bab 17
TRANSCRIPT
BAB 17
PENGAJARAN BERBICARA
Rangkuman
Terdapat beberapa perspektif pada pertimbangan-pertimbangan tentang isu-isu saat ini
dalam mengajarkan komunikasi lisan, yaitu wacana percakapan, pengajaran pengucapan,
keakuratan dan kelancaran, faktor-faktor afektif, dan pengaruh interaksi.
Tipe-tipe dalam bahasa lisan antara lain dialog interpersonal (interaksional) dan
dialog transaksional. Ciri-ciri dalam bahasa lisan dapat membuat performa lisan mudah,
namun dalam beberapa kasus dapat menjadi sulit, yaitu pengelompokan, pleonasme, bentuk-
bentuk yang dikurangi, variabel-variabel performa, bahasa sehari-hari, tingkat penyampaian,
tekanan, irama, dan intonasi, dan interaksi.
Terdapat enam kategori pada jenis-jenis produksi lisan yang diharapkan siswa untuk
diadakan di dalam kelas, yaitu imititatif (peniruan), intensif, responsif, transaksional (dialog),
interpersonal (dialog), dan ekstensif (monolog).
Prinsip-prinsip untuk mendesain teknik-teknik berbicara antara lain (1) menggunakan
teknik-teknik yang mencakup spektrum (rincian kontinu) dari kebutuhan-kebutuhan siswa,
dari fokus berbasis bahasa dalam keakuratan terhadap fokus berbasis pesan dalam interaksi,
makna, dan kelancaran, (2) memberikan secara intrinsik teknik-teknik yang memotivasi, (3)
mendorong penggunaan bahasa otentik dalam konteks-konteks yang bermakna, (4)
memberikan umpan balik dan koreksi yang tepat, (5) menekankan hubungan alami diantara
berbicara dan menyimak, (6) memberikan kesempatan-kesempatan kepada siswa untuk
mengawali komunikasi lisan, dan (7) mendorong perkembangan strategi-strategi berbicara.
Analisis
Keterampilan Komunikasi Lisan dalam Penelitian Pedagogis
Terdapat beberapa perspektif pada pertimbangan-pertimbangan tentang isu-isu saat ini dalam
mengajarkan komunikasi lisan
1. Wacana percakapan
Ketika seseorang menanyakan kepada Anda “Apakah Anda berbicara bahasa
Inggris?”, yang mereka maksudkan adalah: Dapatkah Anda melalukan sebuah percakapan
secara kompeten? Ukuran keberhasilan dalam kemahiran berbahasa hampir selalu menjadi
sebuah demonstrasi dari sebuah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatik melalui
wacana interaktif dengan penutur lainnya dari bahasa. Richards (1990:67) pernah
menyatakan, “kelas percakapan adalah sesuatu dari sebuah teka-teki dalam pengajaran
bahasa.” Tujuan dan teknik untuk mengajarkan percakapan sangatlah beragam, bergantung
pada siswa, guru, dan konteks keseluruhan dari kelas. Secara historis, kelas “percakapan”
telah dicapai dari kuasi-komunikatif (komunikasi yang berpura-pura) yang berusaha untuk
bebas, terbuka, dan kadang-kadang kurang agenda untuk berdiskusi di antara siswa.
Penelitian pedagogis baru-baru ini terhadap pengajaran percakapan telah memberikan
beberapa parameter untuk mengembangkan tujuan dan teknik, yaitu menemukan teknik-
teknik untuk mengajarkan siswa aturan-aturan percakapan untuk nominasi topik, menjaga
sebuah percakapan, mengambil alih, gangguan/ interupsi, dan pengakhiran. Sumber
pengetahun pedagogi telah melengkapi cara-cara untuk mengajarkan kesesuaian
sosiolinguistik, gaya berbicara, komunikasi nonverbal, dan rutinitas percakapan (seperti,
“Yah, saya harus pergi sekarang.” “Cuaca yang baik hari ini, huh?” “Pernahkan saya bertemu
denganmu di suatu tempat sebelumnya?”). Di dalam semua fokus ini, sifat fonologi, leksikal,
dan sintaksis bahasa dapat dihadirkan secara langsung atau tidak langsung.
Thompson (2003:1) menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur mendasar
dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen utamanya. Pernyataan
tersebut menyuratkan, bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa dilepaskan dengan
kegiatan berbahasa. Siswa membutuhkan keterampilan berbicara dalam interaksi
sosialnya. Siswa akan dapat mengungkapkan pikiran dan perasaanya secara efektif
jika ia terampil berbicara. Dalam kaitan kreativitas, keterampilan berbicara merupakan salah
satu keterampilan yang perlu mendapat perhatian karena gagasan-gagasan kreatif dapat
dihasilkan melalui keterampilan tersebut.
