bab 1.pdf

7
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hati merupakan organ penting dalam menjalankan sebagai fungsi metabolisme, detoksifikasi, bahkan inaktivasi obat atau senyawa beracun lainnya seperti radikal bebas, sehingga dapat dikatakan hati sebagai fungsi pertahanan dan pelindung tubuh (Linawati, dkk., 2008). Paparan yang tinggi dari berbagai polutan dan senyawa beracun pada tubuh dapat menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan hati salah satunya berupa peradangan pada sel hati. Peradangan pada hati terjadi bila kemampuan hati dalam menjalakan fungsinya sudah melewati ambang batas. Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang serius berupa peradangan hati yang terjadi secara difusa dan dapat menyebabkan komplikasi parah bahkan dapat menyebabkan kematian. Tingkat insiden dan kematian bervariasi dengan setiap jenis penyakit (Remedy Health Media, 2015). Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2014 menyatakan sebanyak 1,5 juta penduduk dunia setiap tahunnya meninggal karena hepatitis dan mengalami peningkatan jumlah angka kematian 2 kali lipat dibanding dengan riset yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi hepatitis di Indonesia mengalami peningkatan 2 kali lebih tinggi disbanding dengan tahun 2007, yaitu 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% pada tahun 2013. Pada tahun 2013 lima prevalensi hepatitis tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%), dan Maluku

Upload: novri-chengho

Post on 09-Jul-2016

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ini pendahuluan skripsi gue,, jangan coba copas,, tapi boleh diliat liat,, dilakukan di banda aceh,,

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hati merupakan organ penting dalam menjalankan sebagai fungsi

metabolisme, detoksifikasi, bahkan inaktivasi obat atau senyawa beracun lainnya

seperti radikal bebas, sehingga dapat dikatakan hati sebagai fungsi pertahanan dan

pelindung tubuh (Linawati, dkk., 2008). Paparan yang tinggi dari berbagai polutan

dan senyawa beracun pada tubuh dapat menyebabkan meningkatnya risiko

kerusakan hati salah satunya berupa peradangan pada sel hati. Peradangan pada

hati terjadi bila kemampuan hati dalam menjalakan fungsinya sudah melewati

ambang batas.

Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang serius berupa peradangan

hati yang terjadi secara difusa dan dapat menyebabkan komplikasi parah bahkan

dapat menyebabkan kematian. Tingkat insiden dan kematian bervariasi dengan

setiap jenis penyakit (Remedy Health Media, 2015). Departemen Kesehatan

(Depkes) tahun 2014 menyatakan sebanyak 1,5 juta penduduk dunia setiap

tahunnya meninggal karena hepatitis dan mengalami peningkatan jumlah angka

kematian 2 kali lipat dibanding dengan riset yang dilakukan pada tahun 2007 dan

2013.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi

hepatitis di Indonesia mengalami peningkatan 2 kali lebih tinggi disbanding

dengan tahun 2007, yaitu 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% pada tahun 2013.

Pada tahun 2013 lima prevalensi hepatitis tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur

(4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%), dan Maluku

2

(2,3%). Provinsi Aceh menduduki posisi 8 tertinggi dari provinsi yang ada di

Indonesia yang memiliki angka prevalensi di atas rata-rata nasional, yaitu 1,8%.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan Kabupaten Aceh

Utara merupakan kabupaten dengan prevalensi hepatitis kedua tertinggi setelah

Kabupaten Aceh Timur, yaitu dengan prevalensi hepatitis 3,1%, sedangkan di

Kota Lhokseumawe didapatkan 0,5%.

Beberapa penyebab hepatitis seperti penyakit autoimun primer (hepatitis

lupoid), infeksi virus, akibat obat (seperti parasetamol, oksifenisatin, metildopa,

nitrofurantoin, isoniazid, dan Iain-lain), alkoholisme, dan defisiensi alfa-l-

antitripsin (Hamidy, dkk. 2009).

Hepar akan bereaksi saat terjadi peradangan seperti melepaskan enzim

enzim ke dalam darah sehingga jumlah enzim tersebut meningkat di dalam darah

berupa aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT),

Glutamate Dehidrogenase (GLDH) dan Lactate dehydrogenase (LDH) yang

dapat di amati dari pemeriksaan serum sebagai penanda dini adanya kerusakan

hepar (Amiruddin, 2009).

Hepatitis selain dapat disebabkan oleh hal hal yang disebutkan diatas, juga

dapat disebabkan oleh zat toksik (hepatitis toksik), karena kerusakan hati yang

terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik terhadap hati (Hamidy, dkk.

2009).

Warna merupakan kriteria karakteristik penting untuk pilihan makanan.

Pewarna makanan merupakan suatu senyawa berwarna yang memiliki afinitas

kimia terhadap benda yang diwarnainya. Pewarna memainkan peran yang cukup

3

besar untuk meningkatkan daya tarik estetika makanan. Badan Pengawas Obat

dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) sering menemukan produk

makanan yang menggunakan pewarna tekstil (Cahyadi, 2012). Menurut definisi

peraturan Food and Drug Administration (FDA), pewarna diklasifikasikan dalam

dua kelas: pewarna sintetis, dan pewarna alami (Helal, 2000). Secara kuantitas

dibutuhkan zat pewarna alami yang lebih banyak daripada zat pewarna sintetis

untuk menghasilkan tingkat pewarnaan yang sama. Zat pewarna alami juga

menghasilkan karakteristik warna yang lebih pudar dan kurang stabil jika

dibandingkan dengan zat pewarna sintetis (Winarno, 2004).

