bab 4

13
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pemeriksaan Histopatologi Perlemakan Hati Setelah dianalisis dari data pemeriksaan jumlah perlemakan sel hepatosit pada tikus wistar jantan (lampiran A), didapatkan hasil rata-rata jumlah perlemakan sel hepatosit pada gambar 4.1. K- K+ P1 P2 P3 2.24 6.16 5.24 6.04 3.48 Mean Perlemakan Hati Gambar 4.1 Histogram Jumlah Rata-Rata Perlemakan Hati Keterangan: K1 : Kelompok kontrol negatif (diet positif)

Upload: dedy-chandra-hariyono

Post on 17-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tesis

TRANSCRIPT

51

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil Pemeriksaan Histopatologi Perlemakan HatiSetelah dianalisis dari data pemeriksaan jumlah perlemakan sel hepatosit pada tikus wistar jantan (lampiran A), didapatkan hasil rata-rata jumlah perlemakan sel hepatosit pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Histogram Jumlah Rata-Rata Perlemakan HatiKeterangan: K1: Kelompok kontrol negatif (diet positif)K2: Kelompok kontrol positif (diet normal + kuning telur)P1: Diet normal+kuning telur+ekstrak kecambah 50 mg/200 grBB/hariP2: Diet normal+kuning telur+ekstrak kecambah 100 mg/200 grBB/hariP3: Diet normal+kuning telur+ekstrak kecambah 200 mg/200 grBB/hari

Rata-rata jumlah perlemakan hati K+ pada gambar 4.1 menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kelompok K- menunjukkan hasil terendah dibandingakn dengan perlakuan lainnya, hal ini menunjukkan diet kuning telur mempengaruhi kondisi perlemakan hati. Kelompok P1, P2, dan P3 dengan jumlah rata-rata 5,24; 6,04; 3,48 memiliki pengaruh dalam menurunkan jumlah perlemakan hati pada sel hepatosit dibandingkan dengan jumlah perlemakan hati pada kelompok K+. Data jumlah rata-rata perlemakan hati pada sel hepatosit merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak tauge terhadap kondisi histopatologi perlemakan hati nonalkoholik pada kelompok perlakuan P1, P2, dan P3 terhadap kelompok K+.

4.2 Analisis DataSyarat yang harus dimiliki oleh data penelitian agar dapat melakukan analisa data dengan uji parametrik One Way ANOVA adalah harus memiliki data yang terdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data sebelum melakukan analisis One Way ANOVA. Hasil uji normalitas dan homogenitas dapat dilihat pada lampiran B. Uji normalitas hasilnya menunjukkan data terdistribusi normal (p>0,05) dengan nilai signifikansi kelompok K- (0,243), kelompok K+ (0,305), kelompok perlakuan P1 (0,354), kelompok perlakuan P2 (0,875), kelompok perlakuan P3 (0,377). Kemudian dilanjutkan dengan uji homogenitas menggunakan uji lavenes test. Pada uji homogenitas menunjukkan data homogen (p>0,05) dengan nilai signifikansi 0,090.Data jumlah rata-rata perlemakan hati pada sel hepatosit telah memenuhi syarat untuk dilakukan uji One Way ANOVA (Lampiran B). Hasil uji One Way ANOVA diperoleh nilai significancy 0,01 (p0,05) yang menandakan bahwa distribusi data normal dan varians dari masing-masing datanya homogen (Budiarto, 2001).Dari hasil uji lanjutan dengan tes LSD pada tabel 4.1, dapat dilihat data masing-masing kelompok dibandingkan rata-rata data hasil jumlah sel hepatosit yang mengalami perlemakan hati satu sama lain. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat hasil yang signifikan antara kelompok K+ dan K-, hal ini menunjukkan bahwa diet kuning telur yang tinggi akan kandungan kolesterol dapat menciptakan model tikus perlemakan hati. Gambaran histopatologi kelompok K+ (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa sebagian besar hepatosit mengalami perlemakan, sinusoid tidak nampak dengan sel berbentuk tidak beraturan. Rata-rata jumlah sel hepatosit yang mengalami perlemakan sebanyak 30,8. Sedangkan gambaran histopatologi kelompok K- (Gambar 4.3) yang hanya diberikan diet normal menunjukkan gambaran yang berbeda signifikan dengan kelompok K+, dengan rata-rata jumlah sel hepar yang mengalami perlemakan sebanyak 11,2. Kondisi ini sesuai dengan penelitian sagi (2014) bahwa diet tinggi kolesterol dapat menyebabkan kondisi perlemakan hati.

