bab 2 tinjauan pustaka 2.1. perilaku pembebanan gempathesis.binus.ac.id/asli/bab2/2008-2-00459-sp...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku Pembebanan Gempa
Beban gempa nilainya ditentukan oleh 3 hal, yaitu oleh besarnya probabilitas
beban, saat dilampaui dalam kurun waktu tertentu, oleh tingkat daktilitas struktur saat
memperoleh gaya gempa dan oleh kekuatan lebih yang terkandung di dalam struktur
tersebut. Menurut SNI 03 – 1726 -2002 2002 mengenai ”Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung” peluang dilampauinya beban tersebut
dalam kurun waktu umur gedung 50 tahun adalah 10 % dan gempa yang disebabkannya
adalah gempa rencana (dengan periode ulang 500 tahun), tingkat daktilitas struktur
gedung dapat ditetapkan sesuai dengan kebutuhan, sedangkan faktor kuat lebih f1 untuk
struktur gedung secara umum nilainya adalah 1,6.
Dengan demikian, beban gempa nominal adalah beban akibat pengaruh gempa
rencana yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama di dalam sturktur gedung,
kemudian direduksi dengan faktor kuat lebih f1. Faktor daktilitas sturktur gedung (μ )
adalah rasio antar simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa
rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan ( mδ ) dan simpangan struktur
gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama ( yδ ).
Apabila mV adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh gempa rencana
yang dapat diserap oleh struktur gedung elastik penuh dalam kondisi di ambang
keruntuhan dan yV adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam
struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktil dan struktur gedung
7
elastik penuh akibat pengaruh gempa rencana menunjukkan simpangan maksimum mδ
yang sama dalam kondisi di ambang keruntuhan. Vn adalah pembebanan gempa
nominal akibat pengaruh gempa rencana.
Struktur gedung daktil dan stuktur gedung elastik penuh akibat pengaruh Gempa
Rencana menunjukkan simpangan maksimum mδ yang sama dalam kondisi di ambang
keruntuhan. Agar terdapat hubungan yang sederhana antara yV dan mV melalui μ ,
yaitu dengan mengasumsikan bahwa sesungguhnya struktur gedung yang daktil
memiliki mδ yang relatif lebih besar dari pada struktur gedung yang elastik, sehingga
memiliki μ yang lebih lebih besar dari pada yang diamsumsikan. Hal ini dapat
divisualisasikan dalam diagram beban – simpangan yang ditunjukan dalam gambar 2.1
Gambar 2.1. Diagram beban-simpangan (diagram V-δ ) struktur gedung
8
2.2. Beban Gempa
2.2.1. Kategori Gedung
Pengaruh gempa rencana terhadap probabilitas terjadinya keruntuhan struktur
bangunan harus dikalikan dengan suatu faktor kerutamaan I menurut persamaan :
I = I1 I2 (2.1)
dengan :
I1 = Faktor keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa berkaitan dengan
penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung
I2 = Faktor keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa berkaitan dengan
penyesuaian umur gedung tersebut.
Tabel 2.1. Faktor keutamaan I untuk berbagai katergori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan Kategori gedung
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran
1,0 1,0 1,0
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi.
1,4 1,0 1,4
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun.
1,6 1,0 1,6
Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5
(Sumber : SNI 03-1726-2002 )
Catatan :
Untuk semua struktur bangunan gedung yang ijin penggunaannya diterbitkan sebelum berlakunya Standar ini maka Faktor Keutamaan I, dapat dikalikan 80%.
9
2.2.2. Struktur Gedung Beraturan dan Tidak Beraturan
Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi
ketentuan SNI 03-1726-2002 tentang ”Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Bangunan Gedung” sebagai berikut :
• Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat
atau 40 m.
• Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun
mempunyai tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran
terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut.
• Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral
yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal
denah struktur gedung secara keseluruhan.
• Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun
mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang
menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75 % dari ukuran terbesar
denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya.
• Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya
tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana
kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau
kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja
di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat.
10
• Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap
lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di
atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi
ketentuan ini.
• Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban
lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan
tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.
• Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau
bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai
tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20%
dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.
Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh gempa rencana dapat ditinjau sebagai
pengaruh beban gempa statik ekuivalen, sehingga menurut standar ini analisisnya dapat
dilakukan berdasarkan analisis statik ekuivalen. Struktur gedung yang tidak memenuhi
ketentuan menurut ditetapkan sebagai struktur gedung tidak beraturan. Untuk struktur
gedung tidak beraturan, pengaruh gempa rencana harus ditinjau sebagai pengaruh
pembebanan gempa dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis
respons dinamik.
11
2.2.3. Wilayah Gempa dan Respon Spectrum
Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa seperti ditunjukan oleh
gambar 2.2, dimana wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah
dan wilayah gempa 6 dengan kegempaan yang paling tinggi. Pembagian wilayah
gempah ini didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa
rencana dengan periode ulang 500 tahun, yang nilainya ditetapkan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk
masing masing wilayah gempa Indonesia
Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’) Wilayah
Gempa
Percepatan
puncak
batuan dasar
(‘g’)
Tanah
Keras
Tanah
Sedang
Tanah
Lunak
Tanah
Khusus
1
2
3
4
5
6
0,03
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,04
0,12
0,18
0,24
0,28
0,33
0,05
0,15
0,23
0,28
0,32
0,36
0,08
0,20
0,30
0,34
0,36
0,38
Diperlukan
evaluasi
khusus di
setiap lokasi
(Sumber : SNI 03-1726-2002 )
Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 < T < 0,2 detik terdapat
ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam tingkat daktilitas
strukturnya, maka dalam kisaran waktu getar alami pendek tersebut, nilainya tidak
diambil kurang dari nilai maksimumnya untuk jenis tanah yang bersangkutan. Dengan
12
menetapkan A0 sebagai percepatan puncak batuan dasar dan muka tanah sehingga
didapat percepatan respons maksimum Am sebesar
Am = 2,5 Ao (2.2)
Pada waktu getar alami sudut Tc sebesar 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik
untuk jenis tanah berturut-turut tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak, maka faktor
respons gempa C ditentukan oleh persamaan-persamaan sebagai berikut :
• untuk T < Tc :
C = Am (2.3)
• untuk T > Tc :
C = TAr (2.4)
dengan
Ar = Am Tc (2.5)
Dalam Tabel 2.3, nilai-nilai Am dan Ar disajikan untuk masing-masing wilayah
gempa dan masing-masing jenis tanah.
13
Tabel 2.3. Spektrum respons gempa rencana
Tanah Keras
Tc = 0,5 det.
Tanah Sedang
Tc = 0,6 det.
Tanah Lunak
Tc = 1,0 det.
Wilayah Gempa
Am Ar Am Ar Am Ar
1
2
3
4
5
6
0,10
0,30
0,45
0,60
0,70
0,83
0,05
0,15
0,23
0,30
0,35
0,42
0,13
0,38
0,55
0,70
0,83
0,90
0,08
0,23
0,33
0,42
0,50
0,54
0,20
0,50
0,75
0,85
0,90
0,95
0,20
0,50
0,75
0,85
0,90
0,95
(Sumber : SNI 03-1726-2002 )
Sehingga dapat digambarkan respon spectrum gempa rencana untuk masing-
masing wilayah gempa. Dalam gambar tersebut C adalah faktor respons gempa
dinyatakan dalam percepatan gravitasi dan T adalah waktu getar alami struktur gedung
dinyatakan dalam detik. Untuk T = 0 nilai C tersebut menjadi sama dengan A0.
