bab 2 landasan teori - library & knowledge...
TRANSCRIPT
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Cognitive Load
Cognitive load, pertama kali dikemukakan oleh Sweller (1988), merujuk pada
konsep tentang beban pada memori kerja (working memory) dalam proses penyelesaian
masalah (problem solving), berpikir, dan pendayagunaan pikiran lain (termasuk persepsi,
memori, bahasa, dan lain sebagainya). Pengertian yang lebih umum dari definisi teknis
tersebut disampaikan oleh Adcock (2000) sebagai jumlah sumber daya mental yang
diperlukan untuk memproses informasi (amount of mental resources necessary for
information processing). Kedua pengertian tersebut memberi gambaran jelas kaitan
cognitive load dengan kemampuan individu memproses informasi.
Sejak diusulkan oleh Sweller dalam domain proses pembelajaran (learning
process), teori cognitive load telah menarik perhatian banyak peneliti. Perhatian antara
lain ditujukan pada usaha meminimalisir cognitive load demi tercapainya proses belajar
yang optimum, misalnya dalam Quiroga et al. (2004) dan Paas et al. (2003).
Fokus peneliti pada domain proses pembelajaran tersebut tidak lepas dari
pengaruh cognitive load yang terindikasi menurunkan performansi individu dalam
melakukan suatu tugas. Mengutip Barrouilet et al. (2007), performansi individu akan
menurun seiring peningkatan beban memori konkuren, dan peningkatan apapun dari
kesulitan proses akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek
(Anderson et al., 1996; Case et al., 1982; Conway & Engle, 1994; Daneman &
Carpenter, 1980; Just & Carpenter, 1992).
9
Selain dalam proses pembelajaran, teori cognitive load terbukti pula menarik
perhatian peneliti di bidang lain. Dewitte et al. (2005), meneliti pengaruh cognitive load
pada keputusan konsumen dalam memilih barang. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan cognitive load memberi efek negatif kepada keputusan konsumen dalam
memilih barang. Lebih dari itu, Dewitte et al. menunjukkan pula, berlawanan dengan
pendapat umum, pengaruh cognitive load dalam pengambilan keputusan ternyata tetap
nyata sekalipun sumber cognitive load itu telah dihilangkan. Dewitte et al.
mengistilahkan hal ini sebagai negative after-effects.
Penelitian lain berbasis teori cognitive load mengambil domain yang cukup unik,
teori evolusi. DeSteno et al. (2002) menggunakan manipulasi cognitive load untuk
menguji asal perbedaan pria dan perempuan dalam merespon ketidaksetiaan (infidelity).
Ia menghipotesiskan bila perbedaan respon adalah hasil evolusi, maka tentulah proses
tersebut bersifat otomatis, dan dengan demikian manipulasi cognitive load tidak akan
mempengaruhinya.
Hipotesis tersebut dibantah oleh Barret et al. (2006). Barret menilai hipotesis
DeSteno salah karena dua alasan, pertama mungkin sekali cognitive load justru
mempengaruhi mekanisme yang terlibat dalam persepsi atas ketidaksetiaan sehingga
mengurangi keefektifan manipulasi cognitive load dalam menguji teori evolusi. Kedua,
Barret menilai DeSteno membuat asumsi terlalu jauh dengan menyatakan mekanisme
cemburu (jealousy mechanisms) sebagai sesuatu yang otomatis.
Lepas dari beberapa isu teoritis yang masih tersisa, konsensus yang ada jelas
mendukung pendapat pengaruh negatif cognitive load atas performansi individu
melakukan suatu tugas (Barrouilet et al., 2007). Fenomena yang disebabkan keterbatasan
kapasitas working memory ini disebut dengan memory-performance trade-off. Apabila
10 memori kerja terokupasi dengan kompleksitas tugas yang tinggi, kemampuannya untuk
melakukan pemrosesan informasi akan menurun. Mengingat teori cognitive load terkait
erat dengan teori tentang arsitektur memori manusia, dalam tulisan ini penulis akan
menyertakan pula beberapa konsep tentang memori.
2.2. Memori
2.2.1. Teori Tingkatan Memori (Stage Theory of Memory)
Memori manusia, seperti diusulkan dalam teori Tingkatan Memori atau Stage
Theory of Memory (Atkinson&Shiffrin, 1968; Baddeley, 1999), terdiri dari tiga tingkat
(stages). Tiga tingkat ini masing-masing berguna untuk memenuhi kebutuhan individu
akan penyimpanan informasi dengan jangka waktu yang berbeda-beda.
Tingkat pertama dari memori adalah sensory register. Seperti namanya, tingkat
memori ini memiliki fungsi untuk merekam stimuli secara persis sama dengan yang
diterima oleh panca indra. Kapasitas sensory register tidak besar, dan waktu
penyimpanannya pun tidak lama. Seperti dikutip oleh Lahey (2007), untuk informasi
visual, sensory register menyimpan informasi kira-kira seperempat detik. Sedangkan
untuk stimuli audio, ingatan jelas tentang bunyi bersangkutan, sama dengan informasi
visual, hanya terekam selama seperempat detik (Cowan, 1987), sementara untuk ingatan
yang lebih samar-samar dapat bertahan hingga 4 detik (Tarpy&Mayer, 1978). Meskipun
kapasitasnya kecil, dan waktu penyimpanannya singkat, sensory register benar-benar
menyimpan suatu pengalaman sensoris sama seperti aslinya (Sperling, 1960)
Tingkat memori kedua adalah memori jangka pendek (STM atau Short-Term
Memory). Ketika satu bit atau potongan informasi terpilih untuk diproses lebih jauh,
11 informasi tersebut ditransfer dari sensory-register ke dalam memori jangka pendek.
Sekurangnya terdapat dua proses yang berperan dalam pengolahan informasi pada
tingkat short-term memory, yaitu rehearsal dan chunking.
Rehearsal adalah proses yang berguna untuk mengatasi keterbatasan short-term
memory yang hanya mampu menyimpan informasi dalam jangka waktu pendek.
Menurut Ellis & Hunt (1993), informasi pada short-term memory secara umum bertahan
kurang dari 30 detik. Dalam beberapa kasus, jangka waktu penyimpanan ini bahkan
berkurang hingga hanya menjadi beberapa detik.
Untuk mengatasi keterbatasan waktu penyimpanan tersebut, individu dapat
mengakalinya dengan secara mental mengulang informasi yang telah diberikan.
Pengulangan mental (mental repetition) ini disebut rehearsal. Dengan melakukan
pengulangan mental atas suatu informasi, informasi tersebut senantiasa diperbarui
(renewed) di dalam short-term memory dan dapat memiliki waktu penyimpanan yang
lebih panjang.
Pada konteks penelitian ini, bagian pola yang telah berhasil dihapal oleh
partisipan akan disimpan dalam short-term memory. Partisipan, meskipun mungkin tidak
sadar, akan terus melakukan perulangan mental atas pola yang telah dihapalnya, dalam
hal ini partisipan melakukan rehearsal. Apabila rehearsal tidak dilakukan, tidak akan
ada pola yang berhasil diingat karena akan terus-menerus terjadi kehilangan informasi
(lupa). Bagaimanapun, sekalipun dilakukan rehearsal terus-menerus, ada karakteristik
lain dari short-term memory yang mempersulit partisipan dalam menghapal pola,
keterbatasan kapasitas.
