bab 2 landasan teori analisis genangan di sub sistem
TRANSCRIPT
3
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
2.1.1 Yasinta Surya Maharani1 (2017)
ANALISIS GENANGAN DI SUB SISTEM DRAINASE
SIDOKARE KABUPATEN SIDOARJO. Permasalahan genangan di
Kabupaten Sidoarjo cukup serius, terutama pada Sub Sistem Drainase
Sidokare dikarenakan daerah tersebut merupakan pusat pemerintahan dan
kegiatan masyarakat. Untuk itu dilakukan analisis genangan dan metode yang
tepat untuk menanggulanginya. Adapun alternatif penanganan genangan yang
digunakan pada daerah studi, yaitu pembuatan saluran tersier baru,
rehabilitasi, dan sumur tampungan, ataupun kombinasi dari ketiga alternatif
tersebut. Berdasarkan hasil analisis, genangan historis pada Sub Sistem
Drainase Sidokare setara dengan kala ulang 5 tahun dengan intensitas hujan
9,519 mm/jam, dimana dari hasil evaluasi terdapat 32 saluran yang tidak
dapat menampung debit banjir rancangan dengan kala ulang 5 tahun tersebut.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis kapasitas pada 5 long storage dan pompa
banjir eksisting, dengan spesifikasi kapasitas long storage dan pompa banjir
yang ada, 4 long storage dapat menampung debit sementara apabila dilakukan
pengoperasian pompa banjir dan 1 long storage dapat menampung debit
sementara tanpa dilakukan pengoperasian pompa banjir. Adapun upaya
penanganan genangan pada Sub Sistem Drainase Sidokare, yaitu pembuatan
saluran tersier baru sejumlah 17 saluran, rehabilitasi pada 25 saluran, dan
pembuatan sumur tampungan pada 1 titik saluran.
2.1.2 Achmad Erwin Nurhamidin (2015)
ANALISIS SISTEM DRAINASE KOTA TONDANO (STUDI
KASUS KOMPLEKS KANTOR BUPATI MINAHASA). Permasalahan
yang sering muncul adalah genangan di ruas jalan sebelah Selatan dan sebelah
Barat kompleks kantor Bupati, yang terjadi pada saat curah hujan tinggi.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penyebab genangan serta
memberikan solusi penanganan genangan yang terjadi. Metodologi yang
digunakan adalah dengan mengumpulkan data spasial, data sistem drainase
eksisting, data hidrologi, data hidrolika serta data teknik lainnya. Analisis
hidrologi dilakukan untuk mendapatkan debit rencana (Qrenc). Perkiraan
hujan rencana dilakukan dengan analisa frekuensi terhadap data curah hujan
4
dengan kala ulang 10 tahun menggunakan metode log Pearson III.
Perhitungan intensitas hujan ditinjau dengan menggunakan rumus Mononobe.
Debit rencana dihitung menggunakan metode rasional. Untuk menghitung
debit kapasitas (Qkaps) dari saluran dan gorong-gorong, dilakukan analisis
hidrolika. Dari perbandingan antara debit rencana dan debit kapasitas (Qrenc
≤ Qkaps), dapat diketahui kemampuan dari setiap saluran dan gorong-gorong
dalam menampung debit rencana. Secara teknis, persoalan sampah dapat
diatasi dengan membuat saringan sampah (trash rack) pada bagian inlet
gorong-gorong dan secara non teknis diatasi dengan melibatkan peran serta
masyarakat dalam kegiatan operasional dan pemeliharaan.
