bab 2 tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction
Regio antara motor neuron dan sel otot disebut neuromuscular junction
(gambar 1). Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20-
nm), belahan sinap. Pada saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi
influks ion-ion kalsium melalui gerbang kanal kalsium bervoltasi ke sitoplasma
saraf yang menyebabkan vesikel di membran terminal dan mengeluarkan
asetilkolin. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang belahan sinap untuk berikatan
dengan reseptor nikotinik kolinergik pada membran otot, di motor end-plate.
Setiap neuromuscular junction berisi 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan
500,000 reseptor untuk kontraksi normal otot.
Gambar 1. Neuromuscular junction (Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ)1
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi di setiap jaringan dan
perkembangannya juga berbeda. Setiap reseptor ACh pada neuromuscular
junction normalnya mempunyai 5 subunit protein, 2 subunit α dan subunit tunggal
β, δ, dan ε. Hanya sub unit α identik yang bisa mengikat molekul ACh. Bila kedua
tempat pengikat diduduki ACh, terjadi perubahan cepat pada subunit (1
milisekon) membuka kanal ion pada inti reseptor (gambar 2). Kanal ini tidak akan
terbuka jika ACh hanya menduduki satu tempat.
Gambar 2. Kanal ion natrium (Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ)1
Kation keluar melalui kanal ACh yang terbuka (natrium dan kalsium
masuk; keluar), menghasilkan end-plate potential. Jika reseptor-reseptor telah
cukup diduduki oleh ACh, end-plate potential akan cukup kuat mendepolarisasi
membran perijunctional. Kanal-kanal natrium pada bagian ini akan terbuka bila
ambang batas voltase terlewati, berlawanan dengan reseptor-reseptor end-plate
yang terbuka jika ada ACh (gambar 3). Area perijunctional pada membran otot
mempunyai densitas yang lebih tinggi terhadap kanal natrium dibandingkan
bagian-bagian lainnya. Resultan potensial aksi menyebar sepanjang membran otot
dan sistem T-tubule yang membuka saluran-saluran sodium dan melepaskan
kalsium dari sarkoplasma retikulum.
Gambar 3. Skema kanal ion natrium (Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray
MJ)1
Kalsium intraselular ini membuat aktin dan myosin berinteraksi, yang
membuat kontraksi otot. Jumlah ACh yang biasanya terlepas dan jumlah reseptor-
reseptor yang selanjutnya teraktivasi secara normal melebihi kebutuhan minimum
untuk memulai suatu potensial aksi.
Asetilkolin segera dihidrolisis ke dalam bentuk asetat dan kolin oleh enzim
spesifik acetylcholinesterase. Enzim ini (disebut juga specific cholinesterase atau
true cholinesterase) tertanam pada membran motor end-plate dan segera
mendekati reseptor-reseptor asetilkolin. Akhirnya reseptor kanal ion menutup,
menyebabkan repolarisasi end-plate. Ketika potensial aksi berhenti, kanal-kanal
natrium pada membran otot juga tertutup. Kalsium memisahkan diri ke
sarkoplasmik retikulum, dan sel otot relaks.
Reseptor kolinergik terbagi 2 tipe, yaitu reseptor ACh nikotinik dan
reseptor ACh muskarinik. Reseptor kolinergik banyak dijumpai di sistem saraf
otonom di perifer maupun di pusat. Keduanya berbeda dalam hal transduksi
sinyalnya.
Reseptor ini merupakan reseptor terhubung dengan kanal ion. Reseptor
nikotinik dapat berikatan dengan nikotin, tetapi juga memiliki beberapa ikatan
dengan enyawa lain. Reseptor nikotinik merupakan suatu protein pentamer yang
terdiri dari lima subunit yaitu: 2 subunit α, β, γ, dan δ yang masing-masing
berkontribusi membentuk kanal ion, dengan dua tempat ikatan untuk molekul
ACh. Ion K+ dan Na+
dapat keluar masuk melintasi membran. Reseptor ini
berlokasi di neuromuscular junction, ganglia otonom, medula adrenal, dan
susunan saraf pusat. Paling banyak ditemukan di neuromuscular junction
(neuromuscular junction adalah sinaps yang terjadi antara saraf motorik dengan
serabut otot). Reseptor nikotinik berperan memperantarai terjadinya kontraksi otot
polos.
