bab 1 pendahuluan 1.1 latar belakang...perubahan uud 1945 merupakan langkah strategis yang harus...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem ketatanegaraan Indonesia berlandaskan pada paham kedaulatan
rakyat dan negara hukum. Hal tersebut tercermin dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut
UUD NRI 1945), serta Pasal 1 ayat (2) UUD NRI yang menyatakan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”, dan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah
penganut jenis kedaulatan rakyat dan sekaligus merupakan negara hukum.
Kedaulatan rakyat dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.
Menurut I Dewa Gede Atmadja, inti dari teori kedaulatan rakyat adalah
domain kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat1. Hal ini berarti bahwa
kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah.
Dalam kaitan ini muncul adagium “solus populi supremalex” suara rakyat adalah
hukum yang tertinggi atau “volk vovuli vo dei”, “suara rakyat adalah suara
Tuhan”. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat tetap harus dijamin karena rakyatlah
yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk
menjalankan kekuasaan negara baik untuk legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
1 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Negara dan Kajian
Kenegaraan, Setara Press, Malang, hal. 87.
2
Konstelasi ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan yang
sangat mendasar setelah bergulirnya reformasi politik pada tahun 1998.
Tumbangnya kekuasaan Soeharto setelah berkuasa lebih dari 30 tahun menandai
dimulainya babak baru dalam sistem negara Republik Indonesia2. Dinamika
ketatanegaraan Indonesia semakin berkembang seiring adanya reformasi yang
dibarengi dengan dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD 1945) yang merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan sebagai akibat dari adanya
sejumlah kelemahan pada UUD 1945, tuntutan reformasi, serta keinginan untuk
memperkuat keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Menurut Ahmad Fadlil
Sumadi, dalam konteks penguatan sistem hukum amandemen diharapkan mampu
membawa rakyat Indonesia mencapai tujuan bernegara yang dicita-citakan, maka
perubahan UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus dilakukan dengan
seksama oleh bangsa Indonesia.3
Perubahan dalam konstitusi tersebut melahirkan demokrasi yang
berkembang dan semakin dinamis. Kedaulatan rakyat dikedepankan dengan
melakukan Pemilihan Umum (yang selanjutnya disebut Pemilu) secara langsung
baik pada tingkat nasional maupun daerah. Sistem Pemilu secara langsung berarti
bahwa setiap warga negara yang telah berhak, dapat secara langsung
2 Himawan Estu Bagijo, 2014, Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi: Perwujudan Negara
Hukum yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-
Undang, Cetakan II, LaksBang Grafika, Yogyakarta, h. 1.
3 Ahmad Fadlil Sumadi, 2013, Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Setara
Press, Malang, h.1.
3
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Hal ini membuka ruang bagi
masyarakat untuk menentukan arah pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Pemimpin yang dilahirkan melalui proses Pemilu secara langsung, diharapkan
menciptakan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, dalam arti mampu menyerap
aspirasi serta meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945, daerah memiliki kekuasaan
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan untuk menjalankan otonomi
yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Otonomi Daerah melahirkan sistem
Pemilihan Kepala Daerah (yang selanjutnya disebut Pilkada) secara langsung. Hal
tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam kaitannya dengan kedaulatan rakyat, maka pada dasarnya Pilkada
merupakan wujud nyata dari mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Sejak pertama kali Pilkada langsung diselenggarakan, penyelenggaraan
Pilkada di Indonesia berlangsung dinamis, penuh kontroversi, dan tidak terlepas
dari berbagai faktor yuridis maupun non yuridis yang mempengaruhinya. Salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi penyelenggaraan Pilkada adalah faktor
yuridis seperti peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar dalam
penyelenggaraannya. Di samping itu juga terdapat faktor non yuridis lainnya yang
tidak kalah pentingnya. Fakta menujukkan bahwa dalam peraturan perundang-
undangan tentang Pilkada, masih banyak ditemukan norma hukum yang
bertentangan antara ketentuan yang satu dengan yang lainnya (konflik norma),
4
norma hukum yang kabur serta masih terjadi kekosongan norma hukum karena
sejumlah urusan penting dan strategis belum diatur secara memadai sesuai
kebutuhan dan perkembangan jaman.
Dalam praktiknya, pengaturan materi muatan dalam peraturan perundang-
undangan tentang sistem dan tahapan Pilkada, tata cara penyelenggaraan dan
penyelesaian sengketa hukum, kewenangan lembaga penyelenggara, serta
ketentuan-ketentuan menyangkut hak dan kewajiban peserta dan masyarakat
seringkali belum diatur secara komprehensif. Peraturan perundang-undangan
tentang Pilkada seringkali mengalami perubahan secara mendadak seiring dengan
keputusan yang diambil oleh pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Perubahan-perubahan
tersebut meskipun didalilkan bertujuan untuk mewujudkan peningkatan kualitas
penyelenggaraan dan hasil Pilkada, serta untuk menegakkan cita-cita negara
hukum yang demokratis, akan tetapi dalam implementasinya tidak jarang
menimbulkan ketidakpastian hukum, keresahan di tengah-tengah masyarakat,
konflik horizontal, terancamnya hak-hak konstitusional warga negara, dan bahkan
sengketa hukum di lembaga peradilan.
Ketentuan tentang sistem dan tahapan penyelenggaraan Pilkada diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
perubahannya, serta dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2007 tersebut, pengaturan penyelenggara Pemilu Legislatif, Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, serta Pilkada disatukan dalam satu undang-undang.
5
Pemilu dan Pilkada diselenggarakan di samping oleh KPU, juga oleh Bawaslu.
Hal ini berarti bahwa Pilkada dimasukkan ke dalam rezim Pemilu seperti halnya
Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diselenggarakan secara langsung yang disebut pemilihan umum kepala daerah
(Pilkada). Pilkada selanjutnya dimasukkan ke dalam kelompok rezim Pemilu
berdasarkan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu dan penyelenggaraannya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi untuk pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tingkat
provinsi dan oleh KPU Kabupaten/Kota untuk pemilihan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota.
Sejalan dengan dinamika perkembangan jaman dan kebutuhan
penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011,
diatur bahwa penyelenggara Pemilu selain Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga Dewan Kehormatan Pennyelenggara
Pemilu (DKPP). Keberadaan DKPP dimaksudkan untuk menegakkan kode etik
penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu beserta jajarannya.
Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dinyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam
6
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil”. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan
partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang
memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Ketetuan Pasal 56 Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tersebut, di samping
menegaskan bahwa pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, juga memuat ketentuan mengenai
diperbolehkannya calon perseorangan untuk maju dalam Pilkada.
Secara filosofis, penyelenggaraan Pilkada secara langsung dipandang lebih
mendekati makna demokratis dari pada pemilihan kepala daerah melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena Pilkada membuka peluang untuk
dapat mengakomodasi terpilihnya calon kepala daerah yang lebih aspiratif,
berkualitas, memiliki legitimasi yang kuat, serta dapat lebih mendekatkan
pemerintah dengan rakyatnya. Selain hal tersebut, dengan penyelenggaraan
Pilkada di daerah, maka ke depan diharapkan akan dapat menumbuhkembangkan
demokrasi lokal dan demokrasi di tingkat nasional secara lebih berkualitas dan
mapan.
Di samping berdampak positif, penyelenggaraan Pilkada di daerah
membuka ruang bagi terjadinya hal-hal negatif seperti pelanggaran norma hukum
dan etika demokrasi yang dapat merusak citra Pilkada itu sendiri. Pelanggaran
tersebut antara lain seperti adanya praktik money politics, ketidaknetralan aparatur
dan penyelenggara Pemilu, adanya pelanggaran kampanye, penggelembungan
7
suara, perilaku masa yang anarkhis, dan masalah-masalah hukum dan etika
lainnya yang mengakibatkan retaknya keharmonisan dan keutuhan masyarakat.
Hingga saat ini, masih diketemukan adanya perilaku calon dan tim kampanye
yang tidak memiliki kesiapan dan kedewasaan untuk menerima kemenangan atau
pun kekalahan dalam Pilkada, sehingga seringkali menghambat dan merusak
upaya mewujudkan Pilkada berkualitas yang berlangsung secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil (yang selanjutnya disebut Luber dan Jurdil).
Permasalahan tersebut perlu diatasi dengan serius, komprehensif, dan
berkelanjutan. Salah satu caranya adalah melalui penyempurnaan sistem dan
tahapan penyelenggaraan Pilkada. Di samping itu juga diperlukan revisi dan
penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan tentang Pilkada dan
dukungan dari segenap “stake holder” terkait seperti penyelenggara Pemilu,
pengawas Pemilu, peserta Pemilu, pemilih, pemerintah, aparat penegak hukum,
masyarakat, dan pers.
Dalam perkembangannya, upaya penyelenggaraan Pilkada yang
transparan, berintegritas dan demokratis serta memenuhi asas-asas Pemilu, yaitu
asas Luber dan Jurdil sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat merupakan
persoalan dan tantangan tersendiri yang memerlukan proses dan waktu panjang
dalam mewujudkannya. Sejumlah persoalan penting yang seringkali menjadi
kendala diantaranya adalah: Pertama, masalah pengaturan sistem dan tahapan
Pilkada yang terus berubah dan bahkan seringkali perubahan tersebut terjadi di
tengah tahapan yang sedang berjalan akibat perubahan peraturan perundang-
undangan Pilkada. Kedua, masih adanya praktik-praktik pembentukan peraturan
8
perundang-undangan yang mengabaikan tata cara dan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik dan asas-asas penyelenggara Pemilu,
sehingga produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tidak memadai
dan banyak menimbulkan persoalan hukum yang sangat menghambat
penyelenggaraan Pilkada. Ketiga, rendahnya pemahaman dan kesadaran tentang
etika konstitusi, budaya politik, budaya hukum, serta kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan Pilkada yang berlaku. Keempat, tingginya biaya
penyelenggaraan Pilkada akibat adanya kepentingan ekonomi dan komodifikasi
politik yang menyimpang dari norma-norma etika dan hukum yang berlaku.
Kelima, kompleksnya tata cara penyelesaian sengketa hukum Pilkada termasuk
masih banyak terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara baik dalam
tahap persiapan, penyelenggaraan, maupun penyelesaian Pilkada.