Seperti dikemukakan oleh George Miller (1956), kemampuan short-term memory
dalam menyimpan informasi sangat terbatas. Ia mengusulkan magic number seven plus
12 or minus two untuk menggambarkan keterbatasan itu. Dengan kata lain, Miller
mengusulkan bahwa short-term memory hanya dapat menyimpan lima hingga sembilan
unit informasi pada saat yang bersamaan.
Seperti pada rehearsal yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu
penyimpanan, keterbatasan kapasitas short-term memory dapat pula diatasi, kali ini
dengan chunking. George Miller menyebut satu unit informasi sebagai chunk. Perlu
diperhatikan secara khusus bahwa Miller tidak menyatakan individu hanya dapat
menyimpan lima hingga sembilan “hal” ataupun “digit”. Ia menyatakan bahwa
keterbatasan itu adalah lima hingga sembilan “unit informasi”.
Individu dapat menyimpan lebih banyak informasi dalam short-term memory-
nya dengan melakukan chunking, atau membentuk konsep yang tepat sehingga lebih
banyak informasi yang dapat ditampung dalam satu chunk. Sebagai contoh, untuk
menghapal nomor telepon, misalnya 08176543789, individu umumnya akan memecah
nomor tersebut ke dalam setidaknya tiga chunk. Teknik chunking untuk tiap individu
tentu berbeda, namun dalam contoh ini, kita andaikan individu memutuskan chunk
pertama dikonsepkan sebagai “XL”. Chunk kedua dikonsepkan sebagai “urut mundur
dari 6 sampai 3”. Chunk ketiga dikonsepkan sebagai “urut naik dari 7”.
Individu yang melakukan chunking demikian akan lebih cepat mengingat digit-
digit nomor telepon tersebut. Selain lebih cepat, nomor yang telah diingat akan
tersimpan lebih lama, serta dapat pula mengingat nomor yang lebih panjang selama
individu bersangkutan dapat menyusun konsep chunking atas informasi yang ada. Pada
penelitian ini, dimana panjang pola terpanjang adalah 9, individu secara tidak langsung
diharuskan melakukan chunking. Tanpa membentuk konsep chunk, sangat sulit bagi
partisipan dalam eksperimen ini untuk menghapal pola-pola yang diberikan.
13
Aspek penting lain dari short-term memory, selain keterbatasan durasi
penyimpanan dan kapasitasnya, adalah perannya sebagai memori kerja atau working
memory (Baddeley, 1992; 1999). Baddeley mendefinisikan working memory sebagai,
a brain sistem that provides temporary storage and manipulation of the information necessary for such complex cognitive tasks such as language comprehension, learning and reasoning. Dalam konteks working memory, short-term memory berperan sebagai tempat
penampung sementara ketika informasi di-retrieve dari long-term memory untuk
digunakan ataupun diperbarui (updated).
Penelitian dan analisis statistik oleh Oberauer et al. (2005) menunjukkan
kapasitas working memory berkorelasi positif dengan kecerdasan umum dan juga
kemampuan mendayagunakan pikiran (reasoning ability). Dalam tataran konsep,
Oberauer menyarankan kapasitas working memory sebagai salah satu faktor penyusun
kemampuan intelektual individu, sekaligus penduga yang baik bagi kecerdasan umum
dan kemampuan mendayagunakan pikiran (reasoning ability).
Tingkat ketiga adalah memori jangka panjang atau long-term memory, disingkat
LTM. Long-term memory berperan sebagai gudang untuk menyimpan informasi dalam
jangka waktu yang lama. Seperti ditulis oleh Lahey (2007), sekurangnya ada empat
perbedaan antara long-term memory dengan short-term memory.
Pertama, dalam hal retrieval informasi. Pada short-term memory, informasi di-
recall menggunakan total scanning, atau menelusuri keseluruhan informasi yang ada.
Sebaliknya pada long-term memory, karena kapasitasnya yang besar, total scanning
tidak mungkin dilakukan. Penyimpanan dan retrieval informasi pada long-term memory
dengan demikian menggunakan strategi yang lain, disebut indexing. Pada strategi ini,
14 retrieval informasi memerlukan petunjuk (cues), dalam rupa pertanyaan, ataupun hal
lain yang berkaitan dengan informasi yang akan di-retrieve.
Kedua, dalam hal jenis informasi yang paling mudah disimpan. Short-term
memory lebih mudah menyimpan informasi terkait fisik atau bersifat sensori (apa yang
kita lihat, dengar, sentuh, lakukan, kecap, dan lain-lain). Long-term memory di sisi lain,
lebih mudah menyimpan informasi dalam bentuk arti-nya, disebut dengan semantic
codes (Cowan, 1988).
Ketiga, dalam hal mekanisme terjadinya kegagalan mengingat informasi. Seperti
telah dijelaskan di atas, short-term memory terbatas dalam kapasitas dan durasinya
menyimpan informasi. Kegagalan mengingat informasi yang tersimpan dalam short-
term memory lebih cenderung disebabkan tidak dilakukannya rehearsal ataupun
informasi tersebut tidak diproses dalam waktu yang lama. Long-term memory pada sisi
lain, selain kapasitasnya yang lebih besar, juga diyakini menyimpan informasi secara
permanen. Dengan demikian, menurut Baddeley (1999), apabila terjadi kegagalan
mengingat informasi yang tersimpan pada long-term memory, hal itu bukan disebabkan
informasi tersebut telah terhapus, namun karena ada hal yang menghambat atau
menghalangi individu dalam mengingatnya.
Keempat, perbedaan pada bagian otak yang menangani masing-masing tingkat
memori. Short-term memory ditangani secara khusus oleh frontal lobes dari cerebral
cortex (Buckner & Barch, 1999; Fuster, 1995; Williams & Goldman-Rakic, 1995).
Untuk penyimpanan informasi pada long-term memory, otak akan mengintegrasikan
informasi pada hippocampus, kemudian memindahkannya ke cerebral cortex yang
berperan dalam kemampuan linguistic dan persepsi untuk penyimpanan permanen
(Nadel & Jacobs, 1998).
15 2.2.2. Model Tingkat Pemrosesan Informasi (Levels of Processing Model)
Alternatif lain dari Stage Theory of Memory adalah Levels of Processing Theory.
Teori ini diusulkan oleh Fergus Craik dan Robert Lockhart (1972). Perbedaan
fundamental antara kedua teori memori tersebut ada pada caranya memandang short-
term dan long-term memory.
Levels of Processing Model memandang short-term dan long-term memory
sebagai satu kesatuan yang berbeda hanya dalam skala pemrosesan, dan bukan
merupakan dua tingkat yang benar-benar terpisah. Secara singkat Craik & Lockhart
meyakini pada hakikatnya hanya ada satu bagian memori lagi setelah sensory register.
