bab 2 tinjauan pustaka - library & knowledge...

15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini. 2.1 Pernikahan Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Pernikahan, dengan kata dasar nikah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) didefinisikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut Olson DeFrain (2006), pernikahan merupakan suatu komitmen secara emosi maupun hukum yang sah antara dua orang untuk berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagai macam tugas dan dalam hal keuangan. Pernikahan menurut Papalia (2002) merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan kebahagiaan individu, bahkan lebih penting daripada pekerjaan, pertemanan dan lain sebagainya. Pada umumnya, individu mengharapkan kesuksesan dalam kehidupan pernikahannya. Kesuksesan tersebut dapat tercermin dari kebertahanan dan kualitas pernikahan, terpenuhinya cita-cita yang diidamkan pasangan, terpenuhi kebutuhan seperti kebutuhan psikologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan seksual diantara kedua belah pihak, serta terciptanya kepuasan pernikahan pada pasangan (DeGenova, 2008). Agar pernikahan dapat terwujud sesuai dengan harapan kita, maka dibutuhkan kesiapan sebelum menikah. 2.1.1 Kesiapan Menikah Konsep kesiapan menikah Wiryasti diperoleh melalui studi penelitian dari Fowers & Olson (1992). Menurut Fowers & Olson (1992), dibutuhkan kemampuan-kemampuan dasar dalam pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan kemampuan-kemampuan lain karena hal tersebut sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan awal pernikahan pada pasangan. Kurangnya kemampuan-kemampuan tersebut dapat terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi pada pasangan individu yang belum lama menikah pada saat studi dilakukan yaitu, 50% (Olson & DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Oleh sebab itu, pada tahun 1978, inventori PREPARE/ENRICH dikembangkan berdasarkan indikator-indikator

Upload: dinhxuyen

Post on 06-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang

akan diteliti pada penelitian ini.

2.1 Pernikahan

Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Pernikahan, dengan kata

dasar nikah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) didefinisikan sebagai perjanjian

antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk

keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut Olson DeFrain (2006), pernikahan

merupakan suatu komitmen secara emosi maupun hukum yang sah antara dua orang untuk

berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagai macam tugas dan dalam hal keuangan.

Pernikahan menurut Papalia (2002) merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan

kebahagiaan individu, bahkan lebih penting daripada pekerjaan, pertemanan dan lain sebagainya.

Pada umumnya, individu mengharapkan kesuksesan dalam kehidupan pernikahannya.

Kesuksesan tersebut dapat tercermin dari kebertahanan dan kualitas pernikahan, terpenuhinya

cita-cita yang diidamkan pasangan, terpenuhi kebutuhan seperti kebutuhan psikologis, kebutuhan

sosial, dan kebutuhan seksual diantara kedua belah pihak, serta terciptanya kepuasan pernikahan

pada pasangan (DeGenova, 2008). Agar pernikahan dapat terwujud sesuai dengan harapan kita,

maka dibutuhkan kesiapan sebelum menikah.

2.1.1 Kesiapan Menikah

Konsep kesiapan menikah Wiryasti diperoleh melalui studi penelitian dari Fowers &

Olson (1992). Menurut Fowers & Olson (1992), dibutuhkan kemampuan-kemampuan dasar

dalam pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan

kemampuan-kemampuan lain karena hal tersebut sangatlah penting dalam menentukan

keberhasilan awal pernikahan pada pasangan. Kurangnya kemampuan-kemampuan tersebut dapat

terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi pada pasangan individu yang belum lama menikah pada

saat studi dilakukan yaitu, 50% (Olson & DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Oleh sebab itu,

pada tahun 1978, inventori PREPARE/ENRICH dikembangkan berdasarkan indikator-indikator

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

teoritis dan empiris dari permasalahan-permasalahan dan konflik-konflik yang umum terjadi pada

pernikahan. Indikator ini terdiri dari 4 kelompok utama yaitu personality issues, intrapersonal issues,

interpersonal issues, dan external issues.

