bab 2.pdf

Upload: indosasmi

Post on 07-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Air Gambut

    Gambut merupakan akumulasi sisa material tumbuhan. Gambut terbentuk bila

    material tanaman, biasanya pada daerah berawa, terhambat untuk membusuk

    secara sempurna oleh kondisi asam dan anaerob. Material gambut diantaranya

    adalah fibrik, hemik atau saprik. Fibrik adalah material yang paling sedikit

    terdekomposisi dan berbentuk serat, hemik adalah material yang sebagiannya bisa

    terdekomposisi sedangkan saprik adalah bagian gambut yang paling banyak

    terdekomposisi.

    Struktur gambut yang lembut dan mempunyai pori-pori menyebabkannya mudah

    untuk menahan air dan air pada lahan gambut tersebut dikenal dengan air gambut.

    Berdasarkan sumber airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu

    (Wikipedia):

    1. Bog

    merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air hujan

    dan air permukaan. Karena air hujan mempunyai pH yang agak asam

    maka setelah bercampur dengan gambut akan bersifat asam dan warnanya

    coklat karena terdapat kandungan organik (tannin)

    2. Fen

    merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air tanah yang

    biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut tersebut

    memiliki pH netral dan basa.

    karena berasal dari sisa tumbuhan maka ciri air gambut lainnya adalah

    (Notodarmojo, 1994):

    Kandungan zat organik yang tinggi Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah Kandungan kation yang rendah

    5

  • Intensitas warna yang tinggi merupakan salah satu ciri khas dari air gambut yang

    merupakan akibat dari tingginya kandungan zat organik terlarut, terutama dalam

    bentuk asam humus dan derivatnya. Zat organik yang menyebabkan warna

    tersebut adalah berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau

    kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai

    dekomposisi yang stabil (Notodarmojo, 1994). Dalam berbagai kasus, warna akan

    semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh asam-

    asam organik yang terlarut dalam air tersebut.

    Senyawa humus secara umum memiliki ikatan aromatik yang panjang. Jika

    senyawa hasil oksidasi lignin dan homo vanilic acid yang merupakan salah satu

    senyawa asam humus yang sederhana, berikatan dengan logam seperti Fe, Cu, dan

    Al pada gugus fenolik atau asetat maka, akan menghasilkan warna dengan

    intensitas yang sangat tinggi. Ion logam yang berikatan pada gugus asetatnya akan

    terionisasi sehingga, warna air akan mudah dihilangkan dengan cara

    mengendapkan ion logam tersebut dalam suasana basa sebagai hidroksida.

    Apabila ion logam terikat pada gugus aromatiknya, warna air tidak mudah

    dihilangkan dengan cara pengendapan karena ion logamnya tidak terionisasi.

    Kandungan humus merupakan bagian terbesar dalam bahan organik yang terdapat

    dalam air tanah dan air permukaan dan bersifat:

    1. Mempunyai berat molekul yang bervariasi dari < 800 sampai 50.000 dan

    bersifat polimer (AWWA, 1980).

    2. Secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu Particulate Organic Carbon

    (POC), dengan ukuran diatas 0,45 m dan biasanya kurang dari 10%

    kandungan zat organik; dan Dissolved Organic Carbon (DOC), dimana

    DOC terdiri dari 80% kandungan hirofilik dan dan selebihnya hidrofilik

    (Fearing et.al, 2004).

    3. Kehadiran berbagai gugus kimia seperti hidroksil, karboksil, metoksil

    karbonil, dan gugus quionoid diduga telah memberikan sifat hidrofilik

    kepada humus (AWWA, 1980).

    6

  • 4. Grup kimia tersebut dominan bersifat negatif pada pH antara 4 8

    (Fearing et.al, 2004) sehingga partikel warna juga bersifat negatif dimana

    besarnya muatan tergantung pada derajat ionisasi, yang berarti tergantung

    pada pH air.

    Dari sifat-sifat diatas, menunjukkan bahwa mekanisme penyisihan warna dalam

    proses koagulasi akan berbeda dengan penyisihan kekeruhan.

    Sedangkan berdasarkan kelarutannya, humus diklasifikasikan atas asam humat,

    asam fulvik dan humin:

    1. Asam humat

    Asam humat merupakan makromolekul aromatik komplek dengan asam

    amino, gula amino, peptida serta komponen alifatik yang posisinya berada

    antara kelompok aromatik (Gambar II.1). Merupakan bagian dari humus

    yang bersifat tidak larut dalam air pada kondisi pH

  • Warnanya bervariasi mulai dari kuning sampai kuning kecoklatan.

    Struktur model asam fulvik dapat dilihat pada Gambar II.2

    Gambar II.2 Struktur model asam fulvik

    3. Humin

    Bagian dari humus yang bersifat tidak larut dalam air pada semua kondisi

    pH dan berwarna hitam.

