bab 1 pendahuluan dalam dunia bisnis dan usaha saat ini...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia bisnis dan usaha saat ini, corporate governance atau yang
dikenal sebagai tata kelola perusahaan, merupakan suatu hal yang mendapatkan
perhatian cukup besar, terutama di tingkat internasional. Hal ini dikarenakan tanpa
adanya tata kelola, baik di tingkat mikro maupun makro, bisnis dan usaha hanya akan
mengarah dan berujung pada suatu kegagalan yang pada akhirnya dapat berdampak
terhadap kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Prasetyantoko (2008) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis yang
terjadi di Asia adalah kegagalan penerapan tata kelola korporasi sehingga
fundamental ekonomi mikro menjadi sangat rapuh. Masalah tata kelola korporasi
merupakan fondasi mikro untuk memahami dinamika makro ekonomi yang salah
satunya muncul dalam wujud krisis hebat seperti yang pernah terjadi di Indonesia.
Isu mengenai corporate governance mulai mengemuka di Indonesia setelah
Indonesia mengalami masa krisis ekonomi yang cukup panjang pada tahun 1998.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa lamanya proses perbaikan ekonomi di
Indonesia disebabkan oleh lemahnya corporate governance yang diterapkan oleh
perusahaan di Indonesia. Belajar dari hal tersebut, pemerintah dan investor mulai
memberikan perhatian yang cukup besar terhadap praktek good corporate
governance untuk mencegah agar hal yang sama tidak terjadi lagi di Indonesia.
2
Menurut Murwaningsari (2009), pelaksanaan good corporate governance
sangat diperlukan untuk memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
sebagai syarat mutlak bagi dunia perindustrian untuk berkembang dengan baik dan
sehat yang tujuan akhirnya untuk mewujudkan stakeholder value. Hal tersebut
dinyatakan juga oleh Sutedi (2011), bahwa good corporate governance secara
definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk
menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang
ditekankan dalam konsep ini, yang pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi yang benar (akurat) dan tepat pada waktunya, yang kedua,
kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat,
tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan stakeholder. Hal tersebut merupakan salah satu prinsip korporasi.
Menurut Wilamarta (2002), prinsip korporasi yang sehat adalah adanya
keseimbangan hubungan antara organ perseroan, yaitu antara shareholder dan
stakeholders. Prinsip korporasi yang sehat harus dapat meningkatkan nilai saham
dalam jangka panjang untuk kepentingan perseroan dalam mencapai maksud dan
tujuannya, yaitu menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham yang tidak
mengabaikan kepentingan stakeholder.
Dalam teori yang melatarbelakangi corporate governance, yaitu teori agensi
atau agency theory (Jensen and Meckling, 1976) mengakui adanya informasi yang
bersifat tidak sempurna sehingga menimbulkan kesenjangan antar berbagai pihak
yang terlibat dalam perusahaan. Persoalan dapat saja terjadi antara pemilik dan
3
pengelola, pemilik mayoritas dan minoritas, dan lainnya. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa hubungan agensi adalah sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (the
principal(s)) meminta atau mempekerjakan orang lain (the agent) untuk melakukan
atau memberikan suatu jasa untuk kepentingan mereka (the principal(s)) yang
melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada orang lain (the
agent) tersebut.
Menurut teori agensi, agent harus bertindak secara rasional untuk
kepentingan principal-nya. Agent harus mempergunakan keahlian, kebijaksanaan,
itikad baik, dan tingkah laku yang wajar dan adil memimpin perseroan (Wilamarta,
2002). Namun dalam prakteknya masih terdapat masalah (agency problem), karena
adanya kesenjangan kepentingan antara para pemegang saham sebagai pemilik
perusahaan dengan pihak pengurus atau manajemen sebagai agent (Surya dan
Yustiavandana, 2008).
Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa pemilik atau para pemegang
saham perusahaan berkepentingan agar dana yang telah diinvestasikannya dapat
memberikan pendapatan (return) yang maksimal, sedangkan pihak manajemen
sebagai agent berkepentingan untuk memperoleh insentif atas jasanya dalam
mengelola dana yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan. Konflik kepentingan
inilah yang menyebabkan timbulnya biaya (agency cost) sebagai akibat tidak
sinkronnya kepentingan antara pihak pemilik perusahaan dengan pihak pengelola atau
manajemen atau tidak sinkronnya kepentingan antara pihak pemilik perusahaan
dengan pihak-pihak lain di luar perusahaan yang berkepentingan.
