bab 2 tinj pustaka

57
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ARTHRITIS GOUT Arthritis pirai (gout) adalah penyakit yang seing ditemukan dan tersebar diseluruh dunia. Arthritis pirai merupakan kelmopok penyakit heterogen sebagai akibat deposit Kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi arthritis gout akut, akumulasi Kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolism yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 mg/dl pada laki – laki dan 6,0 mg/dl pada perempuan. Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal- kristal yang merupakan hasil akhir darimetabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satukomponen asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Jadi asam urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh yang kadarnya tidak boleh berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin. 26

Upload: rinchan13

Post on 10-Aug-2015

74 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Tinj Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ARTHRITIS GOUT

Arthritis pirai (gout) adalah penyakit yang seing ditemukan dan tersebar

diseluruh dunia. Arthritis pirai merupakan kelmopok penyakit heterogen sebagai akibat

deposit Kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di

dalam cairan ekstraseluler. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi arthritis gout akut,

akumulasi Kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang

jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolism yang

mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat

lebih dari 7,0 mg/dl pada laki – laki dan 6,0 mg/dl pada perempuan.

Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil

akhir darimetabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satukomponen

asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam

tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman

(sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Jadi asam

urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh yang kadarnya tidak boleh

berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin.

Penyakit hiperurisemia lebih sering menyerang laki-laki diatas umur 40 tahun,

karena kadar asam urat pada pria cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada

usia ini, pria mengalami penurunan kemampuan yaitu tak seenergik pria yang berusia 20

tahun karena mempunyai masalah dengan otot atau persendian .Jika penyakit ini

menyerang wanita, maka pada umunya wanita yang menderita adalah wanita yang sudah

menopause. Pada wanita yang belum menopause, memiliki kadar hormon estrogen yang

cukup tinggi. Hormon ini membantu mengeluarkan asam urat darah melalui kencing.

Laki-laki tidak memiliki hormone estrogen yang tinggi, sehingga asam urat sulit

dikeluarkan melalui kencing dan resikonya adalah kadar asam urat bisa menjadi tinggi

(hiperurisemia). Pada anak-anak jarang menderita hiperurisemia, jika anak-anak terserang

hiperurisemia, kemungkinan ada penyakit lain yang menyebabkan kadar asam urat tinggi,

seperti gangguan hormon, penyakit ginjal, kanker darah ataupun faktor keturunan.

26

Page 2: Bab 2 Tinj Pustaka

Arthtitis Gout adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total, yang

berarti sekali terjerat penyakit ini, seseorang harus memperhatikannya seumur hidup.

Kadang-kadang kombinasi obat yang disarankan harus dikonsumsi dalam jangka panjang,

dalam hitungan bulan atau tahun. Bahkan ada kalanya penderita disarankan

mengkonsumsi obat penurun asam urat tersebut seumur hidup apabila tingkat

serangan sampai pada tahap yang berat. Hal ini misalnya terjadi pada penderita batu

ginjal asam urat ataupun telah terjadi pengendapan asam urat pada persendiaan.

2.1.1 PATOGENESIS ARTRITIS GOUT

Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam

urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar asam urat yang stabil, jarang

mendapatkan serangan. Pengobatan dini dengan allopurinol yang menurunkan kadar urat

serum dapat mempresipitasi serang gout akut. Pemakaian alcohol berat oleh pasien gout

dapat menimbulkan fluktuasi kadar urat serum. Penurunan urat serum dapat mencetuskan

pelepasan Kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals sheeding). Pada

beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik Kristal urat

ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah

mendapat serangan akut. Dengan demikian gout, seperti juga pseudogout, dapat timbul

pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Edward Stefanus T,

didapat 21% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperature, PH

dan kelrutan urat untuk menimbulkan serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium

urat pada temperature lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat

menjelaskan mengapa Kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi

untuk pengendapan Kristal MSU pada metatarsofalangeal- 1 (MTP-1) berhubungan juga

dengan trauma ringan yang berulang ulang pada daerah tersebut. Penelitian Simkin

didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya

setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti

MTP -1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari.selanjutnya bila

cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat lokal.

Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada malam hari

pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitro

melalui pembentukan dari protonated solid phases. Walaupun kelarutan sodium urat

bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada penurunan pH

dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas buffer pada sendi dengan gout,

27

Page 3: Bab 2 Tinj Pustaka

gagal untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH

secara akut tidak signifikan mempengaruhi pembentukan Kristal MSU sendi.

Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada arthritis gout

terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk

menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi

adalah:

Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab

Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas.

Perdangan pada arthritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu

Kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme perdngan ini belum diketahui secara

pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai

mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas

komplemen (C) dan selular.

28

Page 4: Bab 2 Tinj Pustaka

Proses inflamasi melalui beberapa cara:

Kristal bersifat mengaktifkan sistem komplemen terutama C3a dan C5a.

Komplemen ini bersifat kemotaktik dan akan merekrut neutrofil ke jaringan (sendi

dan membransinovium). Fagositosis terhadap kristal memicu pengeluaran radikal

bebas toksik danleukotrien, terutama leukotrien B. Kematian neutrofil menyebabkan

keluarnya enzimlisosom yang destruktif.

Makrofag yang juga terekrut pada pengendapan kristal urat dalam sendi akan

melakukanaktivitas fagositosis, dan juga mengeluarkan berbagai mediator

proinflamasi seperti IL-1,IL-6, IL-8, dan TNF. Mediator-mediator ini akan

memperkuat respons peradangan, disamping itu mengaktifkan sel sinovium dan sel

tulang rawan untuk menghasilkan protease. Protease ini akan menyebabkan cedera

jaringan

Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan menyebabkan

terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut tofi/tofus (tophus) di tulang

rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut endapan akan memicu reaksi peradangan

granulomatosa, yang ditandai dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh

makrofag, limfosit, fibroblas, dan sel raksasa benda asing. Peradangan kronis yang

persisten dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat

diikuti oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat terbentuk di tempat lain (misalnya

tendon, bursa, jaringan lunak). Pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal

dapat mengakibatkan penyumbatan dan nefropati gout

2.1.2 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik gout terdiri dari arthritis gout akut , interkritikal gout dan gout

menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat

deposisi yang progresif Kristal urat.

a. Stadium Artritis Gout Akut

29

Page 5: Bab 2 Tinj Pustaka

Pada waktu serangan artritis sendi yang terkena berupa rasa sakit yang sangat

disertai warna kemerahan dan pembengkakan sendi yang terkena karena adanya

endapan kristal monosodium urat monohidrat pada sendi. Umumnya mengenai sendi

engkel kaki, lutut kadangkala ekstremitas bagian atas atau ibu jari kaki bagian dalam

yang dikenal sebagai podagra ,walaupun sering juga pada beberapa kasus disertai

dengan faktor pencetus berupa: makan-makanan yang mengandung tinggi purin, obat

diuretika, alkohol dan lain-lain. Pemeriksaan laborat bila dilakukan pengambilan

cairan sendi yang terkena dan dilihat dibawah mikroskop akan ditemukan kristal asam

urat berbentuk seperti jarum maka diagnosis artritis gout menjadi pasti.Pada

pemerikisaan asam urat darah umumnya meninggi walaupun tidak selalu kadang –

kadang asam urat darah seringkali normal, sedangkan pemeriksaan radiologik tak

begitu khas.

b. Stadium Interkritikal

Pada kasus ini penderita pernah beberapa kali mendapat serangan akut artritis

gout diselingi periode asimptomatik, pada beberapa kasus serangan akan terjadi dalam

periode 6 bulan sampai 2 tahun. Tindakan yang diperlukan ialah dengan diet rendah

purin dan minum banyak lebih kurang dua liter perhari serta bila kadar asam urat

darah lebih dari normal dapat diberikan alopurinol tergantung tinggi rendahnya asam

urat darah dari penderita tersebut. Fase asimptomatik murni sangat jarang terjadi pada

kelainan sendi lainnya, kecuali pada kasus artritis akibat kristal, karenanya fase ini

pun menjadi kriteria diagnosis artritis gout.

c. Stadium Kronis (Menahun)

Pada artritis gout kronik yang mana penderita tidak lagi bebas serangan akut

disertai dengan kelainan sendi dan adanya tophus atau tophi (jamak ) di beberapa

tempat, kadang-kadang disertai ada batu pada ginjalnya (renal kalkuli ). Fase ini

terjadi sekitar 10 tahun setelah serangan akut intermitten sehingga merupakan tahap

paling buruk, tahap interkritikalnya sudah tidak lagi murni asimptomatik, sudah ada

merah dan pembengkakan yang terus memburuk. Ditemukan pula deposit tofus akibat

kristalisasi monosodium urat.