Reseptor muskarinik mampu mengikat muskarinik, suatu senyawa yang
berasal dari jamur Amanita muscaria. Reseptor ini terdistribusi luas di seluruh
tubuh dan mendukung berbagai fungsi vital, di otak, sistem saraf otonom,
terutama saraf parasimpatis. Aktivasi reseptor pada perifer menyebabkan
berkurangnya frekuensi denyut jantung, relaksasi pembuluh darah, konstriksi
saluran pernafasan, peningkatan sekresi dari kelenjar keringat dan lakrimasi,
konstriksi pada otot spinkter bola mata dan otot siliar mata.
Di otak reseptor ini dijumpai pada cerebral cortex, striatum, hippocampus,
thalamus dan brainstem. Reseptor ini berpartisipasi dalam banyak fungsi penting,
belajar, ingatan dan kontrol postur tubuh.
2.3 Obat-obat Blokade Neuromuskular
Seperti acethylcholine, seluruh zat – zat penghambat
neuromuskular memiliki rantai ammonium yang secara positif
mengisi nitrogen sebagai afinitas terhadap reseptor acethylcholine
nikotinik.
2.3.1 Obat Blok Depolarisasi
Relaksan otot depolarisasi sangat mirip dengan acethylcholine
dan oleh karena itu berikatan dengan reseptor acethylcholine,
menimbulkan potensial aksi otot, tidak seperti acethylcholine, obat
– obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, dan
konsentrasi mereka pada celah sinaps tidak cepat menurun,
mengakibatkan depolarisasi memanjang pada sel-sel otot (muscle
end plate).
Depolarisasi end-plate terus menerus menyebabkan relaksasi
otot karena pembukaan gerbang bawah pada saluran natrium
perijunctional adalah terbatas waktu. Setelah eksitasi inisial dan
pembukaan (gambar 3b), saluran natrium ini menutup (gambar
3c) dan tidak bisa terbuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-
plate tidak bisa repolarisasi sepanjang relaksan otot depolarisasi
terus berikatan dengan reseptor acethylcholine ; hal ini disebut
suatu blok fase I.
Setelah satu periode waktu, depolarisasi end-plate memanjang
bisa menyebabkan perubahan ion pada reseptor acethylcholine
yang menimbulkan blok fase II, yang secara klinis
menggambarkan relaksan otot non depolarisasi.
Skema saluran sodium.saluran sodium adalah protein transmembran yang
mempunyai 2 gerbang fungsional.Ion sodium hanya lewat bila kedua gerbang
terbuka.pembukaan gerbang bawah inaktivasi adalah tergantung waktu, dimana
gerbang atas adalah tergantung voltase. Saluran ini mengalami tiga bagian
fungsiaonal. Pada saat istirahat gerbang bawah terbuka tapi gerbang atas tertutup
(A). jika membrane otot mencapai ambang batas depolarisasi, gerbang atas
terbuka dan sodium bisa lewat (B). sesaat sterlah gerbang atas terbuka gerbang
bawah yang tergantung waktu tertutup (C). ketika membrane kembali repolarisasi
ke voltase istirahat gerbang atas tertutup dan gerbang bawah terbuka (A).
