bab 2 (ppa). ) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan...

31
Universitas Indonesia 12 BAB 2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI LISTRIK 2.1 Asas Keseimbangan Dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli Listrik/Power Purchase Agrement (PPA). Makna keseimbangan adalah sebagaimana yang dimaknai dalam bahasa sehari- hari, kata “seimbang” (even-wicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang.” Di dalam konteks studi “keseimbangan” dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya 1 . Gagasan keseimbangan mendorong semangat keseimbangan (evenwichtgeest) di dalam hukum adat, suatu pengakuan akan kesetaraan kedudukan individu dengan komunitas dalam kehidupan bersama. “Keseimbangan” batin, dalam karakter atau jiwa, merujuk pada pemahaman tidak adanya gejolak kejiwaan lagi, dan telah tercapai persesuaian atau keselarasan antara keinginan dan kemampuan memenuhinya, atau antara dorongan emosi dan kehendak. Potensi kemampuan manusia secara sadar terwujud dalam diperbuatnya suatu tindakan yang akibatnya betul dikehendaki kemunculannya ataupun terarah pada diupayakannya suatu perbaikan kondisi kehidupan. 1 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 304. Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Upload: hoangkhue

Post on 21-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Universitas Indonesia 12

BAB 2

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEIMBANGAN HAK DAN

KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI LISTRIK

2.1 Asas Keseimbangan

Dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian Jual Beli Listrik/Power

Purchase Agrement (PPA).

Makna keseimbangan adalah sebagaimana yang dimaknai dalam bahasa sehari-

hari, kata “seimbang” (even-wicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian

beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang.” Di dalam konteks studi

“keseimbangan” dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari

pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak

satu elemen menguasai lainnya 1.

Gagasan keseimbangan mendorong semangat keseimbangan (evenwichtgeest) di

dalam hukum adat, suatu pengakuan akan kesetaraan kedudukan individu dengan

komunitas dalam kehidupan bersama. “Keseimbangan” batin, dalam karakter atau jiwa,

merujuk pada pemahaman tidak adanya gejolak kejiwaan lagi, dan telah tercapai

persesuaian atau keselarasan antara keinginan dan kemampuan memenuhinya, atau antara

dorongan emosi dan kehendak. Potensi kemampuan manusia secara sadar terwujud dalam

diperbuatnya suatu tindakan yang akibatnya betul dikehendaki kemunculannya ataupun

terarah pada diupayakannya suatu perbaikan kondisi kehidupan.

1 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 304.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

13

Asas-asas hukum1 tidak saja bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah

baru dan membuka bidang baru, tetap juga dipergunakan guna menafsirkan aturan-

aturan sejalan dengan asas-asas yang mendasari aturan-aturan dimaksud 2. Asas-asas

tersebut sangat penting peranannya dalam menafsirkan dan memaknai aturan-aturan

yang tidak pernah dapat secara lengkap melingkupi semua masalah yang mungkin

muncul; “tidak saja tatkala menghadapi penerapan aturan ‘pada umumnya’ asas akan

turut berperan, sekalipun hanya untuk sekedar menegaskan kembali makna yang

terkait atau diberikan pada aturan tersebut,” demikian dikatakan Smits 3. Berkenaan

dengan penerapan aturan terhadap kasus tertentu, maka untuk itu kiranya harus

ditemukan patokan berdasarkan penjelasan serta uraian aturan dapat diberikan dari

latar belakang asas tersebut, untuk kemudian, beranjak dari itu menegaskan kembali

makna yang terkait pada aturan tersebut.

Suatu kriterium harus dapat ditemukan, beranjak dari mana fakta dapat diuji

relevansinya bagi hukum kontrak 4 (di sini dimaksud ialah hukum kontrak Indonesia),

1 Dalam pandangan Bruggink, asas-asas hukum memiliki fungsi ganda, yakni sebagai fundament dari sistem hukum positif dan sebagai alat uji kritis terhadap sistem hukum positif tersebut. Ilustrasi dari fungsi ganda asas hukum tersebut yang diberikan Bruggink berkenaan dengan perlindungan lingkungan hidup pribadi (de persoonlijke levenssfeer) yang dihargai sangat tinggi di dalam sistem hukum positif (Belanda). Tolok ukur dari asas hukum dipertahankan sebagai cita-cita yang setiap kali harus direalisasikan. Karena itu, menurut Bruggink, asas hukum sekalipun telah direalisasikan tetap dapat difungsikan sebagai alat uji kritis terhadap sistem hukum positif, yakni bilamana terjadi bahwa lingkungan hidup pribadi ternyata tidak atau kurang mendapat perlindungan, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 306. 2 “Roughly, constructive interpretation is a matter of imposing purpose on an object or practice in order to make of it the best possible example of the form or genre to which it is taken to belong,” R. Dworkin, , dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 306. 3 “Niet alleen in een moelijk gaval zal op beginselen terugvallen, maar ook bij “gewone” regeltoepassingen spelt het beginsel steeds een rol, als is het maar om impliciet de aanvankelijk aan de regel gehecte betekenis bevestigend te zien,” J.M. Smits, , dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 306. . 4 Menurut Nieskens-Isphording kriterium itu “harus sedemikian umum sehingga dapat difungsikan sebagai pegangan bagi semua kejadian yang tidak tercakup/diatur oleh undang-undang; dan sekaligus

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

14

sedemikian sehingga setiap kali dari asas keseimbangan yang melandasi kesepakatan

antara para pihak dapat dimunculkan keterikatan yuridis yang layak atau adil. Upaya

pencarian kriterium demikian harus dimulai dengan memilah fakta mana di dalam

kontrak dapat dikualifikasikan sebagai fakta atau kondisi yang memunculkan

perikatan hukum yang pada gilirannya dapat dinilai serta diuji berkenaan dengan

keterikatan yuridikal yang dilandaskan pada asas keseimbangan. Asas keseimbangan,

di samping harus memiliki karakteristik tertentu, juga harus secara konsisten terarah

pada kebenaran logis dan secara memadai bersifat konkrit. Berdasarkan pertimbangan

ini berkembang gagasan bahwa asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang

layak atau adil dan, selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal di

dalam hukum kontrak Indonesia. Untuk ini sangat penting memperjelas uraian asal

mula asas keseimbangan dan mengurai bagaimana sifat-sifat dari asas keseimbangan

serta menjawab pertanyaan mengapa asas ini harus difungsikan sebagai alasan

pembenar dari keterikatan yuridikal hukum kontrak Indonesia.

2.2 Asal Asas Keseimbangan

Suatu fakta hukum atau kejadian nyata tunduk pada hukum kausalitas; dengan

itu kita dapat menelusuri asal mula atau keterjalinan sebab-akibat fakta tersebut

dengan gejala-gejala lainnya. Di dalam suatu perjanjian para pihak mengungkapkan

kehendak mereka dalam bentuk janji. Kenyataan bahwa orang menutup kontrak

kiranya dilandasi suatu tujuan atau maksud tertentu. Fakta menunjuk pada adanya

keterjalian dengan gejala kemunculan suatu perjanjian, yang dibentuk oleh para

pihak, keterikatan atau kekuatan mengikat dan dipenuhinya perikatan. Melalui suatu

perjanjian, maksud dan tujuan para pihak dapat dicapai. Apakah maksud dan tujuan

perjanjian semata-mata adalah memunculkan kekuasaan mengikat serta pemenuhan

sedemikian konkrit, sehingga tatkala suatu kejadian dinilai secara tersendiri, masih dapat difungsikan sebagai alat untuk menepis mana yang baik dan mana yang buruk”, , dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 307.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

15

perikatan? Pertanyaan ini memunculkan hal lain, yakni apa tujuan dari perjanjian

yang ditutup para pihak dan apa yang menjadi dasar dari kekuatan mengikatnya

perjanjian yuridikal.5.

