bab 2 tinjauan pustaka
DESCRIPTION
tpamTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bangunan Penyadap (Intake)
Bangunan ini berfungsi sebagai penyadap/pengambil air baku. Intake
dilengkapi dengan screen agar dapat melindungi perpipaan dan pompa dari
kerusakan atau penyumbatan yang diakibatkan oleh adanya material melayang atau
terapung.
2.1.1. Faktor- Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Perencanaan Intake
Dalam perencanaan Intake, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Intake sebaiknya terletak ditempat dimana tidak ada aliran yang deras yang
dapat membahayakan intake, sehingga mengakibatkan terputusnya pengaliran
air baku untuk air minum.
b. Tanah disekitar intake harus cukup stabil dan tidak gampang erosi.
c. Aliran air yang menuju intake harus bebas dari hambatan dan gangguan.
d. Intake sebaiknya dibawah permukaan sungai atau danau untuk terjaminnya air
yang cukup dingin dan mencegah masuknya benda terapung. Tetapi harus
dijaga agar inlet tidak terlalu berada di dasar karena bisa saja lumpur di dasar
sungai ikut terbawa ke inlet.
e. Untuk menghindari dari kontaminasi, intake seharusnya terletak cukup jauh dari
sumber kontaminasi
f. Intake sebaiknya terletak di hulu sungai.
g. Intake sebaiknya dilengkapi dengan saringan (screen). Ujung pipa pengambilan
yang berhubungan dengan pompa sebaiknya juga diberi saringan (strainer)
h. Untuk muka air yang berfluktuasi, inlet yang ke sumur pengumpul sebaiknya
dibuat beberapa level.
i. Jika fluktuasi muka air musim kemarau dan musim penghujan terlalu besar dan
sungai menjadi hampir kering di musim kemarau. Air dapat ditampung dengan
membuat weir kecil memotong sungai.
j. Jika permukaan air sungai konstan dan tebing terendam, maka intake dapat
dibuat di dekat sungai. Dalam keadaan ini air dialirkan ke pipa yang dilewatkan
horizontal. Dalam hal ini inlet juga sebaiknya dilindungi dengan saringan kasar
(overscreen) atau strainer.
2.1.2. Jenis-Jenis Intake
Jenis intake yang digunakan untuk perencanaan ini adalah:
River Intake
Biasanya berbentuk sumur pengumpul dengan pipa penyadap. lebih ekonomis
untuk air sungai yang memiliki level permukaan air musim hujan dan kemarau
yang cukup tinggi.
Gambar 2.1 River Intake
2.1.3. Bagian-Bagian Intake
Intake mempunyai bagian-bagian sebagai berikut:
1. Bell Mouth Strainer
o Kecepatan melalui lubang strainer 0,15 – 0,3 m / dt.
Disarankan untuk kecepatan mendekati nilai terendah untuk mencegah masuknya
kotoran.
o Diameter Strainer 6 – 12 mm.
o Luas total permukaan strainer = 2 kali luas efektif (Luas total dari lubang-
lubang)
2. Intake Well (Sumuran)
Untuk memudahkan pemeliharaan (maintenance) sebaiknya dibuat 2
sumuran atau lebih.
Waktu detensi sebaiknya 20 menit atau sumuran harus cukup besar untuk
menjaga kebersihan air.
Dasar dari sumuran sebaiknya 1 m dibawah dasar sungai atau 1,5 m di
bawah muka air terendah.
Ketinggian foot valve sebaiknya kurang dari 0,6 m dari dasar sumuran.
Sumuran sebaiknya rapat air dan terbuat dari beton. Tebal dinding
sebaiknya 20 cm atau lebih kecil.
Sumuran sebaiknya cukup kuat untuk melawan uplift pressure.
3. Suction pipe dari Low Lift Pump (Suction pipe untuk pemompaan)
Kecepatan dari pipa sebaiknya 1 – 1,5 m/dt.
Perbedaan ketinggian antara muka air terendah dengan pusat pompa
sebaiknya tidak lebih dari 3,7 m.
Jika permukaan pompa lebih tinggi dari LWL, maka jarak suction sebaiknya
kurang dari 4 m.
Lokasi pompa yang terletak dibawah LWL dengan “floaded suction line“ lebih
disukai dan kadang-kadang cukup ekonomis.
4. Pipa Backwashing (untuk membersihkan foot valve atau strainer)
Kecepatan pipa sebaiknya tidak lebih dari 3 m/dt.
Dipakai air yang telah diolah.
Kuantitas air untuk backwash sebaiknya 1/3 dari aliran
dalam suction pipe.
2.1.4. Pompa Intake
Dalam perencanaan pompa intake, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu:
Fluktuasi level air sungai.
Kandungan padatan air sungai.
Besar arus sungai.
Kondisi fisik sungai.
Pompa yang di gunakan pada perencanaan ini adalah pipa:
Pompa Sentrifugal Submersible.
Biasa digunakan untuk sistem intake tidak langsung, karena pompa
dilindungi dengan bangunan permanen.
Aliran stabil sehingga pengaruh aliran relatif kecil.
NPSH tidak terlalu menjadi masalah karena pompa terendam air.
Pompa submersible harus terendam air sampai ketinggian tertentu dari
level air sungai terendah. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat
mencegah terjadinya pusaran air jika ketinggiannya melebihi batas yang
disyaratkan. Pusaran air dapat menyebabkan masuknya udara ke
dalam pompa dan terjadi kavitasi. Pompa ini sebaiknya dilengkapi
dengan switch level pada level tertentu, sehingga bila pompa tidak
terendam air maka pompa akan mati secara otomatis.