Suksinilkolin
Sejarah Suksinilkolin
Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tahun 1906, SC pertama kali
disintesa di laboratorium kesehatan di Washington D.C, sekarang dikenal sebagai
Institusi Kesehatan Nasional. Reid Hunt, Kepala divisi farmakologi, dan
asistennya, Renee de M. Taveau, menghasilkan 17 dari 19 kumpulan derivat kolin
yang dipergunakan dalam percobaan mereka, satu diantaranya adalah
suksinilkolin.1
Awal tahun 1950, segera setelah ditemukannya keberadaan penghambat
neuromuskular, uji klinis suksinilkolin di seluruh dunia. Uji coba pertama yang
tercatat di Amerika dilakukan oleh Foldes pada tahun 1952. Foldes dipercayai
untuk memperkenalkan suksinilkolin kedalam praktek klinis di Amerika. Dalam
laporan dari uji coba klinis suksinilkolin pertama, Foldes menjelaskan kriteria dari
perelaksasi otot yang baik, dan menyimpulkan bahwa suksinilkolin adalah obat
penghambat neuromuskular yang paling mendekati kriteria itu.1
Walaupun sudah lebih dari 50 tahun sejak uji coba pertama itu,
suksinilkolin adalah satu satunya deporalisasi perelaksasi otot yang dipergunakan
di Amerika. Saat ini pun, suksinilkolin masih satu-satunya obat penghambat
neuromuskular yang mempunyai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal,
termasuk (1) onset cepat, (2) kelumpuhan yang lengkap dan dapat diperkirakan,
(3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4) tidak membutuhkan obat pembalik.
Setelah beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang dilakukan untuk
menggantikan suksinilkolin dengan perelaksasi otot yang lebih baru, tapi tidak
ada yang dapat lebih menyamai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.1
Suatu penelitian yang paling mendekati untuk menghasilkan suatu
perelaksasi otot ideal yang dikembangkan dari perelaksasi non depolarisasi. Pada
tahun 1990, Rapacuronium dan Rocuronium telah diperkenalkan kedalam praktek
klinis. Kedua obat ini memberikan harapan bagi klinisi bahwa suksinilkolin akan
dapat digantikan. Rokuronium tertinggal dalam penggunaan klinis saat ini,
bagaimanapun rokuronium tidak mempunyai onset secepat suksinilkolin, dan
jangka waktu kerjanya juga lebih panjang, dan membutuhkan penggunaandari
suatu obat pembalik.1
Rumus Kimia
Suksinilkolin juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium – memiliki
2 acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2
molekul asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah
C14H30N204. Struktur yang menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung
jawab terhadap mekanisme kerja dari suksinilkolin, efek sampingnya dan
metabolismenya.
Farmakologi Suksinilkolin
Suksinilkolin bekerja di neuromuskular junction, meningkatkan transmisi
neuromuskular. Mekanisme kerja ini membuat postjunctional dan prejunctional
memberikan efek yang menyebabkan peningkatan depolarisasi obat. Struktur
kimiawi suksinilkolin membuat proses eliminasi yang unik, yang memenuhi
kriteria muscle relaxan yang ideal.1
Efek postjunctional Suksinilkolin dapat dibagi menjadi 2 fase, fase I dan
fase II. Inilah yang dianggap sebagai akibat dari uniknya struktur kimia
asetilkolin. Seperti asetilkolin, suksinilkolin terikat ke subunit α di posjunctional
nikotinik asetilkolin reseptor, menyebabkan reseptor terbuka dan ion sodium
masuk sebanyak keluarnya potassium dan menyebabkan ion kalsium masuk.
Sehingga suksinilkolin menyebabkan depolarisasi end plate dan menjadi
pendepolarisasi neuromuskular blok disebut blok fase I,sementara blok fase II
yaitu dengan paparan suksinilkolin yang kontiniu maka depolarisasi end plate
berkurang dan membran akan mengalami repolarisasi tetapi membran menjadi
tidak mudah mengalami depolarisasi kembali sehingga terjadi desensitasi. Tidak
seperti Asetilkolin, suksinilkolin menjadi aktif di neuromuskular junction untuk
waktu yang lama. Ini mencegah repolarisasi endplate dan timbulnya paralisa.
Pemberian suksinilkolin menyebabkan efek agonis di reseptor asetil nikotinik,
menyebabkan peningkatan pelepasan dari asetilkolin.