2.1.3 DIAGNOSIS

Diagnosis pasti arthritis gout bila kita dapat mengambil cairan sendi ( aspirasi ) dan

didapatkan cairan seperti susu dalam tofi dan bila dilakukan pemeriksaan dengan

mikroskop akan didapatkan kristal berbentuk seperti jarum. Akan tetapi tidak semua

pasien mempunyai tofi sehingga pemeriksaan ini kurang sensitif. Oleh karena itu

30

Page 6: Bab 2 Tinj Pustaka

kombinasi dari penemuan – penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan

diagnosis

Riwayat inflamasi klasik arthritis monoartikuler khusus pada sendi MTP – 1.

Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas symptom.

Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin.

Sedangkan menurut American College of. Rheumatology (ACR) 1977:

A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi, atau

B. Thopus terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan

mikroskopik dengan sinar terpolarisasi, atau

C. 1) Inflamasi maksimal pada hari pertama

2) Serangan arthritis gout lebih dari satu kali.

3) Artritis monoartikulair

4) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang

5) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau membengkak

6) Serangan unilateral (satu sisi) pada sendi metatarsophalangeal pertama

7) Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki)

8) Tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago artikular

(tulang rawan sendi) dan kapsula sendi

9) Hiperuricemia (kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,5 mg/dL)

10) Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic.

11) Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic

12 ) kultur bakteri cairan sendi negatif

Diagnosis gout ditetapkan ketika didapatkan kriteria A dan/atau kriteria B dan/atau 6 hal

atau lebih dari kriteria C.

Diagnogsis banding Beberapa penyakit reumatik yang lain yang mirip dengan artritis

gout ialah artritis infektif, atipikal reumatoid artritis, dan pseudo gout. Untuk

membedakankannya ialah pada artritis infektif bila ditemukan kuman baik lewat kultur cairan

sendi atau pengecatan gram, sedangkan pseudo gout agak sulit tergantung bentuk kristal yang

dapat ditemukan dari cairan sendi, sedangkan untuk membedakan dengan artritis reumatoid

cukup sulit bila gejala-gejala yang lain belum tampak.

2.1.4 PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT

31

Page 7: Bab 2 Tinj Pustaka

Secara umum penanganan artritis gout adalah pemberian edukasi, pengaturan diet,

istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi

kerusakan sendi atau komplikasi lain, seperti pada ginjal. Pengobatan atritis gout akut

bertujuan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS,

kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat sepertiallopurinol atau obat

urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin

mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan.

Tujuan pengobatan arthritis gout:

a. Mengobati dan mencegah serangan akut artritis gout.

b. Menurunkan kadar asam urat darah sehingga mencegah terjadinya flare up.

c. Menekan kerusakan sendi serta mencegah terjadinya batu ginjal.

Pengobatan hiperurisemia asimptomatik Dikatakan suatu hiperuresemia bila kadar

asam urat darah > 8 mg/dl pada laki-laki, sedangkan pada wanita bila > 7 mg /dl.

Pengobatan hiperurisemia asimptomatik umumnya dengan diet rendah purin dan

pemberian alopurinol tergantung tinggi dan rendah asam urat darah pada penderita

tersebut disertai dengan minum air putih paling sedikit sebanyak dua liter.

a. Pengobatan Artritis gout akut

Diet rendah purin

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS ) dapat digunakan, tidak ada satupun OAINS

yang paling superior untuk mengatasi serangan akut artritis gout, semua obat dapat

dipakai, hanya pertimbangan pemilihan obat berdasarkan adanya tidaknya

kemungkinan efek samping pada penderita seperti ada tidaknya risiko pada

gastrointestinal, ginjal dll. Misal OAINS yang dapat digunakan antara lain :

indometasin 3x 50 mg, sulindac 2x 400 mg,naproxen 2 x 500 mg atau ibuprofen 3x

400 mg/hari atau obat anti inflamasi non steroid yang lain.

c. Kolkisin digunakan pada serangan akut:yaitu dengan dosis maksimum 7-8 mg /hari

dengan efek sampingnya adalah mual–mual sampai diare kemudian diturunkan

dosisnya bila keluhannya mereda. Kolkisin dapat diteruskan untuk mencegah

serangan selama sampai beberapa bulan dengan dosis yang minimal. Pada penyakit

pirai kolkisin tidak meningkatkan ekskresi, sintesis, atau kadar asam urat dalam darah.

Obat ini berikatan dengan protein mikrotubular dengan menyebabkan depolimerasi

dan menghilangnya mikrotubul fibrilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini

menyebabkan peghambatan migrasi ganulosit ke tempat radang sehingga penglepasan

mediator inflamasi juga dihambat dan respon inflamasi ditekan.

32

Page 8: Bab 2 Tinj Pustaka

Allopurinol tidak diberikan pada serangan akut, alopurinol baru diberikan bila

serangan akut telah mereda dosisnya tergantung tinggi –rendahnya asam urat darah.

Steroid injeksi bisa diberikan pada keadaan tertentu misalnya prednison 20-40 mg

perhari sampai 3 hari dan injeksi lokal dapat diberikan pada keadaan tertentu.

b. Pengobatan artritis gout interkritikal

Pada kasus ini penderita pernah beberapa kali mendapat serangan akut artritis gout

diselingi periode asimptomatik, pada beberapa kasus serangan akan terjadi dalam periode

6 bulan sampai 2 tahun. Tindakan yang diperlukan ialah dengan diet rendah purin dan

minum banyak lebih kurang dua liter perhari serta bila kadar asam urat darah lebih dari

normal dapat diberikan alopurinol tergantung tinggi rendahnya asam urat darah dari

penderita tersebut.

c. Pengobatan artritis gout kronik

Pada artritis gout kronik yang mana penderita tidak lagi bebas serangan akut disertai

dengan kelainan sendi dan adanya tophus atau tophi (jamak ) di beberapa tempat, kadang-

kadang disertai ada batu pada ginjalnya (renal kalkuli ). Beberapa hal yang harus

dilakukan penderita antara lain:

a. Edukasi pasien tentang pentingnya modifikasi sikap hidup seperti menjaga berat badan

diusahakan normoweight ,diet rendah purin dan usahakan minum banyak 2 liter

perhari,mengurangi atau berhenti konsumsi minuman berakohol dan menghentikan

minum obat aspirin dosis rendah yang kemungkinan dapat meninggikan asam urat

darah.

b. Tujuan terapi pada artritis gout kronik ialah mencegah kerusakan parenkim ginjal dan

pembentukan batu ginjal serta mencegah flare up dengan diberikan kolkisin 0,5-1

mg/hari selama 6 bulan sampai setahun kolkisin dapat dihentikan bila dievaluasi selama

6 bulan sudah bebas serangan akut.Apabla terdapat gangguan fungsi ginjal sebaiknya

kolkisin dihindari atau dosisnya dikurangi sambil monitoring ketat kadar ureum dan

kreatinin darah.

c. Pemberian alopurinol untuk menurunkan asam urat darah minimal menjadi 5-6 mg /dl.

Indikasi pemberian alopurinol:

Hiperekresi asam urat urin per 24 jam ( >600 mg/ hari )\

Riwayat batu ginjal

Adanya tophus/tophi

Gangguan faal ginjal (renal insuffiency )

Sebelum pengobatan sitostatika karena kanker

33

Page 9: Bab 2 Tinj Pustaka

Terjadinya serangan akut gout yang refrakter walaupun sudah mendapat

kolkisin dan obat urikosurik.

d.Indikasi pemberian urikosurik:

1) Hiposekresi atau normal ekskresi asam urat urin/24 jam (< 600 mg/hari )

2) Fungsi ginjal normal

3) Tidak adanya tophus atau tophi

4) Tidak ada batu pada ginjal

e. Obat anti inflamasi non steroid serta steroid dapat diberikan secara dosis kecil dalam

waktu pendek 3-5 hari atau dapat diberikan injeksi pada sendi yang sakit bila serangan

akut tidak mereda dengan obat-obat yang lain.

f. Pencegahan terhadap nefrolitiasis .Pada pasien dengan batu ginjal ialah dengan cara

alkalisasi urin bila pH urin asam atau kurang 6,0 dengan pemberian bikarbonat natrikus

dan minum air sebanyak 2 liter perhari.

g. Tindakan bedah pada tophi dapat dilakukan bila terjadi infeksi atau mengganggu fungsi

sendi.