Gambar 4.2 gambaran histopatologi kelompok K+ Gambar 4.3 gambaran histopatologi kelompok K-

Pemberian ekstrak tauge terhadap tikus wistar jantan yang diberi diet kuning telur selama 6 minggu telah menunjukkan perbaikan gambaran histopatologi perlemakan hati nonalkoholik yang diharapkan. Meskipun tidak didapatkan hasil yang signifikan antara kelompok K+ dengan kelompok P1 dan P2 yang diberikan dosis ekstrak tauge 50 dan 100 mg/200 grBB/hari (lampiran A), namun apabila dibandingkan dengan kelompok P3 maka didapatkan hasil yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak tauge mempunyai pengaruh terhadap gambaran histopatologi perlemakan hati, terutama pada kelompok perlakuan P3 yang diberikan dosis ekstrak tauge sebanyak 200mg/ 200 grBB/hari. Seperti yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka, pengaruh ekstrak tauge terhadap kondisi histopatologi perlemakan hati disebabkan karena nutrisi yang terkandung dalam tauge diantaranya fitosterol dan vitamin E sebagai antioksidan. Fitosterol sebagai suatu antioksidan bertindak sebagai scavanger radikal bebas dan secara fisik sebagai penyetabil membran (USDA, 2009). Sedangkan vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang mampu mengubah radikal peroksil menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak (Winarsi, 2007).Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat penurunan jumlah sel hepatosit di semua kelompok perlakuan. Namun melalui uji LSD terlihat bahwa, penurunan tersebut tidak sebanding dengan kenaikan pemberian dosis ekstrak tauge yang diberikan kepada hewan coba. Pada gambaran mikroskopis kelompok perlakuan P1 (Gambar 4.4) dengan dosis pemberian ekstrak tauge sebanyak 50 mg/200 grBB/hari terdapat penurunan rata-rata jumlah sel hepatosit yang mengalami perlemakan dibanding kelompok K+ yaitu 26,2 berbanding 30,8. Namun, rata-rata ini meningkat pada kelompok perlakuan P2 (Gambar 4.5) dengan dosis ekstrak tauge sebanyak 100 mg/200 grBB/hari sebanyak 30,2. Selanjutnya terjadit penurunan kembali rata-rata jumlah sel hepatosit secara signifikan ditunjukkan pada kelompok perlakuan P3 (Gambar 4.6) dengan dosis pemberian ekstrak tauge sebanyak 200 mg/200 grBB/hari.

Gambar 4.4 kondisi histopatologi hati kelompok perlakuan P1

Gambar 4.5 kondisi histopatologi hati kelompok perlakuan P2

Gambar 4.6 kondisi histopatologi hati kelompok perlakuan P3Hasil penurunan rata-rata jumlah perlemakan sel hepatosit pada kelompok perlakuan P2 yang tidak sebanding dengan kenaikan dosis pemberian ekstrak tauge dapat disebabkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Pertama, kondisi ini dapat disebabkan oleh rancangan penelitian yang digunakan. Penggunan rancangan penelitian post test only group design hanya melakukan pengambilan data setelah perlakuan, sehingga tidak dapat diketahui keadaan histologi sel hepatosit tikus karena tidak memungkinkannya dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap sel hepatosit tikus sebelum perlakuan. Metode post test only group design merupakan metode yang paling baik, namun mempunyai kelemahan pada pengukuran pretest. Sulit menentukan jika perbedaan pada akhir studi merupakan perbedaan aktual dari kemungkinan perbedaan pada permulaan studi. Dengan kata lain, randomisasi baik untuk mencampur subjek, tetapi tidak dapat menjamin randomisasai ini menciptakan kesamaan antara kedua kelompok (Jackson, 2010)Kedua, kondisi tersebut di atas dapat disebabkan oleh stress selama perlakuan. Stress yang terjadi dapat diakibatkan karea ketidaknyamanan akibat kondisi kandang yang tidak luas sehingga ruang gerak tikus terbatas. Pemicu stress yang lain dapat disebabkan oleh tehnik pemberian cairan melalui sonde. Proses penyondean dilakukan secara paksa sehingga tikus merasa tidak nyaman dan stress. Pada penelitian yang dilakukan Dewi dan Probosari (2012) menyatakan bahwa kelompok yang diberi pakan secara ad libitum mengalami penurunan kolesterol secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yan gdiberi pakan melalui sonde. Perubahan tersebut disebabkan oleh rendahnya tingkat stress. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa proses sonde dapat menyebabkan stress pada hewan coba (Belcombe et al., 2004). Terdapat korelasi positif antara stress dengan penurunan sistem imun baik spesifik ataupun non spesifik. Penurunan sistem imun mengakibatkan penurunan produksi antioksidan seperti glutation. Seperti yang telah diketahui bahwa tubuh menghasilkan radikal bebas secara alami dari proses metabolisme. Kurangnya jumlah antioksidan tubuh untuk menetralisir radikal bebas yang ada dapat menyebabkan stress oksidatif. Pada kondisi tubuh yang seperti ini, sel tubuh rentan untuk mengalami kerusakan akibat serangan dari benda asing maupun dari radikal bebas itu sendiri (Gunawan et al., 2009).