    Banyak peneliti yang beranggapan bahwa warna gelap pada humus disebabkan

    oleh keberadaan polimer yang mempunyai berat molekul yang tinggi.

    Berdasarkan konsep ini, perbedaan antara asam humat dan asam fulvik bisa

    dijelaskan melalui variasi berat molekul, keberadaan grup fungsional seperti

    karboksil dan fenolik dan tingkat polimerisasi (Gambar II.3)

    Gambar II.3 Komponen kimia humus

    8

  • Dari Gambar II.3 diketahui bahwa kandungan karbon dan oksigen, asiditas dan

    derajat polimerisasi, semuanya berubah secara sistematik dengan peningkatan

    berat molekul. Asam fulvik dengan berat molekul yang rendah memiliki

    kandungan oksigen yang lebih tinggi dan kandungan karbon yang rendah jika

    dibandingkan asam humat dengan berat molekul yang tinggi. Warna juga akan

    semakin tinggi dengan semakin tingginya berat molekul.

    Senyawa humus secara garis besar terdapat dialam melalui dua pathway yaitu: (1)

    berasal dekomposisi tumbuhan seperti lignin dan selulosa, (2) melalui kondensasi

    reaksi polimerisasi. Senyawa humus yang berasal dari lignin dapat berubah

    menjadi aldehid karena proses oksidasi fotokimia (Kim et.al, 2001). Aldehid

    adalah salah satu senyawa organik yang mengandung gugus karbonil (CO-) dan

    memiliki sekurangnya satu atom hidrogen yang terikat pada karbon karbonilnya

    (Gambar II.4).

    O

    R-C-H atau RCHO Gambar II.4 Gugus Aldehid (Fessenden, 1982)

    Aldehid berdasarkan jumlah atom yang dimiliki dibedakan menjadi beberapa jenis

    diantaranya adalah pentanal dan hexanal (Wikipedia, free encyclopedia) :

    Pentanal Nama lain : Pentanal dehyde, Valeral dehyde dan Valeric aldehyde

    Rumus molekul : C5H10O

    Titik lebur : -600C

    Titik didih : 102 1030C

    Kelarutan : sangat sedikit larut dalam air

    Pentanal ini bisa larut pada pelarut organik.

    Hexanal Nama lain : Hexanal dehyde

    Rumus molekul : C6H12O

    9

  • Titik lebur : < -200C

    Titik didih : 119 1240C

    Kelarutan : sangat sedikit larut dalam air dan bisa larut dalam

    pelarut organik

    Dari kelarutannya terhadap air, maka hexanal dan pentanal dimasukkan kedalam

    kategori hidrofobik.

    Bahan organik tanah dan tanaman berada dalam bentuk koloid. Dan berdasarkan

    kemudahan berikatan dengan air maka, bahan organik dapat dibedakan atas

    hidrofobik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air). Koloid hidrofobik dapat

    diflokulasi, sedang kolid hidrofilik biasanya tidak. Koloid tanaman kebanyakan

    bersifat hidrofilik sehingga sulit untuk dikoagulasi secara konvensional (Tan,

    1991).

    Apabila klorin bereaksi dengan bahan organik, bisa menghasilkan trihalometan

    (THM), asam haloasetik (HAA) dan beberapa produk desinfeksi terhalogenasi

    lainnya. Zat ini dapat bersifat toksik atau karsinogenik (Kim et.al, 2006). Oleh

    karena itu proses desinfeksi air berwarna alami dengan klor sama sekali tidak

    dianjurkan.

    Karakteristik air gambut bersifat spesifik, tergantung pada lokasi, jenis vegetasi

    dan jenis tanah tempat air gambut tersebut berada. Hal ini dapat dilihat pada Tabel

    II.1 yang merupakan hasil penelitian Puslitbang Pemukiman dan dikutip dari

    Irianto (1998).

    10

  • Tabel II.1 Karakteristik Air Gambut dari Berbagai Lokasi (Sumatera dan Kalimantan)

    Kualitas Air Gambut Syarat Air Minum No Parameter Satuan

    Kalsel Kalbar Kalteng Sumsel Riau A Menkes

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    11

    12

    13

    14

    Warna

    Kekeruhan

    DHL

    pH

    Zat Organik

    Kesadahan

    Kalsium

    Magnesium

    Besi

    Mangan

    Chlorida

    SO4HCO3CO2 Agresif

    PtCo

    mg/L SiO2 mho/cm -

    mg/L KmnO4 0D

    mg/L

    mg/L

    mg/L

    mg/L

    mg/L

    mg/L

    mg/L

    mg/L

    753

    32

    -

    4,1

    278

    2,05

    -

    8,83

    -

    -

    11,11

    -

    -

    -

    527

    0

    30

    3,9

    194

    0,48

    -

    2,1

    -

    -

    5,48

    -

    51,4

    -

    725

    0,5

    50

    3,6

    172

    -

    -

    -

    -

    -

    -

    5,1

    -

    31

    1315

    5

    78

    5

    290

    5,5

    4,5

    20,9

    -

    -

    162

    11,2

    -

    -

    1125

    9

    75

    4

    243

    1,4

    -

    6,2

    -

    -

    18

    -

    -

    80,6

    15

    5

    6,5-8

    10

    500

    -

    -

    0,3

    0,1

    250

    400

    15

    5

    6,5-8,5

    10

    500

    -

    -

    0,3

    0,1

    250

    400

    Sumber: Puslitbang Pemukiman, (Irianto, 1998)

