsipan

Perpustakaan

Sedangakan urusan pilihan berdasarkan PP No 38 Tahun 2007 Pasl 7 (4)

meliputi:

Kelautan dan perikanan

Pertanian

Kehutanan

Energi dan sumber daya mineral

Pariwisata

Industri

Perdagangan

Ketransmigrasian

Berdasarkan uraian tersebut, maka, Penanaman Modal merupakan urusan wajib

bagi pemerintahan provinsi, termasuk pemerinah Provinsi Papua Barat. Untuk

lebih jelasnya pembagian urusan pemerintahan bidang penanaman modal pada

masing masing kewenangan (pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota)

dapat dilihat pada tabel berikut.

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 11

Page 12: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Tabel 4-1 Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal

SUB BIDANGSUB SUB BIDANG

PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

1. Kebijakan Penanaman Modal

1. Kebijakan Penanaman Modal

1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal

3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:

(1) Bidang usaha yang tertutup.(2) Bidang usaha yang terbuka dengan

persyaratan.(3) Bidang usaha yang menjadi prioritas

tinggi dalam skala nasional.(4) Penyusunan peta investasi Indonesia,

potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.

(5) Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.

4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang penanaman modal

1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah.

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah.

3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:(1) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu

dipertimbangkan tertutup.(2) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang

perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.

(3) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.

(4) Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.

(5) Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan provinsi.

4. Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada

1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.

2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.

3. Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi:

(1) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.

(2) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.

(3) Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota.

(4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.

(5) Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 12

Page 13: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

SUB BIDANGSUB SUB BIDANG

PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

nasional yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal

1. Kerjasama Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal.

2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.

1. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.

2. Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.

1. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Promosi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.

2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.

2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.

3. Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.

2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

3. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.

3. Pelayanan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 13

Page 14: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

SUB BIDANGSUB SUB BIDANG

PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

2. Melayani dan memfasilitasi:a. Penanaman modal terkait dengan

sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

b. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

d. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

e. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan

f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.

3. Pemberian izin usaha kegiatan

penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi

kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2. —

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.

4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.

pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2. —

3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 14

Page 15: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

SUB BIDANGSUB SUB BIDANG

PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

kewenangan Pemerintah.

5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.

5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.

kabupaten/kota.

5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional.

2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi.

2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah kabupaten/kota.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota.

2. Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan pemerintah provinsi.

5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional.

2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional.

4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.

1. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi.

2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota.

3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi.

4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

1. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota.

2. Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi.

3. Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota.

4. Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.

6. Penyebar-luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.

2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas

1. Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal.

2. Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 15

Page 16: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

SUB BIDANGSUB SUB BIDANG

PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Modal 2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;

3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.

kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.

negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.

3. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota.

Sumber: Lampiran Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 16

Page 17: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

4.1.4 Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan UU Penanaman Modal

No.25/2007

Pemerintah Indonesia telah banyak berupaya meningkatkan investasi riil di

Indonesia, yaitu dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi 2008-2009

yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program

Ekonomi 2008-2009. Paket ini memuat berbagai kebijakan ekonomi yang dapat

dikelompokkan ke dalam 8 bidang, yakni kebijakan perbaikan iklim investasi,

kebijakan ekonomi makro dan keuangan, kebijakan ketahanan energi, dan

kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian.

Sebelumnya, pada akhir Februari 2006, pemerintah mengeluarkan paket

kebijakan investasi dalam bentuk Inpres No. 3 Tahun 2006. Paket kebijakan

Perbaikan Iklim Investasi itu mencakup lima aspek yaitu:

1. Bidang umum termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi,

sinkronisasi peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan

mengenai kewajiban amdal;

2. Bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus barang,

pengembangan peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan,

dan debirokratisasi di bidang cukai;

3. Perpajakan termasuk insentif perpajakan untuk investasi, melaksanakan

system “melakukan pengkajian sendiri” secara konsisten,revisi pajak

pertambahan nilai untuk mempromosikan ekspor, melindungi hak wajib

pajak, dan mempromosikan transparansi dan “disclosure”;

4. Ketenagakerjaan yang mencakup penciptaan iklim hubungan industrial

yang mendukung perluasan lapangan tenaga kerja, perlindungan dan

penempatan TKI di luar negeri., penyelesaian berbagai perselisihan

hubungan industrial secara cepat, murah, dan berkeadilan, mempercepat

proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan, penciptaan pasar tenaga

kerja fleksibel dan produktif, dan terobosan paradigma pembangunan

transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan

5. Bidang usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 17

Page 18: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Dari program-program yang terdapat dalam paket kebijakan investasi tersebut,

salah satu yang menjadi fokus program adalah pembentukan perusahaan dan

izin usaha. Masalah pelayanan perizinan, selama beberapa tahun belakangan

ini, memang sering dikeluhkan oleh pengusaha karena pelayanan perizinan di

Indonesia sebelum dan sesudah otonomi daerah membawa implikasi pada

pungutan yang lebih besar dan biaya resmi. Biaya pungutan dan mekanisme

prosedur perizinan ini merupakan biaya traksaksi. Karena biaya transaksi terlalu

tinggi, dampaknya menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Untuk menggairahkan

kegiatan investasi dan pelayanan investasi, pemerintah menawarkan konsep

pelayanan satu atap. Kegiatan investasi pelayanan satu atap ini lahir dengan

keluarnya Keppres No. 29 Tahun 2003. Lahirnya Keppres tersebut

dilatarbelakangi suasana euforia UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah. Desentralisasi disemangati secara berlebih, sehingga daerah dalam

meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) mengeluarkan berbagai perda

pajak dan retribusi daerah, yang pada akhirnya memberatkan dunia usaha dan

investasi.