Terjadinya berbagai permasalahan tersebut seringkali melahirkan konflik
politik dan sengketa hukum dalam Pilkada, seperti konflik dalam perencanaan
program dan anggaran Pilkada, penundaan penyelenggaraan tahapan, sengketa
dalam pecalonan, pelanggaran administrasi dan pidana Pemilu, perselisihan hasil
Pemilu (PHPU), dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu yang berujung
pada perkara di lembaga peradilan. Sejumlah perkara Pilkada seringkali terjadi
baik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN),
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstutisi (MK), maupun di Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sejalan dengan timbulnya berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan
Pilkada di Indonesia, pengaturan norma hukum Pilkada sebagaimana tertuang
9
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mulai
dipersoalkan dan dipandang “melampaui” norma dasar yang tertuang di dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Hal ini menimbulkan beragam penafsiran,
perdebatan hukum, serta ketidakjelasan arah pengaturan dan berujung kepada
setidaknya menculnya dua problem hukum, yaitu: Pertama, pada Pasal 18 ayat (4)
UUD NRI 1945 hanya menyebutkan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai
kepala daerah. Kedua, pada frase “dipilih secara demokratis” pada Pasal 18 ayat
(4) UUD NRI 1945 telah diterjemahkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagai modal demokrasi langsung (direct
democracy) untuk mekanisme politik memilih kepala daerah. Padahal model
demokrasi perwakilan (reprecentative democrascy) yaitu memilih kepala daerah
melalui lembaga DPRD juga dapat diklaim demokratis.4
Puncak perdebatan hukum tentang berbagai dampak dari penyelenggaraan
Pilkada berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dalam kaitannya dengan sistem Pilkada berdasarkan frase “dipilih secara
demokratis” pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 adalah dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota pada tanggal 2 Oktober 2014 yang mengatur
bahwa sistem pemilihan dilakukan melalui DPRD.
Alasan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana diatur dalam bagian
menimbang antara lain adalah:
4 Wendy Melfa, 2013, Pilkada (Demokrasi dan Otonomi Daerah), BE Press, Lampung, h.
195-196.
10
a. bahwa dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota yang demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, perlu diatur penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota;
b. bahwa penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota
secara langsung selama ini masih diliputi dengan berbagai
permasalahan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi;
c. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pemerintahan daerah perlu diperbaharui sesuai dengan dinamika sosial
politik dan diatur dalam undang-undang sendiri.
Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dinyatakan bahwa: “Pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih
gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan
rakyat”. Hal ini berarti bahwa terjadi perubahan sistem dan tata cara
penyelenggaraan Pilkada dari yang semula dipilih langsung oleh rakyat, menjadi
dipilih oleh anggota DPRD.
Dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota dinyatakan bahwa : “Pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku semua ketentuan mengenai tugas, wewenang dan kewajiban
penyelenggara pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam Undang-Undang
No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku”. Dengan demikian, maka yang diubah bukan saja
mengenai sistem dan tata cara penyelenggaraan Pilkada, tetapi penetapan Undang-
Undang No. 22 Tahun 2014 juga menghapuskan semua kewenangan lembaga
penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU, Bawaslu, dan DKPP dalam
11
penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Tugas dan
wewenang lembaga penyelenggara Pemilu dalam Pilkada diambil alih oleh
DPRD.
Penetapan Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota, sejak awal mendapat reaksi dan kritik keras dari
berbagai kalangan dan pemangku kepentingan (stake holder), seperti kalangan
internal DPR, Presiden, sejumah partai politik, akademisi, para tokoh masyarakat,
mahasiswa dan bahkan pers. Salah satu alasannya adalah pengaturan norma
mengenai sistem, tahapan dan tata cara penyelenggaraan Pilkada dalam undang-
undang tersebut dianggap merupakan kemunduran demokrasi, melanggar hak
asasi manusia (HAM), melanggar prinsip Pemilu sebagai sarana perwujudan
kedaulatan rakyat, serta menghapus hak konstitusional warga negara.
Menyikapi berbagai kritik dan desakkan penolakan terhadap rancangan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 yang telah ditetapkan oleh DPR, Presiden
Republik Indonesia mengambil langkah menetapkan Undang-Undang No. 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada tanggal 2
Oktober 2014. Pada hari dan tanggal yang sama, Presiden juga menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (yang selanjutnya disebut
Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dengan dikeluarkannya Perppu tersebut, maka sesuai dengan Pasal 205 Perppu
No. 1 Tahun 2014, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota mengembalikan sistem pemilihan Gubernur, Bupati, dan
12
Walikota yaitu kembali dilakukan secara langsung oleh rakyat, sama seperti
halnya dengan sistem yang dianut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 oleh Presiden dilakukan di tengah-
tengah situasi politik dan hukum yang tidak menentu pasca penyelenggaraan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 serta akan berdampak luas bagi
penyelenggaraan Pilkada di Indonesia. Sejumlah permasalahan penting terkait
dengan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 diantaranya adalah: Pertama, proses
pembentukan dan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 dipandang lebih sebagai
manuver politik yang kental dengan nuansa kepentingan dan kekuasaan, sehingga
jauh dari suatu standar proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
ideal dan demokratis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Mengingat
kelahirannya dalam situasi demikian, timbul pertanyaan penting apakah
pengaturan norma tentang sistem dan tahapan Pilkada yang dituangkan dalam
Perppu No. 1 Tahun 2014 telah memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu. Kedua,
pengaturan sistem dan tahapan penyelenggaraan Pilkada dalam Perppu No. 1
Tahun 2014 dikhawatirkan akan menimbulkan konflik norma, norma kabur
ataukah norma kosong yang akan berdampak buruk terhadap penyelenggaraan
Pilkada ke depan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun
penyelesaian. Ketiga, pengaturan sistem dan tahapan penyelenggaraan Pilkada
berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 menimbulkan implikasi yang sangat luas
13
terhadap kepastian hukum tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pilkada serta
masa jabatan gubernur, bupati, dan walikota. Hal ini disebabkan, pasca
ditetapkannya Perppu tersebut pada tanggal 2 Oktober 2014 KPU mengeluarkan
Surat Edaran No. 1600/KPU/X/2014, perihal Pelaksanaan Tahapan Pilkada Tahun
2015. Salah satu ketentuan dalam surat edaran tersebut pada intinya menyatakan
agar KPU di daerah yang telah melaksanakan tahapan persiapan maupun
pelaksanaan Pilkada agar menunda pelaksanaan tahapan dan jadwal dimaksud
sampai disahkannya Undang-Undang terkait oleh Presiden. Penundaan tahapan
dan jadwal penyelenggaraan berimplikasi pada keterlambatan pengisian jabatan
kepala daerah dan ditunjuknya Penjabat Gubernur, Bupati atau Walikota untuk
mencegah terjadinya kekosongan. Keempat, Perppu No. 1 Tahun 2014 masih
memerlukan persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. Selama belum
dilaksanakan persidangan dan belum disetujui DPR, Perppu No. 1 Tahun 2014
masih dimungkinkan untuk ditolak oleh DPR sehingga berpotensi terjadi
ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pilkada.
Sejalan dengan dinamika politik dan hukum yang terjadi di Indonesia,
khususnya terkait dengan pembahasan pengaturan sistem dan tahapan Pilkada
dalam peraturan perundang-undangan Pilkada yang dibahas oleh DPR bersama
pemerintah, Perppu No. 1 Tahun 2014 kemudian disetujui dan disahkan menjadi
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pengesahan Undang-Undang No.
14
1 Tahun 2015 memberikan kepastian hukum bahwa sistem penyelenggaraan
Pilkada kembali ke sistem pemilihan langsung oleh rakyat, bukan melaui DPRD.
Namun demikian, meskipun telah disetujui dan disahkan, sejumlah
pengaturan norma dalam pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 2015 oleh DPR bersama pemerintah disepakati untuk dilakukan perubahan
secara terbatas dengan tujuan untuk penyempurnaan dan mencegah terjadi
permasalahan-permasalahan hukum di kemudian hari. Selanjutnya perubahan
tersebut dituangkan ke dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dalam perkembangannya, pasca amandemen UUD 1945 telah
diberlakukan sejumlah pengaturan dan perubahan-perubahan dalam peraturan
perundang-undangan tentang sistem dan tahapan Pilkada yang berlaku di
Indonesia. Secara garis besar, perkembangan pengaturan tersebut termanifestasi
ke dalam UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta UU No. 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan perubahannya.
Perubahan-perubahan tersebut, terutama mengenai sistem dan tahapan Pilkada
terkesan tidak konsisten, maju-mundur atau bolak-balik, yaitu dari sistem
langsung oleh rakyat ke sistem tidak langsung melalui DPRD, kemudian
dikembalikan lagi ke sistem langsung oleh rakyat. Fenomena tersebut, disamping
15
menimbulkan ketidakpastian hukum, juga berimplikasi luas terhadap porses
penyelenggaraan tahapan dan kualitas penyelenggaraan Pilkada, serta dapat
menghambat upaya percepatan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis. Hal ini jika dibiarkan dalam jangka panjang akan menghambat
perwujudan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, perlu dilakukan berbagai
upaya untuk memperkuat kajian hukum guna menemukan solusi tentang
pengaturan sistem dan tahapan Pilkada yang dianut dan diberlakukan di Indonesia
beserta peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum
penyelenggaraannya, sehingga betul-betul sesuai dengan kehendak rakyat, mampu
menjawab dinamika perkembangan jaman ke depan, serta tidak bertentangan
dengan konstitusi.
Salah satu upaya penting untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan
melakukan penelitian tentang pengaturan sistem dan tahapan Pilkada di Indonesia
pacsa amandemen UUD 1945, khususnya pengaturan sistem dan tahapan Pilkada
berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2015 dan perubahannya, serta faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem dan tahapan Pilkada. Dengan
penelitian itu diharapkan ke depan akan dapat ditentukan sistem mana yang
sesungguhnya yang sesuai, kemudian dipilih dan dijadikan sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan Pilkada secara berkesinambungan. Dengan melakukan
penelitian yang komprehensif mengenai sistem dan tahapan Pilkada sebagaimana
diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan serta perbandingan atas
pengaturan masing-masing sistem dan tahapan, maka akan diketahui kelebihan
16
dan kekurangan satu sama lainnya. Hal ini akan dapat dijadikan sebagai dasar
dalam pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem Pilkada pada
masa yang akan datang.
