bab 13 konjugasi pada bakteri

15
BAB 13 KONJUGASI PADA BAKTERI Konjugasi adalah suatu proses transfer informasi genetik satu arah yang terjadi melalui kontak sel langsung antara suatu sel bakteri donor dan suatu sel bakteri resipien (Russel, 1992). Di alin pihak, konjugasi juga diartikan sebagi fusi temporer dua organisme sel tunggal dalam rangka transfer seksual materi genetik (Klug dan Cummings, 2000). Konjugasi memang merupakan satu peristiwa, selain transformasi dan transduksi, yang menyebabkan terjadinya rekombinasi pada bakteri. Gambaran selengkapnya tentang persamaan dan perbedaan antara rekombinasi ynag terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi ditunjukkan pada tabel 13.1. Tabel 13.1 Persamaan dan perbedaan rekombinasi yang terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi pad bakteri (Gardner, dkk., 1991). Proses rekombinasi Kriteria Dibutuhkan kontak sel Sensitif terhadap DNase Transformasi Transduksi Konjugasi Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Konjugasi pertama kali ditemukan oleh J. Lederberg dan E.L. Tatum pada 1946 (Gardner, dkk., 1991; Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Peristiwa konjugasi itu ditemukan pada E. coli. Lederberg dan Tatum mempelajari dua strain E. coli yang

Upload: ruy-hyorin

Post on 18-Jan-2016

184 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Konjugasi adalah suatu proses transfer informasi genetik satu arah yang terjadi melalui kontak sel langsung antara suatu sel bakteri donor dan suatu sel bakteri resipien (Russel, 1992). Di alin pihak, konjugasi juga diartikan sebagi fusi temporer dua organisme sel tunggal dalam rangka transfer seksual materi genetik (Klug dan Cummings, 2000). Konjugasi memang merupakan satu peristiwa, selain transformasi dan transduksi, yang menyebabkan terjadinya rekombinasi pada bakteri. Gambaran selengkapnya tentang persamaan dan perbedaan antara rekombinasi ynag terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi ditunjukkan pada tabel 13.1.Tabel 13.1Persamaan dan perbedaan rekombinasi yang terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi pad bakteri (Gardner, dkk., 1991).Proses rekombinasi Kriteria Dibutuhkan kontak sel Sensitif terhadap DNaseTransformasi Transduksi Konjugasi TidakTidak Ya Ya TidakTidak Konjugasi pertama kali ditemukan oleh J. Lederberg dan E.L. Tatum pada 1946 (Gardner, dkk., 1991; Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Peristiwa konjugasi itu ditemukan pada E. coli. Lederberg dan Tatum mempelajari dua strain E. coli yang berbeda kebutuhan nutrisinya, yaitu strain A dan B (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Strain A bergenotip met- bio- thr+ leu+ thi+, sedangkan strain B bergenotip met+ bio+ thr- leu- thi-. Strain yang memiliki gen mutan membutuhkan tambahn tambahan nutrisiterkait dalam medium pertumbuhannya agar dapt hidup; sedangkan strain yang memiliki genetik wild-type tidak membutuhkan tambahan nutrisi terkait dalam medium pertumbuhannya berupa asam amino metionin dan vitamin biotin; sedangkan strain B membutuhkan tambahan nutrisi asam amino treonin dan leusin, serta vitamin tiamin. Strain yang membutuhkan tambahan nutrisi dalam medium pertumbuhannya agar dapt hidup disebut auxotroph. Di lain pihaksuatu strain yang tergolong wild-type untuk seluruh gen yang bersangkut paut dengan kebutuhan nutrisi disebut prototroph. Jelaslah bahwa suatu bakteri prototroph tidak membutuhkan nutrisi tambahan dalam mediumnya; bakteri semacam itu dapat hidup pada medium minimal.Gambar 13.1Bagan percobaan Lederberg dan Tatum yang akhirnya membuktikan bahwa rekombinasi seksual terjadi antara sel-sel E. coli (Klug dan Cummings, 2000).Bagan percobaan Ledenberg dan Tatum ditunjukkan pada gambar 13.3. pada percobaan itu strain A dan B dicampur dan ditumbuhkan pada cawan yang berisi medium minimal. Sebagai kontrol kedua strain ditumbuhkan pada medium minimal terpisah; sebaliknya pada media tempat kultur campuran A dan B, ternyata beberapa koloni dapat tumbuh. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa koloni-koloni itu mampu membuat/ mensintesis sendiri nutrisi tertentu yang kurang atau bahkan tidak tersedia dalam medium minimal.Bahwa pada perlakuan campuran strain A dan B yang ditumbuhkan bersama pada medium minimal. Beberap koloni terbukti dapat tumbuh, hal itu diartikan sebagai akibat suatu pertukaran genetik yang bukan tergolong mutasi. Jelaslah bahwa peristiwa rekombinasi inilah yang menyebabkan pada perlakuan campuran strain A dan B, sebagian sel auxotroph berubah menjadi prototroph. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lederberg dan Tatum, laju perubahan sel auxotroph menjadi sel prototroph sebenarnya sangat rendah, yaitu satu di dalam 10 juta atau 106 (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000).Bahwa rekombinasi yang telah terjadi itu disebabkan karena konjugasi, hal itu dibuktikan oleh Bernard Davis melalui percobaannya yang menggunakan suatu perangkat tabung U (gambar 13.2). pada percobaan itu strain A dan B diletakkan dalam medium cair yang terpisah satu sama lain oleh suatu filter berpori sangat halus yang tidak dapt dilewati oleh sel-sel bakteri. Pori halus itu dapat dilewati oleh medium cair. Setelah beberap jam dibiarkan berada dalam keadaan terpisah semacam itu, sel-sel itu ditumbuhkan pada suatu medium minimal; terbukti bahwa tidak ada satu koloni pun yn