Jangka waktu penyimpanan informasi, menurut mereka, bukan ditentukan oleh
tempat penyimpanannya (short-term ataupun long-term memory), namun oleh seberapa
baik informasi diproses bersamaan dengan proses encoding-nya pada memori. Informasi
akan tersimpan lebih lama dan lebih permanen apabila individu memproses informasi
tersebut pada tingkat yang lebih dalam (deeper level).
Berdasarkan argumen tersebut, Craik & Lockhart menyatakan perbedaan short-
term dan long-term memory yang dinyatakan oleh Stage Theory of Memory bukanlah
berasal dari dua tingkat memori yang berbeda prinsip kerja, namun lebih disebabkan
perbedaan kedalaman pemrosesan informasi. Lebih lanjut, Levels of Processing Model
menghipotesiskan tingkat pemrosesan informasi dari dangkal (shallow) hingga dalam
(deep) bukanlah suatu tingkat yang diskrit, namun kontinu.
Perbedaan antara pemrosesan dangkal dan dalam, menurut Ellis (1987),
cenderung kepada bagaimana informasi di-encode dalam memori. Pemrosesan dangkal
menyimpan informasi dalam bentuk persepsi superficial-nya (superficial perceptual).
16 Pemrosesan dalam, di sisi lain, menyimpan informasi dalam bentuk arti atau maknanya
(semantic encoding).
Pemrosesan dalam melibatkan pula informasi yang telah lebih dulu tersimpan
dalam memori. Proses ini, yang disebut elaboration, membangun asosiasi-asosiasi yang
menghubungkan informasi baru dengan informasi yang telah ada. Sesuai dengan model
associative network, asosiasi-asosiasi ini sangat diperlukan apabila individu hendak me-
retrieve ataupun menggunakan informasi yang telah tersimpan sebelumnya.
Hal menarik lainnya tentang pemrosesan tingkat dalam adalah bahwa informasi
superficial pun dapat diolah secara dalam. Penelitian oleh Symons&Johnson (1997),
menunjukkan elaboration dapat dilakukan lebih baik dengan mencari kaitan informasi
baru dengan informasi tentang diri kita. Hal ini terjadi karena informasi tentang diri
sendiri adalah salah satu informasi yang paling terelaborasi dan paling mudah diakses
dari memori (dikutip dari Lahey, 2007).
Dalam eksperimen ini, teori cognitive load dan arsitektur memori sangat
membantu untuk memahami bagaimana manipulasi panjang pola dan kompleksitas tugas
mempengaruhi kecepatan partisipan mengenali pola yang diberikan. Namun, teori-teori
tersebut tidaklah cukup untuk menerangkan alasan penulis menggunakan beberapa data
control atas partisipan.
Penelitian ini, selain bertujuan mengkonfirmasi pengaruh cognitive load bagi
kemampuan partisipan mengenali pola stimuli visual, memiliki pula tujuan minor lain.
Tujuan minor tersebut ditujukan untuk mengetahui bagaimana cognitive load memberi
pengaruh berbeda ke tiap individu. Dalam psikologi, perbedaan individu tersebut dikenal
sebagai individual differences. Tiga data control akan digunakan sebagai representasi
17 dua individual differences yang menjadi fokus peneliti, kecerdasan dan keyakinan
berlebih (overconfidence tendency).
2.3. Kecerdasan (Intelligence)
Kecerdasan barangkali salah satu konsep paling menarik sekaligus paling
mengundang perdebatan dalam psikologi. David Myers (1998), menuliskan kegamangan
memandang konsep kecerdasan ini dalam kalimat, “intelligence is one of psychology’s
slippery concepts.” (p. 336). Benjamin Lahey (2007), menggambarkannya dalam
kalimat, “after nearly 100 years of scrutiny, however, psychologists still cannot agree on
several basic issues.” (p. 291)
Pada sub-bab tentang konsep kecerdasan ini, penulis akan memfokuskan
penjelasan pada tiga hal yang melatarbelakangi penggunaan data control IPK dan jenis
kelamin. Tiga konsep yang akan digali lebih dalam adalah (1) Nilai Tes Kecerdasan dan
Prestasi Akademis, (2) Kecerdasan dan Kecepatan Memproses Informasi, serta (3) Jenis
kelamin dan Perbedaan Kecerdasan.
2.3.1. Nilai Tes Kecerdasan dan Prestasi Akademis
Pada awal sub-bab tentang pengukuran kecerdasan, Myers (1998) menulis ulang
kata-kata James Baldwin berikut, “people are trapped in history and history is trapped
in them.” Bukan tanpa alasan Myers menulis demikian, sejarah menunjukkan berbagai
miskonsepsi telah mengaburkan tujuan sebenarnya dari penyusunan tes kecerdasan.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan konsep yang jelas dan tidak bias tentang tes
kecerdasan, seperti diusulkan Myers, ada baiknya sejarah panjang usaha manusia
menyusun tes kecerdasan disertakan dalam pembahasan.
18
Sir Francis Galton (1822-1911) adalah individu yang diyakini sebagai yang
pertama kali mencetuskan ide tentang kemungkinan mengukur kemampuan mental
manusia secara kuantitatif. Ia adalah saudara sepupu Charles Darwin. Ketika Darwin
mengeluarkan teori evolusinya tentang seleksi alam, Galton melihat kemungkinan untuk
menyusun sebuah tes untuk mengukur manusia, dan berdasarkan nilai tes tersebut,
memilih individu yang cukup superior dan pantas bereproduksi (dikutip dari Myers,
1998).
Meskipun gagasan tersebut, untuk masa sekarang, terkesan rasis atau bahkan
chauvinistic, Galton benar-benar memandangnya secara serius. Pada tahun 1869, ia
mengusulkan gagasan hubungan ukuran kepala dengan kegeniusan. 15 tahun setelah
keluarnya buku tersebut, kesempatan datang bagi Galton untuk membuktikan teorinya.
Pada sebuah pameran, ia mengukur lebih dari 10.000 orang dan menilai
kemampuan mental (kecerdasan) mereka berdasarkan berbagai hal, antara lain waktu
respon, kesensitifan panca indra, kekuatan otot, hingga proporsionalitas tubuh. Hasil
yang didapat mengecewakan Galton, semua parameter tersebut tidak memberikan hasil
yang diharapkan. Bahkan, parameter-parameter tersebut terbukti tidak saling berkorelasi
satu sama lain.
Galton gagal membuktikan teorinya, namun idenya untuk mengkuantifikasi sisi-
sisi manusia (ia pernah menyusun tes untuk mengukur kebosanan, efek doa, hingga
kecantikan perempuan Inggris), tetap menginspirasi peneliti-peneliti setelahnya.
Gagasannya bahwa kemampuan mental individu dapat diukur dan dikuantifikasi dengan
cermatlah, yang mendorong seorang psikolog Perancis bernama Alfred Binet
menemukan tes-IQ pertama.
19
Berbeda dengan Galton yang bermaksud menyusun tes superioritas demi
mengontrol reproduksi individu-individu yang “tidak cukup baik”, motivasi Binet dan
koleganya Théodore Simon adalah membantu para guru dalam proses pengajaran murid-
muridnya. Binet dan Simon diminta oleh pemerintah Perancis untuk menyusun tes yang
dapat mengidentifikasi murid yang potensial mengalami kesulitan dalam menerima
materi. Dengan identifikasi tersebut, diharapkan para guru dapat memberi perhatian
lebih pada mereka.