Melalui suatu perjanjian dapat diupayakan berkenaan dengan pembagian dan

pertukaran benda-benda ekonomis maupun jasa, yakni sebagai suatu “pergeseran

sukarela” (vrijwilige verschuiving) 6. Suatu kontrak bisnis dilaksanakan, misalnya

dengan cara menyerahkan barang-barang yang tersedia di dalam supermarket setelah

diserahkannya sejumlah uang tertentu. Berbeda dengan itu ialah “kontrak” yang

dibuat di dalam lingkungan keluarga, misalnya “saya akan mencuci, sedangkan kamu

memasak”. Pencapaian tujuan suatu perjanjian dilandaskan pada kehendak yang telah

diungkapkan, yakni dalam bentuk janji-janji di antara para pihak yang terkait.

Di dalam dunia ekonomi, kontrak merupakan instrument terpenting untuk

mewujudkan perubahan-perubahan ekonomi dalam bentuk pembagian barang dan

jasa. Ratio (dasar pikiran) kontrak merujuk pada tujuan terjadinya pergeseran harta-

kekayaan secara adil (gerechtvaardigde) dan memunculkan akibat hukum terjadinya

pengayaan para pihak juga secara adil 7. Kontrak mengejawantah ke dalam maksud

dan tujuan “menciptakan keadaan yang lebih baik (een beter leven brengen)” bagi

kedua belah pihak. Agar pertukaran sebagai pengayaan yang adil, dapat dipandang

sebagai fair exchange, maka suatu prestasi harus diimbangi dengan kontraprestasi.

5 Di samping kekuatan mengikat yuridis, juga ada keterikatan atau kekuatan mengikat dalam perspektif psikologis (rasa terikat) dan sosiologis (menganggap masyarakat terikat), dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 308. 6 Juga ada pergeseran/pemindahan tidak sukarela, seperti pencurian, perampokan, dan lain-lain, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 308. 7 “Overeenkomsten hebben-in beginsel-een gerechtvaardigde verrijking tot gevolg (Perjanjian-pada prinsipnya-mengakibatkan pengayaan secara legal)”, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 308.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

16

Pertukaran secara timbal balik merupakan konsep kunci bagi terciptanya keadilan di

atas. Namun demikian, tidak semua perlakuan sama bagi kasus serupa menghasilkan

pertukaran yang adil. Perlakuan yang sama harus diperlengkapi dengan suatu

kriterium materiil yang pada gilirannya menjadi landasan bagi pola atau tata nilai

yang berlaku sebagai pilihan yang harus diambil masyarakat.

Pertukaran belaka tidaklah cukup, mengingat kenyataan bahwa tidak setiap

kontrak dapat diwujudkan dalam bentuk pertukaran langsung, sebagaimana terjadi

dalam jual beli supermarket. Kadang kala dalam suatu pertukaran, salah satu pihak

harus menunggu pemenuhan apa yang telah diperjanjikan. Di dalam kontrak,

kerjasama dari para pihak mutlak harus didukung oleh daya psikis sehingga daya ini

dapat mempengaruhi dan mendorong kehendak para pihak terkait. Kehendak yang

muncul akibat daya atau dorongan psikis ini, yang mengungkapkan diri dalam suatu

janji merupakan landasan bagi kekuatan mengikat. “Saya menjual buku ini pada

Anda dan Anda membayar saya Rp 25.000,00”. Kedua belah pihak terikat untuk

memenuhi janji mereka masing-masing. Buku tersebut masih harus diserahkan dan

pembayaran juga masih akan dilakukan.

Dalam pandangan Atiyah 8, kontrak memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana

digambarkan di bawah ini secara singkat:

- Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan

melindungi harapan wajar yang muncul darinya.

8 Menurut Atiyah suatu kontrak memiliki tiga tujuan utama: “first, it is inspired by the desire to enforce promises and to protect the reasonable expectations which are generated both by promises and by other forms of conduct; secondly, (…) contract law itself is also powerfully influenced and affected by the idea that unjust enrichment should not be permitted; thirdly, contract law is also designed to prevent certain kinds of harm, particularly harm of an economic nature, or at least to compensate those who suffer such harm.” P.S. Atiyah, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 309.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

17

- Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya

memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar.

- Tujuan ketiga dari suatu kontrak ialah to prevent kinds of harm.

Di samping ketiga tujuan yang disebutkan di atas, Herlien Budiono menambahkan

tujuan esensial lain, yakni yang diturunkan dari asas laras (harmoni) di dalam hukum

adat, yakni:

- Tujuan keempat dari suatu kontrak ialah mencapai keseimbangan

antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.

Demikianlah, tujuan fundamental pertama dari suatu perjanjian diturunkan

dari janji dengan fungsi mewajibkan, di dalam hukum kontrak, yang self-imposed.

Melalui asas inilah, tujuan pertama dari kontrak menemukan bentuk kekuatan

mengikatnya.

Tujuan kedua dan ketiga menegaskan syarat pencampuran community values,

yakni dari keadilan (rechtvaardigheid) dengan kepatutan (betamelijkheid) atau

kacamata hukum adat kita berbicara tentang asas patut atau pantas. Orang-orang

galibnya tidak akan menutup suatu kontrak jika tidak demi keuntungan mereka

sendiri. Tujuan atau fungsi utama dari pertukaran melalui perjanjian ialah

memungkinkan dikembangkannya struktur ekonomi yang layak di dalam masyarakat,

yakni dengan membentuk suatu sistem tolok ukur dan perimbangan kepentingan di

dalam mana dimungkinkan kelancaran konsumsi, produksi, dan penciptaan

penghasilan bagi seluruh masyarakat. Selanjutnya, juga dapat dikonstalasi dan

ditambahkan bahwa motivasi atau latar belakang perbuatan seseorang dengan maksud

pencapaian tujuan tertentu, pada suatu pihak, mendapat pengaruh dari ekonomi pasar

serta kepentingan sendiri, sedangkan pada lain pihak juga dipengaruhi oleh

pertimbangan-pertimbangan etikal dan moril.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

18

Tujuan keempat ialah mencapai keseimbangan; kepantasan atau sikap sosial

tertentu – dimaksudkan di sini kondisi batin yang mencerminkan rasa syukur atau

kepuasan – dan upaya secara sadar menggapai peluang eksistensi imateriil

(immateriele zijnsmogelijkheid). Sebagaimana dikatakan oleh Soepomo:

“hukum mengharapkan dari para pihak, kemampuan untuk bersikap menjaga kepantasan social, baik satu pihak terhadap lainnya maupun terhadap semua orang yang mungkin terlibat di dalam suatu transaksi 9.”

Rawls berpendapat bahwa happiness (kepuasan batin) seperti di atas

merupakan landasan dari asas the good of justice yang mencakup dua aspek:

“ (…) one is the successful execution of a rational plan (the schedule of activities and aims) which is a person strives to realize, the other is his state of mind, his sure of confidence supported by good reason that his success will endure (…) 10.”

Bagaimana cara mencapai happiness demikian jika inti dari suatu perjanjian

diletakkan pada kehadiran dua atau lebih pihak yang masing-masing mewujudkan

kebebasan mereka sepanjang hal itu berkesesuaian satu sama lain. Hal ini kiranya

terejawantah dalam kehendak bebas dari individu dan dalam bentuk janji di mana

masih terbuka peluang untuk melakukan tuntutan hukum, dengan bantuan hukum

objektif, demi pemenuhan janji yang dimaksud. Penutupan suatu kontrak yang

berjalan sepenuhnya sebagaimana dikehendaki para pihak berarti bahwa tujuan akhir

kontrak akan tercapai dan secara umum telah tercipta “kepuasan”. Jiwa atau semangat

keseimbangan dalam hal ini telah difungsikan.