2.2 ANEMIA

2.2.1 DEFINISI ANEMIA

34

Page 10: Bab 2 Tinj Pustaka

1. Anemia ialah keadaaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang

beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi

jaringan tubuh.

2. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar

hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell)

Dinyatakan anemia bila :26,27

Laki – laki dewasa : Hb < 13 g/dl

Perempuan dewasa tak hamil : Hb < 12 g/dl

Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl

Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl

Anak umur 6 bulan – 6 bulan :Hb < 11 g/dl

Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Klasifikasi derajat

anemia :

o Ringan sekali : Hb 10 g/ dl – cut off point

o Ringan : Hb 8 g/dl - Hb 9,9 g/dl

o Sedang : Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl

o Berat : Hb < g/dl

2.2.2 KLASIFIKASI ANEMIA BERDASARKAN MORFOLOGI ERITROSIT

A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80fl; MCH < 27 pg)

1. Anemia defisiensi besi

2. Thalassemia

3. Anemia akibat penyakit kronik

4. Anemia sideroblastik

B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)

1. Anemia pascaperdarahan akut

2. Anemia aplastik – hipoplastik

3. Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat

4. Anemia akibat penyakit kronik

5. Anemia mieloptisik

6. Anemia pada gagal ginjal kronik

7. Anemia pada mieolofibrosis

8. Anemia pada sindrom mielodisplastik

35

Page 11: Bab 2 Tinj Pustaka

9. Anemia pada leukemia akut

C. Anemia makrositer (MCV > 95)

1. Megaloblastik

a. Anemia defisiensi folat

b. Anemia defisiensi vitamin B12

2. Nonmegaloblastik

a. Anemia pada penyakit hati kronik

b. Anemia pada hipotiroid

c. Anemia pada sindroma mielodisplastik

2.2.3 PATOFISIOLOGI ANEMIA

Anemia timbul karena :

a. Anoksia organ target, karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa

oleh darah ke jaringan menimbulkan gejala pada organ yang terkena.

b. Mekanisme kompesasi tubuh terhadap anemia:

- Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkat enzim 2,3 DPG

(2,3 diphospho glycerate)

- Meningkatkan curah jantung

- Redistribusi aliran darah

- Menurunkan tekanan oksigen darah

Eritrosit/hemoglobin menurun

Kapasitas angkut oksigen menurun

Anoksia organ target Mekanisme kompensasi tubuh

Gejala anemia

2.2.4 DIAGNOSIS ANEMIA

Langkah – langkah untuk menegakkan diagnosis anemia :26,27

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik

36

Page 12: Bab 2 Tinj Pustaka

Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti

jerami

Purpura : petechia dan echymosis

Kuku : koilonychias (kuku sendok)

Mata : ikterus, kunjungtiva pucat, perubahan fundus

Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan

stomatitis angularis

Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali.

3. Pemeriksaan laboraturium hematologik

Tes penyaring : kadar Hb, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), apusan

darah tepi

Pemeriksaan rutin : LED, hitung diferensial, hitung retikulosit

Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan atas indikasi khusus

- Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi tranferin dan feritin

serum

- Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12

- Anemia hemolitik hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforsis Hb

- Anemia pada leukemia akut : pemeriksaan sitokimia

Pemeriksaan laboratorium nonhematologik : faal ginjal, faal endokrin, asam

urat, faal hati, biakan kuman, dll

Pemeriksaan penunjang lain :

- Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi

- Radiologi : toraks, bone survey, USG, skening, limfangiografi

- Pemeriksaan sistogenetik

- Pemeriksaan biologi molekuler (PCR, FISH)

37

Page 13: Bab 2 Tinj Pustaka

2.3 SINDROM METABOLIK

2.3.1 DEFINISI SINDROM METABOLIK

Sindrom metabolic (sindrom X, sindrom resistensi insulin) pertama kali

diidentifikasi pada tahun 1923 saat Kylin mengobservasi bahwa hipertensi, hiperglikemia,

dan gout cenderung mengelompok. Saat ini, sindrom ini meliputi obesitas, hipertensi,

diabetes, dan hiperlipidemia, pertama kali dideskripsikan pada 1960 sebagai sindrom

38

Page 14: Bab 2 Tinj Pustaka

metabolik. Tahun 1988 Reaven dan Ferraninni menyebutkan bahwa penyebab yang

mendasarinya adalah resistensi insulin, sehingga Ferraninni menyebutnya sindrom

resistensi insulin sementara Reaven menyebutnya sindrom X. Sindrom metabolik meliputi

sekelompok komponen yang menunjukkan overnutrisi, gaya hidup sedenter, dengan

adiposa yang berlebih. Sindrom metabolik meliputi obesitas abdominal, resistensi insulin,

dislipidemia, dan peningkatan tekanan darah serta berhubungan dengan komorbiditas lain

meliputi keadaan protrombotik, proinflamasi, non alcoholic fatty liver disease, dan

gangguan reproduktif.

2.3.2 EPIDEMIOLOGI SINDROM METABOLIK

Prevalensi sindroma metabolic bervariasi di seluruh dunia, menggambarkan umur

dan etnisitas populasi yang dipelajari dan kriteria diagnostik yang digunakan. Prevalensi

paling tinggi adalah pada Native Americans, hampir 60% wanita berusia 45-49 dan 45%

pria berusia 45-49. Industrialisasi di seluruh dunia berhubungan dengan meningkatnya

kejadian obesitas, yang diantisipasi akan meningkatkan prevalensi sindrom metabolic

secara dramatis. Terlebih lagi, prevalensi dan keparahan yang meningkat dari obesitas

pada anak-anak menginisiasi timbulnya sindrom metabolic pada populasi yang lebih muda

.

2.3.3 FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK

a. Overweight/obesitas

Adipositas sentral merupakan kunci dari sindrom metabolic, menggambarkan fakta

bahwa prevalensi sindrom tersebut didorong oleh hubungan yang kuat antara lingkar

pinggang dan meningkatnya adipositas.

b. Gaya hidup sendentari

Inaktifitas fisik adalah predictor dari kejadian CVD dan peningkatan mortalitas.

Banyak komponen dari sindrom metabolic berhubungan dengan gaya hidup sedentari,

termasuk peningkatan jaringan adipose (terutama sentral), berkurangnya kolesterol HDL, dan

kecenderungan peningkatan trigliserida, tekanan darah yang tinggi, dan glukosa darah yang

tinggi.

c. Penuaan

Sindrom metabolic didapatkan pada 44% dari populasi AS yang lebih tua dari 50

tahun. Persentase yang lebih besar pada wanita berusia lebih dari 50 tahun menderita sindrom

ini dibandingkan pada pria.

d. Diabetes melitus

39

Page 15: Bab 2 Tinj Pustaka

Diperkirakan bahwa sebagian besar (~75%) pasien dengan DM tipe 2 atau IGT

memiliki sindroma metabolic. Adanya sindrom metabolic pada pasien-pasien ini

berhubungan dengan prevalensi CVD yang lebih tinggi.(18)

e. Coronary heart disease

Perkiraan prevalensi dari sindrom metabolic pada pasien dengan CHD adalah 50%.