Banyak karekteristik suksinilkolin dapat melengkapi bagaimana obat ini
tereleminasi. Studi ini memberi konstribusi penjelasan bagaimana tubuh
mengeliminasi suksinilkolin, ini dimulai di awal tahun 1950. Pada tahun 1951,
Whittaker, menemukan bahwa suksinilkolin di hidrolisa melalui 2 langkah oleh
horse kolinesterase. Pertama sekali suksinilkolin dipecah menjadi
suksinilmonokolin dan kolin, dan kemudian hidrolisa berkelanjutan menghasilkan
asam suksinat dan kolin. Penelitian lebih lanjut tahun 1953 dan 1955 mendukung
fakta bahwa suksinilkolin juga dapat dihidrolisa di plasma manusia oleh
kolinesterase. Ini digambarkan bahwa kira-kira 150 mg suksinilkolin dapat
dihidrolisa dalam waktu 1 menit. Bagaimanapun, sesuai dengan cepatnya difusi
obat dari plasma ke neuromuskular junction, bagian kecil obatnya, kurang dari 10
% masih dapat mencapai neuromuskular junction, dan menyebabkan kelumpuhan
saat konsentrasi di sinaps meningkat. Bentuk kimia suksinilkolin yang unik tidak
langsung menyebabkan hidrolisa oleh asetilkolinesterase yang terdapat di
neuromuscular junction. Efek paralisa suksinilkolin berkurang sejalan dengan
obat yang masuk ke jaringan dan plasma, dimana butir kolinesterase
meenghidrolisa dalam 2 langkah untuk mencapai hasil akhir asam suksinat dan
kolin. Hidrolisa cepat ini terjadi di dalam plasma, mengusahakan distribusi yang
cepat, memperlama kerja obat.
Dosis Suksinilkolin
Dosis standarnya dihitung berdasarkan respon otot, biasanya pada otot
adductor, yang terstimulasi setelah pemberian obat. Teknik ini digunakan untuk
menentukan potensi obat melalui respon gerakan otot adductor ketika terstimulasi.
Respon gerakan kurang dari 0 % ketika terjadi kelumpuhan lengkap, dan akan 100
% ketika tidak ada hambatan neuromuskular.
Karena mula kerja yang cepat, durasi yang singkat dan murah, banyak
klinisi yang memilih suksinilkolin sebagai obat yang rutin digunakan untuk
intubasi pada dewasa. Dosis intubasi suksinilkolin dewasa biasanya 1 – 2 mg/kg
intravena,onsetnya 35-45 detik,durasi 5-10 menit dan ED95 0,5 mg/kgBB
suksinilkolin sebaiknya disimpan di lemari es ( 2 – 8ºC), dan sebaiknya digunakan
dala 14 hari setelah dikeluarkan dari lemari es.1,4,5
Efek Suksinilkolin
Efek samping suksinilkolin yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 31
A. Fasikulasi otot
Lebih dari 50 tahun sejak memperkenalkan suksinilkolin dalam praktek klinik,
fasikulasi otot dicatat sebagai efek samping pemberian suksinilkolin. Walaupun
percobaan klinik pertama kali tahun 1950an, adanya gerakan otot atau kontraksi
yang direkam muncul setelah pemberian suksinilkolin. Dalam beberapa laporan,
faskulisasi digambarkan sebagai kesakitan, menyebabkan ketidaknyamanan dalam
pemberian obat saat tidak dianastesi. Tahun 2005, Schreirber melaporkan hasil
dari meta-analisis dari 52 percobaan acak dari tahun 1971-2003. Percobaan ini
menggunakan berbagai jenis obat pencegah faskulisasi otot. Secara keseluruhan
hasilnya adalah 95% peserta mengalami faskulisasi, dimana peserta ini tidak
mendapatkan obat anti faskulisasi. Faskulisasi ini menjadi topik pembicaraan
utama para klinisi dengan tujuannya adalah menurunkan insiden faskulisasi.11
A.1 Fisiologi Fasikulasi
Banyak pembelajaran terfokus pada mekanisme fisiologis suksinilkolin
dapat menyebabkan faskulisasi. Dua mekanisme kerja yang dibicarakan adalah
ikatan prejunctional dan postjunctional Suksinilkolin ke otot dan masing-masing
reseptor asetilkolin nikotinik.
Mekanisme dari faskulisasi dilengkapi asetilkolin seperti efek
suksinilkolin saat menyentuh reseptor asetilkon nikotinik di motor end plate. Ini
menyebabkan channel ion sodium terbuka, dan otot memulai depolarisasinya,
dimana jika ambang batas dicapai, hasil dari potensial aksi ini menyebabkan
kontraksi otot yang terlihat sebagai faskulisasi. Karena suksinilkolin tidak
didegradasi oleh asetilkolinesterase di klep junctional, maka akan mengikat
reseptor berulang-ulang dan sodium channel menjadi tidak aktif walaupun otot
paralisa.