Pada studi yang dilakukan Fowers dan Olson (1992) disimpulkan bahwa kepuasan dan

keberhasilan pernikahan dapat diprediksi dari kualitas hubungan sebelum menikah dan

pernikahan dapat ditingkatkan dan distabilisasi melalui intervensi sebelum pernikahan. Intervensi

yang dilakukan akan lebih sesuai, efektif dan efisien bila sesuai dengan apa yang dibutuhkan

oleh pasangan yang akan menikah. Maka dari itu, Fowers dan Olson (1992) mengembangkan

tipologi pasangan berdasarkan inventori PREPARE agar dapat membantu dalam menemukan

intervensi yang sesuai. Mereka pun membaginya kedalam 4 tipe pasangan yaitu, vitalized

couples, harmonious couples, traditional couples, dan conflicted couples.

Karakteristik dari tipe-tipe pasangan menurut Fowers dan Olson (1992) adalah sebagai

berikut:

A. Vitalized couples

Pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada keseluruhan hubungannya.

Pasangan ini memiliki nilai yang tinggi pada kenyamanan dalam mendiskusikan

hubungannya masing-masing, dan dapat menyelesaikan masalahnya bersama-sama.

B. Harmonious couples

Pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang sedang pada hubungannya. Pasangan ini

menyatakan bahwa secara relatif mereka puas akan kepribadian dan perilaku

pasangannya, merasa dimengerti oleh pasangannya, dapat mendiskusikan perasaannya

satu sama lain, dapat menghadapi perbedaan-perbedaan pada pasangannya, dan merasa

nyaman dengan teman-teman dan keluarga pasangannya.

C. Traditional couples

Pasangan ini memiliki ketidakpuasan pada area interaksional hubungan mereka, tapi

memiliki kekuatan dalam area-area yang melibatkan pengambilan keputusan dan

perencanaan masa depan.

D. Conflicted couples

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Pada pasangan ini, mengidikasikan kesulitan pada semua skala PREPARE. Pasangan ini

menyatakan ketidakpuasannya terhadap kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang

dimiliki pasangannya.

Kemudian, pada tahun 1996, Fowers & Olson membuat program pre-marital PREPARE

guna melihat kekuatan dan kelemahan dari pasangan yang sudah akan menikah, dimana tujuan

program tersebut adalah mengantisipasi ketidakpuasan yang akan terjadi diantara pasangan. Pada

tahun 2003, Risnawaty mengadaptasi PREPARE/ENRICH ke dalam bahasa Indonesia, yang

kemudian dinamakan Inventori Kesiapan Menikah. Inventori Kesiapan Menikah pun kembali

diadaptasi secara lebih mendalam oleh Wiryasti pada tahun 2004, yang kemudian berubah nama

menjadi Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah.

2.1.2 Definisi Kesiapan Menikah

Menurut Larson (1988 dalam Badger, 2005) kesiapan menikah adalah evaluasi subjektif

individu terhadap kesiapan dirinya untuk mengemban tanggung jawab dan tantangan dalam

pernikahan. Menurut Holman & Li (1997), kesiapan menikah merupakan kemampuan yang

dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari

proses memilih pasangan atau perkembangan hubungan.

Kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004) merupakan kemampuan individu untuk

menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami dan istri, dan digambarkan oleh adanya faktor-

faktor eksternal seperti kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan

interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai.

Berdasarkan definisi kesiapan menikah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan

menikah merupakan kemampuan individu untuk mengemban tanggung jawab dan menjalankan

peran dalam pernikahannya kelak.

2.1.3 Komponen Kesiapan Menikah

Terdapat komponen-komponen dalam kesiapan menikah yang perlu untuk diukur.