Dengan rehabilitasi yang sesuai dan perubahan gaya hidup (nutrisi, aktivitas fisik, penurunan

berat badan), prevalensi dari sindrom ini dapat dikurangi.(18)

2.3.4 DIAGNOSIS SINDROM METABOLIK

Tabel. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik

Faktor Risiko ATP III/NECP WHO IDF

Obesitas WCF>102 cm (L) atau >88 cm (P)

BMI ≥30 kg/m2 dan/atau WHR >0,9 (L), >0,85 (P)

Obesitas sentralWC (etnik spesifik)

Tekanan darah ≥130/≥85 mmHg ≥140/≥90 mmHg ≥130/≥85 mmHg

Glukosa puasa ≥110 mg/dl IGT atau diabetes ≥100 mg/dl

Mikroalbuminuria - AER 20g/dl -

Trigliserida ≥150 mg/dl ≥150 mg/dl ≥150 mg/dl

Kolesterol HDL <40 mg/dl (L)<50 mg/dl (P)

<35 mg/dl (L)<39 mg/dl (P)

<40 mg/dl (L)<50 mg/dl (P)

Kriteria 3 dari 5 kriteria terpenuhi

TGT/T2DM/HOMA-R/IR hanya butuh 2 kriteria terpenuhi

Obesitas sentral (etnik spesifik) ditambah 2 dari 4

2.3.5 HIPERTENSI

Hipertensi merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi

peningkatan tekanan darah dari normal. Kriteria seseorang dikatakan hipertensi mengacu

pada sistem klasifikasi yang ada saat ini yaitu JNC 7. Klasifikasi hipertensi penting adanya

untuk penentuan diagnosis dan kebijakan praktisi dalam penanganan tekanan darah tinggi

yang optimal mengingat komplikasi yang ditimbulkan.

Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam 4 klasifikasi yakni normal, pre-

hipertensi, ,hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai

rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya

dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.

40

Page 16: Bab 2 Tinj Pustaka

Tabel. Klasifikasi dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi pada Orang Dewasa

Klasifikasi Tekanan Darah

Tekanan Darah Sistolik (mmhg)

Tekanan Darah Diastolik (mmhg)

Modifikasi Gaya Hidup

Obat Awal

Tanpa indikasi Dengan Indikasi

Normal <120 < 80 Anjuran Tidak perlu menggunakan obat anti hipertensi

Gunakan obat yang spesifik dengan indikasi (risiko)

Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89 Ya

Hipertensi Stage I

140 – 159 90 – 99 Ya Untuk semua kasus gunakan diuretik jenis thiazide dengan pertimbangan ACEi, ARB, BB, CCB, atau kombinasikan

Gunakan obat yang spesifik dengan indikasi (risiko). Kemudian tambahkan dengan obat anti hipertensi (diuretik, ACEi, ARB, BB, CCB) seperti yang dibutuhkan

Hipertensi Stage II

≥ 160 ≥ 100 Ya Gunakan kombinasi 2 obat ( biasanya diuretik jenis thiazide) dan ACEi/ARB/BB/CCB

Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang menjadi

hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya peningkatan edukasi

pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi gaya hidup dalam rangka

menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke arah hipertensi. Modifikasi

gayahidup merupakan salah satu strategi dalam pencapaian tekanan darah target, mengingat

hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya

hidup yang salah.

2.3.5.1 FAKTOR RISIKO HIPERTENSI

Faktor risiko terjadinya hipertensi yaitu, sebagai berikut :

Usia

Risiko terjadinya hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Pada usia

pertengahan tahun, laki – laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan

wanita lebih berisiko untuk mengalami hipertensi setelah menopause.

Ras

Hipertensi lebih sering terjadi pada ras hitam, seringkali terjadi pada usia muda jika

dibandingkan dengan ras kulit putih putih. Komplikasi serius, seperti stroke dan

serangan jantung, lebih sering terjadi pada ras kulit hitam.

Riwayat keluarga

41

Page 17: Bab 2 Tinj Pustaka

Overweight atau obesitas

Individu dengan overweight dan obesitas memiliki risiko untuk mengalami hipertensi.

Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar pasokan darah yang diperlukan

untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Seiring dengan peningkatan

volume yang melalui pembuluh darah, maka tekanan pada dinding kapiler pun

meningkat.

Kurang aktif bergerak.

Merokok

Merokok tidak hanya akan meningkatkan tekanan darah sementara tetapi zat kimia

yang terkandung di dalamnya akan merusak permukaan dinding arteri, hal ini akan

menyebabkan arteri akan menyempit, dan tekanan darah akan meningkat.

Diet tinggi garam ( sodium)

Diet kurang potasium

Diet kurang vitamin D

Alkohol

Stres

Penyakit kronik

Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep apneu

berisiko untuk mengalami hipertensi

2.3.5.2 PATOFISIOLOGI HIPERTENSI

Patogenesis hipertensi esensial multifaktorial dan sangat kompleks. Berbagai faktor

mempengaruhi tekanan darah dalam tubuh dalam rangka mempertahankan perfusi jaringan,

termasuk di dalamnya mediator humoral, reaktivitas vaskular, volume darah yang

bersirkulasi, diameter pembuluh darah, viskositas darah, cardiac output, elastisitas pembuluh

darah dan stimulasi neural.Proses terjadinya hipertensi esensial dimulai dari suatu proses

peningkatan tekanan darah yang asimptomatik yang berkembang menjadi hipertensi persisten

dimana terjadi kerusakan pada aorta dan arteri – arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan sistem

saraf pusat. Progresivitas dimulai dari suatu kondisi prehipertensi pada individu sekitar usia

10 – 30 tahun yang berkembang menjadi awal hipertensi di usia 20 – 40 tahun, menjadi

hipertensi yang nyata pada usia 30 – 40 tahun dan mulai muncul komplikasi pada usia 40 –

60 tahun.

2.3.5.3 PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

42

Page 18: Bab 2 Tinj Pustaka

Modifikasi gaya hidup

Target tekanan darah tidak terpenuhi (<140/90 mmHg) atau (<130/80 mmHg pad pasien DM, penyakit ginjal kronik, ≥ 3 faktor risiko atau adanya penyakit

penyerta tertentu)

Obat antihipertensi inisial

Dengan indikasi khusus Tanpa indikasi khusus

Obat-obatan untuk indikasi khusus tersebut ditambah

obat antihipertensi (diuretik ACEi, BB, CCB)

Hipertensi stage I(sistolik 140-159 mmHg

atau diastolik 90-99 mmHg)

Diuretik golongan Tiazide. Dapat

dipertimbangkan pemberian ACEi, BB, CCB atau kombinasi)

Hipertensi stage II(sistolik 160 mmHg atau diastolik >100

mmHg)Kombinasi dua obat.

Biasanya diuretik dengan ACEi atau BB

atau CCB

Target tekanan darah tidak terpenuhi

Optimalkan dosis obat atau berikan tambahan obat antihipertensi lain. Pertimbangkan untuk konsultasi

dengan dokter spesialis.

43

Page 19: Bab 2 Tinj Pustaka

a. Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan suatu cara

pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak terabaikan dalam

penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan

tekanan darah yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight

atauobesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension),

perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah

natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat

menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat obat anti hipertensi, dan menurunkan

resiko penyakit kardiovaskuler. Sebagai contohnya adalah konsumsi 1600 mg natrium

memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau lebih

modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut adalah uraian

modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi.

Tabel . Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan Tekanan

Darah Sistolik (Skala)

Menurunkan Berat Badan

Memelihara Berat Badan Normal ( Indeks Massa Tubuh 18.5 – 24.9 kg/m2)

5 – 20 mmhg/ 10 kg penurunan berat badan

Melakukan pola diet berdasarkan DASH

Mengkonsumsi makanan yang kaya dengan buah – buahan, sayuran, produk makanan yang rendah lemak, dengan kadar lemak total dan saturasi yang rendah

8 – 14 mmhg

Diet rendah natrium Menurunkan intake Garam sebesar 2 – 8 mmhg tidak lebih dari 100 mmol per hari (2.4 gram Na atau 6 gram garam)

2 – 8 mmhg

Olahraga Melakukan kegiatan aerobik fisik secara teratur, seperti jalan cepat ( paling tidak 30

4 – 9 mmhg

44

Page 20: Bab 2 Tinj Pustaka

menit per hari, setiap hari dalam seminggu)Membatasi Penggunaan alcohol

Membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol ; misalnya 24 oz bir, 10 oz anggur atau 3 oz 80 whiski) per hari pada sebagian besar laki – laki dan tidak lebih dari 1 gelas per hari pada wanita dan laki – laki yang lebih kurus

2 – 4 mmhg

b. Terapi Farmakologi

Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan bahwa semua kelas

obat antihipertensi, seperti angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin

reseptor bloker (ARB), beta-bloker (BB), kalsium chanel bloker (CCB), dan diuretik

jenistiazide, dapat menurunkan komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target.

Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi pada hampir semua

hasil percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sesuai dengan percobaan yang telah

dipublikasikan baru-baru ini oleh ALLHAT (Anti hipertensive and Lipid Lowering

Treatment to Prevent Heart Attack Trial), yang juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak

dapat dibandingkan dengan kelas antihipertensi lainnya dalam pencegahan komplikasi

kardiovaskuler. Selain itu, diuretik meningkatkan khasiat penggunaan regimen obat

antihipertensi kombinasi, yang dapat digunakan dalam mencapai tekanan darah target, dan

lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan agen obat antihipertensi lainnya. Meskipun

demikian, sebuah pengecualian didapatkan pada percobaan yang telah dilakukan oleh

Second  Australian National Blood Pressure yang melaporkan hasil penggunaan obat awal

ACEI sedikit lebih baik pada laki-laki berkulit putih dibandingkan pada pasien yang

memulaipengobatannya dengan diuretik.Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai

pengobatan awal pada semua pasiendengan hipertensi, baik penggunaan secara tunggal

maupun secara kombinasi dengan satukelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB)

yang memperlihatkan manfaat penggunaannya pada hasil percobaan random terkontrol.

Jika salah satu obat tidak dapat ditoleransi atau kontraindikasi, sedangkan kelas

lainnya memperlihatkan khasiat dapat menurunkan resiko kardiovaskuler, obat yang

ditoleransi tersebut harus diganti dengan jenis obat dari kelas berkhasiat tersebut. Sebagian

besar pasien yang mengidap hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih obat

antihipertensi untuk mendapatkan sasaran tekanan darah yang seharusnya. Penambahan

obat kedua dari kelas yang berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal dengan

dosis adekuat gagal mencapai tekanan darah target. Ketika tekanan darah lebih dari

45

Page 21: Bab 2 Tinj Pustaka

20/10mmHg di atas tekanan darah target, harus dipertimbangkan pemberian terapi dengan

duakelas obat, keduanya bisa dengan resep yang berbeda atau dalam dosis kombinasi yang

telahdisatukan (tabel 3). Pemberian obat dengan lebih dari satu kelas obat dapat

meningkatkan kemungkinan pencapaian tekanan darah target pada beberapa waktu yang

tepat, namun harustetap memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien

dengan diabetes,disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua.

Penggunaan obat-obat generik harus dipertimbangkan untuk mengurangi biaya pengobatan.

Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah :

Diuretik dan β blocker

Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist

Calcium antagonist dan diuretik

Calcium antagonist dan B Blocker

Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonis

α blocker dan β blocker

Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin receptor

antagonist

2.3.5.4. KOMPLIKASI

Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat

sebelum berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard,

penyakit jantung koroner, dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada kerusakan

organ. Keadaan hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta ini membutuhkan obat

antihipertensi yang tepat yang berdasarkan pada beragam hasil percobaan klinis.

Penanganan dengan kombinasi obat kemungkinan dibutuhkan. Penentuannya disesuaikan

dengan penilaian pengobatan sebelumnya, tolerabilitas obat serta tekanan darah target yang

harus dicapai.

2.3.6. DIABETES MELITUS DAN TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU

Diagnosis diabetes melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi

glukosa darah. Dalam menetukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang

diambil daan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis dengan cara enzimatik dengan

bahan dasar plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksan glukosa darah

seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai

dengan kondisi setepat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena dan kapiler

46

Page 22: Bab 2 Tinj Pustaka

dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh

WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik

DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan

penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai

risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil

pemeriksaan penyaringannya positif untuk memastikan diagnosis definitif. PERKENI

membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas

DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun tanpa

sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, keseutan, luka yang

sulit sembuh, gatal, mata kabur, difungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vagina pada

wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah sekali saja sudah

dapat menegakkan diagnosis DM namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM maka

diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan

melalui cara pada berikut:

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l).

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

memperhatikan waktu makan terakhir

Atau gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa

diartkikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8jam

Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO dilakukan

dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gra

glukosa anhidrus yang dilarutkan dalan air.

Cara pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) berdasarkan WHO 1994:

3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa sehari-hari (dengan karbohidrat

cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa

Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaaan, minum air

putih tanpa air gula tetap diperbolehkan

Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1,75gram/kgbb (anak-anak) dilarutkan

dalam air 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai

Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

47

Page 23: Bab 2 Tinj Pustaka

Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3,yaitu:

<140mg/dl normal

140 – 199 mg/dl toleransi glukosa terganggu

≥200 mg/dl diabetes

Pemeriksaan penyaringan dikerjakan pada semua individu dengan IMT ≥ 25 kg/m2 dengan

faktor risiko lain, antara lain:

Aktivitas fisik kurang

Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)

Masuk kelompok etnik risiko tinggi (african, american, latino, native american, asia

american, pacific islander)

Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan BBL ≥4000gram atau riwayat dibetes

melitus gestasional

Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi)

Kolesterol HDL < 35mg/dl dan trigliserida ≥ 250 mg/dl

Wanita dengan sindro polikistik ovarium

Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu

(GDTP)

Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis

nigrikans)

Riwayat penyakit kardiovaskuler

Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau

TTGO. Untuk kelommpok risiko tinggi yang haasil pemeriksaan penyaringannya negatif,

pemeriksaan penyaringan ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia

>45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun atau

lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.

Pemeriksaan penyaringan yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya

(mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal rencana tindak lanjut

bagi mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien

DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu, sehingga dapat

ditentukan langkah yang tepat untuk penangannya. Pasien dengan TGT atau GDPT

merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5 – 10 tahun kemudian 1/3 kelompok

TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya

TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya

48

Page 24: Bab 2 Tinj Pustaka

arterioklerosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal. TGT sering berkaitan

dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola

kesehatan diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin.Pemeriksaan

penyaring dapat dilakukan elalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau

konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)

standar.

Tabel. Konsentrasi GDS dan GDP sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum Pasti DM DM

Konsentrasi GDS (mg/dl) Plasma Vena

Darah kapiler

<100

<9

100-199

90-199

≥200

≥200

Konsentrasi GDP (mg/dl) Plasma vena

Darah kapiler

<100

<90

100-125

90-99

≥126

≥100

Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa, antara lain:

1. Konsentrasi GDS (plasma vena) ≥ 200mg/dl

2. konsentrasi GDP > 126 mg/dl atau

3. Konsentrasi glukosa darah > 200mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gramm

pada TTGO.

2.4 AZOTEMIA

Azotemia adalah peningkatan nitrogenurea darah(BUN) (referensi kisaran,8-20mg

/dL)dan serumkreatinin (nilai normal, 0,7-1,4mg /dL), seperti digambarkan dalam grafik

berikut.

Setiap ginjal manusia mengandung sekitar 1juta unit fungsional,yang disebut nefron,

yang terutama terlibat dalam pembentukan urin. Pembentukan urin menghilangkan produk

49

Page 25: Bab 2 Tinj Pustaka

akhir dari aktivitas metabolik dan kelebihan air dalam upaya untuk mempertahankan

homeostasis.

Pembentukan urin oleh nefron melibatkan 3 proses utama, yaitu: penyaringan di

tingkat glomerular, reabsorpsi selektif,dan sekresi oleh sel-sel tubulus. Gangguan dari salah

satu proses akan merusak fungsi ekskresi ginjal, sehingga terjadi azotemia.Jumlahfiltrat

glomerulus yang diproduksi setiap menit oleh semua nefron di kedua ginjal disebut sebagai

laju filtrasi glomerulus (GFR). Rata-rata GFR sekitar 125 ml / menit (10% lebih rendah untuk

wanita) atau 180L/ hari.Sekitar 99% (178L /hari) diserap, dan sisanya (2L/ hari)

diekskresikan.

Ada 3 patofisiologi azotemia: azotemia prerenal, intrarenal, dan azotemia postrenal.

a. Azotemia Prerenal

Prerenal azotemia mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena masalah

penurunan sirkulasi yang mengalir ke ginjal. Dalam azotemia prerenal, penurunan aliran

ginjal merangsang retensi garam dan air untuk mengembalikan volume dan tekanan. Ketika

volume atau tekanan menurun, refleks baroreseptor yang terletak di arkus aorta dan sinus

karotid diaktifkan. Hal ini menyebabkan aktivasi saraf simpatik, menghasilkan vasokonstriksi

arteriol aferen ginjal dan sekresi renin melalui reseptor β-1. Konstriksi arteriol aferen

menyebabkan penurunan tekanan intraglomerular, mengurangi GFR secara proporsional.