    II.2 Proses Pengolahan Air Gambut

    II.2.1 Kondisi Objektif Penelitian

    Karakteristik air gambut seperti yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa

    air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air minum bagi masyarakat

    didaerah berawa tersebut. Namun karena jumlah air gambut tersebut banyak dan

    dominan berada didaerah tersebut maka air tersebut harus bisa menjadi alternatif

    sumber air minum masyarakat.

    Kondisi kurang menguntungkan bagi kesehatan yang disebabkan karakteristik air

    gambut adalah sebagai berikut (Wisnuprapto, 1994):

    Kadar keasaman (pH) yang rendah dapat menyebabkan sakit perut dan kerusakan pada gigi

    11

  • Kandungan organik yang tinggi dapat merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau

    apabila bahan organik tersebut terurai secara biologi.

    Apabila larutan klor dipakai pada proses desinfeksi maka akan membentuk

    senyawa organoklorin yang bersifat karsinogen.

    II.2.2 Alternatif Proses Pengolahan Air Berwarna

    Berdasarkan pengetahuan tentang kandungan bahan dalam air bewarna dan sifat-

    sifatnya, proses dan metoda pengolahan yang dapat diterapkan untuk mengolah air

    berwarna alami adalah (Wisnuprapto, 1994)

    Proses Oksidasi Proses Adsorpsi Proses koagulasi-flokulasi

    a. Proses Oksidasi

    Proses oksidasi untuk pengolahan air berwarna dapat dianjurkan adalah dengan

    ozon atau peroksida, karena tidak menghasilkan suatu ikatan atau senyawa yang

    berbahaya. Ozon atau peroksida dikenal sebagai oksidator kuat yang dapat

    digunakan dalam pengolahan air, sehingga ikatan polimer dan monomernya

    terputus dan akan membentuk CO2 dan H2O apabila oksidasinya sempurna.

    Namun dalam aplikasinya biaya operasi relatif mahal, dan perlu digunakan unit

    peralatan penghasil ozon (Wisnuprapto, 1994).

    b. Proses Adsorpsi

    Adsorpsi merupakan fenomena fisika dimana molekul-molekul bahan yang

    diadsorpsi tertarik pada permukaan bidang padat yang bertindak sebagai

    adsorban. Dengan demikian jelas bahwa adsorpsi merupakan fenomena bidang

    batas, yang efisiensinya makin tinggi apabila luas bidang permukaan adsorban

    makin besar (Schnitzer, 1992).

    Ditinjau dari segi derajat adsorpsi pada suatu jenis adsorban secara umum

    mengikuti aturan sebagai berikut (Wisnuprapto, 1994):

    12

  • Adsorpsi berlangsung sedikit terhadap semua senyawa anorganik, kecuali senyawa berhalogen (F, Br dan Cl)

    Adsorpsi berlangsung baik terhadap semua senyawa berhalogen dan semua senyawa alifatik

    Adsorpsi berlangsung sangat baik terhadap semua senyawa aromatik, makin banyak kandungan inti benzennya semakin baik adsorpsinya.

    Berdasarkan kriteria diatas maka, pengolahan air berwarna dapat dilakukan

    dengan cara adsorpsi, karena asam humus mempunyai senyawa gugus

    aromatik. Namun secara umum proses inipun masih mahal.

    c. Proses Koagulasi-Flokulasi

    Proses koagulasi yang diiringi dengan proses flokulasi merupakan salah satu

    proses pengolahan air yang sudah lama digunakan. Proses ini penting untuk

    penyisihan warna dan organik (Amirtarajah & OMelia, 1999). Defenisi

    koagulasi sebagai proses cukup banyak tapi dari laporan Fearing et.al (2004)

    dapat disimpulkan menjadi tiga:

    1. Proses untuk menggabungkan partikel kecil menjadi agregat yang lebih

    besar

    2. Proses penambahan bahan kimia kedalam air untuk menghasilkan spesies

    kimia yang berperan dalam destabilisasi kontaminan dan meningkatkan

    kemungkinan penyisihan

    3. Proses untuk menggabungkan partikel koloid dan partikel kecil menjadi

    agregat yang lebih besar dan dapat mengadsorb material organik terlarut

    ke permukaan agregat sehingga dapat mengendap

    Partikel koloid yang terkandung dalam air alam umumnya mempunyai muatan

    negatif, sehingga koagulan yang diperlukan adalah yang bermuatan positif.