Penelitian tentang “Pengaturan Sistem dan Tahapan Pemilihan Kepala
Daerah Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dari sudut pandang
ilmu hukum, khususnya hukum perundang-undangan dan dari aspek undang-
undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menjadi sangat penting karena menyangkut
kelangsungan penyelenggaraan Pilkada dan jalannya pemerintahan daerah dan
pelayanan publik di seluruh Indonesia. Hal ini selain untuk kepentingan
pengembangan ilmu hukum, juga untuk mempersiapkan sejumlah alternatif dan
solusi hukum dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dan permasalahan
yang akan terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada.
Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, peneliti mengangkat judul
“PENGATURAN SISTEM DAN TAHAPAN PEMILIHAN KEPALA
DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2015
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-
UNDANG”.
17
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang masalah dan judul penelitian yang
peneliti ajukan, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan sistem dan tahapan pemilihan kepala daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang?
2. Faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan sistem dan tahapan
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup atau batasan masalah merupakan hal yang sangat penting
dalam dalam sebuah penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arah dan
fokus pada penelitian yang dilakukan sehingga materi penelitian tidak
menyimpang dari rumusan masalah, serta dapat dilakukan sesuai kaidah-kaidah
keilmuan dalam penelitian hukum.
Adapun ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengaturan sistem dan tahapan Pilkada menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 2015 dibatasi pada pembahasan masalah sistem, tahap persiapan
dan tahap penyelenggaraan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
8 Tahun 2015.
18
2. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem dan tahapan pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia. Pembahasan dibatasi pada
inventarisasi dan identifikasi faktor yang mempengaruhi baik faktor
yuridis maupun faktor non yuridis.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penelitian dengan judul “Pengaturan Sistem dan Tahapan Pemilihan
Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang”
merupakan usulan dan hasil karya orisinil dari peneliti.
Sejauh yang peneliti ketahui dan dari penelusuran yang telah dilakukan,
judul penelitian ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu perguruan tinggi manapun mengingat pada saat usulan penelitian ini
diajukan Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 baru saja ditetapkan. Namun
demikian penelitian tentang Pilkada sudah cukup banyak dilakukan, akan tetapi
menyangkut judul, rumusan masalah, dan pendekatan yang berbeda.
Berikut adalah daftar sejumlah penelitian tentang Pilkada yang peneliti
temukan terkait dengan Pemilu dan Pilkada.
Daftar 1. Judul Penelitian, Peneliti, Tahun, dan Rumusan Masalah
No. Judul Penelitian/Peneliti/Tahun Rumusan Masalah
1. a. Penyelesaian Sengketa Dalam
Pemilihan Kepala Daerah
a. Bagaimanakah mekanisme
penyelesaian sengketa dalam
19
Secara Langsung.
b. Peneliti: Gede Pasek Suardika,
Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
c. Tahun: 2009.
Pilkada langsung menurut
Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah jo Peraturan Pemerintan
No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengangkatan,
Pengesahan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dan peraturan
terkait lainnya?
b. Bagaimanakah kelemahan
penyelesaian sengketa Pilkada
langsung selama ini bila
dikaitkan dengan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah jo
Peraturan Pemerintan No. 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengangkatan, Pengesahan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dan
peraturan terkait lainnya?
2. a. Judul: Kewenangan Mahkamah a. Bagaimanakah kewenangan
20
Konstitusi Dalam Memutuskan
Sengketa Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Studi Kasus:
Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Kota Waringin Barat).
b. Peneliti: Ari Setio Nugroho,
Fakultas Hukum Universitas
Andalas.
c. Tahun: 2011.
Mahkamah Konstitusi dalam
menyelesaikan sengketa hasil
pemilihan umum kelapa daerah
Kotawaringin Barat?
b. Bagaimanakah implikasi
putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap penyelesaian sengketa
hasil Pemilu kepala daerah
Kotawaringin Barat tersebut?
3. a. Judul: Prosedur Pelaksanaan
Pemilihan Umum Melalui Azaz
Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
b. Peneliti: I Made Semadi,
Fakultas Hukum Universitas
Dwijendra, Denpasar.
c. Tahun: 2012.
a. Bagaimanakah prosedur
pelaksanaan Pemilihan Umum
di Indonesia?
b. Apakah tujuan Pemilihan
Umum dapat mewujudkan
mekanisme pemilihan
kepemimpinan nasional
berdasarkan UUD 1945?
4. a. Judul: Politik Hukum Sistem
Pemilihan Umum Di Indonesia
Pada Era Reformasi.
a. Bagaimana konfigurasi politik
dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang
21
b. Peneliti: Muhammad Aziz
Hakim, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
c. Tahun: 2012.
terkait dengan Pemilihan
Umum dengan fokus isu
penyelenggara, peserta, dan
sistem pemilihan Pemilu?
b. Bagaimana proses dan hasil
pembentukan peraturan
perundang-undangan yang
terkait dengan Pemilihan
Umum dengan fokus isu
penyelenggara, peserta, dan
sistem pemilihan Pemilu?
c. Bagaimana pelaksanaan
ketetuan dalam peraturan
perundang-undangan tentang
Pemilihan Umum dengan fokus
isu penyelenggara, peserta, dan
sistem pemilihan Pemilu?
5. a. Judul: Eksistensi Komisi
Pemilihan Umum Dalam
Sistem Pemilihan Umum Di
Indonesia.
b. Peneliti: I Ketut Sukawati
Lanang Putra Perbawa,
a. Mengapa KPU sebagai
penyelenggara Pemilu eksis
ditinjau dari landasan filosofis,
historis dan yuridis
konstitusional?
b. Bagaimana eksistensi KPU
22
Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya.
c. Tahun: 2013.
dalam penyelenggaraan Pemilu
berkaitan dengan tugas, fungsi,
dan kewenangannya
berdasarkan UUD 1945 dan
peraturan pelaksanaannya?
c. Apakah eksistensi KPU
menunjang upaya pelaksanaan
Pemilu menuju terwujudnya
kadaulatan rakyat dan
pemerintahan yang demokratis?
6 a. Judul: Kemandirian Komisi
Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota sebagai
Penyelenggara Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah (Studi Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 17/PUU-VI/2008).
b. Peneliti: Ni Made Bakti,
Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
c. Tahun: 2014.
a. Apakah Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 17/PUU-
VI/2008 yang tidak
mengharuskan petahana
mengundurkan diri pada saat
kampanye, signifikan dalam
menjaga kemandirian KPU
Kabupaten/Kota sebagai
penyelenggara Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah?
b. Apakah dengan dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi
23
No. 17/PUU-VI/2008, tanpa
merevisi Pasal 112 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004
dapat menjamin kemandirian
KPU Kabupaten/Kota sebagai
penyelenggara Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah?
Berdasarkan uraian dan daftar di atas, orisinalitas usulan penelitian dengan
judul: “Pengaturan Sistem dan Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No.
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang” dijamin dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.5 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan dan penulisan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.5.1 Tujuan Umum.
1. Sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
pengetahuan di bidang pengaturan sistem dan tahapan Pilkada di
Indonesia.
24
2. Untuk melatih mahasiswa dalam mengemukakan pikiran dan
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah secara
ilmiah dan tertulis.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengaturan sistem
dan tahapan Pilkada di Indonesia sehingga dapat berpartisipasi dalam
menyukseskan penyelenggaraan Pilkada pada masa yang akan datang.
1.5.2 Tujuan Khusus.
1. Memahami permasalahan hukum, khususnya mengenai pengaturan
sistem dan tahapan Pilkada berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8
Tahun 2015.
2. Memahami permasalahan hukum tentang faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan sistem dan tahapan Pilkada berdasarkan Undang-Undang
No. 1 Tahun 2015, baik faktor yuridis maupun non yuridis.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis.
1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum,
khususnya tentang pengaturan sistem dan tahapan Pilkada berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 dan perubahannya, sehingga ke
depan dapat dikembangkan sistem Pilkada yang lebih demokratis,
transparan, akuntabel, serta dapat dilaksanakan secara efektif.
25
2. Untuk medalami teori-teori yang telah diperoleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Udayana serta
mengimplementasikannya dalam memecahkan permasalahan hukum
yang dihadapi terkait dengan problematika pengaturan sistem Pilkada
sehingga dapat dirumuskan alternatif solusi keilmuannya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman mengenai perbandingan pengaturan sistem Pilkada
kepada mahasiswa, peserta Pemilu, penyelenggara Pemilu, serta
masyarakat, sehingga dapat berpartisipasi dalam mengembangkan dan
menyempurnakan kajian-kajian, teori-teori serta peraturan perundang-
undangan Pemilu pada masa yang akan datang untuk kemajuan
demokrasi dan tegaknya negara hukum di Indonesia.
1.6.2 Manfaat Praktis.
1. Bagi peneliti, dengan penulisan penelitian ini diharapkan akan dapat
lebih memahami, menguasai, dan untuk mengembangkan kemampuan
peneliti dalam bidang hukum Pemilu, khususnya terkait dengan
pengaturan sistem dan tahapan Pilkada.
2. Sebagai bekal bagi peneliti dalam terjun di tengah-tengah masyarakat
dalam melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara
menghadapi penyelenggaraan Pilkada pada masa yang akan datang.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai salah satu referensi dan
dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang
diteliti.
26
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Negara Hukum.
Perkembangan teori negara hukum merupakan produk sejarah. Hal ini
disebabkan pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah
perkembangan masyarakat suatu bangsa. Prinsip dasar pengertian negara hukum
adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup bagi
warga negaranya.5
Pemikiran tentang negara hukum telah muncul jauh sebelum terjadinya
Revolusi 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada abad ke-17 dan mulai
populer pada abad ke-19. Latar belakang timbulnya pemikiran tentang negara
hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau.