2.1.3 Jamaludin (2018)
ANALISIS DAN PERENCANAAN SISTEM DRAINASE DI
LINGKUNGAN UNIVERSITAS LAMPUNG. Universitas Lampung
sebagai salah satu universitas negeri pertama dan tertua di Provinsi Lampung
merupakan salah satu universitas terbaik di regional Sumatera. Peningkatan
fasilitas dan infrastruktur Universitas Lampung terus dilakukan, agar dapat
meningkatkan kualitas akademik maupun non-akademik. Bentuk peningkatan
kualitas non-akademik adalah penataan lingkungan salah satu nya
perencanaan pembangunan sistem drainase. Hal ini dimaksudkan untuk
menyelesaikan beberapa titik genangan banjir yang terjadi pada saat musim
penghujan tiba karna belum optimalnya kondisi drainase eksisting di kawasan
Universitas Lampung. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi
analisis hidrologi dan analisis hidrolika. Analisis hidrologi bertujuan untuk
menghitung debit rencana dengan menggunakan metode rasional bertujuan
untuk mengetahui kapasitas tinggi muka air pada saluran eksisting. Sehingga
dapat diketahui dimana posisi titik banjir dan perencanaan dimensi saluran
yang baru. Berdasarkan hasil analisis, perlu adanya perencanaan drainase baru
pada beberapa titik yang menunjukkan terjadinya limpasan dan genangan
banjir di daerah Kantin Teknik Prasmanan. Perencanaan sumur resapan dan
kolam retensi juga sangat di perlukan untuk mengatasi masalah banjir yang
sering terjadi di kawasan fakultas teknik Universitas Lampung. Perlu
dilakukan juga pemeliharaan saluran berupa normalisasi saluran, pemasangan
kisi-kisi penahan sampah, dan pembersihan saluran secara periodik.
5
2.2 Tinjuan Umum
Drainase yaitu suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak
diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penangggulangan akibat yang
ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut. (Suhardjono, 19481)
Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan
air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara
optimal (Suripin, 2004).
2.2.1 Jenis Drainase
Jenis-jenis drainase dapat dibedakan berdasarkan sejarah terbentuknya,
letak bangunan dan berdasarkan fungsi (Gunadarma,1997). Jenis drainase
berdasarkan sejarah terbentuknya:
a) Drainase alamiah (natural drainage)
b) Drainase buatan (artificial drainage).
Jenis drainase berdasarkan letak bangunan:
a) Drainase permukaan tanah (surface drainage)
b) Drainase bawah permukaan tanah (subsurface drainage).
Jenis drainase berdasarkan fungsi;
a) Single purpose;
b) Multi purpose.
2.2.3 Fungsi Drainase
Fungsi Drainase dalam kota mempunyai fungsi sebagai berikut
(Hadirhardjaja, 1997 )
1. Untuk mengalirkan genangan air atau banjir ataupun air hujan dengan
cepat dari permukaan jalan.
2. Untuk mencegah aliran air yang berasal dari daerah lain atau daerah di
sekitar jalan yang masuk ke daerah perkerasan jalan
3. Untuk mencegah kerusakan jalan dan lingkungan yang diakibatkan oleh
genangan air dan jalan.
6
2.3 Analisa Hidrologi
2.3.1 Umum
Hidrologi adalah suatu ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian
dan distribusinya, sifat fisik dan sifat kimianya, serta tanggapannya terhadap
perilaku manusia (Chow, 1964).
Menurut Marta dan Adidarma (1983), Hidrologi juga dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan, dan distribusi
air di bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan bumi, tentang sifat fisik
dan kimia air serta reaksinya terhadap lingkungan dan hubungannya dengan
kehidupan.
Secara umum analisa hidrologi merupakan satu bagian awal dalam
perencanaan bangunan-bangunan hidrolik. Pengertian yang terkandung
didalamnya adalah bahwa informasi dan besaran-besaran yang diperoleh
dalam analisa hidrologi merupakan masukan penting dalam analisa
selanjutnya. Bangunan hidrolik dalam bidang teknik sipil dapat berupa
gorong-gorong, bendung, bangunan pelimpah, tanggul penahan banjir dan lain
sebagainya. Ukuran dan karakter bangunan tersebut sangat tergantung dari
tujuan pembangunan dan informasi yang diperoleh dari analisa hidrologi. (Sri
Harto, 1989).
2.3.2 Hujan Rata-rata (DAS)
Pengukuran yang dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan alat ukur
biasa maupun dengan alat ukur hujan otomatis, digunakan hanya untuk
memperoleh data hujan yang terjadi hanya pada satu tempat saja. Akan tetapi
dalam analisa umumnya yang digunakan adalah data hujan rata-rata DAS.