    Koagulan yang umum digunakan dalam pengolahan air adalah garam

    aluminium seperti alum.

    Flok-flok yang terbentuk pada umumnya juga mempunyai kemampuan adsorpsi

    yang cukup besar. Sehingga pada saat yang bersamaan dengan pembentukan

    dan penggabungan mikroflok akan terjadi proses adsorpsi dan pemerangkapan

    13

  • bahan-bahan terlarut dalam air, dan akan ikut tersisih dalam proses

    pengendapan dan penyaringan. Sedangkan pada air berwarna alami atau air

    gambut, konsentrasi bahan koloid atau partikel tersuspensi lainnya umumnya

    sangat rendah. Sehingga ada pendapat mengatakan bahwa sesungguhnya proses

    koagulasi dan flokulasi yang dilaksanakan pada air berwarna tidak lain adalah

    melaksanakan proses adsorpsi dengan bantuan penambahan bahan kimia

    (Notodarmojo, 1994).

    Hal ini dibuktikan oleh penelitian Irianto (1998) pada air gambut dari

    Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa, proses adsorpsi lebih berperan

    dalam penurunan warna dan zat organik air gambut dibanding proses koagulasi-

    flokulasi. Penelitian yang dilakukan oleh Notodarmojo (1994) pada air gambut

    dari Riau mendapatkan kondisi optimum penyisihan warna dan zat organik

    dengan tanah putih 100 mg/L, tawas 280 mg/L dan kapur 100 mg/L

    Namun berat molekul zat organik yang terdapat dalam air gambut ada yang

    lebih besar dari 30.000 (BM

  • NOM pada partikel presipitat adalah yang mengontrol proses untuk semua

    kondisi dalam koagulasi.

    II.3 Koagulasi dan Flokulasi

    II.3.1 One Staged Coagulation

    Proses one staged coagulation adalah proses koagulasi secara konvensional yang

    selama ini biasa dilakukan. Menurut Stumm dan OMelia (1968), penggabungan

    partikel koloid/tersuspensi dapat dilakukan dalam dua tahapan:

    1. Reduksi gaya tolak menolak antar partikel (destabilisasi)

    2. Pengadaan transportasi agar terjadi kontak antar partikel terdestabilisasi

    (terjadi pada proses flokulasi)

    Beberapa tahapan yang terjadi dalam mekanisme destabilisasi partikel yaitu:

    Pemampatan/penekanan lapisan ganda Adsorpsi untuk netralisasi muatan Penjaringan partikel prespitat Pembentukan jembatan antar partikel

    Partikel koloid dan tersuspensi yang terdapat di air permukaan memiliki muatan

    negatif. Partikel yang berukuran besar memiliki turbiditas, lempung dan lanau dan

    juga memiliki sifat hidrofobik. Partikel dengan ukuran seperti ini lebih ekonomis

    untuk teragregasi melalui penambahan koagulan seperti alum. Zat ini bereaksi

    dengan alkalinitas dalam air membentuk hidrous oxides. Dengan melibatkan

    kation trivalen, reaksinya menjadi :

    BmAn + mnOH- mB(OH)n + nAm- (2.1)

    Hidrous oxides relatif bersifat tidak terlarut pada pH normal sehingga mudah

    terpresipitasi. Karena titik isoelektrik dari sebagian besar partikel hidrous oxides

    juga turun pada range pH normal, maka endapan berubah menjadi partikel

    flokulen. Karena adanya agitasi dari sistem, partikel kasar penyebab kekeruhan

    bertabrakan, terikat, kemudian menjadi satu dan membentuk partikel flok. Saat

    15

  • terjadi tumbukan, gaya van der Waals meng-induce penggabungan sehingga

    partikel penyebab kekeruhan berubah menjadi struktur flok.

    Partikel kekeruhan yang halus dan partikel koloid yang menyebabkan rasa, bau,

    warna ukurannya sangat kecil sehingga bila dalam sebuah pengadukan, inersianya

    tidak cukup untuk mencegah mereka terlepas dari partikel flok yang terus

    membesar. Akibatnya, partikel kecil ini tidak dapat cukup dekat dengan partikel

    flok. Penyisihan partikel koloid ini membutuhkan reduksi zeta potensial sampai

    tingkat dimana tabrakan terjadi. Pada pH rendah, zeta potensial dari koloid di air

    permukaan dapat dikurangi melalui hasil disosiasi hidrous oxides yang terbentuk

    dari koagulan. Hidrous oxides terdisosiasi dengan perlahan, dengan reaksi:

    B(OH)n Bn+ + nOH- (2.2)

    II.3.2 Two Staged Coagulation

    Proses two staged coagulation adalah proses koagulasi yang memberlakukan dua

    kali koagulasi dan diiringi oleh satu kali proses flokulasi (Gambar II.5). Proses ini

    merupakan salah satu alternatif pengolahan air secara koagulasi untuk air dengan

    warna dan zat organik yang tinggi (Fearing et.al, 2004) dan diperlukan karena

    proses koagulasi secara konvensional tidak berhasil pada beberapa kondisi air. Hal

    ini karena jenis material yang terdapat dalam air bermacam-macam, setiap jenis

    material membutuhkan kondisi proses koagulasi yang berbeda (AWWA, 1980).