Mekanisme prejunctional menjadi faskulisasi dilengkapi dengan ikatan
molekul suksinilkolin ke reseptor asetilkolin nikotinik yang berada di presinaps
neuromuskular junction yang berdepolarisasi dan menyebabkan aktifitas saraf
yang berulang. Pengulangan aktifitas ini disebabkan oleh impuls saraf yang
berjalan ke arah berlawanan dari normalnya (refleks akson antidromik) dari
terminal saraf motor yang terstimulasi yang berjalan ke serat motor unit lainnya.
Kecepatan dari blok neuromuskular muncul pada reseptor post junctional adalah
berbanding terbalik dengan proporsional potensi obat dan fenomena yang mirip
dapat terjadi pada reseptor prejunctional.
B. Mialgia postoperasi
Selama ujicoba klinis Suksinilkolin pertama pada tahun 1950, peneliti
mengungkapkan fenomena dari timbulnya mialgia disertai rasa sakit dan tidak
nyaman pada pasien post operasi. Kejadian pertama yang dilaporkan terhadap
mialgia post operasi adalah pada tahun 1952, ketika Bourne fokus terhadap nyeri
otot yang dianggap “ kaku otot ” yang disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat
karena pemberian Suksinilkolin. Beberapa tahun kemudian, tahun 1954, Churchill
– Davidson mengajukan deskripsi awal dari sindrom mialgia postopearasi pada
studi pertama yang mengkhususkan tentang mialgia, dimana dilaporkan bahwa
nyeri otot yang dirasakan oleh pasien adalah hasil dari pemberian Suksinilkolin.
Berbagai deskripsi keterbatasan fisik akibat efek yang disebabkan oleh mialgia
postoperasi sering disebutkan pasien melalui literatur tersebut. Gejala yang sering
dikeluhkan pasien antara lain adalah gejala yang menyerupai flu ( flu – like
symptom ), nyeri otot seperti telah melakukan olahraga berat, nyeri seperti
ditendang kuda, terinjak oleh gajah atau pun terlibat dalam pertandingan.
Berdasarkan jawaban 218 pasien suatu penelitian (52%)yang mengeluh
mengalami mialgia akibat suksinilkolin ,nyeri otot yang dirasakan paling banyak
berturut turut berlikasi pada leher (54%), dada (28%), bahu (17% ),punggung (16
%)dan anggota tubuh (6 %).
C. Kardiovaskular
Akibat miripnya relaksan otot ini dengan Acethylcholine, tidak
mengejutkan bahwa mereka mempengaruhi reseptor kolinergik selain
mempengaruhi junction neuromuskular. Sistem parasimpatis secara keseluruhan
dan sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula adrenal, dan
kelenjar keringat) tergantung pada Acethylcholine sebagai neurotransmiter.
Suksinilkolin tidak hanya menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik pada
junction neuromuskular, ia menstimulasi seluruh reseptor Acethylcholine. Oleh
karena itu, kerja suksinilkolin pada kardiovaskular sangat kompleks. Stimulasi
reseptor nikotinik pada ganglia saraf parasimpatis dan simpatis dan reseptor
muskarinik di nodus sinoatrial jantung bisa meningkatkan atau menurunkan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Dosis rendah suksinilkolin bisa
menimbulkan efek kronotropik dan inotropik negatif, namun dosis yang lebih
tinggi biasanya meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas dan
meningkatkan kadar katekolamin yang beredar dalam sirkulasi.