9 “Het rechtsmilleu verwacht met name van partijen een sociale gezindheid jegens elkaar en jegens allen, die bij transactie betrokken kunnen worden,” Raden Soepomo, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 311. 10 J. Rawls, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 311.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

19

Di dalam perjanjian ungkapan kehendak yang dinyatakan –penawaran dan

penerimaan- dianggap sebagai elemen konstitutif dari kekuatan mengikat kontraktual.

Penawaran dan permintaan mengandung suatu janji. Namun demikian, adanya

suatu janji bertimbal balik tidak serta merta membentuk perjanjian. Perjanjian baru

terbentuk jika ada perjumpamaan atau persesuaian antara janji-janji yang ditujukan

satu terhadap lainnya. Apakah ini berarti bahwa kekuatan mengikat kontrak dapat

dikembalikan pada janji? Pertanyaan ini memunculkan persoalan lain, yakni apakah

di sini perbuatan manusia akan menjadi kriterium ataukah bahwa kriterium demikian

harus dicari dalam daya kerja kesepakatan serta apakah hal ini sebelum mulai adanya

keterikatan kontraktual memiliki “makna wigati (oorspronkelijke betekenis)”.

Ataukah keterikatan kontraktual dari suatu perjanjian akan bergantung pada muatan

isi perjanjian atau maksud dan tujuan serta perwujudannya? Scholten berpendapat

bahwa:

“Bukanlah pada muatan isi perjanjian, melainkan sumber atau asal dan muasal pernyataan kontraktuallah yang membentuk karakter hukum.”

Adalah individu sendiri yang memunculkan keterikatan kontraktual: “bahwa

suatu janji mengikat tidak dapat diterangkan dengan cara lain terkecuali dari fakta

bahwa itulah yang telah diperjanjikan.” Berkenaan dengan fenomena kekuatan

mengikat suatu janji, ilmu hukum tidak mampu menjelaskannya lebih lanjut. Menurut

Hijma, Scholten bukan mencari ratio dari keterikatan atau kekuatan mengikat yang

dimunculkan hukum, melainkan menjelaskan cara bagaimana keterikatan demikian

muncul.

Suatu kehendak yang telah dinyatakan dan diungkap dalam bentuk suatu janji

bertujuan, baik menciptakan keterikatan maupun akibat hukum 11. Janji tidak muncul

karena telah dinyatakan, tetapi karena dikehendaki.

11 “(…) promising is like telling you of my intentions and telling you that I don’t intend to change my mind,” Charles Fried, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

20

Janji adalah faktor potensial, titik taut dari apa yang sesungguhnya

dikehendaki ataupun sepatutnya dimaksud para pihak dalam rangka menegaskan

hubungan hukum tertentu (terikat pada kata dan perbuatan dan kemampuan

mewujudnyatakannya).

Konsep-konsep di atas, yakni janji individual dan kewajiban menghindari

kerugian tertentu (to prevent certain kinds of harm), mengimplikasikan bahwa

perjanjian adalah suatu “proses”, yang bermula dari suatu janji menuju kesepakatan

(bebas) dari para pihak dan berakhir dengan pencapaian tujuan: perjanjian yang

tercapai dalam semangat atau jiwa keseimbangan. Dari lingkup suasana hukum

Indonesia dapat dimunculkan “tujuan keempat” dari kontrak, yakni tercapainya

“kepatutan social (sociale gezindheid) dan suatu keseimbangan selaras (kemungkinan

eksistensi imateriil (immateriele zijnsmogelijkheid). Hubungan-hubungan hukum ini

– dengan janji sebagai titik taut – harus dilindungi dari situasi tidak seimbang dan

sebab itu harus dijamin dan dilindungi melalui hukum objektif. Menurut Herlien

Budiono, keseimbangan tersebut secara nyata juga diacu oleh hukum objektif yang

menetapkan – kadang lebih, kadang kurang – apa yang seharusnya menjadi hukum

apabila kita mengikatkan diri dan dalam situasi seperti apa keterikatan muncul. Fakta

inilah yang secara dasariah melindungi kepentingan, baik individu maupun

masyarakat. Soepomo menyatakan bahwa:

“Dalam hal individu satu sama lain menutup perjanjian dan mengikatkan diri pada kontrak jangka pendek maupun jangka panjang, maka hak dan kewajiban yang diturunkan dari hubungan-hubungan hukum tersebut harus dipahami dalam semangat komunal. 12”

Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 313. 12 “Waar individuen door het sluiten van een overeenkomst met elkaar een rechts-betrekking van langeren of korteren duur aanknoopen, worden de uit die rechts-betrekking voor hen voortvloeiende rechten en plichten in communaalen geest verstaan,” Raden Soepomo, dikutip dari Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm. 315.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

21

Suatu perjanjian terwujud karena dikehendaki oleh individu yang

bersangkutan dan mendapat perlindungan hukum objektif. Otonomi para pihak

(partij-autonomie) yang ditempatkan di dalam “semangat komunal’ yang merupakan

“tuntutan lalu lintas hukum” harus dicari dasarnya yang sesuai dengan norma dan

nilai yang diterima oleh masyarakat dan mengandung makna “otonomi” dan

“semangat komunal” tersebut. Di sini kita kembali pada persoalan dasar perihal

kemunculan dari norma-norma tersebut. Bagi masyarakat hukum Indonesia kiranya

jelas bahwa sumber dalam arti asal dan muasal yang harus diterima harus mengalir

dari falsafah Negara Pancasila. Falsafah Negara ini menyatakan bahwa individu dan

masyarakat selaras satu sama lainnya dalam semangat kekeluargaan dan gotong

royong. Karena itu, - pada prinsipnya – dalam konteks semangat ini, individu dan

masyarakat atau kebebasan dan kekuasaan tidak dihadapkan berseberangan satu sama

lainnya, tetapi sejajar dan secara langsung berada dalam keadaan keseimbangan.

Hubungan hukum yang dilandaskan pada janji menemukan dasarnya dalam

kebebasan kehendak yang mengejawantah dalam semangat komunal. Hubungan

antara kepentingan pribadi dan masyarakat yang seyogianya selaras satu sama lain

adalah suatu penilaian yang dari sudut pandang Indonesia merupakan norma. Sebab

itu pula – jika keseimbangan antara kepentingan telah tercapai – akan tercapai

pergeseran atau perpindahan kekayaan yang dapat dijustifikasi serta memunculkan

akibat hukum pengayaan diri yang dapat dibenarkan. Dengan asas rukun, patut atau

pantas, dan laras di dalam hukum adapt dan dalam semangat gotong royong dan

kekeluargaan yang menjadi dasar pengembangan sistem ekonomi Indonesia (Pasal 33

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945), tujuan para pihak dalam hal menciptakan

kontrak tertuju pada akibat hukum perpindahan kekayaan yang dapat dibenarkan

yang sedianya juga menghasilkan keseimbangan antara individu satu sama lain atau

antara individu dan masyarakat.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

22

2.3 Asas Kebebasan Berkontrak 13

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia maupun

ketentuan perundang-undangan lainnya tidak melarang bagi seseorang untuk

membuat perjanjian dengan pihak manapun juga yang dikehendakinya. Undang-

undang hanya menentukan bahwa orang –orang tertentu tidak cakap untuk membuat

perjanjian, yaitu sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 1330 KUHPerdata. Dari

ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak

dengan siapa ia menginginkan untuk membuat perjanjian asalkan pihak tersebut

bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan, menurut Pasal

1331, bila seseorang membuat perjanjian dengan seseorang lain yang menurut

undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka perjanjian itu tetap sah

selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya juga tidak

memberikan larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk

tertentu yang dikehendakinya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian

tertentu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan, misalnya dibuat dalam bentuk

akta autentik (dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang). Misalnya

perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris, atau perjanjian

jual beli tanah harus dibuat dengan akta PPAT. Dengan demikian sepanjang

ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus

dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian

yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau secara tertulis

atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum perjanjian Indonesia yang diatur dalam

Buku III KUHPerdata mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingend,

13 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 46.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

23

mandatory) dan yang opsional (aanvullend, optional) sifatnya. Untuk ketentuan-

ketentuan yang memaksa para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan

membuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian yang mereka

buat. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat opsional

para pihak bebas untuk menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat

dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari

adanya ketentuan-ketentuan yang opsional itu, adalah hanya untuk memberikan

aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para

pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri, agar tidak terjadi

kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud. Bila pada akhirnya

tetap terdapat juga kekosongan aturan untuk suatu hal atau materi yang menyangkut

perjanjian itu, maka adalah kewajiban hakim untuk mengisi kekosongan itu dengan

memberikan aturan yang diciptakannya untuk menjadi acuan yang mengikat bagi

para pihak dalam menyelesaikan masalah yang dipertikaikan.

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi

ruang lingkup sebagai berikut:

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan

dibuatnya.

4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang

bersifat opsional (aanvullend, optional).

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

24

2.4 Hubungan Antara Asas Kebebasan Berkontrak Dengan Asas Keseimbangan

Asas kebebasan berkontrak tidak selalu memuat kebebasan yang tidak ada

batasnya, asas ini juga dibatasi dalam hal pelaksanaannya 14. Indonesia yang memiliki

Pancasila sebagai dasar negara menganut asas keselarasan dan keseimbangan, baik

dalam hidup manusia sebagai pribadi dan dalam hubungan manusia dengan

masyarakat 15. Dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan

diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya,

tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin,

kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap

tidak semena-mena terhadap orang lain 16.

2.5 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Hak Dan Kewajiban

Menurut Herlien Budiono, faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan

hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pada umumnya adalah sebagai

berikut:

2.5.1 Pengharapan yang objektif 17

Syarat “keseimbangan” sebagai “tujuan keempat” dicapai melalui kepatutan

sosial, eksistensi imateriil yang dicapai dalam jiwa keseimbangan. Dalam suatu

perjanjian, kepentingan individu dan masyarakat akan bersamaan dijamin oleh hukum

14 Herlien Budiono, op. cit, hlm. 377. 15 “Bab II dari Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dalam TAP MPR RI No. II/MPR/ 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( Ekaprasetia Pancakarsa), dikutip dari Sutan Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 49. 16 Ibid, hlm. 49. 17 Ibid, hlm. 316.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

25

objektif. Perjanjian yang dari sudut substansi atau maksud dan tujuannya ternyata

bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum batal demi hukum (nietig) dan

pada prinsipnya hal serupa akan berlaku berkenaan dengan perjanjian yang

bertentangan dengan undang-undang; jelas bahwa kepatutan sosial tidak terwujud

melalui perjanjian demikian. Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai

suatu keadaan seimbang yang sebagai sebagai akibat darinya harus memunculkan

pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan, dalam konteks

asas keseimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan keadaan, melainkan lebih

dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal perjanjian dimaksud. Dalam tercipta

atau terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat perilaku

para pihak sendiri ataupun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) perjanjian

atau pelaksanaan perjanjian.

Dalam pembentukan perjanjian, pembentukan kehendak orang yang berbuat

sebagaimana terejawantahkan melalui pembentukan pengharapan mempunyai

peranan penting. Bahkan dapat disimpulkan bahwa walaupun kehendak merupakan

“kehendak subyektif”, namun kehendak ini tidak niscaya merupakan kehendak

dengan maksud-maksud egois.

Dari landas pikiran para pihak dapat diketahui bilakah pengharapan masa

depan bersifat objektif ataukah justru mengandung pengorbanan pihak lawan yang

berakibat sedemikian sehingga pengharapan masa depan tersebut tidak berujung pada

ketidakseimbangan. Pencapaian keadaan seimbang mengimplikasikan, dalam konteks

pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah dirugikannya salah satu

pihak.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

26

2.5.2 Kesetaraan para pihak 18

Dalam perjanjian timbal balik kualitas dari prestasi yang diperjanjikan timbal

balik ditempatkan dalam konteks penilaian subjektif secara bertimbal balik – akan

dijustifikasi oleh tertib hukum. Kendatipun demikian, perjanjian harus segera

“ditolak”, ketika tampak bahwa kedudukan faktual salah satu pihak terhadap pihak

lainnya adalah lebih kuat dan kedudukan tidak seimbang ini dapat mempengaruhi

cakupan muatan isi maupun maksud dan tujuan perjanjian. Akibat ketidaksetaraan

prestasi dalam perjanjian timbal balik ialah ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih

kuat tersebut berpengaruh terhadap perhubungan prestasi satu dengan lainnya, dan hal

mana mengacaukan keseimbangan dalam perjanjian, hal ini bagi pihak yang

dirugikan akan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan

perjanjian. Sepanjang prestasi yang dijanjikan bertimbal balik mengandaikan

kesetaraan, maka bila terjadi ketidakseimbangan, perhatian akan diberikan terhadap

kesetaraan yang terkait pada cara bagaimana perjanjian terbentuk, dan tidak pada

hasil akhir dari prestasi yang ditawarkan secara bertimbal balik.

Faktor-faktor yang dapat mengganggu keseimbangan perjanjian ialah: cara

terbentuk perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara

dan/atau ketidaksetaraan prestasi-prestasi yang dijanjikan timbal balik. Pada

prinsipnya, dengan melandaskan diri pada asas-asas pokok hukum kontrak dan asas

keseimbangan, faktor yang menentukan bukanlah kesetaraan prestasi yang

diperjanjikan, melainkan kesetaraan para pihak, yakni jika keadilan pertukaran

perjanjianlah yang hendak dijunjung tinggi.

18 Ibid, hlm. 318.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

27

2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Hak Dan Kewajiban

Dalam Perjanjian Jual Beli Listrik

Faktor-faktor lainnya mempengaruhi keseimbangan hak dan kewajiban PLN

dan Penjual dalam PPA adalah sebagai berikut:

2.6.1 Peraturan Hukum Dan Perundangan

Isi dari peraturan hukum dan perundangan yang menjadi dasar

dilaksanakannya perjanjian jual beli listrik juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam PPA. Peraturan

hukum dan perundangan yang dimaksud antara lain adalah:

1. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945: PLN sebagai

pemegang amanat yang wajib melakukan penyediaan listrik untuk rakyat

Indonesia. UUD 1945 merupakan salah satu dasar hukum dibuatnya PPA antara

PLN dengan penjual listrik swasta.

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 (”UU No. 15 tahun 1985”) tentang

Ketenagalistrikan yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun

2009 (”UU No. 30 tahun 2009”) merupakan dasar hukum yang digunakan dalam

menyusun PPA generasi pertama (awal 1990-an) dimana dalam payung UU No.

15 tahun 1985 PLN berperan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan

sesuai amanat UU No. 15 tahun 1985 yang berkewajiban untuk menyediakan

tenaga listrik, memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat

dan memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum (Pasal 15 UU No.

15 tahun 1985). Sesuai amanat yang diemban, PLN kemudian mengadakan

perjanjian jual beli listrik dengan penjual listrik swasta dalam PPA.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

28

3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara: PLN

sebagai BUMN apabila suatu saat memperoleh penugasan Pemerintah

(Kewajiban Pelayanan Umum) dan bila dalam menjalankan penugasan tersebut,

PLN menderita kerugian maka Pemerintah memberikan kompensasi untuk

menutup biaya plus margin.