Untuk menghitung besaran ini dapat ditempuh beberapa cara yang sampai saat
ini masih lazim digunakan, yaitu :
1. Poligon Tiesen
2. Rata-rata Aljabar
3. Isohyet
2.3.3 Analisa Frekuensi
Analisa frekuensi merupakan rangkaian data hidrologi yang merupakan
variable kontinyu yang dapat digambarkan dalam suatu persamaan distribusi
peluang. Setiap jenis distribusi atau sebaran mempunyai parameter statistik
yang terdiri dari nilai rata-rata, standar deviasi, koefisien variasi dan koefisien
7
ketajaman. (Suwarno,1995). Model matematik distribusi peluang yang umum
digunakan adalah:
1. Distribusi Pearson Tipe III
2. Distribusi Normal
3. Distribusi Log Normal
4. Distribusi Log Pearson Tipe III
Setiap jenis distribusi atau sebaran mempunyai parameter statistik
yang terdiri dari nilai rata-rata 𝜇 = 𝑥 , standart deviasi 𝜎 = 𝑆 , koefiien
variasi 𝐶𝑣 , dan koefisien ketajaman 𝐶𝑘 , yang masing-masing dicari
berdasarkan rumus :
Nilai rata-rata (Mean)
𝑋 = 𝑥
𝑛 …………………………………………………………...…...(2.1)
Standar Deviasi
𝑆 = 𝑋−𝑋
𝑛−1 …………………………………………………….……(2.2)
dengan :
S = standar deviasi
X = data dalam sampel
𝑋 = nilai rata-rata hitung
𝑛 = jumlah pengamatan
Koefisien variasi
Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan
nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi. Dapat dihitung dengan rumus :
𝐶𝑣 =𝑆
𝑋 ………………………………………………………………...(2.3)
dengan :
𝐶𝑣 = koefisien variasi
𝑆 = standar deviasi
𝑋 = nilai rata-rata hitung
Koefisien kemencengan
Umumnya kemencengan dinyatakan dengan besarnya koefisien
kemencengan, dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
𝐶𝑠 = 𝑛 𝑋−𝑋 3
𝑛−1 𝑛−2 𝑆3 …………………………………………….……...(2.4)
dengan :
𝐶𝑠 = koefisien variasi
𝑆 = standar deviasi
8
𝑋 = nilai rata-rata hitung
𝑋 = data dalam sampel
Koefisien ketajaman
Dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi,
yang umunya dibandingkan dengan distribusi normal. Untuk menentukan
keruncingan kurva distribusi dapat digunakan rumus :
𝐶𝑘 = 𝑛2 𝑋−𝑋 4
𝑛−1 𝑛−2 𝑛−3 𝑆4 ……………………………………….……...(2.5)
dengan :
𝐶𝑘 = koefisien ketajaman
𝑆 = standar deviasi
𝑋 = nilai rata-rata hitung
𝑋 = data dalam sampel
𝑛 = jumlah pengamatan
Adapun parameter statistic dari masing-masing distribusi adalah :
a. Distribusi Gumbel Tipe I mempunyai harga Cs = 1,139 dan Ck = 5,402.
b. Distribusi Pearson Tipe III mempunyai harga Cs dan Ck yang fleksibel.
c. Distribusi Normal mempunyai harga Cs = 0 dan Ck = 3.
d. Distribusi Log Normal mempunyai harga Cs > 0 dan Ck > 0
e. Distribusi Log Pearson Tipe III mempunyai harga Cs antara 0 – 0,9.
Kesalahan dalam memilih sebaran dapat mengakibatkan kerugian jika
perkiraan mulai desain terlalu besar (over estimate) atau terlalu kecil (under
estimate)
2.3.4 Analisa Distribusi
Berdasarkan hasil perhitungan parameter statistik tersebut dimana
didapatkan harga Cs dan Ck maka dipilih persamaan distribusi untuk diuji
sebagai perbandingan . Persamaan distribusi yang dipilih adalah Distribusi
Pearson Tipe III, Distribusi Normal, Distribusi Log Pearson Tipe III dan Log
Normal.
2.3.5 Analisis Curah Hujan Rencana
Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan
untuk menghitung intensitas hujan.