Kemampuan berbicara siswa juga dipengaruhi oleh kemampuan komunikatif.
Menurut Utari dan Nababan (1993), kemampuan komunikatif adalah pengetahuan
mengenai bentuk-bentuk bahasa dan makna-makna bahasa tersebut, dan kemampuan untuk
menggunakannya pada saat kapan dan kepada siapa. Pengertian ini dilengkapi oleh Ibrahim
(2001), bahwa kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur dan menggunakan
bahasa sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma berbahasa dalam masyarakat yang
sebenarnya. Kompetensi komunikatif juga berhubungan dengan kemampuan sosial dan
menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.
2. Pengajaran pengucapan
Banyak siswa bahasa asing merasa bahwa tujuan akhir mereka dalam pengucapan
haruslah menjadi penuturan bebas-aksen yang tidak dapat dibedakan dari seorang penutur
pribumi. Tujuan tersebut bukan saja tidak dapat dicapai untuk setiap siswa dewasa pribumi,
tetapi dalam sebuah dunia multibudaya, multilingual, aksen-aksen sangat dapat diterima.
Dengan penyebaran yang cepat dalam bahasa Inggris sebagai sebuah bahasa internasional,
aksen pribumi telah menjadi hampir tidak relevan dalam komunikasi lintas budaya. Terlebih
lagi, pada saat komunitas dunia menghargai dan menilai warisan orang-orang, aksen
seseorang merupakan simbol lainnya dari warisan tersebut.
Tujuan kita sebagai guru dalam pengucapan bahasa Inggris (bahasa lisan) harus
terfokus secara realistik dalam pengucapan yang jelas, dan dapat dipahami. Pada tingkatan-
tingkatan pemula, kita menginginkan siswa untuk melewati ambang tersebut, yaitu
pengucapan dikurangi dari kemampuan mereka untuk berkomunikasi. Pada tingkat lanjut,
tujuan-tujuan pengucapan dapat berfokus pada unsur-unsur yang meningkatkan komunikasi:
ciri-ciri intonasi yang berada di luar pola-pola dasar, kualitas suara, perbedaan fonetik
diantara register, dan penyaringan lainnya yang jauh lebih penting dalam aluran komunikasi
yang jelas secara keseluruhan daripada mengucapkan huruf /r/ dalam bahasa Inggris yang
meniru “penutur aslinya”.
Berikut ini merupakan faktor-faktor di dalam siswa yang mempengaruhi pengucapan;
variabel-variabel yang harus pertimbangkan.
a. Bahasa ibu. Bahasa ibu adalah faktor yang paling berpengaruh yang mempengaruhi
pengucapan seorang siswa. Jika kita familiar dengan sistem suara dari bahasa ibu
siswa, kita akan lebih baik mampu untuk mendiagnosa kesulitan-kesulitan siswa.
Banyak pengaruh setelahnya dari Bahasa 1-Bahasa 2 dapat diatasi melalui sebuah
kesadaran yang terfokus dan usaha dalam bagian siswa.
Dalam pengembangan bahan ajar Pembelajaran Berbicara, Departemen Pendidikan
Nasional (2009: 12 – 13) dinyatakan pula, bahwa pembicara/ penutur harus membiasakan diri
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkan perhatian pendengar. Pola ucapan dan artikulasi yang kita gunakan tidak selalu
sama, masing-masing kita mempunyai ciri tersendiri. Selain itu, ucapan kita pun sering
dipengaruhi oleh bahasa ibu. Akan tetapi, jika perbedaan itu terlalu mencolok sehingga
menjadi suatu penyimpangan, maka keefektifan komunikasi akan terganggu.
Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun usaha ke arah itu
sudah lama dikemukakan adalah bahwa ucapan atau lafal yang baku dalam bahasa Indonesia
adalah ucapan yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah.
Berikut ini salah satu contoh pelafalan huruf, suku kata dan kata yang belum sesuai
dengan pelafalan bunyi bahasa Indonesia.