Komponen tersebut diukur menggunakan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang

dikembangkan oleh Wiryasti (2004) yang telah merangkum komponen-komponen kesiapan

menikah dari beberapa ahli, yaitu Holman & Larson (1994), Fowers & Olson (1996), dan

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Risnawaty (2003). Berikut komponen-komponen perbandingan yang melatarbelakangi definisi

kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004) :

Tabel 2.1

Tabel Perbandingan Kompoen Kesiapan Menikah

Holman & Larson Fowers & Olson

(1992)

Risnawaty

(2003)

Wiryasti

(2004)

• Komunikasi

• Resolusi

Konflik

• Keluarga

Besar

(Family of

origin)

• Masalah

keuangan

• Tujuan

Pernikahan

Personality Issues

(Kepribadian)

- Assertiveness

- Self confidence

- Avoidance

- Partner

dominance

Intrapersonal Issues

- Idealistic

Distortion

- Spiritual Beliefs

- Leisure

activities

- Marriage

expectation

Interpersonal Issues

- Communication

- Conflict

Resolution

- Children and

parenting

- Couple

closeness

- Role

• Komunikasi

• Keuangan

• Anak dan

pengasuhan

• Pembagian

peran suami

istri

• Latar

Belakang

pasangan

dan relasi

dengan

keluarga

besar

• Agama

• Komunikasi

• Keuangan

• Anak dan

pengasuhan

• Pembagian

peran suami

dan istri

• Latar

belakang

pasangan dan

relasi dengan

keluarga

besar

• Agama

• Minat dan

pemanfaatan

waktu luang

• Perubahan

pada

pasnagan dan

pola hidup

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Holman & Larson Fowers & Olson

(1992)

Risnawaty

(2003)

Wiryasti

(2004)

relationship

- Sexual

relationship

External Issues

- Family and

friend

- Financial

management

- Family

closeness and

family flexibility

Berikut komponen kesiapan menikah yang diukur oleh Wiryasti (2004) :

1. Komunikasi

Komunikasi adalah kemampuan untuk mengekspresikan ide atau perasaannya dan

mendengarkan pesan. Menurut Olson & DeFrain (2006), komunikasi adalah cara yang

digunakan individu untuk membentuk dan membagi suatu arti, baik secara verbal,

maupun non-verbal, dimana kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik adalah

sebuah keterapilan yang esensial dan sangat membantu yang harus dikuasai oleh

individu bisa menikmati hubungan dengan pasangan. Menurut Wiryasti (2004), indikator

dalam komponen komunikasi ini terdiri dari keterbukaan, kejujuran, kepercayaan,

empati dan keterampilan mendengarkan. Keterbukaan (self-disclosure) menurut

Budyatna dan Ganiem (2011) adalah saling memberikan data biografis, gagasan-gagasan

pribadi, dan perasaan-perasaan yang tidak diketahui bagi orang lain, dan umpan balik

berupa verbal dan respon-respon fisik kepada orang dan/atau pesan-pesan mereka di

dalam suatu hubungan. Sedangkan empati merupakan kemampuan untuk mendengarkan

secara aktif dan penuh perhatian, serta mengidentifikasi pernyataan emosi dari pasangan

bahan ketika ia tidak membagi perasaannya (Wiryasti, 2004).

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

2. Keuangan

Keuangan dalam hal ini merupakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pengaturan

ekonomi rumah tangga. Keuangan merupakan stressor yang paling umum dirasakan

pasangan dan keluarga, terlepas dari berapa banyak uang yang mereka hasilkan (Olson

DeFrain, 2006). Menurut Wiryasti (2004), indikator dalam komponen ini dalah

pengendalian atau pengaturan keuangan (menabung atau tidak, ada rencana penyusunan

anggaran) dan membentuk kesepakatan yang telah dibuat dengan pasangan. Masalah

yang berkaitan dengan ekonomi menjadi suatu hal yang penting dalam rumah tangga,

dimana kebutuhan hidup masing-masing anggota keluarga seperti keperluan rumah, biaya

transportasi, makanan, kesehatan, rekreasi, pendidikan dan kebutuhan lainnya diharapkan

dapat terpenuhi (DeGenova, 2008).