2.3.5.1 Metode Log Pearson III
Adapun rumus yang digunakan untuk mencari curah hujan rancangan
dengan metode Log Pearson III, yaitu (Hadisusanto, 2010):
9
𝐿𝑜𝑔𝑋 = 𝐿𝑜𝑔𝑋 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ + 𝑘. 𝑆 ……………………………………...…..(2.6)
dimana:
𝐿𝑜𝑔𝑋 : nilai logaritma dari curah hujan rancangan kala ulang tertentu
(mm)
𝐿𝑜𝑔𝑋̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅̅ : nilai logaritma dari curah hujan rerata maksimum daerah (mm)
𝑘 : nilai konstanta didapatkan dari tabel Log Pearson III yang berasal
dari hubungan nilai Cs dan periode ulang (T)
𝑆 : standar deviasi
2.3.5.2 Metode Gumbel
Adapun rumus yang digunakan untuk mencari curah hujan rancangan
dengan Gumbel, yaitu (Hadisusanto, 2010) :
𝑋 = 𝑋 ̅̅̅̅̅̅̅̅ + 𝑘. 𝑆 ………………………………………………......(2.7)
dimana:
𝑋 = nilai dari curah hujan rancangan kala ulang tertentu (mm)
�̅� = nilai dari curah hujan rerata maksimum daerah (mm)
𝑘 = faktor probabilitas Gumbel
𝑆 = standar deviasi
Faktor probabilitas 𝑘 untuk harga-harga ekstrim Gumbel dapat dinyatakan
dengan persamaan sebagai berikut :
(𝑌𝑡−𝑌𝑛)
𝑆𝑛 ……………………………………………………….. (2.8)
dimana:
𝑌𝑡 = reduce variable, parameter Gumbel untuk periode tahun
𝑌𝑛 = reduce mean, merupakan fungsi dari banyak data
𝑆𝑛 = reduce standart deviasi
𝑌𝑡 = −𝑙𝑛𝑇−1
𝑇 ………………………………………………...... (2.9)
Untuk 𝑇 ≥ 20
𝑌𝑡 = ln 𝑇……………………………..……………………......(2.10)
10
2.3.5.3 Metode Normal
Adapun rumus yang digunakan untuk mencari curah hujan rancangan
dengan Gumbel, yaitu (Hadisusanto, 2010) :
𝑋 = 𝑋 ̅̅̅̅̅̅̅̅ + 𝑘. 𝑆 ………………………………………….…...…...(2.11)
dimana:
𝑋 = nilai dari curah hujan rancangan kala ulang tertentu (mm)
�̅� = nilai dari curah hujan rerata maksimum daerah (mm)
𝑘 = faktor frekuensi (nilai variable reduksi gauss)
𝑆 = standar deviasi
Tabel.2.1. Nilai k Distribusi Pearson tipe III dan Log Pearson tipe III
Kemencengan 2 5 10 25 50 100 200 1000
(CS) Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
3,0 -0,360 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250
2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600
2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949 3,670
0,3 -0,050 0,824 1,309 7,849 2,211 2,544 2,856 3,525
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995.
11
Tabel.2.1. Nilai k Distribusi Pearson tipe III dan Log Pearson tipe III (lanjutan)
Kemencengan 2 5 10 25 50 100 200 1000
(CS)
Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -0,017 0,836 1,382 1,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 0,017 0,836 1,270 1,761 2,000 2,252 2,482 2,950
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 0,999 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275
-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197 1,216 1,280
-1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087 1,097 1,130
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000
-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995.
12
Tabel 2.2.Nilai Variabel Reduksi Gauss nilai k untuk Distribusi Normal
T Peluang k
1,001 0,999 -3,05
1,005 0,995 -2,58
1,010 0,990 -2,33
1,050 0,950 -1,64
1,110 0,900 -1,28
1,250 0,800 -0,84
1,330 0,750 -0,67
1,430 0,700 -0,52
1,670 0,600 -0,25
2,000 0,500 0
2,500 0,400 0,25
3,330 0,300 0,52
4,000 0,250 0,67
5,000 0,200 0,84
10,000 0,100 1,28
20,000 0,050 1,64
50,000 0,200 2,05
100,000 0,010 2,33
200,000 0,005 2,58
500,000 0,002 2,88
1,000,000 0,001 3,09
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
Tabel.2.3. Faktor Frekuensi k untuk Distribusi Log Normal
(CV)
Peluang kumulatif P (%) : P (X ≤ X)
50 80 90 95 98 99
Periode ulang (tahun)
2 5 10 20 50 100
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
13
Tabel.2.3. Faktor Frekuensi k untuk Distribusi Log Normal (lanjutan)
(CV)
Peluang kumulatif P (%) : P (X ≤ X)
50 80 90 95 98 99
Periode ulang (tahun)
2 5 10 20 50 100
0,0500 -0,0250 0,8334 12,965 16,863 21,341 24,570
0,1000 -0,0496 0,8222 13,078 17,247 22,130 25,489
0,1500 -0,0738 0,8085 13,156 17,598 22,899 22,607
0,2000 -0,0971 0,7926 13,200 17,911 23,640 27,716
0,2500 -0,1194 0,7746 13,209 18,183 24,318 28,805
0,3000 -0,1406 0,7647 13,183 18,414 25,015 29,866
0,3500 -0,1604 0,7333 13,126 18,602 25,638 30,890
0,4000 -0,1788 0,7100 13,037 18,746 26,212 31,870
0,4500 -0,1957 0,6870 12,920 18,848 26,731 32,799
0,5000 -0,2111 0,6626 12,778 18,909 27,202 33,673
0,5500 -0,2251 0,6379 12,613 18,931 27,613 34,488
0,6000 -0,2375 0,6129 12,428 18,915 27,971 35,211
0,6500 -0,2185 0,5879 12,226 18,866 28,279 33,930