Mungkin upaya pemerintah meningkatkan investasi riil di dalam negeri mencapai

klimaksnya pada saat UU Penanaman Modal No.25, 2007 diterbitkan. Dalam

Pasal 4-nya, pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:

1. Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman

modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan

2. Mempercepat peningkatan penanaman modal.

Dalam menetapkan kebijakan dasar tersebut, pemerintah memberi perlakuan

yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing

dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; menjamin kepastian hukum,

kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses

pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan membuka

kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha

mikro, kecil, menengah, dan koperasi.

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 18

Page 19: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek

penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban

investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor)

yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan

kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek

tersebut yang selama ini merupakan dua masalah serius yang dihadapi

pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap

kegiatan penanaman modal di Indonesia jika dilaksanakan denga baik sesuai

ketentuannya di UU PM tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan

terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan

nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang

dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan

nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan

sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan

investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah,

dan cepat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah,

karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara

lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman

modal (Tambunan, 2007).

Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi

faktor-faktor lain (seperti kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel,

kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim perdagangan yang kondusif dan

ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam negeri

akan mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin

berinvestasi di sebuah wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap

melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan waktu lama untuk

memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan

biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi

akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin

usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap.

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 19

Page 20: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal:

menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha

bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan

berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak

berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah satu penghambat

investasi, khusunya PMA, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh

LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi

pengusaha dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan

birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta

perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul

secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia.

Terakhir, Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman

modal di Indonesia, ada tiga hal yang perlu dipahami. Hal pertama, ijin investasi

tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu

paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha.

4.1.5 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 Tentang Pemberian

Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal di Daerah

Dalam PP No. 45 Tahun 2008 dijelaskan mengenai Pemberian Insentif dan

Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Peraturan ini menjelaskan mengenai

Pemberian Insentif dan Kemudahan bagi investor di daerah, prinsip-prinsip

pelaksanaannya, bentuk-bentuk insentif dan kemudahan yang diberikan, kriteria

pemberian insentif dan kemudahan, serta penjelasana bagaimana peranan

Perda dalam menunjang kebijakan-kebijakan yang termuat dalam PP tersebut.

Seperti tercantum dalam Pasal 3 PP No. 45 Tahun 2008 bahwa pemberian

insentif dapat berupa (a) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak

daerah; (b) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (c)

pemberian dana stimulan; dan/atau (d) pemberian bantuan modal. Sedangkan

untuk pemberian kemudahan dapat berupa (a) penyediaan data dan informasi

peluang penanaman modal; (b) penyediaan sarana dan prasarana; (c)

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 20

Page 21: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

penyediaan lahan atau lokasi; (d) pemberian bantuan teknis; dan/atau (e)

percepatan pemberian perizinan.

Pemberian insentif dan pemberian kemudahan diberikan kepada penanam

modal yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

a. Memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat;

b. menyerap banyak tenaga kerja lokal;

c. Menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal;

d. Memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;

e. Memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto;

f. Berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;

g. Termasuk skala prioritas tinggi;

h. Termasuk pembangunan infrastruktur;

i. Melakukan alih teknologi;

j. Melakukan industri pionir

k. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan;

l. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;

m. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; atau

n. Industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang

diproduksi di dalam negeri.

Selain itu dalam pasal 7 PP No. 45 Tahun 2008, peranan Perda pun turut

dijelaskan bahwa pemberian insentif dan pemberian kemudahan penanam modal

harus sekurang-kurangnya berisi tentang (a) tata cara pemberian insentif dan

pemberian kemudahan; (b) kriteria pemberiarl insentif dan pemberian

kemudahan; (c) dasar penilaian pemberian insentif dan pemberian kemudahan;

(d) jenis usaha atau kegiatan penanaman modal yang diprioritaskan memperoleh

insentif dan kemudahan: (e) bentuk insentif dan kemudahan yang dapat

diberikan; dan (f) pengaturan pembinaan dan pengawasan.

Dalam pelaksanaannya, penerapan PP No. 45 Tahun 2008 dan Perda yang

mendukungnya harus benar-benar diawasi dan dievaluasi seperti yang tercantum

dalam PP No. 45 Tahun 2008 tersebut. Laporan harus diberikan paling sedikit

satu tahun sekali kepada Kepala Daerah dan Kepala Daerah pun melakukan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 21

Page 22: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

evaluasi terhadap pemberian insentif dan kemudahan tersebut paling sedikit satu

tahun sekali.

4.1.6 Peraturan Presiden No.13 Tahun 2010 tentang Kerjasama

Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

Kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur saat

ini lebih dikenal dengan konsep Public Private Partnership. Menurut William J.

Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPP adalah ”an

agreement or contract, between a public entity and a private party, under which :

(a) private party undertakes government function for specified period of time, (b)

the private party receives compensation for performing the function, directly or

indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the

function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred

or made available to the private party.”

Di Indonesia, jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan

Usaha mencakup:

a. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan,

penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana

perkeretaapian;

b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;

c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;

d. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku,

jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum;

e. infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan

pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi

pengangkut dan tempat pembuangan;

f. infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi

dan infrastruktur e-government;

g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk

pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau

distribusi tenaga listrik;

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 22

Page 23: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

h. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi

minyak dan gas bumi.

Gambar 4.1 Proses Public Private Partnership

Dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan PPP dilakukan

diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing

(competition). Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparency

and competition, manfaat yang dapat diraih adalah :

Terjaminnya mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market

prices);

Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;

Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan

pembiayaan tanpa sovereign guarantees;

Mengurangi risiko kegagalan proyek;

Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan

berkualitas tinggi;

Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 23

Page 24: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Dalam Perpres yang sama juga dijelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PPP

adalah untuk:

mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui

pengerahan dana swasta;

meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan

sehat;

meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan

infrastruktur serta

mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang

diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.