3. Anak dan Pengasuhan

Ketika individu siap untuk menikah, maka siap pula untuk menghadapi segala

konsekuensinya, seperti memiliki anak. Namun, menjadi orangtua ternyata bukanlah

suatu hal yang mudah (DeGenova, 2008). Masalah anak dan pengasuhan berkaitan

dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan atau didikan yang akan

diberikan. Dalam komponen ini, terdapat lima indikator menurut Wiryasti (2004) yaitu,

pengaruh kehadiran anak terhadap relasi, rencana untuk memiliki anak, kesepakatan cara

KB, kesepakatan cara pengasuhan dan kesiapan menjalankan peran orangtua.

4. Pembagian peran suami dan istri

Setiap individu dalam suatu pasangan memiliki dua peran, yaitu peran domestic (peran

dalam rumah tangga) dan peran publik (peran di luar rumah tangga). Pembagian peran

suami dan istri merupakan persepsi dan sikap dalam memandang peran-peran domestik

dan publik serta kesepakatan dalam pembagiannya. Terdapat dua indicator dalam

komponen pembagian peran suami dan istri menurut Wiryasti (2004) yaitu, sikap

terhadap peran-peran tradisional atau egaliter dan kesepakatan pembagian peran suami

istri dengan pasangan.

5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar

Ketika pasangan menikah, maka mereka tidak hanya menikah dengan pasangannya,

melainkan juga dengan keluarga dan lingkungan sosial dari pasangan (Broderick, 1992,

1993, dalam Olson & DeFrain, 2006). Komponen latar belakang pasangan dan relasi

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

dengan keluarga besar menurut Wiryasti (2004), merupakan nilai-nilai dan sistem

keluarga besar (asal) yang membentuk karakter individu dan relasi anggota keluarga.

Indikator dalam komponen ini menurut Wiryasti (2004) ialah latar belakang keluarga,

evaluasi terhadap nilai-nilai keluarga besar (sama atau berbeda apakah berpotensi

menjadi konflik), sikap keluarga besar terhadap anggota baru apakah menerima atau tidak

dan suku bangsa.

6. Agama

Komponen agama merupakan nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan.

Menurut Hatch, James & Schumm (1986, dalam DeGenova, 2008), bahwa pasangan

yang sukses merupakan pasangan yang berbagi aktivitas spiritual, memiliki kesamaan

nilai dan religiusitas, serta pasangan yang memiliki derajat tinggi dalam orientasi

keagamaan. Menurut Wiryasti (2004), komponen ini terdiri dari dua indikator yaitu,

kesamaan prinsip agamaapakah harus seiman atau tidak serta penempatan nilai agama

atau religiusitas dalam relasi apakah dilandasi nilai agama atau tidak. Komponen agama

juga berkaitan dengan penempatan nilai agama dalam kehidupan pernikahan dan dalam

hubungan dengan pasangan, serta apakah janji pernikahan yang telah dibuat secara

sungguh-sungguh berarti bagi pasangan (Wiryasti, 2004).

7. Minat dan pemanfaatan waktu luang

Sikap terhadap minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi

diri sendiri dan pasangan. Dalam komponen ini terdiri dari indicator minat apakah

pasangan saling mendukung atau tidak, waktu untuk bersama serta waktu untuk sendiri.

8. Perubahan pada pasangan dan pola hidup

Komponen ini merupakan persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan dan pola

hidup, yang mungkin terjadi setelah menikah. Dimana terdiri dari dua indikator yaitu

perubahan pada diri pasangan dan perubahan pada pola hidup.

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah

Menurut De Genova (2008) dan Holman & Li (1997), terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu:

1. Usia saat menikah

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Menurut DeGenova (2008), Individu yang menikah pada masa remaja menyebabkan

mereka harus meninggalkan kegiatan pendidikan dan menerima status yang rendah dalam

pekerjaan, dimana hal tersebut mempersulit pernikahan mereka ke depannya. Senada

dengan DeGenova (2008), menurut Holman & Li (1997), karakteristik sosiodemografis

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah. Karakteristik

sosiodemografis berkaitan dengan usia individu, pekerjaan, tabungan atau pendapatan

(financial) dan hal-hal tersebut turut mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah.