    Dosis Koagulan 1

    Dosis Koagulan 2

    Air Baku Efluen

    Pengadukan cepat 2

    Pengadukan cepat 1

    Flokulasi

    Gambar II.5 Skema Proses Two Staged Coagulation (Carlson & Gregory 2000)

    16

  • Pada pH rendah (6.5), sebagai akibat reaksi monomerik Al kompleks dengan zat

    organik, hidrolisasi untuk membentuk polimerik atau presipitat hidroksida bisa

    terjadi secara bersamaan. Dengan adanya presipitat hidroksida akan

    memungkinkan terjadinya proses adsorpsi. Pada konsentrasi alum yang rendah,

    netralisasi muatan bisa terjadi pada pH basa sebagai akibat terjadinya

    deprotonisasi zat organik pada pH basa sehingga akan meningkatkan jumlah grup

    karbonil sehingga terjadi agregasi.

    Menurut Stumm (1990), jika zat organik teradsorpsi pada bidang batas dengan

    dengan tingkat ionisasi rendah (pH tinggi) maka akan membentuk konfigurasi

    datar. Adsorpsi pada permukaan inorganik seperti oksida logam dapat dihasilkan

    oleh terjadinya pertukaran gugus fungsional pada substansi humus (karboksil,

    fenolik) dengan gugus hidroksil pada oksida logam, didukung oleh interaksi

    hidrofobik yang melibatkan komponen non polar molekul humus. Ini akan

    menghasilkan akumulasi muatan negatif pada permukaan oksida logam sebagai

    akibat teradsorpsinya substansi organik. Pada tingkat ionik yang rendah dan pH

    tinggi, ketebalan lapisan difusi bisa melebihi ketebalan lapisan organik yang

    teradsorpsi dan partikel dapat distabilisasi secara elektrostatik.

    Pada proses two staged coagulation yang memberlakukan pH netral untuk

    masing-masing proses koagulasi (Gambar II.6), ditujukan agar terjadi restabilisasi

    17

  • koloid hidrosida aluminium. Diperkirakan bahwa ion Al+3 terhidrolisa menjadi

    Al(OH)3(S) dan bila tidak disertai dengan pengadukan yang memadai, hidrolisis

    aluminium yang bersifat positif tersebut tidak akan bereaksi secepatnya dengan

    zat organik hidrofobik dan akan membentuk koloid aluminium hidroksida yang

    bersifat stabil, berukuran kecil, tidak bisa mengendap dan tidak bisa disaring pada

    proses filtrasi. Dengan adanya proses two staged coagulation ini, maka zat

    organik hidrofobik akan teradsorpsi secepatnya pada permukaan presipitat

    aluminium hidroksida yang baru terbentuk sehingga akan terbentuk flok yang

    berukuran besar dan mudah mengendap (Carlson & Gregory, 2000).

    Gambar II.6 Perkiraan mekanisme restabilisasi partikel pada saat

    dikoagulasi (Carlson & Gregory, 2000)

    Jika perkiraan ini benar maka proses two staged coagulation akan efektif karena

    zat organik hidrofobik akan teradsorpsi pada koloid Al(OH)3(S) selama proses

    koagulasi pertama two staged coagulation dan akan membiarkan padatan

    hidroksida aluminium beraglomerasi membentuk ukuran yang bisa menyebabkan

    terjadinya sweep flocculation.

    Oksida metal bersifat selektif untuk mengisolasi zat organik dan zat lainnya. Bila

    material hidrofobik telah dikoagulasi maka akan sedikit sekali tersisa ruang untuk

    ikatan dengan material hidrofilik sehingga tingkat penyisihannya rendah pada

    koagulasi konvensional. Dengan adanya two staged coagulation, pada koagulasi

    pertama dianggap bahwa zat organik hidrofobik telah teradsorp pada permukaan

    18

  • hidroksida logam sehingga pada koagulasi kedua partikel hidrofilik mempunyai

    kesempatan untuk teradsorpsi pada permukaan hidroksida logam. Selain itu

    hidroksida logam yang baru terbentuk mempunyai luas permukaan yang lebih

    besar dan lebih reaktif (Fearing et.al, 2004)

    Pada proses koagulasi terdapat hal-hal yang mempengaruhi sehingga bisa berjalan

    dengan baik, diantaranya (Kawamura, 2001):

    1. pH.