4
Konflik kepentingan secara alamiah juga akan terjadi dalam struktur
kepemilikan perusahaan (ownership structure) yang terdiri dari 2 tipe, yaitu struktur
kepemilikan yang tersebar (dispersed ownership) kepada outside investors (para
pemegang saham publik) dan struktur kepemilikan dengan pengendalian (control)
pada beberapa pemegang saham saja (concentrated ownership). Ketika struktur
kepemilikan perseroan tersebar kepada outside investors seperti yang terjadi di pasar
modal, maka konflik kepentingan yang muncul adalah benturan kepentingan antara
para outside investors dengan pihak direksi yang juga memiliki saham perusahaan
bersangkutan (Jensen and Meckling, 1976).
Struktur kepemilikan dalam sebuah perusahaan merupakan hal yang cukup
penting karena dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Pemegang
saham yang besar mengindikasikan kemampuan untuk menyuarakan kepentingan dan
memonitor manajemen sehingga terkesan bahwa manajemen merupakan kepanjangan
tangan dari pemegang saham mayoritas, sedangkan pemegang saham kecil cenderung
memiliki posisi lemah dalam menyuarakan kepentingan (Prasetyantoko, 2008).
Perusahaan-perusahaan di Asia adalah perusahaan-perusahaan yang
mayoritas kepemilikannya terkonsentrasi. Kondisi ini menyebabkan kurangnya
keterbukaan dalam pengambilan keputusan oleh pengurus perusahaan dan dapat
mengakibatkan outside investors atau pemegang saham minoritas tidak memiliki
informasi tentang kondisi perusahaan yang sebenarnya. Hal inilah yang dapat
menimbulkan tidak adanya keseimbangan hubungan antara organ perseroan,
shareholder dan stakeholders.
5
Hasil penelitian Wulandari (2006) menunjukkan bahwa pemilik mayoritas
institusi ikut dalam pengendalian perusahaan sehingga cenderung bertindak untuk
kepentingan mereka sendiri meskipun dengan mengorbankan kepentingan pemilik
saham minoritas. Dengan adanya kecenderungan tersebut mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan dalam penentuan arah kebijakan perusahaan yang pada akhirnya
hanya akan menguntungkan pemegang saham mayoritas. Karena adanya perbedaan
struktur kepemilikan perusahaan inilah, maka penerapan good corporate governance
menjadi sangat penting bagi perusahaan yang salah satu tujuannya adalah untuk
menekan potensi konflik kepentingan.
Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan
hubungan antara berbagai pihak dalam perusahaan yang menentukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung jalannya organisasi perusahaan dan arah pencapaian
kinerja perusahaan. Dalam hal tujuan perusahaan, tata kelola dipahami sebagai suatu
mekanisme yang membatasi pengambilan keputusan dan penggunaan wewenang atau
kekuasaan pengelola perusahaan sesuai dengan kepentingan pemegang saham
(shareholder).
Untuk menekan potensi konflik kepentingan tersebut, Bapepam
mengeluarkan peraturan melalui Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor Kep-
29/PM/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Pembentukan dan Pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit. Adanya komite audit diharapkan dapat menjadikan
pengelolaan perusahaan menjadi lebih baik. Keberadaan komite audit diharapkan
dapat berperan dalam pengawasan dan akuntabilitas dewan komisaris perusahaan
6
yang pada umumnya belum memadai dengan melakukan pemeriksaan atau penelitian
yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan
pengelolaan perusahaan serta melaksanakan tugas penting yang berkaitan dengan
sistem pelaporan keuangan.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), ada lima asas
dalam good corporate governance, yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas
(accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency), dan
kewajaran dan kesetaraan (fairness). Lima asas tersebut diperlukan untuk mencapai
kesinambungan (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku
kepentingan (stakeholders) dan diharapkan mampu mengatasi konflik kepentingan
dalam perusahaan.
Tujuan utama suatu perusahaan adalah memaksimalkan laba sehingga dalam
proses pertumbuhannya, perusahaan akan mengevaluasi kinerjanya melalui rasio-
rasio keuangan pada laporan keuangan perusahaan. Tetapi, menurut Nurlela dan
Islahuddin (2008), kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan
tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan
terjamin apabila selain memaksimalkan laba, perusahaan juga memperhatikan
dimensi sosial dan lingkungan hidup.
Isu tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/CSR) adalah salah satu implikasi serta terkait erat dengan pendekatan
perusahaan terhadap stakeholder. Di masa sekarang ini, perusahaan harus memiliki
tanggung jawab sosial pada pihak-pihak lain yang terkait secara langsung maupun
7
tidak terkait langsung terhadap operasional perusahaan, karena tanpa adanya
keseimbangan dan pemenuhan kepentingan dari pihak-pihak lain tersebut, maka
perusahaan tidak akan memiliki keberlanjutan hidup yang panjang. Bagi para investor
global yang memiliki idealisme tertentu, aktivitas CSR yang dilakukan oleh
perusahaan publik dapat membuat saham perusahaan menjadi lebih bernilai.
