bab 1 pendahuluan dalam dunia bisnis dan usaha saat ini...

14
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia bisnis dan usaha saat ini, corporate governance atau yang dikenal sebagai tata kelola perusahaan, merupakan suatu hal yang mendapatkan perhatian cukup besar, terutama di tingkat internasional. Hal ini dikarenakan tanpa adanya tata kelola, baik di tingkat mikro maupun makro, bisnis dan usaha hanya akan mengarah dan berujung pada suatu kegagalan yang pada akhirnya dapat berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Prasetyantoko (2008) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis yang terjadi di Asia adalah kegagalan penerapan tata kelola korporasi sehingga fundamental ekonomi mikro menjadi sangat rapuh. Masalah tata kelola korporasi merupakan fondasi mikro untuk memahami dinamika makro ekonomi yang salah satunya muncul dalam wujud krisis hebat seperti yang pernah terjadi di Indonesia. Isu mengenai corporate governance mulai mengemuka di Indonesia setelah Indonesia mengalami masa krisis ekonomi yang cukup panjang pada tahun 1998. Banyak pihak yang menyatakan bahwa lamanya proses perbaikan ekonomi di Indonesia disebabkan oleh lemahnya corporate governance yang diterapkan oleh perusahaan di Indonesia. Belajar dari hal tersebut, pemerintah dan investor mulai memberikan perhatian yang cukup besar terhadap praktek good corporate governance untuk mencegah agar hal yang sama tidak terjadi lagi di Indonesia.

Upload: phammien

Post on 12-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dunia bisnis dan usaha saat ini, corporate governance atau yang

dikenal sebagai tata kelola perusahaan, merupakan suatu hal yang mendapatkan

perhatian cukup besar, terutama di tingkat internasional. Hal ini dikarenakan tanpa

adanya tata kelola, baik di tingkat mikro maupun makro, bisnis dan usaha hanya akan

mengarah dan berujung pada suatu kegagalan yang pada akhirnya dapat berdampak

terhadap kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Prasetyantoko (2008) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis yang

terjadi di Asia adalah kegagalan penerapan tata kelola korporasi sehingga

fundamental ekonomi mikro menjadi sangat rapuh. Masalah tata kelola korporasi

merupakan fondasi mikro untuk memahami dinamika makro ekonomi yang salah

satunya muncul dalam wujud krisis hebat seperti yang pernah terjadi di Indonesia.

Isu mengenai corporate governance mulai mengemuka di Indonesia setelah

Indonesia mengalami masa krisis ekonomi yang cukup panjang pada tahun 1998.

Banyak pihak yang menyatakan bahwa lamanya proses perbaikan ekonomi di

Indonesia disebabkan oleh lemahnya corporate governance yang diterapkan oleh

perusahaan di Indonesia. Belajar dari hal tersebut, pemerintah dan investor mulai

memberikan perhatian yang cukup besar terhadap praktek good corporate

governance untuk mencegah agar hal yang sama tidak terjadi lagi di Indonesia.

2

Menurut Murwaningsari (2009), pelaksanaan good corporate governance

sangat diperlukan untuk memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasional

sebagai syarat mutlak bagi dunia perindustrian untuk berkembang dengan baik dan

sehat yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan stakeholder value. Hal tersebut

dinyatakan juga oleh Sutedi (2011), bahwa good corporate governance secara

definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk

menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang

ditekankan dalam konsep ini, yang pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk

memperoleh informasi yang benar (akurat) dan tepat pada waktunya, yang kedua,

kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat,

tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan,

kepemilikan, dan stakeholder. Hal tersebut merupakan salah satu prinsip korporasi.

Menurut Wilamarta (2002), prinsip korporasi yang sehat adalah adanya

keseimbangan hubungan antara organ perseroan, yaitu antara shareholder dan

stakeholders. Prinsip korporasi yang sehat harus dapat meningkatkan nilai saham

dalam jangka panjang untuk kepentingan perseroan dalam mencapai maksud dan

tujuannya, yaitu menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham yang tidak

mengabaikan kepentingan stakeholder.