14
0.20
0.130.100.080.050.04
0 0.5 1.0 2.0 3.00.60.2
lunak) (TanahT
0.20C =
sedang) (TanahT
0.08C =
keras) (TanahT
0.05C =
0.38
0.30
0.20
0.15
0.12
0 0.5 1.0 2.0 3.00.60.2
lunak) (TanahT
0.50C =
sedang) (TanahT
0.23C =
keras) (TanahT
0.15C =
0.50
0.75
0.55
0.45
0.30
0.23
0.18
0 0.5 1.0 2.0 3.00.60.2
lunak) (TanahT
0.75C =
sedang) (TanahT
0.33C =
keras) (TanahT
0.23C =
0.60
0.34
0.28
0.24
0 0.5 1.0 2.0 3.00.60.2
lunak) (TanahT
0.85C =
sedang) (TanahT
0.42C =
keras) (TanahT
0.30C =
0.85
0.70
0.90
0.83
0.70
0.360.32
0.28
0 0.5 1.0 2.0 3.00.60.2
(Tanah lunak)T
0.90C =
(Tanah sedang)T
0.50C =
(Tanah keras)T
0.35C =
0.950.90
0.83
0.380.360.33
0 0.5 1.0 2.0 3.00.60.2
(Tanah lunak)T
0.95C =
(Tanah sedang)T
0.54C =
(Tanah keras)T
0.42C =
T
Wilayah Gempa 1
C
T
Wilayah Gempa 2
C
T
Wilayah Gempa 3
C
T
Wilayah Gempa 5
C
T
Wilayah Gempa 4
C
T
Wilayah Gempa 6
C
Gambar 2.2. Respon Spectrum Gempa Rencana
(Sumber : SNI 03-1726-2002 )
15
16o
14o
12o
10o
8o
6o
4o
2o
0o
2o
4o
6o
8o
10o
16o
14o
12o
10o
8o
6o
4o
2o
0o
2o
4o
6o
8o
10o
94o 96o 98o 100o 102o 104o 106o 108o 110o 112o 114o 116o 118o 120o 122o 124o 126o 128o 130o 132o 134o 136o 138o 140o
94o 96o 98o 100o 102o 104o 106o 108o 110o 112o 114o 116o 118o 120o 122o 124o 126o 128o 130o 132o 134o 136o 138o 140o
Banda Aceh
Padang
Bengkulu
Jambi
Palangkaraya
Samarinda
BanjarmasinPalembang
Bandarlampung
Jakarta
Sukabumi
BandungGarut Semarang
Tasikmalaya Solo
Blitar MalangBanyuwangi
Denpasar Mataram
Kupang
SurabayaJogjakarta
Cilacap
Makasar
Kendari
Palu
Tual
Sorong
Ambon
Manokwari
Merauke
Biak
Jayapura
Ternate
Manado
Pekanbaru
: 0,03 g: 0,10 g: 0,15 g: 0,20 g: 0,25 g: 0,30 g
WilayahWilayahWilayahWilayahWilayahWilayah
1
1
1
2
2
3
3
4
4
56
5
1
1
1
1
1
1
2
2
2
22
2
3
3
3
33
3
4
4
4
44
4
5
5
5
55
5
6
6
6
4
2
5
3
6
0 80
Kilometer
200 400
Gambar 2.3. Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun
(Sumber : SNI 03-1726-2002 )
16
2.2.4. Beban Gempa Nominal
Struktur gedung dapat direncanakan terhadap pembebanan gempa nominal,
dimana gempa nominal tersebut dipengaruhi oleh gempa rencana dalam masing-masing
sumbu utama denah struktur. Apabila kategori gedung beraturan dan memiliki Faktor
Keutamaan I menurut Tabel 2.1, arah pembebanan Gempa Rencana memiliki faktor
reduksi gempa R dan waktu getar alami fundamental T1, maka beban geser dasar
nominal statik ekuivalen Vn yang terjadi di tingkat dasar dapat dihitung menurut
persamaan :
t1 WR
ICV = (2.6)
Di mana C1 adalah nilai Faktor Respons Gempa yang didapat dari Spektrum
Respons Gempa Rencana menurut Gambar 2.2 untuk waktu getar alami fundamental T1,
sedangkan Wt adalah berat total gedung, termasuk beban hidup yang sesuai.
2.3. Daktilitas dan Faktor Reduksi Gempa
Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur atau komponen struktur untuk
berdeformasi melampaui batas elastisnya, yang biasanya dinyatakan dengan leleh
pertama, tanpa adanya penurunan kekuatan dan kekakuan yang berlebihan, sehingga
struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang
keruntuhan. Tingkatan daktilitas terbagi menjadi 2 yaitu :
17
• Daktil penuh
Suatu tingkat daktilitas struktur gedung, dimana strukturnya mampu berdeformasi
melampaui batas elatisnya pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan yang
paling besar, yaitu dengan mencapai nilai faktor daktilitas sebesar 5,3.