(a) Pelafalan /c/ dengan /se/
WC dilafalkan /we -se/ seharusnya we-ce
AC dilafalkan /a-se/ seharusnya /a-ce/
TC dilafalkan /te-se/ seharusnya /te-ce/
(b) Pelafalan /q/ dengan /kiu/
MTQ dilafalkan / em-te-kiu/ seharusnya /em-te-ki
PQR dilafalkan /pe-kiu-er/ seharusnya /pe-ki-er/
b. Usia. Pada umumnya, anak-anak di bawah usia pubertas memiliki peluang dalam
“meniru menyerupai penutur asli” jika mereka terus diekspos dalam konteks yang
otentik. Di luar usia pubertas tidak ada keuntungan khusus yang dicirikan pada usia,
sementara orang dewasa akan hampir memelihara sebuah “aksen asing”. Orang
berusia lima puluh tahun dapat menjadi seberhasil orang berusia delapan belas tahun
jika semua faktor-faktor lainnya setara. Jadi, ungkapan “lebih muda, lebih baik”
adalah sebuah mitos. Orang dewasa pun dapat mempelajari dan menguasai bahasa.
c. Keterbukaan. Seseorang sebenarnya dapat benar-benar tinggal dalam sebuah negara
asing untuk beberapa saat, tetapi tidak mengambil keuntungan dengan bergaul
“dengan orang-orang” setempat. Penelitian tampaknya mendukung dasar pemikiran,
bahwa kualitas dan intensitas dalam keterbukaan lebih penting daripada semata-mata
lamanya waktu. Jika waktu di kelas dialokasikan untuk berfokus pada pengucapan
yang menuntut perhatian penuh dan ketertarikan dari siswa, kemudian mereka dapat
memiliki peluang yang baik untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.
Dalam hal ini, bagi penutur bahasa merupakan suatu alat untuk menyampaikan
pesan kepada orang lain. Oleh karena itu, penutur/ siswa, selain mempelajari bahasa itu
sendiri, juga seyogyanya mengetahui faktor nonkebahasaan (2009: 14), meliputi:
(1) Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain
Menghargai pendapat orang lain berarti menghormati atau mengindahkan pikiran orang lain,
baik pendapat itu benar maupun salah.
(2) Kesediaan Mengoreksi Diri Sendiri
Mengoreksi diri sendiri berarti memperbaiki kesalahan diri sendiri. Kesediaan
memperbaiki diri sendiri adalah sikap terpuji. Sikap seperti ini sangat diperlukan dalam
kegiatan berbicara agar diperoleh kebenaran atau kesepakatan. Sikap ini merupakan
dasar bagi pembinaan jiwa yang demokratis.
(3) Keberanian Mengemukakan dan Mempertahankan Pendapat
Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau pendapat secara lisan.
Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang sesuatu diperlukan keberanian. Seseorang
mengemukakan pendapat di samping memiliki ide atau gagasan, juga harus memiliki
keberanian untuk mengemukakannya.
d. Kemampuan fonetik bawaan. Pengajaran-pengajaran berbasis strategi telah terbukti,
bahwa beberapa unsur pembelajaran adalah sebuah masalah dalam kesadaran dari diri
sendiri, batasan-batasan ini dikombinasikan dengan sebuah fokus yang sadar dalam
melakukan sesuatu untuk menyeimbangkan batasan-batasan tersebut. Oleh karena itu,
jika pengucapan tampak secara alami sulit untuk beberapa siswa, mereka tidak boleh
putus asa, dengan beberapa usaha dan konsentrasi, mereka dapat meningkatkan
kompetensi mereka.
Pengaruh bahasa ibu dan logat geografis dapat menjadi salah satu bentuk
kemampuan fonetik bawaan sehingga dalam kasus, misalnya, pengucapan bahasa Indonesia
dengan aksen kuat berlogat jawa.
e. Identitas dan ego bahasa. Pengaruh lainnya adalah sikap seseorang terhadap penutur
dari bahasa target dan tingkat, dimana ego bahasa mengidentifikasi penutur. Siswa
perlu diingatkan mengenai kepentingan dari sikap-sikap yang positif terhadap orang-
orang yang berbicara bahasa tersebut (jika target tersebut dapat diidentifikasi), tetapi
lebih penting lagi, siswa perlu menyadari – dan tidak takut akan – identitas kedua
yang dapat muncul di dalam mereka.
f. Motivasi dan perhatian untuk pengucapan yang baik. Beberapa siswa tidak
memperhatikan pengucapan mereka, sementara yang lainnya memperhatikan. Tingkat
motivasi intrinsik siswa mendorong mereka terhadap peningkatan sebagai pengaruh
terkuat dari semua enam faktor dalam daftar ini. Jika motivasi dan perhatian tersebut
tinggi, kemudian usaha yang penting akan dibuat untuk mencapai tujuan tersebut.
Kita dapat membantu siswa untuk menerima atau mengembangkan motivasi tersebut
dengan menunjukan, antara lain, bagaimana kejelasan dalam penuturan adalah
penting dalam membentuk gambaran diri mereka, dan pada akhirnya, dalam mencapai
beberapa dari tujuan-tujuan mereka.