Dalam teori yang melatarbelakangi corporate governance, yaitu teori agensi

atau agency theory (Jensen and Meckling, 1976) mengakui adanya informasi yang

bersifat tidak sempurna sehingga menimbulkan kesenjangan antar berbagai pihak

yang terlibat dalam perusahaan. Persoalan dapat saja terjadi antara pemilik dan

3

pengelola, pemilik mayoritas dan minoritas, dan lainnya. Dalam teori ini dijelaskan

bahwa hubungan agensi adalah sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (the

principal(s)) meminta atau mempekerjakan orang lain (the agent) untuk melakukan

atau memberikan suatu jasa untuk kepentingan mereka (the principal(s)) yang

melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada orang lain (the

agent) tersebut.

Menurut teori agensi, agent harus bertindak secara rasional untuk

kepentingan principal-nya. Agent harus mempergunakan keahlian, kebijaksanaan,

itikad baik, dan tingkah laku yang wajar dan adil memimpin perseroan (Wilamarta,

2002). Namun dalam prakteknya masih terdapat masalah (agency problem), karena

adanya kesenjangan kepentingan antara para pemegang saham sebagai pemilik

perusahaan dengan pihak pengurus atau manajemen sebagai agent (Surya dan

Yustiavandana, 2008).

Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa pemilik atau para pemegang

saham perusahaan berkepentingan agar dana yang telah diinvestasikannya dapat

memberikan pendapatan (return) yang maksimal, sedangkan pihak manajemen

sebagai agent berkepentingan untuk memperoleh insentif atas jasanya dalam

mengelola dana yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan. Konflik kepentingan

inilah yang menyebabkan timbulnya biaya (agency cost) sebagai akibat tidak

sinkronnya kepentingan antara pihak pemilik perusahaan dengan pihak pengelola atau

manajemen atau tidak sinkronnya kepentingan antara pihak pemilik perusahaan

dengan pihak-pihak lain di luar perusahaan yang berkepentingan.

4

Konflik kepentingan secara alamiah juga akan terjadi dalam struktur

kepemilikan perusahaan (ownership structure) yang terdiri dari 2 tipe, yaitu struktur

kepemilikan yang tersebar (dispersed ownership) kepada outside investors (para

pemegang saham publik) dan struktur kepemilikan dengan pengendalian (control)

pada beberapa pemegang saham saja (concentrated ownership). Ketika struktur

kepemilikan perseroan tersebar kepada outside investors seperti yang terjadi di pasar

modal, maka konflik kepentingan yang muncul adalah benturan kepentingan antara

para outside investors dengan pihak direksi yang juga memiliki saham perusahaan

bersangkutan (Jensen and Meckling, 1976).

Struktur kepemilikan dalam sebuah perusahaan merupakan hal yang cukup

penting karena dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Pemegang

saham yang besar mengindikasikan kemampuan untuk menyuarakan kepentingan dan

memonitor manajemen sehingga terkesan bahwa manajemen merupakan kepanjangan

tangan dari pemegang saham mayoritas, sedangkan pemegang saham kecil cenderung

memiliki posisi lemah dalam menyuarakan kepentingan (Prasetyantoko, 2008).

Perusahaan-perusahaan di Asia adalah perusahaan-perusahaan yang

mayoritas kepemilikannya terkonsentrasi. Kondisi ini menyebabkan kurangnya

keterbukaan dalam pengambilan keputusan oleh pengurus perusahaan dan dapat

mengakibatkan outside investors atau pemegang saham minoritas tidak memiliki

informasi tentang kondisi perusahaan yang sebenarnya. Hal inilah yang dapat

menimbulkan tidak adanya keseimbangan hubungan antara organ perseroan,

shareholder dan stakeholders.

5

Hasil penelitian Wulandari (2006) menunjukkan bahwa pemilik mayoritas

institusi ikut dalam pengendalian perusahaan sehingga cenderung bertindak untuk

kepentingan mereka sendiri meskipun dengan mengorbankan kepentingan pemilik

saham minoritas. Dengan adanya kecenderungan tersebut mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan dalam penentuan arah kebijakan perusahaan yang pada akhirnya

hanya akan menguntungkan pemegang saham mayoritas. Karena adanya perbedaan

struktur kepemilikan perusahaan inilah, maka penerapan good corporate governance

menjadi sangat penting bagi perusahaan yang salah satu tujuannya adalah untuk

menekan potensi konflik kepentingan.

Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan

hubungan antara berbagai pihak dalam perusahaan yang menentukan, baik secara

langsung maupun tidak langsung jalannya organisasi perusahaan dan arah pencapaian

kinerja perusahaan. Dalam hal tujuan perusahaan, tata kelola dipahami sebagai suatu

mekanisme yang membatasi pengambilan keputusan dan penggunaan wewenang atau

kekuasaan pengelola perusahaan sesuai dengan kepentingan pemegang saham

(shareholder).

Untuk menekan potensi konflik kepentingan tersebut, Bapepam

mengeluarkan peraturan melalui Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor Kep-

29/PM/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Pembentukan dan Pedoman

Pelaksanaan Kerja Komite Audit. Adanya komite audit diharapkan dapat menjadikan

pengelolaan perusahaan menjadi lebih baik. Keberadaan komite audit diharapkan

dapat berperan dalam pengawasan dan akuntabilitas dewan komisaris perusahaan

6

yang pada umumnya belum memadai dengan melakukan pemeriksaan atau penelitian

yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan

pengelolaan perusahaan serta melaksanakan tugas penting yang berkaitan dengan

sistem pelaporan keuangan.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), ada lima asas

dalam good corporate governance, yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas

(accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency), dan

kewajaran dan kesetaraan (fairness). Lima asas tersebut diperlukan untuk mencapai

kesinambungan (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku

kepentingan (stakeholders) dan diharapkan mampu mengatasi konflik kepentingan

dalam perusahaan.

Tujuan utama suatu perusahaan adalah memaksimalkan laba sehingga dalam

proses pertumbuhannya, perusahaan akan mengevaluasi kinerjanya melalui rasio-

rasio keuangan pada laporan keuangan perusahaan. Tetapi, menurut Nurlela dan

Islahuddin (2008), kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan

tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan

terjamin apabila selain memaksimalkan laba, perusahaan juga memperhatikan

dimensi sosial dan lingkungan hidup.

Isu tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility/CSR) adalah salah satu implikasi serta terkait erat dengan pendekatan

perusahaan terhadap stakeholder. Di masa sekarang ini, perusahaan harus memiliki

tanggung jawab sosial pada pihak-pihak lain yang terkait secara langsung maupun

7

tidak terkait langsung terhadap operasional perusahaan, karena tanpa adanya

keseimbangan dan pemenuhan kepentingan dari pihak-pihak lain tersebut, maka

perusahaan tidak akan memiliki keberlanjutan hidup yang panjang. Bagi para investor

global yang memiliki idealisme tertentu, aktivitas CSR yang dilakukan oleh

perusahaan publik dapat membuat saham perusahaan menjadi lebih bernilai.

Menurut Murwaningsari (2009), pada masa sekarang ini telah terjadi

pergeseran paradigma good corporate governance dari agency theory menjadi

stakeholder theory. Hal ini berakibat bahwa good corporate governance harus

memperhatikan hal tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility.

Tanggung jawab sosial berorientasi kepada para stakeholders dan sesuai dengan salah

satu prinsip good corporate governance, yaitu responsibilitas (responsibility).

Pengungkapan terhadap aspek social, ethical, environmental dan sustainability

menjadi cara bagi perusahaan dalam menyampaikan akuntabilitasnya kepada

stakeholders.

Hal tanggung jawab sosial ini menjadi sangat penting, terutama pada

perusahaan yang mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku komoditas

seperti pada perusahaan sektor pertambangan. Dalam jangka pendek, mungkin belum

terasa dampaknya. Namun dalam jangka panjang, pasokan bahan baku (batubara,

minyak dan gas bumi, logam dan mineral lainnya, serta batu-batuan) bisa saja habis

dan akhirnya berhentilah kegiatan operasional perusahaan. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa untuk meraih keberlanjutan, perusahaan perlu peduli terhadap

lingkungan alam sekitar (Untung, 2009).