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

BAB 13

KONJUGASI PADA BAKTERI

Konjugasi adalah suatu proses transfer informasi genetik satu arah yang terjadi melalui

kontak sel langsung antara suatu sel bakteri donor dan suatu sel bakteri resipien (Russel,

1992). Di alin pihak, konjugasi juga diartikan sebagi fusi temporer dua organisme sel tunggal

dalam rangka transfer seksual materi genetik (Klug dan Cummings, 2000). Konjugasi

memang merupakan satu peristiwa, selain transformasi dan transduksi, yang menyebabkan

terjadinya rekombinasi pada bakteri. Gambaran selengkapnya tentang persamaan dan

perbedaan antara rekombinasi ynag terjadi melalui transformasi, transduksi, dan konjugasi

ditunjukkan pada tabel 13.1.

Tabel 13.1

Persamaan dan perbedaan rekombinasi yang terjadi melalui transformasi, transduksi, dan

konjugasi pad bakteri (Gardner, dkk., 1991).

Proses rekombinasiKriteria

Dibutuhkan kontak sel Sensitif terhadap DNase

Transformasi

Transduksi

Konjugasi

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Tidak

Tidak

Konjugasi pertama kali ditemukan oleh J. Lederberg dan E.L. Tatum pada 1946 (Gardner,

dkk., 1991; Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Peristiwa konjugasi itu ditemukan

pada E. coli. Lederberg dan Tatum mempelajari dua strain E. coli yang berbeda kebutuhan

nutrisinya, yaitu strain A dan B (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000). Strain A

bergenotip met- bio- thr+ leu+ thi+, sedangkan strain B bergenotip met+ bio+ thr- leu- thi-.

