bab 2.tinjauan pustaka
DESCRIPTION
Dok. KonkepTRANSCRIPT
Draft Laporan Akhir | BAB II - 1Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
2.1. Konsep Dasar Data Base
Konsep dasar database adalah kumpulan dari catatan, atau potongan
dari pengetahuan. Sebuah database memiliki penjelasan terstruktur dari
jenis fakta yang tersimpan di dalamnya: penjelasan ini disebut skema. Ada
banyak cara untuk mengorganisasi skema, atau memodelkan struktur
database: ini dikenal sebagai database model atau model data. Model yang
umum digunakan sekarang adalah model relasional, yang menurut istilah
yaitu mewakili semua informasi dalam bentuk tabel yang saling
berhubungan dimana setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (definisi yang
sebenarnya menggunakan terminologi matematika). Dalam model ini,
hubungan antar tabel diwakili dengan menggunakan nilai yang sama antar
tabel. Secara umum Pengertian database adalah :
1) Database adalah representasi kumpulan fakta yang saling berhubungan
disimpan secara bersama, untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
2) Database merupakan sekumpulan informasi yang saling berkaitan pada
suatu subjek tertentu untuk tujuan tertentu pula.
3) Database adalah susunan record data operasional lengkap dari suatu
organisasi atau perusahaan, yang diorganisir dan disimpan secara
terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga mampu
memenuhi informasi yang optimal yang dibutuhkan olehpara pengguna.
4) Database adalah kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara
tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan sistem
tersebut data yang terhimpun dalam suatu database dapat
menghasilkan informasi yang berguna.
Sedangkan manfaat dari penyusunan database adalah :
1) Sebagai komponen utama atau penting dalam sistem informasi, karena
merupakan dasar dalam menyediakan informasi.
2) Menentukan kualitas informasi yaitu cepat, akurat, dan relevan,
sehingga infromasi yang disajikan tidak basi. Informasi dapat dikatakan
bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya
mendapatkanya.
3) Mengatasi kerangkapan data (redundancy data).
Draft Laporan Akhir | BAB II - 2Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
4) Menghindari terjadinya inkonsistensi data.
5) Mengatasi kesulitan dalam mengakses data.
6) Menyusun format yang standar dari sebuah data.
7) Penggunaan oleh banyak pemakai (multiple user). Sebuah database bisa
dimanfaatkan sekaligus secara bersama oleh banyak pengguna
(multiuser).
8) Melakukan perlindungan dan pengamanan data. Setiap data hanya bisa
diakses atau dimanipulasi oleh pihak yang diberi otoritas dengan
memberikan login dan password terhadap masing-masing data.
9) Agar pemakai mampu menyusun suatu pandangan (view) abstraksi dari
data. Hal ini bertujuan menyederhanakan interaksi antara pengguna
dengan sistemnya dan database dapat mempresentasikan pandangan
yang berbeda kepada para pengguna, programmer dan
administratornya.
2.2. Konsep Perumahan
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun
2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu
satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan. Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah
terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.
Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri
kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan
lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat
bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan
suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada
penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses
seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986).
Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 3Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan
fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
2.3. Bentuk-Bentuk Permukiman
Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar
yaitu: (1) rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah
dan ruang tanah beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan
rumah (Gambar 2.1). Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah
biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi
bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih
kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek. Bentuk dari
permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan
tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-
komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.
Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun
dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi,
ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok
dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 2.2). Bentuk dari permukiman
dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah.
Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-
komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.
Draft Laporan Akhir | BAB II - 4Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di
wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari
pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan
mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan.
Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah
perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian
besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada
dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok
dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata
secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan
lingkungan atau lokal.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai
terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya
cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak
jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih
sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai
disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai
jalur transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat
dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada
Draft Laporan Akhir | BAB II - 5Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman
cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya.
Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak
mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya
permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian
kelompok perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang
terbentuk, tetapi dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti
sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi permanen.
2.5. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Permukiman
Perumahan dan Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Permasalahan yang dihadapi sesungguhnya tidak terlepas dari aspek yang
berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat maupun kebijakan
pemerintah dalam mengelola persoalan yang ada. Dalam mengatasi
permasalahan perumahan dan permukiman, setiap prosesnya dilaksanakan
secara bertahap yakni melalui tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangan. Pembangunan
perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat multi
sektor, Hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar
masyarakat , juga pendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sejak
awal, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah
diselenggarakan berdasarkan prinsip:
a. Pemenuhan kebutuhan akan rumah layak merupakan tugas dan
tanggung jawab masyarakat sendiri.
b. Pemerintah mendukung melalui penciptaan iklim yang memungkinkan
masyarakat mandiri dalam mencukupi kebutuhannya akan rumah layak.
Dukungan diberikan melalui penyediaan prasarana dan sarana,
perbaikan lingkungan permukiman, peraturan, perundangan yang
bersifat memayungi, layanan kemudahan dalam perijinan bagi kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah dll.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, Kawasan
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
Draft Laporan Akhir | BAB II - 6Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan
wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana,
menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.
Penyelenggaraan Kawasan Permukiman dilaksanakan melalui:
1) Pengembangan pada permukiman yang telah ada;
2) Pembangunan permukiman baru; dan
3) Pembangunan kembali pada permukiman yang telah menurun
kualitasnya.
Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman
ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik
perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di
dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta
utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal
ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara
pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang
terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan
keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang
permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya
migrasi penduduk.
Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota
yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian
bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan
jarak yakni menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai
keuntungan.
Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan
ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan,
merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan
pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa
Draft Laporan Akhir | BAB II - 7Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat
pembangunan tersebut.