Oleh karena itu, unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan yang erat
dengan sejarah dan perkembangan masyarakat dari suatu bangsa.6
Cita negara hukum untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato dan
kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh muridnya Aristoteles. Menurut Plato
penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Sedangkan Aristoteles menegaskan bahwa suatu negara yang baik ialah negara
yang diperintah oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Sejarah mencatat meskipun cita negara hukum telah lahir beberapa abad
yang lalu, akan tetapi untuk mewujudkan cita negara hukum dalam kehidupan
5 I Made Subawa dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan,
Denpasar, h.56.
6 Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, h. 1.
27
bernegara bukanlah perkejaan yang sederhana dan mudah. Menurut Frans Magnis
Suseno, terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada
konstitusi dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini.
Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Demokrasi merupakan cara
paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.7
Konsep negara hukum mulai berkembang pesat sejak akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Di Eropa Barat Kontinental, Immanuel Kant dan Friedrich Julius
Stahl menyebutnya dengan istilah rechtsstaat, sedangkan di negara-negara anglo-
saxon A.V. Dicey menggunakan istilah rule of law.
Istilah negara hukum digunakan untuk menterjemahkan, baik rechtsstaat
maupun the rule of law, walaupun keduanya berasal dari dua tradisi hukum yang
berbeda. Alec Stone Sweet sebagaimana dikutip oleh Janedjri M. Gaffar,
memahami istilah the rule of law (Inggris), rechtsstaat (Jerman) dan etat de droit
(Perancis) dalam pengertian yang sama, yaitu bahwa otoritas publik hanya dapat
menjalankan kewenangan berdasarkan perintah yang lebih tinggi yang
dimungkinkan oleh hukum, dan hukum tersebut mengikat semua anggota
masyarakat.8
7 Ibid, h. 2.
8 Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press (Konpress),
Jakarta (selanjutnya disingkat Janedjri M. Gaffar I) , h.47- 48.
28
Menurut F.J. Stahl terdapat empat rumusan unsur-unsur rechtsstaat dalam
arti klasik sebagai berikut:9
a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak
asasi manusia;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan;
d. Adanya peradilan administrasi.
Unsur-unsur the rule of law menurut A.V.Dicey adalah sebagai berikut:10
a. Supremasi aturan-aturan hukum;
b. Kedudukan yang sama di hadapan hukum;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
Unsur-unsur dari masing-masing negara hukum tersebut di atas, baik
rechtsstaat maupun rule of law memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan
pokoknya adalah sama-sama memiliki keinginan memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kedudukan yang sama bagi setiap
orang di hadapan hukum (equal before the law/equal before under law), dan
prinsip pemisahan kekuasaan dalam negara (separation of power/division of
power).
Perbedaan pokoknya ditemukan pada unsur peradilan administrasi. Di
negara-negara Eropa Kontinental unsur peradilan administrasi negara dimasukkan
sebagai salah satu unsur rechtsstaat, dengan maksud untuk memberikan
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap sikap dan tindakan pemerintah yang
melanggar hak asasi manusia dalam bidang administrasi negara. Di samping itu,
juga untuk memberikan perlindungan hukum yang sama bagi pejabat administrasi
negara yang telah bertindak benar dan sesuai dengan hukum. Dengan demikian,
9 S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
FH UII Press, Yogyakarta, h.9.
10
Ibid, h. 9.
29
dalam negara hukum diberikan perlindungan yang sama antara rakyat dan pejabat
administrasi negara.
Sedangkan di negara-negara anglo saxon, penekanan terhadap prinsip
persamaan di hadapan hukum (equality before the law) lebih ditekankan. Oleh
karena itu dipandang tidak perlu menyediakan suatu peradilan khusus untuk
pejabat administrasi negara. Prinsip equality before the law menghendaki
persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara juga tercermin dalam
bidang peradilan.
Berdasarkan uraian di atas, konsep negara hukum baik dalam paham
rechtsstaat maupun the rule of law mengandung prinsip utama bahwa negara
harus diselenggarakan berdasarkan aturan hukum. Dengan demikian, hukumlah
yang menentukan penyelenggaraan negara, termasuk dalam penyelenggaraan
Pemilu.
Sejalan dengan perkembangan jaman dan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kehidupan suatu negara, maka jalan pikiran mengenai negara hukum
juga mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan. Perumusan yuridis
mengenai negara hukum klasik seperti yang diajukan oleh A.V. Dicey dan
Immanuel Kant pada abad ke-19 juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali
sesuai dengan tuntutan abad ke-20, terutama setelah Perang dunia II. International
Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional
dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep mengenai the
rule of law dan menekankan pentingya the dynamic aspects of the rule of law in
30
the modern age. Selanjutnya dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah the rule of law ialah: 11
a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak individu,
juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independendt and
impartial tribunals);
c. Pemilihan umum yang bebas;
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
f. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum selalu berdampingan
dengan konsep negara demokrasi, dimana satu sama lainnya saling melengkapi
dan tidak terpisahkan. Pertautan atau kombinasi keduanya melahirkan konsep
negara hukum yang demokratis. Konsep ini dianut secara luas dan sekaligus
menjadi suatu paham yang diterima dan dicita-citakan oleh hampir semua negara
modern di dunia, termasuk Indonesia.
Konsep negara demokrasi dalam kepustakaan dikenal sebagai sebuah
bentuk atau mekanisme bagaimana sistem pemerintahan dalam suatu negara
dijalankan atau diselenggarakan sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut. Dengan demikian konsep demokrasi dapat diartikan sebagai kedaulatan
(pemerintahan) rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai kedaulatan (pemerintahan)
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.12
Demokrasi berasal dari kata “demos” dan “cratos” yang berarti
“kekuasaan yang ada pada rakyat seluruhnya” untuk membedakan dengan bentuk
11 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
h. 116.
12
Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Prenadamedia Group, Jakarta, h.63.
31
pemerintahan oligarkhi, kekuasaan yang ada pada sedikit orang, dan monarkhi,
kekuasaan yang ada di tangan satu orang.13
Menurut Burkens sebagaimana
dikutip oleh Aminuddin Ilmar, bahwa syarat minimum demokrasi, yaitu:14
a. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
pemilihan yang bebas dan rahasia;
b. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
c. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak kebebasan
perpendapat dan berkumpul;
d. Badan perwakilan mempengaruhi pengambilan keputusan melalui
sarana hak untuk ikut memutuskan (mede beslissing recht) dan/atau
melalui wewenang pengawas;
e. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan
yang terbuka;
f. Dihormatinya hak-hak minoritas.
Meskipun teori negara demokrasi sejak kelahirannya diterima secara luas
karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, namun pandangan negatif terhadap
demokrasi masih dijumpai baik pada masa revolusi Amerika dan Perancis,
maupun era setelah itu hingga dewasa ini. Pada masa kini demokrasi juga tetap
mendapatkan kritik, karena ternyata masih menyisakan berbagai permasalahan
yang melingkupinya.
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyebutkan ada empat
kelemahan demokrasi, yaitu:15
a. Demokrasi tidak dengan sendirinya lebih efisien secara ekonomis
ketimbang bentuk-bentuk pemerintahan lainnya;
b. Demokrasi tidak secara otomatis lebih efisien secara administratif.
Kapasitas demokrasi untuk mengambil keputusan-keputusan boleh jadi
lebih lambat ketimbang rezim-rezim lain yang pernah digantikannya;
c. Demokrasi tidak mampu menunjukkan situasi yang lebih tertata rapi,
penuh konsesus, stabil, atau dapat memerintah ketimbang sistem
otokrasi yang mereka tumbangkan;
13 Janedjri M. Gaffar I, op.cit, h. 14.
14
Aminuddin Ilmar, op. cit, h. 63.
15
Janedjri M. Gaffar I, op. cit, h.15.
32
d. Demokrasi memang memungkinkan masyarakat dan kehidupan politik
lebih terbuka ketimbang otokrasi, akan tetapi tidak dengan sendirinya
menjadikan ekonomi lebih terbuka.
Dilihat dari sejarah perkembangannya, perjalanan demokrasi yang
demikian panjang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan bangsa-
bangsa di dunia, melahirkan praktik yang berbeda-beda antara negara yang satu
dengan negara lainnya. Hal tersebut juga melahirkan klasifikasi berbagai model
demokrasi.
Salah satu pengklasifikasian klasik tentang demokrasi adalah demokrasi
langsung dan demokrasi tidak langsung. Menurut R.M. Mac Iver, dalam
demokrasi langsung terdapat penyatuan antara kedaulatan tertinggi dan kedaulatan
legislatif, dimana rakyat secara langsung bertindak sebagai legislatif. Sedangkan
demokrasi tidak langsung adalah demokrasi yang dijalankan melalui wakil rakyat,
baik yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Demokrasi tidak
langsung membutuhkan adanya solidaritas yang memungkinkan sedikit orang
tertentu bertindak untuk semua warga karena semua warga memberikan
kepercayaan dan mengontrol yang sedikit itu.16
1.7.2 Teori Demokrasi Perwakilan.
Demokrasi langsung dalam arti pemerintahan oleh rakyat sendiri di mana
segala keputusan diambil secara langsung oleh rakyat yang berkumpul pada waktu
dan tempat yang sama, hanya dapat dilaksanakan pada suatu negara yang jumlah
rakyatnya kecil, serta wilayahnya tidak luas, sehingga memungkinkan bagi
seluruh rakyat untuk berkumpul.
16
Ibid, h.16.
33
Demokrasi langsung dewasa ini sangat sulit diwujudkan mengingat hampir
semua negara di didunia memiliki jumlah penduduk yang besar dengan cakupan
wilayah yang luas. Oleh karena itu, berkembang mekanisme yang mampu
menjamin kepentingan dan kehendak warga negara menjadi bahan pembuatan
keputusan melalui orang-orang yang menjadi wakil rakyat dalam model
demokrasi perwakilan. Dalam gagasan demokrasi perwakilan, kekuasaan tertinggi
tetap di tangan rakyat, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakil
rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri.
Demokrasi perwakilan adalah bentuk demokrasi yang dibuat untuk dapat
dijalankan dalam jangka waktu lama dan mencakup wilayah negara yang luas.