Strain yang memiliki gen mutan membutuhkan tambahn tambahan nutrisiterkait dalam

medium pertumbuhannya agar dapt hidup; sedangkan strain yang memiliki genetik wild-type

tidak membutuhkan tambahan nutrisi terkait dalam medium pertumbuhannya berupa asam

amino metionin dan vitamin biotin; sedangkan strain B membutuhkan tambahan nutrisi asam

amino treonin dan leusin, serta vitamin tiamin. Strain yang membutuhkan tambahan nutrisi

dalam medium pertumbuhannya agar dapt hidup disebut auxotroph. Di lain pihaksuatu strain

yang tergolong wild-type untuk seluruh gen yang bersangkut paut dengan kebutuhan nutrisi

disebut prototroph. Jelaslah bahwa suatu bakteri prototroph tidak membutuhkan nutrisi

tambahan dalam mediumnya; bakteri semacam itu dapat hidup pada medium minimal.

Page 2: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Gambar 13.1Bagan percobaan Lederberg dan Tatum yang akhirnya membuktikan bahwa rekombinasi seksual terjadi antara

sel-sel E. coli (Klug dan Cummings, 2000).

Bagan percobaan Ledenberg dan Tatum ditunjukkan pada gambar 13.3. pada

percobaan itu strain A dan B dicampur dan ditumbuhkan pada cawan yang berisi medium

minimal. Sebagai kontrol kedua strain ditumbuhkan pada medium minimal terpisah;

sebaliknya pada media tempat kultur campuran A dan B, ternyata beberapa koloni dapat

tumbuh. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa koloni-koloni itu mampu membuat/

mensintesis sendiri nutrisi tertentu yang kurang atau bahkan tidak tersedia dalam medium

minimal.

Bahwa pada perlakuan campuran strain A dan B yang ditumbuhkan bersama pada

medium minimal. Beberap koloni terbukti dapat tumbuh, hal itu diartikan sebagai akibat

suatu pertukaran genetik yang bukan tergolong mutasi. Jelaslah bahwa peristiwa rekombinasi

inilah yang menyebabkan pada perlakuan campuran strain A dan B, sebagian sel auxotroph

berubah menjadi prototroph. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lederberg dan Tatum, laju

perubahan sel auxotroph menjadi sel prototroph sebenarnya sangat rendah, yaitu satu di

dalam 10 juta atau 106 (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 2000).

Bahwa rekombinasi yang telah terjadi itu disebabkan karena konjugasi, hal itu

dibuktikan oleh Bernard Davis melalui percobaannya yang menggunakan suatu perangkat

tabung U (gambar 13.2). pada percobaan itu strain A dan B diletakkan dalam medium cair

yang terpisah satu sama lain oleh suatu filter berpori sangat halus yang tidak dapt dilewati

oleh sel-sel bakteri. Pori halus itu dapat dilewati oleh medium cair. Setelah beberap jam

dibiarkan berada dalam keadaan terpisah semacam itu, sel-sel itu ditumbuhkan pada suatu

Page 3: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

medium minimal; terbukti bahwa tidak ada satu koloni pun ynag tumbuh. Kenyataan tersebut

membuktikan bahwa tidak ada koloni prototrofik yang terbentuk; dan disimpulkan bahwa

kontak antar sel memang dibutuhkan agar terjadi suatu perubahan genetik sebagaimana yang

dilaporkan Lederberg dan Tatum. Konugasi inilah sebenarnya yang telah menyebabkan

terjadinya rekombinasi sebagaimana yang dilaporkan Lederberg dan Tatum.

Gambar 13.2Bagan percobaan tabung U Davis ynag menunjukkan bahwa kontak fisik antar kedua strain bakteri pada

percobaan Lederberg dan Tatum memang dibutuhkan agar terjadi pertukaran genetik (Klug dan Cummings,2000).

