bab 4

9
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengkajian Kasus Klien Ny A usia 24 tahun datang ke Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dengan keluhan sulit buang air kecil. Klien merupakan pasien yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pasar minggu 4 hari yang lalu dengan cara spontan. Pada saat pengkajian awal didapatkan data sebagai berikut : keadaan umum klien tampak baik, kesadaran klien compos mentis, riwayat kehamilan klien G 1 P 0 A 0 . Tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg, N: 80x/menit, Suhu: 37 0 C, RR: 20x/menit. Klien juga tampak menggunakan DC dan urinenya tampak berwarna kuning jernih tanpa endapan. Pada vesika urinaria klien teraba keras dan penuh. Serta terdapat oedem pada pada ekstermitas bawah klien. Urifisium uretra klien tampak merah serta adanya luka hecting akibat episiotomi pada perineum. Sesekali klien tampak meringis kesakitan. Klien juga tampak bingung dan sering bertanya pada perawat tentang cara perawatan payudara dan teknik menyusui yang baik dan benar. Klien tampak khawatir karena ASI nya keluar tidak lancar. Dan pada pengakjian payudaranya tampak areola dan putting susu klien terlihat kotor. 62

Upload: pipit-sila-pricila

Post on 17-Dec-2015

258 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

cnx ncb

TRANSCRIPT

BAB IVPEMBAHASAN4.1 Pengkajian Kasus

Klien Ny A usia 24 tahun datang ke Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dengan keluhan sulit buang air kecil. Klien merupakan pasien yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pasar minggu 4 hari yang lalu dengan cara spontan. Pada saat pengkajian awal didapatkan data sebagai berikut : keadaan umum klien tampak baik, kesadaran klien compos mentis, riwayat kehamilan klien G1P0A0. Tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg, N: 80x/menit, Suhu: 370C, RR: 20x/menit. Klien juga tampak menggunakan DC dan urinenya tampak berwarna kuning jernih tanpa endapan. Pada vesika urinaria klien teraba keras dan penuh. Serta terdapat oedem pada pada ekstermitas bawah klien. Urifisium uretra klien tampak merah serta adanya luka hecting akibat episiotomi pada perineum. Sesekali klien tampak meringis kesakitan. Klien juga tampak bingung dan sering bertanya pada perawat tentang cara perawatan payudara dan teknik menyusui yang baik dan benar. Klien tampak khawatir karena ASI nya keluar tidak lancar. Dan pada pengakjian payudaranya tampak areola dan putting susu klien terlihat kotor.Pada saat masa kehamilannya klien rutin memeriksakan kehamilannya sebanyak 4 kali ke puskesmas terdekat dari rumahnya. Klien juga tidak memiliki keluhan semasa hamil. Klien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, udara ataupun obat. Pola eliminasi klien sebelumnya tidak ada gangguan klien rutin BAB 1x/hari. Dan BAK >10x dalam sehari. Status nutrisi kliensebelumnya terpenuhi dengan baik tidak ada gangguan nafsu makan. Klien makan 3x/hari dan minum kira-kira 1L/hari.4.2 Analisis Masalah Keperawatan Dengan Konsep Terkait