Penempatan pompa harus pada tempat permanen agar tidak
dipengaruhi oleh arus sungai bahkan sampai terbawa arus sungai dan
peletakannya di bawah level air terendah.
Level air yang berubah-ubah menyebabkan perubahan pada
karakteristik pompa.
Pompa sistem ini agak sukar dalam pemeliharaan dan harganya cukup
mahal.
Untuk perhitungan intake,
Debit tiap pipa = …………….....................(2.1)
Kecepatan dalam pipa ...................................(2.2)
Debit tiap sumuran = …………………(2.3)
Luas sumur = A = ……………………….......……..(2.4)
Dimensi tiap pipa
Persamaan Hazen Williams
dimana:
L : panjang pipa (m)
Hf : head loss/ head mayor sepanjang pipa lurus (m)
D : diameter pipa (m)
Q : debit aliran (l/s)
C : koefisien Hazen Williams
(besarnya tergantung jenis pipa yang digunakan)
2.2. Prasedimentasi
2.2.1. Umum
Bangunan prasedimentasi dapat dibagi atas empat zona atau ruang, yaitu:
Q 1,85 Hf = x L .......(2.5) 0,00155 x C x D2,63
a. Zona Inlet, sebagai tempat memperhalus transisi aliran dari aliran influent ke
aliran steady uniform di zona pengendapan.
b. Zona Outlet, sebagai tempat memperhalus transisi dari settling zone ke aliran
effluent.
c. Zone Lumpur, sebagai tempat menampung material yang diendapkan yang
berupa lumpur endapan.
d. Zone Pengendapan, sebagai tempat berlangsungnya proses pengendapan
(pemisahan) partikel dari air baku, sehingga harus bebas dari pengaruh
ketiga zone lainnya.
Gambar 2.2 Prasedimentasi
2.2.2. Faktor Desain
Faktor desain pada bangunan prasedimentasi adalah:
1. Waktu detensi (td)
Lama waktu pengendapan disesuaikan dengan kondisi bak
prasedimentasi.
Rumus: td = ....................................................(2.6)
dimana: td = waktu detensi (det)
V = volume bak (ms
2. Overflow Rate
Overflow rate dipengaruhi oleh surface area, semakin besar surface area,
maka kecepatan pengendapan akan semakin cepat dan efisien semakin
baik
Rumus: ........................................(2.7)
bd
c
a
......................................(2.8)
dimana: So = overflow rate
As = surface area
Q = debit
Xr = efisiensi penyisihan partikel
Vs = kecepatan pengendapan
3. Efisiensi removal partikel diskrit (Xt)
.................................................... (2.9)
dimana: Xt = Efisiensi removal
Xo = Fraksi berat yang tersisa
dxi = Fraksi berat
Vxi = Kecepatan pengendapan untuk tiap fraksi
Vs = Kecepatan pengendapan
4. Diameter Partikel
d = .............................................................(2.10)
dimana: d = Diameter partikel (m)
Vs= Kecepatan pengendapan (m/dt)
υ = Viskositas kinematik air
Ss= Spesific gravity partikel
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
5. Bilangan Reynolds
Perhitungan ini digunakan untuk mengontrol kondisi aliran dalam
bangunan agar laminer.
NRe = .......................................................................(2.11)
dimana: NRe = Bilangan Reynolds
VH = Kecepatan aliran horizontal
R = Jari-jari hidrolis
υ = Viskositas kinematik air
6. Bilangan Froude
Perhitungan ini digunakan untuk mengontrol terjadinya aliran pendek.
NFR = ......................................................................(2.12)
dimana: NFR = Bilangan froude
VH = Kecepatan aliran horizontal
R = Jari-jari hidrolis
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt)
7. Kecepatan Penggerusan
Perhitungan ini digunakan untuk mengontrol agar tidak terjadi
penggerusan lumpur yang telah terkumpul.
...................................................(2.13)
dimana: Vs = Kecepatan penggerusan (m/dt)
k = Faktor koreksi porositas (0,02 – 0,12)
Ss = Spesific gravity partikel (2,65)
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
f = Faktor friksi hidrolik (0,02)
d = Diameter partikel
8 Headloss pada inlet
Q = Cd. A.
dimana: Q = Debit inlet (m3/dt)
Cd = Koefisien discharge
A = Luas orifice (m2)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
hf = Headloss (m)
maka,
hf = ...................................(2.14)
2.3. Bangunan Pembubuh Koagulan
2.3.1. Umum
Bangunan pembubuh bahan kimia (koagulan) diperlukan untuk
membubuhkan bahan kimia yang digunakan untuk menurunkan kekeruhan dimana
larutan koagulan (bahan kimia) akan diinjeksikan dengan pompa dosing ke saluran
yang menuju bangunan pengaduk cepat (flash mix) untuk didispersikan pada air
baku. Jenis koagulan ada bermacam-macam dan dipilh berdasarkan kualitas air
bakunya. Alum adalah koagulan yang yang populer khususnya untuk air permukaan
(sungai). Disamping efektif, Alum juga mudah diperoleh dipasaran sebagai tawas
dengan kadarnya kurang lebih 60% karena berbentuk padat, sehingga untuk
membubuhkannya, terlebih dahulu dilarutkan dalam air.