Menurut John Locke, walaupun kekuasaan telah diserahkan kepada organ negara,
masyarakat sebagai kesatuan politik masih dapat menyampaikan aspirasi dan
tuntutan. Untuk membentuk suatu masyarakat politik, dibuatlah undang-undang
atau hukum sehingga perlu dibuat badan atau lembaga pembuat undang-undang
yang dipilih dan dibentuk oleh rakyat.
Pada titik inilah, demokrasi perwakilan menghendaki adanya Pemilu.
Pemilu merupakan mekanisme untuk membentuk organ negara, terutama organ
pembentuk hukum yang akan menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan
negara. Karena itu, Pemilu merupakan bagian tak terpisahkan sekaligus prasyarat
bagi demokrasi perwakilan.17
Robert A. Dahl menyatakan bahwa demokrasi
perwakilan pada era modern merupakan bentuk demokrasi dalam sekala besar
yang membutuhkan lembaga-lembaga politik tertentu sebagai jaminan
17 Ibid, h. 27.
34
terlaksananya demokrasi. Salah satu dari lembaga politik tersebut adalah Pemilu
yang bebas, adil, dan berkala.18
1.7.3 Teori Pemilu yang Demokratis.
Pemilu adalah salah satu syarat berlangsungnya demokrasi. Namun, tidak
semua Pemilu berlangsung secara demokratis. Robert A. Dahl memberikan
ukuran-ukuran yang harus dipenuhi agar suatu Pemilu memenuhi prinsip-prinsip
demokrasi, yaitu:19
a. Inclusivenes,artinya setiap orang yang sudah dewasa harus diikutkan
dalam Pemilu;
b. Equal vote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama;
c. Effective participation, artinya setiap orang mempunyai kebebasan
untuk mengekspresikan pilihannya;
d. Enlightened understanding, artinya dalam rangka mengekspresikan
pilihan politiknya secara akurat, setiap orang memiliki pemahaman dan
kemampuan yang kuat untuk memutuskan pilihannya;
e. Final control of agenda, artinya Pemilu dianggap demokratis apabila
terdapat ruang untuk mengontrol atau mengawasi jalannya Pemilu.
Pemilu memiliki hubungan yang erat dengan negara demokrasi dan negara
hukum. Inti dari demokrasi adalah pelibatan rakyat dalam pembentukan dan
penyelenggaraan pemerintahan melalui partisipasi, representasi, dan pengawasan.
Di samping itu, Pemilu juga merupakan sarana utama rakyat menjalankan
kedaulatannya. Penyelenggaraan Pemilu merupakan salah satu prinsip negara
hukum modern sebagaimana dirumuskan oleh International Commission of
Jurists. Dalam konteks negara hukum pula Pemilu diperlukan untuk menjamin
bahwa hukum dibuat secara demokratis, yaitu oleh lembaga yang dipilih oleh
rakyat melalui cara-cara yang demokratis, yaitu Pemilu.
18 Ibid, h. 28.
19
Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Perludem, Jakarta,
h.22.
35
Secara konseptual, Pemilu memiliki hubungan erat dengan prinsip
demokrasi dan negara hukum. Pemilu berkaitan erat dengan demokrasi karena
Pemilu merupakan salah satu cara pelaksanaan demokrasi dan sekaligus sebagai
sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilu juga erat dengan prinsip negara
hukum karena melalui Pemilu, rakyat memilih wakil-wakilnya yang nantinya
akan membentuk produk hukum serta melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan hukum. Di samping itu, Pemilu juga merupakan representasi
pelaksanaan ciri negara hukum yang lain, yaitu pelaksanaan perlindungan hak
asasi manusia, dalam hal ini hak untuk memilih dan dipilih, serta wujud dari
persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Agar Pemilu yang dijalankan benar-benar dapat membentuk organ negara
yang akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan aspirasi dan kehendak
rakyat, maka pelaksanaan Pemilu harus dilakukan menurut prinsip-prinsip tertentu
sehingga Pemilu itu sendiri dapat dikatakan sebagai Pemilu yang demokratis.
Eric Barendt mengemukakan empat prinsip Pemilu yang harus ditegaskan
dalam konstitusi, yaitu: berkala (regular), bebas (free), persamaan (equal), dan
pengadilan harus memiliki kewenangan untuk menegakkan prinsip-prinsip
tersebut. Selain itu, Organisasi Parlemen Sedunia (Inter-Parliamentary Union)
telah membuat dokumen Universal Declaration on Democracy yang di dalamnya
menyebutkan prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis, yaitu:20
a. Prinsip free, fair, dan regular sehingga kehendak rakyat dapat
diekspresikan;
b. Prinsip pelaksanaan Pemilu berdasarkan hak pilih yang bersifat umum,
sederajat dan rahasia sehingga pemilih dapat memilih wakilnya dalam
20 Janedjri M. Gaffar I, op. cit, h.43.
36
kondisi secara sama (equal), dalam siatuasi yang terbuka dan
transparan yang mendorong kompetisi politik.
1.7.4 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Penegakkan
Hukum.
Salah satu aspek penting dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik. Pemahaman tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, salah satunya dapat dimulai dari pemahaman tentang pengertian
tentang asas hukum. Menurut P. Scholten, asas hukum bukanlah sebuah aturan
hukum (rechtsregel). Bahwa “pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-
ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya”.21
Sementara itu Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa:
“Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah hukum konkret, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar
belakang dari peraturan konkret yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dari peraturan yang konkret
tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum ini dalam hukum
positif.”22
Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan unsur penting dan
pokok dari peraturan hukum.23
Asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan
hukum. Dikatakan demikian karena asas hukum merupakan landasan yang paling
luas bagi lahirnnya suatu peraturan hukum. Bahwa peraturan hukum itu pada
21 Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.19.
22
Ibid, h. 20.
23
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 45.
37
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Selain itu, asas hukum
layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio
legis dari peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum, maka peraturan hukum
itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, karena asas itu mengandung
nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.
Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan, karena “asas” adalah suatu hal yang dianggap oleh
masyarakat hukum sebagai basic truth, sebab melalui asas hukum pertimbangan
etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum, dan menjadi sumber
menghidupi nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya.24
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, disamping dikenal
adanya landasan peraturan perundang-undangan, seperti landasan filosofis,
landasan yuridis, dan landasan sosiologi, juga dikenal adanya asas-asas peraturan
perundang-undangan. Menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, asas-asas
peraturan perundang-undangan atau asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah nilai-nilai yang dijadikan pedoman dalam
penuangan norma atau isi ke dalam bentuk dan susunan peraturan perundang-
undangan yang diinginkan, dengan menggunakan metode yang tepat dan
mengikuti prosedur yang telah ditentukan.25
Fungsi dari asas peraturan perundang-undangan yaitu:
a. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau pengujian norma
hukum;
24 Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara di Indonesia, UII
Pres, Yogyakarta, h. 29.
25
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2012, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
Undangan di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, h. 81.
38
b. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap hukum;
c. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau bangsa tertentu dalam
memandang perilaku.26
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun yang
dimaksud dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik (good legislation principles), yaitu27
:
a. Asas kejelasan tujuan;
b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Asas kesamaan jenis dan materi muatan;
d. Asas dapat dilaksanakan;
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Asas kejelasan rumusan;
g. Asas keterbukaan.
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu, diatur bahwa dalam menyelenggarakan Pemilu, termasuk didalamnya
Pilkada, penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas: mandiri, jujur, adil,
kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efiseinsi, dan efektvitas. Sebagai tindaklanjut dari
ketentuan tersebut, kemudian ditetapkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan
DKPP No. 13 Tahun 2012, No, 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang
Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Peraturan tersebut dijadikan dasar
oleh DKPP dalam menegakkan kode etik bagi penyelenggara Pemilu.
Selain berpedoman pada asas-asas hukum, pembentukan peraturan
perundang-undangan juga perpegang pada norma-norma hukum. Dalam
kehidupan manusia, baik dalam pergaulan hidup sebagai pribadi di tengah-tengah
26 Ibid, h. 83.
27
Ibid, h. 85-87.
39
masyarakat maupun dalam kehidupan bernegara selalu diperlukan adanya norma
atau kaidah yang memberikan arah kepada manusia bagaimana menjalani hidup
dan kehidupanya.
Istilah norma berasal dari bahasa Latin nomos yang berarti nilai dan
kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Norma atau kaidah
dimaksud adalah suatu patokan atau standar yang didasarkan pada nilai-nilai
tertentu.28
Menurut Jimly Asshiddiqie, norma atau kaidah (kaedah) merupakan
pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi
kebolehan, anjuran, atau perintah.29
Dalam perkembangannya, norma atau kaidah
dapat diartikan sebagai patokan atau standar yang dibutuhkan dan harus dipatuhi
oleh manusia, baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat
berdasarkan nilai-nilai tertentu yang berisikan perintah dan larangan.30
Sementara itu, Purnadi Purbacaraka menguraikan bahwa ada tiga isi dan
sifat norma hukum, yaitu: 31
a. Suruhan (gebod), yaitu berisi apa yang harus dilakukan oleh manusia,
berupa suatu perintah untuk melakukan sesuatu;
b. Larangan (verbod), yang berisi apa yang tidak boleh dilakukan;
c. Kebolehan (mogen) berisi apa yang dibolehkan, artinya tidak dilarang
dan tidak disuruh.
Menurut Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola, atau standar
yang perlu diikuti. Adapun fungsi norma hukum, adalah: memerintah (gebeiten),
28 Ibid, h. 21-22.
29
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Jimly Asshiddiqie I), h.1.
30
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op. cit, h. 22.
31 Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Mandar Maju,
Bandung, h.24-25.
40
melarang (verbeiten), menguasakan (ermachtigen), membolehkan (erlauben), dan
menyimpang dari ketentuan (derogoereen). Norma hukum pada hakikatnya juga
merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan.32
Norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat dalam
perkembangannya kemudian terdiferensiasi ke dalam suatu susunan yang
bertingkat, semacam piramida atau stupa. Norma-norma hukum yang berbentuk
piramida tersebut kemudian disebut dengan susunan norma, yang dalam norma
hukum tertulis disebut dengan piramida perundang-undangan atau secara
substansial disebut hierarki perundang-undangan.