Adapun kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia antara
lain :
1) Pengembangan Permukiman Baru :
Perkotaan : Kasiba & Lisiba BS dan kawasan permukiman baru lainnya
Perdesaan : KTM, Agropolitan, kawasan perbatasan
2) Peningkatan Kualitas Permukiman :
Perkotaan : peremajaan, pemugaran, pemeliharaan berkelanjutan
Perdesaan : desa tertinggal, terisolir, terpencil, dll
3) Penanggulangan Bencana Alam, Rehabiltasi dan Rekrontuksi Pasca
Bencana Alam
4) Pembangunan Rusunawa :
Pembangunan Rusunawa merupakan bagian dari penanganan kawasan
permukiman kumuh perkotaan dengan peremajaan.
Pemerintah Daerah bertanggung jawab didalam pemanfaatan,
pengelolaan dan penghunian.
5) Penyediaan Prasarana Dan Sarana Agropolitan :
Meningkatkan pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan
untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis di
kawasan agropolitan dengan sekala pembangunan di 32 Propinsi.
6) Pembinaan Teknis Penataan Lingkungan Permukiman (NUSSP).
Sedangkan strategi pengembangan kawasan permukiman di
Indonesia meliputi :
1) Pengembangan dan implementasi produk pengaturan tentang
pengembangan permukiman perkotaan.
2) Pemantapan dan peningkatan pemahaman dan kemampuan aparat
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengembangan permukiman
perkotaan (pembangunan baru dan peningkatan kualitas permukiman
kumuh).
3) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan (permukiman baru
dan esksiting) yang berwawasan lingkungan dan mengutamakan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 8Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
keberpihakan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam
mendapatkan pelayanan infrastruktur.
4) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan kehidupan social dan ekonomi
masyarakat perdesaan.
2.6. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang
saling terkait, bahkan terkadang saling menggantikan, yang pada intinya
adalah suatu proses perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota ( urban
growth) adalah perubahan kota secara fisik sebagai akibat perkembangan
masyarakat kota. Sedangkan perkembangan kota (urban development)
adalah perubahan dalam masyarakat kota yang meliputi perubahan sosial
politik, sosial budaya dan fisik (Hendarto, 2001).
Menurut Branch (1995), kota memiliki komponen dan unsur, mulai
dari nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga
yang secara fisik tak terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang
mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu berbagai interaksi antar unsur
yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan
unsur itu sendiri. Apabila semua unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur
tersebut dipandang secara bersamaan, kota-kota akan terlihat sebagai
organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia.
Menurut Iwan Kustiwan dalam Tjahjati S. (1997), pertumbuhan
penduduk dan aktifitas sosial ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi
perkembangan kota mendorong pertumbuhan kebutuhan akan lahan. Dan
karena karakteristiknya yang tetap dan terbatas, maka perubahan tata
guna lahan menjadi suatu konsekwensi logis dalam pertumbuhan dan
perkembangan kota.
Menurut Bintarto (1977), kota merupakan suatu sistem jaringan
kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial
ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik, dengan
kata lain, kota merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur alami dan non alami. Kedua unsur tersebut berupa gejala-gejala
Draft Laporan Akhir | BAB II - 9Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
pemusatan penduduk yang cukup besar, tingkat serta pola kehidupan yang
beraneka ragam dan perilaku yang mengarah pada peningkatan
kesejahteraan perekonomian.
Menurut Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan
oleh adanya prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit,
pendidikan, pasar, industri dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang
luas dan jalanan beraspal yang diisi oleh padatnya kendaraan bermotor.
Dari segi fisik, suatu kota banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur
buatan manusia ( artificial), misalnya pola jalan, landmark, bangunan-
bangunan permanen dan monumental, utilitas, pertamanan dan traffic.
Amos Rapoport dalam Zahnd (1999) mendefinisikan kota dengan
fungsinya sebagai pusat dari berbagai aktifitas seperti administratif
pemerintahan, pusat militer, keagamaan dan pusat aktifitas intelektual
dalam satu kelembagaan, selain itu heterogenitas dan pembedaan yang
bersifat hirarkis pada masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Christaller
mengartikan kota dari sudut pandang fungsi, yaitu sebagai penyelenggara
dan penyedia jasa bagi wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya,
sehingga kota disebut sebagai pusat pelayanan (Daldjoeni, 1997).
Beberapa kriteria yang umum digunakan dalam menentukan sifat
kekotaan adalah penduduk dan kepadatannya, terkonsentrasinya
prasarana-sarana serta keanekaragaman aktifitas penduduknya. Makin
banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, maka makin meyakinkan bahwa
lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota (Tarigan, 2004).
2.7. Isu dan Permasalahan Perumahan dan Permukiman
2.7.1. Perumahan
Isu pembangunan perumahan meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
a) Terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana dan saranaperumahan.
Kemampuan pemerintah untuk mendukung penyediaan
prasarana dan sarana dasar perumahan masih terbatas. Faktor
ini menjadi salah satu penghambat dalam penyediaan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 10Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
perumahan untuk masyarakat berpendapatan rendah serta
pemicu menurunnya kualitas kawasan yang dihuni oleh
masyarakat berpendapatan rendah.
b) Meningkatnya luasan kawasan kumuh.
Luasan kawasan kumuh cenderung terus meningkat setiap
tahunnya selaras dengan pertumbuhan penduduk dan makin
tidak terkendalinya pertumbuhan kota utama (primacy city)
yang menjadi penarik meningkatnya arus migrasi. Selain itu,
laju pertumbuhan kawasan kumuh (di pusat kota maupun di
tepi kota) juga dipicu oleh keterbatasan kemampuan dan
ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah
(home improvement).
c) Belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraanpembangunan perumahan dan permukiman.