• Daktil parsial
Seluruh tingkat daktilitas struktur gedung dengan nilai faktor daktilitas di antara
untuk struktur gedung yang elastik penuh sebesar 1 dan untuk struktur gedung yang
daktail penuh sebesar 5,3.
Faktor daktilitas struktur yang umumnya dipakai dalam praktek perencanaan
adalah daktilitas yang ditinjau dari hubungan beban dan perpindahan. Nilai daktilitas
(μ ) struktur didefinisikan sebagai perbandingan antara perpindahan maksimum struktur
( mδ ) dengan perpindahan pada saat terjadinya leleh pertama pada struktur yang ditinjau
( yδ ).
y
m
δδ
μ = (2.7)
dengan :
μ = faktor daktilitas
mδ = simpangan maksimum
yδ = simpangan saat leleh pertama
Jika f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam
struktur gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1.6, dan R disebut faktor reduksi
gempa, sehingga didapat persamaan :
18
m1 RfR6,1 ≤μ=≤ (2.8)
Dalam tabel 2.4. dicantumkan nilai faktor reduksi gempa (R) untuk berbagai nilai
faktor daktilitas (μ ) yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa nilai μ dan nilai R
tidak dapat melampaui nilai maksimumnya.
Tabel 2.4. Parameter daktilitas struktur gedung
Taraf kinerja struktur gedung
μ R
pers.( 6)
Elastik penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
Daktail parsial
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5
Dalam tabel 2.5 ditetapkan nilai μ m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis
sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimun Rm yang
bersangkutan.
19
Tabel 2.5. Faktor daktilitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem dan subsistem struktur gedung
Sistem dan subsistem struktur gedung Uraian sistem pemikul beban gempa μm
Rm
f
1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
2. Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing tarik 1,8 2,8 2,2
3. Rangka bresing di mana bresingnya memikul beban gravitasi
a. Baja 2,8 4,4 2,2
1. Sistem dinding penumpu
(Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing).
b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6) 1,8 2,8 2,2
1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
3. Rangka bresing biasa
a. Baja 3,6 5,6 2,2
b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6) 3,6 5,6 2,2
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail 4,0 6,5 2,8
6. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail penuh 3,6 6,0 2,8
2. Sistem rangka gedung
(Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing).
7. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial 3,3 5,5 2,8
1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
a. Baja 5,2 8,5 2,8
b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
2. Rangka pemikul momen menengah beton (SRPMM) 3,3 5,5 2,8
3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
3. Sistem rangka pemikul momen
(Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur)
4. Rangka batang baja pemikul momen khusus(SRBPMK) 4,0 6,5 2,8
20
Sistem dan subsistem struktur gedung Uraian sistem pemikul beban gempa μm
Rm
f
1. Dinding geser
a. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang 5,2 8,5 2,8
b. Beton bertulang dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
c. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang 4,0 6,5 2,8
2. RBE baja
a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
3. Rangka bresing biasa
a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
b . Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6) 4,0 6,5 2,8
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6) 2,6 4,2 2,8
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
4. Sistem ganda
(Terdiri dari: 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi; 2) pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral; 3) kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama-sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi /sistem ganda)
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5.Sistem struktur gedung kolom kantilever: (Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral)
Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
6.Sistem interaksi dinding geser dengan rangka Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3, 4, 5 & 6) 3,4 5,5 2,8
1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
3. Rangka terbuka beton bertulang dengan balok beton pratekan (bergantung pada indeks baja total) 3,3 5,5 2,8
4. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail penuh. 4,0 6,5 2,8
7. Subsistem tunggal
(Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan)
5. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial 3,3 5,5 2,8
(Sumber : SNI 03-1726-2002 )
21
2.4. Faktor Kuat Lebih
2.4.1. Faktor Kuat Lebih Bahan (f1)
Faktor kuat lebih bahan yang terkandung didalam suatu struktur gedung akibat
selalu adanya pembebanan dan dimensi penampang serta kekuatan bahan terpasang yang
berlebihan. Menurut SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Bangunan Gedung, nilai faktor kuat lebih beban dan bahan yang
terkandung di dalam struktur gedung nilainya ditetapkan sebesar 1,6. Nilai faktor kuat
lebih bahan dapat ditentukan dengan formulasi sebagai berikut :
n
y
VV
f =1 (2.9)
dengan :
1f = faktor kuat lebih bahan
yV = beban saat leleh pertama
nV = beban geser gempa nominal
2.4.2. Faktor Kuat Lebih Struktur (f2)
Faktor kuat lebih struktur merupakan faktor kuat lebih akibat kekakuaan struktur
gedung yang menyebabkan terjadinya redistribusi gaya-gaya oleh proses pembentukan
sendi plastis yang tidak bersamaan. Faktor kuat lebih struktur (f2) didapat dari rasio
antara beban gempa maksimum ( mV ) akibat pengaruh gempa rencana yang dapat diserap
oleh struktur gedung pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan dan beban
gempa pada saat terjadinya kelelehan pertama ( yV ).