Mengutip Dickens (2008), tes yang disusun Binet (1905) dapat dikatakan
berhasil. Nilai tes yang dihasilkan berkorelasi tinggi dengan pendapat umum tentang
kecerdasan individu bersangkutan. Nilai-nilai tersebut juga berkorelasi positif dengan
ukuran pencapaian akademis, seperti nilai dan grade. Ukuran korelasi yang dihasilkan
pada umumnya bernilai +0.5 atau lebih.
Secara pribadi, di luar kesuksesannya menyusun tes kecerdasan pertama yang
valid secara ilmiah, Binet memendam kekhawatiran. Ia menekankan bahwa kualitas
kecerdasan, “cannot be measured as linear surfaces are measured” (Binet & Simon,
1905). Ia menyatakan pula bahwa tes yang disusunnya hanya memiliki satu tujuan
utama, membantu murid yang membutuhkan perhatian tambahan dalam memahami
materi pelajaran. Namun, ia menyadari miskonsepsi dapat saja terjadi, dan karena itu
benar-benar khawatir skala pengukuran yang sama akan digunakan pula untuk secara
ilmiah melakukan labeling kepada peserta didik, dan dengan demikian justru
menghalangi kesempatannya berkembang (Gould, 1981)
Robert Zajonc (1984), seorang ilmuwan sosial, pernah menuliskan,
“the IQ test was invented to predict academic performance, nothing else. If we wanted something that would predict life success, we’d have to invent another test completely.”
20
Penelitian ini menggunakan IPK sebagai substitusi nilai tes IQ karena kendala
teknis peneliti untuk mengetahui nilai IQ partisipan. Bagaimanapun, mengingat notasi
dari Dickens (2008) di atas yang menyatakan korelasi +0.5 antara nilai tes kecerdasan
dengan prestasi akademis, serta mengingat bahwa prestasi akademis adalah satu-satunya
hal yang dapat diduga oleh tes IQ, penulis memandang penggunaan IPK dapat dilakukan
dengan catatan tidak ada generalisasi lain atas substitusi tersebut.
2.3.2. Kecerdasan dan Kecepatan Memproses Informasi
Apabila tes kecerdasan (sub-subbab 2.3.1) berkutat pada bagaimana kecerdasan
(kemampuan mental) harus diukur, maka sub-subbab ini terfokus pada konsep tentang
kecerdasan itu sendiri, apa yang menyusunnya, dan bagaimana karakter atau
manifestasinya.
Seperti ditulis Lahey (2007), salah satu perdebatan dalam konsep kecerdasan
adalah atas faktor penyusunnya. Satu kutub adalah teori yang menyatakan kecerdasan
adalah satu faktor umum, yang menjadi basis dan melandasi kemampuan-kemampuan
lain yang individu miliki (Spearman, 1904; Spearman & Wynn-Jones, 1950; Wechsler,
1955). Kutub lain yang berseberangan adalah pandangan yang menyatakan kecerdasan
bukanlah satu faktor umum, namun kumpulan dari berbagai macam kemampuan yang
saling independen satu sama lain (Thurstone, 1935; Thurstone, 1938; Guilford, 1982;
Gardner, 2000).
Dickens (2008) menilai kedua kutub tersebut, sampai batas tertentu, memiliki
kebenarannya masing-masing. Individu mungkin saja sangat baik dalam suatu bidang,
namun buruk dalam bidang lain (Kuncel et al., 2004). Notasi kecerdasan umum tetap
21 relevan karena individu yang baik dalam suatu bidang, ternyata cenderung mengerjakan
tugas dengan baik pula dalam bidang lain (Carrol, 1993)
Aspek penting lain dari kecerdasan adalah seberapa jauh hubungannya dengan
kecepatan individu memproses informasi. Seperti dikutip oleh Neisser (1996), beberapa
studi klasik menunjukkan kecepatan individu melakukan beberapa tugas kognitif
sederhana dan perceptual berkorelasi dengan nilai tes kecerdasan yang bersangkutan
(Ceci, 1990; Deary, 1995; Vernon, 1987). Lebih jauh, ia menyatakan secara umum
individu dengan nilai tes kecerdasan lebih tinggi cenderung mampu untuk memahami,
menelusuri, menerima, dan merespon (apprehend, scan, retrieve, and respond) stimuli
secara lebih cepat dibanding dengan individu lain yang memiliki nilai tes kecerdasan
lebih rendah.
Ketertarikan atas hubungan kedua proses tersebut, menurut Neisser (1996),
berawal pada tahun 1970an, ketika para peneliti tergerak untuk meneliti waktu respon
dan ukuran kronometris lain sebagai skala kemampuan kognitif. Pengukuran
kemampuan kognitif demikian mendapat landasannya berdasar pendapat Sternberg
(1977) yang menyatakan bahwa pada beberapa tugas pemecahan masalah dimungkinkan
untuk menganalisis keseluruhan waktu respon partisipan ke dalam “komponen-
komponen kognitif” teoritis.
Eksperimen waktu respon Jensen (1987) dengan baik mengkonfirmasi pendapat
Sternberg tersebut. Ia mengukur kecepatan partisipan untuk merespon stimuli visual
berupa lampu yang menyala. Seperti dikutip Neisser (1996), beragam aspek dari
eksperimen waktu respon ini berkorelasi kuat (-0.3 hingga -0.4) dengan nilai tes
kecerdasan. Perhatikan bahwa nilai korelasi negatif mendukung asumsi bahwa
kecerdasan berbanding lurus dengan kecepatan individu memproses informasi.
22
Korelasi yang lebih kuat didapat dengan menyusun tugas yang lebih kompleks.
Hal ini ditunjukkan dengan eksperimen oleh Frearson & Eysenck (1986). Menggunakan
eksperimen waktu respon yang sama, Frearson & Eysenck meningkatkan kompleksitas
tugas dengan menyalakan bersamaan tiga lampu. Lampu yang harus direspon oleh
partisipan adalah lampu yang terpisah (berjarak paling jauh) dari dua lampu lainnya.
Melalui prosedur demikian, korelasi yang didapat lebih kuat daripada eksperimen Jensen
(1987). Neisser (1996) menyatakan, nilai korelasi yang lebih tinggi tersebut mungkin
disebabkan diperlukannya penilaian spasial (spatial judgement) yang lebih kompleks.
Pendekatan lain atas teori kecerdasan menggunakan basis biologis dan
neuroscience. Penelitian menunjukkan beberapa gen berperan dalam aspek notasi
kecerdasan yang lebih spesifik (Plomin & Spinath, 2004). Sedangkan untuk notasi
kecerdasan umum seperti diusulkan Spearman (1904), teori yang berkembang adalah
individu dengan nilai kecerdasan tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
membentuk koneksi syaraf antara axon dan dendrite di otak (Anderson, 2001; Garlick,
2002).