Kelembagaan penyelenggara pembangunan perumahan belum
berada pada tingkat kinerja yang optimal untuk menjalankan
fungsi, baik sebagai pembangun (provider) maupun
pemberdaya (enabler).
d) Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memilikirumah.
Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah semakin
meningkat. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan
Permukiman tahun 2004, terdapat 19,07% rumah tangga yang
belum memiliki rumah dan meningkat menjadi 21,78% pada
tahun 2007. Apabila upaya penyediaan perumahan tidak
mampu untuk memenuhi backlog dan pertumbuhan baru
selama kurun waktu 2005 - 2009 maka diperkirakan jumlah
rumah tangga yang belum memiliki rumah akan terus
meningkat.
e) Terjadinya kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaanperumahan
Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada
umumnya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 11Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
tabungan) sementara sifat kredit pemilikan rumah pada
umumnya mempunyai masa jatuh tempo dalam jangka
panjang. Kesenjangan tersebut dalam jangka panjang
menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak sehat karena
ketidakstabilan dalam ketersediaan sumber pembiayaan.
f) Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan
Tingginya biaya administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam
pembangunan perumahan merupakan satu persoalan yang
senantiasa dihadapi dalam pembangunan perumahan. Hal ini
akan semakin menjauhkan keterjangkauan masyarakat
terhadap harga rumah yang ditawarkan.
g) Pembiayaan perumahan yang terbatas dan pola subsidi yangmemungkinkan terjadinya salah sasaran
Berbagai bantuan program perumahan tidak sepenuhnya
terkoordinasi dan efektif. Bantuan pembangunan dan perbaikan
rumah secara swadaya dan berkelompok masih bersifat proyek
dan kurang menjangkau kelompok sasaran.
2.7.2. Air Minum dan Air Limbah
Isu terkait pembangunan air minum dan air limbah sebagai
berikut:
a) Stagnasi dalam peningkatan pelayanan air minum perpipaanselama enam tahun terakhir (2000-2006)
Secara umum, cakupan pelayanan air minum perpipaan dalam
kurun waktu 6 tahun terakhir ini tidak terlalu banyak berubah.
Pada tahun 2006, sekitar 18,4% telah mendapat layanan air
perpipaan, yang relatif tidak berbeda kondisinya dengan
cakupan layanan air perpipaan pada tahun 2000 yang sebesar
19,2%.
b) Rendahnya kualitas pengelolaan pelayanan air minum yangdilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Hasil audit terhadap PDAM pada Tahun 2007 dan dipublikasi
oleh BPPSPAM (Badan Pendukung Pengembangan Sistem
Draft Laporan Akhir | BAB II - 12Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Penyediaan Air Minum) menunjukkan hanya 25,82% dari total
PDAM dengan kriteria sehat, sementara selebihnya sebesar
37,25% dengan kriteria kurang sehat atau akan menanggung
resiko atas semua keadaan kas dan pembayaran pinjaman
untuk berkembang dalam pelayanan, serta yang lebih
memprihatinkan adalah sebesar 36,93% yang tergolong kriteria
sakit atau tidak mampu menanggung resiko kas dan pinjaman
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
c) Stagnasi dalam penurunan tingkat kebocoran air minum
Tingkat kebocoran yang disebabkan kebocoran teknis dan non
teknis pada tahun 2007 masih dalam kategori tinggi. Hasil audit
BPPSPAM (Badan Pendukung Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum) pada tahun 2007 memperlihatkan
bahwa tingkat kebocoran PDAM dalam skala nasional adalah
sebesar 33,65%.
d) Meningkatnya kecenderungan kabupaten/kota yang baruterbentuk untuk membentuk PDAM baru yang terpisah dariPDAM kabupaten/kota induk
Kecenderungan pembentukan PDAM baru dipicu dengan alasan
kebutuhan akan sumber pendapatan asli daerah
kabupaten/kota baru. Kecenderungan ini memberikan pengaruh
negatif terhadap efisiensi pelayanan air minum yang
bergantung pada skala ekonomi. Tahun 2007 terdapat
sebanyak 340 PDAM (mengalami penambahan sebesar 74
PDAM sejak Tahun 2006).
e) Permasalahan tarif yang tidak mampu mencapai kondisipemulihan biaya (full cost recovery)
Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM masih dibawah
biaya produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian
besar PDAM saat ini beroperasi dengan kondisi rugi.
f) Belum diolahnya lumpur tinja (sludge) secara baik
Tingkat pelayanan air limbah selama 10 tahun terakhir dapat
dikatakan cukup baik, yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,6% per
Draft Laporan Akhir | BAB II - 13Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
tahun. Namun demikian, hasil tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap lumpur
tinja domestik dari tangki septik dan jamban. Hal ini dapat
dilihat dari rendahnya tingkat pemanfaatan Instalasi Pengolah
Air Tinja (IPLT) yang telah dibangun untuk mengolah lumpur
tinja domestik, yaitu lebih kecil dari 30%. Hal ini masih
ditambahkan dengan masih tingginya pemanfaatan sungai
sebagai tempat pembuangan lumpur tinja domestik.
g) Menurunnya proporsi masyarakat di kawasan perkotaan yangmendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah(sewerage system).
Hal ini disebabkan laju pertumbuhan penduduk di kawasan
perkotaan tidak mampu diimbangi oleh laju penyediaan sarana
dan prasarana sistem pembuangan air limbah. Rendahnya laju
pembangunan sistem pembuangan air limbah bagi kota-kota
metropolitan dan besar pada umumnya disebabkan oleh
semakin mahalnya nilai konstruksi dan semakin terbatasnya
lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai jaringan pelayanan.
Selain itu kesediaan membayar masyarakat yang masih sangat
rendah juga menghambat laju pembangunan sistem
pembuangan air limbah.