Renin mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang pada gilirannya menstimulasi

pelepasan aldosteron. Kadar aldosteron menyebabkan penyerapan garam dan air meningkat

pada tubulus colectivus distal.

Penurunan volume atau tekanan adalah stimulus nonosmotik untuk produksi hormon

antidiuretik di hipotalamus, yang memberikan efeknya di ductus colectivs bagian medula

untuk reabsorpsiair. Melalui mekanisme yang tidak diketahui, aktivasi sistem saraf simpatik

menyebabkan reabsorpsi tubulus proksimal \ garam dan air, serta BUN, kreatinin, kalsium,

asam urat, dan bikarbonat. Hasil bersih dari 4 mekanisme retensi garam dan air menurun

output dan penurunan ekskresi natrium (<20 mEq / L).

b. AzotemiaIntrarenal

Azotemia intrarenal, juga dikenal sebagai gagal ginjal akut (GGA) dan cedera ginjal

akut (AKI), mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena masalah dalam ginjal

itu sendiri. Ada beberapa definisi, termasuk peningkatan kadar kreatinin serum sekitar 30%

dari baseline atau penurunan volume urin secara tiba-tiba hingga di bawah 500 ml / hari. Jika

output yang dipertahankan, dinamakanGGAnonoliguric. Jika output turun di bawah 500 ml /

50

Page 26: Bab 2 Tinj Pustaka

hari, dinamakanGGAoliguria. Beberapa jenisGGA yang parah menimbulkan anuria (<100 ml

/ hari).

Penyebab paling umum dari GGA nonoliguric adalah nekrosis tubular akut (ATN),

nefrotoksisitas aminoglikosida, toksisitas litium, atau nefrotoksisitas cisplatin. Kerusakan

tubular lebih sedikit daripada di GGA oliguria. Output normal dalam GGA nonoliguric tidak

mencerminkan GFR normal. Pasien masih dapat berkemih 1440 mL / hari bahkan ketika

GFR turun menjadi sekitar 1 mL / menit karena penurunan reabsorpsi tubular.

Beberapa studi menunjukkan bahwa bentuk-bentuk GGA nonoliguric berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan denganGGA oliguria.

Studi yang lain menunjukkan bahwa ekspansi volume, agen diuretik kuat, dan vasodilator

ginjal dapat mengkonversi oliguria untuk GGA nonoliguric jika diberikan lebih awal.

Patofisiologi oliguria akut atau GGA nonoliguric tergantung pada lokasi anatomis dari

cedera. Di ATN, kerusakan epitel menyebabkan penurunan fungsional dalam kemampuan

tubulus untuk menyerap kembali garam, air, dan elektrolit lain. Ekskresi asam dan potasium

juga terganggu. Dalam ATN yang lebih berat, lumen tubular diisi dengan gips epitel,

menyebabkan obstruksi intraluminal, mengakibatkan penurunan GFR.

Nefritis interstisial akut ditandai oleh peradangan dan edema, mengakibatkan

azotemia, hematuria, piuria steril, silinder sel putih dengan eosinophiluria variabel,

proteinuria, dan silinder hialin. Efek net adalah hilangnya kemampuan berkonsentrasi kemih,

dengan osmolalitas rendah (biasanya <500 mOsm / L), berat jenis rendah (<1,015), natrium

urin tinggi (> 40 mEq / L), dan kadang-kadang, hiperkalemia dan asidosis tubulus ginjal .

Namun, dalam adanya azotemia prerenal ditumpangkan, berat jenis, osmolalitas, dan sodium

dapat menyesatkan.

Glomerulonefritis atau vaskulitis disarankan oleh adanya hematuria, sel darah merah,

sel darah putih, silinder granular dan selular, dan tingkat variabel proteinuria. Sindrom

nefrotik biasanya tidak terkait dengan peradangan aktif dan sering muncul sebagai proteinuria

lebih dari 3,5 g/24 jam.

Penyakit glomerular dapat mengurangi GFR karena perubahan permeabilitas

membran basal dan karena stimulasi dari sumbu renin-aldosteron. Penyakit glomerulus sering

memanifestasikan sebagai sindrom nefrotik atau nephric. Pada sindrom nefrotik, endapan

kemih tidak aktif, dan ada proteinuria bruto (> 3,5 g / hari), hipoalbuminemia, hiperlipidemia,

dan edema. Azotemia dan hipertensi jarang terjadi awalnya, tapi kehadiran mereka dapat

menunjukkan penyakit lanjut. Beberapa pasien dengan sindrom nefrotik dapat hadir dengan

ARF. Penurunan sirkulasi kapiler dalam ginjal karena edema (nephrosarca) dan obstruksi

51

Page 27: Bab 2 Tinj Pustaka

tubular dari gips protein telah diusulkan sebagai mekanisme potensial untuk pengembangan

GGA pada pasien dengan sindrom nefrotik.

Pada sindrom nefritik, endapan kemih aktif dengan sel gips putih atau merah, gips

granular, dan azotemia. Proteinuria kurang jelas, tetapi meningkatkan retensi garam dan air di

glomerulonefritis dapat menyebabkan hipertensi, pembentukan edema, penurunan output,

ekskresi urin rendah natrium, dan peningkatan berat jenis.

Penyakit pembuluh darah akut termasuk sindrom vaskulitis, hipertensi ganas, krisis

skleroderma ginjal, dan penyakit tromboemboli, yang semuanya menyebabkan hipoperfusi

ginjal dan iskemia yang menyebabkan azotemia. Penyakit pembuluh darah kronis karena

nephrosclerosis hipertensi jinak, yang belum secara meyakinkan terkait dengan stadium akhir

penyakit ginjal dan penyakit ginjal iskemik dari stenosis arteri bilateral ginjal. Pada stenosis

arteri bilateral ginjal, pemeliharaan tekanan intraglomerular memadai untuk penyaringan

sangat tergantung pada vasokonstriksi arteriol eferen. Azotemia merasuk ketika angiotensin-

converting enzyme (ACE) inhibitor atau jenis angiotensin receptor blockers 2 menyebabkan

dilatasi arteriol eferen, sehingga mengurangi tekanan intraglomerular dan filtrasi. Oleh karena

itu, penghambat enzim konversi dan penghambat reseptor dikontraindikasikan pada stenosis

arteri ginjal bilateral.

Selain akumulasi kreatinin urea dan produk-produk limbah lain, besarnya penurunan

pada GFR dalam hasil CKD penurunan produksi eritropoietin (menyebabkan anemia) dan

vitamin D-3 (menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperfosfatemia, dan

osteodistrofi ginjal), pengurangan asam, kalium, garam, dan air ekskresi (menyebabkan

asidosis, hiperkalemia, hipertensi, dan edema), dan disfungsi trombosit, yang menyebabkan

kecenderungan perdarahan meningkat. Sindrom yang terkait dengan tanda dan gejala

akumulasi produk-produk limbah toksik (racun uremik) disebut uremia dan sering terjadi

pada GFR sekitar 10 mL / menit. Beberapa racun uremik (yaitu, urea, kreatinin, fenol,

guanidines) telah diidentifikasi, tetapi tidak ada yang ditemukan bertanggung jawab atas

semua manifestasi dari uremia.

c. Azotemia Postrenal

Azotemia Postrenal mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena

obstruksi dalam sistem pengumpul. Obstruksi bilateral progresif menyebabkan hidronefrosis

dengan peningkatan tekanan hidrostatik kapsula Bowman dan penyumbatan tubulus yang

mengakibatkan penurunan dan penghentian filtrasi glomerulus secara progresif, azotemia,

asidosis, kelebihan cairan, dan hiperkalemia.