0,7000 -0,2582 0,5631 12,011 18,786 28,532 33,663
0,7500 -0,2667 0,5387 11,784 18,677 28,735 37,118
0,8000 -0,2739 0,5118 11,548 18,543 28,891 37,617
0,8500 -0,2801 0,4914 11,306 18,388 29,002 39,056
0,9000 -0,2852 0,4686 11,060 18,212 29,071 38,137
0,9500 -0,2895 0,4466 10,810 18,021 29,103 38,762
0,1000 -0,2929 0,4254 10,560 17,815 29,098 39,035
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
14
Tabel.2.4. Tabel Reduced Mean (Yn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,5353
30 0,5363 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430
40 0,5463 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567
80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585
90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599
100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
15
Tabel.2.5. Tabel Reduced Standar Deviasi (Sn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.9496 0.9676 0.9833 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0493 1.0565
20 1.0628 1.0696 1.0754 1.0811 1.0864 1.0915 1.0961 1.1104 1.1047 1.1080
30 1.1124 1.1159 1.1193 1.2260 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388
40 1.1413 1.1436 1.1458 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590
50 1.1607 1.1623 1.1638 1.1658 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734
60 1.1747 1.1759 1.1770 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844
70 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.1930
80 1.1938 1.1945 1.1953 1.1959 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.2001
90 1.2007 1.2013 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2046 1.2049 1.2055 1.2060
100 1.2065 1.2069 1.2073 1.2077 1.2081 1.2084 1.2087 1.2090 1.2093 1.2096
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
16
Tabel.2.6. Tabel Reduced Variate (Yt)
Periode Ulang Reduced Variate
2 0.3665
5 1.5004
10 2.251
20 2.9709
25 3.1993
50 3.9028
100 4.6012
200 5.2969
500 6.2149
1000 6.9087
5000 8.5188
10000 9.2121
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
2.3.6 Uji Kecocokan Distribusi
Untuk menentukan kecocokan ditribusi frekuensi dari sampel data
terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan
atau mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian parameter,
yaitu :
1. Uji Chi Kuadrat
2. Uji Smirnov Kolmogorov
Apabila dari pengujian terhadap distribusi frekuensi bisa sesuai parameter uji
keduanya maka perumusan persamaan tersebut dapat diterima
2.3.6.1 Uji Chi Kuadrat
Uji Chi Kuadrat dimaksudkan utuk menentukan apakah persamaan
distribusi peluang yang telah dipilih mewakili dari distribusi statistk sampel
data yang dianalisa. Pengambilan keputusan uji ini menggunkan parameter
X2. Parameter X
2 dapat dihitung dengan rumus :
𝑋2 = 𝑂𝑖−𝐸𝑖
2
𝐸𝑖
𝐺 …………………………………………………..(2.12)
dengan :
X2 = Parameter Chi Kuadrat terhitung
G = Jumlah sub kelompok
Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke –i
17
Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke –i
Prosedur uji Chi Kuadrat :
1. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya)
2. Kelompokkan data menjadi G sub grup, tiap – tiap sub grup minimal 4 data
pengamatan
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap – tiap sub grup
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei
5. Tiap – tiap sub grup hitug nilai (Oi – Ei) dan 𝑂𝑖− 𝐸 2
𝐸𝑖
6. Jumlahkan seluruh G sub grup nilai 𝑂𝑖− 𝐸 2
𝐸𝑖 untuk menentukan nilai Chi
Kuadrat hitung
7. Tentukan derajat kebebasan dk = G – R – 1(nilai R=2, untuk distribusi
normal dan binominal, dan nilai R=1, utuk distribusi Poisson)
Tabel.2.7. Nilai Kritis untuk Uji Chi Kuadrat
dk α Derajat kepercayaan
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,023 6,635 7,879
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,1030 59,910 73,780 92,100 105,970
3 0,0717 0,1150 0,2160 0,3520 78,150 93,480 113,450 128,380
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,420 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278
8 1,344 4,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589
10 2,156 2,558 3,257 3,940 18,307 20,483 12,209 25,188
11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300
13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819
14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 17,488 30,578 32,801
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
18
Tabel.2.7. Nilai Kritis untuk Uji Chi Kuadrat (lanjutan)