2.7.3. Persampahan dan Drainase
Isu terkait pembangunan persampahan dan drainase sebagai
berikut:
a) Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainasesecara baik dan berwawasan lingkungan (environment friendly)
Stagnasi ini terjadi karena rendahnya kesadaran seluruh
pemangku kepentingan, khususnya pengambil keputusan
terhadap peranan penanganan persampahan dan drainase
untuk mendukung lingkungan hidup yang baik. Hal ini dapat
dilihat dari cakupan pelayanan drainase yang hanya meningkat
dari 18,41% pada tahun 2004 menjadi 20,63% pada tahun
Draft Laporan Akhir | BAB II - 14Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
2007. Sedangkan luas genangan yang terjadi akibat buruknya
kondisi drainase hanya berkurang dari 17,92% pada tahun
2003 menjadi 13,55% pada tahun 2006.
b) Meningkatnya pencemaran lingkungan akibat meningkatnyajumlah sampah yang dibuang ke sungai dan/atau dibakar
Proporsi sampah yang dibuang ke sungai dan di bakar pada
tahun 2001 sebesar 51% dan meningkat menjadi 77,57% pada
tahun 2007. Kenaikan tersebut diperkirakan akan terus
berlanjut seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan
untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA).
c) Menurunnya kualitas manajemen tempat pembuangan akhir(TPA)
Berubahnya sistem pengelolaan TPA yang didesain sebagai
sanitary landfill dan/atau controlled landfill menjadi open
dumping mencerminkan penurunan kinerja TPA tersebut.
Kegagalan mempertahankan manajemen TPA sesuai dengan
kriteria teknis sanitary landfill sangat signifikan. Data tahun
2007 menunjukkan bahwa proporsi TPA yang masih
menggunakan metode sanitary landfill hanya sebesar 2,8%.
d) Tidak berfungsinya saluran drainase sebagai pematus air hujan
Kelangkaan lokasi untuk pembuangan sampah menyebabkan
masyarakat membuang sampah ke saluran drainase. Data dari
Susenas tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi air di
got/selokan yang mengalir dengan lancar hanya 52,83%. Hal
ini menyebabkan terjadinya peningkatan kawasan tergenang
dan terhambatnya fungsi drainase.
2.8. Pola Ruang Kota
Berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,
pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk budidaya. Pola ruang kota merupakan rencana distribusi peruntukan
ruang dalam wilayah perkotaan yang meliputi rencana peruntukan ruang
Draft Laporan Akhir | BAB II - 15Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten
berfungsi:
1) Sebagai alokasi ruang untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;
2) Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;
3) Sebagai dasar dalam menyusun indikasi program pembangunan; dan
4) Sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah
kabupaten.
Rencana pola ruang wilayah kabupaten dirumuskan berdasarkan:
1) Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
2) Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup wilayah kabupaten;
3) Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan social ekonomi dan
lingkungan;
4) Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Ada beberapa teori tentang pola tata ruang kota, yaitu:
2.8.1. Teori Konsentrik
Teori ini dikembangkan oleh Ernest W. Burgess (1925) yang
meneliti kota Chicago. Menurut teori ini pola penggunaan lahan di
kota mengikuti zone-zone lingkaran konsentris (melingkar). Struktur
penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 6 zone konsentrik, yaitu:
1) Zone Pusat Daerah Kegiatan (PDK)
Wilayah PDK atau Central Business District (CBD) merupakan
pusat daerah perkotaan yang ditandai dengan gedung-gedung,
pusat pertokoan, kantor pos, bank, bioskop, pasar, dsb.
2) Zone transisi (peralihan)
Wilayah ini merupakan daerah industri manufaktur, pabrik-
pabrik ringan dan tempat tinggal masyarakat terpandang.
3) Zone pemukiman masyarakat ekonomi rendah
Wilayah ini merupakan tempat tinggal kaum buruh kecil.
4) Zone pemukiman masyarakat menengah
Zone ini merupakan kawasan pemukiman masyarakat
berpenghasilan menengah seperti PNS, ABRI, pedagang, dll.
Draft Laporan Akhir | BAB II - 16Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
5) Zone pemukiman masyarakat elite
Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh
orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.
6) Zone penglaju (suburban)
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju)
yang siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke
rumah di pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess
(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)
2.8.2. Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)
berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung
berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada
berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang
berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk
lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan
transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk
cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).
Draft Laporan Akhir | BAB II - 16Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
5) Zone pemukiman masyarakat elite
Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh
orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.
6) Zone penglaju (suburban)
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju)
yang siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke
rumah di pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess
(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)
2.8.2. Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)
berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung
berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada
berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang
berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk
lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan
transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk
cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).
Draft Laporan Akhir | BAB II - 16Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
5) Zone pemukiman masyarakat elite
Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh
orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.
6) Zone penglaju (suburban)
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju)
yang siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke
rumah di pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess
(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)
2.8.2. Teori Sektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)
berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung
berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada
berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang
berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk
lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan
transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk
cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).
Draft Laporan Akhir | BAB II - 17Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Gambar 2.4. Teori Sektoral Hoyt
Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt:
Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.
Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.
Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.
Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.
Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.
2.8.3. Teori Inti Berganda
Teori ini dikemukakan oleh C.D. Harris dan E.L. Ullman. Teori
ini sebenarnya merupakan kritik terhadap teori konsentris dan teori
sektoral. Menurut teori ini perkembangan kota tidak berkembang
seperti teori konsentrik dan sektoral sebab dalam suatu kota
terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota
seperti wilayah industri, pelabuhan dan jaringan jalan, kompleks
perguruan tinggi, dsb. Dalam arti bahwa pusat kegiatan bukan satu
melainkan ganda C.D. Harris dan E.L. Ullman dalam Daldjoeni
(1992).