Kesemua enam faktor diatas menunjukan bahwa siswa yang benar-benar ingin dapat
belajar untuk mengucapkan bahasa Inggris dengan jelas dan dapat dipahami.
3. Keakuratan dan kelancaran
Kelancaran dan keakuratan merupakan tujuan-tujuan yang penting untuk diikuti
dalam CLT (Communicative Learning Teaching – Pengajaran Bahasa Komunikatif).
Kelancaran dalam berbagai pelajaran bahasa komunikatif menjadi sebuah sasaran permulaan
dalam pengajaran bahasa, sedangkan keakuratan dicapai pada beberapa tingkatan dengan
memungkinkan siswa untuk berfokus pada unsur-unsur dalam fonologi, tatabahasa, dan
wacana dalam produksi lisan mereka.
Isu kelancaran dan keakuratan seringkali dikurangi pada tingkat dimana teknik-teknik
kita harus berorientasi pada pesan (atau, beberapa orang menyebutnya, mengajarkan guna
bahasa) yang berlawanan dengan berorientasi pada bahasa (juga dikenal sebagai
mengajarkan penggunaan bahasa). Pendekatan-pendekatan saat ini terhadap pengajaran
bahasa bersandar secara kuat terhadap orientasi pesan dengan penggunaan bahasa yang
menawarkan sebuah peran pendukung.
Dalam Mudini dan Salamat Purba (2009: 14), kata dan ungkapan yang kita gunakan
dalam berbicara hendaknya baik, konkret, dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan
yang baik, maksudnya adalah pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan keadaan
pendengarnya. Misalnya, jika yang menjadi pendengarnya para petani, maka kata-kata yang
dipilih adalah kata-kata atau ungkapan yang mudah dipahami oleh para petani. Susunan
penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan atau uraian tentang sesuatu . Hal ini
menyangkut penggunaan kalimat. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan lebih
memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraan.
4. Faktor-faktor afektif
Salah satu dari kendala utama dari siswa untuk belajar berbicara adalah kegelisahan
yang ditimbulkan oleh resiko berkata spontan dengan perkataan yang salah, bodoh, atau tidak
dapat dipahami. Karena ego yang menginformasikan orang-orang, bahwa “Anda adalah apa
yang anda bicarakan” sehingga siswa ragu-ragu untuk dinilai oleh pendengar. Seperti sebuah
sindiran dari Mark Twain “Adalah lebih baik untuk menutup mulutmu daripada mendorong
orang lain berpikir, bahwa Anda bodoh daripada anda membukan mulutmu dan
menghilangkan semua keraguan.” Pekerjaan kita sebagian guru adalah dengan memberikan
kehangatan, menciptakan iklim yang mendorong siswa untuk berbicara, walaupun kadang-
kadang dapat menghambat usaha mereka. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
diperlukan keberanian dalam mengemukakan pendapat atau berbicara, sebagai salah satu
faktor nonkebahasaan yang harus dikuasai oleh siswa.
5. Pengaruh interaksi
Kesulitan utama yang siswa hadapi dalam usaha untuk berbicara adalah bukanlah
keragaman suara, kata, frasa, dan bentuk wacana yang mencirikan bahasa, tetapi sifat
interaktif. Percakapan adalah kolaborasi saat partisipan terlibat dalam sebuah proses
negosiasi dari makna. Sehingga, untuk siswa, apapun yang guru katakan, seringkali
dipudarkan oleh kaidah-kaidah bagaimana untuk mengatakan sesuatu, kapan untuk berbicara,
dan hambatan-hambatan lainnya. Contohnya, diantara kalimat-kalimat gramatikal yang
mungkin seorang siswa dapat hasilkan sebagai respons pada sebuah komentar, bagaimana
siswa dapat membuat sebuah pilihan?
David Nunan (1991b: 47) mencatat sebuah komplikasi lebih jauh dalam wacana
interaktif: apa yang dia sebut sebagai pengaruh interlokutor (teman berbicara), atau
kesulitan dalam sebuah tugas berbicara pada saat diukur oleh keterampilan dari interlokutor
seseorang. Dengan kata lain, performa seseorang selalu diwarnai oleh orang (interlokutor)
yang dia ajak berbicara.
