bab 2 tinjauan pustaka

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.2 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction Regio antara motor neuron dan sel otot disebut neuromuscular junction (gambar 1). Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20-nm), belahan sinap. Pada saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi influks ion-ion kalsium melalui gerbang kanal kalsium bervoltasi ke sitoplasma saraf yang menyebabkan vesikel di membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang belahan sinap untuk berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada membran otot, di motor end-plate. Setiap neuromuscular junction berisi 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan 500,000 reseptor untuk kontraksi normal otot.

Upload: nur-amarini

Post on 28-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction

Regio antara motor neuron dan sel otot disebut neuromuscular junction

(gambar 1). Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20-

nm), belahan sinap. Pada saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi

influks ion-ion kalsium melalui gerbang kanal kalsium bervoltasi ke sitoplasma

saraf yang menyebabkan vesikel di membran terminal dan mengeluarkan

asetilkolin. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang belahan sinap untuk berikatan

dengan reseptor nikotinik kolinergik pada membran otot, di motor end-plate.

Setiap neuromuscular junction berisi 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan

500,000 reseptor untuk kontraksi normal otot.

Gambar 1. Neuromuscular junction (Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ)1

Page 2: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi di setiap jaringan dan

perkembangannya juga berbeda. Setiap reseptor ACh pada neuromuscular

junction normalnya mempunyai 5 subunit protein, 2 subunit α dan subunit tunggal

β, δ, dan ε. Hanya sub unit α identik yang bisa mengikat molekul ACh. Bila kedua

tempat pengikat diduduki ACh, terjadi perubahan cepat pada subunit (1

milisekon) membuka kanal ion pada inti reseptor (gambar 2). Kanal ini tidak akan

terbuka jika ACh hanya menduduki satu tempat.

Gambar 2. Kanal ion natrium (Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ)1

Kation keluar melalui kanal ACh yang terbuka (natrium dan kalsium

masuk; keluar), menghasilkan end-plate potential. Jika reseptor-reseptor telah

cukup diduduki oleh ACh, end-plate potential akan cukup kuat mendepolarisasi

membran perijunctional. Kanal-kanal natrium pada bagian ini akan terbuka bila

ambang batas voltase terlewati, berlawanan dengan reseptor-reseptor end-plate

yang terbuka jika ada ACh (gambar 3). Area perijunctional pada membran otot

mempunyai densitas yang lebih tinggi terhadap kanal natrium dibandingkan

bagian-bagian lainnya. Resultan potensial aksi menyebar sepanjang membran otot

Page 3: Bab 2 Tinjauan Pustaka

dan sistem T-tubule yang membuka saluran-saluran sodium dan melepaskan

kalsium dari sarkoplasma retikulum.

Gambar 3. Skema kanal ion natrium (Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray

MJ)1

Kalsium intraselular ini membuat aktin dan myosin berinteraksi, yang

membuat kontraksi otot. Jumlah ACh yang biasanya terlepas dan jumlah reseptor-

reseptor yang selanjutnya teraktivasi secara normal melebihi kebutuhan minimum

untuk memulai suatu potensial aksi.

Asetilkolin segera dihidrolisis ke dalam bentuk asetat dan kolin oleh enzim

spesifik acetylcholinesterase. Enzim ini (disebut juga specific cholinesterase atau

true cholinesterase) tertanam pada membran motor end-plate dan segera

mendekati reseptor-reseptor asetilkolin. Akhirnya reseptor kanal ion menutup,

menyebabkan repolarisasi end-plate. Ketika potensial aksi berhenti, kanal-kanal

natrium pada membran otot juga tertutup. Kalsium memisahkan diri ke

sarkoplasmik retikulum, dan sel otot relaks.

Reseptor kolinergik terbagi 2 tipe, yaitu reseptor ACh nikotinik dan

reseptor ACh muskarinik. Reseptor kolinergik banyak dijumpai di sistem saraf

Page 4: Bab 2 Tinjauan Pustaka

otonom di perifer maupun di pusat. Keduanya berbeda dalam hal transduksi

sinyalnya.