Dewasa ini sudah umum diketahui bahwa selama konugasi berlangsung, terjadi

transfer DNA dari suatu sel donor ke sebuah sel resipien melewati suatu penghubung antar

sel khusus, ynag disebut tabung konjugasi (Gardner, 1991). Dalam hal ini tabung konjugasi

itu memang terbentuk antar sel-sel bakteri (Gambar 13.3)

Sel-sel bakteri yang berkemampuan menjadi donor selama proses konjugasi, memiliki

karakteristik pembeda berupa adanya juluran tambahan serupa rambut di permukaan sel yang

disebut sebagai F pili (Gardner, 1991). Pembentukan F. Pili berada di bawah kontrol

beberapa gen yang terletak pada suatu molekul DNA sirkuler kecil yang disebut juga sebagai

kromosom mini (Gardner, 1991). Di dalam sel bakteri, F factor atau faktor F dapat

terintegrasi dengan kromosom inang atau bebas tidak terintegrasi. Jika terintegrasi dengan

kromosom inang, maka faktor F itu bereplikasi bersama dengan bagian bagian kromosom

ianng yang lain.

Page 4: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Bakteri F+, F-, dan Hfr

Suatu sel donor yang mengandung faktor F yang otonom tidak terintegrasi disebut

sebagai sel F+; sebaliknya sel yang tidak mengandung faktor F disebut sel F- (sel resipien).

Dewasa ini selain sel F+ dan sel F-, sudah umum diketahui adanya sel Hfr (High frequency

recombination). Pada 1950, Cavalli-Sforza memberi perlakuan dengan mustard nitrogen

terhadap suatu strain F+ E. coli K12 (Klug dan Cummings,2000). Dari sel-sel yang

mendapatkan perlakuan itu, diperoleh suatu strain bakteri bakteri donor ynag mempunyai laju

atau frekuensi rekombinasi yang sangat tinggi, yaitu satu di dalam 10 juta; atau 1000 kali

lebih tinggi dibanding laju atau frekuensi rekombinasi pada strain F+ yang dilaporkan mula-

mula. Dari pengkajian lebih lanjut terungkap bahwa strain-strain Hfr terbentuk melalui suatu

peristiwa pindah silang tunggal yang berdampak terintegrasinya faktor F ke dalam kromosom

bakteri (Russel,1992). Dalam keadaan terintegrasi dengan kromosom inang, faktor F tidak

bereplikasi secara bebas, tetapi justru bereplikasi bersama bagian-bagian kromosom inang

yang DNA resipien unting ganda pula. Dalam hal ini kroomosom rekombinan sel resipien

diwariskan kepada sel-sel turunan melalui replikasi, sedangkan fragmen DNA linear yang

tersisa mengalami degradasi.

Di samping laju atau frekuensi rekombinan yang sangat tinggi pada strain bakteri Hfr,

perbedaan lain antara strain Hfr dan strain F+ adalah bahwa setelah rekombinasi sel F-hampir

tidak pernah berubah menjadi sel F+ataupun sel Hfr. Bahwa pada konnjugasi antara sel Hfr,

hal itu bersangkut paut dengan keutuhan faktor F yang ditransfer. Dalam hal ini agar supaya

suatu sel resipien menjadi sel F+, sel resipien tersebut harus menerima transfer faktor F utuh.

Telah dikemukakan bahwa transfer materi genetik selama proses konjugasi bersangkut paut

dengan replikasi yang didahului oleh terputusnya salah satu unting DNA faktor F. Dalam

hubungan ini diyakini bahwa transfer materi genetik itu dimulai dengan faktor F pada suatu

celah yang terbentuk oleh enzim endonuklease.

Page 5: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Gambar 13.4Konversi suatu sel F- menjadi sel Hfr melalui integrasi otonom faktor F ke dalam kromosom inang. Integrasi itu didahului oleh satu pindah silang tunggal pada tapak khusus. Dalam hal ini faktor F diinsersi secara kovalen ke dalam kromosom inang oleh suatu rekombinasi tapak spesifik semacam yang terjadi pada integrasi kromosom

fag λ. Integrasi faktor F tersebut tampaknya diperantarai oleh elemen transposabel Is (Gardner, dkk., 1991).