22
y
m
VV
f =2 (2.10)
dengan :
2f = faktor kuat lebih struktur
mV = beban geser gempa maksimum
yV = beban saat leleh pertama
2.4.3. Faktor Kuat Lebih Total
Faktor kuat lebih total yang terdapat di dalam struktur gedung ditetapkan dengan
formulasi sebagai berikut :
21 f x f f = (2.11)
dengan :
f = faktor kuat lebih total
f1 = faktor kuat lebih bahan
f2 = faktor kuat lebih struktur
2.5. Perencanaan Tahan Gempa Berbasis Kinerja
Perencanaan tahan gempa berbasis kinerja (performance-based seismic design)
merupakan proses yang dapat digunakan untuk perencanaan bangunan baru maupun
perkuatan (upgrade) bangunan yang sudah ada, dengan pemahaman yang realistik
terhadap resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy) dan kerugian harta benda
(economic loss) yang mungkin terjadi akibat gempa yang akan datang.
23
Proses perencanaan tahan gempa berbasis kinerja dimulai dengan membuat
model rencana bangunan kemudian melakukan simulasi kinerjanya terhadap berbagai
kejadian gempa. Setiap simulasi memberikan informasi tingkat kerusakan (level of
damage), ketahanan struktur, sehingga dapat memperkirakan berapa besar keselamatan
(life), kesiapan pakai (occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang akan
terjadi.
Gambar 2.4. Ilustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja
(Sumber : FEMA 273)
Hal penting dari perencanaan berbasis kinerja adalah sasaran kinerja bangunan
terhadap gempa dinyatakan secara jelas, sehingga pemilik, penyewa, asuransi,
pemerintahan atau penyandang dana mempunyai kesempatan untuk menetapkan kondisi
24
apa yang dipilih, selanjutnya ketetapan tersebut digunakan insinyur perencana sebagai
pedomannya.
Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake
hazard) , dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level) dari
bangunan terhadap kejadian gempa tersebut. Kategori level kinerja struktur berdasarkan
perencanaan berbasis kinerja, adalah :
Tabel 2.6. Level Kinerja Struktur
Level Kinerja Penjelasan
Operational Tak ada kerusakan berarti pada strutur dan non strutur, bangunan tetap
berfungsi
Immediate
Occupancy
Tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana kekuatan dan
kekakuannya kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum gempa.
Komponen non-struktur masih berada ditempatnya dan sebagian besar
masih berfungsi jika utilitasnya tersedia. Bangunan dapat tetap
berfungsi dan tidak terganggu dengan masalah perbaikan.
Life Safety
Terjadi kerusakan komponen struktur, kekakuan berkurang, tetapi masih
mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen non-
struktur masih ada tetapi tidak berfungsi. Dapat dipakai lagi jika sudah
dilakukan perbaikan.
Collapse
Prevetion
Kerusakan yang berarti pada komponen struktur dan non-struktur.
Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak, hampir runtuh.
Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat
mungkin terjadi
25
Gambar 2.2. menjelaskan secara kualitatif level kinerja (performance levels)
FEMA 273 yang digambarkan bersama dengan suatu kurva hubungan gaya-perpindahan
yang menunjukkan perilaku struktur secara menyeluruh (global) terhadap pembebanan
lateral. Kurva tersebut dihasilkan dari analisa statik non-linier khusus yang dikenal
sebagai analisa pushover, sehingga disebut juga sebagai kurva pushover. Sedangkan titik
kinerja (performance point) merupakan besarnya perpindahan titik pada bagian atas
struktur saat mengalami gempa rencana.