4.1.7 Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

Pemberian kemudahan penanaman modal dalam bentuk percepatan pemberian

perizinan diselenggarakan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP).

Pelayanan Terpadu Satu Pintu merupakan pelaksanaan Permendagri 24 tahun

2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP); Sistem

pelayanan ini dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi

melalui peningkatan investasi, sesuai Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006

tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.

Tingginya tingkat kesulitan masyarakat dalam mengurus/memperoleh dokumen

perijinan maupun non perijinan dari pemerintah, disinyalir terkait dengan

panjangnya rantai birokrasi dan banyaknya instansi yang bertanggung jawab

terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, peningkatan iklim investasi diusahakan

melalui pemangkasan rantai birokrasi pelayanan publik, yang juga diaplikasikan

pada pelayanan dokumen non perijinan.

Bentuk pelayanan terpadu satu pintu (penyederhanaan pelayanan) yang

diarahkan oleh Pemerintah untuk dilaksanakan di daerah adalah pembentukan

Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yang

memiliki:

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 24

Page 25: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

i. Loket/ruang pengajuan permohonan dan informasi;

ii. Tempat/ruang pemrosesan berkas;

iii. Tempat/ruang pembayaran;

iv. Tempat/ruang penyerahan dokumen; dan

v. Tempat/ruang penanganan pengaduan, sebagai sarana dan

vi. Prasarana pendukung mekanisme pelayanan.

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) bidang penanaman modal merupakan

kebijakan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP

dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan

pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.

Dalam Undang-Undang tersebut, PTSP diartikan sebagai kegiatan

penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat

pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan yang proses

pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya

dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Pengertian ini berbeda dengan

pengertian ”pelayanan terpadu satu atap”.

Dalam Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pengertian

”pelayanan terpadu satu atap” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan

dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai

keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan ”pelayanan

satu pintu” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang

meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani

melalui satu pintu.

PTSP di tingkat pusat dilakukan oleh lembaga yang berwenang di bidang

penanaman modal yang mendapat pendelegasian dari lembaga yang memiliki

kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat, provinsi atau

kabupaten/kota. Lembaga yang dimaksud disini adalah Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah

(BKPMD).

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 25

Page 26: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar

instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar

instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, maupun antar Pemerintah

Daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan

oleh BKPM.

Dalam melaksanakan PTSP, BKPM harus melibatkan perwakilan secara

langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai

kompetensi dan kewenangan. Dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2007 di atas, pada tingkat nasional telah terdapat

“payung” bagi pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu. Hal yang berkaitan

dengan apa itu pelayanan terpadu satu pintu, tujuan pembentukannya,

kelembagaannya, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah

diatur lebih tegas. Ketegasan ini dapat menciptakan kepastian bagi aparat

pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan tugasnya, kepastian bagi

penanam modal, dan kepastian bagi masyarakat umum.

4.1.8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2008

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007

Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di

Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak

Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau

di Daerah-daerah Tertentu, Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di

bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu dapat memperoleh fasilitas

Pajak Penghasilan. Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 dibentuk

sebagai bentuk penyesuaian terhadap cakupan bidang usaha dan daerah

tertentu yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang

Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha

Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu Dalam rangka lebih meningkatkan

kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi,

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 26

Page 27: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan untuk bidang usaha

tertentu dan/atau daerah tertentu yang sudah dilakukan oleh Wajib Pajak.

4.1.9 Daftar Negatif (DN)

Dalam Pasal 12 dari UU PM No.25/2007, disebutkan bahwa: (1) semua bidang

usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang

usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan

persyaratan; (2) bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

(a) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan (b) bidang

usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang; (3)

pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang

tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan

berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup,

pertahanan ,dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya; (4)

kriteria dan persyaratan bidang usaha. yang tertutup dan yang terbuka dengan

persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan

persyaratan masing-masing akan diatur dengan PP; dan (5) pemerintah

menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan

kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam,

perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,

pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi

modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk

pemerintah.

Berkaitan dengan butir (1) tersebut di atas, persyaratan untuk menentukan

bidang-bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka bagi kegiatan penanaman

modal ditentukan oleh persyaratan berdasarkan PP No. 76 Tahun 2007 dan

No.77 Tahun 2007. Berdasarkan dua PP tesebut, maka terdapat 25 bidang-

bidang usaha yang tertutup untuk penanam modal termasuk penanaman modal

asing, 43 bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk mikro, kecil, menengah

dan koperasi, 36 bidang usaha yang harus bermitra, 120 bidang usaha yang

diatur besarnya nilai modal asing, 19 bidang usaha yang diatur lokasinya, 25

bidang usaha yang harus memiliki izin khusus, 48 bidang usaha yang modal

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 27

Page 28: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

dalam negeri 100% dan 22 bidang usaha yang diatur pemilik modal dan

lokasinya.

4.1.10 Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Konteks Perdagangan dan

Investasi

Masalah lingkungan hidup tidak hanya masalah pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup saja, akan tetapi sudah merupakan bagian integral dari

masalah pembangunan. Masalah lingkungan hidup menjadi sesuatu yang lintas

sektoral, multi displin, dan melibatkan semua lapisan masyarakat, serta sangat

terkait dengan masalah-masalah global lainnya termasuk liberalisasi

perdagangan dunia.

PBB mengadakan konferensi mengenai lingkungan hidup untuk pertama kalinya,

yang kemudian dikenal dengan The United Nations Conference on the Human

Environment pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia dan merupakan sejarah

penting dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup global. Dalam konferensi

tersebut dihasilkan kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep

pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup

diidentikkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan yang

masih rendah dan pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi

penyebab utama kerusakan lingkungan hidup didunia. Sedangkan dalam

dokumen konfrensi Stockholm tersebut, The Control of Industrial Pollution and

International Trade secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali

kebijakannya (Fithriani, 2004?). Tahun 1992 dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro,

menjadikan persoalan lingkungan hidup ini semakin jelas dengan adanya

hubungan antara ekonomi perdagangan dan lingkungan hidup dengan adanya

pembahasan tentang kesepakatan hambatan non-tariff dalam perdagangan

sebagai kontrol terhadap produk ekspor yang menyebabkan kerusakan

lingkungan hidup.(Hernandez, 2000).