TIPE-TIPE DALAM BAHASA LISAN
Dalam Richards (2008: 22), dialog interpersonal (kadang-kadang diacu sebagai
interaksional) mengacu pada “percakapan” dan menggambarkan interaksi yang menjalankan
fungsi sosial semata. Ketika orang-orang bertemu, mereka saling sapa, mengobrol hal-hal
kecil, berbagi pengalaman, dan seterusnya karena mereka mencoba untuk bersahabat dan
ramah, serta membuat zona nyaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Fokus utamanya
adalah penutur ingin lebih menghadirkan dirinya kepada orang-orang daripada terhadap
pesan yang ia sampaikan. Brown dan Yule (1983) mendeskripsikan bahwa percakapan itu
bisa sederhana atau sangat formal, tergantung pada situasi-situasi tertentu dan sifat mereka.
Dialog transaksional dalam Richards (2008: 24) mengacu pada situasi-situasi yang
berfokus pada hal-hal yang telah diucapkan atau dilakukan. Fokus utamanya adalah pesan
yang disampaikan untuk dimengerti dengan jelas dan akurat daripada sebagai bentuk
interaksi sosial satu sama lain. Sebagai contoh dari dialog transaksional adalah diskusi
kelompok di kelas dan aktivitas pemecahan masalah, aktivitas kelas ketika siswa tengah
mendesain sebuah poster, diskusi antara teknisi komputer saat komputer rusak, membuat
panggilan telepon untuk menanyakan informasi jadwal penerbangan, dll.
APA YANG MEMBUAT BERBICARA ITU SULIT?
Berikut ini merupakan ciri-ciri dalam bahasa lisan dapat membuat performa lisan mudah,
namun dalam beberapa kasus dapat dikatakan sulit.
1. Pengelompokan
Penuturan yang lancar adalah frasa, bukan kata per kata. Siswa dapat mengatur
produksi lisan mereka, baik secara kognitif maupun secara fisik (dalam sedikit kelompok)
melalui pengelompokan tersebut.
2. Pleonasme
Dalam KBBI (2008) Pleonasme merupakan pemakaian kata-kata yang lebih daripada
apa yang diperlukan. Penutur memiliki sebuah kesempatan untuk membuat makna lebih jelas
melalui bahasa yang berlebihan (pleonasme). Siswa dapat menekankan ciri ini dalam bahasa
lisan.
3. Bentuk-bentuk yang dikurangi
Kontraksi, penghilangan bunyi dalam ucapan, huruf vokal yang dikurangi, dll, semua
bentuk dari masalah-masalah khusus dalam mengajarkan berbicara bahasa Inggris. Siswa
yang tidak mempelajari kontraksi bahasa sehari-hari kadang-kadang dapat mengembangkan
sebuah jangkauan, karena kualitas yang terlalu mengacu pada buku dalam berbicara sehingga
cenderung menstigmakan mereka.
4. Variabel-variabel performa
Salah satu keuntungan dalam bahasa lisan adalah bahwa proses pemikiran pada saat
kita berbicara memungkinkan kita untuk memanifestasikan sejumlah keragu-raguan, jeda,
dan koreksi performa. Siswa sebenarnya dapat diajarkan bagaimana untuk jeda dan ragu-
ragu. Contohnya, dalam bahasa Inggris “waktu berpikir” kita bukanlah diam, melainkan kita
menyelipkan “pengisi-pengisi” tertentu seperti uh, um, well, you know, I mean, like, (uh, um,
nah, kamu tahu, maksud saya, seperti) dll. Salah satu perbedaan yang paling menonjol
diantara penutur pribumi dan nonpribumi dari sebuah bahasa adalah dalam fenomena keragu-
raguan mereka.
5. Bahasa sehari-hari
Siswa dikenalkan secara baik dengan kata-kata, idiom-idiom, dan frasa dalam bahasa
sehari-hari dan bahwa mereka mendapat praktik dalam menghasilkan bentuk-bentuk ini.
6. Tingkat penyampaian
Ciri-ciri yang menonjol lainnya dalam kelancaran adalah tingkat penyampaian. Salah
satu tugas dalam mengajarkan bahasa Inggris lisan adalah dengan membantu siswa mencapai
sebuah kecepatan yang dapat diterima bersama dengan ciri-ciri kelancaran lainnya.
7. Tekanan, irama, dan intonasi
Ini merupakan ciri yang paling penting dalam pengucapan bahasa Inggris. Irama
tekanan dalam berbicara bahasa Inggris dan pola-pola intonasi tersebut menyampaikan pesan-
pesan yang penting.