Reseptor ini merupakan reseptor terhubung dengan kanal ion. Reseptor

nikotinik dapat berikatan dengan nikotin, tetapi juga memiliki beberapa ikatan

dengan enyawa lain. Reseptor nikotinik merupakan suatu protein pentamer yang

terdiri dari lima subunit yaitu: 2 subunit α, β, γ, dan δ yang masing-masing

berkontribusi membentuk kanal ion, dengan dua tempat ikatan untuk molekul

ACh. Ion K+ dan Na+

dapat keluar masuk melintasi membran. Reseptor ini

berlokasi di neuromuscular junction, ganglia otonom, medula adrenal, dan

susunan saraf pusat. Paling banyak ditemukan di neuromuscular junction

(neuromuscular junction adalah sinaps yang terjadi antara saraf motorik dengan

serabut otot). Reseptor nikotinik berperan memperantarai terjadinya kontraksi otot

polos.

Reseptor muskarinik mampu mengikat muskarinik, suatu senyawa yang

berasal dari jamur Amanita muscaria. Reseptor ini terdistribusi luas di seluruh

tubuh dan mendukung berbagai fungsi vital, di otak, sistem saraf otonom,

terutama saraf parasimpatis. Aktivasi reseptor pada perifer menyebabkan

berkurangnya frekuensi denyut jantung, relaksasi pembuluh darah, konstriksi

saluran pernafasan, peningkatan sekresi dari kelenjar keringat dan lakrimasi,

konstriksi pada otot spinkter bola mata dan otot siliar mata.

Di otak reseptor ini dijumpai pada cerebral cortex, striatum, hippocampus,

thalamus dan brainstem. Reseptor ini berpartisipasi dalam banyak fungsi penting,

belajar, ingatan dan kontrol postur tubuh.

2.3 Obat-obat Blokade Neuromuskular

Seperti acethylcholine, seluruh zat – zat penghambat

neuromuskular memiliki rantai ammonium yang secara positif

mengisi nitrogen sebagai afinitas terhadap reseptor acethylcholine

nikotinik.

Page 5: Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.3.1 Obat Blok Depolarisasi

Relaksan otot depolarisasi sangat mirip dengan acethylcholine

dan oleh karena itu berikatan dengan reseptor acethylcholine,

menimbulkan potensial aksi otot, tidak seperti acethylcholine, obat

– obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, dan

konsentrasi mereka pada celah sinaps tidak cepat menurun,

mengakibatkan depolarisasi memanjang pada sel-sel otot (muscle

end plate).

Depolarisasi end-plate terus menerus menyebabkan relaksasi

otot karena pembukaan gerbang bawah pada saluran natrium

perijunctional adalah terbatas waktu. Setelah eksitasi inisial dan

pembukaan (gambar 3b), saluran natrium ini menutup (gambar

3c) dan tidak bisa terbuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-

plate tidak bisa repolarisasi sepanjang relaksan otot depolarisasi

terus berikatan dengan reseptor acethylcholine ; hal ini disebut

suatu blok fase I.

Setelah satu periode waktu, depolarisasi end-plate memanjang

bisa menyebabkan perubahan ion pada reseptor acethylcholine

yang menimbulkan blok fase II, yang secara klinis

menggambarkan relaksan otot non depolarisasi.

Skema saluran sodium.saluran sodium adalah protein transmembran yang

mempunyai 2 gerbang fungsional.Ion sodium hanya lewat bila kedua gerbang

terbuka.pembukaan gerbang bawah inaktivasi adalah tergantung waktu, dimana

gerbang atas adalah tergantung voltase. Saluran ini mengalami tiga bagian

fungsiaonal. Pada saat istirahat gerbang bawah terbuka tapi gerbang atas tertutup

(A). jika membrane otot mencapai ambang batas depolarisasi, gerbang atas

terbuka dan sodium bisa lewat (B). sesaat sterlah gerbang atas terbuka gerbang

bawah yang tergantung waktu tertutup (C). ketika membrane kembali repolarisasi

ke voltase istirahat gerbang atas tertutup dan gerbang bawah terbuka (A).