Seperti yang dijelaskan oleh Soemarno (2004) di dalam makalahnya, keterkaitan

antara dunia usaha, termasuk perdagangan internasional dan investasi, dan

lingkungan telah disadari sejak dilaksanakannya konferensi Stockholm tersebut,

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 28

Page 29: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

yang dilanjutkan di Nairobi pada tahun 1982. Konperensi tersebut melahirkan

pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali akan

mempengaruhi kelangsungan dunia usaha. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti

dengan pembentukan United Nations Environment Program (UNEP) dan World

Commission on Environment and Development (WCED). Sebagai upaya

pencegahan pencemaran secara sistematik, pada bulan Mei 1989 UNEP

memperkenalkan program “produksi bersih”, yang diajukan secara resmi pada

bulan September 1990 pada seminar mengenai the Promotion of Cleaner

Production" di Cantebury, lnggris.33

Selain itu, untuk pertama kalinya, istilah ”pembangunan berkelanjutan”

diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 yang mencakup

pengertian bahwa kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem

pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya

diselenggarakan United Nations Conference on Environment and Development

(UNCED)" di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Menindaklanjuti gagasan

tersebut, lnggris mengeluarkan standar pengelolaan lingkungan yang pertama

kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Komisi Uni

Eropa (UE) mulai memberlakukan Eco-Management and Audit Scheme (EMAS)

pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali

ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai

mengembangkan standarisasi pengelolaan lingkungan.34

Khusus untuk bidang kehutanan, dalam pertemuan ke delapan ITTO

(International Tropical Timber Organization) di Bali pada tahun 1990, telah dibuat

suatu komitmen bagi terlaksananya hutan yang lestari yang harus tercapai paling

lambat tahun 2000. Selanjutnya, mulai tahun 2000 dilakukan pemberian label

atau sertifikat bagi produk yang terbuat dari kayu tropis (Adi, 2007).

Di tingkat internasional, atas dorongan kalangan usaha, International

Standardization Organization (ISO) dan International Electrotechnical

Commission (IEC) membentuk Strategic Advisory Group on the Environment

(SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO akan

perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 29

Page 30: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku

secara internasional.

Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas

mengembangkan standar pengelolaan lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri

14000.35Standar yang dikembangkan mencakup rangkaian enam aspek, yaitu:

(1) sistem manajemen lingkungan; (2) pemeriksaan lingkungan; (3) pemberian

label lingkungan terhadap produk, (4) evaluasi kinerja linkungan; (5) analisis

tentang daur hidup produk dari bahan mentah; dan (6) terminology dan definisi

(TD).36

Keterkaitan antara perdagangan internasional dan perlindungan lingkungan di

bahas dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannerburg, Afrika Selatan

pada tanggal 26 Agt – 4 Sept 2002. Di dalam pertemuan tersebut, dikatakan

bahwa NSB (termasuk Indonesia) belum siap mengadopsi standar lingkungan

yang diterapkan oleh negara-negara maju NM. Ketidaksiapan dikarenakan

keterbatasan finansial, SDM dan prioritas pada pembangunan menyebabkan

penerapan standar yang berbeda tidak dapat dihindarkan

Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat kegiatan ekonomi,

termasuk perdagangan dan investasi, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan.

Pertama, pendekatan regulasi yakni perintah dan pengawasan oleh pemerintah.

Ini merupakan perangkat yang diterapkan oleh pemerintah melalui baku mutu

lingkungan dan program lain. Kedua, pendekatan masyarakat (termasuk dunia

usaha), yakni melaksanakan peraturan sendiri. Ini merupakan tindakan proaktif

dalam pencegahan pencemaran oleh perusahaan yang membawa keuntungan

adanya kelenturan pada perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang

sesuai dengan kondisi perusahaannya. Ketiga, pendekatan ekonomi yang dapat

dilakukan melalui pemberian insentif, disinsentif, dan izin memperdagangkan

emisi. Untuk yang terakhir ini, industri diberi hak menggunakan jasa lingkungan

untuk membuang limbah; hak ini dapat diperjual-belikan. Fungsi utama perangkat

ekonomi di sini adalah untuk menciptakan sebuah perubahan perilaku dengan

cara menghukum atau memberi penghargaan secara moneter.

Berhubungan dengan beberapa pasal dalam kesepakatan GATT/WTO mengenai

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 30

Page 31: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

liberalisasi perdagangan dunia., pelaksanaan ketentuan-ketentuan untuk

melindungi lingkungan hidup bisa menimbulkan persoalan Misalnya, Indonesia

sebagai salah satu negara anggota WTO mengeluarkan suatu kebijakan untuk

melindungi lingkungan hidup di dalam negeri, yang tidak hanya mempengaruhi

daya saing produk domestik relatif terhadap produk impor, tetapi bisa juga

menjadi suatu hambatan non-tarif (NTB) terhadap barang-barang impor, dan hal

ini bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip GATT/WTO. Bisa bertentangan

apabila, misalnya, Indonesia mengenakan tarif diskriminatif terhadap produk-

produk impor yang tidak memenuhi persyaratan lingkungan hidup yang

diterapkan Indonesia. Padahal dalam Pasal I, WTO, mengenai most favored

nation (non-diskriminasi terhadap produk sesama negara anggota WTO)

dinyatakan bahwa apabila negara melakukan penurunan tarif/memberikan

fasilitas/ kemudahan untuk komoditi impor tertentu dari suatu negara, maka

secara otomatis berlaku juga kepada negara-negara lain yang memenuhi syarat

untuk mendapatkan perlakuan yang menguntungkan. Juga masalah bisa muncul

jika kebijakan lingkungan hidup dikaitkan dengan Pasal III mengenai national

treatment (non diskriminasi antar produk serupa dari luar negeri) yang isinya

adalah: apabila suatu produk impor telah memasuki suatu wilayah negara karena

diimpor, maka produk impor ini harus mendapat perlakuan yang sama, seperti

halnya perlakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang serupa/produk

lokal. Namun, Pasal XX (General Exception) memberikan keterkecualian

terhadap Pasal I dan Pasal III tersebut untuk tujuan kesehatan dan konservasi.