2.6. Analisa Statik Nonlinier (Pushover)
Analisa statik nonlinier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku
keruntuhan suatu bangunan terhadap gempa. Analisa statik nonlinier juga dikenal
sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik. Analisa pushover dilakukan
dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang kemudian secara
bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target perpindahan lateral dari
suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah titik pada struktur bagian atas.
Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas (Gambar 2.2), kurva yang
menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan
pada struktur bagian atas (D) . Pada proses pushover, struktur didorong sampai
mengalami leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan
memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya
berperilaku non-linier.
Kurva pushover dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan
sebagai beban dorong. Tujuan analisa pushover adalah untuk memperkirakan gaya
maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana
26
saja yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan
perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya. Cukup banyak studi menunjukkan
bahwa analisa statik pushover dapat memberikan hasil mencukupi (ketika dibandingkan
dengan hasil analisa dinamik nonlinier) untuk bangunan regular dan tidak tinggi.
Untuk mendapatkan nilai leleh pertama serta beban puncak dalam menggunakan
analisa dengan peraturan FEMA 356 dimana nilai beban leleh pertam (Vy) dan beban
maksimum langsung ditentukan melalui penarikan garis yang memotong kurva
perpindahan hubungan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan
pada struktur bagian atas (D).
Gambar 2.5. Definisi Leleh Pertama (Vy) dan Leleh Maksimum (Vt)
(Sumber : FEMA 356)
Perpindahan (m)
Gay
a ge
ser d
asar
(kg
)
27
2.7. Properti Sendi (Hinge Properties)
Pemodelan sendi digunakan untuk mendefinisikan perilaku nonlinier force-
displacement atau momen-rotasi yang dapat ditempatkan pada beberapa tempat berbeda
disepanjang bentang balok atau kolom. Pemodelan sendi plastis adalah rigid dan tidak
memiliki efek pada perilaku linier pada elemen balok atau kolom.
Dalam studi ini hanya elemen balok yang dimodelkan, maka untuk elemen balok
menggunakan tipe sendi default-M3 dengan pertimbangan bahwa balok efektif menahan
momen dalam arah sumbu kuat (sumbu-3), sehingga diharapkan sendi plastis terjadi
pada balok. Sendi platis berpotensi terjadi disepanjang daerah dua kali tinggi balok pada
kedua sisi dari suatu penampang.
Gambar 2.6. Kurva Beban – Perpindahan Umum
(Sumber : FEMA 356)
28
Gambar 2.7. Definisi Perputaran Sudut
(Sumber : FEMA 356)
Dimana, Q adalah gaya pada komponen dan QCE adalah kekuatan yang tersedia
dari komponen. Pada balok dan kolom, θ adalah rotasi elastis - plastis total dari balok
atau kolom, θy adalah rotasi pada saat leleh, Δ adalah perpindahan elastis - plastis total,
dan Δy adalah perpindahan saat leleh. Pada daerah panel, θy adalah sudut deformasi
geser dalam radian.
2.8. Sendi Plastis
Sendi plastis merupakan perubahan bentuk sendi jepit pada joint balok kolom
menjadi bentuk sendi, akibat pembebanan dan gaya gempa yang terus meningkat.
Perubahan bentuk ini dapat terjadi jika kolom dan balok memiliki prilaku daktil. Lokasi
sendi plastis biasanya terjadi di daerah sepanjang 2 kali tinggi balok.
29
Gambar 2.8. Diagram gaya moment (a) saat berprilaku sendi jepit dan diagram gaya
momen (b) saat berprilaku sendi plastis.
2.9. Metode Spektrum Kapasitas ( Capacity Spectrum Method )
Dalam metode spektrum kapasitas (Capacity spectrum method) dimulai dengan
menyajikan secara grafis dua buah grafik yang disebut spektrum, yaitu spektrum
kapasitas (capacity spectrum) yang menggambarkan kapasitas struktur berupa hubungan
gaya dorong total (base shear) dan perpindahan lateral struktur (biasanya ditetapkan di
puncak bangunan), dan spektrum demand yang menggambarkan besarnya demand
(tuntutan kinerja) akibat gempa dengan periode ulang tertentu (Gambar 2).