Page 6: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Suksinilkolin

Sejarah Suksinilkolin

Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tahun 1906, SC pertama kali

disintesa di laboratorium kesehatan di Washington D.C, sekarang dikenal sebagai

Institusi Kesehatan Nasional. Reid Hunt, Kepala divisi farmakologi, dan

asistennya, Renee de M. Taveau, menghasilkan 17 dari 19 kumpulan derivat kolin

yang dipergunakan dalam percobaan mereka, satu diantaranya adalah

suksinilkolin.1

Awal tahun 1950, segera setelah ditemukannya keberadaan penghambat

neuromuskular, uji klinis suksinilkolin di seluruh dunia. Uji coba pertama yang

tercatat di Amerika dilakukan oleh Foldes pada tahun 1952. Foldes dipercayai

untuk memperkenalkan suksinilkolin kedalam praktek klinis di Amerika. Dalam

laporan dari uji coba klinis suksinilkolin pertama, Foldes menjelaskan kriteria dari

perelaksasi otot yang baik, dan menyimpulkan bahwa suksinilkolin adalah obat

penghambat neuromuskular yang paling mendekati kriteria itu.1

Walaupun sudah lebih dari 50 tahun sejak uji coba pertama itu,

suksinilkolin adalah satu satunya deporalisasi perelaksasi otot yang dipergunakan

di Amerika. Saat ini pun, suksinilkolin masih satu-satunya obat penghambat

neuromuskular yang mempunyai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal,

termasuk (1) onset cepat, (2) kelumpuhan yang lengkap dan dapat diperkirakan,

(3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4) tidak membutuhkan obat pembalik.

Setelah beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang dilakukan untuk

menggantikan suksinilkolin dengan perelaksasi otot yang lebih baru, tapi tidak

ada yang dapat lebih menyamai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.1

Suatu penelitian yang paling mendekati untuk menghasilkan suatu

perelaksasi otot ideal yang dikembangkan dari perelaksasi non depolarisasi. Pada

tahun 1990, Rapacuronium dan Rocuronium telah diperkenalkan kedalam praktek

klinis. Kedua obat ini memberikan harapan bagi klinisi bahwa suksinilkolin akan

dapat digantikan. Rokuronium tertinggal dalam penggunaan klinis saat ini,

Page 7: Bab 2 Tinjauan Pustaka

bagaimanapun rokuronium tidak mempunyai onset secepat suksinilkolin, dan

jangka waktu kerjanya juga lebih panjang, dan membutuhkan penggunaandari

suatu obat pembalik.1

Rumus Kimia

Suksinilkolin juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium – memiliki

2 acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2

molekul asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah

C14H30N204. Struktur yang menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung

jawab terhadap mekanisme kerja dari suksinilkolin, efek sampingnya dan

metabolismenya.

Farmakologi Suksinilkolin

Suksinilkolin bekerja di neuromuskular junction, meningkatkan transmisi

neuromuskular. Mekanisme kerja ini membuat postjunctional dan prejunctional

memberikan efek yang menyebabkan peningkatan depolarisasi obat. Struktur

kimiawi suksinilkolin membuat proses eliminasi yang unik, yang memenuhi

kriteria muscle relaxan yang ideal.1

Efek postjunctional Suksinilkolin dapat dibagi menjadi 2 fase, fase I dan

fase II. Inilah yang dianggap sebagai akibat dari uniknya struktur kimia

asetilkolin. Seperti asetilkolin, suksinilkolin terikat ke subunit α di posjunctional

nikotinik asetilkolin reseptor, menyebabkan reseptor terbuka dan ion sodium

masuk sebanyak keluarnya potassium dan menyebabkan ion kalsium masuk.

Page 8: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Sehingga suksinilkolin menyebabkan depolarisasi end plate dan menjadi

pendepolarisasi neuromuskular blok disebut blok fase I,sementara blok fase II

yaitu dengan paparan suksinilkolin yang kontiniu maka depolarisasi end plate

berkurang dan membran akan mengalami repolarisasi tetapi membran menjadi

tidak mudah mengalami depolarisasi kembali sehingga terjadi desensitasi. Tidak

seperti Asetilkolin, suksinilkolin menjadi aktif di neuromuskular junction untuk

waktu yang lama. Ini mencegah repolarisasi endplate dan timbulnya paralisa.

Pemberian suksinilkolin menyebabkan efek agonis di reseptor asetil nikotinik,

menyebabkan peningkatan pelepasan dari asetilkolin.