Draft Laporan Akhir | BAB II - 18Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Gambar 2.5. Teori Inti Berganda Harris dan Ullman
2.9. Perubahan Guna Lahan
Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih
fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam
pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan
lain (Tjahjati, 1997). Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian Land
economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses
dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke
penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan
meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997).
Catanese dan Snyder (1986) mengatakan bahwa dalam perencanaan
penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi,
dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap
sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.
Gambar 2.6. Siklus Perubahan Fungsi Lahan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 19Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan
lahan melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:
a. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan
yang terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan,
mengingat masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber
setempat.
b. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi
pada suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu
bentuk aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain
karena daerah asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul
dengan sumber dan swadaya yang ada.
Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku
penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang
terjadi dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.
2.10. Kawasan Kumuh
2.10.1. Pengertian Kawasan Kumuh
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya
pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang
artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang
artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang
rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda
mati, yaitu houses dan land settlement.
Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau
kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam
lingkungan, sehingga pemukiman menitik beratkan pada sesuatu
yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia
(human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat
hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih,
2007).
Draft Laporan Akhir | BAB II - 20Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Tumbuhnya pemukiman kumuh merupakan akibat dari
urbanisasi, migrasi yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong
datang ke kota untuk mencari nafkah. Hidup di kota sebagai
warga dengan mata pencaharian terbanyak pada sektor informal.
Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada
urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu
ke kota lainnya. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana
mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi desapun tidak
dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah,
sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi
mampu menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas.
Akibatnya dengan adanya pemanfaatan ruang yang tidak
terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas
lingkungan bahkan kawasan pemukiman, terutama di daerah
perkotaan yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan
industri, kawasan bisnis, kawasan pesisir dan pantai yang dihuni
oleh keluarga para nelayan, serta di bantaran sungai, dan
bantaran rel kereta api (Marwati, 2004).
2.10.2. Pengertian Kumuh
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang
sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup
dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh
dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan
atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum
mapan.
Gambaran seperti itu diungkapkan oleh Herbert J. Gans
dengan kalimat “Obsolescence per se is not harmful and
designation of an area as a slum for thereason alone is merely a
reflection of middle clas standards and middle alas incomes”.
Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula
ditempatkan sebagai akibat. Ditempatkan di mana pun juga, kata
Draft Laporan Akhir | BAB II - 21Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang bersifat negatif.
Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari:
a. Sebab Kumuh
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan
hidup dilihat dari:
1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur alam seperti air dan udara;
2) segi masyarakat/sosial, yaitu gangguan yang
ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalu
lintas, sampah.
b. Akibat Kumuh
Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala
antara lain:
1) kondisi perumahan yang buruk;
2) penduduk yang terlalu padat;
3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai,
4) tingkah laku menyimpang;
5) budaya kumuh;
6) Apatis dan terisolasi.
2.10.3. Kawasan Kumuh
Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan
kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk.
Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai
dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan,
kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan
sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan
prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial
lainnya (Kurniasih, 2007).
Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh
Suparlan (1984) sebagai berikut:
a. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai;
Draft Laporan Akhir | BAB II - 22Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
b. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan
ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu
atau miskin;
c. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi
dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman
kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata
ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya;
d. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti
yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan
dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
1) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara,
dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar;
2) Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari
sebuah Rukun Tetangga, atau sebuah Rukun Warga;
3) Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai
sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan
terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian
liar;
4) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi
tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian
dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga
asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh
juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas
kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda
tersebut;
5) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah
mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai
mata pencaharian tambahan di sektor informil (Kurniasih,
2007).
Menurut Sinulingga (2005) ciri kampung/pemukiman
kumuh terdiri dari:
a. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat
para ahli perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa apabila
Draft Laporan Akhir | BAB II - 23Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka
timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang
dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis,
psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.
b. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda
empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah
tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah
bersinggungan satu sama lain.
c. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa
terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan
kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
d. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada
diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran
yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang
membuangnya ke sungai yang terdekat.
e. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan
air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
f. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan
pada umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang
darurat.
g. Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan
terhadap penularan penyakit.
h. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status
tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik
tidak memiliki status apa-apa.
Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman, yang menyatakan bahwa:
“.....untuk mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang
memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan
keandalan bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang tidak
sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas
bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi
syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 24Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai
lingkungan pemukiman kumuh”.
Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau
tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi
sebagai rumah tinggal dan sebagai sarana pembinaan keluarga,
tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk,
sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan serta
sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.
2.10.4. Faktor-Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman KumuhDi Pusat Kota Dan Kawasan Pesisir Pantai
Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari
beberapa aspek penting, yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan,
komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang terajut dalam
suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam
suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau
ekosistem kota. oleh karena itu permukiman kumuh harus
senantiasa dipandang secara utuh dan integral dalam dimensi
yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang
menjadi penyebab tumbuhnya permukiman adalah sebagai
berikut:
a. Faktor Urbanisasi Dan Migrasi Penduduk
Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi
wilayah desa menjadi kota sebagai dampak dari tingkat
keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah (region) atau negara.
Konsekuensinya adalah terjadi perpindahan penduduk (dengan
aktifitas ekonominya) secara individu atau kelompok yang
berasal dari desa menuju kota atau daerah hinterland lainnya.
Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan
kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan
penduduk kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan secara
nasional.
Draft Laporan Akhir | BAB II - 25Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks
kependudukan yaitu dengan memproporsikan antara jumlah
penduduk perkotaan terhadap jumlah penduduk nasional. Tetapi
masalah urbanisasi tidak harus diinterpretasikan dalam konteks
kependudukan semata, kenyataannya harus mencakup dimensi
perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat, bahkan
lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya
dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi merupakan
substansi pergeseran atau transformasi perubahan corak sosio-
ekonomi masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa-
jasa (Tommy Firman, 1996).