Juga, Pasal XI mendukung kebijakan lingkungan hidup mengenai pelarangan

atau pembatasan kuantitatif atas ekspor dan impor, misalnya untuk barang-

barang berbahaya atau ekspor kayu jati yang sudah hampir punah di dunia atau

ekspor binatang-binatang langkah.

CITES mengatur soal pembatasan atau pelarangan ekspor spesies yang

terancam punah untuk dijual komersial melalui penetapan kuota atau pajak

ekspor atau dengan cara lain. Konvensi Basel mengatur pembatasan atau

pelarangan perdagangan limbah. Perdagangan antar negara atau regional

memungkinkan mengimpor jasa lingkungan, termasuk pengolah limbah dari

manapun. Akibatnya perdagangan bebas dapat mengakibatkan kerusakan,

karena setiap negara dapat memperluas kemampuan kapasitas regenerasi dan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 31

Page 32: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

absorbsinya dengan mengimpor kapasitas dari negara lain. lni berarti bahwa

suatu negara dapat memutuskan menghindari skala ekologis melalui

perdagangan dan dapat bergantung pada negara lain yang berkemampuan

untuk mengadopsikan skala di mana negara pengimpor mencoba

menghindarkannya. Oleh karena itu, perdagangan limbah yang tidak sesuai

dengan aturan dan kesepakatan pada Konvensi Basel, apabila dianggap dapat

merusak dan merugikan kepentingan Indonesia seyogianya ditolak. Sedangkan,

Protokol Montreal (PM) mengatur pengurangan konsumsi dan produksi Ozone

Depletion Substance (ODS) secara bertahap dan diterapkan secara berbeda. PM

ini berisih sejumlah pengawasan terhadap perdagangan antar negara/wilayah,

yang mempunyai dua motivasi: (1) untuk menarik banyak negara untuk

bergabung, dan (2) jika banyak negara tetap di luar (tidak bergabung),

pengawasan-pengawasan tersebut akan meminimalkan kebocoran, perpindahan

dari produk-produk yang dilarang ke negara-negara yang tidak ikut bergabung

(Brack, 1996).

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina tentang perlindungan

lapisan ozone, Montreal Protocol serta amandemen Wina melalui Keppres No 23

tanggal 13 Mei 1992. Tujuan dari konvensi Wina tersebut adalah untuk

melindungi lapisan ozone dari kerusakan akibat kegiatan manusia. Montreal

Protocol membuat jadwal untuk penghapusan produksi dan membatasi konsumsi

global CFC dan Halon dari 5 macam CFC dan 3 kelompok Halon.

Upaya lainnya yang telah/sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam

kaitannya dengan lingkungan hidup terkait dengan kegiatan ekonomi adalah

kebijakan standardisasi produk Indonesia. Ada sejumlah langkah yang dilakukan

pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk nasional

melalui konsep standardisasi, dua diantaranya adalah Standar Nasional

Indonesia (SNI) dan Ekolabel (Adi, 2007). Landasan hukum dari SNI adalah: (1)

PP No.102/2000 tentang standardisasi nasional; (2) ISO/IEC Guide 2/1996

tentang standardisasi dan kegiatan-kegiatan terkait (general vocabulary); (3)

ISO/IEC Guide 7/1996 tentang Guidelines for Drafting of Standards Suitable for

Use for Conformity Assessment; (4) ISO/IEC Guide 5/1996 tentang aspek-aspek

keselamatan (Guidelines for Their Inclusion in Standards); (5) PSN tentang

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 32

Page 33: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Panitia Teknis Perumusan SNI; (6) PSN tentang adopsi standar internasional

menjadi SNI; dan (7) PSN tentang penulisan SNI.

Seperti yang dijelaskan di Adi (2007), pada dasarnya SNI dimaksudkan agar

dalam lingkup nasional produk-produk yang sejenis mempunyai standar yang

sama sehingga mudah dalam pemakainnya. Adapun tujuan dari Program

Nasional Pengembangan SNI (PNPS) adalah untuk melindungi keselamatan

manusia, kesehatan masyarakat, keamanan, kelestarian fungsi lingkungan hidup,

kelancaran perdagangan serta keperluan lainnya.

Penerapan ekolabel di Indonesia hingga saat ini belum meluas, baru di sektor

kehutanan. Ekolabel adalah label lingkungan (atau sertifikasi dalam kaitannya

dengan masalah lingkungan) pada suatu produk yang merepesentasikan bahwa

produk tersebut dapat didaur ulang, ramah lingkungan, hemat energi dan

terdapat kandungan bahan-bahan daur ulang (Fitria, 2007). Menurut Adi (2007),

salah satu pertimbangannya adalah karena kerusakan hutan yang sudah sangat

parah sebagai akibat dari pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Pada tahun

1993 dibentuk kelompok kerja ekolabel Indonesia untuk membahas, mencari dan

memantapkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari. Pada

Februari 1998 dibentuk secara resmi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang

bersifat independen dan nirlaba. Tujuannya adalah dalam rangka

memperjuangkan terselenggaranya pengelolaan SDA dan lingkungan hidup

secara adil dan lestari melalui penerapan sistem sertifikasi/ekolabel yang

kredibel. Terdapat lima kegiatan/misi dari LEI: (1) mengembangkan sistem

sertifikasi pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang berkelanjutan (sebut

SDA-LH); (2) mengembangkan sistem akreditasi yang mengawasi

penyelenggaraan sistem sertifikasi pengelolaan SDA-LH; (3) mengembangkan

kapasitas SDM dan kelembagaan sistem sertifikasi pengelolaan SDA-LH; (4)

memastikan pelaksanaan sistem sertifikasi/ekolabel yang kredibe;dan (4)

mendorong terciptanya kebijakan pengelolaan SDA-LH yang berkelanjutan (Adi,

2007).