Banyak karekteristik suksinilkolin dapat melengkapi bagaimana obat ini

tereleminasi. Studi ini memberi konstribusi penjelasan bagaimana tubuh

mengeliminasi suksinilkolin, ini dimulai di awal tahun 1950. Pada tahun 1951,

Whittaker, menemukan bahwa suksinilkolin di hidrolisa melalui 2 langkah oleh

horse kolinesterase. Pertama sekali suksinilkolin dipecah menjadi

suksinilmonokolin dan kolin, dan kemudian hidrolisa berkelanjutan menghasilkan

asam suksinat dan kolin. Penelitian lebih lanjut tahun 1953 dan 1955 mendukung

fakta bahwa suksinilkolin juga dapat dihidrolisa di plasma manusia oleh

kolinesterase. Ini digambarkan bahwa kira-kira 150 mg suksinilkolin dapat

dihidrolisa dalam waktu 1 menit. Bagaimanapun, sesuai dengan cepatnya difusi

obat dari plasma ke neuromuskular junction, bagian kecil obatnya, kurang dari 10

% masih dapat mencapai neuromuskular junction, dan menyebabkan kelumpuhan

saat konsentrasi di sinaps meningkat. Bentuk kimia suksinilkolin yang unik tidak

langsung menyebabkan hidrolisa oleh asetilkolinesterase yang terdapat di

neuromuscular junction. Efek paralisa suksinilkolin berkurang sejalan dengan

obat yang masuk ke jaringan dan plasma, dimana butir kolinesterase

meenghidrolisa dalam 2 langkah untuk mencapai hasil akhir asam suksinat dan

kolin. Hidrolisa cepat ini terjadi di dalam plasma, mengusahakan distribusi yang

cepat, memperlama kerja obat.

Dosis Suksinilkolin

Page 9: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Dosis standarnya dihitung berdasarkan respon otot, biasanya pada otot

adductor, yang terstimulasi setelah pemberian obat. Teknik ini digunakan untuk

menentukan potensi obat melalui respon gerakan otot adductor ketika terstimulasi.

Respon gerakan kurang dari 0 % ketika terjadi kelumpuhan lengkap, dan akan 100

% ketika tidak ada hambatan neuromuskular.

Karena mula kerja yang cepat, durasi yang singkat dan murah, banyak

klinisi yang memilih suksinilkolin sebagai obat yang rutin digunakan untuk

intubasi pada dewasa. Dosis intubasi suksinilkolin dewasa biasanya 1 – 2 mg/kg

intravena,onsetnya 35-45 detik,durasi 5-10 menit dan ED95 0,5 mg/kgBB

suksinilkolin sebaiknya disimpan di lemari es ( 2 – 8ºC), dan sebaiknya digunakan

dala 14 hari setelah dikeluarkan dari lemari es.1,4,5

Efek Suksinilkolin

Efek samping suksinilkolin yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 31

A. Fasikulasi otot

Lebih dari 50 tahun sejak memperkenalkan suksinilkolin dalam praktek klinik,

fasikulasi otot dicatat sebagai efek samping pemberian suksinilkolin. Walaupun

percobaan klinik pertama kali tahun 1950an, adanya gerakan otot atau kontraksi

yang direkam muncul setelah pemberian suksinilkolin. Dalam beberapa laporan,

faskulisasi digambarkan sebagai kesakitan, menyebabkan ketidaknyamanan dalam

pemberian obat saat tidak dianastesi. Tahun 2005, Schreirber melaporkan hasil

dari meta-analisis dari 52 percobaan acak dari tahun 1971-2003. Percobaan ini

menggunakan berbagai jenis obat pencegah faskulisasi otot. Secara keseluruhan

hasilnya adalah 95% peserta mengalami faskulisasi, dimana peserta ini tidak

mendapatkan obat anti faskulisasi. Faskulisasi ini menjadi topik pembicaraan

utama para klinisi dengan tujuannya adalah menurunkan insiden faskulisasi.11

A.1 Fisiologi Fasikulasi

Banyak pembelajaran terfokus pada mekanisme fisiologis suksinilkolin

dapat menyebabkan faskulisasi. Dua mekanisme kerja yang dibicarakan adalah

Page 10: Bab 2 Tinjauan Pustaka

ikatan prejunctional dan postjunctional Suksinilkolin ke otot dan masing-masing

reseptor asetilkolin nikotinik.