4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Otonomi Daerah: daerah otonom

dapat menyepakati suatu layanan ketenagalistrikan yang berbeda dalam hal

kualitas dan kuantitas layanan serta harga.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan

Pemanfaatan Tenaga Listrik, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan

dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun

tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989

tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik: merupakan peraturan

pelaksanaan dari UU No. 15 tahun 1985.

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.01/2008 tentang Persyaratan dan

Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit

Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara: dukungan pemerintah kepada PLN

yaitu memberikan jaminan dalam hal PLN tidak dapat membayar kewajibannya

kepada kreditur.

7. Peraturan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang berlaku

pada saat tesis ini ditulis: di beberapa draft PPA setelah tahun 2000, terdapat

ketentuan yang mengharuskan Penjual tunduk dan patuh pada Peraturan TKDN

seperti Instruksi Presiden No. 2 tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam

Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Menteri

Perindustrian No. 04/M-IND/PER/1/2009 tentang Pedoman Penggunaan Produksi

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

29

Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Peraturan

Menteri Perindustrian No. 49/M-IND/PER/5/2009 tentang Pedoman Penggunaan

Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan

Menteri Perindustrian No. 102/M-IND/PER/10/2009 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Perindustrian No. 49/M-IND/PER/5/2009 tentang Pedoman

Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

2.6.2 Bentuk Standar Kontrak Baku Dalam Power Purchase Agreement

Seperti yang dijelaskan dalam buku Cheshire, Fifoot and Furmston’s Law Of

Contract 14th edition 19 yaitu tipe transaksi konstruksi akan melibatkan jaringan

kontrak yang rumit. Di tengah akan menjadi kontrak di antara pihak yang melakukan

pengadaan terhadap kontrak (Pemberi Kerja) dan pihak yang akan mengatur

pekerjaan (Kontraktor). Dalam praktek, Kontraktor melakukan lebih sedikit pekerjaan

melainkan mensubkontrakkan kepada sub kontraktor dan sub kontraktor dapat

mensubkontrakkannya lagi ke sub-sub kontraktor lain. Kontrak antara Pemberi Kerja

dengan Kontraktor biasanya mengadopsi bentuk standar kontrak yang dihasilkan oleh

Joint Contract Tribunal (JCT). Bentuk baku ini didesain oleh JCT dengan adil antara

pemberi kerja dan kontraktor agar tercapai kedudukan yang setara.

PPA adalah bagian dari dokumen pengadaan di mana di dalam dokumen

tersebut dijelaskan mengenai garis besar hak dan kewajiban Penjual dan PLN dalam

19 “A typical construction transaction will involve a complex web of contracts. At the centre will be a contract between the person who is procuring the contract (Employer) and the person who will organize the work (the Contractor). In practice the Contractor does little of the work himself but subcontracts it and subcontractors may in turn sub-subcontract. The contract between an Employer and a Contractor will usually employ one of family of standard form contracts produced by the Joint Contracts Tribunal (JCT). These forms are designed by JCT to be fair as between employers and contractors as classes (this is certainly the stated aim of JCT. It is a matter of debate amongst specialist construction lawyers as to whether the aim is achieved). JCT also produce standard forms designed to be used for the contracts between contractors and sub-contractors but in practice these contracts are often on forms drafted by the contractor’s advisors to improve the position of the contractor. In general contractors would tend to be the in stronger position than sub-contractors, though, of course this is not always the case.”, Cheshire, Fifoot and Furmston, Law of Contract, hlm. 24.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

30

PPA 20 yang dibagi dalam empat tahap yaitu tahap conditions precedent, tahap

mobilization, tahap Konstruksi dan tahap Operasional.

Pada tahap conditions precedent, tahap mobilization, tahap Konstruksi dan

tahap Operasional, Penjual memiliki lebih banyak kewajiban daripada PLN.

Sedangkan kewajiban PLN adalah membeli listrik secara eksklusif dan membayar

listrik termasuk pembayaran kapasitas, pembayaran energi dan allowance

menyalakan pembangkit listrik untuk pertama kali.

Standar baku kontrak di mana salah satu pihak – dalam hal ini adalah PLN -

yang menyediakan rancangan perjanjian memiliki kewajiban yang lebih sedikit PLN

20 The parties of the PPA are the Seller and PLN. The PPA relates to the sale and purchase of capacity and energy from the Plant and provides for, amongst others: - Division of the PPA Term into a Preliminary Phase, a Construction Phase and an Operating Phase; - Satisfaction of the Conditions Precedent, including provision of the Performance Security Stage I and Performance Security Stage II (Performance Security), and achieving Financial Close, by the specified Financing Date, including PLN’s unconditional right to call and collect on the Performance Security if the Seller fails to satisfy all Conditions Precedent by their deadlines; - Preliminary Phase obligations of the Seller, include: a. execution of the Project Documents; b. preparation of Preliminary Special Design; c. preparation of the Health and Safety Plan and Environmental Assessment and Management Plan. - Construction Phase obligations of the Seller, include: a. construction of the Plant in accordance with the Minimum Functional Specifications; b. construction of the Interconnection Facilities; c. construction of the Special Facilities; d. energizing, synchronizing, commissioning and testing the Plant; e. implementing the Health and Safety Plan and Environmental Assessment and Management Plan. - Operation Phase obligations of the Seller, include: a. operating and maintaining the Plant; b. complying with Operating and Dispatch Procedure and Rules, and Dispatch Instructions; - Exclusive right of PLN (or its successor) as Buyer to purchase capacity and electrical energy from the Plant throughout the Operating Phase. - Liquidated damages for: a. failure to achieve the Required Commercial Operation Date; b. breach of performance warranties. - Payments to the Seller including: a. Capacity payment; b. Energy payment; c. Start-Up Allowances. - Obligation of the Seller to maintain specified insurances; - Provision for early termination in specified circumstances with buy-out, PT. PLN (Persero) Request For Proposals Bid Document, hlm. I.9-I.10.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

31

hanya wajib untuk membeli listrik dan membayarnya kepada Penjual tepat waktu,

sedangkan Penjual memiliki lebih banyak kewajiban dan tidak sekedar menjual dan

menghasilkan listrik saja tetapi juga mendesain, membangun dan mengkonstruksikan

pembangkit tenaga listrik seperti yang tertera pada PPA21. Namun ada juga bentuk

PPA lainnya yang mewajibkan penjual untuk mendesain dan mengkonstruksikan

pembangkit tenaga listrik 22.

Perjanjian Jual Beli Listrik (PPA) mengatur hak dan kewajiban para pihak

selama masa berlakunya PPA tersebut. Dalam beberapa specimen PPA selama ini,

diatur hak dan kewajiban para pihak seperti Recitals (Pendahuluan), The Project

(Proyek), Definitions (Definisi), The Project (Proyek), Conditions Precedent (Syarat

Tangguh), Implementation of the Project (Pelaksanaan Proyek), Construction of the

Project (Konstruksi Proyek), Start-Up and Commissioning (Start-Up dan

Komisioning), Operation and Maintenance of the Plant (Operasi dan Pemeliharaan

Pembangkit), Sale and Purchase of Energy (Jual Beli Tenaga Listrik), Billing and

Payment (Penagihan dan Pembayaran), Metering (Pengukuran), Covenants

(Kesepakatan-Kesepakatan), Insurance (Asuransi), Indemnification and Liabililty

(Ganti Kerugian dan Tanggung Jawab), Force Majeure (Kejadian Force Majeure),

Termination (Pengakhiran), Representation and Warranties (Pernyataan dan

Jaminan), Settlement of Disputes (Penyelesaian Perselisihan), PLN Project Purchase

Option (Opsi PLN Untuk Membeli Proyek), Assignment (Pengalihan), Monitoring,

Records, Reports, Audit (Pemantauan, Catatan, Laporan, Pemeriksaan) dan

Miscellaneous (Ketentuan Lain-Lain).