Faktor F1

Kadang-kadang terlepasnya faktor F dari kromosom inang berlangsung tidak teliti

atau tidak tepat sesuai dengan ukurannya pada saat terintegrasi. Sebagai akibatnya adalah

bahwa faktor F yang terlapas itu dapat mengandung sebagian kecil kromosom inang, ynag

letaknya berdekatan dengan faktor F di saat berlangsungnya integrasi. Faktor F1 adalah faktor

F yang mengandung sebagian kromosom bakteri, atau yang mengandung gen-gen bakteri

(Russel, 1992). Perhatikan Gambar 13.6. Seperti dketauhi daerah lac+ mengandung gen-gen

yang dibutuhkan pada metabolisme pembongkaran laktose. Jika pada proses pemisahan

faktor F kromosom bakteri itu melipat dan melengkung keluar tidak tepat, maka gen-gen di

aerah lac+ yang berdekatan letaknya dapat ikut tercakup dalam lengkungan itu.

Sel yang memiliki faktor F1 masih tetap dapat berkonjugasi dengan sel F-. Hal itu

disebabkan karena seluruh fungsi faktor F tetap ada (Russel, 1992). Pada saat berlangsungnya

konjugasi, satu salinan faktor F1 ditransfer ke sel F-, yang mengakibatkan secara fenotip sel

itu menjadi sel F+. Selain itu resipien juga menerima suatu salinan gen bakteri yang ikut

terbawa oleh faktor F. Oleh karena itu sel resipien dapat berubah menjadi sel yang diploid

parsial, jika setelah menerima gen bakteri, ternyata memiliki dua salinan dari satu atau

beberapa gen; gen-gen lain yang dimiliki sel sel resipien itu tetap berupa satu salinan.

Page 6: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Percobaan Konjugasi yang Terputus dari E. Wollman dan F. Jacob

Di akhir tahun 1950 E. Wollman dan F. Jacob mempelajari proses transfer gen

melalui konjugasi antara strain E. coli Hfr H- dan F-. Salah satu strain Hfr H yang digunakan

adalah: str+ thr+ leu+ azi+ ton+ lac+ gal+, sedangakan alternatif genotip strain F adalah str+

trh leu azi+ ton+ lac+ gal+, sedangkan alternatif genotip strain F- adalah str+ trh leu azi+

ton+ lac gal (Russel, 1992). Gen trh dan leu masing-masing bertanggungjawab terhadap

sintesis asam amino threoni dan leusin. Pasangan alela azi3/azi1, ton3/ton1, dan str3/str1

amsing-masing mengontrol sensitivitas atau resistensi terhadap sodium azida, fag T1, serta

antibiotik streptomisin. Pasangan alela lac1/ lac dan gal1/gal masing-masing benrtanggung

jawab terhadap pemanfaatan laktose dan galktose sebagi sumber karbon.

Pada berbagai waktu setelah sel-sel dari kedua strain itu dicampur dalm medium

pertumbuhan pad suhu 37o C dan mulai melakukan konjugasi, sampel-sampel diambil dan

diaduk kuat dalam sebuah blender untuk memutuskan tabung konjugasi serta memisahkan

sel-sel. Sel-sel yang terpisah diletakkan pad medium yang mengandung antibiotiok

streptomisin, tetapi tidak mengandung asam amino threonin dan leusin. Medium-medium

khusus lain akan digunakan lebih lanjut untuk menguji/ mendeteksi gen-gen penanda lain

ynag sudah berhasil ditransfer. Medium-medium khusus yang digunakan lebih lanjut adalah

yang mengandung sodium azida, fag T1, laktose dan galaktose. Hasil pengujian ynag

menggunakan medium-medium khusus lain itu menunjukkan bahwa sekitar 9 menit setelah

percampuran sel-sel Hfr dan F-, gen azi ditransfer ke sel resipien (Strickberger, 1985; Russel,

1992). Gen ton+ ditransfer ke resipien sekitar 10 menit setelah pencampuran sel-sel Hfr H dan