Mekanisme dari faskulisasi dilengkapi asetilkolin seperti efek

suksinilkolin saat menyentuh reseptor asetilkon nikotinik di motor end plate. Ini

menyebabkan channel ion sodium terbuka, dan otot memulai depolarisasinya,

dimana jika ambang batas dicapai, hasil dari potensial aksi ini menyebabkan

kontraksi otot yang terlihat sebagai faskulisasi. Karena suksinilkolin tidak

didegradasi oleh asetilkolinesterase di klep junctional, maka akan mengikat

reseptor berulang-ulang dan sodium channel menjadi tidak aktif walaupun otot

paralisa.

Mekanisme prejunctional menjadi faskulisasi dilengkapi dengan ikatan

molekul suksinilkolin ke reseptor asetilkolin nikotinik yang berada di presinaps

neuromuskular junction yang berdepolarisasi dan menyebabkan aktifitas saraf

yang berulang. Pengulangan aktifitas ini disebabkan oleh impuls saraf yang

berjalan ke arah berlawanan dari normalnya (refleks akson antidromik) dari

terminal saraf motor yang terstimulasi yang berjalan ke serat motor unit lainnya.

Kecepatan dari blok neuromuskular muncul pada reseptor post junctional adalah

berbanding terbalik dengan proporsional potensi obat dan fenomena yang mirip

dapat terjadi pada reseptor prejunctional.

B. Mialgia postoperasi

Selama ujicoba klinis Suksinilkolin pertama pada tahun 1950, peneliti

mengungkapkan fenomena dari timbulnya mialgia disertai rasa sakit dan tidak

nyaman pada pasien post operasi. Kejadian pertama yang dilaporkan terhadap

mialgia post operasi adalah pada tahun 1952, ketika Bourne fokus terhadap nyeri

otot yang dianggap “ kaku otot ” yang disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat

karena pemberian Suksinilkolin. Beberapa tahun kemudian, tahun 1954, Churchill

– Davidson mengajukan deskripsi awal dari sindrom mialgia postopearasi pada

studi pertama yang mengkhususkan tentang mialgia, dimana dilaporkan bahwa

nyeri otot yang dirasakan oleh pasien adalah hasil dari pemberian Suksinilkolin.

Page 11: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Berbagai deskripsi keterbatasan fisik akibat efek yang disebabkan oleh mialgia

postoperasi sering disebutkan pasien melalui literatur tersebut. Gejala yang sering

dikeluhkan pasien antara lain adalah gejala yang menyerupai flu ( flu – like

symptom ), nyeri otot seperti telah melakukan olahraga berat, nyeri seperti

ditendang kuda, terinjak oleh gajah atau pun terlibat dalam pertandingan.

Berdasarkan jawaban 218 pasien suatu penelitian (52%)yang mengeluh

mengalami mialgia akibat suksinilkolin ,nyeri otot yang dirasakan paling banyak

berturut turut berlikasi pada leher (54%), dada (28%), bahu (17% ),punggung (16

%)dan anggota tubuh (6 %).

C. Kardiovaskular

Akibat miripnya relaksan otot ini dengan Acethylcholine, tidak

mengejutkan bahwa mereka mempengaruhi reseptor kolinergik selain

mempengaruhi junction neuromuskular. Sistem parasimpatis secara keseluruhan

dan sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula adrenal, dan

kelenjar keringat) tergantung pada Acethylcholine sebagai neurotransmiter.

Suksinilkolin tidak hanya menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik pada

junction neuromuskular, ia menstimulasi seluruh reseptor Acethylcholine. Oleh

karena itu, kerja suksinilkolin pada kardiovaskular sangat kompleks. Stimulasi

reseptor nikotinik pada ganglia saraf parasimpatis dan simpatis dan reseptor

muskarinik di nodus sinoatrial jantung bisa meningkatkan atau menurunkan

tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Dosis rendah suksinilkolin bisa

menimbulkan efek kronotropik dan inotropik negatif, namun dosis yang lebih

tinggi biasanya meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas dan

meningkatkan kadar katekolamin yang beredar dalam sirkulasi.