Purwanto (2007) mengidentifikasi berbagai kebijakan penerapan ekolabel yang

sudah ada di Indonesia hingga saat ini. Diantaranya: UU No.23/1997 tentang

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 33

Page 34: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

pengelolaan lingkungan hidup Pasal 10 huruf e; UU No.8/1999 tentang

perlindungan consumen; stándar ISO 14020 tentang prinsip umum ekolabel dan

deklarasi lingkungan; dan ISO 14024 tentang panduan ekolabel tipe 1.

Menurutnya, ekolabel dalam implementasinya banyak menggunakan tipe 1 ini

yang masih bersifat sukarela dan proses sertifikasinya banyak melibatkan pihak-

pihak yang berkepentingan yang dilakukan secara transparan dan obyektif

melalui proses pengujian yang komprehensif dengan memperhatikan daur hidup

produk.40

Belum meluasnya penerapan ekolabel di Indonesia disebabkan oleh banyak

faktor. Menurut Firdausy (2007), penggunaan tipe 1 seperti yang dimaksud di

atas (sukarela) sebagai salah satu penyebabnya. Selain itu, baik menurut

Firdausy maupun suatu laporan dari Bank Dunia (2007), penyebab lainnya

adalah: (1) belum ada sertifikasi yang sesuai model pengelolaan hutan rotan

hingga saat ini, (2) sistem hukum di Indonesia belum mampu mendukung

pengelolaan hutan lestari. Hal ini, menurutnya, antara lain karena penetapan

hukum ini sangat berkaitan dengan masalah tanah pemilikan adat, (3) sistem

resolusi konflik belum berjalan secara efektif, (4) biaya sertifikasi yang sangat

mal, dan (5) belum adanya apresiasi masyarakat terhadap produk dalam negeri

yang bersertifikasi ekolabel.

Sedangkan menurut Sarjono (2005), ada sejumlah alasan. Pertama, tim skema

ekolabel baru berhasil menyusun kriteria ekolabel hanya untuk 5 jenis produk

manufaktur: serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga, tekstil dan

produk tekstil (TPT), yertas cetak, produk kulit jadi dan sepatu casual. Kedua,

masih ada keraguan dalam memilih sistem sertifikasi ekolabel stándar ketat

(biayanya tinggi) atau stándar tidak ketat (biayanya rendah). Ketiga, proses

penetapan produk ekolabel berbiaya tinggi yang bisa mengakibatkan daya saing

dari produk tersebut menurun.

Dalam bidang kehutanan, pemerintah mempunyai beberapa kebijakan. Pertama,

peraturan tentang tebang pilihan, disebut Tebangan Pilihan Indonesia (TPI).

Dengan TPI ini, tebangan pon didasarkan atas daur 35 tahun, di mana beberapa

bagian dari konsesi hutan ditebang menurut urutan berbagai blok di konsesi

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 34

Page 35: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

tersebut, dan di mana pon-pohon di bawah ukuran tertentu tidak boleh ditebang

sampai mereka mencapai ukuran pon dewasa (Harjono, 1994; Thee Kian Wie,

2007). Kedua, kebijakan hutan tanaman industri (HTI) yang diintrodusir pada

tahun 1987. Tujuannya untuk mendorong pembukuan perkebunan kayu dengan

menyediakan kredit murah yang diperoleh dari dana reboisasi (Ascher, 1993).

Ketiga, kebijakan royalti dan pajak. Selama ini karena pajak atas rente SDA yang

demikian rendah, maka para pemegang konsesi hutan cenderung untuk

melakukan ekspoitasi hutan yang berlebihan. Diharapkan dengan membayar

pajak yang lebih tinggi atas rente SDA, mereka tidak akan menebang pohon

berlebihan jika tidak perlu (Thee Kian Wie, 2007). Keempat, kebijakan subsidi

reboisasi yang diperkenalkan pada tahun 1980. Subsidi ini dibiayai dari

pembayaran sumbangan wajib atau uang muka kepada Departemen Kehutanan

oleh para pemegang konsesi hutan atas jumlah kayu yang ditebang. Tujuannya

agar para pemegang konsesi tersebut menanam kembali pohon-pohon yang

telah ditebang untuk mendapat kembali sumbangan wajib mereka (Thee Kian

Wie, 2007).41Relima, dalam upaya memberikan landasan hukum untuk

memberantas penebangan kayu secara ilegal, pada tahun 2005 telah

dikeluarkan Inores No.4/2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara

ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia. Inores

ini memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, 15

pejabat setingkat menteri serta semua gubernur dan bupati/walikota untuk

memberantas pembalakan liar (Thee Kian Wie, 2007).