Rumusan beberapa faktor secara umum yang dapat
mempengaruhi terjadinya proses keurbanan, antara lain:
1. Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antara desa
dengan perkotaan.
2. Peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan.
3. Terjadinya pola perubahan minat tentang lapangan pekerjaan
dari pertanian ke industri, utamanya bagi penduduk usia kerja
di perdesaan.
4. Lebih majunya teknologi dan infrastruktur prasarana
transportasi, sehingga memudahkan terjadinya mobilitas
penduduk baik yang permanen atau yang ulang-alik.
5. Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih menjanjikan,
utamanya aspek pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek
sosial lainnya.
Proses urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum
yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Proses
pembangunan yang berlangsung relatif pesat. Karena daya tarik
kota sangat kuat, baik yang bersifat ekonomis maupun non
ekonomis. Keadaan daerah perdesaan yang serba kekurangan
merupakan pendorong yang kuat dalam meningkatnya arus
urbanisasi ke kota-kota besar. Bagi kota yang mulai padat
Draft Laporan Akhir | BAB II - 26Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
penduduknya, pertambahan penduduk tiap tahunnya jauh
melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam wilayahnya
sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota.
Tekanan ekonomi dan kepadatan tinggal bagi kaum urban
memaksa mereka menempati daerah-daerah pinggiran (slum
area) hingga membentuk lingkungan permukiman kumuh.
Migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli
telah banyak membahas tentang teori migrasi tersebut dan
sekaligus melakukan penelitian tentang migrasi. Lee dalam Lisna
Yoeliani P (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih
terarah. faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk
bermigrasi dapat dibedakan atas kelompok sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migrant.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan
migran (destination).
3. Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening
factors).
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.
Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di
tempat tujuan migran dapat terbentuk faktor positif maupun
faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya
dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau
menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat
tujuan migran fakor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga
orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan
orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur,
penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran
merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa kekeluargaan
yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor
yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan
kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan
faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko
yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan
Draft Laporan Akhir | BAB II - 27Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke
tempat tujuan migran tersebut.
Keberadaan penduduk migran di permukiman kumuh yang
menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat
dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar
(squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara
penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan
yang ditempatinya, Meskipun mereka tinggal pada permukiman
liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga
(RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati
penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan
tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga
telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Kondisi yang demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot
Kendari maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman
demikian.
Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah
memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota
karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala
implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi
kontribusi positif bagi pembangunan Kota. Kota Kendari telah
memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah
perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati
kualitasnya rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari
ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan
jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah
tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun
masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga
kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai
distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh
yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat
membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya
buruh pabrik atau pegawai daerah golongan rendah yang
Draft Laporan Akhir | BAB II - 28Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif
murah.
b. Faktor Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat
telah menyebabkan berbagai persoalan serius diantaranya adalah
permasalahan perumahan. Permasalahan perumahan sering
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit
hunian bagi kaum mampu dan kaum tidak mampu di perkotaan.
Di samping itu sebagian kaum tidak mampu tidak menguasai
sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga
kaum tidak mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian
sub standar di permukiman yang tidak layak.
Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan
kaum tidak mampu ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan
mengikuti arus mekenisme pasar tanpa mempertimbangkan
secara serius pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi
kaum miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang
salah, semata-mata berpihak pada kaum mampu pada akhirnya
mendorong lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang
tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan
masalah sosial lainnya.
c. Faktor Prasarana dan Sarana Dasar
Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai
juga oleh tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar
seperti halnya suplai air bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi,
listrik, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar
dan sebaginya. Bahkan hampir sebagian besar rumah tangga di
lingkungan permukiman kumuh ini mampunyai akses yang
sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan prasarana dasar
tersebut.
Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana
dasar ini pada umumnya disebabkan kemampuan pemerintah
Draft Laporan Akhir | BAB II - 29Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
yang sangat terbatas dalam pengadaan serta pengelolaan sarana
dan prasarana lingkungan permukiman, kemampuan dan
kapasitas serta kesadaran masyarakat juga terbatas pula.
Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya peran berbagai
lembaga maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik
secara profesional atau sukarela dalam peningkatan
permasalahan sarana dan prasarana dasar.
d. Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan
permukiman kumuh mempunyai tingkat pendapatan yang rendah
karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang ada.
Tingkat pendapatan yang rendah ini menyebabkan tingkat daya
beli yang rendah pula atau terbatasnya kemampuan untuk
mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar.
Pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman
kumuh yang sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki
potensi berupa tenaga kerja kota yang memberikan konstribusi
sangat signifikan terhadap kegiatan perekonomian suatu kota.
aktivitas ekonomi di sektor informal terbukti telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan
produksi melalui sektor informal.
Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan
permukiman kumuh yang rendah ini merupakan permasalahan
yang serius keberlangsungan produtivitas suatu kota.
Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah satu pendorong
meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota, dari daerah
pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga menumbuhkan
lingkungan permukiman kumuh baru. Ketidakmampuan ekonomi
bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga menjadi faktor
penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan
maupun di daerah pesisir.
Draft Laporan Akhir | BAB II - 30Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin sulintya
mencari pekerjaan didaerah perkotaan membuat masyarakat
yang berada di garis kemiskinan semakin kesulitan untuk
menyediakan perumahan yang layak huni bagi mereka sendiri.
Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat
berusaha dengan orientasi memenuhi kebutuhan hidup. Dan,
ketika mereka berhadapan dengan keterbatasan pekerjaan
formal yang jelas strukturnya, mereka menciptakan pekerjaan-
pekerjaan informal yang memberi peluang untuk melangsungkan
kehidupan.