Anak-anak biasanya rentan pada efek bradikardi yang timbul setelah

pemberian suksinilkolin. Bradikardia biasanya muncul pada orang dewasa hanya

jika bolus suksinilkolin yang kedua diberikan kira-kira 3-8 menit setelah dosis

pertama. Suatu metabolit suksinilkolin, suksinilmonokolin, muncul untuk

mensensitisasi reseptor kolinergik muskarinik pada nodus sinoatrial terhadap

Page 12: Bab 2 Tinjauan Pustaka

bolus kedua suksinilkolin, mengakibatkan bradikardia. Atropin intravena

(0,02mg/kg pada anak-anak, 0,4 mg pada orang dewasa) biasanya diberikan

sebagai profilaksis pada anak-anak sebelum dosis pertama dan selalu sebelum

dosis yang kedua. Aritmia lain seperti bradikardi nodus dan ektopik ventrikel

telah dilaporkan.

D. Hiperkalemia

Otot normal melepaskan cukup kalium selama depolarisasi yang

disebabkan suksinilkolin untuk meningkatkan kalium serum sebesar 0.5mEq/L.

Walaupun hal ini biasanya tidak signifikan pada pasien-pasien dengan kadar

kalium dasar normal, hal ini bisa mengancam jiwa pada pasien-pasien dengan

hiperkalemia yang telah ada sebelumnya atau pasien dengan luka bakar, trauma

masif, kelainan neurologi, dan beberapa kondisi lainnya. Henti jantung yang

mengikuti bisa terbukti menjadi agak refrakter/bias terhadap resusitasi

kardiopulmonar rutin, membutuhkan kalsium, insulin, glukosa, bikarbonat,

epinefrin, kation-pertukaran resin, dantrolene, dan bahkan bypass kardiopulmonar

untuk menurunkan asidosis metabolik dan kadar kalium serum.

Setelah cedera saraf, reseptor Acethylcholine isoform, imatur bisa

diekspresikan didalam dan diluar junction neuromuskular (up-regulation).

Reseptor extrajunctional ini membiarkan suksinilkolin untuk menimbulkan efek

depolarisasi yang luas dan pelepasan kalium yang ekstensif. Pelepasan kalium

yang mengancam jiwa tidak bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan

relaksan non depolarisasi. Risiko hiperkalemia biasanya tampak memuncak dalam

7-10 hari setelah cedera, namun waktu onset pasti dan durasi periode risiko

bervariasi.

E. Peningkatan Tekanan Intragastrik

Fasikulasi otot dinding abdomen meningkatkan tekanan intragastrik, yang

diimbangi dengan peningkatan tonus sfingter osoefagus bawah. Oleh karena itu,

resiko refluk lambung atau aspirasi pulmonar mungkin tidak ditingkatkan oleh

suksinilkolin. Walaupun terapi awal dengan relaksan non depolarisasi meniadakan

Page 13: Bab 2 Tinjauan Pustaka

peningkatan tekanan lambung, ia juga mencegah peningkatan tonus sfingter

esofagus.

F. Peningkatan Tekanan Intraokular

Otot-otot ekstra-okular berbeda dari otot lurik lain dimana ia memiliki

motor end-plate multipel pada tiap sel. Depolarisasi membran yang memanjang

dan kontraksi otot ekstra-okular setelah pemberian suksinilkolin meningkatkan

tekanan intraokular sementara dan bisa membahayakan mata yang cedera.

Peningkatan tekanan intraokular tidak bisa selalu dicegah dengan terapi awal

dengan relaksan non-depolarisasi.

Page 14: Bab 2 Tinjauan Pustaka

G. Kekuatan otot Masetter

Suksinilkolin sementara meningkatkan tonus otot masetter. Beberapa

kesulitan bisa pada awalnya dijumpai pada pembukaan rongga mulut karena

relaksasi rahang yang tidak lengkap. Suatu peningkatan bermakna pada tonus

yang mencegah laringoskopi tidak normal dan bisa merupakan tanda awal

hipertermia maligna.

H. Hipertensi Maligna

Suksinilkolin merupakan obat perangsang yang poten pada pasien-pasien

yang rentan terhadap malignan hipertemia, suatu kelainan hipermetabolik otot

skeletal. Walaupun tanda dan gejala sindroma neurolepti malignan (NMS)

menyerupai hipertermia maligna, patogenesisnya berbeda secara keseluruhan dan

tidak perlu menghindari penggunaan suksinilkolin pada pasien-pasien dengan

NMS.