2.3.2. Kriteria desain
Kriteria desain untuk pembubuh koagulan adalah sebagai berikut:
1. alum mengandung (15-22)% Al2O3
2. dosis tawas 60 mg/l (berdasarkan jartest)
3. konsentrasi larutan (3-7)%
4. kerapatan jenis tawas yang bverbentuk powder (0.6-0.7)kg/l
5. bak pembubuh dilengkapi dengan pipa pembubuh
6. pengadukan/pelarutan dilakukan dengan motor pengaduk
7. periode pelarutan maksimum 8 jam
8. jumlah bak maksimum 2 bak
Rumus yang digunakan:
Kebutuhan total alum murni = dosis alum x debit.......................(2.15)
Volume alum = ...............................................(2.16)
Daya motor untuk menggerakkan impeller (P) :
P = ..............................................................(2.17)
Diameter impeller (Dt) :
P= Dt5 = ................................(2.18)
Lebar paddle (Wt) :Dt/Wt = 4.....................................................................................(2.19)
Jarak paddle dari dasar bak (Sp)
Sp = 0,5(Dt)................................................................................(2.20)
Cek NRe aliran: Nre .............................................(2.21)
Sedangkan untuk menginjeksi koagulan yang sudah dilarutkan digunakan
pompa dosing (dosing-pump), yang termasuk jenis reciprocating. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam merencanakan pompa dosing adalah sebagai berikut:
a. tekanan pompa dosing
b. kapasitas pompa dosing dan kapasitas bahan kimia yang diinjeksikan
c. jenis zat kimia yang diinjeksikan
Rumus yang digunakan:
Daya pompa dosing (P) :
...............................................(2.22)
2.4. PENGADUK CEPAT (FLASH MIX)
2.4.1. Umum
Bangunan pengaduk cepat (flash mix) digunakan untuk proses koagulasi
yang merupakan awal untuk pengendapan partikel-partikel koloid yang terdapat
dalam air baku. Partikel koloid sangat halus dan sulit untuk diendapkan tanpa proses
pengolahan lain (plain sedimentation). Adapun karakteristik dari partikel koloid
adalah sebagai berikut :
Sangat halus
Umumnya bermuatan listrik dimana partikel anorganik memiliki muatan positif
sedangkan partikel organik bermuatan negatif.
Koloid dapat digolongkan atas hydrophobic (sukar bereaksi dengan air) dan
hydrophilic (mudah bereaksi dengan air).
Karena sifat partikel yang sangat halus, maka ukuran partikel koloid harus diperbesar
dengan menggabungkan partikel-partikel koloid tersebut melalui proses koagulasi
dan flokulasi sehingga mudah untuk mengendapkannya.
Koagulasi adalah proses pengadukan cepat dengan pembubuhan bahan
kimia/koagulan yang berfungsi untuk mengurangi gaya tolak-menolak antar partikel
koloid kemudian bergabung mmbentuk flok-flok. Pengaduk cepat digunakan dalam
proses koagulasi, karena:
Untuk melarutkan koagulan dalam air.
Untuk mendistribusikan koagulan secara merata dalam air.
Untuk menghasilkan partikel-partikel halus sebagai inti koagulasi (coagulating
agent) sebelum reaksi koagulan selesai.
Proses pengadukan cepat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Pengadukan mekanis
Adalah membuat aliran turbulen dengan tenaga penggerak motor dimana bak
pengaduk dilengkapi dengan peralatan mekanis, seperti:
Paddle dengan putaran 2 – 150 rpm
Turbine dengan putaran 10 – 150 rpm
Propeller dengan putaran 150 – 1500 rpm
2. Pengaduk Hidrolis
Pengadukan cepat secara hidrolis dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan
kondisi alirannya, yaitu:
a. Open channel flow
Hydraulic jump mixer
Dengan lompatan air menggunakan drop atau tanpa drop pada
saluran sehingga dapat membentuk aliran superkritis.
Parshall flume
Sangat efektif untuk pengadukan cepat ketika hydraulic jump
digabung dekat downstream saluran.
Palmer Bowlus flume
Merupakan modifikasi dari parshall flume
Weir
Sangat efektif digunakan sebagai pengaduk cepat bila
kapasitasnya kecil.
b. Flow in pressure pipe
Hydraulic energy dissipitor
Turbulent flow pipe mixer
2.4.2. Prinsip Proses
1. Destabilisasi Partikel Koloid
Pada umumnya, paartikel koloid adalah penyebab kekeruhan yang
bersifat hydrophobic (bermuatan negatif). Agar terjadi penggabungan
diperlukan destabilisasi yang hanya dapat dicapai dengan penambahan
elektrolit yang bermuatan positif, sehingga diharapkan gaya tolak menolak
antar partikel dapat diperkecil. Selanjutnya diperlukan suatu gaya yang dapat
memperkecil jarak antar partikel, yakni dengan mengadakan tumbukan antar
partikel. Oleh karena itu, dalam proses koagulasi diperlukan turbulensi yang
cukup tinggi untuk meratakan koagulan keseluruh bagian zat cair dan
memungkinkan terbentuknya inti flok.
Proses destabilisasi sangat dipengaruhi oleh derajat hidrasi partikel
dan konsentrasi muatan. Bila konsentrasi muatan koloid kurang besar, maka
proses destabilisasi akan terhambat. Oleh karena itu, untuk memudahkannya
diperlukan tambahan partikel koloid baru yang dapat memperbesar muatan.