    Rentang pH dalam proses koagulasi dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi

    koagulan yang digunakan serta komposisi kimia air yang akan diolah.

    Koagulasi akan berjalan baik apabila berada pada rentang pH optimum.

    2. Jenis koagulan.

    Pemilihan jenis koagulan pada pengolahan air seharusnya didasarkan pada

    penelitian perbandingan performa koagulan dan setelah itu baru dilihat dari

    segi ekonomisnya. Namun jenis koagulan yang paling banyak dipakai di

    Indonesia adalah alum.

    3. Alkalinitas

    Kehadiran kation dan anion seperti Ca, Na, Mg, Fe, Cl, SO4, PO4, dll,

    beberapa di antaranya dapat mempengaruhi pH optimum, waktu untuk

    flokulasi, dosis optimum koagulan, dan sisa koagulan di efluen. Beberapa

    penelitian lanjut menemukan efek secara umum ion pada proses koagulan

    adalah: a) Pengaruh koagulan alum dan besi berasal dari anion sehingga ion

    sodium, kalsium dan magnesium punya efek yang lebih sedikit pada

    koagulasi. b) Anion meningkatkan pH optimum untuk koagulasi pada sisi

    asam untuk meningkatkan kebebasan valensinya, maka anion monovalen

    seperti klorida dan nitrat relatif punya efek yang kecil sedangkan sulfat dan

    fosfat sebaliknya.

    4. Kekeruhan air baku.

    Makin tinggi kekeruhan makin tinggi dosis koagulan (biasanya hubungan

    antara turbiditas dan dosis koagulan adalah linier). Kekeruhan air baku

    sangat penting untuk menentukan dosis koagulan yang digunakan.

    Kekeruhan air baku yang rendah dapat menyulitkan proses penyisihannya

    19

  • sehingga seringkali ditambahkan koagulan aids atau meresirkulasi lumpur

    untuk membantu proses penyisihan. Umumnya, koagulasi suspensi tanah liat

    terlarut lebih dikontrol oleh koagulan dan komposisi kimia air dibanding

    kondisi padatan terlarut.

    5. Temperatur air.

    Apabila temperatur menurun maka viskositas air akan meningkat sehingga

    kecepatan mengendap flok akan menurun. Temperatur yang menurun akan

    menurunkan laku reaksi kimia. pH otimum akan menurun seiring dengan

    menurunnya temperatur dan perubahan ini akan menjadi lebih penting pada

    dosis koagulan yang kecil.

    6. Pengadukan.

    Pengadukan tidak sempurna akan menyebabkan dispersi koagulan yang

    tidak merata. Pengadukan cepat berfungsi untuk mendistribusikan koagulan

    dan mempertemukan koagulan dengan koloid. Sedangkan pengadukan

    lambat untuk proses flokulasi, derajat pengadukan harus cukup untuk

    menjaga tersuspensinya partikel flok.

    II.3.3 Flokulasi

    Flokulasi merupakan proses pembentukan flok dari koloid yang sudah

    didestabilisasikan pada proses koagulasi. Flokulasi terjadi akibat adanya kontak

    antara flok yang sudah didestabilisasi sehingga terbentuk flok yang lebih besar

    dan mudah mengendap. Untuk mempercepat flokulasi biasanya dilakukan

    pengadukan/memberi gradien kecepatan pada aliran sehingga peluang kontak

    antar partikel/flok menjadi lebih besar dan waktu kontak serta waktu

    pengendapannya menjadi lebih cepat (Kawamura, 2001).

    Proses dalam flokulasi adalah proses pengadukan lambat. Tujuan pengadukan

    lambat adalah untuk mempercepat penggabungan partikel yang disebabkan proses

    aglomerisasi dari partikel koloid nonstabil bermuatan sehingga menjadi bentuk

    yang dapat diendapkan dan tersisa partikel dalam bentuk yang dapat disaring.

    20

  • Gambaran umum proses terbentuknya flok oleh adanya penambahan koagulan dan

    pengadukan yang tepat ditunjukkan oleh Gambar II.7

    Gambar II.7 Proses pembentukan flok (AWWA, 1984)

    Penggabungan partikel dapat terjadi karena :

    Gerak Brown (perikinetik), atau Gradien kecepatan dalam media tersuspensi (ortokinetik) yang tergantung

    pada temperatur, kecepatan gradien, jumlah partikel koloid, konsentrasi dan

    ukuran partikel koloid

    II.4 Aluminium Sulfat

    Alum (aluminium sulfat) merupakan koagulan paling populer yang digunakan

    untuk pengolahan air.