Dalam Mudini dan Salamat Purba (2009: 13), penempatan tekanan, nada, jangka,
intonasi dan ritme yang sesuai merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara; bahkan
merupakan faktor penentu dalam keefektivan berbicara. Suatu topik pembicaraan mungkin
akan kurang menarik, namun dengan tekanan, nada, jangka dan intonasi yang sesuai
akan mengakibatkan pembicaraan itu menjadi menarik. Sebaliknya, apabila
penyampaiannya datar saja, dapat menimbulkan kejemuan bagi pendengar dan
keefektivan berbicara akan berkurang. Kekurangtepatan dalam penempatan tekanan, nada,
jangka, intonasi, dan ritme dapat menimbulkan perhatian pendengar beralih kepada cara
berbicara.
8. Interaksi
Seperti yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya, belajar untuk menghasilkan
gelombang bahasa dalam sebuah kekosongan – tanpa interlokutor – akan merampas
keterampilan berbicara dari komponen terkayanya: kreativitas dalam negosiasi percakapan.
TIPE-TIPE PERFORMA BERBICARA DI DALAM KELAS
Terdapat enam kategori yang diterapkan pada jenis-jenis produksi lisan yang diharapkan
siswa untuk diadakan di dalam kelas.
1. Imititatif (peniruan)
Sebuah pertanyaan pada guru-guru baru dalam bidang ini selalu ingin menjawab:
Apakah latihan merupakan bagian yang logis dalam kelas bahasa komunikatif? Jawabannya
adalah “ya”. Latihan menawarkan kepada siswa sebuah kesempatan untuk menyimak dan
secara lisan mengulangi rangkaian-rangkaian tertentu dalam bahasa yang dapat menimbulkan
beberapa kesulitan linguistik – baik secara fonologi atau gramatikal. Latihan pada pengajaran
bahasa seperti halnya mesin pelempar dalam permainan bisbol. Latihan menawarkan praktik
yang terbatas melalui repetisi. Latihan memungkinkan seseorang untuk menfokuskan pada
satu unsur dalam bahasa dalam sebuah aktivitas yang terkontrol. Mereka dapat membantu
untuk membentuk pola-pola psikomotor tertentu (untuk “melonggarkan lidah”) dan untuk
menghubungkan bentuk-bentuk gramatikal yang terpilih dengan konteks yang sesuai.
Terdapat beberapa panduan yang berguna untuk latihan-latihan yang berhasil:
Membuatnya singkat (beberapa menit untuk satu jam kelas saja).
Membuatnya sederhana (hanya satu poin waktu).
Membuatnya “bersemangat”.
Memastikan siswa mengetahui mengapa mereka melakukan latihan.
Membatasi mereka terhadan poin-poin fonologi atau tatabahasa.
Memastikan mereka pada akhirnya membawa pada tujuan-tujuan komunikatif.
Jangan terlalu berlebihan.
2. Intensif
Berbicara intensif berada satu langkah di luar imitatif untuk mencakup performa
berbicara apapun yang didesain untuk mempraktikan beberapa aspek fonologi atau
gramatikal di dalam bahasa. Berbicara intensif dapat berupa inisiasi diri atau bahkan dapat
membentuk bagian dari beberapa aktivitas kerja berpasangan, yaitu siswa “melintasi” bentuk-
bentuk bahasa tertentu.
3. Responsif
Penuturan siswa yang baik di dalam kelas adalah responsif: jawaban-jawaban pendek
kepada guru, pertanyaan-pertanyaan siswa atau komentar-komentar. Jawaban-jawaban ini
biasanya memadai dan tidak memperluas menuju dialog-dialog. Penuturan tersebut dapat
bermakna dan otentik:
T: Apa kabarmu hari ini?
S: Cukup baik, terima kasih, dan ibu/ bapak?
S1: Jadi, apa yang kamu tulis untuk pertanyaan yang nomor satu?
S2: Nah, aku tidak begitu yakin, jadi aku membiarkannya kosong.
4. Transaksional (dialog)
Bahasa transaksional memiliki tujuan menyampaikan atau bertukar informasi yang
spesifik, adalah sebuah bentuk yang diperluas dari bahasa responsif. Percakapan, contohnya,
dapat memiliki lebih dari satu sifat negosiasi bagi mereka daripada penuturan responsif.
Percakapan-percakapan transaksional dapat pula menjadi bagian dari aktivitas kerja
kelompok.
5. Interpersonal (dialog)
Dialog interpersonal memiliki tujuan untuk memelihara hubungan-hubungan sosial.
Percakapan-percakapan ini adalah sedikit memperdaya siswa karena mereka dapat
melibatkan beberapa atau semua faktor-faktor berikut:
sebuah register sederhana
bahasa sehari-hari
bahasa emosional
slang (ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum
remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang
bukan anggota kelompok tidak mengerti)
elipsis (tanda berupa tiga titik yang diapit spasi (...), menggambarkan kalimat yang terputus-
putus atau menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan).