2. Level kedewasaan pasangan

Remaja biasanya belum cukup dewasa untuk menghadapi pernikahan, karena

kurangnya kemampuan komunikasi, rasa cemburu, atau kurangnya kesetiaan (DeGenova,

2008). Sedangkan menurut Holman & Li (1997), kualitas komunikasi pasangan dan

tingkat persetujuan pasangan merupakan salah faktor yang mempengaruhi kesiapan

menikah. Kualitas komunikasi dengan pasangan dan cara berinteraksi dengan pasangan

dalam menjalin suatu hubungan dengan pasangan berkaitan dengan level persetujuan

dengan pasangan dimana hal tersebut menghasilkan bagaimana individu tersebut dapat

melakukan persetujuan dengan pasangannya apakah sulit atau mudah. hal tersebut dapat

menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah dan menjadi faktor kuat untuk

melanjutkan hubungan ke arah pernikahan.

3. Waktu menikah

Menurut DeGenova (2008), beberapa pasangan menikah pada waktu yang tidak tepat,

tidak sesuai dengan rencana mereka. Sehingga, hal tersebut membuat individu menjadi

kecewa dengan pernikahannya.

4. Motivasi untuk menikah

Kebanyakan orang menikah karena cinta, persahabatan dan keamanan. Tapi, ada juga

individu yang menikah untuk terbebas dari keadaan hidup yang tidak menyenangkan,

untuk menyembuhkan ego, atau dengan maksud membuktikan bahwa mereka layak

untuk menikah. Beberapa individu merasa tertarik untuk menikahi individu yang butuh

diperhatikan (DeGenova, 2008).

5. Kesiapan untuk eksklusivitas seksual

Pada umumnya, pasangan menginginkan eksklusivitas seksual. Jika ia belum siap

akan hal tersebut, maka kemungkinan ia tidak siap untuk menikah (DeGenova, 2008).

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

6. Emansipasi emosi dari orangtua

Emansipasi emosi dari orangtua yang dimaksud oleh DeGenova (2008) adalah

keadaan dimana individu harus siap untuk memberikan loyalitas dan perhatian utama

mereka kepada pasangan, bukan lagi kepada orangtua mereka.

7. Tingkat pendidikan dan aspirasi vokasional dan derajat pemenuhan pendidikan

Diugkapkan oleh DeGenova (2008), bahwa secara umum orang dengan pendidikan

yang rendah akan menikah lebih awal. Jika seseorang memiliki aspirasi yang tinggi maka

ia akan menunggu lebih lama untuk menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu dan kemudian

menikah, serta akan menunggu lebih lama untuk memiliki anak setelah menikah.

8. Jumlah dukungan yang signifikan dari orang lain untuk hubungan

Menurut Holman & Li (1997), apabila terdapat jumlah dukungan orang lain yang

signifikan terhadap hubungan yang sedang dijalani individu, dalam arti semakin banyak

orang yang memberikan dukungan terhadap hubungannya dengan pasangannya maka

akan semakin menimbulkan kesiapan menikah pada diri individu tersebut.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah yang telah dijabarkan

di atas menurut De Genova (2008) dan Holman & Li (1997), salah satu faktor yang

mempengaruhi kesiapan menikah adalah motivasi untuk menikah. Dimana dalam hal ini yang

dimakasud dengan motivasi untuk menikah adalah pernikahan yang didorong oleh perasaan

cinta, persahabatan, dan keamanan. Motivasi merupakan salah satu komponen yang terdapat

dalam teori hope atau dalam teori hope itu sendiri biasa disebut dengan agency thinking atau

willpower yang merupakan pemikiran untuk memulai usaha guna meraih tujuan.

2.2 Hope

2.2.1 Definisi Hope

Snyder (1991, dalam Snyder, Sympson, Ybasco, Borders, Babyak & Higgins, 1994)

menjelaskan hope sebagai sekumpulan kognitif yang didasari pada hubungan timbal-balik antara

agency dan pathway. Menurut Snyder (1994), harapan adalah keseluruhan daya kehendak

(willpower/agency) dan strategi (waypower/pathway) yang dimiliki individu untuk mencapai

sasaran (goal). Menurut Snyder (dalam Lopez & Snyder, 2003), hope merupakan pemikiran

yang terarah pada tujuan, dimana individu merasa bahwa mereka dapat membuat rute yang

diinginkan untuk meraih tujuan (pathways thinking) dan motivasi yang diperlukan untuk

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

menggunakan rute mereka tersebut (agency thinking). Bila seseorang tidak memiliki semua

komponen tersebut dalam hope, maka hal itu tidak bisa disebut sebagai harapan.