8

Konsep terobosan oleh John Elkington menyatakan bahwa jika perusahaan

ingin sustain, maka perlu memperhatikan 3P, bukan hanya memburu profit, namun

juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif

dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). John Elkington menawarkan konsep

Triple Bottom Line/TBL yang menganjurkan agar ukuran sukses atau kinerja bisnis

dan usaha tidak hanya dengan kinerja keuangan (besarnya bottom line yang

dihasilkan) namun juga dengan pengaruh perusahaan terhadap perekonomian secara

luas, lingkungan dan masyarakat dimana perusahaan melakukan operasional

usahanya. Bisnis dan usaha yang berkelanjutan perlu memiliki kemampuan untuk

menghasilkan kinerja yang baik di 3 bottom lines-nya, yaitu ekonomi, lingkungan,

dan sosial yang masing-masing setara besarnya.

Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya konsep 3P ini diatur oleh Undang-

Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 pada pasal 74 yang menyebutkan

bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Perusahaan pertambangan merupakan organisasi yang menjalankan usahanya di

bidang dan berkaitan dengan sumber daya alam sehingga wajib melaksanakan

tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Hal tanggung jawab sosial dan lingkungan dinyatakan dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara, pada pasal 2 (d) disebutkan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara

dikelola berasaskan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sedangkan pada

9

pasal 96 (c dan d) menyatakan bahwa perusahaan pertambangan pemegang ijin usaha

pertambangan dan ijin usaha pertambangan khusus untuk wajib melaksanakan

penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, antara lain pengelolaan dan

pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan

pascatambang serta upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara.

Menurut Batruch (2011) nilai-nilai sosial telah berevolusi dan merupakan

persyaratan oleh stakeholder untuk mendukung kelancaran perusahaan. Cara

melaksanakan CSR oleh perusahaan minyak dan gas bervariasi sesuai dengan ukuran

perusahaan, negara asal perusahaan, situasi yang dihadapi perusahaan di negara

operasional perusahaan, dan kerentanan perusahaan terhadap opini publik. Dalam

kasus Lundin Petroleum, CSR terbukti menjadi alat yang berharga untuk strategi

pertumbuhan dan keberhasilan perusahaan.

Menurut Rawi dan Muchlish (2010), para pengusaha berargumen bahwa

CSR tidak boleh dipaksakan karena bersifat sukarela dan menjadi bagian sari strategi

perusahaan. Mewajibkan perseroan menyisihkan dana CSR melanggar hak asasi

manusia (HAM) dan merugikan kepentingan pemegang saham karena akan

meningkatkan biaya (cost) dan menurunkan laba perseroan. Penurunan laba

berdampak pada penurunan jumlah dividen yang diterima pemegang saham dan nilai

ekuitas perusahaan.

Laba perusahaan merupakan faktor fundamental bagi investor dalam proses

pengambilan keputusan investasi. Sebagai sebuah institusi bisnis, perusahaan dapat

mencapai kondisi yang menguntungkan atau mendapatkan laba adalah salah satu

10

bagian dari usaha perusahaan untuk dapat bertahan dan berkelanjutan. Salah satu alat

analisis pernyataan keuangan adalah rasio profitabilitas, yaitu rasio yang mengukur

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Rasio ini cukup penting karena

merupakan alat ukur terhadap efektivitas dan efisiensi penggunaan semua sumber

daya yang ada di dalam proses operasional perusahaan. Profit Margin merupakan

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dibandingkan penjualan yang

berhasil dicapai oleh perusahaan. Net Profit Margin (NPM) merupakan rasio

profitabilitas untuk mengevaluasi profit margin dari kegiatan operasional perusahaan.

Pada akhirnya akan menjadi tantangan yang cukup besar bagi perusahaan

sektor pertambangan di Indonesia, untuk senantiasa memperhatikan kepentingan

shareholder dengan terus bertumbuh semakin besar dan dapat terus berkelanjutan

yang ditunjukkan dengan kinerja perusahaan sektor pertambangan yang baik dan

berhasil meraih keuntungan (profit), namun tanpa mengesampingkan kepentingan

stakeholder lainnya yang dilakukan dengan cara memberikan perhatian yang cukup

besar terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat mendukung kelestarian lingkungan dan

sosial kemasyarakatan, terutama yang berada di sekitar tempat operasional

perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE DAN CORPORATE

SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP KINERJA KEUANGAN

PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN: Riset Empiris pada Perusahaan

Sektor Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012”.