Tercukupinya kebutuhan hidup adalah konsep sederhana
tentang kebahagiaan yang dimiliki oleh kaum miskin. Namun,
dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda
pembangunan ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada
mereka. Persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas
urbanisasi, lonjakan pengangguran, serta tingginya tuntutan dan
biaya hidup yang memaksa manusia kota kreatif untuk berusaha
di bidang ekonomi.
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-
pekerjaan dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi
berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal
adalah cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan:
1. Mudah untuk dimasuki;
2. Bersandar pada sumber daya local;
3. Usaha milik sendiri;
4. Operasinya dalam skala kecil;
5. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;
6. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal;
7. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat
kompetitif.
Aktivitas-aktivitas sektor informal pada umumnya
dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh
aturan yang ketat, dan terkadang tidak diperhatikan oleh
Draft Laporan Akhir | BAB II - 31Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
pemerintah. Menurut Daldjoeni (1987:172), mereka yang masuk
ke dalam sektor informal adalah mereka yang harganya berada
di kelas dua, artinya bahwa mereka yang orientasi pemasarannya
untuk golongan menengah ke bawah. Untuk itu, mereka harus
lebih diformalkan, lebih dipadatmodalkan, lebih ditatabukukan,
lebih dibadanhukumkan, dan lebih dikenai pajak.
Secara implisit dalam kegiatan perdagangan, kegiatan
informal dalam bentuk pedagang kaki lima. Ditinjau dari
karakteristik kehadirannya, timbul sektor informal karena:
1. Tingkat persaingan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan
tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
2. Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka panjang seperti
halnya yang dimiliki oleh sektor formal, sehingga
mengakibatkan mobilitas angkatan kerja dalam sektor
informal menjadi relatif lebih tinggi.
3. Meningkatnya arus urbanisasi.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan
rendah, untuk membangun rumah yang layak huni menambah
daftar panjang permasalahan permukiman kumuh diperkotaan
dan daerah pesisir. Jika golongan miskin dianggap tidak mampu
untuk membantu dirinya sendiri dalam membangun rumah yang
layak huni maka mereka seharunya dibantu. Dalam konteks
perumahan, kecenderungan ini berarti hanya pemerintah sajalah
yang mampu membangun perumahan yang layak huni bagi
masyarakat miskin. Menurut Turner dalam Alan gilbert dkk,
pemerintah sebaiknya membangun perumahan swadaya. Dan itu
akan terjadi manakala masyarakat miskin tersebut memahami
peranannya bahwa perumahan merupakan bagian dari hidup
mereka.
e. Faktor Sosial Budaya
Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat
pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah. Pada
Draft Laporan Akhir | BAB II - 32Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
umumnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah ini
sangat erat dengan rendahnya tingkat pedapatan penduduk
sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Di samping itu struktur sosial penghuni
lingkungan permukiman sangat majemuk dengan beragam
norma-norma sosialnya masing-masing. Keragaman ini kadang-
kadang menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak percaya
antar penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat
kohesivitas komunitas. Masing-masing mengikuti struktur
hubungan antar sesama dan budaya yang beragam, yang
mempengaruhi bagaimana sebuah individu, keluarga dan
tetangga dalam berinteraksi di lingkungannya. Sehingga kadang-
kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang
berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan bersama.
Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik
untuk mencari pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan
dikota membuat kota semakin tidak aman bagi masyarakat kota.
Argumentasi disorganisasi atau nuansa di kota yang aman
hampir tidak dapat dipungkiri bahwa rasa aman hidup dikota
semakin hilang. Hal ini akibat dari perilaku yang terlepas dari
kontrol sosial terhadap nilai-nilai masyarakat. Kaum migran desa-
kota cenderung berharap mereka akan mampu memperbaiki
posisi sosial ekonomi mereka ketika melakukan migrasi kekota.
Mereka dipenuhi pikiran untuk memapankan hubungan
pekerjaan dan nilai finansial yang akan didapatkannya ketika
berada dikota. Namun perlu diketahui bahwa persaingan dikota
jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa. (Wisadirana,
20014).
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan/skill dan
potensi akan tersingkir dari dunia usaha yang sifatnya formal.
Akibatnya untuk mencari pekerjaan mereka menciptakan
lapangan pekerjaan sendiri dengan bergerak dalam sektor usaha
Draft Laporan Akhir | BAB II - 33Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
informal. Kasus kejahatan yang dapat terjadi dari konflik sosial
adalah akibat semakin tingginya jurang pemisah antara kaum
kaya dan kaum miskin yang tidak mampu untuk bersaing. Maka
muncullah kejahatan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih cepat. Pencurian dan perampokkan
dipermudah lagi oleh tidak adanya sosialisasi dengan sikap acuh
tah acuh sesama masyakat yang bersifat individualistis. Dan
sesama masyarakat saling tidak kenal dan puas dengan
kehidupan subsistem. Tetapi orang-orang miskin dikota mungkin
tidak memiliki alternatif perkerjaan lain kecuali harus mencuri
dan merampok untuk mempertahankan kehidupan mereka.
Kadang ada juga yang secara terorganisir melakukan
perampokkan dan pencurian dengan modus yang berbeda-beda.
Konflik sosial lain akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang
dapat menampung kaum migran adalah dengan melakukan
pekerjaan sebagai pemulung atau pekerjaan lain yang dapat
mereka lakukan. (Daldjoeni: 1997).