Hope dapat diukur dengan menggunakan The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale oleh

Snyder (1991) dan The Adult State Hope Scale oleh Snyder (1996). Dimana kedua alat ukur ini

sama-sama ditunjukkan untuk subjek dengan usia 15 tahun keatas. The Adult Dispositional

(Trait) Hope Scale merupakan self report dimana untuk mengisinya, subjek diminta untuk

membayangkan dirinya berada pada situasi dan waktu tertentu. Oleh sebab itu, The Adult

Dispositional (Trait) Hope Scale juga biasa disebut The Future Scale. The Adult Dispositional

(Trait) Hope Scale memiliki 12 item, 4 item untuk komponen agency thinking (willpower), 4

item untuk komponen pathway thinking (waypower), dan 4 item distractor.

Sedangkan The Adult State Hope Scale juga merupakan self report, namun hal yang

membedakan dibandingkan dengan The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale adalah untuk

mengisinya subjek diminta untuk mendeskripsikan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka

pada saat sekarang. The Adult Hope Scale memiliki 6 item, 3 item untuk komponen agency

thinking (willpower), dan 3 item untuk komponen pathway thinking (waypower). Oleh sebab itu,

peneliti memilih untuk menggunakan alat ukur The adult Dispositional (Trait) Hope Scale

karena dalam penelitian teori hope dihubungkan dengan kesiapan menikah.

2.2.2 Komponen Hope

Menurut Snyder (2000) terdapat tiga komponen dalam teori hope yaitu goal, agency

thinking/willpower dan pathway thinking/waypower.

2.2.2.1 Tujuan (Goal)

Goal adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif

(Snyder, 2005). Goal harus cukup bernilai bagi individu untuk menempati pemikiran sadar yang

dapat bervariasi dalam jangka waktu untuk mencapainya, mulai dari yang dapat dicapai dalam

beberapa menit berikutnya (jangka pendek) sampai tujuan yang memerlukan waktu berbulan-

bulan bahkan bertahun-tahun (jangka panjang) untuk mencapainya (Snyder, 2002). Menurut

Snyder (2002), terdapat dua jenis tujuan yang diharapkan. Jenis pertama merupakan tujuan

positif atau tujuan mendekati. Sedangkan jenis yang kedua ialah tujuan negatif untuk mencegah.

2.2.2.2 Agency Thinking (Willpower)

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Komponen kedua adalah agency thinking, yaitu kapasitas cara (pathway) individu untuk

mencapai tujuan (goal), (Snyder, 2005). Agency thinking merupakan motivasi mental individu

untuk memulai usaha dalam meraih tujuan. Willpower/agency adalah sumber tekad dan

komitmen yang mendorong individu untuk mencapai sasaran (Snyder, 1994). Snyder (2002)

menyatakan bahwa willpower bersifat self –referential, yaitu individu memiliki pemikiran bahwa

dirinya sendirilah yang memulai dan terus bergerak untuk mencapai tujuannya. Keberadaan

tujuan yang jelas dan penting mempengaruhi seberapa besar willpower inidvidu untuk

mencapainya. Tujuan yang samar-samar tidak memunculkan willpower secara mental untuk

maju. Willpower juga dipengaruhi oleh pembelajaran sebelumnya ketika seseorang berusaha

untuk menjapai tujuannya. Inidvidu yang memiliki willpower merupakan individu yang telah

mampu menghadapi kesulitan dalam hidup.