52

Page 28: Bab 2 Tinj Pustaka

Obstruksi sepihak jarang menyebabkan azotemia. Dengan bantuan dari obstruksi

saluran kemih lengkap dalam waktu 48 jam, ada bukti bahwa pemulihan GFR yang relatif

lengkap dapat dicapai dalam waktu seminggu, sementara pemulihan lebih sedikit atau tidak

terjadi setelah 12 minggu. Obstruksi parsial atau lengkap yang berkepanjangan dapat

menyebabkan atrofi tubulus dan fibrosis ginjal ireversibel. Hidronefrosis mungkin tidak ada

jika obstruksi ringan atau akut atau jika sistem pengumpulan terbungkus oleh tumor atau

fibrosis retroperitoneal.

2.5 SKIZOFRENIA

2.5.1 DEFINISI SKIZOFRENIA

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis dan progresif yang ditandai

dengan terdapatnya perpecahan (schism) atara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang

terkena. Perpecahan pada passien digambarkan dengan adanya gangguan fundamental

spesifik yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya

kelonggaran afektif, autisme dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham

dan halusinasi.

Pedoman diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ III antara lain:

Harus memenuhi sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas

a. - Thought of echo isi pikirannya sendiri yang berulang dan bergema dalam

kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama namun kualitas

berbeda

- Thought of insertion or withdrawal isi pikiran yang asing dari luar yang menyisip

atau masuk ke pikiran (insertion) atau isi pikirannya tertarik keluar oleh sesuatu dari

luar dirinya (withdrawal)

- Thought of broadcasting isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya

b. - Delusion of control waham tentang dirinya dikendalikn oleh sesuatu kekuatan

tertentu dari luar

- Delusion of influence waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan

tertentu dari luar

- Delusion of passivity waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap

kekuatan dari luar

53

Page 29: Bab 2 Tinj Pustaka

- Delusion of perception pengalaman inderawi yang tak wajar yang bermakna

sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mukjizat

c. Halusinasi auditorik:

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku

pasien, atau

Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara

yang berbicara)atau

Jenis halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

d. Waham – waham yang menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama

atau politik tertentu atau kekuatan atau kemampuan diatas manusia biasa (misalnya

mampu mengendaikan cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia

lain)

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas

a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apasaaja apabila disertai waha yang

mengambang maupun yang setengah berbentukk tanpa kandungan afektif yang

jelas ataupun disertai ide-ide berlebihan (over valued ideas) yang menetap atau

apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus

menerus

b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation)

yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau

neologisme

c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu

(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor

d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respon

emosinal yang menumpul atau tidak wajar biasanya yang mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial yang mengakibatkan menurunkan kinerja

sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi

atau medikasi neuroleptika.

Adanya gejala-gejala yang khas teersebut diatas harus berlangsung selama satu bulan

atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)

Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari

beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat hidup tak

54

Page 30: Bab 2 Tinj Pustaka

bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara

sosial

2.5.2 KLASIFIKASI SKIZOFRENIA

Menurut PPDGJ III skizofrenia diklasifikasikan menjadi:

a. Skizofrenia Paranoid

Disebut skizofrenia paranoid jika:

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Sebagai tambahan

o Halusinasi dan atau waham yang menonjol

Suara halusinasi yang mengancam atau memberi perintah atau halusinasi

auditorik tanpa verbal berupa bunyi peluit, mendengung atau bunyi tawa

Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lain-

lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol

Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan ,

dipengaruhi atau passivity yang beraneka ragam yang paling khas

o Gangguan afektif , dorongan kehendak dan pembicaraan serrta gejala

katatonik secara relatif tidak terlalu menonjol

b. Skizofrenia Hebefrenik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Diagnosis hebefrenik pertamakali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa

muda (onset biasanya 15-25 tahun)

Kepribadian peremorbid menunjuk ciri khas: pemalu dan senang menyediri,

namun tidak harus demekian untuk menentukan diagnosis

Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya memerlukan

pengamatan 2 hingga 3 bulan, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas

berikut ini memang benar bertahan:

o Perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan. Ada

kecenderungan untuk selalu menyendiri dan menunjukan hampa tujuan

dan hampa perasaan.

o Afek pasien dangkal dan tidak wajar serta disertai dengan giggling, atau

persaan puas diri, self absorbed smiling, atau sikap tinggi hati, grimaces,

55

Page 31: Bab 2 Tinj Pustaka

mannerisme, mengibuli serta bersendaugurau, keluha hipokondrial dan

ungkapan kata yang diulang-ulang

o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

(rambling) serta inkoheren.

Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir umumnya

menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi tidak menonjol (fleeting and

fragmentary delution and hallucination). Dorongan kehendak dan yang bertujuan

hilang serta sasaran ditinggalkan sehingga perilaku pasien memperlihatkan ciri

khas yaitu perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud. Adanya preokupasi yang

dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak

lainnya, makin mempersulit orang memahai jalan pikiran pasien.

c. Skizofrenia Katatonik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:

o Stupor

o Gaduh gelisah

o Menampilkan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar

o Negativisme

o Rigiditas

o Fleksibilatas cerea / wavy flexibility

o Gejala lain seperti comand autoatism dan pengulangan kata-kata atau

kalimat-kalimat

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku gangguan

katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti

yang memadai tentang adanya gejal-gejala lain.

d. Skizofrenia tak terinci

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,

atau katatonik

Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca

skizofrenia

56

Page 32: Bab 2 Tinj Pustaka

BAB III

PEMBAHASAN

Seorang laki- laki berusia 37 tahun didiagnosis dengan artrhritis gout

menahun dengan osteomyelitis akut digiti II pedis dextra dan digiti I pedis sinistra, anemia

mikrositik hipokromik, hipertensi stage 1, toleransi glukosa terganggu, dislipidemia

azotemia, dan skizofrenia hebefrenik.

Dasar diagnosis dari arthrtitis gout menahun adalah dari anamesis didapatkan

pasien datang ke RSDK dengan keluhan nyeri pada luka di jempol jari kaki kiri. ± 5 tahun

SMRS saat bangun tidur pasien mengeluh jempol kaki kirinya bengkak dan terasa nyeri.

Nyeri betambah jika digunakan menapak atau berjalan. Bengkak di jempol kaki kiri teraba

hangat dan terlihat memerah. Demam (+), menggigil (-).Pasien tidak berobat ke pelayanan

kesehatan. Bengkak di jempol kaki lama-lama tidak terasa nyeri dan membentuk benjolan.

Benjolan oleh pasien pernah beberapakali ditusuk dengan jarum dan mengeluarkan cairan

berwarna putih kental namun setelah itu akan timbul benjolan baru ditempat yang sama. ±

2 hari SMRS (Tgl 6 Januari 2013) pasien mengeluh benjolan di jempol kaki kiri pecah

secara tiba-tiba dan terasa nyeri. Nyeri terasa terus menerus dan terasa senut senut, jempol

kaki bertambah nyeri ketika ditekan ataupun digunakan untuk berjalan, pasien

menggunakan tumit kaki untuk menapak sehingga mengganggu aktivitas sehari – hari.

Pasien merasakan kaku-kaku di persedian tangan dan kaki, dan timbul demam (+) hilang

timbul. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tofus pada ekstermitas kanan dan kiri baik

ekstremitas inferior dan superior. Didapatkan ulkus pedis pada digiti II pedis dextra. Pada

pemeriksaan rheumatologi, pada pedis sinistra didapatkan tofus (+) pada persendian digiti

I sampai V dan yang terbesar pada sendi MTP I. Deformitas (+) pada digiti I,III,IV dan V.