21 “WHEREAS, Seller wishes to provide PLN with the supply of electricity power generated or produced from its power plant facility consisting [ ] units, which will be designed, built and constructed pursuant to a certain engineering, procurement and construction contract entered into between Seller and Contractor.”, PPA Executed Copy Specimen, hlm. 1 22 “SELLER wishes to provide PLN with electricity generated by its coal fired power plant facility and consisting of ] MW located at [•], Indonesia [ ] units, having a Net Dependable Capacity of [ which will be designed and constructed pursuant to an engineering, procurement and construction contract entered into between SELLER and the EPC Contractor. “, Ibid, hlm. 1.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

32

Hak dan kewajiban para pihak dalam PPA terbagi dalam empat tahap yaitu:

1. Financing period yaitu periode untuk mencari pembiayaan yang waktunya

dihitung sejak para pihak menandatangani PPA sampai dengan 365 hari.

Periode ini biasa disebut closing period atau financing period.

2. Mobilization period yaitu periode setelah pre-construction period di mana

Penjual melakukan mobilisasi alat dan perlengkapan engineering and

construction, manufacturing dan sebagainya ke lokasi Pembangkit tenaga

listrik. Periode ini memerlukan waktu 90 hari.

3. Construction period yaitu periode setelah mobilization period di mana Penjual

bersama kontraktor dan sub-kontraktor melakukan pembangunan dan

konstruksi pembangkit tenaga listrik. Periode ini memerlukan waktu ± 30

bulan.

4. Operation and maintenance period yaitu periode construction period selesai

dan mencapai Commercial Operation Date23di mana pembangkit telah

mampu menghasilkan listrik dan ini berarti telah sampai pada tahap jual beli

tenaga listrik antara Penjual dan PLN. Periode ini merupakan jangka waktu

perjanjian24 yang berlaku selama 30 tahun sejak Commercial Operation Date.

23 “Commercial Operation Date” shall mean the date on which the Plant has been able to produce the Net Dependable Capacity according to the procedure describe under Appendix J”, Ibid, hlm. 4. 24 “This Agreement shall have a term (the “Term”) commencing on the date this Agreement is executed and delivered by the Parties hereto and expiring 30 (thirty) years as of the Commercial Operation Date, unless earlier terminated in accordance with the terms hereof”, Ibid, hlm. 13.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

33

Penjual memiliki kewajiban dalam financing period, mobilization period dan

construction period dan PLN memiliki kewajiban dalam operation and maintenance

period.

Kewajiban Penjual Selama Financing Period

Pada periode ini, Penjual wajib melaksanakan beberapa kewajiban selama 365

hari agar tercapai Tanggal Penutupan (closing date atau financial closing di beberapa

PPA lainnya), antara lain:

1. Persiapan EPC Contract, Kontrak Pasokan Batubara, pengaturan pembiayaan

dan perjanjian lainnya yang dibuat oleh Penjual sehubungan dengan

perjanjian-perjanjian tersebut 25;

2. Permintaan yang diajukan secara tepat dan benar, serta usaha yang seksama

untuk memperoleh, semua izin, seluruh pembaharauan atas izin-izin tersebut,

dan persetujuan Pemerintah lainnya yang disyaratkan sehubungan dengan

transaksi yang diperlukan dalam Dokumen Proyek dan yang diharuskan atas

nama Penjual 26;

3. Permintaan yang diajukan secara benar, dan usaha yang seksama untuk

memperoleh semua izin kerja, kartu kerja, kartu keluarga, visa dan izin lain

yang disyaratkan bagi semua orang yang terlibat dalam Proyek atas nama atau

berdasarkan kontrak dengan Penjual 27;

25 “The preparation of the EPC Contract, the Coal Supply Contracts, the financing arrangements for the Project and any other agreements to be entered into by SELLER in connection therewith”, Ibid, hlm.14. 26 “The due and proper application for, and diligent effort to obtain, all Consents, all renewals thereof, and any other Governmental Authorizations that are required in connection with the transactions contemplated by the Project Documents and that are required to be in SELLER’s name”, Ibid, hlm.14. 27 “the due and proper application for, and diligent effort to obtain, all work permits, employment passes, dependence’s passes, visas and other permits required for all individuals involved in the Project on behalf of or pursuant to contracts with SELLER”, Ibid, hlm. 15.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

34

4. Memberikan Hak Non Eksklusif bagi PLN sesuai dengan ketentuan dalam

Apendiks T tentang “Site and Easements”28;

5. Mengirimkan kepada PLN dengan segera setelah pelaksanaan dan

mengirimkannya pada saat atau sebelum tanggal Penutupan, salinan-salinan

yang benar dan lengkap (tanpa harga dan tidak termasuk Informasi

Kepemilikan) dari setiap dokumen-dokumen Proyek dan dokumen-dokumen

lain dan perjanjian-perjanjian sebagaimana diuraikan dalam Apendiks D

tentang “Closing Date Documents” (Dokumen Tanggal Penutupan);

6. Penjual akan mengkonsultasikan dan, sesuai dengan cara dan sepanjang

ditentukan dalam Apendiks I tentang, Electrical Interconnection Facilities

And Interconnection Points, sebelum memperoleh persetujuan terlebih dahulu

dari PLN sehubungan dengan, Fasilitas Interkoneksi Tenaga Listrik dan Titik

Interkoneksi 29;

7. Sebelum Tanggal Penutupan, Penjual akan memberitahukan PLN secara

terperinci mengenai status dari masing-masing Dokumen Proyek 30 ;

8. Tidak adanya penelitian atau persetujuan dari PLN mengenai Dokumen

Proyek ataupun setiap perjanjian lain, dokumen, instrument, gambar,

perincian, atau desain yang diusulkan oleh Penjual sehubungan dengan

Proyek tidak akan membebaskan Penjual dari setiap tanggungan yang

28 “making the Non-Exclusive Easement available to PLN in accordance with the provisions of Appendix T “Site and Easements”, Ibid, hlm. 15.

29 “Seller shall consult with and, in the manner and to the extent provided for in Appendix I, obtain the prior approval of, PLN with respect to the Electrical Interconnection Facilities and the Interconnection Points”, Ibid, hlm. 18. 30 “Prior to the Closing Date, SELLER shall advise PLN in reasonable detail as to the status of each of the Project Documents to which it is a party”, Ibid, hlm. 18.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

35

dimilikinya sehubungan dengan atau menurut perjanjian dimaksud, dokumen,

instrument, gambar, perincian atau desain atau kegagalannya untuk tunduk

pada Ketentuan Hukum yang berlaku yang berhubungan, kecuali jika

penelitian atau persetujuan sedemikian merupakan suatu Perizinan Pemerintah

berdasarkan setiap Ketentuan Hukum yang berlaku, begitupun PLN tidak

bertanggung jawab terhadap Penjual atau orang lain berdasarkan alasan

peninjauannya atau persetujuan terhadap suatu perjanjian, dokumen,

perantara, gambar, perincian atau desain. Kecuali seperti diuraikan di sini,

Perjanjian ini tidak akan memberikan suatu hak, keuntungan atau alasan untuk

bertindak dalam bentuk apapun yang menguntungkan terhadap pihak ketiga 31;

9. Masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengakhiri Perjanjian ini dengan

memberikan pemberitahuan tertulis kepada pihak lainnya jika ada persyaratan

untuk Tanggal Penutupan belum terpenuhi dalam waktu 365 hari atau 18

bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian ini, kecuali jika pemenuhan

persyaratan dimaksud merupakan hal yang dikendalikan oleh Pihak yang

bersangkutan. Setelah memberikan Pemberitahuan Pengakhiran, Perjanjian ini

akan berakhir pada tanggal yang ditentukan untuk pengakhiran tersebut dalam

pemberitahuan dimaksud tanpa adanya tanggung jawab dari salah satu Pihak

kepada Pihak lainnya32;

31 “No review or approval by PLN of the Project Documents or any other agreement, document, instrument, drawing, specification or design proposed by SELLER concerning the Project shall relieve SELLER from any liability that it would otherwise have had in respect of or under such agreement, document, instrument, drawing, specification or design or failure to comply with applicable Legal Requirements with respect thereto, nor shall PLN or any of its representatives or advisers be liable to SELLER or any other Person by reason of its review or approval of an agreement, document, instrument, drawing, specification, or design.”, Ibid, hlm. 18. 32 “Either Party has the right to terminate this Agreement by giving written notice of such termination to the other Party if any condition to the Closing Date has not been fulfilled within 365 (three hundred sixty five) days/18 (eighteen) months as of the signing date of this Agreement, unless the fulfillment of such condition is within the control of such Party. Upon the giving of a Termination Notice under this Section 15.2.1, this Agreement shall terminate on the date specified for termination in such notice without liability of either Party to the other, Ibid, hlm. 69.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

36

10. Pernyataan dan Jaminan dari Penjual yang dimuat atau disebut adalah benar

dan tepat dalam segala perihal pokok pada dan sejak Tanggal Penutupan

dengan kekuatan yang sama seperti dibuat pada dan sejak Tanggal Penutupan

suatu keterangan tentang perihal tersebut ditandatangani oleh seorang pejabat

yang berwenang dari Pihak lainnya 33;

11. Penjual akan menyerahkan kepada PLN: (i) sertifikat yang dikeluarkan oleh

Bank yang menyatakan bahwa pinjaman untuk membiayai Proyek telah

disetujui dan telah tersedia dan (ii) sertifikat yang menyatakan bahwa Kontrak

EPC yang ditandatangani oleh Penjual dan Kontraktor telah berlaku efektif 34;

12. Masing-masing dari Para Pihak telah menerima dari Pihak lainnya pendapat

dari segi hukum dari konsultan hukum independent dalam bentuk dan

substansi sebagaimana yang diatur dalam PPA 35.

Kewajiban PLN selama Financing Period

Sedangkan kewajiban PLN dalam periode ini tidak sebanyak kewajiban

Penjual yaitu antara lain:

1. PLN menerbitkan Pendapat Dari Segi Hukum yang diterbitkan oleh penasihat

hukum yang independent, dengan bentuk yang tertera dalam Jadual 2 36;

33 “The Representations and Warranties of SELLER contained or incorporated by reference herein shall be true and correct in all material respects on and as of the Closing Date with the same force as though made on and as of the Closing Date and each Party shall have received on the Closing Date a certificate to the foregoing effect signed by a duly authorized officer of the other Party”, Ibid, hlm. 14. 34 “Seller shall deliver to PLN: (i) certificate issued by Bank stating that loan for the financing of the Project has been approved and available and (ii) a certificate of the effectiveness of the EPC Contract signed by Seller and Contractor”, Ibid, hlm. 14. 35 “Each of the Parties shall have received from the other Party a legal opinion from independent counsel in the form substantially set forth in this PPA”, Ibid, hlm. 14.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

37

2. Pernyataan dan Jaminan dari PLN yang dimuat atau disebut adalah benar dan

tepat dalam segala perihal pokok pada dan sejak Tanggal Penutupan dengan

kekuatan yang sama seperti dibuat pada dan sejak Tanggal Penutupan suatu

keterangan tentang perihal tersebut ditandatangani oleh seorang pejabat yang

berwenang dari Pihak lainnya 37;

3. PLN bertangung jawab untuk bekerjasama dan dengan secara wajar

membantu Penjual dalam mengidentifikasi permintaan dari Penjual dan

mengajukan serta mendukung permintaan tersebut, termasuk dalam proses

persiapannya, sehingga dapat mempercepat pemberian pertimbangan oleh

Intansi Pemerintah Republik Indonesia yang terkait mengenai hal tersebut,

dengan ketentuan permintaan tersebut sessuai dengan semua Ketentuan

Hukum yang berlaku dan persyaratan setiap Dokumen Proyek dalam

hubungan mana permintaan tersebut diajukan 38;

4. PLN bertanggung jawab untuk mengajukan permintaan yang benar, dan

melakukan upaya yang sebenarnya untuk memperoleh semua izin,

pembaharuan izin dan semua perizinan pemerintah Republik Indonesia

lainnya yang diharuskan atas nama PLN, jika ada, sehubungan dengan

transaksi yang diperlukan dalam Perjanjian ini 39;

36 “The Legal Opinion issued by PLN’s independent legal counsel, in the form set forth in Schedule 2 to the Agreement, Ibid. hlm. D-2. 37 “The Representations and Warranties of PLN contained or incorporated by reference herein shall be true and correct in all material respects on and as of the Closing Date with the same force as though made on and as of the Closing Date and each Party shall have received on the Closing Date a certificate to the foregoing effect signed by a duly authorized officer of the other Party”, Ibid, hlm. 14. 38 “PLN shall be responsible for Cooperating and assisting SELLER in the identification of the applications of SELLER and promoting and supporting such applications, including in the preparation thereof, so as to expedite the consideration thereof by the appropriate Governmental Instrumentality of the Republic of Indonesia, provided that such applications are in compliance with all applicable Legal Requirements and the terms and conditions of each Project Documents in connection with which such application is made”, Ibid, hlm. 17. 39 “PLN shall be responsible for the due and proper application for, and diligent effort to obtain, all Consents, all renewals thereof, and, any other Governmental Authorizations of the Republic of Indonesia that are required to be in PLN’s name, if any, in connection with the transactions contemplated by this Agreement:, Ibid, hlm. 17.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

38

5. PLN bertanggung jawab untuk sesuai dengan permohonan yang wajar oleh

Penjual, untuk membicarakan Proyek dan memberikan keterangan yang

tersedia secara umum tentang PLN kepada pihak lain yang menyediakan

pembiayaan kepada Proyek, asalkan dalam setiap hal, PLN tidak diharuskan,

baik sendiri atau atas nama badan lain membuat pernyataan 40;

Kewajiban Penjual Selama Mobilization Period

Setelah Penjual dan PLN berhasil memenuhi kewajiban selama conditions

precedent, sebelum memasuki tahap konstruksi, maka terlebih dahulu Penjual harus

mempersiapkan peralatan, bahan bakar dan sebagainya untuk memulai tahap

konstruksi seperti yang disebutkan di bawah ini, antara lain:

1. Penjual bertanggung jawab untuk pengaturan desain, rancang bangun,

konstruksi dari Proyek sesuai denagn parameter desain dan peralatan

sebagaimana disebutkan di dalam Apendiks A tentang “Project Description

and Design Conditions” dan Apendiks B tentang “Technical Limits”,

pengaturan untuk pembiayaan Proyek, dan untuk operasi dan pemeliharaan

Pembangkit, yang masing-masing tunduk pada Ketentuan Hukum yang

berlaku, dengan menggunakan pertimbangan bisnis yang wajar dan bijaksana

atas seluruh kontrak yang dibuat oleh dan atas nama Penjual berkaitan dengan

kegiatan di atas 41;