F-; gen lac+ dan gal+ masing-masing ditransfer sekitar 17 menit dan 25 menit setelah

pencampuran (Russel, 1992). Bagn percobaan konjugasi terputus itu ditunjukkan pada

Gambar 13.7

Gambar 13.7Bagan percobaan konjugasi terputus dari E. Wollman dan F. Jacob. Genotip Hfr H adalah str+ thr+ leu+ azi+ ton+ lac+ gal+. Genotip F- adalah rekombinasi terjadi melalui peristiwa pindah silang ganda natara fragmen

kromosom donor dan kromosom resipien pada daerah homolog (Russel, 1992).

Page 7: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Hasil percobaan menunjukkan data waktu kapan gen-gen penanda ditransfer masuk ke

sel resipien ditunjukkan pada gambar 13.8

Gambar 13.8Grafik yang memperlihatkan munculnya penanda genetik donor (rekombinan) yangmerupakan bukti transfer

sebagai suatu fungsi waktu, setelah penanda gen trh+ dan leu+ ditransfer masuk ke sel resipien (Russel, 1992).

Pengkajian lebih lanjut terhadap konjugasi terputus yang menggunakan strain-strain

induk Hfr maupun F- yang lain, memperlihatkan urut-urutan transfer yang serupa, sekalipun

tiap strain Hfr memulai transfer dari tapak yang berlainan (Gardner, dkk., 1991). Tapak-tapak

integrasi faktor F serta arah transfer kromosom pada konjugasi beberapa strain Hfr

ditunjukkan pada liongkaran dalam (Gambar 13.9)

Gambar 13.9Peta kromosom sirkuler E. coli stain K12. Pada peta ini terlihat hanya 52 dari 1027 lokus E. coli K12 ynag

pernah diungkap pada 1983 (Gardner, dkk., 1991).

Pemetaan Kromosom E. coli atas Dasar Hasil Percobaan konjugasi Terputus

Data tentang transfer gen-gen penanda pada percobaan konjugasi terputus seperti

yang telah dikemukakan memperlihatkan bahwa transfer kromosom Hfr ke dalam sel F-

berlangsung dalam pola linear (Gardner, dkk., 1991; Russel, 1992). Berkenaan dengan

kenyataan bahwa interval waktu kemunculan tipe rekombinan antar suatu gen penanda

dengan yang lainnya dapat digunakan untuk memperkirakan jarak fisik antara gen terkait,

Page 8: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

sudah dibuktikan juga bahwa satuan waktu menit cukup sesuai digunakan sebagai satuan

standar pengukuran jarak fisik antar gen pada kromosom E. coli. Pada saat melakukan

berbagai percobaan konjugasi terputus lain yang menggunakan strain-strain induk Hfr

maupun F yang lain, Wollman dan Jacob memperoleh hasil yang serupa, sebagaimana yang

telah dikemukakan secara umum sebelumnya.

Wollman mengajukan postulat bahwa data ynag terungkap pada gambar 13.10

semacam itu disebabkan oleh wujud kromosom E. coli yang bersifat sirkuler (Klug dan

Cummings, 2000). Dalam hubungan ini dinyatakan bahwa jika awal O berbeda-beda antar

strain, maka urutan gen yang akan ditransfer berbeda pula. Diduga bahwa pada berbagai

strain Hfr faktor F berintegrasi ke dalam kromosom pada titik-titik ynag berbeda, dan posisi

titik itu menentukan tapak O.

Gambar 13.11Konversi sel F menjadi Hfr terjadi melalui integrasi faktor F ke dalam kromosom inang. Titik integrasi menentukan tapak awal transfer (O). Selama konjugasi faktor F yang terintegrasi pada kromosom inang

terpotong oleh suatu enzim ynag berakibat transfer kromosom bermula pada titik itu. Konjugasi biasanya terputus/ terhenti sebelum seluruh kromosom ditransfer. Pada gambar ini hanya gen A dan gen B yang ditransfer

(Klug dan Cummings, 2000).