Mengutip Lahey (2007), ada dua hal yang membawa kepada hipotesis hubungan
kemampuan membentuk koneksi antar syaraf dengan kecerdasan umum yang lebih
tinggi. Pertama, kemampuan membentuk koneksi syaraf menunjukkan individu dengan
kecerdasan umum tinggi mampu belajar dari pengalaman dengan lebih baik. Kedua,
keterhubungan yang baik antar neuron di otak memungkinkan individu memproses
informasi secara lebih cepat. Individu demikian memiliki gerak refleks dan waktu
respon yang lebih cepat, serta memerlukan waktu lebih singkat untuk membuat penilaian
atas suatu masalah sederhana (Lahey, 2007).
23 2.3.3. Jenis kelamin dan Perbedaan Kecerdasan
Myers (1998), menuliskan bagaimana manusia cenderung tertarik kepada
perbedaan,
“in science, as in everyday life, differences, not similarities, excite interest…in the psychological domain, jenis kelamin similarities dwarf jenis kelamin differences, but the differences often capture our attention.” Salah satu perbedaan tersebut, yang paling mengundang minat peneliti selain
perbedaan antar-etnik, adalah perbedaan jenis kelamin dalam hasil tes kecerdasan.
Terkait kecerdasan verbal, perempuan terindikasi lebih baik dalam pengucapan kata
(spelling). Hingga akhir Sekolah Menengah Atas, hanya 30% pria mengeja lebih baik
dari perempuan (Lubinski & Benbow, 1992). Pria cenderung bicara tergagap dan
kesulitan membaca bila dibandingkan perempuan (Finucci&Childs, 1981). Prestasi
akademik saat Sekolah Menengah atas, pria dua kali lipat dari perempuan dalam hal
jumlah individu yang prestasinya tidak memuaskan (McCall et al., 1992)
Kemampuan komputasi matematis, perempuan umumnya memiliki nilai sama
atau melebihi rata-rata pria (ETS, 1992; Kimball, 1989). Uniknya, meskipun unggul
dalam aspek komputasi, namun dalam hal penyelesaian masalah matematis berbagai
penelitian menunjukkan pria meraih nilai yang lebih baik (Hedges & Nowell, 1995;
Lummis & Stevenson, 1990)
Penelitian dalam tugas visual-spasial seperti rotasi mental dan spatiotemporal,
antara lain dengan meminta partisipan mengikuti objek bergerak dalam ruang,
menunjukkan pria memiliki nilai yang lebih tinggi dari perempuan (Law et al., 1993;
Linn & Petersen, 1985). Dominasi pria terutama terlihat dalam masalah yang melibatkan
rotasi mental. Sebuah meta-analysis oleh Masters & Senders (1993) memberikan nilai
ukuran efek (effect size) sebesar d = 0.9. Nilai effect size demikian diukur dalam satuan
24 standar deviasi, dan dapat diinterpretasikan sebagai nilai rata-rata pria dalam tugas rotasi
mental berada hampir satu standar deviasi di atas rata-rata perempuan.
Nilai tes pria yang lebih tinggi dalam tugas pergerakan objek dan visual-spasial,
dinilai sejalan dengan performansi yang lebih baik pula dalam tugas yang melibatkan
membidik dan melempar (Jardine & Martin, 1983). Penjelasan tentang hal ini dari sudut
pandang evolusi (Geary, 1995, 1996; Silverman & Eals, 1992), menjelaskan keunggulan
demikian berkembang seiring sangat vitalnya kemampuan tersebut bagi kemampuan
individu berburu dan bertahan hidup.
Sebagaimana konsep lainnya tentang kecerdasan, perbedaan kemampuan antar-
jenis kelamin dalam beberapa tugas kognitif pun tidak luput dari kontroversi. Meskipun
kajian biologis menunjukkan hormon seks pria terbukti meningkatkan kemampuan
spasial (Berenbaum et al., 1995), namun peran tuntutan sosial tetap tidak dapat
diabaikan (Crawford et al, 1995; Eccles et al, 1990).
2.4. Keyakinan Berlebih (Overconfidence Tendency)
Data Control ketiga adalah prediksi performansi partisipan dengan metode
penilaian sendiri (self-assesment). Myers (1998) mendefinisikan overconfidence
sebagai
“the tendency to be more confident than correct – to overestimate the accuracy of one’s beliefs and judgements”. Singkatnya, overconfidence tendency menunjukkan suatu fenomena ketika
individu percaya berlebihan dengan penilaian atau kepercayaannya sendiri.
Fenomena ini merupakan salah satu area menarik bagi para peneliti, antara lain
ditunjukkan oleh penelitian Kahneman & Tversky (1979). Mereka memberi responden
25 beberapa pernyataan untuk diisi, antara lain, “saya yakin 98% jumlah reaktor nuklir
yang beroperasi di dunia lebih dari _____ namun kurang dari _____” Dalam penelitian
tersebut, meskipun menyatakan 98% yakin dengan jawaban yang diberikan, hampir
sepertiga responden salah memberikan jawaban. Hasil demikian menunjukkan
kecenderungan nyata dari keyakinan berlebih.
Penelitian lain oleh Buehler et al. (1994) memberikan hasil mengejutkan tentang
bagaimana sering perencana proyek terlalu yakin dalam menghitung estimasi biaya dan
waktu pengerjaan. Mengutip Myers (1998), salah satu contoh keyakinan berlebih ini
adalah perencanaan Opera House di Sydney, Australia. Pada tahun 1957, para perencana
memprediksi bangunan tersebut akan selesai dalam 10 tahun dengan biaya $7.000.000,-
Pada kenyataannya, Opera House baru selesai sepenuhnya tahun 1973 atau mundur 10
tahun dari rencana, dan dengan biaya $102.000.000,-
Buehler juga mengungkapkan keyakinan berlebih yang sama ditemukan pula
pada mahasiswa. Dalam hal ini, hal yang sering dilakukan mahasiswa adalah secara
yakin mengira tugas atau proyeknya akan selesai dengan cepat. Padahal, seperti dikutip
Myers (1998), secara umum tugas selesai dalam jangka waktu dua kali lipat dari yang
direncanakan. Menariknya, meskipun individu secara rutin menyadari pelaksanaan
selalu lebih lama dari yang direncanakan, kecenderungan untuk memiliki keyakinan
berlebih tetap tidak hilang.
Terkait penelitian ini, penulis menggunakan data control ketiga (prediksi
kinerja) sebagai indikator overconfidence tendency. Penulis hendak melihat apakah
partisipan yang menyatakan akan mengenali pola lebih baik dari partisipan lain benar-
benar mampu melakukan hal tersebut. Hal ini akan dianalisis dengan analisis profil.
26 2.5. Metode Statistik
Keseluruhan data yang didapat dari partisipan akan dianalisis menggunakan tiga
metode: (1) Analisis Ragam (ANOVA), (2) Uji Nilai Tengah Pengamatan Berpasangan,
dan (3) Analisis Profil. Satu metode lagi (Duncan’s Multiple Range Test) akan
digunakan apabila ANOVA memberikan keputusan menolak Ho: tidak ada perbedaan
nilai tengah.