11

1.2 Rumusan Masalah

Dalam rangka proses pengelolaan perusahaan, dapat terjadi suatu

kesalahpahaman dari pemegang saham terhadap pengelola perusahaan, apakah

pengelola perusahaan telah bekerja dengan baik sesuai keinginan pemegang saham

atau tidak. Hal tersebut akhirnya dapat menimbulkan pertentangan antara pengelola

perusahaan dengan pemegang saham, antara pemegang saham dengan stakeholder,

juga antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Adanya

pelaksanaan corporate governance pada perusahaan sektor pertambangan diharapkan

dapat mewujudkan keseimbangan antara berbagai kepentingan tersebut yang dapat

memberikan keuntungan bagi perusahaan secara keseluruhan.

Dalam rangka aktivitas operasional perusahaan sektor pertambangan dalam

mengolah sumber daya untuk menghasilkan laba perusahaan, dapat terjadi hal-hal

yang berdampak pada lingkungan dan sosial kemasyarakatan, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007

pasal 74 menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha yang

berkaitan dengan sumber daya wajib melakukan tanggung jawab sosial dan

lingkungan. Dengan adanya pelaksanaan corporate social responsibility yang

dilakukan oleh perusahaan sektor pertambangan diharapkan dapat mewujudkan

keseimbangan antara kepentingan perusahaan, kelestarian lingkungan, dan sosial

kemasyarakatan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menguji apa saja komponen-

komponen corporate governance dan corporate social responsibility yang

berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.

12

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka yang menjadi

pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah corporate governance yang diproksikan oleh latar belakang pendidikan

komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan

asing, konsentrasi kepemilikan, dan minority interest disclosure mempengaruhi

kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan oleh net profit margin (NPM)?

2. Apakah corporate social responsibility yang diproksikan oleh corporate social

responsibility index mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang

diproksikan oleh net profit margin (NPM)?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris:

1. Untuk menguji secara empiris pengaruh corporate governance yang diproksikan

oleh latar belakang pendidikan komite audit, kepemilikan manajerial,

kepemilikan institusional, kepemilikan asing, konsentrasi kepemilikan, dan

minority interest disclosure terhadap kinerja keuangan perusahaan yang

diproksikan oleh net profit margin (NPM).

2. Untuk menguji secara empiris pengaruh corporate social responsibility yang

diproksikan oleh corporate social responsibility index terhadap kinerja keuangan

perusahaan yang diproksikan oleh net profit margin (NPM).

13

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi para pembaca tesis ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan bukti empiris pengaruh komponen corporate governance dan

corporate social responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor

pertambangan.

2. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu

tambahan pengetahuan dan referensi bagi peneliti lain, terutama yang ingin

meneliti lebih jauh tentang hal yang sama.

3. Bagi lembaga-lembaga pembuat peraturan atau standar, hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan

kualitas peraturan dan standar yang telah ada agar menjadi lebih baik.

4. Para calon investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

memberikan wacana baru bahwa dalam mempertimbangkan sebuah rencana

investasi kiranya calon investor tidak hanya terpaku pada laba saja,

melainkan juga mengetahui bagaimana penerapan corporate governance dan

corporate social responsibility yang dilakukan oleh perusahaan.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB 1 : Pendahuluan

Pada bab 1 diuraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah

dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

14

sistematika penulisan.

BAB 2 : Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis

Pada bab 2 diuraikan tentang landasan teori, beberapa penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, pengembangan hipotesis

yang akan diuji dalam penelitian ini, dan model penelitian.

BAB 3 : Metodologi Penelitian

Pada bab 3 diuraikan tentang populasi dan sampel penelitian, jenis dan

sumber data, variabel penelitian serta pengukurannya, dan langkah-

langkah untuk pengujian hipotesis.

BAB 4 : Analisis Data dan Pembahasan

Pada bab 4 diuraikan tentang hasil pengolahan data dan hasil pengujian

hipotesis.

BAB 5 : Penutup

Pada bab 5 ini diuraikan tentang kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan

penelitian, dan saran.