2.2.2.3 Pathway Thinking (Waypower)

Komponen ketiga merupakan pathway thinking. Menurut Snyder (2005), pathway

thinking diartikan sebagai kemampuan atau rute yang berfungsi untuk mencapai goal (tujuan)

individu. Suatu rute atau jalan pikir yang mampu memberikan gambaran dan prediksi tentang

cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan (Snyder, 2000). Strategi adalah kapasitas mental

untuk menemukan satu atau beberapa cara yang efektif untuk mencapai sasaran (Snyder, 1994).

Keberadaan tujuan penting untuk membantu individu untuk merencanakan dengan lebih baik

cara-cara untuk mencapainya. Kemampuan merencanakan strategi turut dipengaruhi oleh

pengalaman dan pembelajaran menemukan cara-cara tertentu untuk mencapai sasaran. Selain itu

informasi yang dimiliki individu turut membantunya untuk merancang strategi mencapai sasaran.

Bahkan bila kemudian cara tersebut tidak berhasil, individu bisa menggunakan informasi lain

untuk merancang strategi baru.

Snyder (2000) menggambarkan hope sebagai berikut:

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Gambar 2.1

Gambaran Hope Theory

Secara lebih lanjut, gambar 2.1 di atas merupakan sebuah gambaran dinamika yang

berguna untuk mengetahui siklus proses pemunculan hope hingga proses pencapaian goal pada

seseorang. Terdapat berbagai komponen dari hope theory, termasuk diantaranya hubungan

interaksi yang dinamis antara pathway dan agency. Pathway dan agency tersebut didasari oleh

serangkaian emosi yang berasal dari pengalaman pencapaian goal sebelumnya. Supaya proses

pencapaian goal tetap berlangsung, maka perlu nilai yang cukup terkait dengan pencapaian goal.

Pada tahapan ini, pathway dan agency akan diaplikasikan pada goal yang diingkan. Dalam rute

pencapaian goal, seseorang mungkin menghadapi stress yang dapat menghambat goal tersebut.

Menurut teori hope, individu dengan hope yang tinggi akan melihat hambatan sebagai tantangan,

sementara individu dengan hope yang renadah akan melihat hambatan sebagai rintangan. Jika

berhasil menghadapi rintangan, maka emosi positif akan bertambah dan menambah pathway

thoughts dan agency thoughts. Sebaliknya, jika gagal dalam menghadapi hambatan akan muncul

emosi negatif yang menghambat proses pencapaian goal (Snyder & Lopez,2006).

2. 3 Emerging Adult

2.3.1 Definisi Emerging Adult

Emerging adult adalah tahapan perkembangan yang baru muncul di akhir abad ke dua

puluh dengan fokus usia 18-25 tahun (Arnett, 2004) atau 18-29 tahun (Arnett, 2013). Arnett

(2006) mendefinisikan emerging adult sebagai tahapan perkembangan yang bukan lagi tahapan

remaja bukan pula tahapan dewasa awal. Emerging adult merupakan saat ketika muncul banyak

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

pilihan terhadap arah kehidupan mereka seperti cinta, pekerjaan dan pandangan terhadap dunia

(Santoso, Untario, Wahyuningsih & Setyaningrum, 2009).

2.3.2 Ciri-Ciri Emerging Adult

Menurut Arnett (2004), terdapat lima ciri yang ditemui pada individu di tahap emerging

adult. Ciri-ciri tersebut ialah sebagai berikut:

1. Identity Exploration

Individu pada tahap emerging adult akan mencoba segala macam kemungkinan-

kemungkinan, mencari dan mengeksplorasi identitas yang ia cari secara serius dan fokus

mempersiapkannya memasuki tahapan kehidupan terutama dalam hal pekerjaan dan

cinta.

2. Instability

Individu pada tahapan emerging adult mengalami masa yang tidak stabil. Pada tahapan

sebelumnya, mereka memiliki rencana yang akan mereka bawa dan wujudkan ketika

dewasa kelak. Namun, seiring masuknya ke tahapan emerging adult, mereka banyak

mengalami perubahan rencana yang telah disusun.