Sudah ada sejumlah penelitian yang dilakukan selama ini yang salah satunya

memfokus pada efek dari semua kebijakan kehutanan terhadap kelestarian

kehutanan di Indonesia. Semua studi tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan

kehutanan di Indonesia pada umumnya justru mendorong kerusakan

hutan.42Menurut Sambodo (2006), misalnya, kelemahan kelembagaan adalah

suatu faktor pokok yang telah menyebabkan bahwa pengelolaan kawasan hutan

yang lestari tidak berjalan atau kurang efektif. Sedangkan menurut Thee Kian

Wie (2007), berdasarkan berita di Kompas (5/7/2007), pelaksanaan Inores

No.4/2005 yang dibahas tersebut di atas hingga saat ini belum membawa hasil

yang diharapkan. Salah satu sebab adalah bahwa banyak dokumen Surat

Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) palsu telah dikeluarkan oleh aparat

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 35

Page 36: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

kehutanan daerah yang korup. Selain itu, ada dugaan kuat tentang manipulasi

data oleh perusahaan.

Sementara, Fitria (2007) melakukan suatu evaluasi mengenai penerapan prinsip-

prinsip ekolabel pada perkebunan kelapa sawit, dengan fokus telaahnya dari

pelaku usaha. Pertanyaan penelitiannya ada dua: (1) apakah perangkat

ketentuan ISO 14001 yang selama ini dijadikan rujukan oleh pengusahan

perkebunan sudah dilaksanakan sebaik-baiknya? (2) apakah prinsip-prinsip

RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil), yang merupakan kriteria lingkungan

dalam aspek bisnis kelapa sawit, yang dikeluarkan pada tahun 2003, juga sudah

diterapkan sebaik-baiknya? 43Dari hasil wawancaranya dengan sejumlah

perusahaan kelapa sawit, diketahui bahwa banyak perusahaan yang memang

selama ini sudah menerapkan prinsip dan kriteria RSPO tersebut dimulai saat

praktik pembersihan alang-alang untuk penyiapan lahan kelapa sawit dan

peremajaan.

Di sektor perikanan, ekspor ikan Indonesia menghadapi tantangan yang sangat

berat, khususnya dari Eropa (UE), yang berkaitan dengan berbagai tuntutan

untuk menjamin mutu, keamanan pangan, dan ketertelusuran setiap produk

bahan makanan, serta isu lingkungan dan keharusan equivalensi sistem mutu

yang didasarkan pada konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).

Hal ini mendorong Departemen Pertanian (deptan) menerapkan Program

Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMTHP) pada tahun 1992/93,

yang sejak tahun 1998 berubah nama menjadi Sistem Manajemen Mutu Terpadu

Hasil Perikanan (SMMTHP) melalu SK Mentan No.41/Kpts/IK.210/2/98 tentang

SMMTHP. SK ini diperbaharui dengan SK Menter Kelautan dan Perikanan No.

Kep.01/MEN/2002 tentang SMMTHP, yang mengatur bahwa sistem mutu hasil

perikanan dituangkan dalam bentuk sertifikasi. Keputusan ini kemudian ditambah

dengan ketentuan baru lewat UU No.31/2004 tentang perikanan yang memberi

peran lebih besar kepada bidang pengawasan mutu untuk meningkatkan kualitas

produk ekspor perikanan Indonesia di pasar global (Tjitroresmi, 2007).

Seperti yang dijelaskan oleh Tjitroresmi (2007), dalam sistem tersebut,

pengawasan mutu dilakukan sejak awal hingga akhir produk, seperti setiap

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 36

Page 37: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

produk perikanan harus memiliki bahan baku yang bagus, diangkut dengan

peralatan yang memenuhi standar keamanan pangan, diolah di pabrik yang

memenuhi persyaratan sanitasi teknik pengolahan ikan yang telah ditentukan

dalam sertifikasi kelayakan pengolahan, dan dikerjakan oleh orang yang sehat.

Oleh karena itu, ada 3 syarat yang harus terpenuhi: (1) sistem jaminan

manajemen mutu, (2) sistem jaminan keamanan pangan, dan (3) ketertelusuran

seluruh proses produksi secara terpadu. Hal ini dilakukan untuk merespon

ketentuan baru UE yang dikeluarkan pada tahun 2004, dan tertuang dalam

Council Directive No.91/493/EEC yang wajib diikuti oleh semua negara eksportir,

dan mulai resmi diberlakukan per 1 Januari 2006.

4.2 Analisis Kebijakan Penaman Modal untuk Provinsi Papua Barat

Permasalahan umum yang terjadi dalam hal kebijakan investasi di Provinsi

Papua Barat dijelaskan sebagai berikut:

a. Prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal.

Berdasarkan studi Bank Dunia pada tahun 2004, bila dibandingkan dengan

negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu

usaha dari berbagai instansi baik pusat maupun daerah di Indonesia

membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui

dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya

yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar US$

1.163). Sementara itu untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9

prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang

diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945).

Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya membutuhkan

waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-

masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160)

dari per capita income. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya

mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang

usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan

perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk

penciptaan lapangan kerja. Demikian juga yang terjadi di Provinsi Papua

Barat, belum adanya Dinas Penanaman Modal (saat ini masih berupa Biro

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 37

Page 38: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

Perekonomian dan Penanaman Modal) menjadi faktor utama yang

menambah lama pengurusan penanaman modal di Provinsi Papua Barat.

b. Rendahnya kepastian hukum.

Rendahnya kepastian hukum tercermin dari banyaknya tumpang tindih

kebijakan antar pusat dan daerah dan antar sektor. Belum mantapnya

pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran

kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi.

Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi

antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan

investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi.

Suatu studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi

Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002

pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan

peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk

menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan

pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa

penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan

lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (proporsinya: 38,1 persen

distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan 14,2 persen menunjang).

Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan

untuk biaya “tambahan atau pungutan liar” telah mencapai 11 persen dari

biaya produksi.

c. Lemahnya insentif investasi.

Pemerintah daerah dinilai relatif tertinggal dalam menyusun insentif

investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di

Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif

sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang

memberi kelonggaran-kelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong

investasi.

d. Kualitas SDM rendah dan terbatasnya infrastruktur.