Anak-anak biasanya rentan pada efek bradikardi yang timbul setelah
pemberian suksinilkolin. Bradikardia biasanya muncul pada orang dewasa hanya
jika bolus suksinilkolin yang kedua diberikan kira-kira 3-8 menit setelah dosis
pertama. Suatu metabolit suksinilkolin, suksinilmonokolin, muncul untuk
mensensitisasi reseptor kolinergik muskarinik pada nodus sinoatrial terhadap
bolus kedua suksinilkolin, mengakibatkan bradikardia. Atropin intravena
(0,02mg/kg pada anak-anak, 0,4 mg pada orang dewasa) biasanya diberikan
sebagai profilaksis pada anak-anak sebelum dosis pertama dan selalu sebelum
dosis yang kedua. Aritmia lain seperti bradikardi nodus dan ektopik ventrikel
telah dilaporkan.
D. Hiperkalemia
Otot normal melepaskan cukup kalium selama depolarisasi yang
disebabkan suksinilkolin untuk meningkatkan kalium serum sebesar 0.5mEq/L.
Walaupun hal ini biasanya tidak signifikan pada pasien-pasien dengan kadar
kalium dasar normal, hal ini bisa mengancam jiwa pada pasien-pasien dengan
hiperkalemia yang telah ada sebelumnya atau pasien dengan luka bakar, trauma
masif, kelainan neurologi, dan beberapa kondisi lainnya. Henti jantung yang
mengikuti bisa terbukti menjadi agak refrakter/bias terhadap resusitasi
kardiopulmonar rutin, membutuhkan kalsium, insulin, glukosa, bikarbonat,
epinefrin, kation-pertukaran resin, dantrolene, dan bahkan bypass kardiopulmonar
untuk menurunkan asidosis metabolik dan kadar kalium serum.
Setelah cedera saraf, reseptor Acethylcholine isoform, imatur bisa
diekspresikan didalam dan diluar junction neuromuskular (up-regulation).
Reseptor extrajunctional ini membiarkan suksinilkolin untuk menimbulkan efek
depolarisasi yang luas dan pelepasan kalium yang ekstensif. Pelepasan kalium
yang mengancam jiwa tidak bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan
relaksan non depolarisasi. Risiko hiperkalemia biasanya tampak memuncak dalam
7-10 hari setelah cedera, namun waktu onset pasti dan durasi periode risiko
bervariasi.
E. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Fasikulasi otot dinding abdomen meningkatkan tekanan intragastrik, yang
diimbangi dengan peningkatan tonus sfingter osoefagus bawah. Oleh karena itu,
resiko refluk lambung atau aspirasi pulmonar mungkin tidak ditingkatkan oleh
suksinilkolin. Walaupun terapi awal dengan relaksan non depolarisasi meniadakan
peningkatan tekanan lambung, ia juga mencegah peningkatan tonus sfingter
esofagus.
F. Peningkatan Tekanan Intraokular
Otot-otot ekstra-okular berbeda dari otot lurik lain dimana ia memiliki
motor end-plate multipel pada tiap sel. Depolarisasi membran yang memanjang
dan kontraksi otot ekstra-okular setelah pemberian suksinilkolin meningkatkan
tekanan intraokular sementara dan bisa membahayakan mata yang cedera.
Peningkatan tekanan intraokular tidak bisa selalu dicegah dengan terapi awal
dengan relaksan non-depolarisasi.
G. Kekuatan otot Masetter
Suksinilkolin sementara meningkatkan tonus otot masetter. Beberapa
kesulitan bisa pada awalnya dijumpai pada pembukaan rongga mulut karena
relaksasi rahang yang tidak lengkap. Suatu peningkatan bermakna pada tonus
yang mencegah laringoskopi tidak normal dan bisa merupakan tanda awal
hipertermia maligna.
H. Hipertensi Maligna
Suksinilkolin merupakan obat perangsang yang poten pada pasien-pasien
yang rentan terhadap malignan hipertemia, suatu kelainan hipermetabolik otot
skeletal. Walaupun tanda dan gejala sindroma neurolepti malignan (NMS)
menyerupai hipertermia maligna, patogenesisnya berbeda secara keseluruhan dan
tidak perlu menghindari penggunaan suksinilkolin pada pasien-pasien dengan
NMS.
I.P aralisis yang memanjang
Sebagaimana didiskusikan sebelumnya, pasien dengan kadar
pseudokolinesterase rendah menimbulkan durasi kerja yang lebih lama, dimana
pasien dengan pseudokolinesterase atipikal akan mengalami paralisis memanjang
yang bermakna.