3. Self Focus

Individu mulai membangun kompetensi untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari,

menggali pemahaman yang lebih dalam mengenali siapa mereka dan apa yang mereka

harpkan dalam hidup. Pada tahapan ini, individu mulai dituntut untuk mampu mandiri.

4. Feeling In-Between

Individu merasakap dimana ia tidak ingin lagi dianggap sebagai remaja, namun belum

siap untuk masuk ke dalam tahapan dewasa.

5. Possibilities

Harapan individu dalam tahap emerging adult akan masa depan berkembang besar.

Mereka melihat banyakanya kesempatan yang terbuka untuk memulai pekerjaan pada

tahapan ini. Sebagian mimpi mereka diupakan dicoba pada kehidupan nyata.

2.4 Tunangan

Menurut DeGenova (2008), tunangan merupakan tahapan pasangan antara pacaran dan

menikah, setelah pasangan mengumumkan untuk menikah. Pada tahapan ini, individu sudah

matang untuk menjadikan pasangannya sebagai calon pendamping hidupnya. Maka, biasanya

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

dirinya memberi simbol seperti cincin dan mengumunkan kepada publik bahwa mereka akan

menikah. Selama masa tunangan, hubungan pasangan dikelilingi oleh norma yang kuat hampir

seperti pernikahan. Pada saat ini, tanggal pernikahan biasanya ditentukan ketika tunangan

berlangsung.

2.5 Kerangka Berfikir

Hope menurut Snyder (2000), terdiri dari tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking

dan agency thinking. Goal merupakan sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan

komponen kognitif (Snyder, 2000). Pathway thinking adalah strategi spesifik yang

dikembangkan sesorang untuk mencapai tujuan tertentu (Snyder et. al., 2004). Dan agency

thinking adalah motivasi mental individu untuk memulai usaha dalam meraih tujuan (Snyder,

2000). Ketiga komponen utama hope ini terkait dengan kesiapan menikah dimana tujuan (goal)

pasangan yang akan menikah adalah siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai suami

maupun istri. Senada seperti yang dikemukan oleh DeGenova (2008), pada umumnya individu

mengharapkan kesuksesan dalam kehidupan pernikahannya yang dapat tercermin melalui

terpenuhinya cita-cita yang diidamkan kedua pasangan.

Ketika pasangan memiliki tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam

pernikahannya kelak, maka ia akan mencari cara (pathway thinking) untuk meraih tujuan

tersebut. Hal tersebut tercantum dalam komponen kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004),

yakni komunikasi yang baik, dapat mengatur keuangan, perencanaan untuk memiliki anak dan

cara pengasuhan, membagi peran suami dan istri, hubungan dengan keluarga besar, kesepakatan

dalam pemanfaatan waktu luang, dan persepsi terhadap perubahan pasangan.

Untuk melakukan strategi demi mencapai tujuan maka diperlukan motivasi (agency

thinking) dalam kesiapan menikah. Dimana motivasi pernikahan merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi kesiapan menikah (DeGenova, 2008). Motivasi yang dimaksud dalam hal

ini adalah individu menikah yang didasari oleh perasaan cinta kepada pasangannya. Ketika

individu menikah berdasarkan cinta dan ingin merasa bahagia, maka hal tersebut akan

mendorong individu dalam melakukan strategi guna mencapai tujuan pernikahan yang bahagia

seperti yang diinginkannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka alur pemikiran dapat

digambarkan sebagai berikut:

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Library & Knowledge Centerlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-00034-PS Bab2001.… · keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut

Gambar 2.2

Kerangka Berpikir Hubungan Hope dengan Kesiapan Menikah

2.6 Asumsi Penelitian

Asumsi dari penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kesiapan menikah

dengan hope. Dengan begitu, kedua variable memiliki hubungan yang searah. Dapat diartikan

apabila individu memiliki kesiapan menikah yang tinggi, maka individu akan memiliki hope

yang tinggi pula, begitu pula sebaliknya. Apabila individu memiliki hope yang tinggi, maka

individu akan memiliki kesiapan menikah yang tinggi pula.

Hope

Kesiapan Menikah

Emerging Adult yang

sudah bertunangan