Sarkasme ((penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau
ejekan kasar).
sebuah “agenda” tersembunyi
Siswa perlu untuk mempelajari bagaimana ciri-ciri interpersonal ini sebagai hubungan
diantara interlokutor, gaya kasual, dan sarkasme yang ditafsirkan secara linguistik dalam
sebuah percakapan.
6. Ekstensif (monolog)
Pada akhirnya, siswa pada tingkat menengah sampai tingkat lanjut dituntut untuk
memberikan monolog-monolog yang diperluas dalam bentuk laporan-laporan lisan,
ringkasan, atau barangkali penuturan singkat. Di sini, register lebih formal dan bersifat
menasihati. Monolog-monolog ini dapat direncanakan atau spontan.
PRINSIP-PRINSIP UNTUK MENDESAIN TEKNIK-TEKNIK BERBICARA
1. Gunakan teknik-teknik yang mencakup spektrum (rincian kontinu) dari kebutuhan-
kebutuhan siswa, dari fokus berbasis bahasa dalam keakuratan terhadap fokus
berbasis pesan dalam interaksi, makna, dan kelancaran.
Dalam kegiatan kita saat ini untuk pengajaran bahasa interaktif, kita dapat secara
mudah masuk ke dalam sebuah pola yang menyediakan aktivitas-aktivitas berbasis isi,
aktivitas-aktivitas interaktif yang tidak menekankan pada penunjuk-penunjuk tatabahasa atau
tip-tip pengucapan. Ketika kita melakukan sebuah teknik kelompok jigsaw (berpola),
memainkan sebuah permainan, atau mendiskusikan solusi-solusi terhadap krisis lingkungan.
Pada waktu yang sama, jangan buat siswa merasa bosan dengan latihan-latihan yang
berulang-ulang. Seperti yang telah dibahas diatas, buatlah latihan sebermakna mungkin.
2. Memberikan secara intrinsik teknik-teknik yang memotivasi.
Cobalah setiap saat untuk menarik tujuan akhir dan ketertarikan siswa, terhadap
kebutuhan mereka akan pengetahuan, untuk status, untuk mencapai kompetensi dan otonomi,
dan untuk “menjadi semua apa yang mereka inginkan”. Bahkan dalam teknik-teknik tersebut
jangan kirimkan siswa ke dalam kesenangan, bantu mereka untuk melihat bagaimana
aktivitas tersebut akan memberi manfaat terhadap mereka. Seringkali siswa tidak memahami
mengapa kita meminta mereka untuk melakukan hal-hal tertentu.
3. Mendorong penggunaan bahasa otentik dalam konteks-konteks yang bermakna.
Tidaklah mudah untuk tetap memunculkan interaksi yang bermakna. Kita semua
tergoda untuk mengatakan, memutuskan ada latihan-latihan tatabahasa saat kita dapat
berkeliling ruangan bertanya kepada siswa satu per satu untuk memilih jawaban yang benar.
Hal ini akan menyita energi dan kreativitas untuk menghasilkan konteks yang otentik dan
interaksi yang bermakna, tetapi dengan bantuan dari materi sumber yang dimiliki guru, hal
ini dapat dilakukan dengan latihan-latihan yang distrukturkan untuk memberikan rasa
keaslian.
4. Memberikan umpan balik dan koreksi yang tepat.
Dalam situasi bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL), pada umumnya siswa
secara total bergantung pada guru untuk mendapat umpan balik linguistik yang berguna.
Dalam situasi-situasi bahasa Inggris sebagai bahasa yang kedua (ESL), mereka mendapatkan
umpan balik tersebut “di luar sana” di luar kelas, tetapi walaupun begitu guru berada dalam
sebuah posisi yang menguntungkan. Ini penting , karena guru dapat mengambil keuntungan
dari pengetahuanya akan bahasa Inggris untuk menyuntikan jenis-jenis umpan balik korektif
yang sesuai untuk saat itu.
5. Menekankan hubungan alami diantara berbicara dan menyimak.
Banyak teknik-teknik interaktif yang melibatkan berbicara yang di dalamnya
memasukan menyimak juga. Jangan kehilangan kesempatan untuk mengintegrasikan dua
keterampilan ini. Guru barangkali berfokus pada tujuan-tujuan berbicara, namun tujuan-
tujuan menyimak dapat secara alami berbenturan, dan dua keterampilan ini dapat saling
memperkuat satu sama lainnya. Keterampilan-keterampilan dalam menghasilkan bahasa
seringkali diawali melalui pemahaman.