I.P aralisis yang memanjang

Sebagaimana didiskusikan sebelumnya, pasien dengan kadar

pseudokolinesterase rendah menimbulkan durasi kerja yang lebih lama, dimana

pasien dengan pseudokolinesterase atipikal akan mengalami paralisis memanjang

yang bermakna.

J.Tekanan Intrakranial

Suksinilkolin bisa menimbulkan aktivasi pada elektroensefalograf dan

sedikit meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial pada beberapa

pasien. Fasikulasi otot meningkatkan reseptor otot yang selanjutnya meningkatkan

aktivitas serebral. Peningkatan tekanan intrakranial bisa dilemahkan dengan

menjaga kontrol jalan nafas yang baik dan memberikan hiperventilasi. Hal ini bisa

dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan relaksan otot non depolarisasi

dan memberikan lidokain intravena (1,5-2.0 mg/kg) 2-3 menit sebelum intubasi.

Efek intubasi pada tekanan intrakranial jauh lebih penting daripada peningkatan

akibat suksinilkolin.

Page 15: Bab 2 Tinjauan Pustaka

K.Pelepasan Histamin

Sedikit pelepasan histamin bisa terlihat setelah pemberian suksinilkolin

pada beberapa pasien.

2.3.2 Obat Blok Non Depolarisasi

Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor

asetilkolin dengan cara:

a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor,sehingga mencegah

depolarisasi motor end plate.

b. Molekul relaksan akan masuk ke terowongan reseptor, menyebabkan blockade

channel

c. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptik site, memblok terowongan

Na+ dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site.

Atrakurium

Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot,

atrakurium dan vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis

pelumpuh otot yang tidak tergantung kepada eliminasi melalui ginjal, onsetnya lebih

cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat antagonisnya lebih komplit dan lebih cepat.

Perkembangan atrakurium dan vecuronium menyebabkan :

1. Menambah keberanian dalam melakukan intubasi trakea dengan penggunaan

relaksan nondepolarisasi,

2. Membuat paralisis lebih mudah melalui infus relaksan yang berkelanjutan, dan

3. Yang paling penting, secara signifikan mengembalikan fungsi neuromuskular

post operatif, yang menyebabkan periode resiko kelemahan yang lebih pendek

pada unit perawatan post anestetik.

Page 16: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Rumus kimia

Atrakurium termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi golongan bisquaternary

benzylisoquinolineum, dengan berat molekul 1243,5 DA (dengan gabungan dari 10

isomer geometrik), dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5

menit, dan lama kerja 20-35 menit. Ditemukan oleh Stenlake dan sejawatnya pada

pertengahan 1970, yang dirancang untuk menghasilkan relaksasi nondepolarisasi dan

mengalami eliminasi Hofmann. Dalam reaksi kimia ini, suatu siklus pengelompokan

nitrogen quartenary di bawah pH dan temperature yang tinggi terlepas menjadi amine

tersier. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan klinis di Inggris

oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di Amerika Serikat oleh Basta pada

tahun 1982.3,4,5

Mekanisme kerja

Tempat kerja atrakurium sama seperti obat pelumpuh otot nondepolarisasi

lainnya, adalah pada tempat presinaps dan postsinaps reseptor kolinergik.

Atrakurium dapat juga menghasilkan blokade neuromuskular dengan secara

langsung mempengaruhi jalan masuk ion melalui chanel reseptor kolinergik

nikotinik, dan diperkirakan 82% atrakurium berikatan pada protein, yang diduga

albumin. Atrakurium dirancang secara khusus agar dapat didegradasi (eliminasi

Hofmann) dalam tubuh pada temperature dan pH yang normal. Garam iodida

besylate menghasilkan kelarutan dalam air, dan meningkatkan pH pada larutan

Page 17: Bab 2 Tinjauan Pustaka

yang dipasarkan dari 3,25 hingga 3,65 untuk menghindari proses degradasi yang

spontan. Tampilan pH yang asam pada in vitro, atrakurium sebaiknya tidak

dicampur dengan larutan alkali seperti barbiturate atau bercampur dengan larutan

yang lebih alkalis pada saat digunakan di dalam infus set atau cairan infus.