Masyarakat yang bermigrasi kekota juga membawa nilai-
nilai sosial yang ada dalam masyarakat desa. Sementara
masyarakat kota yang heterogen memiliki cirinya sendiri. Salah
satu ciri masyarakat kota dalam Alan Gilbert mengungkapkan
bahwa ciri masyarakat kota ditandai dengan :
1. Lebih terbuka terhadap perubahan;
2. Kota merupakan pintu gerbang ide-ide dan budaya yang
baru;
3. Masyarakat kota lebih kritis terhadap perubahan harga
barang dan lainnya;
4. Lebih rasional;
5. Faktor pendidikan dan informasi sangat dibutuhkan
f.Proses individualisme lebih mencolok dibandingkan dengan
suasana kekeluargaan;
6. Aktivitas dan jarak sosial yang lebih padat;
7. Dikelompokkan oleh kepentingan;
Draft Laporan Akhir | BAB II - 34Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
8. Kerawanan dan berdampak pada persaingan dan agresivitas;
9. Keragaman pekerjaan baik dari sektor industri maupun
sektor jasa.
Menurut Betrand (1987) Dalam (Darsono Wisadirana ,
2005 : 23) masyarakat merupakan hasil dari suatu perubahan
budaya dan akumulasi budaya. Jadi masyarakat bukan sekedar
jumlah penduduk saja melainkan sebagai suatu sistem yang
dibentuk dari hubungan antar mereka. Sehingga menampilkan
suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri tersendiri. Dimana
dari hubungan antar mereka ini terbentuk suatu kumpulan
manusuia kemudian menghasilkan suatu budaya. Jadi
masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama
dan menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan
perwujudan dari perilaku manusia. Antara masyarakat dan
kebudayaan dalam kehidupan yang nyata, keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan sosial bagaikan dua sisi mata uang.
Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan atau
sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai
wadah dan pendukungnya.
Kota menjadi fokus dari perubahan sosial yang
mengisinkan hadirnya kegiatan-kegiatan personal yang
menyimpang. Tingkat kejahatan, kenakalan remaja, dan kegiatan
menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi di daerah perkotaan.
Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja kaum marginal
maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk
mencari penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada
kenyataannya meraka tidak mampu untuk ditampung pada
sektor formal karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada
masyarakat marjinal. (Daljoeni :1997).
Daerah-daerah permukiman liar tadi merupakan penerusan
dari kehidupan perdesaan yang serba luwes. Pendudukya lebih
gigih mempertahankan tanah yang terlanjur mereka tempati
Draft Laporan Akhir | BAB II - 35Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
sehingga sulit untuk melakukan penggusuran. Ciri-ciri sosial
ekonomi kaum penghuni gubug-gubug liar yang tergolong kaum
marjinal dan penduduk termiskin terdiri atas para urbanisan yang
paling baru datangnya. Tetapi mereka merupakan penggerak
kota karena bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pelabuhan, dan
buruh kasar yang membuat ekonomi berjalan terus.
Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus
secara serius melaksanakan identifikasi asal-usul tumbuh
kembangnya lingkungan permukiman tersebut guna membantu
melakukan rekonstruksi nilai-nilai sosial budaya yang ada dan
berlaku di dalamnya, termasuk keterkaitan dengan konfigurasi
struktur sosial budaya kota.
f. Faktor Tata Ruang
Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsfigurasi
struktur ruang kota. oleh karena itu, perencanaan tata ruang
kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa pengembangan
kota harus dilakukan sesuai dengan daya dukunya termasuk
daya dukung yang relatif rendah di lingkungan permukiman
kumuh.
Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota
akan menimbulkan dampak yang merusak lingkungan serta
berpotensi mendorong tumbuhkembangnya lingkungan
permukiman kumuh atau kantong-kantong lingkungan
permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi akan menghapus
lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang
mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat
itu lingkungan telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
g. Faktor Aksesibilitas
Secara umum, salah satu penyebab munculnya
permukiman kumuh adalah terbatasnya akses penduduk miskin
kepada kapital komunitas (community capital). Kapital komunitas
Draft Laporan Akhir | BAB II - 36Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
ini meliputi kapital terbangun, individu dan sosial serta
lingkungan alam. Kapital terbangun meliputi informasi, jalan,
sanitasi, drainase, jaringan listrik, ruang terbuka, perumahan,
pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan
sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi pendidikan,
kesehatan kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara
lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas-cara manusia
berinteraksi dan berhubungan dengan lainnya.
Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia membentuk
organisasi, baik organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan
maupun pemerintah dan sebagainya, termasuk berbagai sistem
sosial yang ada, termasuk kebijakan pembangunan kota.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam,
pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam
adalah apa saja yang diambil dari alam sebagai bagian dari
bahan dasar yang dipakai untuk proses produksi. Pelayanan
ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk budidaya
tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk
pakaian dan sebagainya.
h. Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal
pencapaian pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu,
pendidikan sangat ditentukan oleh pendidikan itu sendiri dan
pekerjaan orang tua untuk mampu menyekolahkan anak mereka
pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti
perbedaan latar belakang budaya dan sosial ekonomi (pendidikan
dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap
pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan
pendapatan mereka. Sedangkan faktor lain seperti : tempat
tinggal, agama, status perkawinan dan status migrasi, serta
umur sangat kecil pengaruhnya terhadap pencapaian pekerjaan
dan pendapatan.
Draft Laporan Akhir | BAB II - 37Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014
Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-
standar yang tinggi. Sementara persaingan untuk mencari
lapangan kerja sangat tinggi dan kesemuanya dituntut dengan
tingkat propesionalisme dan tingkat pendidikan pula yang harus
dapat bersaing dengan orang lain. Dilain pihak kota-kota di
Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja yang belum
dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun
mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan
yang tinggi untuk bisa bertahan pada jalur formal. Elemen lain
yang juga menentukan adalah tidak adanya lapangan kerja yang
disiapkan oleh pemerintah. Dampak dari akumulasi kejadian
tersebut memunculkan angka pengangguran yang setiap
tahunnya semakin bertambah.