6. Memberikan kesempatan-kesempatan kepada siswa untuk mengawali komunikasi
lisan.
Banyak interaksi kelas secara umum dicirikan oleh inisiasi guru terhadap bahasa. Kita
menanyakan pertanyaan, memberikan arahan-arahan, dan memberikan informasi, serta siswa
telah dikondisikan hanya “berbicara ketika disuruh berbicara”. Bagian dari kompetensi
komunikasi lisan adalah kemampuan untuk mengawali percakapan, untuk menominasikan
topik-topik, dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan, untuk mengendalikan percakapan, dan
untuk mengubah subyek.
7. Mendorong perkembangan strategi-strategi berbicara.
Mungkin ada beberapa siswa belum memikirkan mengenai mengembangkan strategi-
strategi personal mereka sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan komunikatif lisan. Strategi-
strategi tersebut adalah meminta klarifikasi (Apa?), meminta seseorang untuk mengulangi
sesuatu (Huh?Maaf?), menggunakan pengisi-pengisi (Uh, Maksud saya, Nah, Ya…) dengan
maksud untuk mendapatkan waktu dalam memprosesnya, menggunakan petunjuk-petunjuk
pemelihara percakapan (Uh huh, Benar, Ya, Baik, Hm), mendapatkan perhatian seseorang
(hei, katakanlah, begini), menggunakan parafrasa untuk struktur-struktur yang tidak dapat
dihasilkan, meminta bantuan dari interlokutor (untuk mendapatkan sebuah kata atau frasa,
contohnya), menggunakan ekspresi-ekspresi yang memiliki formula (pada tahap lanjutan)
(Berapa harga ____ ini? Bagaimana caranya kamu pergi ke ____?), dan menggunakan
ekspresi mimik dan nonverbal untuk menyampaikan makna.
Simpulan
Berdasarkan analisis materi-materi yang mendukung Pengajaran Berbicara, penulis
menyimpulkan untuk memulai strategi pengajaran berbicara di dalam kelas dapat dimulai
dari faktor-faktor afektif yang menghambat siswa untuk belajar berbicara. Penanganan
faktor-faktor afektif merupakan perbaikan mendasar sebagai akar dalam diri siswa untuk
memberanikan dirinya berbicara, baik di dalam kelas (lingkungan sekolah) maupun di luar
sekolah (lingkungan masyarakat). Pada dasarnya, setiap siswa telah memiliki potensi untuk
belajar berbicara, yaitu dimulai dari lingkungan personal siswa itu sendiri, yaitu keluarga,
kerabat, dan teman-teman.
Penanganan yang baik terhadap faktor-faktor afektif ini kemudian dapat menjadi pintu
gerbang menuju strategi-strategi pengajaran berbicara lainnya dalam memproduksi bahasa
lisan sesuai kemampuan kognitif dan afektif yang dapat dikembangkan oleh siswa.
Pengajaran berbicara dalam bentuk kelompok-kelompok kecil atau dengan adanya
interlokutor (teman berbicara) dengan nominasi topik, dapat memudahkan siswa menjangkau
bahasa lisan interpersonal (interaksional) dan transaksional dengan lebih akrab.
Dengan menelisik proses-proses terkecil apa yang menjadi kendala dan apa yang
semestinya yang didapatkan siswa melalui pembelajaran berbicara, guru dapat membuat
desain atau metode teknik-teknik berbicara secara situasional berdasarkan kondisi siswa yang
ada, karena situasi otonomi siswa yang multibudaya di Indonesia sehingga pembelajaran
berbicara menjadi tidak monoton. Apa yang dijelaskan dalam bab Pengajaran Berbicara
dalam buku karya H. Douglas Brown ini, dapat dijadikan referensi yang mutakhir dalam
pembelajaran dan pengajaran berbicara di kelas.
Daftar Pustaka
Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy.
New York: Pearson Education.
___________ . 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. New York: Pearson Education.
Burkart, Grace Stoval, ed. 1998. “Spoken Language: What it is and how to teach it” in Modules for the
Professional Preparation of Teaching Assistans in Foreign Languages. Washington DC:
Center for Applied Linguistics.
Mudini dan Salamat Purba. 2009. Pembelajaran Berbicara. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Richards, Jack C. 2008. Teaching Listening and Speaking From Theory to Practice. New York:
Cambridge University Press
Wallace, Trudy, Winifred E. Stariha and Herbert J. Walberg. 2004. Teaching Speaking, Listening, and
Writing. Geneva: International Academy of Education.