Produsen dalam memenuhi kebutuhan dengan keuntungan yang besar,

harga murah, maka salah satu cara menggunakan pewarna sintetis untuk

mempertahankan makanan agar telihat menarik dan tahan lama walaupun

menggunakan pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya atau menambahkan

penggunaan yang diluar batas yang diizinkan oleh BPOM (Mukaromah, 2008).

Salah satu aspek yang diawasi dalam profil keamanan pangan jajanan, yaitu

pemakaian Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak memenuhi syarat. Hal ini

berkaitan dengan dosis pemakaian BTP yang melampaui batas maksimum yang

telah ditentukan (BPOM RI, 2013).

Pewarna sintetis makanan merupakan salah satu zat toksik yang sering

dikonsumsi oleh konsumen. Mengkonsumsi pewarna makanan sintetik dalam

jangka waktu yang lama dapat menyebabkan dampak negatif (Winarno, 2004).

Peraturan mengenai penggunaan zat pewarna di Indonesia yang diizinkan

dan dilarang untuk pangan diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan

4

(Permenkes) No.772/Menkes/Per/IX/88 tentang BTP, Permenkes

No.1168/Menkes/1999, dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 (BPOM RI,

2013). Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna

untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit

dipakai untuk mewarnai bahan pangan (Cahyadi, 2012).

Jenis pewarna yang sering ditemukan dalam beberapa produk pangan

diantaranya adalah pewarna sintetik dari golongan azo yang proses pembuatannya

melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat sehingga sering

menghasilkan senyawa kimia berbahaya (Cahyadi, 2012). Zat ini akan di

detoksifikasi dan dieksresikan oleh hati jika zat tersebut dikonsumsi, akan tetapi,

hati sendiri mempunyai batas untuk mengeksresikan zat ini secara berkelanjutan,

sehingga dapat menyebabkan hati sendiri mengalami kerusakan berupa

peradangan atau bahkan nekrosis. Salah satu jenis pewarna makanan golongan azo

adalah Sunset Yellow FCF (For Coloring Food). Sunset Yellow FCF secara

komersial digunakan sebagai zat aditif makanan yang menguntungkan karena

mudah dicampurkan untuk mendapatkan warna yang ideal serta biaya yang

rendah dibandingkan dengan pewarna alami. Penggunaan bahan pewarna

makanan yang diizinkan dalam makanan dengan batas maksimum penggunaannya

telah ditetapkan dalam Permenkes No. 722/MEN.KES.PER/IX/88 tentang BTP

untuk Sunset Yellow FCF kadar yang diizinkan untuk minuman ringan dan

makanan cair yaitu 70 µg/ml untuk produk siap konsumsi, sedangkan menurut

World Health Organization (WHO) adalah 0 sampai 2,5 mg/kg (BPOM RI,

2013).

5

1.2 Rumusan Masalah

Prevalensi hepatitis semakin meningkat yang disebabkan oleh berbagai

penyebab. Pewarna sintetik makanan termasuk zat toksik yang merupakan salah

satu penyebab dari hepatitis tersebut. Pewarna sintetik makanan yang sering

digunakan berasal dari golongan azo yang proses pembuatannya melalui

perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat sehingga sering menghasilkan

senyawa kimia berbahaya. Zat ini akan didetoksifikasi dan dieksresikan oleh hati

jika zat tersebut dikonsumsi tapi dan dapat menyebabkan kerusakan hati sehingga

terjadi peningkatan kadar enzim AST dan ALT. Salah satu pewarna yang sering

ditemukan dan diizinkan peredarannya dalam beberapa produk pangan di

Indonesia adalah Sunset Yellow FCF. Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian

ini peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan

Sunset Yellow FCF peroral terhadap kadar AST dan ALT pada tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan galur wistar.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral dengan dosis 2,5 mg/200grBB/hari terhadap kadar

AST dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

2. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral dengan dosis 5 mg/200grBB/hari terhadap kadar AST

dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

6

3. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral dengan dosis 10 mg/200grBB/hari terhadap kadar

AST dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral terhadap kadar AST dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan galur wistar.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral dengan dosis 2,5 mg/200grBB/hari terhadap kadar

AST dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Mengetahui pengaruhpemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral dengan dosis 5 mg/200grBB/hari terhadap kadar AST

dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintetis makanan Sunset

Yellow FCF peroral dengan dosis 10 mg/200grBB/hari kadar AST dan

ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

7

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan wawasan

bagi peneliti.

2. Penelitian ini diharapkan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya

tentang pengaruh penggunaan zat pewarna sintetis makanan Sunset Yellow

FCF terhadap kadar AST dan ALT tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur wistar.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi bahan masukan dan sebagai

informasi bagi masyarakat tentang penggunaan zat pewarna sintetis

makanan Sunset Yellow FCF serta dampaknya terhadap kesehatan.