Adolf Merkel dan Hans Kelsen, berpendapat bahwa setiap tata kaedah
hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau des recht).33
Dalam “stufentheorie” – nya Hans Kelsen mengemukakan bahwa di puncak
“stufenbau” terdapat kaedah dasar dari suatu tata hukum nasional yang merupakan
suatu kaedah fundamental. Kaedah dasar tersebut disebut “groundnorm”.
Groundnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, bersifat umum,
atau hipotesis. Sistem hukum suatu negara merupakan proses yang terus menerus,
dimulai dari yang abstrak, menuju hukum yang positif, dan seterusnya sampai
menjadi nyata. Dasar keabsahan suatu norma ditentukan oleh norma yang paling
tinggi tingkatannya.
Selanjutnya Hans Kelsen menyatakan bahwa pembentukan suatu norma
hukum dapat ditentukan menurut dua cara yang berbeda, yaitu norma yang lebih
tinggi dapat menetukan organ dan prosedur pembuatan norma yang lebih rendah
32 Yuliandri, op. cit, h. 21.
33 Rosjidi Ranggawidjaja, op. cit, h. 26.
41
dan isi norma yang lebih rendah.34
Hal ini berarti bahwa meskipun norma yang
lebih tinggi hanya menentukan organ, dan itu berarti individu yang harus
membuat norma yang lebih rendah dan memberi wewenang kepada organ ini
untuk menentukan prosedur pembentukan serta isi dari norma yang lebih rendah
tersebut atas kebijaksanaannya sendiri, namun norma yang lebih tinggi
“diterapkan” di dalam pembentukan norma yang lebih rendah tersebut.
Oleh karena itu, setiap tindakan membentuk hukum mesti merupakan
hukum, yakni tindakan itu mesti menerapkan suatu norma yang mendahului
tindakan tersebut agar menjadi suatu tindakan dari tatanan hukum tersebut. Fungsi
pembentuk norma harus dipandang sebagai fungsi penerap norma sekalipun hanya
unsur personalnya, yakni individu yang membentuk norma yang lebih rendah.35
Teori Hans Kelsen kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky
(muridnya). Menurut Hans Nawiasky, norma-norma hukum dalam negara selalu
berjenjang, yakni sebagai berikut:36
a. Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm)
b. Aturan-aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz)
c. Undang-undang (formal) (formellegesetz)
d. Peraturan pelaksana serta peraturan otonom (verordnung & autonomi
satzung)
Teori tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut di atas kemudian
berkembang ke berbagai negara di kawasan Eropa Kontinental sampai ke
Indonesia. Oleh para sarjana dan ahli hukum Indonesia kemudian diterapkan
dalam hukum positif Indonesia.
34 Hans Kelsen, 2011, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, cet. VI, terjemahan Raisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 191.
35
Ibid, h. 192.
36
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, op. cit, h.38.
42
Dalam identifikasi suatu aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan
hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma
(antinomy), dan norma kabur (vage normen). Tidak akan pernah ada jaminan
bahwa norma yang lebih rendah sesuai dengan norma yang lebih tinggi.
Kemungkinan bahwa norma yang lebih rendah tidak sesuai dengan norma yang
lebih tinggi yang menetukan pembuatan dan isi norma yang lebih rendah, akan
tetap ada dan bahkan seringkali terjadi dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.
Konflik norma antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih
rendah muncul tidak hanya dalam hubungan antara hukum undang-undang atau
kebiasaan dan keputusan pengadilan, tetapi juga dalam hubungan antara konstitusi
dengan undang-undang atau antara undang-undang dengan peraturan perundang-
undangan yang berada di bawahnya.
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Ari Purwadi,
dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomy hukum), maka berlaku
asas penyelesaian konflik (asas preverensi), yaitu:37
a. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah;
b. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus itu
akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
c. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.
37 Ari Purwadi, 2013, “Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan antara Pusat
dan Daerah Era Otonomi Daerah”, Perspektif Volume XVIII No. 2, Edisi Mei, h.89.
43
Selain konflik norma, dalam peraturan perundang-undangan juga sering
ditemukan kekosongan hukum atau norma kosong. Hans Kelsen sebagaimana
dikutip oleh Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa otoritas untuk memberikan
suatu sanksi yang tidak dicantumkan oleh norma hukum yang sudah ada sering
dikatakan diberikan secara tidak langsung, yaitu melalui suatu fiksi. Fiksi adalah
bahwa tata hukum memiliki kekosongan (gaps), artinya bahwa hukum yang
berlaku tidak dapat diterapkan karena pada kasus konkret karena tidak ada norma
umum yang sesuai dengan kasus itu. 38
Legislatif menyadari kemungkinan bahwa norma umum yang dibuat
mungkin dalam beberapa kasus menjadi tidak adil atau menghasilkan sesuatu
yang tidak diharapkan. Hal ini karena legislator tidak dapat melihat semua kasus
konkret yang mungkin dapat terjadi. Karena itu, legislator kemudian
mengotorisasi organ pelaksana hukum untuk tidak mengaplikasikan norma umum
yang dibuat tersebut, tetapi untuk membuat norma baru, dalam kasus dimana jika
pelaksanaan norma umum yang dibuat legislatif tersebut akan menimbulkan hasil
yang tidak memuaskan.39
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (recht vacuum) atau
kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia
novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya. Hakim dilarang menolak
perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Hakim wajib
memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
38 Jimly Asshidiqqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konpress,
Jakarta (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), h. 130.
39 Ibid, hal. 130-131.
44
masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum
(rechtvinding).40
Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak
jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya.
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa konkrit. Salah satu metode yang dapat dipergunakan adalah
metode interpretasi. Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi
hukum, yaitu: interpretasi gramatikal, historis, teleologis/sosiologis, komparatif,
futuristik/antisipatif, restriktif, ekstensif, autentik, interdisipliner, dan
multidisipliner.41
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi,
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang
dilanggar itu harus ditegakkan sehingga melalui penegakkan hukum, maka hukum
itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus
selalu diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).42
Adapun uraian ringkas dari ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:43
40 Habibul Umam Taqiuddin, 2013, Teori Penalaran Hukum, http://habibulumamt.
blogspot.com. Akses 4 Desember 2014.
41
Ibid, h. 5
42
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Cahaya
Atma Pustaka, Yogyakarta, h.207.
43
Ibid, h.208.
45
1. Kepastian hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum maka hukum
harus ditegakkan. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku;
pada dasarnya tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus
(meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan). Kepastian
hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang yang berarti seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat
mengharapkan kepastian hukum karena dengan adanya
kepastianhukum masyarakat akan lebih tertib.
2. Kemanfaatan hukum. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia,
maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat . Jangan sampai justru karena
hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul keresahan di dalam
masyarakat.
3. Keadilan hukum. Pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil,
sementara itu hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat
umum, mengikat setiap orang bersifat menyamaratakan. Sebaliknya
keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan;
adil bagi Si Suto belum tentu dirasakan adil bagi Si Noyo.
Mengenai penegakkan hukum, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa inti
dan arti penegakaan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-
nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.44
Masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:45
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada
undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
44 Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 5.
45
Ibid, h. 8-9.
46
5. Faktor kebudayaan, yakni segala hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakkan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakkan hukum.
1.7.5 Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Pilkada.
1.7.5.1 Desentralisasi.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan maka
kedaulatan negara adalah tunggal, tidak tersebar pada negara-negara bagian
seperti dalam negara federal/serikat.46
Karena itu, pada dasarnya sistem
pemerintahan dalam negara kesatuan adalah sentralisasi atau penghalusanya
disebut dengan istilah dekonsentrasi. Sentralisasi artinya bahwa pemerintah pusat
memegang kekuasaan penuh. Namun demikian, mengingat negara Indonesia
sangat luas yang terdiri atas puluhan ribu pulau besar dan kecil dan penduduknya
terdiri atas beragam suku bangsa, etnis, golongan, dan agama yang berbeda-beda,
maka penyelenggaraan pemerintahannya tidak diselenggarakan secara sentralisasi
tapi desentralisasi.
Sejalan dengan keharusan membentuk pemerintahan daerah dalam sistem
administrasi negara Indonesia, maka sejak proklamasi kemerdekaan sampai
sekarang negara Indonesia telah mengeluarkan sejumlah undang-undang tentang
pemerintahan daerah yang mengatur adanya pemerintahan daerah dalam sistem
administrasi pemerintahannya. Undang-Undang tersebut diantaranya adalah
46
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 5.
47
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957,
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Undang-Undang No. 4 Tahun 1974,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014,
Undang-Undang No. 2 Tahun 2015, dan Undang-Undang No. 9 Tahun 2015.
Lahirnya pemerintahan daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi.
Desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum
yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat. Dengan demikian, maka
desentralisasi yang berasal dari sentralisasi yang mendapat awal de berarti
melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali tapi
hanya menjauh dari pusat.47
Berkaitan dengan desentralisasi, Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat mengemukakan bahwa: 48
Desentralisasi merupakan salah satu bentuk negara, karena itu pengertian
desentralisasi bertalian dengan pengertian negara. Negara adalah tatanan
hukum (legal order). Jadi desentralisasi ini menyangkut sistem tatanan
hukum dalam kaitannya dengan wilayah negara. Tatanan hukum
desentralistik menunjukan adanya berbagai kaidah hukum yang berlaku
sah pada (bagian-bagian) wilayah yang berbeda. Ada kaidah yang berlaku
sah untuk seluruh wilayah negara disebut kaidah sentral (central norm)
dan kaidah yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah lokal (local
norm).
Menurut Smith dalam sebagaimana dikutif oleh Hanif Nurcholis,
desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:49
a. Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan
tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
47
Ibid, h. 7.
48
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2014, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Layanan Publik, Nuansa Cendikia, Bandung, h. 122
49
Hanif Nurcholis, op. cit, h.15.