    Al2(SO4)3.xH2O + 6HCO3- 2Al(OH)3 + 3SO4- + 6CO2 + xH2O (2.3)

    Dari reaksi diatas akan diperoleh endapan aluminium hidroksida. Hal penting

    yang perlu dicatat bahwa untuk setiap mol alum yang bereaksi, maka terdapat

    enam ekivalen alkalinitas bikarbonat yang dibutuhkan dan 6 mol karbon dioksida

    yang dihasilkan. Penurunan alkalinitas bikarbonat dan peningkatan karbon

    dioksida akan mengakibatkan penurunan pH.

    21

  • Aluminium sulfat (AL2(SO4)3) merupakan koagulan yang sering digunakan dalam

    pengolahan air karena harganya murah dan mudah diperoleh dipasaran. Bahan ini

    dapat berfungsi efektif pada pH antara 4 8.

    II.4.1 Hidrolisasi Alum

    Saat alum ditambahkan ke air, akan terbentuk hidroksida aluminium (Gambar II.

    8). Bentuk sederhananya adalah presipitat tak larut (Al(OH)3) ditambah ion

    terlarut bermuatan positif seperti: Al(H2O)63+, Al(OH)(H2O)52+ dan

    Al13O4(OH)247+ serta ion terlarut bermuatan negatif Al(OH)4, proporsi masing-

    masingnya bisa bervariasi tergantung pada dosis alum dan pH setelah

    penambahan alum (Amirtarajah & OMelia, 1999). Selain itu ion sulfat (SO4-2)

    juga bisa menjadi bagian dari dari hidro aluminium komplek melalui proses

    substitusi dengan beberapa ion hidroksida (OH-1) dan ini akan menyebabkan

    turunnya muatan hidroksida (Moramarco & Ravina, 1993).

    Al(H2O)63+

    Al(OH)(H2O)52+

    Al13O4(OH)247+

    Al(OH)3(s)

    Al(OH)4-

    Ion hidrogen

    Ion hidrogen

    Ion hidrogen

    Ion hidrogen

    Ion aluminium

    presipitat

    Spesies polynuclear

    Spesies mononuclear

    Ion aquo Al

    Gambar II.8 Produk hidrolisis alumunium sulfat (Amirtarajah & OMelia, 1999)

    22

  • Dari (Amirtarajah & OMelia, 1999) diketahui bahwa Kodama dan Schnitzer pada

    tahun 1980; Bersch dan Parker pada tahun 1996 mengatakan kalau reaksi kimia

    yang terjadi pada saat penambahan alum ke air bersifat kompleks sehingga

    sebagian masih ada yang belum dimengerti. Saat proses hidrolisis terjadi, jika

    jumlah ion total logam dalam sistem mencukupi, produk mononuclear sederhana

    akan bisa membentuk spesies polynuclear komplek yang seterusnya akan bisa

    berubah bentuk menjadi mikrokristal dan presipitat hidroksida logam. Produk

    hidrolisis bisa mengadsorpsi dan dilanjutkan dengan menghidrolisa permukaan

    partikel

    Kelarutan presipitat hidroksida logam adalah salah satu faktor yang menentukan

    efisiensi koagulan dan untuk meminimasi sisa Al di air hasil olahan. Kelarutan

    koagulan alum sangat ditentukan oleh pH (Gambar II.9). Pada pH rendah,

    dissolusi presipitat hidroksida logam akan menghasilkan muatan positif, produk

    hidrolisis terlarut dan ion metal Al+3. Pada pH tinggi, akan terbentuk muatan

    negatif dan Al(OH)4- terlarut.

    Gambar II.9 Diagram kelarutan presipitat aluminium hidroksida (Amirtarajah & OMelia, 1999)

    23

  • Spesies polynuclear seperti Al(OH)204+, Al13O4(OH)247+ dan Al14(OH)3210+ adalah

    produk intermediat metastabil dalam larutan yang mencapai atau melebihi derajat

    supersaturasi Al2O3 dan Al(OH)3. Spesies ini akan terdeteksi keberadaannya pada

    konsentrasi alum > 275 mg/L dan pada pH antara 5,5 7

    II.4.2 Cara Kerja Alum

    Saat koagulan ditambahkan ke air yang mengandung material organik, jika dosis

    koagulan mencukupi dan kondisi fisik kimia air kondusif maka produk hidrolisis

    akan membentuk flok (Gambar II.10). Proses yang terjadi terbagi dalam beberapa

    langkah:

    Gambar II.10 Tahapan reaksi yang mungkin akan dilalui jika alum ditambahkan ke air yang mengandung zat organik dan partikel (Amirtarajah & OMelia, 1999)

    Langkah A dan B Pada langkah A dan B ini diperkirakan terjadi reaksi antara produk hidrolisis

    logam koagulan dengan binding site logam pada permukaan kontaminan dan

    terjadi ikatan antara produk hidrolisis dengan komponen organik alamiah

    terlarut. Jika ketersediaan binding site untuk terjadinya ikatan dengan

    produk hidrolisis cukup tinggi dan affinitas terhadap Al cukup tinggi maka

    semua produk hidrolisis akan bereaksi dengan permukaan kontaminan,

    24

  • reaksi ini bersifat irreversibel sehingga produk hidrolisis yang telah

    berikatan tidak akan bisa membentuk presipitat hidroksida logam.