Gambar 2.9. Performance Point pada Capacity Spectrum Method
(Sumber : FEMA 356)
Sd
Sa
Capacity spectrum
Demand spectrum
Titik kinerja (performance point)
30
Spektrum kapasitas didapatkan dari kurva kapasitas (capacity curve) yang
diperoleh dari analisis pushover. Karena kurva kapasitas merupakan hubungan antara
gaya dorong total yang diberikan ke suatu struktur berderajat kebebasan banyak (multi-
degree-of-freedom-system, MDOF) terhadap perpindahan yang dipilih sebagai referensi
(umumnya puncak bangunan) sedangkan spektrum demand dibuat untuk struktur dengan
kebebasan satu (single-degree-of-freedom-system, SDOF), maka kurva kapasitas dengan
cara tertentu harus diubah menjadi spektrum kapasitas dengan satuan yang sama dengan
spektrum demand. Spektrum demand didapatkan dengan mengubah spektrum respons
yang biasanya dinyatakan dalam spektral kecepatan, Sa, dan Periode, T, menjadi format
spektral percepatan, Sa, dan spektral perpindahan, Sd. Format yang baru ini disebut
Acceleration-Displacemet Response Spectra (ADRS). Kurva kapasitas yang merupakan
produk dari pushover dinyatakan dalam satuan gaya (kg) dan perpindahan (m),
sedangkan demand spectrum memiliki satuan percepatan (m/detik2) dan perpindahan
(m). Satuan dari kedua kurva tersebut perlu diubah dalam format yang sama, yaitu
spektral percepatan, Sa, dan spektral perpindahan, Sd, agar dapat ditampilkan dalam satu
tampilan.
Titik kinerja merupakan perpotongan antara spektrum kapasitas dan spektrum
demand. Dengan demikian titik kinerja merupakan representasi dari dua kondisi, yaitu:
1) Terletak pada spektrum kapasitas, merupakan representasi kekuatan struktur
pada suatu nilai perpindahan tertentu
2) Terletak pada kurva demand, menunjukkan bahwa kekuatan struktur dapat
memenuhi demand beban yang diberikan.
31
Gambar 2.10. Beberapa titik kinerja dalam satu grafik dalam CSM
(Sumber : FEMA 356)
2.10. ETABS ver.9
ETABS (Extended Three Dimensional Analysis of Building Systems) adalah
salah satu program analisis struktur yang telah dikenal luas di kalangan teknik sipil.
Seiring dengan berkembangnya perangkat keras komputer, Computer and Structure, INC
dari Barkeley, pembuat ETABS, mengeluarkan seri program ETABS yang merupakan
perangkat lunak untuk analisis dan desain struktur yang menggunakan sistem operasi
windows.
ETABS menggunakan program aplikasi analisa struktur dengan metoda elemen
hingga (FEM) sebagai pendekatan yang baik dalam memprediksi perilaku struktural dan
juga dapat menyelesaikan masalah struktural yang rumit (jika pengguna mempunyai
kemampuan). ETABS juga mampu melakukan analisa struktur linear elastik dengan
Element Truss, Beam/Frame, Plane Stress/Strain, Plate, Shell atau Brick/Solid bahkan
sampai memperhitungakan pengaruh nonlinearitas bahan dan geometrinya. Salah
satunya perhitungan analysis static nonlinier, atau yang biasa dikenal dengan analysis
pushover.
Sd
Sa
Beberapa Spectrum kapasitas
Beberapa titik kinerja
Demand spectrum
32
Dalam analysis pushover, ETABS mampu secara sistematis dan otomatis
memberikan intensitas pembebanan lateral yang ditingkatkan sampai komponen struktur
yang paling lemah berdeformasi, sehingga menyebabkan kekakuannya berubah secara
signifikan (terjadi leleh dari penampang). Gaya dan deformasi untuk semua tahapan
beban sebelumnya akan terakumulasi untuk menghasilkan gaya dan deformasi total
(elastis dan plastis) dari semua komponen pada semua tahap pembebanan. Untuk setiap
tahapan beban, gaya dalam dan deformasi elastis maupun plastis dihitung dan direkam
oleh ETABS dan dapat ditampilkan, sehingga pengguna dapat mengetahui bagian-
bagian yang mengalami sendi plastis dan daerah yang mengalami sendi plastis.