2. Pembentukan Mikroflok
Pada proses koagulasi, tahap destabilisasi partikel koloid dan
pembentukan mikroflok terjadi pada penambahan elektrolit positif Al3+ dari
koagulan Al2(SO4)3. Didalam air, koagulan alum akan bereaksi ganda yakni
dissosiasi dan hidrolisa dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
Reaksi dissosiasi : Al2(SO4)3 2 Al 3+ + 3 SO42-
Reaksi hidrolisa : Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 3H2SO4
Dalam hal ini Al3+ berfungsi sebagai elektrolit positif penetral muatan negatif
partikel pada proses destabilisasi. Al(OH)3 merupakan presipitat sebagai inti
pembentuk mikroflok. Sesuai dengan konsep destabilisasi koloid, apabila
konsentrasi muatan partikel koloid kecil (kekeruhan rendah), maka penetralan
oleh Al3+ sulit terjadi. Untuk itu diperlukan penambahan zat bantu koagulasi
berupa material kekeruhan.
3. Proses koagulasi
Proses mixing atau pengadukan adalah proses dimana dua atau lebih
material dicampur untuk memperoleh derajat keseragaman yang diinginkan.
Proses mixing digunakan untuk menimbulkan kondisi turbulensi yang cukup
besar pada aliran. Pada proses pengadukan cepat memerlukan waktu yang
relatif cukup singkat, karena pada prinsipnya tujuan utam adari mixing adalah
mendispersikan zat-zat kimia. Dengan waktu pengadukan yang singkat,
maka volume pengadukan relatif kecil. Waktu mixing yang pendek
dikonversikan dengan meningkatnya gradien kecepatan (G).
2.4.3. Faktor-Faktor Desain
1. Gradien kecepatan (G)
Merupakan perbedaan kecepatan antara dua titik atau volume terkecil
fluida yang tegak lurus perpindahan. Gradien kecepatan berhubungan
dengan waktu pengadukan. Nilai G yang terlalu besar dapat mengganggu titik
akhir pembentukan flok.
Rumus: ..................................................................(2.23)
dimana: G = gradien kecepatan (det-1)
P = power pengaduk
μ = viskositas absolut
V = volume bak (m3)
Rumus lainnya: .........................................................(2.24)
dimana: y = densitas air
hf = kehilangan tekanan
T = waktu detensi (td)
2. Waktu kontak (td)
Waktu kontak adalah nilai kontak antara partikel kimia dengan air
baku yang dipengaruhi oleh volume bak dan debit air baku.
Rumus: .................................................................(2.25)
Jumlah benturan partikel sebanding dengan nilai gradien kecepatan dan
waktu detensi (td).
3. Putaran rotasi pengaduk (n)
Rumus: ..............................................(2.26)
dimana: n = putaran rotasi pengaduk (rps)
P = power pengaduk
gc = kecepatan gravitasi
Dt = diameter pengaduk
γ = densitas air
Kt = konstanta pengaduk untuk turbulensi
4. Bilangan Reynolds
Bilangan Reynolds adalah bilangan untuk menentukan apakah aliran
itu laminer, turbulen atau transisi.
Rumus: ............................................................(2.27)
dimana: Nre = bilangan Reynolds
n = putaran rotasi pengaduk (rps)
dt = diameter pengaduk
γ = densitas air
μ = viskositas absolut
2.5. Pengaduk Lambat (Slow Mix)
2.5.1. Umum
Bangunan pengaduk lambat merupakaan tempat terjadinya flokulasi yaitu
proses yang bertujuan untuk menggabungkan flok-flok kecil yang titik akhir
pembentukannya terjadi di bak pengaduk cepat agar ukurannya menjadi lebih besar
sehingga cukup besar untuk dapat mengendapkan secara gravitasi.
Pengadukan lambat (agitasi dan stirring) digunakan dalam proses flokulasi,
karena:
1. Memberi kesempatan kepada partikel flok yang sudah terkoagulasi untuk
bergabung membentuk flok yang ukurannya semakin membesar.
2. Memudahkan flokulan untuk mengikat flok-flok kecil.
3. Mencegah pecahnya flok yang sudah terbentuk.
Proses agitasi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Cara Mekanis
Pengadukan dengan menggunakan alat-alat mekanis, yaitu paddle, turbin
atau impeller yang digerakkan secara mekanis dengan motor. Bentuk dan
cara kerjanya sama dengan alat mekanis yang digunakan pada pengadukan
cepat, hanya saja nilai gradien kecepatnnya jauh lebih kecil.
2. Cara Hidrolis
Baffle channel flocculator
Flokulator yang berbentuk saluran dan dilengkapi dengan baffle. Ada 2
jenis aliran yaitu aliran horizontal dan vertikal.
Hydraulic jet action flocculator
Sangat sesuai dengan pengolahan air minum debit kecil.
Gravel bed flocculator
Menggunakan media kerikil untuk membentuk flok dan sangat sesuai
untuk pengolahan air minum skala kecil.
Sistem Orifice
Menggunakan pipa-pipa orifice yang dipasang pada dinding-dinding
beton dimana pengadukan terjadi (diharapkan) melewati lubang-
lubang orifice tersebut.
Pada pengadukan lambat ini dimana titik akhir flok-flok yang telah terbentuk
karena proses koagulasi, diperbesar sehingga flok tersebut dapat bergabung dan
akan diendapkan dalam bak sedimentasi. Proses ini memanfaatkan ketidakstabilan
dari partikel-partikel koloid sehingga flok-flok tersebut dapat berikatan satu dengan
yang lain. Dua mekanisme yang penting dalam proses flokulasi ini adalah:
1. Perikinesis, dimana pengumpulan dihasilkan dari pengadukan lambat dalam
air dan sangat signifikan untuk partikel lebih kecil dari 1 – 2 mm.