2.5.1. Analisis Ragam (Analysis of Variance, ANOVA)
Mengutip Walpole (1995), Analisis Ragam adalah suatu metode untuk
menguraikan keragaman total data menjadi komponen-komponen yang mengukur
berbagai sumber keragaman (p. 382). Klasifikasi pengamatan berdasarkan satu kriterium
saja disebut klasifikasi satu arah (p. 382). Klasifikasi lain, yang melibatkan dua kriteria,
disebut klasifikasi dua arah (p. 383).
Hipotesis yang berlaku dalam ANOVA adalah,
0 :H 1 2 ... ,k k jumlah kelompokμ μ μ= = = =
1 :H sekurangnya dua nilai tengah tidak sama
Setiap pengamatan dalam ANOVA Klasifikasi Satu Arah dapat dituliskan dalam bentuk:
ij i ijx μ ε= + (2.1)
Data dalam ANOVA pada umumnya disusun dalam table dengan posisi sebagai berikut:
27
Tabel 2.1
Penempatan k Contoh Acak
Populasi
1 2 … i … k
11x 21x … 1ix … 1kx 12x 22x … 2ix … 2kx . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1nx 2nx … inx … knx
Total Nilai Tengah
1.T 2.T … .iT … .kT
1.x 2.x … .ix … .kx
..T ..x
Ragam semua pengamatan di atas, bila pengamatan tersebut tidak dikelompok-
kelompokkan diberikan oleh rumus:
2
1 12
( ..)
1
k n
iji j
x xs
nk= =
−=
−
∑∑ (2.2)
Pembilang 2s , disebut Jumlah Kuadrat Total, mengukur keragaman total dalam data.
Keragaman total tersebut dapat diuraikan melalui identitas berikut:
2 2 2.
1 1 1 1 1
( ..) ( ..) ( .)k n k k n
ij i ij i
i j i i j
x x n x x x x= = = = =
− = − + −∑∑ ∑ ∑∑ (2.3)
Identitaskuadratdiatasdapatdiuraikankedalamtigapenjumlahankuadrat
22 2 ..
1 1 1 1
22.
2 1 ...
1
2
1 1
( ..)
( ..)
( .)
k n k n
ij iji j i j
k
iki
ii
k n
ij i
i j
Tx x x Jumlah Kuadrat Total JKTnk
TTn x x Jumlah Kuadrat NilaiTengah Kolom JKK
n nk
x x JKT JKK Jumlah Kuadrat Galat JKG
= = = =
=
=
= =
− = − = =
− = − = =
− = − = =
∑∑ ∑∑
∑∑
∑∑
(2.4)
28
Salah satu nilai dugaan bagi 2σ , yang didasarkan pada 1k − derajat bebas, adalah
21 1
JKKsk
=−
(2.5)
Bila Ho benar, 1s merupakan penduga tak bias bagi 2σ . Bila H1 benar, JKK cenderung
menghasilkan nilai yang lebih besar, artinya 1s menduga lebih 2σ .
Nilai dugaan bagi 2σ yang lain, yang didasarkan pada ( 1)k n − derajat bebas, adalah
22 ( 1)
JKGsk n
=−
(2.6)
Nilai dugaan ini bersifat tak bias, baik hipotesis nol benar ataupun salah.
Bila Ho benar, rasio
2122
sfs
= (2.7)
merupakan nilai peubah acak F yang memiliki sebaran F dengan derajat bebas 1k − dan
( 1)k n − . Karena 1s menduga lebih 2σ bila Ho salah, maka wilayah kritis secara
otomatis berada pada ujung kanan sebaran F. Dengan demikian, Ho ditolak pada taraf
nyata α bila
[ 1, ( 1)]k k nf f α − −>
Tabel perhitungan Analisis Ragam disajikan berikut ini:
29
Tabel 2.2
Analisis Ragam Klasifikasi Satu Arah (One-way ANOVA)
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F-hitung
Nilai Tengah Kolom
Galat
JKK
JKG
1k −
( 1)k n −
21 1
JKKsk
=−
22
JKGsN k
=−
2122
ss
Total JKT nk-1
2.5.2. Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple range Test)
Dalam kasus Analisis Ragam memutuskan penolakan hipotesis nol kesamaan
nilai tengah antar kelompok, maka kita perlu mengetahui kelompok manakah yang
berbeda nilai tengahnya. Salah satu metode yang tersedia untuk mengetahui hal tersebut
adalah Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). Uji Duncan ini
sangat tepat digunakan dalam penelitian ini, karena hasil yang diberikan langsung
berupa kelompok terurut dari nilai tengah terkecil hingga terbesar. Hal tersebut
memudahkan kita untuk melihat apakah penambahan panjang akan diikuti oleh
melambatnya kemampuan partisipan mengenali pola stimuli visual yang diberikan.
Misalkan terdapat k kelompok dengan ukuran masing-masing n . Wilayah p
rata-rata contoh harus melampaui nilai tertentu sebelum kita dapat mengatakan p nilai
tengah populasinya berbeda. Nilai ini disebut wilayah nyata terkecil dan dilambangkan
dengan pR , dimana
2
.p p x psR r s rn
= = (2.8)
30
Ragam contoh 2s yang merupakan penduga ragam populasi 2σ dapat kita
peroleh dari Kuadrat Tengah Galat yang ada pada tabel ANOVA (tabel 2.2). Nilai pr
yang disebut wilayah-terstudentkan nyata terkecil tergantung pada taraf nyata yang
diinginkan dan banyaknya derajat bebas Kuadrat Tengah Galat. Nilai-nilai tersebut dapat
diperoleh dari tabel wilayah-terstudentkan nyata terkecil.
Setelah kelompok-kelompok diurutkan nilai tengahnya, dua kelompok i dan
j dikatakan berbeda nilai tengah secara signifikan apabila | |i j px x R− > dengan p adalah
jumlah kelompok yang nilai tengahnya terletak pada interval nilai tengah i dan j .
2.5.3. Uji Nilai Tengah Pengamatan Berpasangan (Paired t-test)
Tujuan kedua dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dari peningkatan
kompleksitas tugas terhadap kecepatan partisipan mengenali pola stimuli visual yang
diberikan. Metode yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Uji
Nilai Tengah Pengamatan Berpasangan.
Dalam metode ini kita memperhatikan selisih,
2 1i i id x x= − (2.9)
masing-masing pasangan pengamatan. Selisih-selisih tersebut dipandang sebagai nilai-
nilai suatu contoh acak 1 2, ,..., nd d d dari suatu nilai tengah Dμ dengan ragam 2Dσ tidak
diketahui dan diduga dengan 2ds . Dengan demikian 2
ds merupakan nilai dugaan bagi
statistik 2dS yang berfluktuasi dari satu contoh ke contoh lain. Nilai dugaan titik bagi
31
1 2 Dμ μ μ− = sendiri diberikan oleh d Salah satu keunggulan pengamatan berpasangan
adalah ia lebih sensitif atas inferensia 1 2μ μ− yang didasarkan pada D (Walpole, 1995).
Selang kepercayaan (1 )100%α− bagi Dμ diperoleh dengan menyatakan
/ 2 / 2( ) 1P t T tα α α− < < = − (2.10)
dimana T adalah
/D
d
DTS n
μ−= (2.11)
dan / 2tα adalah nilai sebaran t dengan 1n− derajat bebas.