dk α Derajat kepercayaan
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267
17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718
18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156
19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582
20 7,434 8,260 9,591 10,851 31,410 34,170 37,660 39,997
21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401
22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796
23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,192 38,076 41,638 44,181
24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558
25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928
26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,926 45,642 48,290
27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645
28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993
29 13,121 14,253 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336
30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data,1995
2.3.6.2 Uji Smirnov Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov Kolmogorov sering juga disebut uji kecocokan
non parametik karena pengujinya tidak menggunakan fungsi distribusi
tertentu. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan
besarnya peluang dari masing – masing data tersebut.
2. Tentukan nilai masing – masing peluang teoritis dari hasil
penggambaran data (persamaan distribusinya)
3. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesarnya antara
peluang pengamatan dengan peluang teoritis .
4. Berdasarkan tabel nilai kritis tentukan harga D0
Apabila D lebih kecil dari D0 maka distribusi teoritis yang digunakan
untuk menentukan perasmaan distribusi dapat diterima, dan apabila
sebaliknya maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan
persamaan distribusi tidak dapat diterima.
19
Tabel.2.8. Nilai Kritis Do untuk Uji Smirnov Kolmogorov
n
α
0,2 0,1 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,3 0,34 0,4
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,2 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,2 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
n > 50 1,07/n 1,22/n 1,36/n 1,63/n
Sumber : Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk Analis Data,1995.
2.3.7 Intensitas Hujan
Hubungan antara hujan dan durasi hujan dapat dihitung dengan
beberapa perumusan, antara lain dengan rumus Talbot (1881), Sherman
(1905) dan Ishiguro (1953), dimana ketiganya untuk curah hujan jangka
pendek. Satuan untuk waktu t adalah menit dan mm/jam, untuk I (intensitas).
Rumus lainnya dikembangkan oleh dikembangkan oleh Mononobe yang
menggunakan data hujan harian. Besarnya intensitas hujan itu berbeda –
berbeda yang disebabkan oleh lamanya curah hujan atau frekuensi
kejadiannya.
Rumus Mononobe :
𝑰 =𝑹𝟐𝟒
𝟐𝟒 (
𝟐𝟒
𝒕)𝟐
𝟑 ……………………………………………...……...(2.13)
dengan :
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
T = durasi (lamanya) curah hujan (menit atau jam)
20
2.3.8 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran atau koefisien limpasan (run-off) adalah suatu
nilai koefisien yang menunjukan persentase kualitas curah hujan yang
menjadi aliran permukaan dari curah hujan total setelah mengalami infiltrasi.
Koefisien limpasan ditentukan berdasarkan tata guna lahan daerah tangkapan.
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi besarnya koefisien pengaliran
adalah :
a. Keadaan hujan
b. Luas dan bentuk daerah aliran
c. Kemiringan daerah aliran
d. Daya infiltrasi dan daya perkolasi tanah
e. Letak daerah aliran teradap arah angin
f. Tata guna lahan
Tabel 2.9 Harga Koefiien Pengaliran (C)
Komponen Lahan Koefisien C (%)
Perkerasan :
Aspal dan beton 0,70 – 0,95
Bata atau paving 0,70 – 0,85
Atap
Lahan berumput:
Tanah berpasir, landai (2%) 0,05 - 0,10
Curam (7%) 0,10 – 0,15
Tanah berat, landai (2%) 0,13 – 0,17
Curam (7%) 0,18 – 0,22
Daerah perdagangan :
Penting, padat 0,70 – 0,95
Kurang padat 0,50 – 0,70
Area pemukiman :
Perumahan tunggal 0,30 – 0,50
Perumahan kopel berjauhan 0,40 – 0,60
Perumahan kopel berdekatan 0,60 – 0,75
Perumahan pinggir kota 0,25 – 0,40
Apartemen 0,50 – 0,40
Area industri :
Ringan 0,50 – 0,70
Berat 0,60 – 0,80
Taman dan makam 0,10 – 0,35
Taman bermain 0,20 – 0,35
Halaman jalan kereta api 0,20 – 0,35
Lahan kosong/terlantar 0,10 – 0,30
21
Sumber : Disalin dan diterjemahkan dari Design and Construction of Saitary and
Strom Sewers, American Society of Civil Engineers and the Water Pollution Control
Federation, 1969.