48
b. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang
tersisa (residual functions).
c. Penerima wewenang adalah daerah otonom.
d. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan, wewenang mengatur dan mengurus
(regelling en bestur) kepentingan yang bersifat lokal.
e. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma
hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
f. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma
hukum yang bersifat individual dan konkrit (beschikking, acte
administrative, verwaltungsakt).
g. Keberadaan daerah otonom adalah di luar hirarki organisasi
pemerintah pusat.
h. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.
i. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam sistem
politik.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari
puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi di
bawahnya (pemerintah daerah). Dua kewenangan tersebut yaitu politik dan
administrasi diserahkan kepada pemerintah daerah. Dalam perkembangannya,
penyerahan tersebut menimbulkan otonomi, yaitu kebebasan bagi masyarakat
yang tinggal di daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus
kepentingannya yang bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional. Oleh karena itu,
desentralisasi menimbulkan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah konsekuensi
logis dari penerapan asas desentralisasi pada pemerintah daerah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, diatur pengertian tentang desentralisasi. Disebutkan bahwa
“Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi”. Sedangkan yang dimaksud
dengan Asas Otonomi berdasarkan Pasal 1 angka 7: “Asas Otonomi adalah
49
prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi
Daerah”.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pada bagian umum dijelaskan pola hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah sebagai berikut:
Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah
dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional
untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang
kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan
diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
1.7.5.2 Otonomi Daerah.
Secara etimologi, kata otonomi (autonomy) berasal dari bahasa Yunani,
auto berarti sendiri dan nomos berarti hukum atau peraturan. Menurut
Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah The
legal self of sufficiency of cicial body and in actual independence. Dalam
kaitannya dengan politik dan pemerintahan, otonomi daerah bersifat self
government atau the condition of living under’s own laws. Jadi otonomi daerah
adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government
yang diatur dan diurus oleh own law, oleh karena itu otonomi daerah lebih
menitikberatkan pada aspirasi dari pada kondisi.50
50
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, op. cit, h. 109.
50
Samsul Wahidin menyatakan bahwa dalam memahami otonomi daerah
harus senantiasa berorientasi kepada pemahaman umum tentang otonomi itu
sendiri, yang dalam perspektif pemerintahan bisa direfleksikan dengan beberapa
pemahaman. Adapun perspektif tersebut diantaranya adalah:51
a. Perspektif kewenangan yaitu bahwa otonomi daerah bermakna sebagai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.
Dengan sebuah catatan sebatas mana luasnya, dan seberapa berat
kualitasnya, masih belum ada ukuran dan tentunya memang tidak ada
ukuran pasti. Batas-batas itu tergantung denga situasi, kondisi, dan
pemahaman yang didasarkan pada kepentingan pelaksana, yang
mempunyai kewenangan untuk itu, sebagai aplikasi dari ketentuan
peraturan perundang-undangan yang melimpahkan atau member
kewenangan tersebut.
b. Perspektif administrasi pemerintahan daerah yang mana otonomi
daerah dimaknai sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah. Ada juga yang mengartikan sebagai
suatu kebebasan atau kemandirian, namun yang pasti bukanlah sebuah
kemerdekaan dalam arti terlepas dari bingkai Negara Kesatuan sebagai
induknya. Jadi kebebasan dalam makna yang terbatas atau kemandirian
itu terwujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan, baik secara internal maupun eksternal.
Pertanggungjawaban itu adalah dalam bingkai NKRI sebagai bentuk
negara yang sudah final.
c. Pada perspektif lain, otonomi daerah juga dipandang sebagai suatu hak
untuk mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak itu sumbernya
adalah delegasi kewenangan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat
sebagai refleksi komitmen bersama yang harus senantiasa dijadikan
sebagai landasan utama pelaksanaan pemerintahan. Pemerintah Pusat
adalah refleksi negara kesatuan yang kesatuan yang punya otoritas
tunggal, dalam arti secara struktural berada di atas Pemerintah Daerah.
Administrasi pemerintahan yang dijalankan harus senantiasa
berorientasi kepada makna Negara Kesatuan sebagai dasarnya.
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, diatur pengertian tentang otonomi daerah sebagai berikut:
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
51 Samsul Wahidin, 2013, Hukum Pemerintahan Daerah Pendulum Otonomi Daerah Dari
Masa Ke Masa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.3-4.
51
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Menurut Siswanto Sunarno, konsep pemikiran tentang otonomi daerah
mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu: 52
a. Bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi
seluas luasnya. Arti seluas luasnya mengandung makna bahwa daerah
diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk member
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
b. Bahwa otonomi daerah juga menggunakan prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah
ada, serta berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya pada bagian umum dinyatakan bahwa pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan
strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
52 Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
h.8.
52
Dari berbagai kajian dan uraian mengenai otonomi daerah, dapat
disimpulkan bahwa sistem pemerintahan otonomi daerah mempunyai ciri atau
batasan sebagai berikut:53
a. Pemerintahan daerah yang berdiri sendiri;
b. Melakukan hak, wewenang dan kewajiban pemerintahan oleh sendiri;
c. Melakukan pengaturan, pengurusan dari hak, wewenang, dan kewajiban
yang menjadi tanggungjawabnya melalui peraturan yang dibuat sendiri;
d. Peraturan yang menjadi landasan hukum urusan pemerintahan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Secara konseptual, desentralisasi tidak sama dengan otonomi daerah,
karena desentralisasi lebih kepada proses dari sebuah penyelenggaraan
pemerintahan, sedangkan otonomi daerah lebih kepada hak dan kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sebagai implementasi
dari sistem desentralisasi. Desentralisasi bukan merupakan asas akan tetapi
sebagai proses. Hal ini relevan apabila dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (2) UUD
NRI 1945 yang hanya mencantumkan otonomi daerah dan tugas pembantuan
sebagai asas pemerintahan daerah.
Keterkaitan antara desentralisasi dengan otonomi daerah, satu sisi
desentralisasi merupakan sebuah model penyerahan atau pengelolaan
pemerintahan dari pemerintah kepada kepala daerah, di sisi lain, otonomi daerah
atau daerah otonom merupakan hak, wewenang, dan sekaligus kewajiban daerah
untuk mengelola tata pemerintahannya sendiri sesuai ketentuan perundang-
undangan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya.54
53 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, op. cit., h. 111.
54
Wendy Melfa, op.cit, h.31.
53
1.7.3.3 Hubungan Otonomi Daerah dan Pilkada.
Pada tahun 2004 bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat yang pelaksanaannya
berlangsung relatif tertib dan demokratis. Dengan keberhasilan tersebut telah
menjadikan dorongan atau modal semangat diselenggarakannya Pilkada langsung
oleh rakyat. Rakyat menuntut agar kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat daerahnya. Oleh karenanya pemerintah meresponnya dengan cara merivisi
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.55
Menurut Mochamad Isnaeni Ramdhan, hampir tidak dapat dipisahkan
antara konsep Pilkada dan otonomi daerah. Artinya, ada korelasi yang signifikan
analisis Pilkada dengan pergeseran konsep otonomi daerah, bahwa otonomi
daerah merupakan konteks bahkan prasyarat dari adanya Pilkada.56
Otonomi daerah muncul karena adanya desentralisasi. Hal ini terjadi
karena tidak mungkin kehidupan bernegara dan jalannya pemerintahan akan
efektif jika hanya diselenggarakan semata-mata secara sentralistik, apalagi untuk
negara besar dan luas seperti Indonesia. Otonomi daerah itu dimiliki masyarakat
dan oleh karena itu otonomi tidak mungkin diterima oleh pihak lain dalam suatu
negara bangsa yang menyelenggarakan desentralisasi kecuali masyarakat (lokal)
yang ada. Sehingga otonomi ditujukan untuk kepentingan masyarakat lokal.
Otonomi harus mencerminkan problem-problem yang berkembang di tengah-
55M. Azis dkk., 2011, Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah, Editor Theodrik
Simorangkir, Jakarta Timur, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, h.30.
56
Mochamad Isnaeni Ramdhan, 2007, Laporan Akhir Kompendium Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada), Tim Kerja Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum
Nasional, h.23.
54
tengah masyarakat (lokal) dan menjadi wahana pencarian solusi problem lokal
tersebut.
Otonomi daerah sebagai akibat dari desentralisasi tidak lain merupakan
satu “value” yang hendak dicapai dalam pemerintahan sebuah negara bangsa.
Nilai tersebut sejalan dengan nilai demokrasi yang perwujudannya dilalui dengan
ditampungnya aspirasi masyarakat yang luas dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah. Adanya organ politik dalam pelaksanaan otonomi daerah membawa
perlunya akses masyarakat terhadap mekanisme pengisian jabatannya. Dan salah
satu mekanisme pengisian jabatan kepala daerah adalah melalui Pilkada.
1.7.6 Kewenangan.
Menurut S. F. Marbun, istilah kekuasaan dan kewenangan memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut
power, atau macht (Belanda) atau pouvoir, puissance (Perancis), sedangkan istilah
kewenangan sering disebut authority, gezag atau yurisdiksi dan istilah wewenang
disebut competence atau bevoegdheid. 57
Secara sosiologis kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela
maupun dengan terpaksa. Sumber kekuasaan berasal dari antara lain kekuatan
(force), uang, kejujuran, kharisma, moral , dan senjata. Kewenangan (authority,
gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang
tertentu, maupun kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu secara
bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun dari kekuasaan pemerintah,
57 S.F. Marbun, op. cit, h. 137-147.
55
sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai suatu onderdil
tertentu atau bidang tertentu. Sedangkan kewenangan merupakan kumpulan dari
wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden).
Philipus M. Hadjon dkk., menyatakan bahwa tiga komponen dasar hukum
administrasi umum meliputi: pertama, hukum untuk penyelenggaraan
pemerintahan (het recht voor het besturen door de overheid; recht voor het
bestuur: normering van het bestuursoptreden), kedua, hukum oleh pemerintah
(het recht dat uit dit bestuur onstaat; recht van het bestuur: nadere regelgeving,
beleidsregels, concrete bestuursbesluiten), dan ketiga, hukum terhadap
pemerintah yaitu hukum yang menyangkut perlindungan hukum bagi rakyat
terhadap tindakan pemerintahan (het recht tegen het bestuur). 58
Tiga komponen dasar hukum administrasi umum seyogyanya merupakan
materi pokok undang-undang hukum administrasi umum. Hukum untuk
penyelenggaran pemerintahan terkait dengan norma tentang wewenang
pemerintahan. Bagian-bagaian utama bidang ini antara lain meliputi: sumber
wewenang (atribusi, delegasi, mandat), asas penyelenggaraan pemerintahan
dimana berdasarkan asas negara hukum, asas dasar adalah asas legalitas
(rechtmatigkeid van bestuur), diskresi, dan prosedur penggunaan wewenang.