Tampak luka mengering pada digiti I dengan nyeri tekan (-). Pergerakan jari-jari kaki

terbatas. Pada pemeriksaan pedis dextra didaptkan tofus pada persendian digiti III,IV dan

V. Tampak deformitas pada digiti I,II,IV dan V. Gerak sendi jari-jari kaki terbatas. Pada

pemeriksaan manus dextra dan sinistra didapatkan tofus pada interphalang digiti I,II,dan

III. Tampak deformitas pada kelima jari baik pada tangan kanan dan kiri. Gerak jari-jari

tangan kanan dan kiri sangat minimal, terdapat kekakuan pada sendi interphalang digiti

I,II,II, IV dan V manus dextra dan sinistra. Dari pemeriksaan kimia klinik tanggal 9

Januari 2013 didaptkan peningkatan asam urat (10,5mg/dl), pada pemeriksaan

mikroskopis dari sampel pus dari aspirasi ulkus pedis dextra didapatkan kristal

57

Page 33: Bab 2 Tinj Pustaka

monosodium urat (+) dan tidak ditemukan adanya bakteri. Pada pemeriksaan X foto pedis

dextra sinistra pada tanggal 8 Januari 2013 didaptkan tampak penyempitan sela sendi

intertarsalis, tarso metatarsal, interphalang disertai erosi marginal sendi

metatarsophalangeal digiti 1,4, dan 5, tampak multipel osteofit pada os.Naviculer,

Os.Cuneiformis, kaput metatarsal 1 kanan-kiri, tampak soft tissue swelling regio

metatarsophalangeal digiti 1 kiri, tampak soft tissue swelling regio phalang proksimal

digiti 2 kanan, disertai multipel lesi titik dan sklerotik, tampak multipel lusensi pada soft

tissue regio pedis kanan, deviasi sendi metatarsophalangeal digiti 5 kiri lateral. Dari

pemeriksaan X Foto manus tanggal 8 Januari 2013 didapatkan tampak penyempitan sela

sendi interphalangeal kanan dan kiri disertai periartriculer osteoporotik dan erosi marginal.

Dari pemeriksaan USG abdomen pada tanggal 14 jauari 2013 didapatkan gambaran

ekogenitas parenkim kedua ginjal meningkat (BrenBridge1) disertai nefrokalsinosis kedua

ginjal dan soliter simple cyst pada interpole ginjal kiri sesuai gambaran proses kronis

pada ginjal. Pada pasien ini riwayat arthritis gout telah berada pada fase kronik, dimana

telah didapatkan tophi di sendi tangan dan kaki. Osteomyelitis akut pada digiti II pedis

dextra dan digiti I pedis sinistra ditegakkan dengan anamesis ditemukan luka pada

benjolan di jari kaki yang pecah tiba-tiba terasa nyeri dan disertai dengan demam yang

hilang timbul. Didapatkan juga leukositosis 11,7 ribu/mmk dan peningkatan CRP

kuantitatif meningkat (3,98 mg/dl) menandakan adanya inflamasi akut. Penatalaksanaan

yang diberikan adalah pemberian diet rendah purin yaitu dengan 1700 kkal, 75 gr protein

dan 250 gr karbohidrat. Diberikan juga alopurinol 2x 100 mg yang berguna untuk

meghambat pembentukan asam urat. Pasien juga diberikan paracetamol 3x500 mg jika

suhu tubuh lebih dari 38oC dan antibiotik profilaksis untuk ulkus pada digiti 2 pedis

dextra dan digiti 1 pedis sinistra yaitu injeksi ceftriaxon 1x2gr yang memiliki spektrum

luas untuk kuman gram positif dan negatif dan clindamycin 3x300mg untuk kuman

anaerob serta mengedukasi pasien agar menghindari makanan yang mengandung purin,

konsumsi alkohol, obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat.

Diagnosis anemia mikrositik hipokromik didapatkan dari pemeriksaan fisik

didaptkan knjungtiva palpebra anemis (+/+), dari pemeriksaan hematologi rutin tanggal 8

Januari didapatkan kesan anemia mikrositik hipokromik (Hb 8,89gr%, MCH 22,65pg,

MCV 70,85 fL). Terdapat penurunan kadar Fe (39 mg/dl) dan peningkatan ferritin

(436mg/ml) dan TIBC normal dimana sesuai dengan algoritma anemia mikrositik

hipokrom yang disebabkan karena penyakit kronis. Penatalaksaan yang diberikan dengan

58

Page 34: Bab 2 Tinj Pustaka

pemberian diet dan pemantauan kadar Hb seminggu sekali serta mengedukasi pasien untuk

menghabiskan diet yang diberikan RS.

Diagnosis hipertensi stage 1 ditegakkan dengan pemeriksaan tekanan darah

didapatkan sistole 140 mmHg dan diastole 90 mmHg. Terapi yang diberikan adalah

captopril 3x 25g dan mengedukasi pasien agar menghindari makanan yang mengadung

banyak garam, menjaga pola hidup sehat dan rutin meminum obat.

Diagnosis TGT didapatkan dari pemeriksaan laboratorium tanggal 8 januari

2013 didapatkan GDS 232 g/dl, telah dilakukan pemeriksaan HbAIC didaptkan hasil 5%

dimana belum memenuhi kriteria DM yaitu >6,5% dan pemeriksaan gula darah puasa

normal dan glukosa PP 2jam 161,0mg/dl belum memenuhi kriteria DM. Dari anamesis

tidak didaptkan tanda khas DM yaitu poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan

yang tidak diketahui sebabnya. Dari pemeriksaan GDS pada tanggal 12 januari didapatkan

hasil 78 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan antara lain pemberian diet DM yaitu 1700

kkal, 75 gr protein dan 250 mg karbohidrat dan mengedukasi pasien agar menghindari

makanan manis, dan menjaga pola hidup sehat

Diagnosis Dislipidemia didaptakan dari pemeriksaan profil lipid terdapat

penurunan kadar HDL-C yaitu16mg/dl meski trigliserid dan kolesterol masih dalam

ambang normal.Penatalaksanaan yang diberikan antara lain pemberian diet yaitu 1700

kkal, 75 gr protein dan 250 mg karbohidrat. Pasien diedukasi untuk menghabiskan diet

yang diberikan, menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh, dan setelah keluar

RS untuk rutin berolahraga dan menjaga berata badan ideal.

Dasar diagnosis azotemia didapatkan dengan adanya kenaikan kadar ureum

60mg/dl dan creatinin 2,10 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian diet

dan monitoring balance cairan dan pemeriksaan ureum kreatinin ulang 1 minggu lagi.

Diagnosis skizofrenia hebefrenik didapatkan dari anamesis didapat bahwa

pasien memiliki riwayat skizofrenia hebefrenik telah dirawat di panti rehab selama 2 tahun

dan mendapat terapi haloperidol 2x5mg, chlorpermazide 1x100mg, dan trihexipenidyl

2x5mg. Untuk penatalaksaannya dikonsulkan ke bagian psikiatri dan usul rawat bersama.

59

Page 35: Bab 2 Tinj Pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta :

Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI

2. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: 2550-5

3. Tehupelory ES, Artritis Pirai ( Artritis Gout). Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna

Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: 2556-60

4. Hadi S.Gambaran Klinis Dan Diagnosis Gout. Dalam: Kumpulan Makalah Temu

Ilmiah Reumatologi 2010.Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2010:94-6

5. Tahupelory ES. Advances In The Treatment Of Gout And Hyperuricemia. Dalam:

Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2010.Perhimpunan Reumatologi

Indonesia, Jakarta, 2010:98-9

6. Bhakta M. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC, 2006.

7. Bhakta M. Pendekatan terhadap pasien anemia Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna

Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.

8. Chobanian AV, et al. The seventh report of the Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004

9. Riaz K. Hypertension. 2012 [cited : November 24, 2012]. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview10. Indonesian Society of Hypertension. Konsensus Penanggulangan Krisis hipertensi.

2008.

11. Mayo Clinic. Hypertension. 2011 [ cited : November 24, 2012]. Available at :

http://www.mayoclinic.com/health/high-blood-pressure/ds00100/dsection=risk-factors

12. Riaz,K. Hypertensive Heart Disease. 2012 [cited : November 24, 2012]. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview

13. Panggabean M. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. 5 th ed. Jakarta:

Interna Publishing; 2009.

60

Page 36: Bab 2 Tinj Pustaka

14. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta:

Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:1880-3

15. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.

16. Djokomoeljanto R. Introduction of metabolic syndrome. In: Djokomoeljanto R,

Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Nugroho KH, editors. Naskah Lengkap the

3rd Workshop on "Semarang Metabolic Syndrome" 2010. Semarang: Balai Penerbit

Universitas Diponegoro; 2010.

17. Eckel RH. The metabolic syndrome. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci

AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th

ed. New York: The McGraw-Hill Companies 2012.

18. Djokomoeljanto R. The role of central obesity in metabolic syndrome. In:

Djokomoeljanto R, Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Nugroho KH, editors.

Naskah Lengkap the 3rd Workshop on "Semarang Metabolic Syndrome" 2010.

Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2010.

19. Maslim R.2001. Diagnosis Gangguan Jiwa:Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.

61