Menurut Murwaningsari (2009), pada masa sekarang ini telah terjadi
pergeseran paradigma good corporate governance dari agency theory menjadi
stakeholder theory. Hal ini berakibat bahwa good corporate governance harus
memperhatikan hal tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility.
Tanggung jawab sosial berorientasi kepada para stakeholders dan sesuai dengan salah
satu prinsip good corporate governance, yaitu responsibilitas (responsibility).
Pengungkapan terhadap aspek social, ethical, environmental dan sustainability
menjadi cara bagi perusahaan dalam menyampaikan akuntabilitasnya kepada
stakeholders.
Hal tanggung jawab sosial ini menjadi sangat penting, terutama pada
perusahaan yang mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku komoditas
seperti pada perusahaan sektor pertambangan. Dalam jangka pendek, mungkin belum
terasa dampaknya. Namun dalam jangka panjang, pasokan bahan baku (batubara,
minyak dan gas bumi, logam dan mineral lainnya, serta batu-batuan) bisa saja habis
dan akhirnya berhentilah kegiatan operasional perusahaan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa untuk meraih keberlanjutan, perusahaan perlu peduli terhadap
lingkungan alam sekitar (Untung, 2009).
8
Konsep terobosan oleh John Elkington menyatakan bahwa jika perusahaan
ingin sustain, maka perlu memperhatikan 3P, bukan hanya memburu profit, namun
juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif
dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). John Elkington menawarkan konsep
Triple Bottom Line/TBL yang menganjurkan agar ukuran sukses atau kinerja bisnis
dan usaha tidak hanya dengan kinerja keuangan (besarnya bottom line yang
dihasilkan) namun juga dengan pengaruh perusahaan terhadap perekonomian secara
luas, lingkungan dan masyarakat dimana perusahaan melakukan operasional
usahanya. Bisnis dan usaha yang berkelanjutan perlu memiliki kemampuan untuk
menghasilkan kinerja yang baik di 3 bottom lines-nya, yaitu ekonomi, lingkungan,
dan sosial yang masing-masing setara besarnya.
Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya konsep 3P ini diatur oleh Undang-
Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 pada pasal 74 yang menyebutkan
bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Perusahaan pertambangan merupakan organisasi yang menjalankan usahanya di
bidang dan berkaitan dengan sumber daya alam sehingga wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Hal tanggung jawab sosial dan lingkungan dinyatakan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, pada pasal 2 (d) disebutkan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara
dikelola berasaskan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sedangkan pada
9
pasal 96 (c dan d) menyatakan bahwa perusahaan pertambangan pemegang ijin usaha
pertambangan dan ijin usaha pertambangan khusus untuk wajib melaksanakan
penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, antara lain pengelolaan dan
pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan
pascatambang serta upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara.
Menurut Batruch (2011) nilai-nilai sosial telah berevolusi dan merupakan
persyaratan oleh stakeholder untuk mendukung kelancaran perusahaan. Cara
melaksanakan CSR oleh perusahaan minyak dan gas bervariasi sesuai dengan ukuran
perusahaan, negara asal perusahaan, situasi yang dihadapi perusahaan di negara
operasional perusahaan, dan kerentanan perusahaan terhadap opini publik. Dalam
kasus Lundin Petroleum, CSR terbukti menjadi alat yang berharga untuk strategi
pertumbuhan dan keberhasilan perusahaan.
Menurut Rawi dan Muchlish (2010), para pengusaha berargumen bahwa
CSR tidak boleh dipaksakan karena bersifat sukarela dan menjadi bagian sari strategi
perusahaan. Mewajibkan perseroan menyisihkan dana CSR melanggar hak asasi
manusia (HAM) dan merugikan kepentingan pemegang saham karena akan
meningkatkan biaya (cost) dan menurunkan laba perseroan. Penurunan laba
berdampak pada penurunan jumlah dividen yang diterima pemegang saham dan nilai
ekuitas perusahaan.
Laba perusahaan merupakan faktor fundamental bagi investor dalam proses
pengambilan keputusan investasi. Sebagai sebuah institusi bisnis, perusahaan dapat
mencapai kondisi yang menguntungkan atau mendapatkan laba adalah salah satu
10
bagian dari usaha perusahaan untuk dapat bertahan dan berkelanjutan. Salah satu alat
analisis pernyataan keuangan adalah rasio profitabilitas, yaitu rasio yang mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Rasio ini cukup penting karena
merupakan alat ukur terhadap efektivitas dan efisiensi penggunaan semua sumber
daya yang ada di dalam proses operasional perusahaan. Profit Margin merupakan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dibandingkan penjualan yang
berhasil dicapai oleh perusahaan. Net Profit Margin (NPM) merupakan rasio
profitabilitas untuk mengevaluasi profit margin dari kegiatan operasional perusahaan.