Penolakan Ho: 0D dμ = ditentukan berdasarkan statistik uji
0 , 1/d
d dt v ns n−
= = − (2.12)
Hipotesis alternatif 1H dan wilayah kritiknya diberikan pada table 2.3
Tabel 2.3
1H dan wilayah kritik
Uji Nilai Tengah Pengamatan Berpasangan
Hipotesis Alternatif ( 1H ) Wilayah Kritik
0D dμ < t tα< −
0D dμ > t tα> −
0D dμ ≠ t tα< − dan t tα> −
32 2.5.4. Analisis Profil (Profile Analysis)
Analisis Profil digunakan untuk menganalisis p perlakuan yang diberikan
kepada g (2 < g) kelompok. Respon dari perlakuan-perlakuan tersebut harus dinyatakan
dalam skala pengukuran yang sama. Lebih jauh diasumsikan respon dari kelompook-
kelompok yang berbeda diasumsikan saling bebas (independent).
Misalkan untuk kelompok i , nilai tengah untuk p perlakuan adalah
'1 2[ , ,..., ]i i i ipμ μ μ μ= . Plot tidak terputus dari nilai tengah tersebut disebut dengan profil
kelompok ke-i. (gambar 2.1). Profil demikian dapat digambarkan untuk setiap kelompok
data yang diinginkan.
Terdapat tiga hal yang menjadi fokus masalah dalam Analisis Profil. Pertama, uji
keparalelan. Kita ingin mengetahui apakah profil kelompok-kelompok yang diuji paralel
satu sama lain. Kedua, uji levels. Dalam uji ini kita melihat apakah ada perbedaan antar
kelompok data. Ketiga, uji flatness. Uji ini bertujuan untuk melihat bahwa sekurangnya
satu segmen antar variabel tidak bebas tidak sama dengan nol.
Gambar 2.1 Dua Profil dengan Empat Variabel
33 2.5.4.1. Uji Keparalelan
Mengutip Ainsworth (2006), dalam uji ini kita bermaksud mengkonfirmasi
apakah ada perbedaan antar grup dalam nilai yang dihasilkan dari pengurangan dua
variabel tak bebas yang bersebelahan. Dengan kata lain, apakah
hipotesis , , 1 , , 1: ; ,r i r i s i s iHo dengan r s g dan i pμ μ μ μ− −− = − ≤ ≤ dapat diterima?
Pada prinsipnya, uji keparalelan ini sama dengan MANOVA (Multivariate
Analysis of Variance) dengan catatan nilai variabel tak bebas tiap partisipan disubstitusi
menjadi selisih nilainya. Transformasi ini dapat dilakukan dengan mengalikan nilai
variabel tak bebas dengan suatu matriks konstras
1 1 0 0 0 00 1 1 0 0 0
[ 1][ ]0 0 0 0 1 1
Cp p
−⎡ ⎤⎢ ⎥−⎢ ⎥=⎢ ⎥−⎢ ⎥−⎣ ⎦
K
K
M M M M M M M
K
Identitas Kuadrat yang berlaku dalam MANOVA adalah
1 1 1 1 1( )( ) ' ( )( ) ' ( )( ) '
l lg g gn n
lj lj l l lj l lj lll j l l j
n= = = = =
− − = − − + − −∑∑ ∑ ∑∑x x x x x x x x x x x x (2.13)
Sama seperti ANOVA, identitas kuadrat di atas dapat dipecah ke dalam dua sumber
keragaman, perlakuan (between groups) dan galat (within groups) dengan,
1( )( ) '
g
l lll
n Jumlah Kuadrat Perlakuan=
− − =∑ x x x x (2.14)
1 1( )( ) '
lg n
lj l lj ll j
Jumlah Kuadrat Galat= =
− − =∑∑ x x x x (2.15)
Perhitungan keseluruhan MANOVA disajikan pada tabel berikut
34
Tabel 2.4
Perhitungan Multivariate ANOVA
Sumber Keragaman
Matriks Jumlah Kuadrat Derajat Bebas
Perlakuan
1( )( ) '
g
l lll
n=
= − −∑B x x x x g – 1
Residual (galat)
1 1( )( ) '
lg n
lj l lj ll j= =
= − −∑∑W x x x x 1
l
g
l
n g=
−∑
Total
1 1( )( ) '
lg n
lj ljl j= =
+ = − −∑∑B W x x x x 1
1l
g
ln
=
−∑
Hipotesis nol tidak ada kelompok yang berbeda ditolak bila statistik uji rasio varian
tergeneralisasi
1 1*
1 1
( )( ) '
( )( ) '
l
l
g n
lj l lj ll j
g n
lj ljl j
= =
= =
− −Λ = =
+− −
∑∑
∑∑
x x x xW
B Wx x x x
(2.16)
Notasi *Λ diperkenalkan pertama kali oleh Wilks (1932), dan disebut dengan Wilks’
Lambda.
Mengutip Johnson&Wichern (2002), distribusi eksak Wilks’ Lambda dapat dituliskan
dalam bentuk sebaran-F pada tabel berikut ini
35
Tabel 2.5
Ekuivalensi Wilks’s Lambda dengan Sebaran-F
Jumlah Variabel
Jumlah Kelompok
Distribusi
p = 1 g > 2 *
1*
1 ,1
l
g n gl
n gF
g∑− −
⎛ ⎞−⎜ ⎟⎛ ⎞−Λ⎜ ⎟ ≈⎜ ⎟− Λ⎜ ⎟⎝ ⎠⎜ ⎟⎝ ⎠
∑
p = 2 g > 2 *
2( 1), 2( 1)*
1 11
l
g n gl
n gF
g∑− − −
⎛ ⎞− −⎜ ⎟⎛ ⎞− Λ⎜ ⎟⎜ ⎟ ≈
⎜ ⎟−⎜ ⎟ Λ⎝ ⎠⎜ ⎟⎝ ⎠
∑
p > 1 g = 2 *
, 1*
11l
p n pl
n pF
p∑ − −
⎛ ⎞− −⎜ ⎟⎛ ⎞−Λ⎜ ⎟ ≈⎜ ⎟Λ⎜ ⎟⎝ ⎠⎜ ⎟⎝ ⎠
∑
p > 1 g = 3 *
2 , 2( 2)*
2 1l
p n pl
n pF
p∑ − −
⎛ ⎞− −⎜ ⎟⎛ ⎞− Λ⎜ ⎟⎜ ⎟ ≈
⎜ ⎟⎜ ⎟ Λ⎝ ⎠⎜ ⎟⎝ ⎠
∑
Untuk kasus lain dan dengan ukuran sampel yang besar, modifikasi *Λ diperkenalkan
Bartlett (1938). Ia menunjukkan apabila Ho benar dan jumlah sampel besar,
( ) ( )*1 ln 1 ln2 2
p g p gn n
⎛ ⎞+ +⎛ ⎞ ⎛ ⎞− − − Λ = − − − ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟+⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
WB W
(2.17)
mengikuti sebaran 2χ dengan derajat bebas ( 1)p g − . Dengan demikian, untuk sampel
besar, Ho ditolak pada taraf nyata α bila
( ) 2( 1)( )1 ln
2 p g
p gn αχ −
⎛ ⎞+⎛ ⎞− − − >⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟+⎝ ⎠ ⎝ ⎠
WB W
(2.18)
36 2.5.4.2. Uji Perbedaan antar Kelompok (test of levels)
Uji perbedaan antar kelompok pada prinsipnya identik dengan univariate
ANOVA. Nilai tiap partisipan adalah rataan dari variabel tak bebas partisipan
bersangkutan. Pembagian kelompok disesuaikan dengan kelompok yang digunakan pada
analisis profil.