2. Orthokinesis, berhubungan dengan gradien kecepatan (G), dimana dengan G
tertentu diharapkan terjadi pengadukan yang membantu pengumpulan flok
dan tidak menyebabkan flok-flok yang sudah terbentuk pecah.
2.5.2. Kriteria Perencanaan
Faktor-faktor yang berpengaruh pada flokulator sama dengan yang
berpengaruh pada bangunan flash mix, diantaranya yaitu:
1. Waktu detensi
2. Gradien kecepatan (G)
Rumus: Untuk baffle channel.................................(2.28)
dimana: v = viskositas kinematis
t = waktu detensi
g = percepatan gravitasi
h = headloss
Untuk pengaduk mekanis dengan paddle
...................................................(2.29)
dimana: Cd = koefisien drag (tergantung dari bentuk paddle dan arah aliran)
A = luas permukaan paddle
v = viskositas kinematis
v = kecepatan relatif paddle
V = Volume bak flokulasi
3. Headloss saluran (Hf)
Hf akibat belokan ............................................................(2.30)
dimana: k = konstanta empiris untuk belokan (1,5)
vb = kecepatan aliran (m/det)
g = percepatan gravitasi (m/det2)
4. Jumlah sekat/baffle (n) untuk around the end
.............................................(2.31)
dimana: n = jumlah sekat
H = kedalaman air (m)
L = panjang bak (m)
G = gradien kecepatan (det-1)
Q = debit (m3/det)
t = waktu fluktuasi (det)
μ = viskositas dinamis (kg/m.det)
ρ = densitas air (kg/m3)
f = koefisien friksi dari sekat
w = lebar bak (m)
2.6. Sedimentasi
2.6.1. Umum
Bangunan sedimentasi berfungsi mengendapkan partikel-partikel flokulen
yang terbentuk pada proses koagulasi-flokulasi pada bak pengaduk cepat dan
lambat. Bentuk bangunan sedimentasi ada yang rectangular dan circular tank,
dimana pada tiap tangki terdapat 4 zona, yaitu:
♣ Zona Inlet
Berfungsi sebagai tempat memperhalus transisi aliran dari aliran influen ke
aliran steady uniform di settling zona.
♣ Zona Outlet
Berfungsi sebagai tempat memperhalus transisi dari settling zona ke aliran
effluen.
♣ Zona Settling (pengendapan)
Berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses pengendapan partikel dari
air.
♣ Zona lumpur
Berfungsi sebagai tempat untuk menampung lumpur hasil dari proses
pengendapan.
Jenis-jenis bangunan sedimentasi adalah:
1. Konvensional
Menggunakan plate settler, plate settler digunakan untuk meningkatkan
efisiensi pengendapan karena plate memiliki kemiringan tertentu (45o – 60o),
sehingga lumpur tidak menumpuk di plate tetapi meluncur ke bawah dan flok
dapat lebih mudah dipisahkan. Efisiensi pengendapan partikel flokulen
dipengaruhi oleh overflow rate, waktu detensi, dan kedalaman bak
pengendap.
2. Tube settler, mempunyai fungsi sama dengan plate settler, hanya saja
modelnya yang berbentuk tube. Ada yang dipasang secara horizontal
maupun vertikal dengan kemiringan tertentu terhadap garis horizontal.
2.6.2. Faktor Desain
1. Waktu detensi
Untuk bak rectangular, aliran air memiliki kecepatan horizontal (Vo),
pengendapan partikel mempunyai kecepatan pengendapan (Vs). Secara
teoretis, waktu detensi air didalam tangki adalah:
..................................................................................(2.32)
dimana: L = panjang bak (m)
Secara teoretis, waktu pengendapan flok adalah:
..................................................................................(2.33)
dimana: h = kedalaman bak (m)
2. Overflow rate
Overflow rate dipengaruhi oleh surface area. Semakin besar surface
area maka kecepatan pengendapan akan semakin cepat dan efisiensi
semakin baik.
Rumus: ..............................................................................(2.34)
dimana: So = overflow rate (m/jam)
Q = debit (m3/det)
As = surface area (m2)
Apabila So = Vs = h/ts, maka semakin besar h akan menurunkan efisiensi.
Sebaliknya semakin besar waktu detensi akan meningkatkan efisiensi
pengendapan.
3. Batch settling test
Batch settling test digunakan untuk mengevaluasi karakteristik
pengendapan suspensi flokulen. Diameter coloumn untuk tes 5 – 8 inch (12,7
– 20,3 cm) dengan tinggi paling tidak sama dengan kedalaman bak
pengendap. Sampel dikeluarkan melalui pori pada interval waktu periodik.
Prosentase penghilangan dihitung untuk masing-masing sampel yang
diketahui konsentrasi suspended solidnya dan konsentrasi sampel.
Prosentase penghilangan diplotkan pada grafik sebagai nilai penghilangan
pad grafik waktu vs kedalaman. Lalu dibuat interpolasi antara titik-titik yang
diplot dan kurva penghilangan, Ra, Rb, dst.
2.7. Filtrasi
2.7.1. Umum
Bangunan filter berfungsi untuk menyaring flok-flok halus yang masih
terdapat didalam air yang tidak terendapkan pada sedimentsi II dan juga menyaring
bakteri atau mikroorganisme lain yang ada dalam air. Beberapa macam proses
filtrasi antara lain:
1. Rapid Filtration (Penyaringan cepat)
Rapid filtration adalah proses filtrasi yang dilakukan setelah adanya proses
koagulasi. Flokulasi dan sedimentasi media yang bisa dipakai adalah:
- Dual media, contoh: pasir dan antrasit yang terpisah
- Mixed media, contoh: pasir dan antrasit yang tercampur
Tetapi secara umum, media yang sering dipakai adalah antrasit, pasir dan
kerikil. Susunan media yang baik untuk filtrasi adalah bagian atas kasar dan
semakin kebawah semakin halus. Hal tersebut dilakukan adalah untuk
menghindari terjadinya penyumbatan (clogging) dilapisan atas dan selain itu
agar seluruh media dapat dimanfaatkan sebagai filter.