    Bila partikel bermuatan negatif, site bound produk hidrolisis metal yang

    bermuatan positif akan bisa menetralisir muatan partikel sehingga suspensi

    akan terdestabilisasi. Jika proses koagulasi dengan netralisasi muatan terjadi

    pada suspensi terlarut maka laju flokulasi akan rendah jika dibandingkan

    dengan laju flokulasi oleh kehadiran presipitat hidroksida logam. Proses ini

    ditentukan oleh pH dan ketersediaan site- binding anion dan kation.

    Langkah C dan D Presipitat hidroksida logam dan produk hidrolisis logam terlarut akan mulai

    terbentuk setelah kebutuhan koagulan untuk langkah A dan B sudah

    terpenuhi. Jika jumlah site yang bisa mengikat presipitat hidroksida logam

    relatif rendah, reaksi dengan binding site dan pembentukan presipitat

    hidroksida logam dalam larutan bisa terjadi secara simultan. Diduga, yang

    paling mempengaruhi pemilihan salah satu langkah adalah intensitas

    pengadukan yang berfungsi untuk menyebarkan koagulan didalam larutan.

    Saat hidroksida logam mulai berpresipitasi akibat adanya kandungan

    organik, kandungan organik dengan berat molekul yang lebih tinggi dan

    lebih hidrofobik cenderung untuk mengadsorp dan melingkupinya. Proses

    ini akan membutuhkan jumlah koagulan yang tinggi. Saat densitas NOM

    yang teradsorpsi cukup tinggi, partikel mikrokristal akan punya muatan

    negatif, stabil, dan terdispersi oleh proses steric stabilization.

    Saat dosis koagulan melebihi kebutuhan, pembentukan presipitat yang tidak

    stabil akan menghasilkan pembentukan flok yang lebih cepat dan visibel.

    Proses ini disebut sweep coagulation atau enmeshment. Dalam banyak

    kasus, laju flokulasi sebanding dengan volume konsentrasi presipitat dalam

    larutan. Pembentukan flok melalui enmeshment mencakup interaksi partikel

    pada presipitat hidroksida logam dan kontak dengan partikel kontaminan.

    25

  • Terjadi kemungkinan pada pH
  • pada tahun 1955. Derajat pengadukan merupakan berdasarkan pada daya (power

    input) yang diberikan ke dalam air, dalam hal ini diukur gradien kecepatannya.

    Laju tabrakan partikel proporsional terhadap gradien kecepatan, sehingga gradien

    tersebut harus mencukupi untuk menghasilkan laju tabrakan partikel yang

    diinginkan. Camp pada tahun 1943 juga telah mendefinisikan gradien kecepatan,G

    sebagai:

    VP

    QtG

    VPG d

    .1. == (2.5)

    Dimana : G = gradien kecepatan rata-rata (/detik)

    G.td = parameter tak berdimensi

    P = power input

    V = volume tangki

    = viskositas absolut liquid

    Bagian integral dari proses koagulasi-flokulasi adalah proses pengadukan, baik

    flash mixing maupun slow mixing. Pengadukan dapat dilakukan dengan beberapa

    cara, namun yang dipakai dalam penelitian ini adalah pengadukan

    mekanis.Pengadukan ini merupakan metode yang paling umum digunakan, karena

    metode ini dapat diandalkan, sangat efektif dan fleksibel pada pengoperasiannya.

    Biasanya pengadukannya menggunakan turbin impeller, paddle impeller atau

    propeller untuk menghasilkan turbulensi.

    Untuk agitasi turbulen dan laminer menggunakan impeller :

    53... DNg

    KP T = 32... DNg

    KP L = (2.6)

    dimana:

    P : power input (N.m/dtk)

    g : percepatan gravitasi bumi (m/dtk2)

    : rapat massa air (N.dtk2/m4)

    27

  • N : jumlah putaran pengaduk (put/dtk)

    D : diameter impeller (m)

    KT : konstanta impeller untuk aliran turbulen

    KL : konstanta impeller untuk aliran laminer

    Untuk pengadukan menggunakan paddle :

    3....21 vACP D = (2.7)

    dimana: P : power input (N.m/dtk)

    CD : koefisien drag

    : rapat massa air (N.dtk2/m4)

    A : luas area paddle (m2)

    v : kecepatan paddle relatif terhadap air (m/dtk)

    28