Terpaparnya atrakurium dengan zat yang lebih alkalis sebelum masuk ke sirkulasi

secara teoritisnya akan menyebabkan pemecahan obat secara premature. Potensi

atrakurium yang disimpan pada temperatur ruangan akan terus berkurang kira-kira

5% setiap 30 hari, dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5

menit, dan lama kerja 20-35 menit.3,4,5

Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia, dimana

hidrolisis ester merupakan mekanisme biologik. Kedua rute metabolisme ini tidak

tergantung pada fungsi hepar dan renal, seperti juga aktifitas dari kolinesterase

plasma. Sama seperti pasien normal, maka durasi blockade neuromuscular

atrakurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar adalah sama.

Tidak terdapatnya blokade neuromuskular yang lama setelah penggunaan

atrakurium terhadap pasien dengan kolinesterase atipikal meningkatkan

ketergantungan terhadap hidrolisis ester dari atrakurium pada esterase plasma

nonspesifik yang tidak berhubungan dengan kolinesterase plasma. Eliminasi

Hofmann dan hidrolisis ester juga menunjukkan efek kumulatif obat yang sedikit

dengan dosis berulang atau infuse atrakurium yang berkelanjutan. Di atas

semuanya itu, hidrolisis ester bernilai untuk sekitar 2/3 Atrakurium yang

didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan “jaring yang aman”,

khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan/atau ginjal yang terganggu.

Walaupun eliminasi Hofmann tergantung pada pH (dipercepat oleh

alkalosis dan diperlambat oleh asidosis), ini tidak seperti bahwa kisaran perubahan

pH yang bermakna secara klinis adalah cukup besar untuk merubah kecepatan

eliminasi Hofmann dan durasi dari blokade neuromuscular yang diinduksi oleh

atrakurium. Lebih jauh lagi, perubahan pH mempengaruhi kecepatan hidrolisis

ester dalam arah yang berlawanan terhadap perubahan kecepatan eliminasi

Page 18: Bab 2 Tinjauan Pustaka

Hofmann, yang memperlambat eliminasi Hofmann akan dijelaskan secara teoritis

melalui peningkatan kecepatan hidrolisis ester.

Konsistensi dari mula kerja hingga masa penyembuhan setelah dosis

penunjang atrakurium yang berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan

menunjukkan tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak

terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan karena klirens atrakurium yang

cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi renal atau hepatic.

Sedikitnya efek kumulatif obat yang signifikan memperkecil kecenderungan

blokade neuromuskular yang persisten ketika prosedur pembedahan yang lama

membutuhkan dosis berulang atau infuse kontinu atrakurium.

Efek Kardiovaskular

Perubahan tekanan darah sistemik dan denyut jantung tidak menyertai

pemberian cepat atrakurium secara IV dalam dosis > 2 x ED95 dengan latar

belakang anestesi mencakup nitrogen oksida, fentanyl dan isoflurane. Selama

anestesi nitrogen oksida-fentanyl, pemberian atrakurium yang cepat secara IV

sebanyak 3 x ED95 meningkatkan denyut jantung sekitar 8,3 % dan menurunkan

MAP sekitar 21,5 %. Perubahan sirkulasi ini sementara, berlangsung selama 60-

90 detik setelah pemberian atrakurium dan menghilang dalam 5 menit.

Kemerahan pada fasial dan trunkal pada beberapa pasien menandakan pelepasan

histamine bersamaan dengan mekanisme perubahan sirkulasi menyertai

pemberian cepat Atrakurium dengan dosis yang tinggi. Pada kenyataannya,

konsentrasi histamin dalam plasma meningkat sementara dan perubahan parallel

denyut jantung dan tekanan darah sistemik ketika 0,6 mg/kg/IV

Pelepasan histamin yang dicetuskan oleh Atrakurium dan mivacurium

tidak terjadi dengan penyuntikan berulang obat ini dalam waktu yang singkat

karena cadangan histamin jaringan tidak dipecah dalam beberapa hari. Oleh

karena itu, penurunan tekanan darah sistemik yang disebabkan oleh pelepasan

histamin yang diinduksi oleh obat lebih jarang terjadi terhadap hal yang sama

pada dosis yang berulang. Efek kardiovaskular yang sebelumnya menyertai

Page 19: Bab 2 Tinjauan Pustaka

pelepasan histamin yang diinduksi oleh obat dapat menunjukkan pelepasan

prostasiklin dan efek vasodilasinya pada vascular perifer yang diperantarai oleh

reseptor H1 dan H2.

Dosis

8u7