J.Tekanan Intrakranial
Suksinilkolin bisa menimbulkan aktivasi pada elektroensefalograf dan
sedikit meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial pada beberapa
pasien. Fasikulasi otot meningkatkan reseptor otot yang selanjutnya meningkatkan
aktivitas serebral. Peningkatan tekanan intrakranial bisa dilemahkan dengan
menjaga kontrol jalan nafas yang baik dan memberikan hiperventilasi. Hal ini bisa
dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan relaksan otot non depolarisasi
dan memberikan lidokain intravena (1,5-2.0 mg/kg) 2-3 menit sebelum intubasi.
Efek intubasi pada tekanan intrakranial jauh lebih penting daripada peningkatan
akibat suksinilkolin.
K.Pelepasan Histamin
Sedikit pelepasan histamin bisa terlihat setelah pemberian suksinilkolin
pada beberapa pasien.
2.3.2 Obat Blok Non Depolarisasi
Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor
asetilkolin dengan cara:
a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor,sehingga mencegah
depolarisasi motor end plate.
b. Molekul relaksan akan masuk ke terowongan reseptor, menyebabkan blockade
channel
c. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptik site, memblok terowongan
Na+ dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site.
Atrakurium
Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot,
atrakurium dan vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis
pelumpuh otot yang tidak tergantung kepada eliminasi melalui ginjal, onsetnya lebih
cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat antagonisnya lebih komplit dan lebih cepat.
Perkembangan atrakurium dan vecuronium menyebabkan :
1. Menambah keberanian dalam melakukan intubasi trakea dengan penggunaan
relaksan nondepolarisasi,
2. Membuat paralisis lebih mudah melalui infus relaksan yang berkelanjutan, dan
3. Yang paling penting, secara signifikan mengembalikan fungsi neuromuskular
post operatif, yang menyebabkan periode resiko kelemahan yang lebih pendek
pada unit perawatan post anestetik.
Rumus kimia
Atrakurium termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi golongan bisquaternary
benzylisoquinolineum, dengan berat molekul 1243,5 DA (dengan gabungan dari 10
isomer geometrik), dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5
menit, dan lama kerja 20-35 menit. Ditemukan oleh Stenlake dan sejawatnya pada
pertengahan 1970, yang dirancang untuk menghasilkan relaksasi nondepolarisasi dan
mengalami eliminasi Hofmann. Dalam reaksi kimia ini, suatu siklus pengelompokan
nitrogen quartenary di bawah pH dan temperature yang tinggi terlepas menjadi amine
tersier. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan klinis di Inggris
oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di Amerika Serikat oleh Basta pada
tahun 1982.3,4,5
Mekanisme kerja
Tempat kerja atrakurium sama seperti obat pelumpuh otot nondepolarisasi
lainnya, adalah pada tempat presinaps dan postsinaps reseptor kolinergik.
Atrakurium dapat juga menghasilkan blokade neuromuskular dengan secara
langsung mempengaruhi jalan masuk ion melalui chanel reseptor kolinergik
nikotinik, dan diperkirakan 82% atrakurium berikatan pada protein, yang diduga
albumin. Atrakurium dirancang secara khusus agar dapat didegradasi (eliminasi
Hofmann) dalam tubuh pada temperature dan pH yang normal. Garam iodida
besylate menghasilkan kelarutan dalam air, dan meningkatkan pH pada larutan
yang dipasarkan dari 3,25 hingga 3,65 untuk menghindari proses degradasi yang
spontan. Tampilan pH yang asam pada in vitro, atrakurium sebaiknya tidak
dicampur dengan larutan alkali seperti barbiturate atau bercampur dengan larutan
yang lebih alkalis pada saat digunakan di dalam infus set atau cairan infus.