2. Slow Sand Filtration (Penyaringan lambat)
Slow sand filtration adalah proses filtrasi lambat denagn media pasir untuk
proses pengolahan air permukaan yang tidak melalui unit-unit koagulasi,
flokulasi dan sedimentasi. Sehingga air baku setelah mengalami proses
sedimentasi pada prasedimentasi langsung dialirkan ke filter lambat ini.
Pada filter ini proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi terjadi pada filter
dengan bantuan dari mikroorganisme yang terbentuk pada permukaan pasir.
Keuntungan dari proses ini yaitu dari tingkat pengolahan yang tinggi. Akan
tetapi juga banyak kerugiannya, yaitu:
- Sangat sensitif dengan variasi pH air baku
- Jika ada air keruh yang masuk maka pori-pori dari film dipermukaan
akan tersumbat. Oleh karenanya diperlukan tambahan bak
pengendap yang besar sebelum masuk ke filter.
- Waktu pengendapan air baku cukup lama sehingga proses filtrasi juga
berlangsung lama.
- Memerlukan lahan yang cukup luas selain untuk filtrasi itu sendiri
tetapi juga untuk pengendap yang digunakan.
3. Pressure Filtration (Penyaringan bertekanan)
Pressure filtration adalah proses penyaringan dengan tekanan pada
pengolahan air minum yang berasal dari air tanah sebelum didistribusikan.
4. Direct Filtration (Penyaringan langsung)
Direct filtration adalah proses filtrasi untuk air baku yang kekeruhannya
rendah.
Mekanisme filtrasi yang paling penting antara lain:
1. Mechanical straining
Mechanical straining adalah proses penyaringan partikel suspended matter
yang terlalu besar untuk lolos dari lubang diantara butiran pasir. Proses ini
terjadi pada permukaan filter.
2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan partikel tersuspensi yang lebih
halus ukurannya daripada lubang pori pada permukaan butiran.
3. Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses yang paling penting dalam proses filtrasi karena
dapat menghilangkan partikel-partikel koloidal yang berasal dari bahan-bahan
organik maupun non organik yang tidak terendapkan. Proses ini dapat terjadi
karena secara alamiah pasir kwarsa pada pH normal mempunyai muatan
negatif sehingga dapat terjadi karena menarik partikel koloid yang bermuatan
positif (berasal dari anorganik) seperti flok dari besi, mangan, aluminium dan
lain-lain. Bila telah banyak muatan negatif yang tertahan pada butiran filter
maka filter menjadi jenuh dan bermuatan positif sehingga dapat menarik
partikel koloid yang berasal dari bahan organik yang bermuatan negatif.
Apabila jenuh lagi maka muatan kembali menjadi negatif.
4. Aktivitas kimia
Dalam filter ada aktivitas kimia karena bereaksinya beberapa senyawa kimia
dengan oksigen ataupun dengan bikarbonat.
5. Aktivitas biologis
Aktivitas mikroorganisme yang hidup didalam filter yang secara alamiah hidup
didalam air baku dan bila melalui filter dapat berkembang biak dalam filter.
Mikroorganisme ini dapat berkembang biak dalam filter dengan sumber
makanan yang berasal dari bahan organik dan anorganik yang terdapat
dalam air yang akan diolah.
Adapun prinsip dari proses filtrasi ini adalah dengan melewatkan air kedalam
media berpori untuk menyaring flok-flok halus dan belum dapat diendapkan dalam
sedimentasi II untuk memperbaiki kualitas air.
Pada perencanaan ini digunakan dual media (pasir dan antrasit) dengan
konstan rate pada Rapid Sand Filter (RSF). Penggunaan dual media ini didasarkan
pada:
1. Menghindari terjadinya clogging atau penyumbatan yang terlalu cepat
2. Efektivitas lapisan filter mudah dicapai.
3. Headloss dapat diminimalkan.
Pada filter, pencucian dilakukan karena adanya proses penyumbatan dengan
tetap menjaga agar media filter tetap terstrata dengan antrasit kasar (Berat Jenis
kecil) pada bagian atas dan pasir yang lebih halus (Berat Jenis besar) dibagian
bawah. Pencucian media dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
backwashing system atau dengan surface washing system.