Pada akhirnya akan menjadi tantangan yang cukup besar bagi perusahaan
sektor pertambangan di Indonesia, untuk senantiasa memperhatikan kepentingan
shareholder dengan terus bertumbuh semakin besar dan dapat terus berkelanjutan
yang ditunjukkan dengan kinerja perusahaan sektor pertambangan yang baik dan
berhasil meraih keuntungan (profit), namun tanpa mengesampingkan kepentingan
stakeholder lainnya yang dilakukan dengan cara memberikan perhatian yang cukup
besar terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat mendukung kelestarian lingkungan dan
sosial kemasyarakatan, terutama yang berada di sekitar tempat operasional
perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE DAN CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP KINERJA KEUANGAN
PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN: Riset Empiris pada Perusahaan
Sektor Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012”.
11
1.2 Rumusan Masalah
Dalam rangka proses pengelolaan perusahaan, dapat terjadi suatu
kesalahpahaman dari pemegang saham terhadap pengelola perusahaan, apakah
pengelola perusahaan telah bekerja dengan baik sesuai keinginan pemegang saham
atau tidak. Hal tersebut akhirnya dapat menimbulkan pertentangan antara pengelola
perusahaan dengan pemegang saham, antara pemegang saham dengan stakeholder,
juga antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Adanya
pelaksanaan corporate governance pada perusahaan sektor pertambangan diharapkan
dapat mewujudkan keseimbangan antara berbagai kepentingan tersebut yang dapat
memberikan keuntungan bagi perusahaan secara keseluruhan.
Dalam rangka aktivitas operasional perusahaan sektor pertambangan dalam
mengolah sumber daya untuk menghasilkan laba perusahaan, dapat terjadi hal-hal
yang berdampak pada lingkungan dan sosial kemasyarakatan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007
pasal 74 menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha yang
berkaitan dengan sumber daya wajib melakukan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Dengan adanya pelaksanaan corporate social responsibility yang
dilakukan oleh perusahaan sektor pertambangan diharapkan dapat mewujudkan
keseimbangan antara kepentingan perusahaan, kelestarian lingkungan, dan sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menguji apa saja komponen-
komponen corporate governance dan corporate social responsibility yang
berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
12
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka yang menjadi
pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah corporate governance yang diproksikan oleh latar belakang pendidikan
komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan
asing, konsentrasi kepemilikan, dan minority interest disclosure mempengaruhi
kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan oleh net profit margin (NPM)?
2. Apakah corporate social responsibility yang diproksikan oleh corporate social
responsibility index mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang
diproksikan oleh net profit margin (NPM)?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris:
1. Untuk menguji secara empiris pengaruh corporate governance yang diproksikan
oleh latar belakang pendidikan komite audit, kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, kepemilikan asing, konsentrasi kepemilikan, dan
minority interest disclosure terhadap kinerja keuangan perusahaan yang
diproksikan oleh net profit margin (NPM).
2. Untuk menguji secara empiris pengaruh corporate social responsibility yang
diproksikan oleh corporate social responsibility index terhadap kinerja keuangan
perusahaan yang diproksikan oleh net profit margin (NPM).
13
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi para pembaca tesis ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan bukti empiris pengaruh komponen corporate governance dan
corporate social responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor
pertambangan.
2. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu
tambahan pengetahuan dan referensi bagi peneliti lain, terutama yang ingin
meneliti lebih jauh tentang hal yang sama.
3. Bagi lembaga-lembaga pembuat peraturan atau standar, hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan
kualitas peraturan dan standar yang telah ada agar menjadi lebih baik.
4. Para calon investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
memberikan wacana baru bahwa dalam mempertimbangkan sebuah rencana
investasi kiranya calon investor tidak hanya terpaku pada laba saja,
melainkan juga mengetahui bagaimana penerapan corporate governance dan
corporate social responsibility yang dilakukan oleh perusahaan.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB 1 : Pendahuluan
Pada bab 1 diuraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah
dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
14
sistematika penulisan.
BAB 2 : Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis
Pada bab 2 diuraikan tentang landasan teori, beberapa penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, pengembangan hipotesis
yang akan diuji dalam penelitian ini, dan model penelitian.
BAB 3 : Metodologi Penelitian
Pada bab 3 diuraikan tentang populasi dan sampel penelitian, jenis dan
sumber data, variabel penelitian serta pengukurannya, dan langkah-
langkah untuk pengujian hipotesis.
BAB 4 : Analisis Data dan Pembahasan
Pada bab 4 diuraikan tentang hasil pengolahan data dan hasil pengujian
hipotesis.
BAB 5 : Penutup
Pada bab 5 ini diuraikan tentang kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan
penelitian, dan saran.