Menggunakan persamaan (2.4) di atas, kita dapat menghitung Jumlah Kuadrat
Kolom (Between Groups Sum of Squares) dan juga Jumlah Kuadrat Galat (Within
Groups Sum of Squares). Dengan menyusun hasil perhitungan pada tabel ANOVA
(tabel 2.2), kita dapat menghitung statistik uji F dan membandingkannya dengan F-
tabel. Hipotesis nol: profiles level atau tidak ada kelompok yang berbeda ditolak bila
nilai F-hitung > F-tabel.
2.5.4.3. Uji Variabel Tak Bebas (test of flatness)
Test of flatness menguji apakah rata-rata selisih variabel tidak bebas tidak sama
dengan nol untuk sekurangnya sepasang variabel. Metode yang digunakan adalah selisih
vektor nilai tengah dengan hipotesis nol :Ho μ μ− =0 0
Hipotesis tersebut akan diuji menggunakan 2T - Hotelling, yaitu suatu bentuk
generalisasi dari statistik t pada statistika univariat.
12 1
0 0 0 01( ) ' ( ) ( ) ' ( )T S n Sn
μ μ μ μ−
−⎛ ⎞= − − = − −⎜ ⎟⎝ ⎠
X X X X (2.19)
dimana,
( 1)1
1p x
n
jj
X Xn =
= ∑ (2.20)
37
( )( )( )
1
1 '1p x p
n
j jj
S X X X Xn =
= − −− ∑ dan (2.21)
10
20
30
0( 1)
0
.
.
.
p x
p
μμμ
μ
μ
⎡ ⎤⎢ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥
= ⎢ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥⎣ ⎦
Berdasarkan X dan S di atas, dapat dinyatakan:
( )
( )
2, ( )
10 0 , ( )
1[ ]
1( ) ' ( )
p n p
p n p
n pP T F
n p
n pP n S F
n p
α
α
α
μ μ
−
−−
−= >
−
−⎡ ⎤= − − >⎢ ⎥−⎣ ⎦
X X (2.22)
dan dengan demikian memberikan wilayah penolakan hipotesis nol bila F-hitung > F-
tabel.
2.6. Aplikasi Piranti Lunak
Piranti lunak adalah program komputer yang berfungsi sebagai sarana interaksi
antara pengguna dengan perangkat keras komputernya. Piranti lunak ini antara lain
digunakan untuk menerima masukan dari pengguna, mengontrol piranti lunak lain,
melakukan perhitungan, dan lain-lain.
Pada umumnya operasi piranti lunak telah didefinisikan dalam serangkaian
prosedur dan langkah-langkah yang lazim disebut algoritma. Pengecualian untuk
kecenderungan umum ini adalah piranti lunak yang berbasis sistem kecerdasan buatan
(artificial intelligence).
38 2.6.1. Interaksi Manusia dan Komputer
Dalam pengembangan suatu piranti lunak, sangatlah penting diperhatikan bahwa
piranti lunak tersebut mudah digunakan oleh pengguna. Shneiderman (1998)
mengemukakan lima kriteria yang harus dipenuhi sebuah sistem yang user-friendly:
1. Waktu belajar
Sebuah sistem yang baik selayaknya mudah dipelajari dan digunakan bahkan
oleh pengguna awam sekalipun
2. Kecepatan kinerja
Sebuah sistem yang baik menyelesaikan masalah dan melakukan pemrosesan
data secara cepat dan efisien
3. Tingkat kesalahan
Sebuah sistem yang baik meminimalkan jumlah dan tingkat kesalahan
pengguna
4. Daya ingat
Kriteria ini terkait erat dengan seberapa lama pemakai dapat mempertahankan
pengetahuannya dan dengan demikian tidak perlu mempelajari ulang
penggunaan sistem di masa yang akan dating
5. Kepuasan subjektif
Hal ini terkait erat dengan seberapa puas pengguna terhadap sistem yang
digunakannya.
2.6.2. Diagram Transisi (State Transition Diagram)
Diagram transisi digunakan untuk menggambarkan urutan dan variasi layar yang
dapat muncul ketika pengguna sistem mengunjungi terminal (Whitten et al., 2004).
39 Komponen-komponen utama diagram transisi adalah:
1. Keadaan atau state
Keadaan disimbolkan dengan dan merepresentasikan reaksi yang
terjadi ketika suatu tindakan (action) dilakukan. Terdapat dua jenis state, yaitu
state awal dan state akhir. State akhir dapat berupa beberapa state, sementara
state awal tidak dapat lebih dari satu.
2. Arrow.
Arrow disimbolkan dengan dan sering pula disebut dengan transisi
state (state transition). Arrow diberi label dengan ekspresi aturan yang
menunjukkan kejadian yang menyebabkan transisi terjadi.
3. Condition dan action
Condition dan action disimbolkan dengan
Condition adalah suatu event pada lingkungan eksternal yang dapat dideteksi
oleh sistem. Sementara action adalah yang dilakukan oleh sistem bila terjadi
perubahan state. Action akan menghasilkan keluaran atau tampilan.
2.6.3. Diagram Alir (Flowchart)
Diagram alir merupakan urutan semua proses yang harus dijalankan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dalam sebuah sistem (Pressman, 2002, p476). Diagram
alir secara gambar sangat sederhana, gambar 2.2. menjelaskan ketentuan gambar pada
diagram alir
40
Gambar 2.2 Ketentuan Gambar pada Diagram Alir
2.6.4. Perancangan Layar
Perancangan layar merupakan suatu tahapan untuk membuat cetak biru (blue
print) atas tampilan layar yang sesungguhnya. Rancangan layar dibuat sedemikian rupa
sehingga memudahkan pengguna untuk berinteraksi dengan sistem. Smith dan Mosier
(dikutip oleh Shneiderman, 1998, p80) mengusulkan pedoman perancangan layar yang
baik sebagai berikut:
1. Konsistensi tampilan data. Istilah, singkatan, format, dan lain sebagainya harus
standar.
2. Beban ingatan yang seminimal mungkin bagi pengguna. Pengguna sedapat
mungkin tidak diharuskan mengingat informasi dari layar satu ke layar
lainnya.
3. Kompatibilitas tampilan data dengan pemasukan data. Format tampilan
informasi perlu berhubungan dengan tampilan pemasukan data
41
4. Fleksibilitas kendali pengguna terhadap data. Pengguna program harus dapat
memperoleh informasi yang diinginkan dengan format yang paling
memudahkan.