2.7.2. Kriteria Desain
A. Bak Filter
Tinggi air diatas media = 1,5 – 3 m
Panjang (L) = Lebar (B) = (1,5 – 2) : 1
Kecepatan filtrasi = 7,3 – 19,5 m/jam
Jumlah bak > 2 buah
B. Backwash
Kecepatan backwash (Vbw) = 36,7 – 48,9 m/jam
Waktu (tbw) = 3 – 75 menit
Tekanan (Pbw) = 1 – 2 atm
Periode penurunan = 12 – 72 jam
Volume (Vbw) = 1 – 6% Volume filtrasi
C. Underdrain
Luas media = luas orifice = 1 : (1,5 – 5).10-3
Luas manifold = luas lateral = (1,5 – 3) : 1
Luas lateral = luas orifice = (2 – 4) : 1
Diameter orifice = 6 – 12 mm
Jarak antar orifice = 7,5 cm untuk 6 mm
= 20 cm untuk 12 mm
Kecepatan maximum di manifold = < 0,35 – 0,6 m/dt
Kecepatan maximum di lateral = < 0,2 – 0,5 m/dt
Jarak antar lateral maximum = 30 cm
D. Gutter
Lebar gutter = 2 ft = 16 cm
Jarak gutter antar tepi = 4 – 6 ft = 122 cm – 183 cm
E. Headloss
Head loss = 0,3 m – 3 m
F. Media Filter
Media Pasir Tebal (L) = 60 – 75 cm
Ukuran butiran (D) = 0,5 – 2 mm
Spesific gravity (SS) = 2,55 – 2,65 gr/cm3
Effective size (ES) = > 0,45 – 0,55
Uniform effisien (Vc) = 1,5 – 1,7
Media Anthrasit
Tebal (L) = 25 – 30 cm
Diameter (D) = 1,5 – 1,9 mm
Spesific gravity (SS) = 1,2 – 1,6 gr/cm3
Effective size (ES) = > 0,9 – 1,1
Uniform effisien (Vc) = 1,6 – 1,8
Media Penyangga
Tebal (L) = 30 – 60 cm
Ukuran butiran (D) = 0,3 – 6 mm
Spesific gravity (SS) = 2,55 – 2,65 gr/cm3
Tebal media filter = 1 m
Slope filter ke outlet = 1 : 200
Data-data Perencanaan Filter:
Dari analisa laboratorium diperoleh data fisik dari media yang dipakai:
Antrasit
Ss = 1,5 gr/cm3
porositas ( ) = 0,7
porositas ( ) = 0,48
Pasir
Ss = 2,65 gr/cm3
porositas ( ) = 0,83
porositas ( ) = 0,4
Kerikil
Ss = 2,65 gr/cm3
porositas ( ) = 0,98
porositas ( ) = 0,38
Rumus yang digunakan :
Uniform Coefficient (UC)
UC ............................................................................(2.35)
Persiapan pasir filter : (2.36)
Prosentase pasir yang digunakan
Pusable = 2 x ( % D60 - % D10)
= 2 x (55 – 30) = 50%
Prosentase pasir yang terlalu halus
P too fine = (%D10) – (0,1 x Pusable)
= 30% - (0,1 x 50%) = 25%
Prosentase pasir yang terlalu kasar
P too coarse = ( Pusable + P too fine)
= 50% + 25% = 75%
Jumlah bak filter (n)
n = 12 x (Q)1/2 ......................................................................(2.37)
Luas permukaan filter (Af)
..............................................................................(2.38)
Tinggi bak filter (h) ;
h = tebal media + tinggi air diatas media + freeboard.....(2.39)
Headloss pada media filter
..........................................(2.40)
dimana : k = konstanta = 5
L = tebal media (m)
f = porositas untuk antrasit = 0,48
pasir = 0,4
kerikil = 0,38
v = viskositas kinematis = 0,8976.10-6 m2/det.
Ψ = shape factor untuk antrasit = 0,7
Pasir = 0,8
Kerikil = 0,98
% fraksi
Tebal media dengan Ø tertentu
Pi = x 100 %
Tebal media tertentu total
di = (Ø terkecil x Ø terbesar ) ½ atau (d1x d2)1/2
Intermixing
.................................................(2.41)
.....................................................................(2.42)
..................................................................(2.43)
Sehingga dihasilkan subtitusi ketiga persamaan diatas sebagai berikut :
....................................................(2.44)
Ekspansi media Filter
ekspansi : ....................................(2.45)
Control ekspansi : .............................................(2.46)
Headloss : ......................................(2.47)
Debit air untuk backwash
(Qbw) = A bak filter x v bw....................................................(2.48)
Volume filtrasi dalam 1 hari (Vbak)
= Qtiap bak x td.....................................................................(2.49)
Volume air backwash (Vbw)
= 1 – 6 % dari volume filtrasi.................................................(2.50)
Waktu operasi backwash (tbw)
tbw .................................................................................(2.51)
Sistem underdain
Luas penampang manifold
...............................................................................(2.52)
Panjang pipa manifold
P = panjang filter – jarak manifold dari dinding...............(2.53)
Luas total lateral
A lateral = ...............................................................(2.54)
Jumlah pipa lateral (n)
..............................................................(2.55)
Luas tiap lateral
A tiap lateral = ...........................................................(2.56)
Panjang pipa lateral
.........(2.57)
Debit tiap lateral
Qtiap lateral ............................................................(2.58)
Kecepatan pada pipa lateral
v lateral ..................(2.59)
A Orifice total
= ...................................................................(2.60)
Jumlah lubang orifice total pada pipa lateral (n)
................................................................................(2.61)
Jumlah orifice pada tiap pipa lateral
∑ orifice tiap lateral .........................................(2.62)
Jarak tiap orifice
Jarak antar orifice ......................(2.63)
Headloss Saat Filtrasi pada Underdrain
Q tiap orifice
....................................................................................(2.64)
Hf Orifice
= ...................................(2.65)
Hf Lateral
= .................................(2.66)
Rumus Manning
Q = → Saluran Penampang Ekonomis......(2.67)
Debit di Pintu air
Q = .....................................................(2.68)
Kedalaman air pada gutter
H = 1,73 x ...............................................................(2.69)
Kedalaman Kritis.
Yc = ............................................................................(2.70)
Dimana : q = ..................................................................(2.71)
Kedalaman air di gutter.