2.3.9 Debit Rencana
Perhitungan debit rencana dilakukan dengan menggunakan persamaan
rasional (Mullvaney, 1881) dan (Kuichling, 1889), sebagai berikut :
𝑄 = 0,00278 𝐶. 𝐼. 𝐴 …………………………………………..……...(2.14)
dengan :
Q = debit (m3/detik)
C = koefisien run-off
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = catchment area / luas DPS (ha)
2.4 Analisa Hidrolika
2.4.1 Pola-Pola Drainase
Pembuatan saluran drainase disesuaikan dengan keadaan lahan dan
lingkungan sekitar, oleh karena itu dalam perencanaan drainase terdapat
banyak pola drainase, yang antara lain :
a. Pola Siku
Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi dari
pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang akhir berada akhir berada di
tengah kota.
Gambar 2.1 Pola Jaringan Drainase Siku
(Sumber: Sidharta Karmawan,1997;1-8)
b. Pararel
Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran
cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi
perkembangan kota, saluran-saluran akan dapat menyesuaikan diri.
22
Gambar 2.2 Pola Jaringan Drainase Pararel
(Sumber: Sidharta Karmawan,1997;1-8)
c. Grid Iron
Untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga
saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpulan.
Gambar 2.3 Pola Jaringan Drainase Grid Iron
(Sumber: Sidharta Karmawan,1997;1-8)
d. Alamiah
Sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola alamiah lebih
besar, letak saluran utama ada di bagian terendah (lembah) dari suatu daerah
(alam) yang secara efektif berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang
saluran yang ada (saluran cabang), dimana saluran cabang dan saluran utama
merupakan suatu saluran alamiah.
23
Gambar 2.4 Pola Jaringan Drainase Alam
(Sumber: Sidharta Karmawan,1997;1-8)
e. Radial
Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.
Suatu daerah genangan dikeringkan melalui beberapa saluran cabang dari
suatu titik menyebar ke segala arah (sesuai dengan kondisi topografi daerah).
Gambar 2.5 Pola Jaringan Drainase Radial
(Sumber: Sidharta Karmawan,1997;1-8)
2.4.2 Bentuk Saluran
Bentuk dari saluran–saluran dimensi drainase sama halnya dengan
bentuk saluran irigasi, serta dalam perencanaan dimensi saluran harus
diusahakan seekonomis mungkin.
Adapun bentuk saluran antara lain :
a. Trapesium
Pada umumnya saluran terbentuk trapesium terbuat dari tanah akan
tetapi tidak menutup kemungkinan dibuat dari pasangan batu dan beton.
Berfungsi untuk menampung dan menyalurkan limpasan air hujan dengan
debit yang besar.
24
Gambar 2.6 Bentuk Trapesium
(Sumber: Wesli, 2008)
b. Persegi
Biasanya saluran ini terbuat dari pasangan batu dan beton. Berfungsi
untuk menampung dan menyalurkan limpasan air hujan dengan debit yang
besar.
Gambar 2.7 Bentuk Persegi
(Sumber: Wesli, 2008)
c. Segitiga
Saluran sangat jarang digunakan tetapi mungkin digunakan dalam
kondisi tertentu
Gambar 2.8 Bentuk Segiitiga
(Sumber: Wesli, 2008)
25
d. Setengah Lingkaran
Berfungsi untuk menyalurkan limbah air hujan untuk debit yang
kecil. Bentuk saluran ini umum digunakan untuk saluran–saluran penduduk
dan pada sisi jalan perumahan padat.