Kurang bergairahnya iklim investasi di Provinsi Papua Barat juga disebabkan

oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side) dan kapasitas dari

sistem dan jaringan infrastruktur karena sebagian besar dalam keadaan

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 38

Page 39: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

rusak. Pengembangan manufaktur yang belum berbasis pada kemampuan

penguasaan teknologi dan masih relatif rendahnya kemampuan SDM tenaga

kerjanya memiliki implikasi yang tidak ringan. Sementara itu, keterbatasan

kapasitas infrastruktur berpengaruh pada peningkatan biaya distribusi yang

pada gilirannya justru memperburuk daya saing produk-produknya. Di

samping jaringan transportasi darat, satu contoh lain yang juga merupakan

masalah kunci adalah bottleneck di pelabuhan-pelabuhan karena

ketidakefisiensian pengelolaan pelabuhan dan urusan-urusan kepabeanan.

Dalam kaitannya dengan kebijakan investasi yang seperti yang telah dibahas

sebelumnya, maka terdapat beberapa temuan dari hasil penelaahan terhadap

kebijakan-kebijakan yang terkait dengan investasi di Provinsi Papua Barat,

diantaranya:

a. Dalam hal kewenangan yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah No 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,

pada saat ini terdapat beberapa kendala dalam hal menindaklanjuti

kebijakan tersebut, diantaranya:

Dari sisi kelembagaan, belum terbentuknya Dinas penanaman Modal di

Provinsi Papua barat, pada saat ini unsur lembaga penanaman modal

masih tergabung dalam kesekretariatan daerah dalam Biro

Perekonomian dan Investasi, Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat.

Dengan belum berdirinya dinas/kantor tersendiri tentunya mempunyai

hambatan dalam hal penyusunan program-program yang terkait dengan

investasi, sementara berdasarkan PP No 38 Tahun 2007 tersebut

merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk mengurus urusan

penanaman modal di wilayah Provinsi Papua Barat.

Aspek lain yang belum terpenuhi adalah aspek kebijakan penanaman

modal pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam mengatur

penanaman modal di Provinsi Papua Barat. Berdasarkan hasil survey

dan observasi masih belum ada tindak lanjut dari kebijakan nasional

yang diterapkan di Provinsi Papua Barat, misalnya untuk kebijakan satu

atap dan kebijakan satu pintu, masih belum bisa terealisasi di Provinsi

Papua Barat, hal ini juga berkaitan dengan faktor kelembagaan eksisting

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 39

Page 40: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

baik di lingkungan provinsi maupun di lingkungan kabupaten/kota

Dalam hal pelaksanaan kebijakan penanaman modal, hal ini juga belum

berjalan dengan baik., hal ini merupakan dampak dari belum jelasnya

kebijakan provinsi dalam penanaman modal. Dalam hal kerjasama

penanaman modal dalam tingkat provinsi masih belum efektif dalam

memfasilitasi kerjasama dunia usaha dibidang penananman modal, baik

yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional. Masih kurangnya

promosi dalam hal penanaman modal juga menjadi kendala dalam

menarik investasi dari luar untuk menginvestasikan modalnya di Provinsi

Papua Barat, hal ini dikabiatkan beberpa persoalan lain yang terkait,

misalnya infrastruktur yang kurang memadai, penerimaan masyarakat

adat, dan masalah sosial ekonomi lainnya.

Dalam hal pelayanan penanaman modal, masih dirasakan sangat

kurang dengan belum tersedianya layanan satu atap dan satu pintu di

Provinsi Papua Barat, selain itu juga belum adanya kajian, rumusan ,

dan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayananan terpadu satu

pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota

berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu

satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah

menjadi kendala dalam pemenuhan kabutuhan investor akan pelayanan

yang cepat, tepat dan murah.

Pengendalian pelaksanaan penanaman modal juga masih belum baik

dilaksanakan, hal ini dapat dilihat dari masih maraknya illegal logging

dan belum ada lembaga khusus dalam hal pengendalian pelaksanaan

penanaman modal.

Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal masih

sangat kurang, hal ini terasa apabila mencari data tentang investasi

yang masih belum terupdate atau masih menggunakan data lama,

pengelolaan data juga belum terpusat sehingga terkadang ada

penafsiran yang berbeda mengenai data antara satu instansi dengan

instansi lainnya.

Permasalahan lain yang menjadi mandat dalam PP No 38 Tahun 2007

adalah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib meningkatkan

kualitas sumber daya manusia melalui penndidikan dan pelatihan dalam

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 40

Page 41: Bab 4 Analisis Kebijakan FIX

2010

Laporan Akhir

bidang penanaman modal, sedangkan di provinsi papua barat selain

sulit untuk menaikkan kualitas sumber daya manusia, juga mempunyai

masalah dalam hal kuantitas sumber daya manusianya.

b. Kebijakan lain yang menunjang kegiatan investasi juga perlu diperhatikan,

terutama masalah infrastruktur yang mu tidak mau harus diakui masih

sangat kurang memadai di Provinsi Papua Barat. Meskipun terdapat Inpres

No 5 tahun 2007 Percepatan Pembanguan Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat masih belum dapat diimplementasikan dengan baik pada dua

provinsi tersebut, khususnya di Provinsi Papua Barat. Meskipun sudah

menunjukkan hasil, Inpres tersebut masih terkesan lamban dan

membingungkan di daerah. Pasalnya dari aturan tersebut optimalisasi

kebijakannya masih terdapat pada sektor-sektor tertentu yang kurang

mengakomodasikan kebijakan affirmative action dalam rangka mendukung

tujuan dan sasaran Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

Penyusunan Strategi Pengembangan Penanaman Modal dan Roadmap Investasi di Provinsi Papua Barat 41