Ho = ..........................................................(2.72)
Tinggi air saat backwash.
Tinggi media ekspansi + Tinggi Gutter + Tinggi air di atas gutter....(2.73)
Tebal media saat backwash
L media kerikil + tinggi ekspansi pasir + tinggi ekspansi anthrasit........(2.74)
Tinggi air diatas media
Saat filtrasi dengan media bersih
= Hf pada underdrain (4 bak operasi) + Hf media filter (4 bak operasi)…..(2.75)
Saat clogging
= Hf underdrain (4 bak operasi) + Hf media saat clogging...................(2.76)
Saat backwashing
= Hf underdrain saat backwash + Hf media saat backwash……(2.77)
Tinggi air diatas media saat filtrasi
= Tinggi bak + tebal media + tebal underdrain.....................(2.78)
2.8. Desinfeksi
2.8.1. Umum
Adapun prinsip atau metode yang digunakan dalam proses desinfeksi adalah
menggunakan klor sebagai desinfektan. Beberapa desinfektan lainnya adalah klorin
dioksida, ozon, ultra violet, bromin, iodine dan pemanasan. Klorin dioksida 25 kali
lebih efektif dibanding gas klor, yang mudah meledak pada suhu tinggi. Tidak
menghasilkan Trihalometan dan tidak bereaksi dengan ammonia. Sedangkan UV
lebih mahal disbanding dengan penggunaan klor dan tidak menyediakan
perlindungan residu. Klorinasi merupakan pilihan penting untuk suatu instalasi
pengolahan air minum. Pada pengolahan air untuk kebutuhan industri, klor bukanlah
satu-satunya desinfektan yang dipakai, namun khlor meupakan desinfektan efektif
yang telah dikenal. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1. Hanya senyawa klor yang relatif murah dan mudah didapat. Klor juga mudah
ditangani dalam operasinya. Desinfeksi dengan klor merupakan yang paling
sederhana dan tidak membutuhkan operator yang sangat ahli
2. Kemampuan klor dalam membunuh bakteri atau virus (agen desinfektan)
3. Klor menyediakan perlindungan residual, yaitu kemampuan untuk tetap bisa
membunuh organisme patogen detelah air keluar dari instalasi pengolahan
(distribusi)
4. Klor juga berfungsi sebagai oksidan zat-zat oganik dan ion-ion logam (Fe, Mn)
serta dapat mengurangi rasa dan bau serta dapat menghilangkan amoniak
(NH4+). Reaksi klor yang terjadi adalah sebagai berikut :
Ca(OCl)2 + 2 H2O 2 HOCl + Ca(OH)2
HOCl OCl- + H+
(Hipoklorit)
Beberapa kerugian dari penggunaan klor:
1. Klor adalah senyawa kimia yang berbahaya.
2. Bila klor bereaksi dengan zat organik, konsentrasinya berkurang dan tekanan
rendah maka akan terbentuk trihalometan (THM). Trihalometan yang terkandung
bersifat karsinogenik.
3. Serangkaian tes perlu dilakukan untuk mengetahui dosis klor yang efektif dan
aman.
2.8.2. Karakteristik Klor
Klor tersedia dalam bentuk dibawah ini dalam pengolahan air minum adalah:
1. Gas (Cl2) yang korosif dan beracun.
2. Hipoklorit solid berupa NaOCl atau Ca(OCl)2. Lebih aman dibanding gas klor
namun 4 - 5 kali lebih mahal.
3. Hipoklorit terlarut berbentuk cairan berkonsentrasi 5 – 10%. Jarang dipakai
karena mahal dan menyebabkan kondisi bulking.
Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut:
Cl2 + H2O H+ + OCl- + Cl-
Dua asam terbentuk (Hipoklor dan Hidroklor)
NaOCl Na+ + OCl-
HOCl H+ + OCl- pKa = 7,53
HOCl > OCl- pada pH < pKa
HOCl < OCl- pada pH > pKa
HOCl = OCl- pada pH = pKa HOCl 80 kali lebih efektif dibanding
OCl- sebagai desinfeksi karena muatan negatif pada mikroba menolak
OCl-
2.8.3. Break Point Chlorination
Dosis klor dihitung dengan adanya Break Point Chlorination (BPC) dan sisa
klor. Jika kurang, maka desinfektan menjadi tidak efisien (gagal) dan bila kelebihan
akan menyebabkan rasa dan bau yang tidak enak dalam air minum. BPC
memberikan indikasi bahwa :
Semua zat yang dapat teroksidasi telah teroksidasi tuntas
Amoniak hilang sebagai N2
Masih ada residu klor aktif tersebut untuk desinfeksi daalam system distribusi
Sisa klor (residu klor) dalam air diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi
bakteri selama pejalanan air samapai ke konsumen. Biasanya klor tergantung dari
jarak yang ditempuh, pH dan temperatur air. Untuk jarak yang tidak begitu jauh, sisa
klor cukup 0,2 - 0,4 mg/l.
Rumus yang digunakan:
Dosis chlor= BPC + sisa chlor (2.79)
n = mol Cl2 = (2.80)
Volume Cl2= (2.81)
2.9. Reservoir
Reservoir berfungsi untuk menampung air bersih sebelum didistribusikan
pada konsumen. Reservoir juga bisa berfungsi sebagai bak kontak desinfektan
(proses desinfeksi). Agar proses desinfeksi ini berlangsung optimum, maka reservoir
ini biasanya dilengkapi dengan saluran baffle agar terjadi kontak antara air dengan
desinfektan.
Volume reservoir = xQ…..
(2.82)