Gambar 2.9 Bentuk Setengah Lingkaran
(Sumber: Wesli, 2008)
2.4.3 Kapasitas Saluran
Kapasitas saluran didefinisikan sebagai debit maksimum yang mampu
dilewatkan oleh setiap penampang sepanjang saluran. Kapasitas saluran ini,
digunakan sebagai acuan untuk menyatakan apakah debit yang direncanakan
tersebut mampu untuk ditampung oleh saluran pada kondisi eksisting tanpa
terjadi peluapan air (Anggrahini, 2005). Analisa untuk menghitung kapasitas
saluran, dipergunakan persamaan kontinuitas dan rumus Manning, yaitu:
𝑄 = 𝐴. 𝑉……………………………………………………..…………...(2.15)
𝑄 =1
𝑛. 𝐴. 𝑅
23 .𝑆
13 ……………………………………………...……....(2.16)
𝑅 =𝐴
𝑃 …………………………………....................................................(2.17)
dengan :
Q = debit / debit saluran (m3/det)
A = luas penampang basah saluran (m2)
V = kecepatan rata-rata (m/det)
n = koefisien kekasaran saluran
R = jari-jari hidrolis (m)
S = kemiringan memanjang saluran
P = keliling basah saluran (m)
26
2.4.2 Kecepatan Pengaliran
Penentuan kecepatan aliran air didalam saluran yang direncanakan
didasarkan pada kecepatan minimum yang diperbolehkan agar kontruksi
saluran tetap aman. Persamaan Manning :
𝑉 =1
𝑛𝑅
23 𝑆
12 ………………………………………………...................(2.18)
dengan :
V = kecepatan aliran
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis
S = kemiringan memanjang saluran
Untuk desain dimensi saluran tanpa perkerasan, dipakai harga n
Manning normal atau maksimum, sedangkan harga n Manning minimum
hanya dipakai untuk pengecekan bagian saluran yang mudah terkena gerusan.
Harga n Manning tergantung hanya pada kekasaran sisi dan dasar saluran.
Tabel 2.10 Koefisien Kekerasan Manning (n) untuk Perencanaan Saluran
Jenis Saluran Nilai „n‟ Manning
Aliran Permukaan 0,035
Saluran tanah tanpa pasangan 0,035
Saluran pasangan :
Batu kali/beton,pada sisinya saja, dasar sedimen 0,025
Batu kali/beton, pada sisinya saja, dasar bersih 0,020
Batu kali dengan plesteran/beton Kedua sisi dan dasar 0,014
Sumber : Surabaya Master Plan Drainage (SDMP)
2.4.3 Kemiringan Talud
Kecepatan maksimum ditentukan oleh kakasaran dinding dan dasar
saluran. Untuk saluran tanah V = 0,7 m/det, pasangan batu kali V = 2 m/det
dan pasangan beton V = 3 m/det. Kecepatan minimum yang diizinkan adalah
kecepatan paling rendah yang akan mencegah pengendapan dan tidak
menyebabkan berkembangnya tanaman-tanaman air. Kecepatan maksimum
dan minimum saluran juga ditentukan oleh kemiringan talud saluran (Permen
PUNo. 12/PRT/M/2014).
27
2.4.4 Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan adalah ketinggian yang diukur dari permukaan air
maksimum sampai permukaan tanggul saluran atau muka tanah. Tinggi jagaan
harus diperhitungkan untuk mencegah meluapnya air ke tepi saluran.
Tabel 2.11. Tinggi Jagaan untuk Saluran Pasangan
Debit (m3/det) F(m)
<0,5 0,20
0,5 – 1,5 0,20
1,5 – 5,0 0,25
5,0 – 10,0 0,30
10,0 – 15,0 0,40
>15,0 0,50
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, KP-04 Bagian Bangunan, Ditjen Pengairan,
1986
2.5 Alternatif Penanggulangan Banjir
2.5.1 Normalisasi
Normalisasi dalam arti sebenarnya yaitu mengembalikan bentuk sungai
sesuai dengan peruntukan serta bentuk awalnya (Nirwono, 2018). Contoh
normalisasi sungai yaitu memperdalam sungai, memperlebar sungai dan
membersihkan timbunan sampah yang ada di permukaan atau dasar sungai.
2.5.2 Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana (BNPB,2008). Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan
perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana,
pemulihan sosial psikologis, pemulihan keamanan dan ketertiban.
28
“Halaman ini sengaja dikosongkan”