bab 1 glaukoma ke3

Upload: nadirarahmi

Post on 12-Jul-2015

141 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Glaukoma adalah sekumpulan kelainan mata yang yang mengarah ke neuropati optik, ditandai oleh pencekungan diskus optikus yang dikaitkan dengan pengurangan sensitivitas dan lapang pandang. Penigkatan tekanan intraokular diperkirakan memiliki peran penting dalam patogenesis glaukoma, tapi tidak lagi menjadi kriteria diagnostik untuk glaukoma. (Dipiro, 2008) Terdapat dua skema klasifikasi utama untuk Glaukoma, yaitu berdasarkan anatomi mekanisme peningkatan tekanan intaokular (dibagi menjadi Glaukoma Sudut Terbuka dan Glaukoma Sudut Tertutup), dan berdasarkan etiologi atau gangguan mata yang mendasari terjadinya glaukoma (dibagi menjadi Glaukoma Primer dan Glaukoma Sekunder). (Morrison, J.C, 2003) Etiologi dari neuropati optik pada glaukoma hingga sekarang belum diketahui. Sebelumnya, kenaikan tekanan intraokular dianggap sebagi satusatunya penyebab neuropati optik, namun setelah penelitian lebih lanjut, diketahui bahwa iskemia, disregulasi aliran darah (Chung, H.S, 1999), eksitotoksisitas, reaksi autoimun dan proses fisiologis abnormal yang lain memiliki peran dalam permulaan dan perkembangan dari glaukoma (Dipiro, 2008). Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua di dunia. Harry A. Quigley melakukan penelitian pada tahun 2005 yang memperkirakan jumlah penderita Glaukoma Sudut Terbuka dan Glaukoma Sudut Tertutup di dunia pada tahun 2010 dan 2020. Penelitian tersebut menyatakan akan ada 60,5 juta orang di dunia mederita Glaukoma Sudut Terbuka dan Glaukoma Sudut Tertutup di dunia pada tahun 2010, akan meningkat menjadi 79,6 juta orang pada tahun 2020 dan dari angka tersebut 74% nya menderita Glaukoma Sudut Terbuka. Di Amerika Serikat, sebuah penelitian menyatakan bahwa pada akhir tahun 2000, jumlah penduduk Amerika yang menderita Glaukoma Sudut Terbuka diperkiran 2,47 juta orang. Dari jumlah tersebut 1,84 juta diantaranya adalah ras kulit putih, dan 619.000 adalah ras kulit hitam (Congdon, N., 2004). Penelitian lain memperkirakan jumlah penderita Glaukoma akan bertambah seiring dengan

bertambahnya umur dari populasi, sehingga pada tahun 2020 diperkirakan terdapat 3,36 juta penderita (Friedman, D.S., 2004). Menurut Survey Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 di Indonesia sebesar 1,5% penduduknya mengalami kebutaan yang antara lain disebabkan karena katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%), dan kelainan kornea (0,10%). Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% (sekitar 210.000 orang) per tahun. (Depkes RI, 1996). Menjaga dan memperbaiki sensitivitas dan lapang pandang penderita adalah tujuan terapi glaukoma. Terdapat tiga pendekatan terapi glaukoma, yaitu penurunan tekanan intraokular, peningkatan perfusi pembuluh darah pada saraf optik dan retina, dan penjagaan diskus optikus dan ganglion sel retina dari mediator kimia yang muncul akibat kenaikan tekan intraokular (Schacknow, N.P, 2010). Terapi glaukoma dibagi menjadi terapi farmakologi / medikamentosa, dan terapi non-farmakologi (bedah dan laser) (Dipiro, 2008). Sebuah penelitian Collaborattive Initial Glaucoma Treatment Study (CIGTS), menunjukkan bahwa dalam 5 tahun, tidak ada perbedaan signifikan hilangnya lapang pandang pasien yang diobati secara medikamentosa dan bedah Trabekulektomi. Pasien yang mendapatkan Trabekulektomi memiliki tekanan intraokular lebih rendah, tetapi menunjukkan resiko yang lebih besar dalam kehilangan ketajaman visual dan tiga kali lebih cepat mengalami perkembangan katarak (Feiner, L., 2003). Peningkatan tekanan intaokular adalah satu-satunya faktor resiko glaukoma yang disetujui badan pengawas obat dan makanan di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) (Siesky. et al, 2010). Pentingnya penurunan tekanan intraokular sebagai terapi glaukoma ini telah dibuktikan oleh berbagai uji klinik, yang menunjukkan bahwa penurunan tekanan intraokular, menurunkan resiko perkembangan neuropati optik, sehingga memperlambat berkurangnya lapang pandang yang terjadi pada pasien glaukoma (Van Veldhuisen. et al, 2000). Mekanisme penjagaan lapang pandang dengan terapi penurunan tekanan intraokular masih kontroversial. Banyak teori mengemukakan mekanisme kematian sel ganglion dan axon retina yang berbeda-beda akibat tekanan