Dari hasil pengkajian diketahui klien mengalami retensi urine post partum. Retensi urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui. Peningkatan tekanan intravesika akibat retensi urin pada periode post partum ini menimbukan komplikasi akut dan kronik. Retensi urin post partum yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Inkontinensia urine terjadi akibat kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul hal ini selalu dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam (Herschorn, 2004). Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu postpartum adalah stres inkontinensia urine. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat (Wayman, 2003). Pada komplikasi akut, manifestasi yang nyata adalah menimbulkan rasa nyeri sampai menyebabkan kerusakan permanen khususnya gangguan pada otot detrusor dan ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada keadaan akut miksi berhenti secara mendadak, klien tidak bisa BAK. Beberapa faktor menjadi penyebab yang berkaitan erat dengan angka kejadian retensi urine pada wanita post partum, seperti : usia, tingkat pendidikan, lamanya kala II, paritas, dan keadaan perineum. Usia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya inkontinensia urine. Peningkatan usia akan menyebabkan penurunan tonus otot dasar panggul yang dapat menyebabkan terganggunya kontrol otot spingter eskternal uretra dan otot kandung kemih (Koier, et al., 2003; Craven&Hirnle, 2007). Hatem et al., (2007) menyatakan bahwa wanita yang berusia diatas 35 tahun mempunyai resiko 2 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang berusia dibawah 35 tahun bukan hanya terhadap inkontinensia tetapi jug terhadap komplikasi lain seperti perdarahan dan prolapsus uteri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh David (2009) mengatakan usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya inkontinensia urine post partum. Semakin tinggi usia juga akan semakin tinggi resiko terjadinya inkontinensia urine karena elastis otot akan menurun seiring penambahan usia. Teori ini tidak sesuai dengan masalah pada kasus yang ada, karena Ny. A berumur 24 tahun. Sehingga usia tidak berpengaruh pada kasus ini walaupun banyak kasus yang menjadikan usia menjadi salah satu faktor penyebab retensi urine.Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Arsyad, dkk (2012) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian kasus sress inkontinensia urine dan diperoleh data tertinggi yang mengalami sress inkontinensia urine yaitu pada tingkat pendidikan SMP (66,7%) dan yang terendah pada tingkat pendidikan SMA atau Sarjana (74,4%). Teori yang dikemukakan tersebut sesuai dengan masalah dalam kasus ini, karena Ny. A dengan tingkat pendidikan hanya sebatas sekolah dasar. Hal ini menjadi salah satu pengaruh dimana orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rendah mungkin kurang terpajan oleh sumber dan informasi mengenai kesehatan yang ada, baik dari pengertian, tanda gejala serta akibat lanjut yang terjadi.Salah satu faktor penyebab pada retensi urine juga dapat terjadi karena roses kelahiran atau kala II yang lama. Hasil penelitian Hatem, et al (2007) menunjukan rerata lama kala II yang lebih lama yaitu 1 jam dan seluruh respondennya adalah primipara. Lama kala II merupakan periode pengeluaran bayi yang dimulai dari pembukaan serviks 10 cm sampai lahirnya bayi secara keseluruhan. Lama kala II berbeda antara ibu primipara dengan ibu multipara. Pada ibu primipara lama kala II yang normal mulai dari beberapa menit sampai 2 jam (120 menit), dan pada multipara mulai dari beberapa menit sampai 1 jam (60 menit) (Wold, 1997). Kala II merupakan salah satu faktor resiko terjadinya inkontinensia urine. Hatem et al, (2007) menyatakan kala II yang lama menyebabkan wanita nifas 2,28 kali lebih beresiko mengalami inkontinensia urine. Semakin lama kala II menyebabkan perlukaan pada uretra dan otot kandung kemih akibat penekanan yang berat dan lama oleh kepala bayi saat memasuki panggul. Kandung kemih akan menjadi edema dan mengalami penurunan sensitivitas, saat terjadi ekstravasi darah ke dalam mukosa dinding kandung kemih akan menyebabkan ostium interna tersumbat (Pilliteri, 2003). Pada kasus ini Ny. A memiliki riwayat kehamilan G1A0P0 yang artinya Ny. A adalah primipara. Sehingga untuk janin menemukan jalan lahir itu akan lebih lama daripada wanita multipara. Janin yang lama proses keluarnya melalui jalan lahir ini akhirnya menekan vesika urinaria ibu sehingga menyebabkan trauma jalan lahir pada ibu.Penyebab selanjutnya adaalah paritas. Paritas merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Hal ini disebabkan karena penekanan berat yang terjadi selama kehamilan dan persalinan yang berulang pada wanita multipara sehingga kekuatan otot-otot dasar panggul menjadi lemah terutama otot kandung kemih, leher kandung kemih, uretra dan uterus. Selanjutnya akan meningkatkan resiko terjadinya inkontinensia urine (Wold, 1997). Bila pada kehamilan pertama mengalami inkontinensia urine dan tidak ditanggulangi dengan baik maka kelemahan otot dasar panggul semakin lemah pada nifas. Hasil penelitian Stanton, dan Fethney (2005) menemukan bahwa wanita yang mengalami inkontinensia urine pada kehamilan pertama mempunyai resiko 4,14 kali lebih besar mengalami inkontinensia urine setelah melahirkan dan pada kehamilan berikutnya dibanding wanita yang tidak mengalami inkontinensia urine sebelumnya. Dalam hal ini teori dengan kasus kurang tepat karena Ny. A merupakan wanita primipara namun Ny. A mengalami retensi urine pasca melahirkan. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa wanita primipara dapat terkena retensi urine tidak hanya wanita multipara. Namun disebagian besar kasus wanita multipara memang lebih dominan terkena.Faktor penyebab terakhir terjadinya retensi urine adalah perineum. Keadaan perineum yang tidak utuh akibat ruptur atau episiotomi akan menimbulkan rasa nyeri dan menurunkan sensasi berkemih serta menimbulkan rasa takut untuk berkemih sehingga menghambat pengosongan kandung kemih setelah melahirkan. Hal ini yang sering menyebabkan retensi urine yang dapat berkembang menjadi inkontinensia urine akibat peningkatan kapasitas kandung kemih dan overdistensi pada kandung kemih. Kondisi ini akan merangsang urine keluar tanpa disadari akibat penekanan yang tinggi terhadap spingter (Craven&Himle, 2007). Didukung oleh Pilliteri (2003), yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami overdistensi kandung kemih akan mengalami residu urine karena urine yang dikeluarkan hanya sebagian, akibat menurunnya kekuatan otot detrusor. Hal ini akan menambah overdistensi lebih serius dan dapat menyebabkan gangguan permanen akibat kehilangan tonus otot detrusor dan berakhir dengan inkontinensia permanen. Pada kasus Ny. A sesuai dengan teori tersebut karena Ny. A mengalami luka pada daerah perineum akibat luka episiotomi. Mungkin nyeri akibat luka episiotomi tersebut menjadi salah satu penyebab dari terjadinya retensi urine pada dirinya.Salah satu intervensi yang dapat mengurangi resiko retensi urine adalah senam kegel (Kegels exercise). Berdasarkan teori dan penelitian Kegels exercise sudah terbukti dapat mengatasi dan menurunkan inkontinensia urine. Bila Kegels exercise dikombinasi dengan intervensi lain maka hasil dan manfaatnya semakin besar. Dalam penelitian Wallace et al., (2006) yang mengkombinasikan antara Kegels exercise dengan bladder training menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dan signifikan secara statistik dibandingkan hanya dengan salah satu intervensi saja. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa Kegels exercise memfasilitasi penyembuhan perineal dan membantu pemulihan vagina, dan memperkuat tonus otot pelvik melalui peningkatan sirkulasi dan aktivitas isometrik otot (Martin&Koniak-Griffin, 1997). Kegels exercise sangat bermanfaat untuk memulihkan inkontinensia urine, mengendalikan perkemihan dan BAB, mengencangkan otot vagina kembali seperti sebelum melahirkan dan meningkatkan elastisitas otot-otot pelvik (Uniersity of Illinois, 2007). 66