Selanjutnya, menurut Philipus M. Hadjon dkk., kewenangan membuat
keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara yaitu dengan atribusi atau
58
Philipus M. Hadjon dkk., 2010, Hukum Administrasi Dan Good Governance, Jakarta,
Universitas Trisaksi (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon dkk I), h. 19.
56
dengan delegasi.59
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan,
sedangkan delegasi dalam hal ada pemindahan/pengalihan suatu kewenangan
yang ada. Apabila kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan
yang berdasarkan kewenanan itu, tidak sah menurut hukum. Pemikiran negara
hukum menyebabkan, bahwa apabila penguasa ingin meletakkan kewajiban-
kewajiban di atas para warga (masyarakat), maka kewenangan itu harus
ditemukan dalam suatu undang-undang.
Selain itu, Abdul Rasyid Thalib berpendapat bahwa dalam hukum publik
dikenal ada tiga wewenang, yaitu wewenang “atribusi”, “delegasi”, dan mandat”.
Semua organ (komponen) kostitusi atau “Lembaga UUD” dan organ
pemerintahan atau “Lembaga Negara” mempunyai wewenang atribusi yang
bersumber dari UUD 1945. Wewenang atribusi dalam ilmu pemerintahan lebih
tepat disebut “wewenang asli”, sedangkan wewenang delegasi dan mandat hanya
dipunyai oleh organ pemerintahan terutama presiden dan pemerintah daerah
(eksekutif) yang dimuat dalam undang-undang. 60
Pengaturan tugas dan wewenang suatu lembaga negara di dalam peraturan
perundang-undangan dapat berimplikasi pada terjadinya sengketa kewenangan
antar lembaga negara. Masalah kewenangan antar lembaga negara dalam
penyelenggaraan Pilkada merupakan masalah yang sangat penting karena
berpotensi menjadi objek sengketa yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
59Philipus M. Hadjon dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To
The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya
disingkat Philipus M. Hadjon dkk II), h. 130.
60
Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 355.
57
Timbulnya sengketa antar lembaga negara disebabkan karena masing-
masing lembaga negara menganggap dirinya mempunyai kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya, sementara lembaga yang lainnya juga
menganggap dirinya mempunyai kewenangan untuk itu. Masing-masing lembaga
negara tidak ada yang mau mengalah antara satu dengan lainnya.61
Adapun objek sengketa antar lembaga negara dalam rangka yurisdiksi MK
adalah persengketaan (dispute) mengenai kewenangan konstitusional antar
lembaga negara62
. Mengenai isu utamanya, tidak terletak pada lembaga
negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional yang dalam
pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka
yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki
kewenangan yang dipersengketakan tersebut adalah MK.
Menurut Jimly Asshiddiqie kewenangan MK untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar (UUD), dapat disebut dengan lebih sederhana dengan sengketa
kewenangan konstitusional antarlembaga negara.63
Dalam pengertian sengketa
kewenangan konstitusional itu terdapat dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu
adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD dan timbulnya
sengketa dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat
perbedaan penafsiran di antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait.
Penanganan sengketa kewenangan antar lembaga negara merupakan permasalahan
61
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 183.
62
Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Konstitusi Press.
Jakarta. (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie III), h. 13.
63
Ibi d, h. 15.
58
yang sangat penting untuk diperhatikan untuk mencegah terjadinya tumpang
tindih kewenangan antara lembaga negara yang satu dengan yang lainnya.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, penelitian hukum
normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah
bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, serta doktrin (ajaran). 64
Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder, dapat dinamakan penelitan hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan.65
Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
doktriner, juga disebut sebagai penelitian Perppustakaan atau studi dokumen.
Menurut Suratman dan Philips Dillah, disebut penelitian hukum doktriner, karena
penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang
tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan sebagai penelitian
Perppustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di Perpustakaan.66
64 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.
65
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 14.
66
Suratman dan Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, CV Alfabeta, Bandung, h.
51.
59
Penelitian hukum normatif, mencakup: penelitian terhadap azas-azas
hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan
hukum.67
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan
fokus utama pada penelitian asas-asas hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, dan penelitian sejarah hukum.
Penelitian terhadap asas-asas hukum adalah penelitian terhadap unsur-
unsur hukum baik unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui
filsafat hukum, maupun terhadap unsur nyata yang menghasilkan tata hukum
tertentu yang tertulis.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal adalah
penelitian yang meneliti keserasian hukum positif (peraturan perundang-
undangan) agar tidak bertentangan berdasarkan hierarki perundang-undangan
(stufenbau theory).
Sedangkan penelitian perbandingan hukum meneliti hukum positif dengan
membandingkan sistem hukum suatu negara dengan sistem hukum lainnya.
Dalam penelitian ini yang dibandingkan adalah undang-undang, yaitu undang-
undang tentang Pilkada.
Dipilihnya jenis penelitian normatif dalam penelitian ini karena judul
penelitian, rumusan masalah, dan bahan hukum yang diteliti berupa undang-
67 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta (selanjutnya
disingkat Soerjono Soekanto III), h. 51.
60
undang tentang pengaturan sistem dan tahapan Pilkada dan bahan-bahan hukum
lainnya yang terkait dengan pengaturan sistem dan tahapan Pilkada.
1.8.2 Jenis Pendekatan.
Di dalam penelitian hukum terdapat sejumlah pendekatan. Dengan
pendekatan yang dipilih atau dipergunakan, peneliti diharapkan akan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang diteliti,
serta mampu memecahkan rumusan masalah yang diteliti.
Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pedekatan konseptual (conceptual
approach). 68
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan undang-undang dan
pendekatan konseptual. Berikut adalah uraian dari masing-masing pendekatan
dimaksud:
a. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang
ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah
konsistensi antara suatu undang-undang dengan undang-undang
68 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenada Media Group,
Jakarta, h. 133.
61
lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau
antara regulasi dan undang-undang.
b. Pendekatan sejarah (historical approach) dilakukan dengan pelacakan
sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini
membantu peneliti untuk memahami filosofi aturan hukum, perubahan
dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut,
serta sejarah peraturan perundang-undangan.
c. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu suatu pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut, peneliti akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep
hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
1.8.3 Bahan Hukum.
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh
langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan
yang diperoleh dari bahan-bahan pustakan lazimnya dinamakan data sekunder.69
Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber atau bahan
informasi dapat menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier.70
69 Soerjono Soekanto II, op. cit, h. 12.
70
Suratman dan Philips Dillah, op.cit, h. 51.
62
Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup71
:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan
hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya
adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
1.8.3.1 Bahan Hukum Primer.
Menurut Peter Mahmud Marzuki untuk memecahkan isu hukum dan
sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan
sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dibedakan menjadi
bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai
otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.72
71 Ibid, h.13.
72
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 181.
63
Adapun bahan-bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Udang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4437).
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4844).
5. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 59).
6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perudang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 No. 82).
7. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 101,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5246).
8. Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 No. 243).
64
9. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 244);
10. Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 No. 23).
11. Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 No. 24).
12. Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 No. 57).
13. Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 No. 58).
14. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 No. 245).
65
15. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 No. 246).
16. Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No.
11 Tahun 2011, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
No. 906).
17. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No. 1 Tahun
2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan
Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 No. 1603);
18. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No. 2 Tahun
2013 tentang Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara
Pemilihan Umum di Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 No. 1604).
1.8.3.2 Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Dalam penelitian ini, bahan-bahan hukum sekunder terdiri atas :
a. Buku-buku hukum (text book);
b. Jurnal-jurnal hukum;
66
c. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa;
d. Kamus dan ensiklopedi hukum;
e. Kliping koran dan internet.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum yang dikaji dan dianalisis dalam penelitian hukum normatif,
meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik untuk mengkaji dan
mengumpulkan ketiga bahan hukum itu, yaitu menggunakan studi dokumenter.
Studi dokumenter merupakan studi yang mengkaji tentang berbagai dokumen-
dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan maupun
dokumen-dokumen yang sudah ada.73
Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini ditelusuri dan dikumpulkan
dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Penelusuran dan
pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat,
mendengarkan dan dengan melakukan penelusuran melalui media internet.
1.8.5 Teknis Analisis.
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam
suatu penelitian hukum normatif, digunakan sejumlah teknik analisis yaitu
73 Salim dan Erlies Septiana Nurbani, op. cit, h. 19.
67
berupa: deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, dan
sistematisasi.74
Dalam penelitian ini digunakan teknik deskripsi, interpretasi, dan evaluasi.
Teknik deskripsi yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi-
proposisi hukum atau non hukum. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-
jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis,
sistimatis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Sedangkan teknik evaluasi yaitu
penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,
sah tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, penyataan
rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder.
Sementara itu menurut Suratman dan Philips Dillah, langkah terakhir
dalam penelitian atau pengkajian hukum normatif adalah melakukan interpretasi
dan konstruksi hukum terhadap bahan hukum. Hal ini merupakan langkah analisis
bahan hukum75
.
Interpretasi merupakan salah satu sarana dari penemuan hukum
(rechtsvinding) yang bertujuan untuk menafsirkan bahan hukum, apakah terdapat
bahan hukum tersebut khususnya bahan hukum primer terdapat kekosongan
hukum, antinomy, dan norma hukum yang kabur. Sedangkan konstruksi hukum
dimaksudkan untuk menjawab suatu isu hukum dengan melakukan proses
analogi, argumentasi a contrario, penyempitan makna hukum (rechtsverfining).
74 Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, h. 76.
75
Suratman dan Philips Dillah, op.cit, h.86-87.
68
Konstruksi hukum melalui berbagai metode penemuan hukum diperlukan untuk
mengatasi masalah kekosongan hukum (rechtsvacuum).