intraokular. Salah satunya menyatakan bahwa tekanan intraokular akan menekan sel sel astrosit yang sensitif terhadap tekanan dan sel lain pada matriks diskus optikus yang mengakibatkan kematian axon. Teori lain menyatakan bahwa neuropati optik terjadi dikarenakan kurangnya aliran darah menuju retina, hal ini disebabkan oleh kenaikan tekanan perfusi yang dibutuhk Pada tahun 2005, telah dilakukan meta-analisis dari 27 uji klinik mengenai penurunan tekanan intraokular oleh obat-obat yang sering diresepkan pada pasien glaukoma dan plasebo. Dari hasil analisis, diketahui bahwa obat yang diteliti dari golongan antagonis beta adrenergik, analog prostaglandin, agonis alfa adrenergik, dan inhibitor karbonik anhidrase memiliki efek penurunan tekanan intraokular yang lebih baik dari plasebo. Ditarik kesimpulan bahwa analog prostaglandin, seperti bimatoprost, latanoprost dan tranoprost, memiliki efektifitas paling tinggi dalam menurunkan tekanan intraokular. Meskipun begitu, antagonis beta adrenergik timolol memiliki efektivitas yang hampir sama dengan analog prostaglandin, sehingga masih merupakan pilihan terapi yang baik. Sedangkan agonis alfa adrenergik brimonidin, antagonis beta adrenergik betaxolol, inhibitor karbonat anhidrase brinzolamid dan dorzolamid memiliki efek penurunan tekanan intraokular yang lebih kecil. Penghambat beta adrenergik adalah obat yang paling luas digunakan. Dapat digunakan tersendiri atau dikombinasi dengan obat lain. Preparat yang tersedia antara lain Timolol maleat 0,25% dan 0,5%, betaksolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol 0,25% dan 0,5% dan metipranol 0,3%. Apraklonidin (larutan 0,5% tiga kali sehari dan 1% sebelum dan sesudah terapi laser) adalah suatu agonis alfa adrenergik yang baru berfungsi menurunkan produksi humor akueous tanpa efek pada aliran keluar. Obat ini tidak sesuai untuk terapi jangka panjang karena bersifat takifilaksis (hilangnya efek terapi dengan berjalannya waktu) dan tingginya reaksi alergi. Epinefrin dan dipiferon juga memiliki efek yang serupa. Dorzolamid hydrochloride larutan 2% dan brinzolamide 1% (dua atau tiga kali sehari adalah penghambat anhidrase topical yang terutama efektif bila diberikan sebagai tambahan, walaupun tidak seefektif penghambat anhidrase

karbonat sistemik. Dorzolamide juga tersedia bersama timolol dalam larutan yang sama. Analog prostaglandin berupa larutan bimastoprost 0,003%, latanoprost 0,005% dan travoprost 0,004% masing-masing sekali setiap malam dan larutan unoprostone 0,15% dua kali sehari yang berfungsi untuk meningkatkan aliran keluar humor akueous melaului uveosklera. Semua analaog prostaglandin dapat menimbulkan hyperemia konjungtiva, hiperpigmentasi kulit periorbita,

pertumbuhan bola mata dan penggelapan iris yang permanen. Obat parasimpatomimetik seperti pilocarpin meningkatkan aliran keluar humor akueous dengan bekerja pada anyaman trabekular melalui kontraksi otot siliaris. Obat ini diberikan dalam bentuk larutan 0,5-6% yang diteteskan hingga empat kali sehari atau bentuk gel 4% yang diberikan sebelum tidur. Obat-obat parasimpatomimetik menimbulkan miosis disertai penglihatan suram. Inhibitor karbonat anhidrase sistemik asetozolamid digunakan apabila terapi topikal tidak memberikan hasil memuaskan . Obat ini mampu menekan pembentukan humor akueous sebesar 40-60%. Asetozolamid dapat diberikan peroral dalam dosis 125-250 mg sampai empat kali sehari atau sebagai Diamox sequels 500 mg sekali atau dua kali sehari, dapat diberikan secara intravena (500 mg). Penghambat anhidrase karbonat menimbulkan efek samping sistemik mayor yang membatasi keguanaannya untuk terapi jangka panjang. Berdasarkan uraian di atas, farmasis perlu mengetahui menejemen terapi obat pada pasien Glaukoma. Pada terapinya, penggunaan obat-obat diatas memiliki efek-efek samping dan kontraindikasi yang harus dicermati oleh farmasis sehingga farmasis dapat menyampaikan informasi dengan benar kepada pasien tentang obat-obat yang digunakan tersebut. Selain itu, farmasis diharapkan tepat dalam pemilihan obat yang akan diberikan, dosis, rute pemakaian, frekuensi pemakaian, dan durasi terapi yang diberikan agar dapat dicapai outcome yang diharapkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui pola penggunaan obat pada pasien kasus Glaukoma yang dapat dikaji melalui studi penggunaan obat atau Drug Utilization Study (DUS).

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana profil penggunaan obat pada pasien Glaukoma di Instalasi Rawat Jalan SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD Dr. Soetomo Surabaya ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui profil penggunaan obat pada pasien Glaukoma di Instalasi Rawat Jalan SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD Dr. Soetomo Surabaya 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Mengetahui macam atau jenis obat, rute, dosis, dan lama penggunaan obat pada pasien Glaukoma. (2) Mengidentifikasi adanya problema obat yang mungkin terjadi.

1.4 Manfaat Penelitian Untuk instansi dan farmasi klinik terkait, data yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian dalam hal pertimbangan pemilihan terapi obat pada pasien Glaukoma.