40 “PLN shall be responsible for as reasonably requested by SELLER, discussing the Project with and providing publicly available information about PLN to any other party providing financing for the Project, provided, in any event, that PLN shall not be required itself or on behalf of any other entity to make any representations or undertakings in connection with any such discussion or in connection with any financing arrangement (other than its representations contained in Section 16.2 hereof in connection with an assignment of this Agreement to such other party pursuant to Article 19 hereof)”, Ibid, hlm. 17. 41 “SELLER shall arranging for the design, engineering, supply and construction of the Project in accordance with the design and equipment parameters set forth in Appendices A and B, for the financing of the Project, and for operation and maintenance of the Plant, in each case in accordance with applicable Legal Requirements, and using reasonable and prudent business judgment, all contracts entered into by and on behalf of SELLER providing for any of the foregoing”, Ibid. hlm 14.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

39

2. Penjual bertanggung jawab untuk melakukan semua tindakan yang wajar dan

secara kebiasaan, sesuai dengan kemampuannya, yang diperlukan untuk

menjamin keamanan Lokasi 42;

3. Penjual bertanggung jawab untuk menyerahkan kepada PLN pada saat atau

sebelum tanggal Perjanjian ini ditandatangani dan diserahkan oleh Para Pihak,

sebuah Bank Garansi dalam jumlah ----Rupiah/Dollar Amerika Serikat

berdasarkan syarat-syarat dan dalam bentuk sebagaimana yang diatur dalam

Jadwal ---Perjanjian ini, yang harus tetap berlaku dan mempunyai efek yang

penuh mana yang terjadi lebih dahulu (i) Tanggal Operasi Komersial, atau (ii)

tiga puluh (30) hari setelah tanggal yang disebutkan dalam pemberitahuan

pengakhiran yang dikeluarkan oleh PLN kepada Penjual berdasarkan Pasal

15.2.1 setelah tidak dipenuhinya syarat-syarat Tanggal Penutupan atau

disebabkan karena terjadinya Kesalahan Penjual yang Tidak Dapat Diperbaiki

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 15.1.2 43.

Pada tahap ini, yang mempunyai kewajiban hanyalah Penjual. PLN tidak

memiliki kewajiban apa-apa.

Kewajiban Penjual Selama Construction Period

Setelah Penjual selesai mempersiapkan peralatan, bahan bakar dan sebagainya

pada periode mobilisasi, maka kemudian Penjual akan memasuki construction period

/periode konstruksi dengan kewajiban-kewajiban, antara lain:

42 “SELLER shall make the provision of all reasonable and customary measures within its control required to ensure the protection and security of the Site”, Ibid. hlm. 15. 43 “SELLER shall delivery to PLN on or prior to the date this Agreement is executed and delivered by the Parties hereto, a Performance Security Stage I in the amount of ---- Rupiah/United States Dolllars (Rp/US$. ----), under the conditions and in the form set forth in Schedule -- to the Agreement, which shall remain valid and in full force and effect until the earlier to occur of (1) the Commercial Operation Date; or (2) thirty (30) days after the date specified in the notice of termination issued by PLN to SELLER following non fulfillment of the conditions to Closing Date as specified in Section 15.2.1 or due to a SELLER Non-Remediable Event as specified in Section 15.1.2”, Ibid. hlm. 16.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

40

1. Penjual akan merancang-bangun, mendesain dan membangun Proyek dalam

segala aspek sesuai dengan batasan desain dan perlengkapan sebagaimana

ditentukan dalam Apendiks A tentang “Project Description and Design

Conditions” dan Apendiks B tentang “Technical Limits”. Setiap perselisihan

mengenai penundukan terhadap kewajiban yang dimaksud di atas akan

diserahkan kepada seorang ahli (Refer to Expert) 44;

2. Penjual akan melaksanakan Proyek dengan seksama dan dengan maksud

untuk memenuhi Jadwal Kegiatan Penting. Penjual akan memberitahu PLN

secepat mungkin tentang setiap penyimpangan material dari Jadwal Kegiatan

Penting 45;

3. Penjual akan bertanggung jawab untuk memperoleh hak, kewenangan dan

kepentingan di dalam area proyek melalui sewa yang mengacu kepada Land

Lease Agreement ;46

4. Penjual pada atau sebelum Tanggal Operasi Komersial, akan menyerahkan

kepada PLN salinan dari semua perizinan pemerintah yang telah diberikan

kepada Penjual sebelum tanggal tersebut tetapi belum disampaikan kepada

PLN; 47

5. Di Lokasi, Penjual harus memperoleh dan memiliki:

44 “SELLER shall engineer, design and construct the Project in all material respects in accordance with the design and equipment parameters set forth in Appendices A and B. Any dispute regarding compliance with the foregoing obligation shall be referred pursuant to Article 17 hereof”, Ibid hlm. 19. 45 “SELLER shall implement the Project with the intention of satisfying the Milestone Schedule. SELLER shall promptly inform PLN of any material deviations from the Milestone Schedule”, Ibid, hlm. 19. 48 “SELLER shall be responsible for acquiring the necessary rights, title and interests in the land area required for the Site by way of lease pursuant to the Land Lease Agreement or otherwise”, Ibid. hlm. T-1. 47 “SELLER shall, on or before the Commercial Operation Date, deliver to PLN copies of all Governmental Authorisations that have been issued to SELLER prior to such date and not previously delivered to PLN”, Ibid hlm. 20.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

41

Semua salinan peralatan yang berkaitan dengan pembangkit yang diuraikan dalam

Appendiks A, semua salinan spesifikasi dan buku manual peralatan;

Semua salinan hasil pengujian atas pengujian yang dilakukan atas Pembangkit

sesuai dengan Kontrak EPC dan semua bagian dari peralatan terpasang pada

Pembangkit;

Gambar-gambar atas semua pekerjaan mengenai Pembangkit, termasuk gambar

untuk pekerjaan sipil dan arsitektur;

Semua dokumen teknis yang rinci mengenai desain, rancang, bangun dan

konstruksi dari Proyek, sepanjang hal itu memang secara normal dibutuhkan Good

Utility Practice.

6. Dalam hal seluruh atau salah satu Pihak di mana Pembangkit harus diserahkan

kepada PLN, semua informasi atau informasi serupa lainnya yang merupakan

milik Penjual yang ada hubungannya dengan Pembangkit atau bagian dari

Pembangkit, termasuk Informasi Hak Milik (sehubungan dengan ketentuan

dalam Pasal 21.3) harus disediakan untuk PLN, namun sepanjang Informasi

tersebut sah secara hukum dapat disediakan kepada PLN48.

48 “SELLER shall obtain and retain at the Site: for all items of equipment incorporated into the Plant and identified in Appendix A, copies of the specifications and operation manuals for such equipment;

(a) copies of all test result for tests performed in accordance with the EPC Contract on the

Plant and for all items of equipment incorporated into the Plant and identified in Appendix A, to the extent such items are normally retained in accordance with Good Utility Practice;

(b) as-built drawings for the Plant, including the civil and architectural works; and (c) all detailed technical documents related to the design, engineering and construction of the

Project, to the extent that such items are normally retained in accordance with Good Utility Practice.

In the event that all or any party of the Plant should be transferred to PLN, all of the foregoing information and any other similar information in the possession of SELLER pertaining to the Plant or such part thereof, including Proprietary Information (subject to the provisions of Section 21.3) shall be provided to PLN, but only to the extent such information can be legally provided.”, Ibid, hlm. 20.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.

Universitas Indonesia

42

7. Penjual harus mendesain, mengkonstruksi, memasang, melakukan

commission, mengoperasikan dan memelihara Titik Interkoneksi dan Fasilitas

Interkoneksi Tenaga Listrik 49;

49 “SELLER shall design, construct, install, commission, operate and maintain the Interconnection Points and the Electrical Interconnection Facilities”, Ibid, hlm. 20-21.

Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.