Page 9: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Pada gambar 13.11, pada tahap 1 ditunjukkan satu contoh integrasi faktor F ke dalam

kromosom inang sehingga menyebabkan sel F+ berubah menjadi sci Hfr. Selama konjugasi

antara sel Hfr dan sel F-, posisi faktor F menentukan titik awal transfer (tahap 2 dan 3). Gen-

gen yang letaknya dekat dngan tapak O pertama kali ditransfer, dna faktor F ditransfer paling

akhir (tahap 4); jarang terjadi konjugasi berlangsung dalam waktu cukup lama sehingga

seluruh kromosom ditransfer (tahap 5). Inilah alasannya bahwa setiap kali sel Hfr

berkonjugasi dengan sel F-, sel resipien tetap tergolong sel F.

Pemetaan Kromosom E.coli atas dasar Percobaan Konjugasi yang Tidak Terputus

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan cara pemetaan kromosom E. coli ynag

memnafaatkan percobaan konjugasi yang terputus-putus. Sebenarnya percobaan kojugasi

yang tidak terputus, dapt juga digunakan untuk melakukan pemetaan kromosom E.coli

(Gardner, dkk., 1991). Dalam hal ini frekuensi penanda rekombinan menurun sebagi suatu

fungsi jaraknya dari penanda rekombinan patokan trh+ leu+; semakin jauh jaraknya dari

penanda patokan trh+ leu+, frekuensi tiap penanda rekombinan lain juga berkurang. Pada

kenyataannya frekuensi tiap penanda rekombinan lain, identik dengan gambaran frekuensi

penanda-penanda itu, yang terungkap pada percobaan konjugasi terputus. Bahwa frekuensi

penanda-penanda rekombinan lainitu semakin berkurang setiap kali jaraknya dari penanda

patokan thr+ leu+ makin jauh, hal itu bersangkut paut dengan dua sebab utama yang akan

dikemukakan lebih lanjut. Pertama, putusnya tabung konjugasi maupun kromosom per satuan

waktu mempunyai peluang yang hampir tetap; dan kedua, tiap dua penanda donor

diintegrasikan ke dalam kromosom resipien melalui sepasang kejadian rekombinasi

mempunyai peluang yang rendah, karena integrasi suatu fragmen donor ke dalam sebuah

kromosom resipien selalu membeutuhkan du akejadian rekombinasi (Gardner, dkk., 1991).

Sekalipun pemetaan kromosom E coli dapat dilakukan denganb percobaan konjugasi

tidak terputus, tetapi harus diakui bahwa pemetaan kromosom yang memanfaatkan percobaan

konjugasi terputus sebenarnya lebih sederhana dan lebih langsung. Oleh karena itu jika

sesuatu mutan baru (pada E. coli) hendak diidentifikasi, biasanya pertama kali orang

memanfaatkan percobaan konjugasi terputus untuk menaksir lokasinya; lokasi pasti mutan

tersebut biasanya kemudian ditentukan melalui pemetaan yang memanfaatkan transduksi.

Page 10: BAB 13 Konjugasi Pada Bakteri

Pertanyaan

1. Manakah yang paling efektif antara konjugasi terputus atau konjugasi yang tidak

terputus yang lebih efektik untuk digunakan pada pemetaan kromosom? Jelaskan!

Jawab: konjugasi terputus lebih efektif untuk pemetaan kromosom karena konjugasi terputus

sebenarnya lebih sederhana dan lebih langsung. Oleh karena itu jika sesuatu mutan baru

(pada E. coli) hendak diidentifikasi, biasanya pertama kali orang memanfaatkan percobaan

konjugasi terputus untuk menaksir lokasinya; lokasi pasti mutan tersebut biasanya kemudian

ditentukan melalui pemetaan yang memanfaatkan transduksi.

2.