Terpaparnya atrakurium dengan zat yang lebih alkalis sebelum masuk ke sirkulasi
secara teoritisnya akan menyebabkan pemecahan obat secara premature. Potensi
atrakurium yang disimpan pada temperatur ruangan akan terus berkurang kira-kira
5% setiap 30 hari, dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5
menit, dan lama kerja 20-35 menit.3,4,5
Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia, dimana
hidrolisis ester merupakan mekanisme biologik. Kedua rute metabolisme ini tidak
tergantung pada fungsi hepar dan renal, seperti juga aktifitas dari kolinesterase
plasma. Sama seperti pasien normal, maka durasi blockade neuromuscular
atrakurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar adalah sama.
Tidak terdapatnya blokade neuromuskular yang lama setelah penggunaan
atrakurium terhadap pasien dengan kolinesterase atipikal meningkatkan
ketergantungan terhadap hidrolisis ester dari atrakurium pada esterase plasma
nonspesifik yang tidak berhubungan dengan kolinesterase plasma. Eliminasi
Hofmann dan hidrolisis ester juga menunjukkan efek kumulatif obat yang sedikit
dengan dosis berulang atau infuse atrakurium yang berkelanjutan. Di atas
semuanya itu, hidrolisis ester bernilai untuk sekitar 2/3 Atrakurium yang
didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan “jaring yang aman”,
khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan/atau ginjal yang terganggu.
Walaupun eliminasi Hofmann tergantung pada pH (dipercepat oleh
alkalosis dan diperlambat oleh asidosis), ini tidak seperti bahwa kisaran perubahan
pH yang bermakna secara klinis adalah cukup besar untuk merubah kecepatan
eliminasi Hofmann dan durasi dari blokade neuromuscular yang diinduksi oleh
atrakurium. Lebih jauh lagi, perubahan pH mempengaruhi kecepatan hidrolisis
ester dalam arah yang berlawanan terhadap perubahan kecepatan eliminasi
Hofmann, yang memperlambat eliminasi Hofmann akan dijelaskan secara teoritis
melalui peningkatan kecepatan hidrolisis ester.
Konsistensi dari mula kerja hingga masa penyembuhan setelah dosis
penunjang atrakurium yang berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan
menunjukkan tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak
terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan karena klirens atrakurium yang
cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi renal atau hepatic.
Sedikitnya efek kumulatif obat yang signifikan memperkecil kecenderungan
blokade neuromuskular yang persisten ketika prosedur pembedahan yang lama
membutuhkan dosis berulang atau infuse kontinu atrakurium.
Efek Kardiovaskular
Perubahan tekanan darah sistemik dan denyut jantung tidak menyertai
pemberian cepat atrakurium secara IV dalam dosis > 2 x ED95 dengan latar
belakang anestesi mencakup nitrogen oksida, fentanyl dan isoflurane. Selama
anestesi nitrogen oksida-fentanyl, pemberian atrakurium yang cepat secara IV
sebanyak 3 x ED95 meningkatkan denyut jantung sekitar 8,3 % dan menurunkan
MAP sekitar 21,5 %. Perubahan sirkulasi ini sementara, berlangsung selama 60-
90 detik setelah pemberian atrakurium dan menghilang dalam 5 menit.
Kemerahan pada fasial dan trunkal pada beberapa pasien menandakan pelepasan
histamine bersamaan dengan mekanisme perubahan sirkulasi menyertai
pemberian cepat Atrakurium dengan dosis yang tinggi. Pada kenyataannya,
konsentrasi histamin dalam plasma meningkat sementara dan perubahan parallel
denyut jantung dan tekanan darah sistemik ketika 0,6 mg/kg/IV
Pelepasan histamin yang dicetuskan oleh Atrakurium dan mivacurium
tidak terjadi dengan penyuntikan berulang obat ini dalam waktu yang singkat
karena cadangan histamin jaringan tidak dipecah dalam beberapa hari. Oleh
karena itu, penurunan tekanan darah sistemik yang disebabkan oleh pelepasan
histamin yang diinduksi oleh obat lebih jarang terjadi terhadap hal yang sama
pada dosis yang berulang. Efek kardiovaskular yang sebelumnya menyertai
pelepasan histamin yang diinduksi oleh obat dapat menunjukkan pelepasan
prostasiklin dan efek vasodilasinya pada vascular perifer yang diperantarai oleh
reseptor H1 dan H2.
Dosis
8u7